Ceritasilat Novel Online

Walet Besi 10


Walet Besi Karya Cu Yi Bagian 10


Walet Besi Karya dari Cu Yi   Pada hari raya seperti ini, tamu yang datang dan pergi tidak banyak.   Tu Liong dan Wie Kie-hong memaksa Boh Tanping mengikuti mereka.   Pisau yang dipegang oleh Wie Kiehong menempel dengan erat di pinggangnya.   Kalau misalnya secara tidak sengaja mereka berpapasan dengan orang yang kebetulan lewat, pisau itu tidak akan terlihat dengan mudah.   Setiap musim gugur, daun-daunan diatas pohon berwarna merah seperti api.   Sekarang ini daun-daunan tampak hijau segar.   Wie Kie-hong dan Tu Liong sepakat membawa Boh Tan-ping ketengah hutan agar tidak diganggu orang yang lewat.   Tu Liong sudah membuat perhitungan, dari kereta kuda, dia sudah membawa seutas tali.   Dia lalu mengikat Boh Tanping pada batang sebuah pohon.   Boh Tan-ping sama sekali tidak melawan, mungkin juga dia sudah tidak memiliki keberanian untuk melawan.   "Kie-hong, sekarang kau sudah bisa menanyakan keberadaan ayah kandungmu"   Boh Tan-ping kembali berteriak.   "Tidak tahu!"   "Tu toako, kau sudah mendengarnya sendiri, bertanya lagi pun jawabannya selalu tiga kata itu"   "Betul"   Boh Tan-ping menggeram dan mengatupkan rahangnya kuat kuat "Kalau aku bilang tidak tahu, berarti aku benar-benar tidak tahu"   "Apakah pisau yang kau pegang itu hanya sebuah hiasan? Kalau dia berkata tidak tahu, kau potong sedikit dagingnya. Walaupun tubuhnya gagah perkasa, kalau kehilangan beberapa potong daging, nanti kita lihat apakah dia masih berkata tidak tahu. Kalau dia masih berkata begitu, berarti dia memang tidak tahu"   Wie Kie-hong memandang pisau yang sedang dipegangnya. Entah apa yang harus diperbuatnya. Sangat jelas terlihat dia tidak mungkin berlaku seperti itu.   "Wie Kie-hong, apakah kau ingin aku membantu menanyakan padanya?"   "Tu Liong !"   Boh Tan-ping tertawa dingin dan berkata.   "ekor musangmu akhirnya kelihatan. Aku sudah menggunakan pedang gergajiku untuk melukai-mu, kau pasti merasa sakit hati. karena itu kau memperalat Wie Kie-hong untuk membalaskan dendam dan menggunakan alasan bertanya tentang Wie Ceng, sedangkan niatmu sebenarnya adalah untuk melukaiku. Benar?"   "Kie-hong, apakah kau percaya omongannya?"   Tu Liong bertanya dengan ringan "Tentu saja aku tidak percaya"   "Boh Tan-ping, taktik mu sekali lagi tidak berhasil. Kau berniat mengadu domba aku dan Wie Kie-hong, tapi sayang kau tidak tahu betapa akrabnya hubungan kami berdua....Boh Tan-ping, sekarang kau sangat sial."   Tu Liong menyobekkan baju atas Boh Tan-ping dengan kuat.   berbarengan dengan itu dia mengambil pisau yang dipegang oleh Wie Kie-hong.   Tepat pada saat ini tiba-tiba saja ada seseorang yang masuk kedalam hutan.   Perlahan tapi pasti, orang ini berjalan menuju ke arah mereka bertiga.   Orang ini adalah Cu Siau-thian.   Cu Siau-thian melangkah sangat perlahan.   Kalau dilihat sekilas, dia seperti orang yang kebetulan lewat, karena dia menemukan ada tiga orang ditengah hutan, jadi sekalian dia berjalan mendekat melihat apa yang sedang terjadi.   "Kie-hong ........apakah kau melihatnya?"   Tu Liong bertanya setengah berbisik "Mmm...!"   Wie Kie-hong tidak melepaskan tatapan matanya pada Cu Siau-thian.   "Dua lawan satu, kita tidak mungkin kalah melawannya"   "Mmmm..."   "Yang harus ditakuti adalah kalau hati kita masih merasa ragu-ragu. Harap ingat, jangan sampai ragu"   "Aku tahu"   Pada saat ini Cu Siau-thian sudah berada dihadapan mereka. Melihat Cu Siau-thian, Boh Tan-ping diam tidak berkata apa apa... Wie Kie-hong dan Tu Liong juga sama-sama hanya melihatnya tanpa bicara.   "Mengapa terjadi seperti ini?"   Kata kata Cu Siau-thian diucapkan seperti terhadap orang yang belum pernah dikenalnya.   "Kami sedang menyelesaikan urusan balas budi"   Tu Liong menjawab dingin "Ini bukan cara yang benar untuk menyelesaikan sebuah masalah. Di tengah siang bolong seperti ini, mana boleh kau menyiksa seseorang sampai mengaku?"   Tampaknya pendirian Cu Siau-thian sudah mulai kelihatan.   "Jangan mendekat"   Tu Liong juga tidak berbasa-basi. Bukan dia tidak menghargai balas budi, hanya saja dia sudah bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, baik dan buruk secara jelas.   "Apakah aku tidak berhak menjadi orang penengah kalian?"   "Tidak boleh"   Tu Liong langsung menjawab.   "Kalau tidak boleh, berarti aku sudah sia-sia berlari sampai ke Sie-san ini"   Dari kata-kata Cu Siau-thian sudah jelas terlihat kalau dia datang kemari bukan hanya kebetulan saja. Dia pasti sudah mendapat kabar bahwa Boh Tan-ping digiring kemari.   "Cu Taiya!"   Wie Kie-hong tidak ingin Tu Liong merasa serba salah, karena itu dia maju untuk menyelesaikan masalah.   "urusan ini tidak ada jalan keluarnya"   "Di dunia ini tidak ada masalah yang tidak memiliki jalan keluar. Asalkan kau bisa membedakan yang mana yang benar dan yang mana yang salah, yang mana yang baik dan yang mana yang buruk, ini sudah cukup"   "Sayang sekali selain urusan baik dan buruk, benar dan salah, masih ada lagi urusan untung dan rugi. Kalau memiliki pendirian untung dan rugi, keputusan yang dibuat seringkah tidak dapat diandalkan, tidak dapat dipercaya"   Tu Liong tampak kaget mendengar pernyataan Wie Kiehong. Dia tidak menyangka anak muda ini bisa mengatakan sesuatu yang sangat tegas seperti ini. Raut wajah Cu Siau-thian sedikit berubah. Dia berkata dengan nada rendah.   "Apakah kau pikir aku memiliki hubungan untung dan rugi dengannya?"   "Mungkin ada"   "Kau menggunakan kata 'mungkin' menunjukkan kalau kau pun tidak yakin"   "Aku menggunakan kata 'mungkin' agar Cu Taiya tinggal ditempat.. Harap Cu Taiya jangan mendekat!"   "Baiklah! aku tidak lagi menjadi orang penengah masalah."   Pada akhirnya Cu Siau-thian tampak mengalah.   "kalau begitu aku jadi pihak ketiga yang menonton saja, boleh kan?"   Wie Kie-hong memandang ke arah Tu Liong sepertinya dia ingin meminta persetujuan Tu Liong terhadap usulan ini, namun tampaknya Tu Liong tidak menunjukkan apa-apa.   Sepertinya dia menganggap Wie Kie-hong sudah bisa membuat keputusan menghadapi masalah apapun, terlebih lagi tadi dia sudah menyerahkan Boh Tan-ping ke dalam tangan Wie Kie-hong.   Cu Siau-thian berkata lagi.   "Ini adalah tempat umum yang dapat dikunjungi siapapun, disisi kalian bisa melakukan apapun yang kalian inginkan, tidak ada larangan bagi siapapun untuk melakukan apa yang mereka inginkan, apakah aku juga tidak bisa melakukan keinginanku untuk menonton kalian?"   Pada awalnya Wie Kie-hong kekurangan rasa keberanian, sekarang sebaliknya dia di selimuti semangat. Dia tidak menghiraukan Cu Siau-thian, dia membalikkan tubuh menghadap Boh Tan-ping, dan berkata dengan dingin padanya.   "Kau tadi sudah mendengar apa yang Tu toako katakan, karena itu aku tidak perlu mengulanginya lagi... ....jawablah, dimanakah ayahku?"   Boh Tan-ping tidak menjawab. Tapi tatapan matanya beralih pada Cu Siau-thian. Sangat jelas terlihat kalau tatapan mata ini adalah tatapan minta tolong. Cu Siau-thian ternyata memang merespon terhadap tatapan itu dan berkata.   "Wie Kie-hong! kau sudah bertanya pada orang yang salah. Kalau kau ingin bertanya tentang keberadaan ayahmu saat ini, kau seharusnya pergi bertanya pada ayah angkatmu Leng Souw-hiang barulah tepat."   "Cu Taiya!"   Wie Kie-hong berkata dengan dingin.   "aku tadi sudah mengatakan padamu, kata katamu ini tidak akan mendapat kepercayaan dariku."   "Bagaimana kalau aku sendiri yang pergi membawamu bertanya pada Leng Souw-hiang?"   "Tidak perlu"   "Kalau kau memang ingin membuang-buang waktu, silahkan terus bertanya"   Ternyata sikap Cu Siau-thian terlihat sedikit melunak Secara tidak disadari, Cu Siau-thian sudah diam-diam memberikan petunjuk pada Boh Tan-ping.   "Kie-hong! kau sia-sia bertanya padaku. Kalau kau membunuhku, kau pun membunuh tanpa mendapat hasil yang sepadan"   Boh Tan-ping mengatakan hal yang sejalan dengan apa yang sudah Cu Siau-thian ucapkan.   "Aku sama sekali tidak tahu tentang keberadaan ayahmu sekarang. Kalau kau ingin bertanya, sebaiknya kau bertanya pada Leng Taiya saja."   Wie Kie-hong tidak banyak membuat pertim bangan lagi, dia segera mengangkat tangan untuk menghujamkan pisau ke arah dada Boh Tan-ping. Gerakannya lumayan cepat, tapi gerakan Cu Siau-thian lebih cepat dari padanya. Terdengar suara "PLAAAKKK"   Pergelangan tangan Wie Kie-hong sudah dipegangnya dengan erat "Hari ini masih terang, bagaimana mungkin kau berniat melakukan sesuatu yang biadab?"   Cu Siau-thian memarahinya dengan suara yang keras Wie Kie-hong mencoba menarik tangannya dari cengkraman Cu Siau-thian, tapi setelah beberapa saat dia menyadari kalau dia tidak bisa melakukannya.   Tu Liong segera mendekat, dia berkata dengan sangat hormat.   "Cu Taiya! aku sudah berhutang budi sangat banyak pada anda karena anda sudah memelihara sampai aku bisa mendapatkan hari ini."   Setelah berkata seperti ini, dia mendadak berlutut dihadapan Cu Siau-thian, setelah itu dia menempelkan kepalanya ditanah sebanyak tiga kali.   Cu Siau-thian tertegun melihat kelakuannya.   Sepertinya dia tidak mengerti apa yang dilakukan Tu Liong.   Setelah selesai berterimakasih, Tu Liong berdiri.   Sepertinya hampir pada waktu yang bersamaan, kaki kanannya ditendangkan ke arah Cu Siau-thian.   Ternyata pertama-tama Tu Liong berterima kasih atas semua budi yang sudah Cu Siau-thian berikan untuknya, setelah itu dia bertindak.   Pertama-tama karena hal ini terjadi diluar dugaan, kedua karena tangan kanannya sedang memegang erat tangan Wie Kie-hong, gerak-gerik Cu Siau-thian jadi sangat terbatas.   Tendangan Tu Liong kali ini mengenai bahu kanannya dengan telak Dengan otomatis genggaman tangan kanan Cu Siau-thian menjadi longgar.   Wie Kie-hong segera mengambil kesempatan untuk melepaskan diri.   Cu Siau-thian tertawa dingin dan berkata.   "Orang tidak mungkin melukai hati seekor macan, namun seekor macan selalu bermaksud melukai orang, aku sungguh tidak menyangka"   Ternyata Tu Liong tetap menjawab Cu Siau-thian dengan penuh rasa hormat "Cu Taiya! aku tidak berani melawan dirimu. Tapi kalau situasi sudah tidak mengijinkan, aku terpaksa melakukannya"   "Apakah kalian pikir kalian berdua melawan aku sendiri kalian akan menang?"   Wie Kie-hong berkata dengan tegas.   "Kenyataan selalu lebih menang melawan peringatan yang keras. Kebaikan selalu menang melawan kejahatan. Ini adalah sebuah aturan yang selamanya pun tidak akan pernah berubah."   Mendadak Cu Siau-thian tertawa keras.   Ditengah tengah tawanya, dia mendadak mencabut sebuah pedang, dan segera menyabetkannya ke arah tali yang mengikat tangan Boh Tanping.   Pedang yang digunakannya adalah pedang pendek yang sangat tajam.   Namun tebasan pedang ini sangat akurat.   Cu Siau-thian bahkan tidak memotong sehelai bulu pun dari tangan Boh Tan-ping.   kemahiran menggunakan pedang seperti ini sungguh membuat kagum siapapun yang melihat.   Sekarang situasi kembali berubah.   Sekarang mereka jadi satu lawan satu.   Kalau menimbang dari kemahiran ilmu silat yang dimiliki Cu Siau-thian dan Boh Tan-ping, jelas tampak kalau Tu Liong dan Wie Kie-hong pasti akan kalah.   Tapi setelah melepaskan Boh Tan-ping, Cu Siau-thian tampaknya menunjukkan sifat aslinya.   Kalau Tu Liong dan Wie Kie-hong tidak bisa pergi keluar dari hutan ini hidup-hidup, apa gunanya Cu Siau-thian berlaku seperti ini bagi mereka? "Tan-ping!"   Dari panggilan Cu Siau-thian pada Boh Tan-ping sudah jelas hubungan diantara mereka berdua.   "Ya!"   Boh Tan-ping menjawab dengan sangat hormat "Aku ingat saat itu di kalangan dunia persilatan, kemampuanmu menggunakan pedang pendek sangat mahir sampai tidak ada orang yang dapat menandingimu."   Kata-kata Cu Siau-thian diucapkan dengan ringan. Dia terdengar seperti sedang mengobrol santai dengannya.   "Memang benar"   "Hari ini kita memiliki kesempatan untuk melihat kemampuanmu yang sebenarnya. Perlihat-kanlah padaku"   Cu Siau-thian lalu melemparkan pedang yang ada di tangannya pada Boh Tan-ping.   Cu Siau-thian lalu berjalan kepinggir.   Dia seperti merasa Boh Tan-ping sendiri saja sudah cukup untuk merobohkan kedua anak muda itu.   dia sendiri tidak perlu ikut campur turun tangan untuk bertarung.   Dia memiliki rasa percaya diri, dari cara Boh Tan-ping menerima pedang yang dilemparkan dapat dilihat dia juga memiliki rasa percaya diri yang sama.   Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Tu Liong dan Wie Kie-hong juga percaya kalau Cu Siauthian tidak melebih-lebihkan.   Karena ini, Wie Kie-hong menggunakan kesempatan ini untuk bertindak terlebih dahulu, sebelum Boh Tan-ping mulai melancarkan serangannya.   Wie Kie-hong melesat seperti panah yang terlepas dari busurnya.   Dia segera mengarahkan pisau kecil yang dipegangnya ke arah leher Cu Siau-thian.   Cu Siau-thian tidak menyangka, bahkan Tu Liong sendiri pun tidak menyangka.   Cu Siau-thian tidak memegang senjata.   Dia pun tidak sempat menggunakan pukulan tangan kosong-nya untuk membalas serangan.   Dia hanya bisa melangkah kepinggir untuk menghindar.   Gerakan Wie Kie-hong yang gesit dengan pisau yang tajam terus memburu Cu Siau-thian Boh Tan-ping terpaksa menolong Cu Siau-thian untuk melepaskan diri dari bahaya.   Namun baru saja dia hendak bergerak, Tu Liong sudah menghalangi jalannya.   Pada akhirnya tetap saja semua orang yang terlibat pertarungan satu lawan satu.   Yang berbeda adalah pada mulanya Tu Liong dan Wie Kiehong berada di bawah angin.   Namun karena Wie Kie-hong pertama turun tangan menyerang, sekarang keadaan berbalik.   Kedua pemuda ini sekarang mendapat kesempatan besar untuk menang.   Dalam situasi ini, taktik menyerang yang lebih kuat terbukti sangat efektif.   Pada kondisi normal, Cu Siau-thian mampu menghindar serangan dengan gesit.   Gerakannya secepat kilat yang menyambar.   Hanya saja karena sekarang dia sedang berada ditengah hutan yang lebat, ketika sedang mundur menghindar serangan, dia kesulitan melihat apakah ada batang pohon yang menghalangi jalannya.   Setiap saat pisau yang tajam bisa saja menembus lehernya.   Wie Kie-hong terus memburu Cu Siau-thian.   Tu Liong dan Boh Tan-ping kembali berdiri berhadaphadapan.   Kejadian pertarungan besar yang dialaminya didalam gang sempit kembali diputar ulang dalam benaknya.   "Kita bertarung lagi"   Kata Tu Liong perlahan-lahan.   "MMmm...."   Boh Tan-ping terus menatap tajam ke arah Tu Liong.   Kedua orang ini berdiri saling berhadapan.   Senjata mereka berdua sudah terhunus keluar di sisi tubuh masing-masing.   Angin hutan semilir berhembus menerbangkan daundaunan.   Tu Liong mengangkat tangan kanannya bermaksud untuk menantang Boh Tan-ping untuk menyerangnya terlebih dahulu.   Boh Tan-ping tampak sedikit emosi.   "HIAAAATT!!"   Teriakan Boh Tan-ping telah membuka pertarungan kali ini.   Dia segera berlari mendekat Tu Liong.   Kedua tangannya memegang pedang dengan erat Setelah cukup dekat, Boh Tan-ping segera menebaskan pedangnya ke arah kepala Tu Liong.   Tu Liong segera membungkuk menghindari serangan.   Berbarengan dengan itu dia meluncur kedepan ke arah Boh Tan-ping dan menyabetkan pedangnya secara vertikal dari bawah ke atas.   Boh Tan-ping segera memutar tubuhnya, nyaris tidak berhasil berkelit dari sabetan pedang Tu Liong.   Tu Liong yang berada sangat dekat dengan Boh Tan-ping.   dia bahkan bisa merasakan hangat nafas yang menghembus pipinya.   Namun yang dia rasakan tidak hanya nafasnya.   Boh Tan-ping sudah mengulurkan tangannya dan segera menggenggam erat baju yang dikenakannya.   Tu Liong kembali mengunjukan kemampu-annya menggunakan pukulannya.   Dia segera menghentakkan kaki kanannya dengan keras, dan telapak tangan kanannya segera menghantam dada Boh Tan-ping sama kerasnya.   Boh Tan-ping terhuyung huyung kebelakang.   Tu Liong segera mengejarnya kembali.   Dia segera menyabetkan pedangnya ke arah kepala Boh Tan-ping.   Boh Tan-ping segera menunduk menghindari serangan Tu Liong hanya berhasil menyabet batang pohon, bukan batang leher Boh Tan-ping.   Setelah menunduk, Boh Tan-ping segera bergerak ke sisi kanan Tu Liong, dan dengan lebih cepat lagi mengayunkan senjata andalannya, melintang persis seperti mengikuti jejak tebasan pedang Tu Liong.   Tu Liong sedang membelakangi pedang Boh Tan-ping.   Namun dia merasakan hembusan pedang Boh Tan-ping mengarah ke lehernya.   Dia ikut menunduk dengan cepat.   Pedang menancap dengan erat ke batang pohon.   Serpihan kayu kecil berterbangan kemana-mana.   Tu Liong segera melemparkan dirinya ke sebelah kiri untuk menjauhi Boh Tan-ping.   Boh Tan-ping hanya tersenyum sinis.   Dia menarik pedangnya dengan kuat meninggalkan bekas goresan pedang yang mendalam di batang pohon.   Mereka berdua kembali berdiri saling bertukar pandang.   Tu Liong mengeluarkan pisau kecil dari balik bajunya.   Rupanya Boh Tan-ping pun tidak mau kalah, dengan tangan kirinya, dia kembali mencabut pisau kecil yang menyatu dengan pedangnya.   Kedua orang itu berdiri berhadap-hadapan.   Pisau di tangan kiri, pedang di tangan kanan.   Tiba tiba Cu Siau-thian lewat di antara mereka.   Wie Kiehong masih berusaha keras melukainya.   Setelah mereka lewat, Tu Liong langsung melancarkan serangan.   Sekejap saja, Tu Liong sudah melancarkan kombinasi serangan pisau dan pedang berulang ulang ke arah Boh Tanping.   Sambil menangkis serangan, Boh Tan-ping terus melangkah mundur.   Boh Tan-ping tidak mundur terlalu jauh.   Ada sebuah batu besar merintangi jejak jalan mundurnya.   Walaupun sedang menghindari serangan Tu Liong, Boh Tan-ping tetap menyadari adanya batu.   Setelah hampir menabraknya, Boh Tan-ping segera meloncat tinggi.   Tu Liong tidak mau melepaskan Boh Tan-ping begitu saja.   Dia pun ikut meloncat tinggi dan terus menyabetkan pedangnya padanya.   Boh Tan-ping bersalto di udara.   Dia menginjak dahan sebuah pohon dan menggunakannya sebagai pijakan untuk meloncat lebih tinggi dan menghindari tebasan pedang Tu Liong.   Boh Tan-ping mendarat dengan anggun di atas salah sahi dahan pohon.   Tu Liong berdiri diatas dahan pohon yang berseberangan dengan Boh Tan-ping.   Pertarungan babak kedua berhenti lagi.   Keringat mulai bercucuran.   Nafas mulai memburu.   Tidak lama Wie Kie-hong dan Cu Siau-thian kembali lewat diantara mereka.   Mereka berdua pun sedang meloncat-loncat dari pohon ke pohon terus kejar-kejaran seperti anjing mengejar kucing.   Setelah mereka lewat, pertarungan babak ke tiga dimulai.   Tu Liong meloncat menuju dahan yang diinjak Boh Tanping, sementara pada waktu yang bersamaan, Boh Tan-ping juga meloncat menuju dahan yang diinjak Tu Liong.   Mereka bertemu ditengah udara kosong diantara rimbunnya daun-daunan.   Pedang bertemu pedang, pisau bertemu pisau.   Sabetan sabetan kuat dan cepat hanya terjadi dalam waktu yang sangat singkat.   Kekuatan tebasan mereka menggugurkan daun daun disekitarnya.   Membuat daun-daunan turun ke bumi bagaikan hujan.   Boh Tan-ping mendarat dengan mantap di atas dahan pohon.   Namun ketika dia berbalik, dia terkejut karena Tu Liong sudah kembali meluncur ke arahnya.   Rupanya Tu Liong hanya menggunakan dahan tempatnya mendarat sebagai tolakan agar dia kembali meluncur ke arah Boh Tan-ping.   Tu Liong segera menebaskan pedangnya kuat-kuat.   Boh Tan-ping masih agak kaget.   Namun dia segera meloncat menjauh.   Tebasan Tu Liong tidak mengenai sasaran.   Boh Tan-ping bersalto ketika dia melayang turun kebawah.   Tu Liong kembali menendang dahan pohon tempatnya berpijak agar menjadi tolakan yang kuat untuk mengejar Boh Tan-ping.   Dari posisinya bersalto, mendadak pisau kecil yang dipegang Boh Tan-ping melesat cepat bagaikan panah yang terlepas dari busurnya menuju Tu Liong.   Tu Liong terkejut.   Segera dia memiringkan kepala menghindari pisau.   Tapi pisau itu hanya berhasil menggores kulit pipinya.   Boh Tan-ping sudah mendarat.   Sekarang dia mengayunkan pedang untuk menyambut serangan Tu Liong dari atas.   Kedua pedang kembali beradu.   "TRAAANGGGG"   Namun kali ini Boh Tan-ping mengalah dan langsung meloncat mundur agak jauh.   Tu Liong tidak melewatkan kesempatan ini untuk melempar pisau kecil yang masih dipegangnya.   Pisau kecil kembali melesat bagaikan panah menuju dada Boh Tan-ping.   Sekarang giliran Boh Tan-ping yang mengi-baskan pedangnya untuk menepis pisau yang melun-cur ke arahnya.   "TRANGG"   Pisau itu terus melesat ke arah yang berbeda, tidak terhindarkan pisau menancap pada batang salah satu pohon.   Kedua orang ini kembali berdiri berhadapan.   Sebatang pohon melintang di antara mereka berdua.   Kali ini Cu Siau-thian dan Wie Kie-hong tidak lagi berkejarkejaran.   Cu Siau-thian terus melangkah mundur menghindari tusukan pisau Wie Kie-hong.   Malang baginya, dia tidak memperhatikan batang pohon yang melintang.   Cu Siau-thian terperanjat ketika dia menabrak batang pohon.   Wie Kie-hong langsung menghujamkan pisau-nya ke leher Cu Siau-thian.   "HENTIKAN!"   Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi ditengah hutan Pada saat yang bersamaan, sesosok bayangan seseorang terbang mendekat.   Ternyata orang itu adalah Thiat-yan Kalau orang yang memberi perintah berhenti adalah Tu Liong, mungkin Wie Kie-hong akan mendengarkan perintah dan menghentikan serangan.   Namun sekarang Wie Kie-hong menurun kan pisaunya.   Sepertinya perintah Thiat-yan sudah memberikan dampak yang besar baginya.   Saat ini Cu Siau-thian sedang berdiri membelakangi batang sebuah pohon besar, kalau Thiat-yan tidak keluar menghentikan pertarungan, mungkin dia tidak bisa menghindari serangan Wie Kie-hong, pisau itu pasti sudah menancap di lehernya.   Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Apakah teriakan Thiat-yan memang bertujuan untuk menolong Cu Siau-thian? Kalau memang untuk menolong Cu Siau-thian, untuk apa dia melakukannya? Jangankan orang lain, bahkan Cu Siau-thian sendiri merasa bingung.   Tentu saja Thiat-yan bisa melihat tanda tanya besar yang tergambarkan didalam tatapan mata Wie Kie-hong.   Tapi dia tidak segera memberikan penjelas-an.   Dia hanya membalikkan tubuh pada Boh Tan-ping dan bertanya.   "Paman Boh! mengapa kau ada disini?"   "Mereka berdua menculikku kesini"   Boh Tan-ping menunjuk pada Wie Kie-hong dan Tu Liong.   "Mengapa?"   "Mereka terus berpendapat kalau aku tahu tentang keberadaan Wie Ceng"   "Apakah kau tahu?"   "Tentu saja aku tidak tahu"   "Baiklah! kalau begitu silahkan paman pulanglah dulu"   Boh Tan-ping hanya berdiri disana tidak bergerak.   "Paman Boh, apa lagi yang sedang kau tunggu?"   "Aku menunggu kau pulang bersamaku"   "Tidak perlu. Aku sudah besar, aku bukan anak kecil lagi."   Kata-kata Thiat-yan bermakna ganda.   "Aku bisa mengurus diriku sendiri...."   "Baiklah! kalau begitu aku pergi dulu"   Cu Siau-thian tidak mencoba menghentikan Boh Tan-ping.   walaupun dia memiliki hubungan dengan Boh Tan-ping, tapi tetap saja dia tidak merasa enak mencegahnya pergi.   Wie Kie-hong dan Tu Liong pun tidak menghalang halangi.   Sepertinya mereka semua mengerti apa maksud nona Thiatyan berkata seperti itu.   Boh Tan-ping berjalan pergi, langkahnya sangat perlahan.   Namun tidak masalah betapa pelannya dia berjalan, pada akhirnya dia berjalan keluar dari hutan.   Thiat-yan memandang Boh Tan-ping sampai sosok tubuhnya tidak terlihat lagi.   setelah itu dia membalikkan tubuh dan berkata dengan lembut pada Wie Kie-hong.   "Wie Siauya, apakah kau tahu mengapa aku mencoba menghentikan serangan mu? Aku meng-hentikanmu karena Cu Siau-thian tidak boleh mati"   "Oh...?"   "Kali ini aku datang ke Pakhia untuk mencari barang peninggalan milik ayahku. Kalau Cu Siau-thian mati, kemana aku akan mencarinya lagi? kemana aku akan bertanya?"   Cu Siau-thian hanya berdiri disana tidak bergerak sama sekali. Sekarang situasi sudah menjadi satu lawan tiga. Namun dia tampak tenang-tenang saja.   "Cu Taiya !"   Thiat-yan berjalan mendekat ke arah Cu Siauthian "sekarang sebaiknya kau mulai menjelaskan padaku...."   "Nona Tiat!"   Cu Siau-thian berkata dengan dingin padanya.   "aku katakan bahwa kopor kulit itu mungkin sekarang sedang berada ditangan Leng Souw-hiang. Kalau kau tidak percaya, aku berjanji akan membantumu mencari tahu. Tapi aku tidak mendapat hasil apapun kalau begini"   "Sepertinya kata-kata yang kau ucapkan tadi tidak pantas diucapkan oleh seorang tuan besar, orang harus berani berbuat dan berani bertanggung jawab, aku adalah generasi muda, kalau tidak mencari tahu kejadian yang sebenarnya, apakah aku masih berani mencarimu sampai kesini?"   "Nona Tiat, kau terlalu sungkan, begitu kau datang ke Pakhia, kau langsung melukai banyak orang, apa yang tidak berani kau lakukan?"   "Apakah kau sedang berusaha membuatku bimbang?"   "Tidak perlu seperti ini"   Thiat-yan berpaling pada Tu Liong dan Wie Kie-hong.   "Bisakah kalian meninggalkan kami berdua?"   Dari awal Tu Liong hanya terdiam. Sekarang dia ikut ambil bicara.   "Adik Yan! kau berlaku seperti ini, sepertinya sedikit berlebihan. Adik Kie-hong sedang menanyakan tentang keberadaan ayah kandungnya. Sekarang kau tiba-tiba muncul dan berusaha menghentikan dia. setelah itu kau masih menyuruh kami berdua pergi. Apakah kau pikir kami akan setuju begitu saja?"   Kata-kata ini diucapkan dengan tegas. Thiat-yan juga pasti berpikir, tidak tahu harus bagaimana menjawab pertanyaannya. Namun tanpa disangka-sangka, Thiat-yan malah tertawa keras.   "Mengenai keberadaan ayah kandung Wie Kie-hong, serahkan urusan ini padaku. Wie Siauya! apakah kau percaya padaku?"   "Nona Tiat! aku memang pernah mempercayai dirimu sebelumnya, mohon nona beri aku batasan waktu agar aku bisa bertanya padamu"   "Baiklah! hari ini sebelum lampu dinyalakan"   "Baik! Toako ayo kita pergi"   Melihat raut mukanya, Wie Kie-hong tahu Tu Liong tidak setuju pergi begitu saja.   Tapi dia sudah mengatakan kalau Wie Kie-hong yang memegang kuasa atas masalah ini.   mana mungkin dia bisa mem-bantah permintaannya? karena itu dia hanya memberi-tahu Wie Kie-hong tentang sebuah masalah.   "Tidak seharusnya Thiat-yan menentukan tempat kalian bertemu?"   "Temui aku di kediamanku"   "Baiklah! pada waktunya aku pasti akan menemani Wie Kiehong datang kerumahmu"   Kata-kata ini jelas memiliki arti yang tersirat.   Walaupun ini urusan Wie Kie-hong, tapi dia tetap merasa harus ikut campur memberikan usulan.   Kedua orang itu lalu berjalan keluar dari hutan.   0-0-0 Setelah beberapa jauh keluar dari hutan, Mendadak Wie Kie-hong menghentikan langkahnya.   Dia bertanya dengan sungguh sungguh.   "Tu toako! coba kau tebak. Mengapa dia menyuruh kita pergi?"   "Mungkin dia memiliki rahasia yang tidak dapat diceritakannya pada kita"   "Sepertinya tidak demikian"   "Oh...? Kau pikir....?"   "Kalau kita tinggal disana, mungkin dia ingin melakukan hal yang agak kasar pada Cu Siau-thian, kita mungkin tidak bisa banyak membantunya. Tiga lawan satu, kalau berita ini tersebar keluar, sepertinya tidak akan enak di dengar, kalau membantunya, kita akan kesulitan menjelaskan pada orang lain. Mungkin dia ingin menghindari situasi yang canggung dengan kita. Karena itu dia berpikir untuk sekalian menyuruh kita berdua pergi."   "Kie-hong, sepertinya kau sangat menyukai Thiat-yan"   "Apakah kau tidak memiliki perasaan yang baik terhadapnya?"   "Sangat sulit dikatakan"   Tu Liong lalu mengesampingkan masalah ini dengan membuat sebuah pertanyaan baru.   "Mengenai masalah ayah kandungmu, kau percaya pada siapa?"   "Kata-kata siapapun bisa aku percaya, hanya kata-kata Cu Siau-thian yang tidak dapat dipercaya"   "Mengapa"   "Sangat sederhana, dia mengatakan kalau ayahku adalah prajurit Leng Souw-hiang. Kalau kata-kata ini dapat diandalkan, ayahku pasti diam diam memperhatikan gerakgerik Cu Siau-thian. Tadi ketika dia muncul, aku sudah membuat perkiraan, seharusnya ayah kandungku juga menunjukkan diri. di dunia ini tidak ada ayah yang tidak memperdulikan anaknya."   "Ugh.."   "Karena itu aku membuat kesimpulan kalau gosip yang mengatakan bahwa ayahku sedang berada dibawah tekanan Cu Siau-thian adalah yang paling bisa dipercaya"   "Kalau tebakanmu tepat, kira-kira bagaimana Thiat-yan akan menjawabmu nanti sore?"   "Kita tidak perlu menghabiskan tenaga untuk memikirkan hal ini"   "Kie-hong! Tiba-tiba saja aku mempunyai sebuah pemikiran"   "Pemikiran apa?"   "Bagaimana menurutmu kalau kita kembali masuk ke dalam hutan dan melihat-lihat?"   "Apakah kau mempunyai maksud khusus untuk melakukan hal ini?"   "Aku hanya merasa sekarang setelah kejadi-annya seperti ini, kita tidak seharusnya sembarang an mempercayai orang lain dengan mudah"   "Kau mencurigai Thiat-yan?"   "Aku mencurigai semua orang"   "Kita harus menjadi lelaki jantan"   "Seorang jantan memang mendapatkan kekaguman orang lain, tapi juga sering dipermainkan orang lain."   "Kalau kau ingin memaksa kembali melihat, aku akan menemanimu"   "Aku berani bertaruh. Sekarang ini Nona Thiat-yan dengan Cu Siau-thian pasti sudah tidak ada didalam hutan itu lagi."   "Benarkah?"   "Benar atau tidak kita akan segera tahu"   Kedua orang ini memutar tubuh dan kembali berjalan ke dalam hutan.   Tu Liong sungguh sangat pandai menebak situasi.   Ternyata memang benar ditengah hutan sudah tidak terlihat siapapun juga, hanya terdengar desir daun ditiup angin semilir.   Pada saat ini, tiba-tiba pada wajah Tu Liong terukir sebuah senyuman.   "Tu toako"   Wie Kie-hong bertanya "mengapa kau tersenyum?"   "Aku tersenyum karena ekor musang itu sementara waktu belum hilang, malah belum menampakkan diri, namun pada akhirnya pun pasti ketahuan"   "Apa arti kata-katamu?"   Wie Kie-hong memang lebih polos dibanding dengan Tu Liong. Dia tidak mengerti arti tersirat dari kata-kata yang sudah diucapkan Tu Liong.   "Kie-hong!"   Tu Liong tetap tidak mengatakan dasar dari misteri ini.   "sekarang kau pulang, Temui Leng Taiya, tanyakanlah padanya apakah dia bersedia mengikuti jejak Hui Taiya? tanyakan apakah dia sudah siap untuk menemui ajalnya ataukah dia lebih bersedia untuk menceritakan rahasia besar yang disimpannya selama bertahun tahun ini"   "Mengapa begitu? Pertanyaannya sangat tidak masuk akal, apakah kau tidak bisa menceritakannya dengan lebih jelas lagi? "Tidak bisa"   Tu Liong menggeleng-gelengkan kepalanya.   "Mengapa? Apakah kau tidak mempercayai ku?"   "Kie-hong, kita berdua memiliki perasaan yang sama, kita pun sangat kompak. Mengapa kau berpikir seperti ini? sebaliknya, aku ingin kau bisa percaya. Sekarang ini jangan bertanya alasannya, turutilah kata-kataku dan lakukanlah"   "Baiklah! kalau begitu dimana kita akan bertemu lagi?"   Tu Liong berpikir-pikir, setelah itu dia berkata.   "Kita bertemu di kedai teh 'Kie Cui' di Ong Oey Pho. Kita bertemu sebelum matahari tenggelam. Seperti biasa, jangan pergi sebelum bertemu"   "Baiklah, aku pasti akan datang secepatnya"   Wie Kie-hong melangkah cepat keluar dari hutan.   Cukup sulit mencari kereta kuda untuk kembali ke kota.   Setelah bersusah payah, dia memerintahkan kusir kereta segera pergi ke sepuluh gang kecil Setelah kembali ke tempat Leng, Wie Kie-hong segera datang ke kamar tidur ayah angkatnya.   Dia segera membuka pintu masuk kamar.   Leng Souw-hiang terlihat sedang berbaring di atas ranjangnya membelakangi Wie Kie-hong.   Sepertinya dia sedang tertidur lelap.   Wie Kie-hong tidak ingin membangunkannya.   Dia berdiri didepan ranjangnya sangat lama,, berharap ayah angkatnya sadar akan kehadirannya.   Setelah tidak sabar, dia berkata.   "Gihu, bangunlah"   "Tidak ada jawaban. Wie Kie-hong terus memanggilnya sampai tiga kali. setiap kali memanggil, dia menaikkan suaranya. Mendadak dia merasa bahwa ada sesuatu yang tidak benar. Dia segera mengulurkan tubuhnya untuk menggoyang tubuh ayahnya. Ketika dia melihat wajah Leng Souw-hiang yang sudah menjadi hijau, tanpa disadari dia menghela nafas dalam dalam. Ternyata Leng Souw-hiang sudah mati. Kedua matanya membelalak terbuka lebar. Dari sisi mulutnya mengalir darah. Wajahnya sudah berubah warna menjadi hijau. Tanpa diragukan lagi dia mati karena diracun. Di atas meja ada sebuah poci air panas. Di dalam gelas masih terisi air setengah penuh. Penutup pocinya sedikit miring. Sepertinya Leng Souw-hiang sendiri yang menuangkan air untuk diminum.... Apakah ada racun didalam airnya? Ini tidak benar. Tangan Leng Souw-hiang sudah tidak ada. Mana mungkin dia bisa menuang kan air minum?"   "Pelayan!"   Wie Kie-hong memanggil dengan suara yang ditekan rendah. Para penjaga pintu segera mendorong pintu kamar tidur dan masuk ke dalam "Setelah aku pergi, siapa yang datang ke dalam kamar ini?"   "Selain orang yang bertugas merawat Leng Taiya, tidak ada orang lain yang sudah masuk kemari"   "Dengarlah. Mulai sekarang jangan ijinkan siapapun masuk ke dalam kamar ini. suruh beberapa orang untuk menahan pelayan yang mengurus Leng Taiya. Jangan biarkan mereka pergi. Apakah kau mengarti?"   "Siauya, apa yang terjadi dengan tuan besar?"   Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Tidak ada apa-apa !"   Wie Kie-hong berusaha menutupi mayat Leng Souw-hiang dengan tubuhnya.   "Cepat kerjakan perintahku....ingatlah, selain orang orang kepercayaan yang sudah kupilih, siapapun tidakboleh tahu tentang hal ini..."   "Baiklah!"   "Aku ingin pergi sebentar, semua urusan harus menunggu keputusanku ketika kembali nanti."   "Baik"   Para penjaga pergi keluar.   Kepala Wie Kie-hong terasa sangat berat.   Siapa yang membunuh Leng Souw-hiang? Bagaimana mungkin tindak tanduknya secepat ini? Serentetan tanda tanya besar muncul didalam hati Wie Kiehong.   Dia sangat tidak sabar ingin segera bertemu Tu Liong dan menanyakan sampai jelas, tapi...   Perlahan lahan dia membuka pintu dan berjalan keluar.   0-0-0 Kedai teh 'Kie-cui' yang berada di dalam distrik Ong-huangpo adalah sebuah kedai teh kecil yang terletak di jalan yang berkelok-kelok.   Kedai teh ini adalah tempat orang-orang berkumpul.   Kalau ada tiga, lima orang sahabat yang sudah berjanji pergi bersama menjumpai gadis, mereka selalu berkumpul disini.   Setelah bertemu mereka pergi bersamasama.   Karena itu orang yang datang kemari hanya duduk duduk sebentar lalu pergi.   Walaupun Wie Kie-hong bukan orang yang senang membuang waktu mengunjungi kedai teh ini, tapi dia sudah lama tinggal di dalam kota.   Tentu saja dia mengerti tentang tempat ini sebelum datang mengunjunginya.   Hanya ada satu hal yang tidak dia mengerti.   Mengapa Tu Liong meminta untuk bertemu dengannya ditempat seperti ini? apakah dia sudah menganggap kalau tempat biasa mereka bertemu sudah tidak aman? Dia tidak memiliki harapan lain.   Dia hanya berharap sebelum lampu dinyalakan, dia bisa segera bertemu Tu Liong.   Ketika dia masuk kedalam kedai, pelayan yang bertugas menyuguhkan teh langsung mendekatinya dan menyapa dengan suara rendah.   "Apakah anda Wie Taiya?"   "Betul"   "Silahkan kemari"   Pelayan kedai teh membawanya masuk kedalam sebuah ruang minum, tidak disangka ternyata Tu Liong sudah sampai duluan dan sedang menung-gunya didalam.   "Tu toako....kau...."   Tu Liong mengibaskan tangannya, si pelayan kedai teh segera pergi keluar. Selain itu dia juga menurunkan tirai bambu. Sepertinya dia sudah kenal akrab dengan Tu Liong.   "Apakah kau sudah menemui ayahmu?"   "Sudah"   "Apa yang dia katakan?"   "Dia tidak mengatakan apa apa"   "Oh...!"   "Dia sudah mati diracun seseorang"   Tu Liong merasa seolah-olah ada jarum tajam menusuk kepalanya. Dia merasa kaget, tapi dia tetap tampak tenang.   "Mnghadapi masalah apapun kau tidak boleh terlalu berpandangan subyektif. Kematian Leng Taiya adalah kenyataan. Tapi belum tentu dia mati diracun orang, mungkin dia mati menyimpan dendam"   "Apakah maksudmu dia bunuh diri?"   "Mungkin juga. Dahulu pada jaman dynasti Ceng masih berjaya, kalau majikan menyuruh anak buahnya mati, anak buahnya tidak berani tidak mati. Karena itu kemanapun mereka pergi, mereka selalu membawa racun bersama mereka untuk digunakan pada waktu yang diperlukan. Leng Taiya adalah pengurus kerajaan. Tidak mungkin dia tidak menge-tahui hal ini."   "Tapi dia tidak memiliki alasan untuk bunuh diri"   "Mungkin juga dia ingin menghindari sesuatu"   "Tu toako, aku ingin bertanya tentang satu hal padamu, darimana kau tahu kalau Leng Taiya mati menyimpan dendam?"   "Cu Siau-thian sudah melemparkan semua kesalahan pada Leng Souw-hiang. Tentu saja dia harus membunuh Leng Souw-hiang agar hatinya tenang."   "Kalau menurut kesimpulanmu, berarti Leng Taiya tidak bunuh diri"   "Coba kau pikir. Orang lain bisa mem-bunuhnya dengan menancapkan pisau di leher, tapi tidak mungkin ada orang yang memaksanya untuk meminum racun. Kalau ada orang yang menumpahkan racun kedalam air minumnya diam-diam, asumsi ini pun tidak dapat diandalkan., lagipula keadaannya sangat mendesak. Kalau memang ada orang yang ingin membunuh Leng Souw-hiang, tidak mungkin meng-gunakan cara perlahan seperti ini."   "Kau mengatakan bahwa Cu Siau-thian yang ingin membunuh Leng Souw-hiang adalah satu hal, sedangkan kematian Leng Souw-hiang adalah hal yang lain. Apakah menurutmu kedua hal ini tidak saling berhubungan ?"   "Betul"   "Tu toako, aku selalu percaya padamu. Sekarang ini apa yang harus kita lakukan?"   "Pergi menemui Thiat-yan"   "Apakah aku pergi menemuinya seorang diri?"   "Ya. Tapi kau harus mengingat satu hal"   "Katakanlah"   "Kau jangan terlalu mempercayainya"   Wie Kie-hong membelalakkan kedua matanya. Secara tidak sadar dia menghembuskan nafas panjang. Dunia ini sungguh sangat menakutkan, sepertinya tidak ada satu orangpun yang bisa dipercaya.   "Kau kenapa?"   "Kata-katamu itu sungguh membuatku kaget"   "Mengapa?"   "Thiat-yan? dia...."   "Kau jangan bertanya apapun"   Mendadak Tu Liong berubah sikap menjadi sangat misterius "Semua orang selalu mendahulukan kepen-tingan pribadinya.   Setelah dia berhasil mendapatkan keuntungan, barulah dia memikirkan kepentingan orang lain.   Itu pun tidak akan sebanyak memper-dulikan kepentingannya sendiri, orang yang hanya memperdulikan kebaikan orang lain, bisa dikatakan tidak ada....Wie Kie-hong, dengarlah nasihat temanmu ini.   setiap saat, kapanpun dan dimanapun kamu jangan terlalu mempercayai orang, bahkan kamu pun tidak boleh mempercayaiku"   "Tu toako! kalau memang seperti ini, bukan kah dunia ini menjadi gila? dari kecil aku selalu meng- hormatimu, mengagumimu. Aku sudah menganggap-mu sebagai kakakku sendiri, sekarang bahkan kau pun tidak boleh aku percaya...."   "Ini hanya sebuah perumpamaan....baiklah ! kau cepatlah pergi. Sekarang ini aku bisa memberitahumu sebuah hal. Kemunculan nona Thiat-yan di hutan tadi adalah untuk menolong Cu Taiya"   "Oh...!"   "Dengan adanya kesimpulan ini, kau bisa mengambil sikap ketika bertanya padanya....hanya saja ada satu hal yang bisa membuatmu tenang. Dia tidak mungkin semudah itu menyuruh Boh Tan-ping melukaimu"   Wie Kie-hong tidak berkata apa-apa.   dia bergegas pergi.   Dia melangkahkan kakinya segera.   Langkahnya menggambarkan pikirannya yang tidak tenang.   0-0-0 Matahari mulai terbenam.   Ketika Wie Kie-hong sampai di gang San-poa, sudah ada beberapa rumah yang mulai menyalakan lampu.   Ini adalah waktu lampu mulai dinyalakan.   Nona Thiat-yan sudah berjanji akan memberi-tahu Wie Kiehong ketika lampu mulai dinyalakan.   Kalau begitu ini adalah waktu yang sangat tepat.   Pintu kediaman Boh Tan-ping terbuka.   Ada orang yang keluar menyambutnya, sekali melihat Wie Kie-hong, mereka langsung berkata.   "Wie Siauya, nona Thiat-yan sedang menunggumu"   Wie Kie-hong mengikuti para pelayan ini kedalam rumah. Dia digiring kedalam sebuah ruangan Thiat-yan sedang duduk didepan sebuah meja, bahkan dupa pengharum ruangan pun sudah dipersiapkannya.   "Nona Tiat!"   Wie Kie-hong berkata dengan dingin.   "melihat keadaan ini, sepertinya kau sudah mendapatkan informasi yang ingin aku dengar"   "Duduklah!"   Thiat-yan hanya mengatakan satu patah kata saja...   Wie Kie-hong duduk berhadap-hadapan dengan Thiat-yan.   Dia memandangnya dengan tatapan curiga.   Namun tatapan mata nona Thiat-yan sangat jernih.   Nona yang baik seperti ini pun bisa mem-bohonginya.   Bukankah dunia ini sudah gila? "Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan"   Thiat-yan berkata dengan lembut "Aku hanya sedang memikirkan satu hal"   "Kau sedang menebak kebohongan apa yang akan aku katakan untuk mengelabuimu"   "Tidak! kau bukan orang semacam itu"   "Apakah kau sungguh mempercayai setiap kata yang aku ucapkan?"   "Iya"   Sekarang Wie Kie-hong yang berbohong. Yang diucapkannya tidak sama dengan kata hatinya, dunia memang bisa merubah sifat dan karakter seseorang.   "Aku sangat senang....kalau begitu aku bisa langsung mengatakan yang sejujurnya padamu.... kira-kira ketika aku berumur sepuluh tahun, aku berkenalan dengan ayahmu....karena dia masih lebih kecil beberapa tahun dibandingkan ayahku, karena itu aku memanggilnya paman Wie. Dalam sepuluh tahun ini, kami terus saling berkomunikasi, bahkan dalam beberapa hari terakhir ini, kami selalu bertemu..."   "Benarkah?"   Mendengar kata-kata Thiat-yan, nafas Wie Kiehongmenjadi berat...   "Lihat dirimu. Kau sudah tidak memper-cayaiku"   "Aku percaya., aku percaya., aku percaya..."   "Tadi sebelum kau datang kemari, aku bahkan sudah menemui paman Wie"   Wie Kie-hong menahan nafas. Dia tidak berani mengeluarkan suara. Thiat-yan melanjutkan kata katanya.   "Paman Wie sudah menyuruhku memberitahukan, sekarang dia belum bisa menjumpaimu"   "Sampai kapan aku harus menunggu?"   "Sebentar lagi"   "Tidak bisa, aku harus segera menemui ayahku. Secepatnya! Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. walaupun waktunya hanya sebentar"   "Kau dengarkan dulu semua kata-kataku. Walau pun kau tidak bisa menunggu, kau pun tetap harus menunggu. Paman Wie masih menyuruhku menyampaikan dua masalah lagi padamu"   "Oh...? Masalah apa?"   "Pertama, di dalam kediaman Leng Taiya ada sebuah gudang barang-barang. Didalam gudang itu ada sebuah payung kertas. Payung ini tersimpan dalam sebuah kotak yang panjang. Payung ini adalah payung terkenal buatan daerah Ho Lam. Pada pegangan payung terdapat sebuah ukiran tulisan "Yap-yang-tiang-tai-san-ceng" (payung merk Yap-yang buatan Tiang-tai) yang dicap oleh sebuah besi panas. Kau bawalah payung ini padaku, nanti paman Wie pasti akan datang kemari untuk mengambilnya...."   Mendadak nona Thiat-yan berhenti berbicara Wie Kie-hong terdiam menunggu lanjutan kata-katanya.   "Kedua, sementara waktu dia ingin kau menjauhi Tu Liong...."   "Mengapa?"   Wie Kie-hong terlonjak kaget, kelihatannya seolah-olah dia meloncat dari tempat duduknya.   "Kau tidak usah bertanya. Ayahmu sudah memerintahkan begini. Apakah kau harus bertanya alasannya?"   "Bagaimana aku tahu kalau ayahku yang sudah mengatakan hal ini padamu?"   "Pertama kau pergilah mencari payung itu. kalau sudah ketemu, itu akan membuktikan kalau aku tidak sedang berbohong"   Kata katanya masuk akal Sekarang emosi Wie Kie-hong kembali mereda, dia berkata dengan lembut padanya.   "Nona Tiat, bukannya aku tidak percaya. Hanya saja kau sudah melakukan banyak hal yang menimbulkan kecurigaan orang lain. Sebagai contoh, tadi didalam hutan...."   "Terlalu kebetulan., benar tidak?"   "Kau diam-diam menolong Cu Siau-thian"   "Aku menyangkal"   "Kau tidak perlu menyangkal. Ini adalah kenyataan"   "Aku menyangkal kalau aku diam-diam menolong Cu Siauthian. Aku hanya mengaku tadi di hutan aku memang menyelamatkan nyawanya"   "Memang apa bedanya?"   "Menyelamatkan jiwa Cu Siau-thian bukan berarti aku sedang menolong dirinya, tapi karena saat ini dia belum boleh mati. Kalau aku tidak menampak-kan diriku, mungkin kau sudah berhasil membunuh-nya tadi."   Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Tapi kau tidak seharusnya melepaskan dia"   "Sebenarnya memang aku ingin menangkap nya, tapi aku menggunakan taktik dan pura-pura melepasnya. apa kau tidak mengerti?"   "Aku tidak mengerti"   "Sekarang ini tidak perlu mendebatkan hal ini, pergilah mencari payung kertas yang tadi kuceritakan. Hanya payung itulah yang bisa membuktikan apakah kata-kataku selama ini bisa dipercaya atau tidak..."   "Baiklah! Apa kau akan menungguku disini?"   "Tentu saja, kalau kau bisa membawa payung itu padaku, kau bisa membuktikan kalau aku tidak berbohong padamu. Setelah itu masih banyak hal yang perlu kita bicarakan."   Wie Kie-hong segera pergi, dia bertekat untuk cepat pulang, agar cepat kembali.   Dia ingin segera menyelesaikan semua masalah dalam hati.   0-0-0 Ternyata kediaman Leng masih dijaga dengan ketat.   Berita kematian Leng Taiya karena diracun tidak diketahui oleh sembarang orang, para pelayan yang mengurus Leng Taiya, dalam pengawasan orang-orang Wie Kie-hong tidak menunjukkan gerak-gerik yang mencurigakan.   Wie Kie-hong segera pergi ke gudang penyimpanan barang-barang.   Gudang ini sangat besar, dia segera membongkar barang-barang disana, berusaha menemukan kotak payung.   Sepertinya pencarian ini akan sangat sulit, namun setelah sekian lama mencari kesana-kemari, akhirnya Wie Kie-hong berhasil menemukannya.   Dia membuka kotak pembungkus kertas.   Didalamnya bau minyak menusuk hidung, setelah bertahun tahun ini, payung kertas ini masih tampak baru.   Dia lalu memeriksa pegangan payungnya, disana memang terukir kata-kata seperti yang diucap-kan Thiat-yan.   Kata-kata ini terukir oleh besi panas.   Nona Thiat-yan tidak sedang berbohong.   Dia tidak mungkin tahu ada barang seperti ini didalam gudang barang-barang Leng Souw-hiang.   Dia sendiri pun tidak tahu.   Dia segera kembali ke gang San-poa.   perasaan Wie Kiehong kembali berubah.   Sekarang ini dia sama sekali tidak menaruh curiga pada Thiat-yan.   tapi....   Mendadak Wie Kie-hong tertegun Kalau kata-kata Thiat-yan bisa dipercaya, berarti Tu Liong sudah berbohong padanya.   Apakah dia sudah salah membuat tebakan? Ataukah dia sedang berusaha membelokkan kenyataan? Terlebih lagi menurut Thiat-yan, ayahnya juga sudah menyuruhnya sementara waktu ini tidak menjumpai Tu Liong.   Mengapa dia harus menyuruhnya seperti ini? Di sebelah kiri sebuah pertanyaan, di sebelah kanan sebuah tanda tanya yang lain.   Keduanya menjepit dirinya dengan kuat.   Dia hampir tidak bisa melanjutkan langkahnya.   Mendadak dibelakangnya terdengar suara seseorang menyapanya...   'Apakah anda tuan muda dari kediaman keluarga Leng?"   "Siapa?"   Segera Wie Kie-hong membalikkan tubuh dan melihat kebelakang. Gerakan orang ini pun tidak kalah cepat. Seolah-olah dia selalu berada dibelakang Wie Kie-hong, kemanapun dia menghadap.   "Wie Siauya tolong jangan membalikkan tubuhmu."   "Kau siapa?"   "Jangan perdulikan siapa diriku. Aku hanya punya tiga pertanyaan untukmu. Pertanyaan pertama, apakah ayah angkatmu Leng Souw-hiang sudah mati?"   "Tidak salah"   "Dimana Cu Taiya?"   "Tidak tahu"   "Apakah kau sekarang mau bertemu Thiat-yan?"   "Betul"   "Untuk menunjukkan rasa terimakasih ku, aku ingin memberimu sebuah peringatan. Jangan pergi ke gang Sanpoa"   "Kenapa?"   Tidak ada jawaban "Tolong beritahu kenapa aku sebaiknya tidak pergi ke gang San-poa"   Tetap tidak ada jawaban.   Dia hanya bisa mengira-ngira orang yang sudah menyapanya dari kesan suaranya.   Orang tadi berumur sekitar empat sampai lima puluh tahun.   Suaranya terdengar tua dan serak.   Itu adalah suara yang unik.   Sepertinya dia sudah pernah mendengar suara ini sebelumnya.   Kalau ada kesempatan bertemu dengannya lagi, dan berbicara, dia pasti akan mengenali suaranya.   Sekali lagi pendirian Wie Kie-hong menjadi goyah.   Sebenarnya apakah dia harus pergi ke gang San-poa menemui nona Thiat-yan? Dia membuat keputusan.   Dia tidak memiliki alasan apapun untuk mempercayai seseorang yang tidak dikenalnya.   Lagipula ayahnya menginginkan payung ini.   bagaimanapun dia harus mengantarnya pada nona Thiat-yan Thiat-yan sedang menunggunya.   Setelah melihatnya dia membawa kotak kertas berisi payung, dia langsung menyambutnya dengan girang.   "Kau sudah menemukannya"   Wie Kie-hong menyerahkan kotak payung ini pada Thiatyan.   Thiat-yan menerima kotak kertas ini, dan mengeluarkan payung dari dalamnya.   Setelah itu dia membuka payung, lalu dia meneliti pegangan payung dengan seksama.   Seolah-olah pada gagang payung itu sudah terukir lukisan cantik Terakhir dia mulai mempreteli pegangan payung.   Sebentar saja pegangan payung sudah terbelah menjadi dua bagian.   Pegangan payung terbuat dari bambu.   Didalam pegangan itu kosong.   Thiat-yan menggunakan kelingkingnya mengorek ngorek kedalam lubang.   Ternyata dia berhasil mengeluarkan sebuah gulungan kertas.   Dia berteriak kegirangan seperti orang gila.   Dia segera membuka gulungan kertas.   Setelah itu dia segera menggulungnya kembali, seolah-olah dia takut Wie Kie-hong melihat rahasia yang tertulis didalamnya.   Wie Kie-hong terus memperhatikan gerak gerik nya.   Dia ingin tahu sebenarnya apa yang sedang terjadi, tapi dia tidak mampu melihat rahasia apa yang tertulis didalam gulungan kertas yang sudah dibaca Thiat-yan.   "tidak salah... memang payung yang ini.... memang payung yang ini...."   "Nona Tiat! bagaimana kau bisa tahu kalau payung ini adalah payung yang diinginkan oleh ayahku?"   "Paman Wie sudah memberitahuku rahasia payung ini"   "Tapi kau tidak memberitahuku"   Dari mata Thiat-yan yang terbelalak besar, perlahan-lahan tatapan matanya berubah menjadi lembut. Kata-katanya pun berubah menjadi lembut.   "Wie Kie-hong, kau adalah seorang pemuda yang sangat menjunjung harga diri, karena itu aku tidak menceritakan semua yang sudah diberitahukan oleh paman Wie padaku. Dia tidak berani memastikan bahwa kau akan bisa memutuskan hubunganmu dengan Tu Liong. Karena itu untuk sementara waktu banyak hal yang tidak bisa diceritakan padamu."   "Aku akan bertanya sekali lagi padamu. Apakah semua ini memang dikatakan oleh ayahku padamu?"   "Tidak salah. Aku tidak mungkin membo-hongimu"   "Baiklah. Asal semua itu memang sungguh dikatakan oleh ayahku, aku pasti akan menghormatinya. Sekarang aku berusaha menghindari Tu Liong, hanya saja ada satu hal yang ingin kujelaskan. Kalati suatu saat nanti aku menemukan bahwa kau sedang menggunakan nama ayahku untuk memper-alatku, aku tidak akan melepaskanmu dengan mudah.   "Kie-hong, aku tidak menyalahkanmu mengata kan hal ini. kalau keadaannya dibalik aku yang mengalaminya, aku juga pasti akan merasa hal yang sama dengan dirimu. Baiklah. Sekarang pulanglah dan kerjakan hal yang seharusnya kau kerjakan"   "Mengerjakan apa?"   "Mengabarkan berita duka"   "Mengabarkan berita duka?"   "Betul"   "Apakah ini juga perintah ayahku?"   "Betul"   Wie Kie-hong mendengarkan semua kata kata ini dan melakukannya sesuai petunjuk.   Dia segera pulang ke kediaman Leng Taiya, dan segera menyuruh orang mempersiapkan upacara duka cita.   0-0-0 Menurut cerita yang beredar, setelah Tu Liong meninggalkan Wie Kie-hong, dia merasa kehilangan pegangan.   Dia tidak tahu harus berbuat apa.   karena itu dia pergi ke daerah Tian Jiao dan menginap di sebuah losmen kecil.   Dia hanya sempat beristirahat sebentar.   Tidak lama sudah tiba jam makan malam.   Dia lalu membeli makanan yang dijumpainya untuk mengganjal perutnya.   Setelah itu dia segera pergi kembali ke sepuluh gang kecil empat komplek rumah mewah tempat kediaman Leng Taiya.   Dia selalu mengkhawatirkan keadaan Wie Kie-hong.   Dia selalu memikirkan bagaimana hasil Wie Kie-hong menemui Thiat-yan untuk berbincang bincang.   Dari kejauhan dia melihat sebuah spanduk besar bertuliskan "turut berduka cita"   Tu Liong langsung merasa kaget.   Hal ini diluar dugaannya.   Wie Kie-hong memutuskan sementara waktu tidak akan mengabarkan kematian Leng Souw-hiang pada khalayak umum, mengapa sekarang tiba-tiba dia berubah pikiran? Dia harus segera bertanya padanya.    Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Sekarsih Dara Segara Kidul Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini