Ceritasilat Novel Online

Pedang Darah Bunga Iblis 18


Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH Bagian 18


Pedang Darah Bunga Iblis Karya dari G K H   Maka pada saat2 sebelum berpisah ini baru dia sadar, sebenarnya bahwa hatinya juga mencintai Pit Yau ang.   Sejak mengetahui seluk beluk duduk perkara sesungguhnya, rasa gusarnya sudah lenyap seluruhnya, dan kini berganti suatu perasaan berat dan menderita, pukulan batin yang kontras.   Tapi dia tidak bisa tidak harus berpisah, sebab lebih banyak atasan yang harus memisahkan dengan istrinya ini.   Pit Yau ang mengeluarkan pakaian asal Suma Bing terus diangsurkan kepadanya, lalu membantunya berganti dan katanya.   "Engkoh Bing, apa kau benci aku?"   Suma Bing menjawab sungguh.   "Memang begitulah sebelum ini. Tapi sekarang tidak!"   "Kau tidak membenci aku?"   "Malah aku harus berterima kasih akan bantuanmu ini, ini takkan terjadi pada wanita umumnya."   "Kuharap kau tetap ingat kepadaku..."   "Aku pasti!"   Tanpa terasa dipeluknya Pit Yau ang, bibir bertemu bibir mereka berciuman dengan gairahnya.   Selama tiga hari setelah mereka menikah baru sekali inilah mereka sama2 merasakan kenikmatan dan kemesraan yang takkan terlupakan lagi.   Tapi bagi Pit Yau ang ciuman ini merupakan ciuman perpisahan yang sedih dan meluluhkan hatinya.   Sebab saat itu juga sang suami harus meninggalkan dirinya.   Tangan bergandeng tangan mereka sudah melewati berbagai penjagaan ketat dari tempat2 terlarang, lahirnya mereka ber-cakap2 dan bersendau gurau bersenang hati, tapi batin mereka sangat tertekan.   Tidak lama kemudian mereka tiba disebuah kamar buku yang penuh rak2 yang berjajar.   Pit Yau ang langsung ulurkan sebuah tangan menekan salah sebuah buku yang ber-jajar2 itu, seketika rak buku itu bergeser mundur dan terluanglah sebuah pintu.   Tanpa membuka suara Suma Bing mengintil terus dibelakang Pit Yau ang, mereka terus memasuki sebuah lorong panjang yang belak belok, melewati undakan yang menanjak naik me-lingkar2 semakin tinggi, kira2 sepeminuman teh kemudian baru mereka sampai diujung lorong.   Begitu menggerakkan alat2 rahasianya, diatas lorong itu segera terbuka sebuah lobang sebesar dua kaki persegi.   Sekali loncat Pit Yau ang melesat keluar.   Bergegas Suma Bing juga ikut loncat keluar, seketika ia berdiri mematung kesima.   Ternyata tempat dimana mereka berada sekarang ini adalah didalam ruang sembahyang sebuah kelenteng yang bobrok dan tidak terurus lagi, dan lobang itu tepat berada dibawah patung pemujaan yang kini sudah bergeser kesamping.   Suma Bing menjadi heran, tanyanya.   "Apa disini tiada orang jaga?"   "Tidak, jalan rahasia ini hanya para Tongcu dan pejabat lebih tinggi saja yang mengetahui, selamanya jarang digunakan, maka tidak gampang diketemukan. Apalagi tempat ini berada dialas pegunungan yang jarang didatangi manusia!"   "Jadi perkampungan bumi dibangun dibawah tanah?"   "Tidak salah, didalam bumi!"   "Bagi kaum persilatan, dipandangnya Te po sebagai tekateki!"   "Ini tidak dapat menyalahkan mereka, selamanya perkampungan kita jarang turut campur dalam segala pertikaian didunia persilatan. Seumpama petugas kita kelana di kalangan Kangouw juga tidak pernah memperkenalkan diri, maka yang mengetahui boleh dikata sangat jarang!"   Pada saat itulah, sebuah suara berat dan kereng mendadak terdengar dibelakang mereka.   "Budak kurang ajar, sungguh besar nyalimu!"   Kontan berobah pucat wajah Pit Yau ang, beruntun mundur tiga langkah, matanya ketakutan memandang kearah pintu kelenteng.   Suma Bing juga cepat2 membalik tubuh dan memandang kedepan, tidak terasa semangatnya juga serasa terbang.   Entah kapan datangnya ternyata Te kun sudah berdiri diambang pintu, sinar matanya memancarkan kegusaran yang me-nyala2.   Ter-sipu2 Pit Yau ang menekuk lutut menyembah, mulutnya berseru.   "Ayah!"   Agaknya Te kun benar2 murka sekali, serunya.   "Budak, apakah maksudmu sebetulnya, berani terang2an melanggar pantangan undang2 perkampungan, juga berani mendurhakai orang tua?"   "Yah, anak terpaksa berbuat begini..."   "Maksudmu dia menekan kau?"   Sinar mata Te kun bagai kilat menyapu kearah Suma Bing, tanpa terasa bergidik Suma Bing dipandang sedemikian rupa. Pit Yau ang menjawab gemetar.   "Dia tidak menekan anak!"   "Jadi ini keluar dari tujuanmu sendiri?"   "Anak pernah melulusi mengantar dia keluar di kalangan Kangouw untuk menyelesaikan tugas sucinya menuntut balas bagi perguruan dan orang tuanya!"   Wajah Te kun semakin membesi.   "Bagaimana bunyi undang2 ketiga?"   Seketika pucat pasi wajah Pit Yau ang, pekiknya menyedihkan.   "Ayah!"   "Katakan, bagaimana bunyi peraturan ketiga?"   "Apa ayah tidak mengingat hubungan ayah dan anak lagi?"   "Peraturan tidak boleh dilanggar!" 34 KANG KUN LOJIN BERKISAH. Suma Bing menjadi serba salah dan runyam keadaannya, tidak enak pula dia turut campur bicara. Wajah Pit Yau ang yang pucat pasi itu mendadak berubah merah membara mengandung tekad yang besar, sekilas ia lirik Suma Bing, lalu berkata sepatah demi sepatah.   "Peraturan ketiga berbunyi. Barang siapa sengaja melanggar harus dihukum mati!"   Tiba2 gemetar tubuh Suma Bing, apa Te kun sudah tidak peduli lagi akan hubungan antara ayah dan anak dan benar2 hendak menghukum Pit Yau ang menurut undang2 dari Te po.   Kalau ini sampai terjadi, pangkal dari semua peristiwa ini adalah karena dia yang menjadi biang keladi, mana bisa dirinya tinggal berpeluk tangan saja.   Dengan nada suara yang mendebarkan orang Te kun berkata.   "Kau sudah tahu itulah baik..."   "Yah, anak ada satu permintaan!"   "Katakan!"   "Anak rela dihukum karena batas2 undang2 perkampungan, tapi aku harap ayah dapat melepaskan Suma Bing, meskipun mati anak juga sangat berterima kasih..."   "Tidak mungkin terjadi!"   Suma Bing melangkah setindak, jengeknya dingin.   "Akulah yang memaksanya berbuat demikian."   Te kun menggeser tubuh menghadapi Suma Bing, sinar matanya mencorong setajam ujung pedang, bentaknya bengis.   "Kau yang paksa dia?"   "Tidak salah!"   "Cara bagaimana kau paksa dia?"   "Mengandal kekuatanku!"   "Tutup mulut, berani kau berbohong dihadapanku?"   "Apa yang kau anggap aku berbohong?"   Te kun mendengus lalu berkata.   "Tentang ilmu silat kau masih terpaut sangat jauh dibanding budak kurangajar ini, setelah kau minum Te liong po hiat, meskipun tenaga dalammu bertambah berlipat ganda, tapi latihan dan kepandaian sejati kau masih bukan tandingannya. Berani kau membual hendak menipu aku, dengan kemampuanmu pasti tidak mungkin menundukkan dia, apalagi jalan rahasia ini penuh jebakan dan alat2 rahasia, dimana2 dipasang peluit tanda bahaya, kalau dia tidak sengaja hendak membangkang, seumpama tumbuh sayap juga jangan harap kau dapat terbang keluar!"   Saking malu merah padam wajah Suma Bing bantahnya.   "Lalu Te kun hendak apa?"   "Kedudukanmu saat ini sudah jadi salah satu dari kerabat perkampungan bumi, kalian berdua harus menjalani hukuman yang sama."   Suma Bing mengertak gigi, semprotnya.   "Aku yang rendah sekarang hendak menentang"   "Sekali lagi kau berani mengatakan 'aku yang rendah' biar Pun te kun (aku sang raja) membunuhmu lebih dulu!"   "Aku yang..."   "Bedebah!"   Dibarengi bentakan makian ini, Te kun langsung memukul kearah Suma Bing. Tercekat hati Suma Bing, baru saja tangannya diangkat...   "Ayah!"   Ditengah pekikan yang memilukan ini secepat kilat mendadak Pit Yau ang melesat menghadang dan memapak kearah angin pukulan Te kun.   Perbuatan nekad ini benar2 diluar dugaan siapapun.   Dalam gusarnya Te kun melancarkan pukulan sepenuh tenaga mana mungkin dapat ditarik kembali.   'Blang!' terdengar pekik kesakitan yang menusuk telinga tubuh Pit Yau ang yang ramping itu kontan terbang jauh keluar halaman kelenteng.   Tampak sebuah bayangan berkelebat, ternyata Suma Bing gunakan gerak kelit dari Bu siang sin hoat, sekali berkelebat tiba diluar kelenteng dan tepat menyambuti tubuh Pit Yau ang yang hampir terbanting keras ditanah.   "Gerak tubuh yang hebat!"   Seorang tua berpakaian sebagai pertapa tiba-tiba muncul bagai bayangan setan! "Engkoh Bing,"   Panggil Pit Yau ang lantas mulutnya menguak menyemprotkan darah segar, orangnya juga segera jatuh pingsan. Hati Suma Bing seperti di-sayat2, tubuhnya bergetar dan hampir mengejang.   "Pit lote, begitu tega kau turun tangan terhadap anakmu sendiri?"   Waktu Suma Bing berpaling, terlihat seorang tua berjenggot panjang menjulai sampai diperutnya, mengenakan baju bersulam patkwa, kepalanya diikat kain sutera, di tangannya menggenggam sebuah kipas, sikapnya angker laksana seorang pertapa sakti siapa berdiri lima kaki dibelakangnya.   Seruan memuji bernada kagum tadi agaknya keluar dari mulut orang tua ini.   Sebab seluruh perhatiannya ditujukan kepada Pit Yau ang, maka dia tidak hiraukan seruan tadi.   Dilihat dari cara orang berpakaian dan sikapnya ini diam2 benak Suma Bing tidak tentram.   Siapa dia? Te kun raja yang dipertuan agung dari Te po ternyata dipanggilnya saja sebagai Lote (adik tua).   Saat mana rona wajah Te kun tidak menentu susah diselami, dia berdiri mematung tanpa mampu buka suara.   Pikiran Suma Bing berkelebat cepat, batinnya, apa mungkin dia ini? Teringat olehnya waktu dulu si maling bintang Si Ban cwan menyamar menjadi Kang kun Lojin menggebah lari Si tiau khek itu.   Konon kabarnya bahwa Kang kun Lojin sudah meninggal dunia pada empat puluh tahun yang lalu, tapi bentuk wajah dan cara berpakaian orang tua ini benar2 serupa dan persis benar dengan penyamaran si maling bintang dulu.   Apa mungkin kabar di kalangan Kangouw itu adalah bohong belaka, dan ternyata si orang tua ini masih sehat waalfiat hidup didunia ini? Karena pikirannya ini, tercetus seruan mulutnya.   "Apakah nama julukan Lo cianpwe adalah Kang kun Lojin?"   Orang tua berjenggot putih itu bergelak tawa sekian lamanya, lalu ujarnya.   "Buyung, pengalamanmu luas juga!"   Sebaliknya Suma Bing malah tertegun, tidak terduga olehnya bahwa orang tua ini ternyata betul2 adalah Kang kun Lojin yang sangat kenamaan diseluruh dunia.   Situasi ketegangan mulai mereda setelah Kang kun Lojin mendadak muncul.   Dengan tajam Kang kun Lojin pandang Pit Yau ang yang rebah dalam pelukan Suma Bing, lalu alis dikerutkan katanya kepada Te kun.   "Lote, apakah yang telah terjadi?"   Te kun menghela napas panjang, sahutnya.   "Loko (saudara tua), dia inilah menantu dan ahli waris raja Suma Bing yang terpilih menurut undang2 tradisi kita!"   "Tepat, berbakat dan bertulang bagus, pandanganmu benar2 hebat!"   "Budak itu sendirilah yang memilihnya!"   "O, jeli dan tajam benar pandangan budak ini!"   Agaknya Te kun enggan mempersoalkan semua apa yang sudah terjadi dihadapan Suma Bing, maka lantas digunakan ilmu Coan im jip bit bercerita kepada Kang kun Lojin yang terakhir baru dia berkata keras.   "Loko urusan ini biarlah kuserahkan kepadamu bagaimana?"   Kang kun Lojin menggoyang2 kipas, katanya.   "Aku juga ada sedikit urusan dengan engkoh kecil ini. Baiklah, biarlah urusan ini engkoh tuamu ini yang tanggung." "Kalau begitu terima kasih!"   "Tidak perlu, bawalah budak kecil itu pulang, lukanya tidak ringan!"   Dari samping Suma Bing semakin keheranan, agaknya dengan beberapa patah kata saja Kang kun Lojin sudah dapat membujuk Te kun.   Kang kun Lojin maju memayang tubuh Pit Yau ang dengan sebuah tangannya dia raba pernapasannya sebentar lalu diserahkan kepada Te kun, berputar lalu menghadap Suma Bing, katanya.   "Buyung, aku orang tua tidak memaksa kau, kalau kau rela, berlutut dan minta maaflah kepada mertuamu!"   Selamanya sifat Suma Bing sangat angkuh dari pembawaan lahir, sebenarnya hatinya hendak membangkang, tapi karena budi Pit Yau ang terhadapnya sedemikian besar serta memandang muka Kang kun Lojin maka terpaksa dia menurut berlutut dan berseru.   "Harap Te kun suka memberi ampun!"   Dia tidak mau menyebut 'Gak tio' atau mertua dan menyebut diri pribadi sebagai siau say atau menantu. Terang bahwa permintaan maafnya ini adalah sangat terpaksa. Te kun ulapkan sebelah tangan dan berseru.   "Sudahlah, bangun!"   Kang kun Lojin mengebutkan kipasnya dan berkata.   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Buyung, mari kita pergi!"   Habis berkata ringan sekali tubuhnya melayang keluar kelenteng.   Penuh keheranan dan tak mengerti Suma Bing kesima memandang bayangan punggung Kang kun Lojin.   Lalu dipandangnya Pit Yau ang yang masih pingsan itu lekat2, sekali berkelebat tubuhnya juga melenting keluar kelenteng.   Kelenteng bobrok ini dibangun diatas gundukan tanah gundul dilamping sebuah gunung, empat penjuru adalah semak belukar, tempat ini benar2 sangat liar dan sunyi tersembunyi.   Kang kun Lojin sudah menanti diluar kelenteng tangannya menunjuk kepuncak sebelah kiri sana serta berkata.   "Buyung mari kita kepuncak gunung itu untuk bicara!"   Suma Bing manggut2 tanpa bersuara.   Dua bayangan secepat kilat terbang menuju kepuncak gunung yang ditunjuk tadi.   Dengan kehebatan ilmu ringan tubuh mereka dalam sekejap saja mereka sudah tiba di puncak gunung itu.   Ternyata puncak ini merupakan puncak tertinggi dari puncak2 tetangga sekelilingnya.   Mereka mencari duduk diatas sebuah batu.   Suma Bing membuka mulut lebih dulu.   "Entah Locianpwe ada petunjuk apa?"   Sambil me-ngelus2 jenggotnya, Kang kun Lojin berkata sungguh.   "Buyung, apa kau tahu mengapa orang tua reyot seperti aku yang sudah lama mengasingkan diri ini, mau muncul lagi didunia Kangouw?"   "Hal ini wanpwe tidak tahu!"   "Karena masih ada sebuah angan2 yang belum terlaksana!"   "Angan-angan?"   "Benar, inilah buah yang kutanam secara tidak sengaja, sehingga sampai sekarang masih belum bisa dibikin terang, terpaksa maka aku harus berkelana lagi di Kangouw untuk menyelesaikan urusan itu. Ini boleh dikata suatu akibat, aku orang tua bukan dari agama Buddha, tapi mengenai hukum sebab dan akibat atau juga dinamakan hukum karma hitung2 sekarang aku sudah mulai melek dan dapat menyelaminya!"   Suma Bing manggut2 hampa, entah mengapa dia tidak tahu orang tua dihadapannya ini kok berbicara persoalan sebab musabab dengan dirinya. Setelah merandek sebentar lantas Kang kun Lojin melanjutkan.   "Buyung, apa kau sudi melakukan sesuatu untuk aku orang tua?"   Suma Bing melengak heran, tanyanya.   "Urusan apakah yang harus wanpwe lakukan?"   "Menyelesaikan sebab dan akibat ini!"   "Coba Locianpwe terangkan!"   "Itulah tentang hilangnya Bu siang po liok dari Siau lim sie!"   Suma Bing melonjak kaget, serunya.   "Bu siang po liok?"   "Sedikitpun tidak salah!"   "Ini... wanpwe masih belum jelas!"   "Buyung, dihadapanku jangan kau pura2 main tidak tahu dan main sembunyi."   "Apakah yang Locianpwe maksudkan?"   "Yang kumaksudkan adalah Bu siang po liok itu?"   "Hakekatnya memang wanpwe tidak mengetahui!"   Mata Kang kun Lojin dipentang lebar, sorot matanya nanap mengawasi wajah Suma Bing, sampai sekian lama tidak berkedip, agaknya tengah menyelami hati kecilnya, lama dan lama kemudian baru dia pejamkan mata dan berkata.   "Apa benar2 kau tidak tahu menahu tentang persoalan ini?"   "Memang aku tidak tahu!"   Jawab Suma Bing sejujurnya. Kang kun Lojin manggut2, seperti menggumam ia berkata seorang diri.   "Ai, mungkin peristiwa itu belum pernah dia tuturkan kepada anak muridnya..."   Dari Bu siang po liok empat huruf ini sedikit banyak Suma Bing sudah dapat menebak persoalannya, maka tercetus pertanyaan dari mulutnya.   "Siapakah yang Locianpwe maksudkan?"   Mendadak Kang kun Lojin berkata penuh haru.   "Buyung bagaimanapun juga, urusan ini hanya kau seorang yang dapat menyelesaikan, sudah tentu, harus kulihat apakah kau rela melakukannya!"   "Mengapa Locianpwe tidak jelaskan lebih terang?"   Kang kun Lojin mendongak kelangit, janggut panjangnya bertebaran dihembus angin pegunungan, katanya dengan suara rendah.   "Buyung, dengarkanlah sebuah cerita pada seabad yang lalu..."   Suma Bing mengangguk dengan bersemangat, dia maklum bahwa cerita itu pasti mengenai suatu kejadian rahasia di Bulim, mungkin ada sedikit atau banyak dirinya tersangkut didalamnya akibat dari ekor peristiwa itu.   Kedua mata Kang kun Lojin mendelong mengawasi langit, mulailah dia bercerita.   "Seabad yang lalu, didunia persilatan muncul tiga muda mudi yang berkepandaian sangat tinggi dan malang melintang tiada tandingan, mereka dinamakan Bu lim sam ki. Sebenarnya Sam ki berpencar dan kenamaan didaerah masing2. Dalam suatu kesempatan yang tidak disengaja Sam ki bertemu tanpa berjanji sebelumnya. Sungguh diluar dugaan bahwa salah satu dari Sam ki atau tiga aneh itu ternyata adalah seorang perempuan yang cantik..."   Sampai disini tidak tahan lagi segera Suma Bing ajukan pertanyaan.   "Setelah Sam ki kenamaan, apa dalam dunia, persilatan masih belum ada yang tahu bahwa salah satu dari mereka adalah perempuan?"   "Kau berkata benar, sebelum Sam ki bertemu memang betul2 tiada seorang jua yang tahu, sebab biasanya dia menyamar sebagai pemuda!" "Waktu dua yang lain mengetahui bahwa seorang yang lain ternyata adalah perempuan, mulailah mereka berlomba hendak mengambil hatinya maka terjadilah percintaan segitiga yang merisaukan. Kedua pemuda itu sama2 ganteng dan cakapnya, ilmu silatnya juga sudah sempurna. Maka perempuan itu susah mengambil keputusan positip diantara mereka berdua. Maka akhirnya kedua pemuda itu mengadakan perundingan rahasia untuk menyelesaikan urusan secara jantan dengan pertempuran adu silat, bagi yang kalah harus bersumpah untuk tidak muncul lagi didunia persilatan selama hidup ini...   "Waktu pertempuran berjalan dengan seru, masing2 bertempur mati2an untuk merobohkan lawannya, tiada salah satu pihak yang mau mengalah, hampir saja waktu mereka bakal gugur bersama, mendadak perempuan itu muncul dan menghentikan pertempuran berdarah itu akhirnya perempuan itu mengajukan cara2 bijaksana untuk menyelesaikan pertikaian ini..."   "Cara apakah itu?"   "Perempuan itu berharap dapat melatih semacam ilmu gerak tubuh yang hebat tiada taranya, untuk menambal kekurangannya sebagai perempuan. Menurut kabarnya bahwa dalam perpustakaan rahasia dikuil Siau lim si ada se   Jilid buku yang dinamakan Bu siang po liok, buku ini khusus mencatat tentang ilmu gerak tubuh yang diharapkan itu.   Karena arti dalam buku catatan itu sangat dalam dan susah dimengerti, maka sampai pemiliknya sendiri yaitu para padri Siau lim si juga tiada seorang juga yang mampu mempelajari, sudah berabad lamanya tiada orang yang sempurna mempelajari ilmu ini.   Justru perempuan itu minta kedua pemuda itu menuju ke Siau lim si untuk mencuri buku pelajaran itu, siapa mendapatkan lebih dulu, dia rela menjadi istrinya untuk se- lama2nya...   "Lalu bagaimana akhirnya?"   Tanya Suma Bing ketarik benar. Agaknya Kang kun Lojin harus memeras keringat untuk mengenang lagi cerita masa silam itu, setelah berhenti sekian lamanya baru dia menyambung lagi.   "Karena 'cinta' kedua pemuda itu rela dan tega melakukan perbuatan rendah yang paling dipandang hina oleh kaum persilatan, mereka menyamar dan mengenakan kedok, masing2 menggunakan caranya sendiri menuju ke Siau lim si..."   "Akhirnya salah satu diantara mereka mendapat hasil?"   "Memang, salah satu diantara mereka berhasil dengan gemilang, tapi salah seorang yang lain bukan saja tidak berhasil malah terkepung dan mendapat luka berat dibawah keroyokan padri2 Siau lim sie, walaupun akhirnya dapat melarikan diri tapi sejak itu dia menjadi tanpa daksa alias cacat seumur hidup!"   Sudah tentu pemuda yang berhasil itu dengan perempuan..."   "Kau dengar saja ceritaku. Waktu pemuda yang berhasil itu mengetahui bahwa saingannya itu sampai terluka berat dan menjadi tanpa daksa, hatinya turut berduka dan menyesal, dia merubah tujuannya yang semula, bukan saja ia menyesal akan perbuatannya yang gila2an dan hina dina ini, disamping itu dia juga tidak puas akan sikap dan tindakan perempuan itu yang menggunakan cara demikian keji untuk menguji mereka. Maka diberikan Bu siang po liok yang berhasil dicurinya itu kepada pemuda saingannya yang cacat itu, terus tinggal pergi dan tidak pernah muncul lagi..."   Tanpa terasa Suma Bing memuji kagum.   "Sungguh mengagumkan sikap gagah dan kebajikan hati pemuda itu."   "Ya, tapi waktu dia mengambil kepastian ini betapa pahit getir dan berduka hatinya"   "Selanjutnya bagaimana?" "Sudah tentu pemuda cacat itu menikah dengan perempuan itu. Mereka mengundurkan diri untuk mempelajari isi dari pelajaran Bu siang po liok itu. Maka sejak itu kalangan Kangouw kehilangan jejak Bu lim sam ki, lambat laun ketenaran nama Bu lim sam ki menjadi luntur dan hilang dilupakan orang ditelan masa..."   Baru sekarang Suma Bing paham, pasti perempuan diantara Bu lim sam ki itu adalah Bu siang sin li itu.   Maka tidak heran waktu dirinya meluruk ke Siau lim si hendak mencari ibunya tanpa sengaja ia pertunjukkan Bu siang sin hoat, para pendeta Siau lim si itu lantas hendak meringkus dan mengompresnya, mereka menuduh dirinya ada tersangkut paut dengan peristiwa ter-katung2 tanpa penyelesaian pada ratusan tahun yang lalu, ternyata semua ini ada latar belakang yang belum dimengerti oleh dirinya.   Kang kun Lojin merendahkan kepalanya, kedua matanya menatap tajam kearah Suma Bing, katanya.   "Setelah pemuda dan perempuan itu menikah, setahun kemudian lahirlah seorang anak perempuan. Tidak lama setelah anak itu lahir, terjadi perpecahan diantara suami istri itu lantas masing2 berpisah hidup sendiri2. Dan selanjutnya lantas muncul didunia persilatan seorang perempuan yang misterius dia menyebut dirinya sebagai Bu siang sin li..."   "Selama puluhan tahun tidak henti2nya pihak Siau lim si mengutus para jagoan silatnya untuk mengejar dan mencari jejak Bu siang sin li, mereka berharap dapat merebut kembali buku pelajaran yang paling berharga itu. Tapi, Bu siang sin li sendiri sudah merupakan teka teki, munculnya dikalangan Kangouw hanya merupakan bayangan belaka."   Tergerak kesadaran Suma Bing, tanyanya mencari tahu.   "Jadi karena urusan ini maka Locianpwe merasa menyesal dan mengganjal dalam sanubari?"   "Ya, memang begitulah!" "Kalau begitu pasti Locianpwe adalah salah satu dari Bu lim sam ki itu, yaitu pemuda yang berhasil mendapatkan buku Bu siang po liok itu?"   Mata Kangkun Lojin memancarkan sinar aneh, sahutnya penuh haru.   "Sedikitpun tidak salah, memang akulah orang tua adanya!"   "Lalu bagaimana wanpwe harus membantu?"   "Apa sangkut pautmu dengan Bu siang sin li?"   "Tiada sangkut paut apa2."   Sahut Suma Bing tertegun.   "Lalu Bu siang sin hoatmu itu kau pelajari darimana?"   "Ini, mungkin karena jodoh secara kebetulan aku memperoleh pelajaran ini!"   "Siapa orang itu?"   Mengingat sumpahnya kepada Giok li Lo Ci, terpaksa dia menjawab.   "Dalam hal ini maaf wanpwe tidak bisa menerangkan!"   Agaknya Kangkun Lojin sangat terpengaruh oleh perasaannya sendiri, tiba2 ia bergegas berdiri, katanya keras.   "Buyung, katakan alasanmu?"   Suma Bing juga bangkit berdiri, sikapnya ragu2 dan serba susah, sahutnya.   "Locianpwe, wanpwe pernah bersumpah untuk tidak menceritakan persoalan ini kepada siapapun"   "Tapi, terhadap aku orang tua..."   "Sungguh aku sangat menyesai!"   "Apa kau betul2 bukan anak murid Bu siang sin li"   "Hal ini dapat wanpwe jawab sejujurnya, bukan!"   Janggut panjang Kangkun Lojin ber-gerak2, perasaan harunya masih belum lenyap katanya menegasi.   "Jadi jelasnya kau menolak membantu aku orang tua untuk menyelesaikan urusan ini?"   "Wanpwe tidak akan mampu melakukannya."   "Baiklah, coba katakan dimana Bu siang sin li mengasingkan diri?"   "Ini..."   Sebetulnya Suma Bing hendak mengatakan bahwa Bu siang sin li sudah meninggal dunia pada sepuluh tahun yang lalu, tapi teringat akan sumpahnya akhirnya ia telan kembali maksudnya.   "Bagaimana?"   "Maaf wanpwe tidak dapat memberitahu!"   "Kenapa?"   "Karena sumpah!"   "Buyung, kau harus beritahu kepada aku orang tua!"   Seru Kangkun Lojin gugup sambil mencengkram pergelangan tangan Suma Bing, begitu jarinya mengerahkan tenaga seketika Suma Bing rasakan tubuhnya lemah lunglai, hawa murni dalam tubuhnya buyar lenyap.   "Buyung, katakan!"   "Wanpwe takkan menurut!"   Jari2 Kangkun Lojin mencengkram semakin keras, gertaknya bengis.   "Katakan!"   Suma Bing rasakan seolah2 tulang2 dan seluruh nadinya sungsang sumbel dan terlepas dari ruas2nya, hawa murni susah dihimpun, keringat dingin sebesar kacang merembes keluar.   Tapi dasar wataknya memang keras kepala, sedikitpun dia tidak kerutkan alis atau mengeluh kesakitan, malah katanya menjengek dingin.   "Apa Locianpwe memaksa wanpwe melanggar sumpah dan kepercayaan?" "Mengingat akan nama kebesaranku, pasti Bu siang sin li tidak akan salahkan kau."   "Tidak mungkin terjadi."   "Kau... harus katakan dimana alamat Bu siang sin li?"   "Tidak!"   "Kau ingin mati?"   Suma Bing mendengus ejek, katanya.   "Kalau Locianpwe beranggapan begitu, silahkan turun tangan, aku Suma Bing tidak akan mengerut alis."   Akhirnya Kangkun Lojin menghela napas panjang dan melepaskan cengkramannya, sikapnya lesu dan tidak bersemangat, tangannya diulapkan seraya berkata.   "Kau boleh pergi."   Kini ganti Suma Bing sendiri merasa tidak enak dan risi, hitung2 ia adalah seorang Cianpwe angkatan tua, malah dari cerita itu dapatlah dinilai sepak terjang orang tua ini sangat gagah perwira, hatinya sangat mengaguminya.   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Tapi seorang laki2 harus menepati janji dan sumpahnya mana dia boleh menjilat ludahnya sendiri akan sumpahnya kepada Giok li Lo Ci dan membocorkan rahasia lembah kematian, maka berkatalah ia sejujurnya.   "Locianpwe, meskipun wanpwe tidak dapat sepenuhnya membantu, tapi dalam batas2 tertentu dimana wanpwe dapat melakukan, mungkin kelak aku bisa memberikan jawabanku!"   "Buyung, kau pergilah!"   Suma Bing membungkuk hormat terus memutar tubuh lari turun gunung, hatinya terasa seperti kehilangan sesuatu.   Mendadak terpikirkan suatu akal dalam benaknya, diam2 ia manggut2 girang.   Pikirnya saat ini memang dirinya tengah akan menuju ke Lembah kematian, mengandal Pedang darah dia hendak minta Bunga iblis.   Jikalau Kangkun Lojin menguntit dirinya dan menemukan rahasia lembah kematian itu, ini tidak terhitung dirinya melanggar sumpah.   Tapi dengan kedudukan dan ketenaran nama Kangkun Lojin, apa dia bakal berbuat begitu? Memang besar hasratnya hendak melakukan sesuatu untuk membantu kesukaran orang tua ini, namun hakikatnya kenyataan ini tidak mengijinkan ia berbuat begitu.   Pengalamannya kali ini se-akan2 dialami dalam mimpi belaka.   Bahwa dirinya bisa terpilih sebagai ahli waris Raja didalam perkampungan bumi benar2 suatu hal yang aneh diluar tahunya.   Ber-hari2 kemudian tibalah dia dijalan raya, setelah mencari tahu baru diketahui tempat dimana sekarang dia berada kira2 terpaut ribuan li jauhnya dari tempat pertempuran waktu melawan Rasul penembus dada dulu, diam2 ia melelet lidah.   Setelah menimang2 bergegas dia mengambil jalan yang langsung menuju ke Bu kong san.   Membekal Pedang darah untuk mohon Bunga iblis, ini bukan saja tujuan utama yang tengah di-impi2kan, juga merupakan pesan terakhir dari Gurunya Sia sin Kho Jiang sebelum ajal, dan yang lebih tepat boleh dikatakan sebagai cita2 yang belum terlaksana oleh ayahnya yaitu Su hay yu hiap Suma Hong.   Setelah Pedang darah dan Bunga iblis dapat disatu padukan pasti dirinya dapat mempelajari ilmu yang tiada taranya, kelak pastilah terkabul cita2nya untuk menuntut balas dendam perguruan dan sakit hati orang tua pasti dapat dihimpas.   Lantas dari sini terpikir juga akan ibundanya San hoat li Ong Fan lan yang belum diketahui mati hidupnya.   Jikalau ibundanya belum ketemu, maka para musuhnya yang dulu kala ikut mengeroyok ayahnya pasti susah diselidiki jejaknya.   Sumber berita yang paling utama dapat diandalkan hanya Iblis timur seorang, namun Iblis timur sudah mati dibawah cundrik Rasul penembus dada.   Dan orang kedua adalah Loh Cu gi.   Tapi saat ini mungkin dirinya masih bukan tandingannya Loh Cu gi.   Apalagi Loh Cu gi belum tentu mau memberi keterangan siapa2 saja yang ikut serta dalam pengeroyokan dan perebutan Pedang darah itu, ini merupakan suatu soal juga.   Teringat akan Loh Cu gi, mendidih darahnya, murid murtad perguruan, algojo pembunuh ayahnya, bajingan besar yang memperkosa ibundanya, rasanya hanya dibunuh saja manusia durhaka ini masih belum dapat melunasi kejahatan yang sudah diperbuatnya.   Tengah kakinya melangkah, tiba2 teringat olehnya akan tiga cangkir darah pusaka naga bumi yang telah diminumnya itu, menurut kata Pit Yau ang Lwekangnya sekarang sudah bertambah dalam seumpama berlatih enam puluh tahun.   Jikalau menurut Lwekangnya sekarang dikombinasikan sebagai landasan dari ilmu Kiu yang sin kang entah dapat mencapai tingkat keberapa, apakah dapat menandingi latihan Loh Cu gi? Otaknya bekerja matanya pun menjelajah keempat penjuru, tampak rimba lebat disebelah depan sana membelakangi sebuah bukit kecil, maka segera ia putar haluan menuju kepinggir bukit, disitu ia hendak mencari suatu tempat tersembunyi, untuk melebur kekuatan dari darah pusaka naga bumi kedalam Kiu yang sin kang.   Tidak lama kemudian tibalah dia diluar rimba lebat itu, sekian lama dia belak belok menerobos semak belukar didapatinya dibawah bukit sebelah sana terdapat sebuah gua, pikirnya, tempat ini sangat tersembunyi tentu tiada sembarangan orang dapat menerobos datang mengganggu.   Sekali berkelebat tubuhnya melesat kearah mulut gua.   Mendadak Suma Bing menjerit kaget dan menghentikan luncuran tubuhnya, matanya mendelong mengawasi lepotan darah yang berceceran menjurus kedalam gua.   Darah manusia ataukah darah binatang? Dilihat dari warnanya, darah yang berlepotan diatas tanah ini pasti belum lama ini saja.   Se-konyong2 terdengar suara napas ngos2an dari dalam gua diselingi keluhan kesakitan yang luar biasa, karena ditekan maka suara itu hampir tidak terdengar.   Itulah suara manusia! Pasti seseorang terluka berat didalam gua ini, begitulah setelah me-nimbang2, kakinya melangkah maju dan berseru keras kearah gua.   "Sahabat manakah yang berada didalam gua?"   Suara keluhan dan napas memburu itu seketika berhenti, tapi tanpa terdengar reaksi apa2. Sekali lagi Suma Bing berseru.   "Siapa itu yang didalam?"   "Siapakah yang diluar?"   Terdengar suara penyahutan yang lirih tapi nyaring. Tanpa terasa Suma Bing melengak, ternyata orang didalam itu adalah seorang perempuan. Entah bagaimana dia terluka didalam gua di tengah2 hutan belukar begini? Maka serunya lagi lebih lantang.   "Agaknya nona terluka berat?"   "Tidak!"   "Tidak? Bukankah kau tadi mengeluh kesakitan dan darah..."   "Aku..."   "Kau bagaimana?"   "Tidak... apa2, silahkan kau menyingkir."   Karena tertarik dan ingin tahu, Suma Bing berkeputusan hendak mengetahui kejadian sebenarnya secara jelas, alisnya dikerutkan, katanya.   "Dapatkah kiranya aku yang rendah menyumbangkan tenagaku?"   Ber-kali2 terdengar pula suara keluhan dan gerengan sakit yang tertahan, se-akan2 dia sangat menderita menahan rasa sakitnya itu. Maka lebih besar rasa curiga Suma Bing, lantas serunya sekali lagi.   "Sudah terang kalau nona terluka berat, mungkin cayhe dapat membantu?"   Suara perempuan itu terdengar agak mendongkol.   "Ketahuilah... bukan... terluka. Kau! Mengapa begitu cerewet... bertanya saja?"   Suaranya lemah menggagap ter-putus2, ini menandakan suara hatinya bertentangan dengan keadaannya, tapi mengapa dia menolak bantuan orang lain? Ini tentu ada latar belakangnya yang mencurigakan? Orang itu adalah seorang perempuan, sudah tentu Suma Bing tidak bisa memaksa harus berbuat bagaimana.   Walaupun hatinya penuh tanda tanya, tapi apa boleh buat.   Maka pikirnya, kalau kau menolak bantuanku, baiklah aku tinggal pergi saja! Baru saja ia hendak mengundurkan diri, tiba2 suara perempuan itu balik bertanya.   "Siapakah tuan ini?"   "Cayhe Suma Bing!"   "Apa? Jadi kau adalah Suma Siau hiap yang kenamaan itu?"   "Tidak berani aku terima puji sanjunganmu yang berlebihan itu, memang itulah Cayhe."   "Kalau begitu..."   "Nona siapa?"   "Aku bernama... Thong Ping..."   Lalu disusul suara keluhan dan gerengan yang menghebat. Alis Suma Bing dikerutkan semakin dalam, tak tertahan lagi ia bertanya.   "Apakah nona terluka berat?"   "Ti... dak..." "Lalu apakah yang terjadi?"   "Aku... aku..."   "Kau kenapa?"   "Aku... aduh..."   "Bolehkah cayhe masuk untuk memeriksa?"   "Jangan... sekali2 kau... jangan masuk... aduh!"   Suma Bing menjadi serba susah dan garuk2 kepala. Entah perempuan yang mengaku bernama Thong Ping ini tengah bermain sandiwara apa.   "Sebenarnya nona kenapa?"   "Tidak... apa!"   "Kalau nona memang ada kesukaran yang sulit untuk dibantu, terpaksa cayhe minta diri..."   "Tidak... Suma Siau hiap, kau... jangan pergi!"   "Tapi nona harus menjelaskan yang sebenarnya kepada..."   "Aduh... Suma Siau hiap... harap kau... menunggu sebentar diluar... aku... aduh!"   Lagi2 terdengar suara pekik kesakitan lebih keras, sedemikian menusuk hati suara kesakitan itu sehingga mendirikan bulu roma.   Terpaksa Suma Bing berdiri diluar gua dengan bingung keadaannya serba runyam.   Se-konyong2 terdengar suara tangis bayi yang nyaring dari dalam gua.   Seketika merinding seluruh tubuh Suma Bing.   Ternyata perempuan bernama Thong Ping ini bersembunyi dalam gua untuk melahirkan.   Lalu dia minta dirinya menunggu sebentar untuk apa? Ya, betul, mungkin dia akan minta dirinya panggil dokter dan beli obat, atau mungkin...   35.   RACUN DIRACUN MANUSIA LAKNAT.   Sepeminuman teh kemudian baru terdengar suara Thong Ping yang lemah tak bertenaga.   "Suma Siau hiap silahkan kau masuk!"   Sekarang Suma Bing menjadi ragu2 malah, tapi akhirnya mengeraskan kepala dia memasuki gua itu.   Diujung gua sebelah sana, tampak seorang wanita duduk menggelendot didinding batu, rambutnya awut2an, tangannya mengemban seorang orok yang baru lahir.   Satu tombak dihadapan perempuan itu Suma Bing menghentikan langkahnya, wajahnya merah jengah, katanya.   "Nona Thong bagaimana bisa..."   Thong Ping angkat kepala, sebelah tangannya menyingkap rambut yang menutupi mukanya, terlihatlah wajahnya yang pucat tapi ayu menggiurkan, katanya lemah.   "Suma Siangkong, ada satu urusan hendak kuminta bantuanmu?"   "Silahkan katakan!"   Sepasang mata Thong Ping yang jeli itu mendadak memancarkan cahaya dingin yang menakutkan, katanya sambil kertak gigi.   "Aku minta kau membunuh seorang!"   "Membunuh orang??!"   Jantung Suma Bing me-lonjak2 keras, serta merta dia mundur selangkah.   "Benar, membunuh seorang, tidak, dia bukan terhitung manusia, seekor binatang yang kejam dengan kedok manusia!"   "Siapa dia?" "Ayah dari orok celaka ini."   Lagi2 Suma Bing terkejut, tanyanya berjingkrak.   "Apa, kau ingin aku membunuh suamimu?"   Air mata meleleh dengan derasnya dikelopak mata Thong Ping katanya sesenggukan.   "Dia bukan suamiku, kita belum pernah menikah, dia hanya mempermainkan aku..."   "Siapakah dia?"   "Racun diracun!"   "Siapa?"   "Racun diracun!"   Suma Bing bagai mendengar geledek dipinggir telinganya tanpa kuasa tubuhnya terhuyung hampir roboh.   Sungguh tidak kira Racun di racun bisa mempermainkan seorang perempuan yang tidak berdosa.   Memang sepak terjang Racun diracun susah dijajaki, sudah beberapa kali dia menanam budi atas dirinya, malah tanpa syarat mengembalikan Pedang darah kepada dirinya.   Menurut apa yang dikatakan Hui Kong Taysu dari Siau lim si bahwa Racun diracun ternyata adalah sealiran dengan Pek Kut Hujin, sedang Pek Kut Hujin juga sudah berulangkali memberi bantuan yang tidak ternilai kepada dirinya.   Haruskah dia melulusi permintaan Thong Ping.   Tapi, perbuatan Racun diracun kali ini benar2 mendirikan bulu roma.   Kata Thong Ping membesut airmata.   "Suma Siau hiap apa kau kenal Racun diracun?"   "Begitulah seorang manusia aneh dengan seluruh badan hitam legam, manusia paling beracun diseluruh dunia!"   "Itu bukan wajahnya yang asli."   "O!" "Dia berkepandaian suatu tenaga dalam yang dapat merubah bentuk wajahnya dalam sekejap mata..."   Diam2 Suma Bing manggut2, memang dia pernah dengar akan ilmu Kun goan tay hoat ih sek suatu ilmu yang paling susah dipelajari. Kata Thong Ping lagi.   "Wajah aslinya walaupun tidak begitu ganteng tapi juga cukup gagah, siapa tahu, dia... hatinya jahat melebihi serigala."   "Dia menelantarkan nona?"   Air mata, meleleh lagi lebih deras kata Thong Ping dengan nada kebencian yang ber-limpah2.   "Dia menipu cintaku menodai tubuhku, waktu aku sadar kalau aku sudah mengandung dan minta supaya segera kita menikah, dia..."   "Dia bagaimana?"   "Dia berkata bahwa aku bukan calon istri yang diangan2kan dia minta aku melupakan dia..."   Suma Bing ikut gusar dibuatnya, dengusnya.   "Lalu dia menelantarkan nona?"   "Tidak sampai disitu saja!"   "Masih ada ekornya?"   "Akhirnya kejadian ini diketahui oleh ibuku, kontan dia dicaci maki. Dalam gusar dan malunya, ternyata..."   "Bagaimana?"   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Dia bunuh ibuku menggunakan racun tanpa bayangan!"   Bercerita sampai disini Thong Ping tak kuat menahan duka dan keperihan hatinya, seketika ia muntah darah.   "Keparat kejam yang harus dibunuh!"   Teriak Suma Bing dengan gemesnya.   Terbayang juga kematian adik Siang Siau hun dengan Li Bun siang yang juga dibunuh oleh Racun diracun yang menggunakan Racun tanpa bayangan juga, memang Racun diracun harus ditumpas dan dilenyapkan dari alam semesta ini.   Tapi, teringat pula akan hutang budinya yang belum sempat terbalas, seketika dingin perasaan hatinya.   Agaknya Thong Ping ini sangat teliti dan cermat sekali, dia sudah melihat kesukaran2 yang bakal dialami Suma Bing maka katanya lagi.   "Suma Siau hiap, kalau kau ada kesukaran, permohonanku itu anggaplah omong kosong saja!"   Suma Bing berpikir cepat, manusia yang tidak berperikemanusiaan ini mana boleh dibiarkan tinggal hidup didunia ini, budi dan dendam harus dibedakan, melenyapkan kejahatan adalah tugas utama bagi kaum ksatria, maka sahutnya sambil kertak gigi.   "Nona Thong, baiklah aku akan bunuh dia"   Tubuh Thong Ping mendadak membungkuk maju mendekam diatas tanah dan berkata.   "Suma Siangkong, harap terimalah hormatku ini!"   "Tidak... tidak... mana boleh begitu!"   Suma Bing mencak2 menyingkir, karena tidak leluasa dia membimbing bangun maka dia minggir kesamping. Thong Ping duduk seperti semula, katanya sambil tertawa pahit.   "Suma Siau hiap, konon kabarnya bahwa Siau hiap tidak takut akan segala racun berbisa. Maka selain kau seorang Siau hiap, mungkin tiada seorangpun dalam Bu lim yang dapat membunuh Racun diracun. Memang Tuhan maha adil, dia mengutus Siau hiap kemari..."   Kata Suma Bing menegaskan.   "Nona Thong, pasti aku dapat menyelesaikan urusan ini." "Siau hiap walaupun harus mati aku Thong Ping juga sangat berterima kasih akan budimu ini"   "Nona jangan berkata demikian, manusia jahat berhati binatang seperti dia itu, siapapun wajib melenyapkannya."   Thong Ping sesenggukkan lagi, ujarnya.   "Siau hiap semua sudah kusampaikan, silahkan berangkat"   Alis Suma Bing berkerut, hatinya tidak tega tinggal pergi begitu saja, katanya.   "Nona bagaimana dengan kalian ibu beranak?"   "Kami ibu beranak? hahahahaha..."   "Nona kau..."   Thong Ping menghentikan tawanya, katanya.   "Suma Siau hiap, apa kau beranggapan aku Thong Ping masih ada harganya tetap hidup?"   Tanpa terasa bergidik tubuh Suma Bing.   "Nona, yang sudah lalu anggaplah sebuah mimpi yang paling buruk dilupakan sajalah."   "Ini, dapatkah dilupakan?"   "Tapi nona, masih ada bayi ini..."   "Hehehe... hihihi... bayi, anak celaka ini biar kubunuh saja dengan tanganku sendiri!"   Nada ucapannya sedemikian seram dan menyayat hati, mendirikan bulu roma. Ber-ulang2 Suma Bing bergidik seram, katanya penuh haru.   "Nona, sebuas2 macan dia takkan menelan anaknya sendiri jelek2 dia adalah anak yang kau lahirkan?"   Thong Ping agak tercengang. lalu katanya menggigit gigi.   "Dia anak haram!"   "Kau salah nona Thong, anak ini tidak berdosa, dosa orang tua mana dapat kau limpahkan ketubuh orok kecil yang baru lahir ini."   Pada saat itulah mendadak sang bayi itu menangis dengan kerasnya, se-olah2 dia tengah meronta dan menentang akan nasib jeleknya yang bakal dihadapinya. Dengan berlinang airmata Thong Ping menggumam.   "Anak ini tidak berdosa?"   Suma Bing manggut2, katanya.   "Nona Thong bagaimana juga dia adalah anak yang kau lahirkan, kau adalah ibu dari bayi ini!"   Thong Ping menunduk lekat2 mengawasi bayi dalam buaiannya, sinar matanya memancarkan cahaya cerlang cemerlang yang aneh, sedemikian tenang dan welas asih sedikit juga tidak mengandung kebencian lagi, itulah cinta ibunda pertanda dari kemajuan perikemanusiaan.   Diam2 Suma Bing menghela napas lega, tanyanya.   "Nona Thong masih ada kerabat siapa lagi dalam rumahmu?"   "Masih ada adik laki2 yang masih belum dewasa!"   "Lebih baik nona pulang saja, kalau bundamu sudah meninggal secara mengenaskan, janganlah adikmu sampai terlunta2 dan hidup sengsara!"   Mendengar bujukan yang menusuk hati ini seketika menggerung2lah tangis Thong Ping.   Suma Bing diam saja tanpa suara membiarkan orang menangis sepuas2nya.   Memang dia perlu menangis perlu akan mencuci bersih segala dukacita dan keputusasaannya, melampiaskan kesedihan dan kedongkolan hatinya.   Lama dan lama kemudian baru Thong Ping menghentikan tangisnya.   "Nona Thong dimanakah kau tinggal?"   "Aku tinggal di Thong keh kip jalan Kip bwe nomor dua dalam wilayah Su cwan!"   "Baiklah, nona Thong sekarang aku minta diri, kelak kalau ada kesempatan pasti aku mampir kerumahmu!" "Siau hiap, terima kasih akan keluhuran budimu ini..."   "Ini tidak terhitung budi apa segala, nona terlalu berat berkata!"   "Kata2 emas Siau hiap tadi menyadarkan kesesatan pikiranku, itu berarti kau telah menolong jiwa kita ibu beranak..."   "Nona jangan kau berkata demikian, harap jagalah dirimu dan anakmu baik2, cayhe minta diri."   Habis berkata segera ia mengundurkan diri keluar gua sebetulnya tujuannya semula adalah hendak mencari suatu tempat untuk melebur Kiu yang sin kang dengan tenaga barunya, sungguh tidak diduga disini ia menghadapi kejadian yang paling menyedihkan dalam dunia ini.   Sekian lama dia termangu memandang mulut gua, lalu menghela napas panjang, batinnya.   'Seorang wanita yang harus dikasihani.' Sekali melejit, secepat terbang dia berlari menuju kepuncak bukit dibelakang rimba sebelah sana.   Dia harus segera mencari suatu tempat untuk berlatih diri.   Beruntun dia lewati tiga puncak bukit, namun sebegitu jauh belum menemukan tempat yang strategis untuk latihannya, diam2 hatinya mulai gugup.   Karena latihan Kiu yang sin kang ini paling mudah Cap hwe ji mo atau tersesat, sedikitpun tidak boleh sampai terganggu.   Begitulah setelah celingukan kesana kesini, dilihatnya tidak jauh disebelah bawah sana terdapat sebuah selokan tersembunyi, bangkitlah semangatnya.   Selokan ini jauh dibawah sana kira2 sedalam ratusan tombak, seumpama jagoan kelas satu dari kalangan Kang ouw juga sukar dapat turun kesana, sejenak setelah diukur2 segera ia kembangkan ilmu gerak naik dari Bu siang sin kang, tubuhnya sedemikian enteng bagai daun melayang pelan2 menurun, tidak lama kemudian dengan ringannya kakinya menginjak tanah didasar selokan sempit itu.   Dipilihnya sebuah batu cadas besar yang menonjol keluar seperti sayap seekor burung, mulailah dia berlatih diri.   Te liong po hiat atau darah pusaka naga bumi itu betul2 mustajab dan mandraguna sedikit saja ia kerahkan tenaga hawa murni dalam tubuhnya segera bergejolak dengan kerasnya bagai sumber air yang ber-gulung2 menyemprot keluar.   Menurut teori pelajaran Kiu yang sin kang pelan2 dia tuntun hawa murni itu meresap masuk kedalam pusar dan mulai dilebur dan digodok bersama.   Kira2 setengah hari kemudian, seluruh tubuhnya sudah tertutup oleh kabut tebal yang berwarna merah menyolok mata, hawa panas ber-gulung2 melingkupi lima tombak sekitarnya.   Pada saat itulah sebuah bayangan manusia bagai bayangan malaikat saja melayang tiba menghampiri kedekat Suma Bing.   Sudah sedemikian dekat tapi sedikit juga Suma Bing tidak mengetahui, latihannya sedang mencapai titik terakhir.   "Ha, Kiu yang sin kang!"   Mendadak bayangan itu berpekik ke-gila2an.   Kontan buyar dan hilang kabut merah itu lalu disusul jeritan yang menyayat hati.   Seketika Suma Bing roboh terkapar tanpa bergerak, dari panca indranya mengalir darah segar dengan derasnya.   Bayangan itu agaknya juga sangat kaget, sekali lagi dia berseru kejut.   "Tersesat!"   Untung Lwekang Suma Bing sudah mencapai kesempurnaannya apalagi jalan darah mati hidup sudah tembus, cepat2 ia tutup sendiri jalan2 darah penting untuk merintangi darah berputar dan menerjang balik.   Walaupun demikian tidak urung separuh badannya sudah kaku tak dapat bergerak lagi.   Mimpi juga dia tidak mengira bahwa diselokan dibawah jurang begini bakal ada orang lain yang datang kemari.   Waktu dia pentang matanya memandang, terlihat tiga tombak disebelah sana berdiri seorang pemuda yang berwajah putih ganteng, matanya mendelong mengawasi dirinya.   Dia insaf karena seruan kaget yang mendadak tadi sehingga membuat latihannya tersesat, meskipun dia dapat segera mencegah akan akibat yang lebih mengenaskan sehingga jiwanya tertolong dari kematian, tidak urung separuh tubuhnya sudah menjadi cacat, ini sudah terang menjadi kenyataan.   Betapa sedih dan pilu hatinya beratus kali lebih sengsara dari kematian.   Seandainya lantas mati malah akan beres dan tidak bikin kapiran, paling celaka kini badannya mati separuh malah harus menghadapi lagi kenyataan hidup dengan pahit getir ini, benar2 lebih baik mati daripada hidup menderita begini.   Seketika airmata ber-linang2, hatinya seperti di-sayat2 dukanya luar biasa.   Hampir saja dia melupakan biang keladi atau durjana yang menyebabkan semua kecelakaan ini.   Pemuda itu berkerut alis, lalu membuka mulut.   "Karena keteledoran cayhe sehingga saudara tersesat dalam latihan, sungguh aku sangat menyesal dan beribu2 maaf!"   Suma Bing melotot beringas mengawasi pemuda itu, katanya.   "Sekarang aku sudah celaka, cukup dengan minta maaf saja pertanggungan jawabmu?"   Sikap pemuda itu acuh tak acuh, sahutnya.   "Lalu saudara maunya bagaimana?"   Darah semakin merangsang dijantung Suma Bing, gusarnya bukan kepalang, serunya gemetar.   "Sebenarnya ada permusuhan atau dendam apa aku dengan kau?"   "Permusuhan atau dendam sakit hati sih tidak ada" "Kau juga seorang persilatan, masa pengetahuan umum yang cetek begini saja tidak tahu?"   "Tadi sudah kukatakan keteledoran yang tidak disengaja."   "Gampang dan ogah2an benar sikapmu ini?"   Si pemuda menarik muka, katanya mendesis.   "Seumpama memang aku sengaja mencelakai kau, kenapa harus diributkan?"   Hampir meledak jantung Suma Bing, ingin benar rasanya sekali pukul dia hancurkan pemuda kurangajar ini, namun badannya sudah tidak mampu bergerak terpaksa dia kertak gigi.   "Karena kata2mu itu kau setimpal untuk dibunuh!"   "Siapa berani membunuh aku? Siapa bisa membunuh aku? Hahahahaha!"   "Dengan perbuatanmu ini, cepat atau lambat pasti ada orang yang bakal membunuhmu!"   "Kau ingin mati?"   "Kau berani?"   Si pemuda tertawa menyeringai, ejeknya.   "Membunuh orang terhitung apa, apa perlu dipersoalkan berani atau tidak berani apa segala. Ketahuilah, tanpa menggerakkan tangan aku dapat..."   "Bagaimana?"   "Eh, kau... yang kau latih tadi adalah Kiu yang sin kang, bukankah kau ini yang bernama Suma Bing?"   Suma Bing tertegun, tanyanya.   "Kalau benar kau mau apa?"   Berubah air muka si pemuda, suaranya gemetar.   "Benar kau adalah Suma Bing?"   "Tidak salah!" "Wah ini benar2 celaka!"   Suma Bing menjadi melengak heran, entah apa maksudnya dengan ucapan celakanya itu, maka tanyanya tak mengerti.   "Apanya yang celaka?"   Agaknya kaget si pemuda masih belum hilang, matanya termangu dan mulutnya menggumam.   "Kesalahan sudah sudah terjadi, ini... bagaimanakah baiknya?"   Suma Bing tambah tidak paham, suaranya semakin gemetar.   "Siapakah kau ini?"   "Aku? Lebih baik jangan kau tanyakan, mungkin akan datang suatu hari kau bisa tahu. Suma Bing, selamanya aku membunuh orang tanpa banyak pikir, tapi terhadap kau aku tak bisa turun tangan. Mengenai urusan kali ini benar2 aku sangat menyesal dan minta maaf. Kira2 satu jam lagi pasti ada orang datang, aku harus segera pergi!"   Habis suaranya tubuhnya melesat terbang dalam sekejap mata saja bayangannya sudah menghilang, kecepatan gerak tubuhnya itu benar2 sangat menakjubkan.   Suma Bing termangu memandangi bayangan orang menghilang dari penglihatannya, sepatah katapun tidak mampu diucapkan lagi.   Sifat pemuda itu bukan saja kejam juga licik banyak tipu muslihatnya, ini dapat didengar dari nada perkataannya.   Dia mengatakan satu jam lagi bakal datang seseorang, orang macam apakah yang bakal tiba? Latihannya sudah tersesat, separuh tubuhnya juga sudah mati kaku, seumpama orang datang apalagi gunanya.   Badan Suma Bing serasa lemas tak bertenaga, begitu mata dipejamkan, bayangan pengalaman lalu segera berkelebatan dalam benaknya, diantaranya rasa dendam sakit hati, cinta, menuntut balas dan budi kebaikan para kawan, seumpama ujung pedang menusuk ulu hatinya, 'Kalau aku tidak mati, aku harus membunuhnya!' demikian ia bertekad dalam hati.   Tiba2 dia tertawa keras menggila dengan suara serak, kegelapan dan keputus-asaan tanpa berujung pangkal mulai mendatang melingkupi dirinya, dapatkah dirinya sembuh lagi seperti sedia kala? Ini benar2 merupakan angan2 kosong dalam impian belaka, bahwa dia masih helum mati karena latihannya ini tersesat sudah merupakan untung yang paling besar.   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Tengah pikirannya me-layang2 ini, sebuah bayangan berkelebat lagi didepan matanya.   Kiranya pemuda licik itu lagi yang muncul.   Waktu pandangan Suma Bing beradu pandang dengan sinar mata si pemuda yang berjelalatan tak henti2nya itu, tanpa terasa dia bergidik gemetar, dia pergi dan kembali lagi, pasti ada maksud2 jahat apalagi yang hendak diperbuatnya.   Si pemuda menyeringai dingin, katanya.   "Suma Bing, aku teringat sesuatu..."   "Sesuatu apa?"   Bentak Suma Bing bengis.   "Bukankah Pedang darah berada ditanganmu?"   Suma Bing semakin murka dan berputus asa, kiranya dia kembali lagi karena ingin merebut Pedang darah dari tangannya.   Setelah mengalami berbagai rintangan baru Pedang darah ini diserahkan oleh Racun diracun kepadanya, jikalau hilang lagi, semua angan2nya bakal kandas seluruhnya.   Memang keadaan dirinya sekarang ini mana mungkin dapat melindungi Pedang darah itu sehingga tidak sampai terebut oleh lawan.   Tentang Pedang darah berada ditangannya, selain pihak Bwe hwa hwe tiada orang lain yang tahu.   Apa mungkin pemuda licik ini adalah dari pihak Bwe hwa hwe? Kalau dia memang benar dari Bwe hwa hwe mengapa tidak segera mencabut jiwanya? Ini tidak benar.   Lalu bagaimana bisa dia mengetahui kalau dirinya menyimpan Pedang darah? Pelan2 si pemuda mendekat kehadapan Suma Bing, tangan diulurkan dan katanya.   "Suma Bing, serahkan kepadaku!"   "Siapakah kau sebenarnya?"   "Aku, tiada halangannya kuberitahu, aku bernama Phoa Cu giok!"   "Phoa Cu giok?"   "Benar!"   Rasa kebencian yang me-luap2 merangsang hati Suma Bing, serunya beringas.   "Phoa Cu giok, akan datang satu hari kubeset dan kucacah tubuhmu."   Phoa Cu giok ganda menyeringai, katanya tertawa.   "Selama hidupmu kau takkan mampu berbuat apa2, tapi, meskipun mulutmu kurangajar, aku tetap segan membunuh kau. Kau sendiri tahu, setelah latihanmu tersesat kau tidak akan dapat hidup lama lagi!"   Suma Bing menjerit kalap seperti orang gila, darah menyemprot dari mulutnya.   Phoa Cu giok maju lagi dua langkah, secepat kilat ia cengkram tangan Suma Bing yang masih dapat bergerak, sedang tangan yang lain mencengkram kebaju didepan dadanya.   'Bret!' sebilah pedang kecil sepanjang satu kaki sudah berada ditangan Phoa Cu giok.   Duka dan gusar merangsang bersamaan, kontan Suma Bing jatuh pingsan.   Entah sudah berselang berapa lamanya, akhirnya Suma Bing baru tersadar.   Perasaan pertama yang dirasakannya adalah se-akan2 dirinya berada dipelukan seseorang, bau wangi juga segera merangsang hidung, dipinggir telinganya terdengar sebuah suara halus mesra tengah memanggil dirinya.   "Engkoh Bing, engkoh Bing!"   Waktu dia membuka mata keruan kejutnya luar biasa, dihadapannya berdiri bibinya Ong Fong jui, ternyata dirinya rebah dipangkuan istrinya Phoa Kin sian.   Mereka guru dan murid bisa muncul ditempat itu benar2 diluar sangkanya.   Pertama kali melihat keluarga terdekat setelah mengalami bencana, tak urung Suma Bing yang terkenal berhati baja dan keras kepala juga akhirnya mengucurkan air mata.   "Nak,"   Ujar Ong Fong jui sambil mengerutkan alis dalam2.   "Kau tersesat dalam latihanmu?"   "Ya, begitulah!"   "Bagaimana ini bisa terjadi?"   "Kalau diceritakan sangat panjang!"   "Ceritakanlah pelan2!"   Dengan sapu tangan sutra Phoa Kin sian membesut keringat diatas jidat Suma Bing, sehingga terasa kasih mesra yang menghangatkan badannya.   "Bi, aku... dapatkah aku sembuh kembali?"   "Nak, bibimu akan sekuat tenaga membantumu sembuh kembali, sekarang ceritakanlah pengalamanmu sampai keadaanmu jadi sedemikian rupa!"   Maka mulailah Suma Bing bercerita sejak dari mereka berpisah tempo hari, ditengah jalan bersua dengan Rasul penembus dada dan tertolong oleh pihak Perkampungan bumi dimana dia dicalonkan sebagai ahli waris raja mereka begitulah dari mula sampai akhir ia ceritakan dengan ringkas dan jelas.   Selanjutnya, dia mendongak memandang Phoa Kin sian dan berkata.   "Adik Sian, aku berbuat salah terhadapmu!"   Sahut Phoa Kin sian lemah lembut.   "Ini tidak bisa salahkan kau!"   Ong Fong jui menghela napas ringan, katanya.   "Nak, pengalamanmu didalam Te po aku dan Kin sian sudah mengetahui!"   "Apa, bibi Jui sudah tahu? Darimana bibi bisa tahu?"   "Tengah hari yang lalu aku sudah bertemu dengan Kangkun Lojin!"   Suma Bing terperanjat.   "Apa bibi Jui kenal dengan Kangkun Lojin?"   "Tidak kenal, sudah lama kudengar ketenarannya!"   "Bagaimana bisa..."   "Mata telinga pihak Te po sangat awas dan jeli, siang2 mereka sudah tahu hubunganmu dengan Kin sian. Adalah Sim tong Tongcu Song Liep hong dari perkampungan bumi itulah yang menuntun orang tua itu menemui aku!"   Baru sekarang Suma Bing paham, kiranya waktu diluar jalan rahasia itu, tugas yang diserahkan kepada Kangkun Lojin oleh Te kun itu ternyata adalah soal ini. Ujar Ong Fong jui lagi.    Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Darah Daging Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini