Pedang Darah Bunga Iblis 20
Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH Bagian 20
Pedang Darah Bunga Iblis Karya dari G K H "Siapakah sebenarnya?" Si maling tua Si Ban cwan berkerut alis, ujarnya. "Masing2 aliran dan golongan dalam dunia persilatan ada peraturan dan pantangannya. Lebih baik kelak kau tanyakan sendiri." Apa boleh buat Suma Bing manggut2. Memang selama ini belum pernah terpikirkan untuk menanyakan asal usul perguruan bibinya. Malah tidak terpikirkan juga olehnya bahwa Phoa Kin sian adalah istrinya, sebelum ini yang diketahui hanyalah bahwa dia adalah murid bibinya saja. "Cianpwe masih ada pesan apalagi?" "Tidak ada, kau pergilah. O, ya..." "Harap katakan!" "Maling tua ini sudah menyirapi kemana2, tapi kabar berita tentang ibumu masih belum dapat kuperoleh. Mengenai perempuan yang terkurung dibelakang puncak Siau lim itu aku masih tetap bercuriga..." Suma Bing memandang penuh rasa terima kasih kepada maling tua katanya. "Kelak wanpwe pasti akan kembali ke Siau lim si untuk membuka tabir rahasia ini untuk berita ibunda sampai Cianpwe susah payah kian kemari, wanpwe menyatakan banyak2 terjma kasih!" "Tidak menjadi soal, ini kan kerelaan dari maling tua ini. Kau pergilah!" "Selamat bertemu!" Dengan rasa kesal dan kuatir Suma Bing berlarian menuju tempat yang ditunjuk oleh si maling tua. Satu jam kemudian tibalah dia didepan sebuah gubuk reyot dipinggir jembatan batu merah. Gubuk ini terbagi dalam tiga susun bilik, sebuah pintu dan tiada jendela, keadaannya sangat jorok dan bobrok sekali agaknya sudah lama tidak ditinggali manusia. Entah bagaimana Ting Hoan bisa menetap ditempat semacam ini? Eh, bukankah si maling tua mengatakan dia sudah kempas kempis tinggal menunggu ajal. Mungkin mendadak dia terserang penyakit berat atau telah mengalami apa2? Berpikir sampai disini tanpa terasa bergidik dan merinding tubuhnya. Waktu kakinya melangkah kedalam, hidungnya segera diserang oleh bau apek yang menyesakkan dada. Suma Bing menahan napas dan memandang kearah dalam sebelah kiri sana. Kosong melompong, lalu berputar memandang kearah kanan. Dipojokan kamar dalam sana mendekam dan melingkar sebuah benda warna putih, apa mungkin dia adanya? Mulai berdebar keras jantung Suma Bing. Waktu dia mendekati, memang tidak salah, itulah seorang perempuan yang berpakaian warna putih. "Kau... kau adalah... nona Ting?" Tubuh orang berbaju putih itu bergerak, tapi tidak mengeluarkan suara. "Apakah kau adalah adik Hoan?" "Siapa?" Suara lemah dan lembut sekali hampir tidak terdengar. "Akulah Suma Bing." Seru Suma Bing agak keras. Bergetar tubuh orang baju putih itu bergegas membalik tubuh menghadap atas... "Oh, kau..." Beruntun Suma Bing mundur tiga langkah, kaki tangan terasa dingin. Tidak salah lagi memang dia adalah Ting Hoan. Gadis rupawan yang berwajah cemerlang itu sekarang telah berobah menjadi sedemikian pucat kurus dan peyot, sinar matanya redup, tapi mengandung perasaan kebencian yang ber-limpah2, membuat bergidik dan berdiri bulu roma orang. "Kau... akhirnya kau datang? Benar... kah kau ini?" Suma Bing maju lagi terus membungkuk disampingnya, katanya gemetar. "Adik Hoan, inilah aku, Suma Bing!" "Ini... bukan mimpi?" "Ya, ini kenyataan, aku, akulah Suma Bing, aku memburu tiba setelah mendengar kabar dari Si cianpwe si maling bintang!" Ting Hoan pejamkan kedua matanya sambil menenangkan gejolak hatinya, napasnya mulai teratur, sesudah sekian lamanya kedua matanya dipentang lagi, agaknya semangatnya sudah pulih sebagian besar. "Engkoh Bing, bolehkah aku... memanggil demikian?" "Adik Hoan, asal kau suka!" Wajah pucat dan kurus keropos dari Ting Hoan menampilkan rasa girang dan tersenyum simpul, katanya. "Engkoh Bing, sejak pertama kali melihatmu, aku... berjanji dalam hati, aku tidak minta balas cintamu, asal aku mencintai kau... sudah cukup!" "Adik Hoan, aku... sangat mencintaimu, tapi, beban yang kupikul terlalu berat!" "Engkoh Bing, aku tidak perlu mendengar penjelasanmu. Aku sudah merasa girang dan puas dalam waktu sebelum ajal ini kau dapat berada disampingku. Ini sebetulnya hanyalah khayalanku belaka, tapi sekarang menjadi kenyataan!" Tenggorokan Suma Bing menjadi tersumbat, sekuatnya ia menahan mengalirnya airmata. Terbayang dalam ingatannya waktu pertama kali dirinya menunaikan tugas yang diserahkan gurunya, kalau bukan Ting Hoan membangkang perintah gurunya, pasti jiwanya sudah lama melayang... "Adik Hoan, kau terserang penyakit atau..." "Aku? Hahahaha..." Meski suara tawanya lemah dan rendah tapi mengandung kedukaan dan nestapa yang tak terperikan. "Adik Hoan," Tergetar suara Suma Bing. "Sebetulnya apakah yang telah terjadi?" 38. GUGURNYA SEKUNTUM BUNGA AYU Ting Hoan menghentikan tawanya, wajahnya berganti serius, katanya sambil mengertak gigi. "Engkoh Bing, sebetulnya aku malu bertemu dengan... kau, tapi, sebaliknya aku juga mengharap betul bertemu dengan kau. Kalau tidak aku tidak akan bisa mati... meram." "Adik Hoan, kau..." "Engkoh Bing, aku... aku telah diperkosa orang..." Bergolak darah Suma Bing. "Siapa?" Tanyanya gusar. Tutur Ting Hoan. "Iblis itu menodai aku karena aku telah menyebut... namamu, dengan tutukan berat dia hendak mencabut nyawaku, tapi... aku tidak segera mati, aku hidup lagi selama tiga hari,... sekarang, sebab... aku ingin bertemu sekali lagi dengan kau!" Tanpa terasa meleleh keluar air mata Suma Bing, serunya beringas. "Siapa dia, akan kubeset dan kuremukkan tubuhnya?" "Dia... adalah..." "Siapa?" "Racun diracun!" "Apa, Racun diracun?" "Be... nar!" Kontan pandangan Suma Bing terasa gelap, dadanya hampir meledak saking gusar. Dengan Racun tanpa bayangan Racun diracun sudah membunuh adik Siang Siau hun dan Li Bun siang. Juga memelet Thong Ping sehingga perempuan malang ini melahirkan anak diluar perkawinan, malah membunuh juga ibunda Thong Ping. Sekarang lagi seorang telah dinodainya, malah orang yang malang ini adalah kekasihnya lagi. "Kalau tidak kuhancur leburkan tubuh manusia laknat itu, aku bersumpah tidak akan menjadi manusia!" Begitulah Suma Bing menggerung dan memaki kalangkabut dan mengertak gigi untuk melampiaskan kedongkolan hatinya. "Engkoh... Bing..." Dari warna pucat pasi air muka Ting Hoan mulai berobah menjadi bersemu kuning ke-abu2an. Dengkul Suma Bing tertekuk dan memeluknya kencang2. Bibir Ting Hoan ber-gerak2, matanya juga ber-kedip2, entah apa yang hendak diucapkan, namun suaranya tidak terdengar. "Adik Hoan!" Keluh Suma Bing sesenggukan, tubuhnya mulai merinding, ia menyadari apa yang bakal terjadi. Se- konyong2 teringat Hoan hun tan yang digembol ditubuhnya, mungkin jiwa kekasihnya ini masih bisa ditolong dengan obat mujarab itu. Wajah Ting Hoan berobah ke-biru2an dan unjuk senyuman yang terakhir, lantas kepalanya teklok kesamping, nyawanya meninggalkan badan kasarnya. Tak tertahan lagi air mata Suma Bing meleleh semakin deras, sebutir demi sebutir menetes diatas wajah Ting Hoan yang sudah mulai membeku. Waktu hidupnya dia tidak pernah memberikan apa yang diharapkan, kini setelah orang mati, hanya air matalah yang diberikan sebagai pengantar keberangkatan jiwanya kealam baka. "Ia sudah mati, mati dibawah cengkraman setan iblis!" Demikian Suma Bing menggumam. Satu jam kemudian, tak jauh dari letak jembatan batu merah itu dibangun sebuah kuburan baru. Batu nisan didepan kuburan digores dengan jari bertuliskan. "Kasihan bunga jelita dipetik gugur, tinggal daku hidup merana didunia fana." Tulisan ini tanpa nama dan she serta tanda tangan, diatas kuburan terletak seonggok bunga-bunga liar. Tampak seorang berdiri menunduk dan terpekur nglamun, berdiri tegak mematung. Dia bukan lain adalah Sia sin kedua Suma Bing yang baru saja ditinggalkan kekasihnya yang tercinta. Se-konyong2, terdengar sebuah panggilan dingin. "Suma Bing!" Suma Bing tergugah dari rasa kepedihan hati oleh panggilan dingin ini, pelan2 dia membalik tubuh, begitu matanya melihat siapa yang berada didepannya ini, kontan dia bergelak tawa menggila, nadanya penuh mengandung kepedihan hati dan nafsu membunuh untuk pelampiasan yang menyeluruh. Ternyata orang yang baru muncul ini tak lain tak bukan adalah Racun diracun. Kedatangan Racun diracun ini bagi Suma Bing seumpama Tuhan memberikan restunya kepada pemohonnya. Belum dingin jenazah Ting Hoan dikebumikan, kalau dirinya membunuh iblis laknat ini didepan kuburan, benar2 suatu hal yang sangat menyenangkan. Bola mata Racun diracun yang banyak putih dari hitamnya itu mengunjuk rasa heran tak mengerti. Hardiknya dingin. "Tutup mulut!" Suma Bing menghentikan tawanya, wajahnya dirundung kekejaman membunuh yang buas matanya me-nyala2 menatap lawannya. Dengan nada tidak mengerti Racun diracun bertanya. "Suma Bing, apa yang kau tertawakan?" Rasa kebencian semakin merangsang benak Suma Bing, geramnya gemetar. "Aku girang bahwa kedatanganmu ini sangat kebetulan!" "Apa maksudmu?" "Kedatanganmu ini meringankan aku, jadi tidak perlu jauh2 mencarimu kian-kemari". "Mencari aku, untuk urusan apa?" "Apa tuan kenal seorang perempuan yang bernama Thong Ping?" "Thong Ping?" "Benar, dia bernama Thong Ping!" "Belum pernah kudengar nama ini." "Tuan benar2 tidak ingat atau..." "Suma Bing, apa maksudmu ini?" "Tidak apa, dia minta aku melakukan sesuatu!" "Terangkanlah secara jelas!" Sebelum bicara Suma Bing mendengus keras2. "Racun diracun, cocok dan serasi benar nama julukanmu ini, sungguh kejam, telengas tak mengenal peri kemanusiaan..." Sejenak Racun diracun melengak, lalu semprotnya gusar. "Suma Bing, berkatalah secara terus terang?" "Bukankah ini sudah jelas. Thong Ping minta padaku untuk menagih sesuatu kepadamu!" "Siapakah Thong Ping itu?" "Kau tidak berani mengakui?" "Suma Bing, perlu kutandaskan sekali lagi, bicaralah yang terang!" Sekian lama Suma Bing memandang nanap kepada musuhnya ini sambil menggigit gigi, desisnya. "Tuan sendiri yang minta aku berkata terus terang, baiklah, kau dengar. Setelah kau memelet cinta Thong Ping lantas kau menodai tubuhnya selanjutnya kau buang dan tinggal pergi begitu saja, malah lebih durhaka lagi kau bunuh ibunya, kau... inikah manusia?" Saking kaget mendengar tuduhan yang berat ini, Racun diracun terhuyung tiga tindak, suaranya gemetar. "Apa yang kau katakan?" Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Suma Bing maju dua langkah, serunya. "Sekarang Thong Ping telah melahirkan anakmu!" "Anak?" "Ya, seorang bayi perempuan!" "Anak? dia... dia..." Racun diracun mengeluh dengan sedihnya, mulutnya kemak-kemik entah apa yang diucapkan, seluruh tubuhnya bergemetaran. "Kau tidak akan menyangkalnya lagi bukan?" "Aku... tidak menyangkal... tidak..." Suma Bing mendesak maju lagi selangkah serta ujarnya. "Maka aku melulusi dia untuk menagih sesuatu kepadamu!" "Sesuatu... apa?" "Jiwamu!" "Ha! Suma Bing... kau... jangan..." Dirangsang rasa kebencian yang ber-limpah2 Suma Bing tidak memperhatikan sikap dan mimik Racun diracun yang luar biasa aneh dari kebiasaannya. "Dengar, masih ada..." "Masih ada apa?" Setelah melirik kearah gundukan tanah kuburan yang meninggi itu, wajah Suma Bing berkerut mengejang dengan penuh kepedihan, desisnya serak. "Racun diracun, kukira kau sudah tahu siapakah yang berbaring dibawah gundukan tanah ini?" "Siapa?" Sepatah demi sepatah Suma Bing berkata. "Ting Hoan yang telah kau perkosa!" "Ting... Hoan?" "Ya, Ting Hoan. Gurunya Pek hoat sian nio mungkin takut menghadapi racunmu, tapi ketahuilah, yang menagih jiwanya adalah aku Suma Bing." Racun diracun mengeluh panjang dengan sedih menyayatkan hati, tiba2 tubuhnya melenting tinggi terus tinggal pergi... "Lari kemana kau!" Betapa mujijat Bu siang sin hoat itu, dalam suara bentakan yang keras itu, tahu2 Suma Bing sudah berkelebat menghadang didepannya sambil mengayunkan tangan. Kontan Racun diracun terhuyung dan sempoyongan sepuluh langkah lebih. "Kau hendak pergi begitu saja?" "Suma Bing, apa yang hendak kau lakukan?" "Hendak kuhancur leburkan tubuhmu, untuk melampiaskan dendam korbanmu yang mati penasaran." "Kau... berani pastikan bahwa semua itu adalah perbuatanku?" Suma Bing menjengek gusar. "Apa mungkin bukan kau?" Seakan tergugah oleh suatu hal, Racun diracun terlongong sejenak naga2nya ada apa-apa yang tengah dipikirkan, tak lama kemudian mendadak dia menghela napas dan berkata. "Suma Bing, saat ini tidak leluasa aku memberi penjelasan..." "Ada apa lagi yang perlu dijelaskan?" "Aku ada satu permintaan..." "Katakan!" "Setengah tahun lagi kuberikan pertanggungan jawabku kepadamu!" "Tidak bisa, hari ini juga didepan kuburan Ting Hoan harus kuselesaikan urusan ini!" "Suma Bing, kau jangan terlalu memaksa." "Sehari lebih panjang umurmu, akan lebih menambah penasaran orang yang menjadi korbanmu!" "Suma Bing, jangan kau terlalu takabur!" "Bagaimana?" "Menjangan bakal mati ditangan siapa masih susah ditentukan!" Sambil mengacungkan tangannya Suma Bing membentak. "Mari kau coba2!" "Nanti dulu!" "Masih ada pesan apalagi yang perlu kau sampaikan?" "Yang kau andalkan tidak lebih hanyalah kemujijatan Bu siang sin hoat dan tidak mempan racun, paling2 ditambah lagi dengan Lwekangmu yang baru dilebur itu, benar bukan? Tapi jangan kau lupa betapa hebat Racun diracun bukanlah omong kosong belaka." Berdetak jantung Suma Bing, darimana Racun diracun bisa mengetahui dirinya ketambahan Lwekang baru? Peristiwa dirinya minum darah naga pusaka diperkampungan bumi, selain bibinya Ong Fong jui dan istrinya Phoa Kin sian, belum pernah dirinya ceritakan kepada lain orang. Sudah tentu tidak bisa karena beberapa patah kata itu lantas dia dilepas begitu saja. Maka serunya penuh kemurkaan. "Racun diracun kalau hari ini aku Suma Bing tidak mencincang tubuhmu menjadi perkedel, aku bensumpah tidak akan menjadi manusia!" "Suma Bing, kau ini binatang yang berdarah dingin!" "Apa, aku binatang berdarah dingin. Memangnya kau adalah binatang berdarah panas?" "Aku Racun diracun jangan kau anggap takut kepadamu. Seumpama tiada menanam budi kepadamu, tapi hubungan sekedarnya yang tak berarti masih ada. Sedemikian kukuh dan keras kepala kau ini, kenapa kau tidak terima permohonanku untuk menunda urusan ini sampai setengah tahun lagi." Serta-merta Suma Bing mundur dua langkah, ucapan orang tepat menusuk lubuk hatinya. Memang, musuhnya ini pernah beberapa kali mengulur tangan menolong jiwanya, malah secara jantan mau menyerahkan Pedang darah tanpa syarat. Semua ini adalah kenyataan yang tak mungkin dihapus dan tidak bisa dilupakan. Mungkinkah dirinya turun tangan mencabut jiwanya? Sumpahnya kepada Thong Ping, dendam sakit hati Ting Hoan, dapatkah hapus dan impas begitu saja? Sesaat mulut Suma Bing tersumbat tak bisa memberi jawaban. Perasaan Racun diracun agak tenang, katanya. "Suma Bing, urusan didunia ini kadang2 susah diselami dan dipahami dengan pikiran sehat. Lebih baik kau berpikir tenang sedikit." "Jadi maksud tuan dalam peristiwa ini masih ada latar belakangnya?" "Mungkin sekali!" "Peristiwa diluar perikemanusiaan ini bukan kau yang melakukan?" "Aku tidak mengakui. Tapi juga tidak menyangkal tuduhanmu itu" "Bagaimana maksud jawabanmu ini?" "Setengah tahun kemudian, akan kuberikan pertanggungan jawabku. Hutang jiwa bayar jiwa, hutang darah bayar darah!" "Kenapa harus ditunda sampai setengah tahun?" "Suma Bing, kalau saat ini juga aku minta kau segera mati, apakah kau tidak merasa berat karena banyak hal2 yang belum kau laksanakan?" Suma Bing mendengus dingin, jengeknya. "Kau ingin aku mati?" "Kau sangka aku tidak sanggup?" "Marilah dicoba!" "Ketahuilah, walaupun rumput ular yang kau telan itu dapat memunahkan kadar racun umumnya, tapi tidak dapat memunahkan racun dalam racun, apa kau tidak percaya?" "Racun dalam racun?" "Benar, selama aku berkecimpung didunia persilatan bellum pernah kugunakan, kalau kau memang memaksa ya kau akan tahu sendiri apa akibatnya!" "Adalah kau sendiri yang menimbulkan pertikaian ini." "Kau mengancam aku?" Ujar Suma Bing dengan angkuhnya. "Silahkan kau sebarkan racunmu itu, aku pandang sepele saja!" Racun diracun menyeringai dingin, katanya. "Sekarang boleh kau coba2 menyalurkan hawa mumimu!" Keruan bergidik dan dingin perasaan Suma Bing, dalam keadaan yang tidak berasa ini apa mungkin lawan sudah tebarkan racunnya yang lihay itu? Karena pikirannya ini, tiba2 ia menyedot napas panjang terus menyalurkan hawa murni dari pusarnya. Benar juga Yang kiau dan Im kiau dua nadi besar ada tanda2 mulai mengerat, sedang empat dari delapan jalan darah besar juga sudah buntu. Kejutnya ini benar2 bukan kepalang, kiranya ucapan Racun diracun bukan main2 belaka betul2 dirinya sudah terkena racun berbisa lawan. Tapi kapan dan bagaimanakah lawan menyebarkan racunnya itu? "Bagaimana?" Desak Racun diracun. Timbul sifat2 angkuh dan kesesatan turunan gurunya dalam benak Suma Bing, katanya nekad. "Seumpama aku mati karena racunmu ini kumat, terlebih dulu aku harus membunuh kau manusia laknat ini!" "Saat ini kau tak mungkin dapat melakukan!" Cepat2 Suma Bing menyalurkan Kiu yang sin kang, baru saja tenaganya timbul lantas dia merasakan adanya banyak rintangan dijalan darahnya banyak yang sudah buntu. Kecut perasaannya, keringat dingin membanjir keluar, sambil membanting kaki serunya. "Baik, kita bertemu pada lain kesempatan!" "Nanti dulu, kau telanlah dulu obat pemunah ini!" "Tidak perlu" Jantung Suma Bing berdetak semakin keras, tapi bagaimana bisa ia menerima obat pemunah musuhnya? "Kalau begitu kau tidak akan dapat pergi jauh!" Racun diracun menghela napas lalu berkata lagi. "Suma Bing, aku menggunakan racun hanya untuk mengambil kesempatan membuatmu kepepet saja, tiada maksudku hendak mengambil jiwamu. Hendak kutanya kepadamu, hari2 yang lalu sedikit banyak bukankah kita mengikat persahabatan yang erat?" "Ya, memang hal itu boleh kuakui." "Maka pandanglah persahabatan kita itu, terimalah obat pemunah ini!" "Tidak!" "Sebelum sepuluh li kau akan mati keracunan!" Suma Bing menyeringai sedih, ujarnya. "Itu urusanku sendiri!" "Suma Bing, seorang laki2 harus dapat secara tegas membedakan antara budi dan dendam. Persahabatan kita dulu adalah satu soal. Sekarang kau menuntut balas untuk orang lain juga lain soal lagi, jangan kau campur adukan kedua persoalan itu menjadi satu, sudah kukatakan dan sekarang kutegaskan sekali lagi, setengah tahun kemudian akan kuberikan pertanggungan jawabku kepadamu supaya kau puas." Suma Bing menjadi bimbang, dia ragu2 bukan karena tergerak oleh bujukan orang atau takut mati, adalah dia teringat akan sakit hati ayahnya dan dendam kebencian ibundanya dan dendam kesumat perguruan. Dan sekarang yang terpenting adalah menolong jiwa bibinya yang tergenggam dalam tangannya, dia harus secepat mungkin mengantar tiba Hoan hun tan. Aku tidak boleh mati, demikian hatinya berteriak. Kata Racun diracun lagi. "Suma Bing, menurut apa yang kutahu, istrimu Phoa kin sian setengah tahun lagi bakal melahirkan, mungkin sekali dia akan mengalami kesukaran, apakah kau tidak memikirkan akan masa depan keturunanmu?" Tanpa terasa tergerak sanubari Suma Bing, Racun diracun mengatakan Phoa Kin sian mungkin mengalami kesukaran, darimana dia mengetahui? Kesukaran apakah itu? Darimana pula dia tahu bahwa Phoa Kin sian tengah mengandung dan bakal melahirkan. Karena pikirannya ini, tanyanya heran. "Apa, tuan katakan istriku bakal mengalami kesukaran?" "Benar!" "Kesukaran apa?" "Kelak kau akan tahu sendiri, kau takkan percaya mendengar penjelasanku." "Darimana tuan mengetahui hal itu?" "Ini tidak perlu kau tanyakan, pendek kata hal itu adalah kenyataan." Risau dan gundah perasaan Suma Bing, hatinya penuh tanda tanya. Kalau orang tidak mau mengatakan, tidak mungkin dia memaksa orang bicara. Namun naga2nya ucapannya itu sungguh2 dan boleh dipercaya. Tiada perlunya Racun diracun membual dan membuat sensasi. Satu hal yang mengherankan adalah darimana dia tahu bakal terjadinya peristiwa yang susah diketahui orang sebelumnya ini? Tapi sifat angkuh dan keras kepala Suma Bing membuat dia tidak suka tunduk dihadapan orang lain, sahutnya dingin. "Terima kasih akan petunjukmu ini, selamat bertemu." "Benar2 kau hendak pergi?" "Sudah tentu, sebab sekarang aku tidak mampu lagi melenyapkan jiwamu!" "Kau tidak takut mati?" "Apa yang perlu ditakutkan, yang kutakuti adalah susah membedakan antara budi dan dendam, ini akan mengganjal dalam hati dan menyesal seumur hidup!" Habis berkata dia putar tubuh menghadapi kuburan Ting Hoan dan berkata penuh haru. Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Adik Hoan, kau nantikanlah, waktunya tidak akan terlalu lama." Sekali melejit tubuhnya sudah berlarian ditengah jalan raya. Dibelakangnya terdengar suara helaan napas sedih Racun diracun. Suma Bing ber-lari2 kencang, hatinya ber-tanya2 dan tak habis mengerti akan sepak terjang Racun diracun selama ini terhadap dirinya, betul2 susah diduga. Perkataan Racun diracun terkiang lagi ditelinganya. "Sebelum sepuluh li kau akan mati keracunan!" Benar juga baru lima li kemudian hawa murninya mulai luber kepala terasa berat, kecepatan larinya semakin lamban, sampai akhirnya gerak geriknya tak ubah seperti orang biasa yang tidak pandai bermain silat. 'Apa memang sudah suratan takdir aku Suma Bing harus mati keracunan?' demikian ia bertanya pada dirinya sendiri, timbul rasa sedih yang mencekam sanubarinya. 'Apa aku harus menerima pengobatannya. Tapi aku hendak membunuhnya!' begitulah sambil berpikir2 itu tak terasa dia sudah berjalan lagi sejauh tiga li. Mendadak tubuhnya terhuyung pandangan mata ber-kunang2, kakinya berhenti melangkah, tubuhnya limbung hampir roboh. Bayangan kematian sontak melingkupi sanubarinya. Benar, memang tidak kanti sejauh sepuluh li dirinya dapat berjalan. Berkat rumput ular dari pemberian Si gwa Lojin dirinya kebal akan segala racun, sungguh tak duga ternyata masih tidak kuat bertahan akan bisa racun dalam racun yang ditebarkan oleh Racun diracun. Pikirannya mulai kabur dan melayang, tanpa kuasa tubuhnya limbung terhuyung terus roboh terlentang... Mendadak samar2 terasa olehnya tubuhnya ada rebah dalam pelukan seseorang, sebuah suara terkiang dalam telinganya. "Engkoh Bing, kuatkan semangatmu!" Begitu mendengar suara itu tahulah Suma Bing siapakah orang yang bicara itu, benar juga bangkit semangatnya, katanya gemetar. "Adik Sian, kaukah itu?" "Ya, akulah!" "Aku... aku sudah payah!" "Kau, kenapakah kau ini?" "Aku telah keracunan!" "Apa kau keracunan?" "Benar." "Siapa yang meracun kau?" "Racun diracun!" "Rebahlah biar kuperiksa. Engkoh Bing, sungguh kebetulan, dulu tanpa sengaja aku beroleh sebutir Tan tiong tan dari seorang tua tak bernama, khasiatnya dapat menyembuhkan penyakit dan segala bisa..." "Adik Sian, racun dalam racun bukan sembarang bisa, rumput ular juga tidak mempan lagi, apalagi..." "Coba saja kau telan dulu." sambil berkata dari dalam bajunya ia merogoh keluar sebuah peles kecil warna hijau, begitu tutup peles itu dibuka bau wangi segera merangsang hidung, seketika membuat pikiran segar dan semangat bangkit hati juga terasa lapang. Katanya lemah lembut. "Engkoh Bing, coba telanlah ini!" Tanpa bersuara Suma Bing pandang istrinya lekat2 penuh kasih mesra, mulutnya dipentang terus telan obat pemberiannya itu. Saat itu terasa bahagia tak terhingga dalam benaknya, sebelum ajal ini dirinya rebah dalam pangkuan istrinya tercinta. Alangkah indah hidup manusia ini. Matanya dipejamkan menikmati kehangatan pelukan sang istri. Seumpama Tan tiong tan tidak mujarab, namun dapat mati dipelukan istri tercinta rasanya juga cukup puas dan terhibur. "Engkoh Bing, kerahkan tenaga mengeluarkan racun." Suma Bing menurut, sebelumnya ia hilangkan segala pikiran lalu pelan2 mulai kerahkan hawa murninya... Dalam saat2 genting inilah dari kejauhan terdengar berkesiur angin baju dan derap langkah kaki beberapa orang tengah mendatangi kearah mereka dengan cepat, dilain saat beberapa bayangan manusia meluncur turun tiga tombak dihadapan mereka. Waktu Phoa Kin sian melihat para pendatang ini, seketika berobah air mukanya. Kiranya mereka tak lain adalah Si tiau khek. Suma Bing tengah rebah dalam pangkuannya dan menyalurkan tenaga untuk mengusir racun dalam tubuhnya, tak mungkin dia melepas diri untuk menghadapi mereka, seumpama mereka turun tangan pasti mereka suami istri bakal mengantar jiwa secara konyol. Air muka Si tiau khek yang membeku bagai setan hidup itu tanpa menunjukkan mimik yang susah diraba, sorot matanya memancarkan sinar kehijauan yang menyeramkan, tali yang terikat dileher mereka menjulur turun didepan dada, keadaan ini benar2 menggiriskan. Sambil berpaling kearah ketiga kawannya Heng si khek berkata. "Inilah kesempatan baik yang diberikan oleh Tuhan." Hui bing khek menggerakkan tangan tunggalnya sambil terkekeh2, ujarnya. "Lotoa, ingin yang hidup atau yang mati?" "Sudah tentu lebih baik masih hidup, Losi, ringkus mereka!" Tenggorokan Teh ciam khek ber-kerok2 mengiakan, terus angkat langkah maju... Sudah tentu gugup dan gelisah Phoa Kin sian bukan main, keringat membanjir membasahi tubuh. Begitu melihat Teh ciam khek mendatangi serasa kabur sukmanya. Dia tidak dapat bergerak dan tidak boleh membentak merintangi orang, kalau sedikit saja Suma Bing terganggu, maka akibatnya susah dibayangkan. Dalam keadaan yang terpaksa ini diambilnya sebutir batu dipinggir tubuhnya terus disambitkan kearah Teh ciam khek. Teh ciam khek menyeringai tawa iblis, serunya. "Nyonya manis, apa2an kau jual lagak dihadapanku, berani main sambit2an dengan batu!" tengah berkata itu dia ulurkan tangan untuk menyambuti batu yang melayang tiba. Mendadak terdengar Teh ciam khek berpekik panjang mengerikan terus roboh terlentang. Keruan kaget ketiga setan gantung lainnya bukan alang kepalang, mereka sama2 berseru heran, tanpa berjanji menubruk maju berbareng. "Jangan sentuh, racun!" Terdengar Heng si khek berseru gemetar. Wajah membeku bagai setan hidup dari Hui bing khek dan Bao bong khek seketika berobah ketakutan, berbareng mereka menyurut mundur. Sekian lama Heng si khek mengawasi Phoa Kin sian penuh dendam, lalu serunya. "Maju berbareng, gunakan pukulan jarak jauh, kalau tidak bisa hidup biar mati juga tidak menjadi soal!" Serempak ketiga setan gantung ini maju dari tiga jurusan, pelan2 tangan masing2 sudah diangkat, dalam detik2 yang tegang mencekam hati ini. Hati Phoa Kin sian semakin tenggelam dan pasrah pada nasib saja. Se-konyong2 terdengar sebuah bentakan nyaring. "Berhenti!" Ketiga setan gantung sama2 melengak heran, tanpa terasa mereka menghentikan langkah terus berpaling kebelakang. Tampak seorang nyonya muda yang cantik rupawan dengan wajah membeku dingin tengah berdiri setombak dibelakang mereka. Betapa hebat kepandaian ketiga setan gantung ini, toh masih belum mengetahui ada musuh yang mengintip gerak gerik mereka, maka sudah terang kalau kepandaian pendatang ini bukan olah2 lihaynya. Dengan penuh keheranan Phoa Kin sian mengawasi nyonya muda yang datang tanpa diundang ini. Heng si khek menjengek dingin, tanyanya. "Siapa kau?" Sorot mata nyonya muda itu menatap kearah Suma Bing, tapi mulutnya menyahuti. "Kau belum berharga menanyakan namaku!" Kontan timbul nafsu keji ketiga setan gantung, Bao bong khek terloroh2, serunya sinis. "Nyonya busuk besar benar mulutmu itu!" Berobah gusar wajah nyonya muda itu mendengar makian 'nyonya busuk' itu, timbul juga nafsu membunuh yang membayang mukanya, matanya mendelik memancarkan sinar dingin. Tanpa terasa Bao bong khek bergidik seram dan mundur selangkah. Terdengar nyonya muda itu mendesis berat. "Karena ucapanmu ini kau pantas dihukum mati!" Masih suaranya itu terdengar, tanpa terlihat bagaimana ia bergerak, tahu2 tubuhnya sudah melejit tiba dihadapan Bao bong khek, kelima jarinya yang lencir dan runcing2 memutih bagai kilat mencengkram tiba, cara cengkraman ini benar2 aneh dan belum pernah terlihat selama ini. Betapa tinggi kepandaian Bau bong khek, kiranya juga tidak mampu berkelit atau menyingkir, maka dilain saat terdengar jeritan yang menyeramkan diselingi suara kejut tertahan. Serasi benar kematian Bau bong khek dengan nama julukannya ini, kepalanya pecah otaknya berhamburan keluar, tubuhnya roboh tanpa bernyawa lagi. Betapa kaget Heng si khek dan Hui bing khek serasa arwahnya terbang ke-awang2. Kepandaian nyonya muda ini benar2 lihay dan dan jarang terlihat atau terdengar dalam dunia persilatan. Tapi betapapun nama Si tiau khek sudah kenamaan akan kekejian dan kekejamannya, kini dua diantara empat setan gantung itu sudah tamat riwayatnya, mana mereka mau tinggal diam dan mandah saja disembelih. Maka sambil mengacungkan tangan yang tinggal sebelah itu Hui bing khek menubruk nekad kearah nyonya muda itu. Dalam waktu yang bersamaan Heng si khek juga menubruk kearah Suma Bing suami istri... "Berani mati!" dimana terlihat nyonya muda itu menggertak nyaring sambil memutar sebelah tangannya, kontan Hui bing khek dihantam terpental balik, jeritan kesakitan memecah kesunyian, lantas disusul sebuah bayangan manusia terbang mumbul beberapa tombak terus terbanting mampus diatas tanah. Demikian sebat dan gesit luar biasa gerak gerik nyonya muda itu, begitu melancarkan serangannya terus dia memutar tubuh, seketika terhiburlah hatinya dan menghela napas lega. Tampak Suma Bing telah berdiri dengan kerengnya, wajahnya diseliputi hawa membunuh, sedang Heng si khek terlihat rebah tak bergerak lagi dikejauhan sana. Ternyata waktu Heng si khek menubruk tiba hendak membokong kebetulan Suma Bing siuman dari latihannya yang telah sempurna dan pulih lagi tenaganya, begitu melihat ada bayangan orang menubruk tiba tanpa banyak bicara lagi, Kiu yang sin kang dikerahkan sepuluh bagian terus dihantamkan keluar. Mimpi juga Heng si khek tidak menduga akan serangan balasan dari Suma Bing, kontan isi perut dan dadanya rontok berantakan tanpa dapat membela diri tubuhnya terbanting mampus. Sinar mata Suma Bing menyapu pandang kearah nyonya muda itu serunya penuh kepedihan. "Kaukah ini?" Nyonya muda mengangguk sayu, sahutnya. "Ya, akulah Engkoh Bing!" Nyonya muda yang berwajah ayu cemerlang ini bukan lain adalah putri Perkampungan bumi yaitu Pit Yau ang. "Siapa dia?" Senggak Phoa Kin sian dingin. Suma Bing unjuk tertawa kecut, katanya. "Adik Sian, dialah Pit Yau ang!" "O!" Seru Phoa Kin sian terperanjat, ter-sipu2 ia maju mendekat sambil berseru riang. "Oh, adikku!" Pit Yau ang melengak, tanyanya. "Kau..." "Akulah Phoa Kin sian!" "O, cici, terimalah hormat adikmu!" Sambil berkata dia membungkuk tubuh memberi hormat. Ter-sipu2 Phoa Kin sian menarik tangannya serta berseru. "Jangan dik, tidak perlu banyak peradatan!" Mendelu dan terpukul batin Suma Bing. Meskipun lahirnya sikap Phoa Kin sian dingin dan kaku, namun hakikatnya dia adalah seorang perempuan yang polos dan welas asih, buktinya terhadap Pit Yau ang sedikitpun tidak merasa iri atau cemburu dan jelus. Sudah tentu Pit Yau ang sendiri juga merasa terhibur dan lega sekali, kedudukannya saat itu tidak lebih hanya gundik Suma Bing saja. Memang sikap dan tingkah laku Phoa Kin sian ini benar2 diluar dugaannya. Sekilas Suma Bing menyapu pandang tiga mayat diatas tanah terus berseru kejut. "Wah, Hui bing khek telah melarikan diri." Phoa Kin sian dan Pit Yau ang berbareng celingukan keempat penjuru, benar juga memang bayangan Hui bing khek sudah menghilang tanpa jejak. Tiraik asih Websi tehttp.// kangz usi.co m/ Waktu pandangan Suma Bing bentrok dengan mayat Teh ciam khek, ia berseru kejut. "Dia ini mati karena keracunan?" Wajah Phoa Kin sian sedikit berobah. Pit Yau ang melirik kearah Phoa Kin sian dan menyahut. "Dia ini mati ditangan cici?" Berkerut alis Suma Bing, tanyanya. "Adik Sian, kau juga pintar menggunakan racun?" Phoa Kin sian tertawa kikuk, katanya. "Ya, tidak begitu mahir, karena terpaksa dan terdesak baru aku turun tangan!" Berputar cepat pikiran Suma Bing, dirinya terkena Racun dalam racun yang disebarkan Racun diracun, kebetulan dia mempunyai Tan tiang tan untuk memunahkan. Sekarang diketahui pula bahwa dia juga pandai menggunakan racun, hal ini mustahil dan kurang masuk akal. Bersama ini lantas terlintas ucapan si maling bintang Si Ban cwan tentang bibinya Ong Fong jui dan Phoa Kin sian, katanya bahwa asal-usul perguruan mereka ada sedikit mencurigakan. Tapi karena mengingat pantangan dan peraturan dunia persilatan dia tidak mau menjelaskan secara terang, sekarang lebih baik dia menanyakan secara langsung kepada istrinya, maka tercetus pertanyaannya. "Adik Sian, aku ada satu soal hendak bertanya padamu!" 39. GAN DAR WA MER AH DUT A DAR I MEN ARA IBLI S. "Tentang urusan apa?" "Tentang asal-usul perguruanmu!" Phoa Kin sian bersikap serba susah dan tertawa pahit, katanya. "Engkoh Bing, maaf Siau moay tidak bisa beritahukan kepadamu!" "Mengapa?" "Karena peraturan perguruan, sangat keras!" Suma Bing menghela napas, ujarnya. "Kalau demikian, aku tidak memaksa kau!" Habis berkata lalu dia berpaling kearah Pit Yau ang dan berkata. "Adik Ang, kenapa kau tinggalkan Perkampungan Bumi..." "Perkampungan Bumi? Hahahahahahaha..." Terdengar suara gelak tawa yang keras dan berat sampai menggetarkan telinga. Kontan tergetar perasaan ketiga orang ini. Ditengah suara gelak tawa itu tampak seorang tua gagah kereng mengenakan jubah merah, pelan2 menghampiri kearah mereka bertiga. "Tuan ini orang kosen darimana?" Tanya Suma Bing dingin! Orang tua jubah merah seakan tidak mendengar, langsung dia berlenggang sampai didepan mereka kira2 berjarak satu tombak baru menghentikan langkahnya, kedua matanya bagai mata elang memancarkan sinar terang menatap tajam kearah Pit Yau ang. Melihat kelakuan orang tua yang kurang ajar ini, bangkitlah kemarahan Suma Bing bentaknya keras. "Hei, tuan tidak tuli bukan?" Pelan2 baru orang tua jubah merah ini mengalihkan pandangannya, tanyanya. Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Buyung, kau ini gembar-gembor terhadap siapa?" "Terhadap kau!" "Buyung seperti kau ini memanggil aku dengan sebutan tuan?" "Karena kupandang kau seorang laki2!" Mata elang si orang tua jubah merah melotot besar, memancarkan cahaya kehijauan yang berjelalatan, katanya sambil tertawa kering. "Siapa namamu?" "Suma Bing!" "Dari perguruan mana?" "Tiada perlu kuberitahu kepada tuan!" "Kau inikah buyung yang kenamaan dikalangan Kangouw sebagai Sia sin kedua?" "Itulah cayhe adanya!" "Kedua anak jelita ini apamu?" "Istriku!" "Heehe, besar keberuntunganmu, sayang mujur tapi kurang abadi!" Suma Bing mendengus dingin, semprotnya. "Tuan apa maksudmu itu?" "Kau tetap memanggil Lohu sebagai tuan?" "Bagaimana anggapan tuan aku harus memanggil?" "Locianpwe!" "Kau tidak sembabat!" "Kenapa?" "Pokoknya tidak sembabat!" "Hm, kau pintar membual dan pintar putar lidah!" "Dalam Bulim mengutamakan keluhuran dan budi pekerti, tiada perbedaan antara tua dan muda." "Buyung agaknya kau terlalu fanatik akan kekuatan ilmu silatmu?" "Ini juga kurang benar, silat atau kekuatan tidak lepas dari pengertian kebajikan". "Jadi anggapanmu aku ini tidak pandai silat juga kurang bijaksana?" "Tepat sekali, terhadap kedua pengertian itu sedikitpun tuan tidak menonjolkan bahwa tuan sudah paham dan tuan sebagai seorang tua yang harus dijunjung puji!" "Nanti sebentar akan Lohu tunjukkan kepada kalian." Lalu dia berputar menghadapi Pit Yau ang, tanyanya. "Pit Gi itu apamu?" "Orang tuaku!" "Bagus sekali, kau ikut Lohu saja, aku tidak perlu kuatir lagi Pit Gi bakal mengeram diri terus seperti bulus." "Kau ini mengoceh apa?" Semprot Pit Yau ang marah. "Budak, berani kau berkata kurang ajar?" "Akan kumaki kau ini orang tua tidak tahu mampus..." "Cari mati!" "Belum tentu?" Pit Yau ang tidak tahu ada permusuhan apa antara orang tua jubah merah ini dengan ayahnya, namun kata2 'mengeram diri sebagai bulus' benar2 menusuk dalam pendengarannya. Baru saja selesai perkataannya, kelima jarinya dipentang terus mencengkram kearah batok kepala si orang tua jubah merah. Kedua mata orang tua jubah merah melotot keluar bagai kelereng, sedikitpun dia tidak bergerak atau berkelit. Tadi sekali cengkram dengan mudah sadja Pit Yau ang mencengkram mati Bau bong khek salah satu dari empat setan gantung yang kenamaan, maka dapatlah diukur betapa hebat serangan cengkraman ini. Begitu melihat orang tua jubah merah tidak menyingkir dan tidak bergerak, segera ia tambah tenaganya berlipat ganda pada kelima jari2 tangannya langsung mengarah batok kepala orang. Sudah dalam dugaan bahwa orang tua jubah merah ini bakal pecah dan tercengkram hancur batok kepalanya. Tapi lantas terdengar seruan kaget tertahan, tampak Pit Yau ang mundur terhuyung beberapa langkah, wajahnya menunjukkan keheranan. Karena waktu tangannya menyentuh batok kepala orang, yang terasa tangannya mencengkram selapis besi baja yang kokoh kuat, karena terlalu besar tenaga yang dia gunakan untuk mencengkram, sampai tangan sendiri yang terasa tergetar linu. Keruan bukan kepalang kejut Suma Bing dan Phoa Kin sian. Entah darimana asal-usul orang tua jubah merah ini. Sedemikian hebat dan tinggi kepandaiannya sampai berani terang2an mandah dicengkram batok kepalanya tanpa kena cidera sedikitpun jua. Orang tua jubah merah menyeringai puas, katanya. "Budak kecil, kau masih terpaut sangat jauh, cengkramanmu ini hanya menggaruk2 gatal diatas kepalaku, lebih baik kau menurut saja ikut Lohu pergi, atau kau ingin Lohu turun tangan?" Sudah kejut dirangsang amarah lagi, saking dongkol sampai tubuh Pit Yau ang gemetar, bentaknya. "Siapa kau sebenarnya?" Orang tua jubah merah ngakak dingin, serunya. "Setelah melihat ini pasti kau akan tahu." Baru saja lenyap suaranya entah cara bagaimana dia bergerak tahu2 pergelangan tangan Pit Yau ang sudah digenggam keras olehnya. Gerak tubuh dan cara turun tangan yang begitu aneh benar2 luar biasa dan tiada bandingannya. "Tangan setan!" Tanpa terasa tercetus seruan kaget dari mulut Phoa Kin sian. Orang tua jubah merah manggut2. "Terhitung kau yang luas pengalaman!" "Kalau tidak salah dugaanku." Kata Phoa Kin sian bersikap sungguh2. "Tuan pasti adalah Ang go ngo tang salah satu dari Kui tha siang go bukan?" "Tepat sekali memang itulah Lohu adanya" Tergetar perasaan Suma Bing, tidak nyana, bahwa si orang tua jubah merah ini ternyata adalah anak buah Kui tha itu salah satu tempat keramat yang disegani oleh kaum persilatan. Entah ada permusuhan atau pertikaian apakah antara Kui tha(menara iblis) dan Perkampungan bumi? Atau mungkin antara Ang go ngo tang dengan raja bumi yaitu Pit Gi mempunyai ganjelan hati pribadi? Dilihat cara orang turun tangan, agaknya ilmu silat Kui tha juga sangat mengejutkan dan tidak kalah hebatnya. Namun Pit Yau ang adalah istrinya, mana bisa dirinya berpeluk tangan tinggal diam, maka segera dia tampil kedepan dan berseru, mengancam. "Lepaskan dia!" Ang go ngo tang atau gandarwa merah Ngo Tang mengekeh iblis, serunya. "Buyung, ringan benar ucapanmu!" Desis Suma Bing dengan geramnya. "Tuan hendak berbuat apa kepada dia?" "Tersangkut-paut apa dengan kau buyung kecil ini?" "Dia adalah istriku, kenapa tiada sangkut-pautnya dengan aku?" "Lalu kau buyung kecil ini hendak apa?" "Lepaskan dia!" Sebagai putri kesayangan Perkampungan bumi, selama hidup baru pertama kali ini Pit Yau ang merasa dihina dan direndahkan, betapa malu dan gusarnya, namun karena jalan darah sendiri dicengkram oleh lawan, tenaga untuk bergerak saja tidak ada, saking gugup dan gelisah keringat membanjir keluar membasahi tubuh. Terdengar si gandarwa merah Ngo Tang menjengek acuh tak acuh. "Buyung, kalau kau adalah suaminya, tentu kau adalah salah satu anggota dari Perkampungan bumi juga, baiklah kupinjam mulutmu untuk memberi kabar kepada Pit Gi, katakan kepadanya; dalam satu bulan dia harus tiba ditelaga hitam dalam perbatasan Kui ciu dan Sucwan, untuk menyelesaikan urusan lama. Dalam jangka sebulan ini kujamin keselamatan putrimasnya ini, selewatnya..." "Selewatnya satu bulan bagaimana?" "Keselamatannya susah diramalkan!" Suma Bing tertawa hambar, serunya. "Aku minta kau lepaskan dia!" "Mengandal kau masih belum mampu!" "Baiklah biar kucoba!" Ditengah suara bentakannya secepat kilat ia turun tangan, langsung kirim sebuah pukulan mengarah dada si gandarwa merah ini. 'Blang.' kontan gandarwa malah Ngo Tang tergetar mundur tiga langkah. Terdengar dia malah bergelak tawa, serunya. "Buyung, hebat juga tenaga dalammu, tapi masih belum mampu mengapakan Lohu?" Berobah airmuka Suma Bing, kecut perasaan hatinya, secara keras, si gandarwa merah mandah digenjot dadanya, ternyata tanpa kurang suatu apa. Betapa dahsyat himpunan kekuatan tenaga dalamnya ini, kenyataan si gandarwa merah ini hanya tergetar mundur tiga langkah. Naga2nya memang dirinya bukan tandingan orang, tapi mana ia mau menyudahi begitu saja. Maka begitu mengerahkan hawa murninya, terus disalurkan kearah jari tengah tangan kanan, kontan cincin iblisnya memancarkan cahaya terang menyilaukan mata. Agaknya gandarwa merah ini insaf akan kekuatan cincin iblis yang hebat itu, air mukanya sedikit berubah tegang. Wajah Suma Bing penuh diselimuti kekejaman, seringainya dingin. "Kau lepas tangan tidak?" "Tidak!" "Kalau tidak kukremus kau hidup-hidup!" "Kau tidak akan mampu!" "Lihat saja nanti!" Dimana sorot cahaya cincin Iblisnya berkelebat, tenggorokan gandarwa merah Ngo Tang yang diincar. Gandarwa merah mengelak kesamping, sambil bergerak itu, tubuh Pit Yau ang dibawa berputar untuk memapaki cahaya serangan cincin iblis... Diam2 Suma Bing mengumpat dan mencaci kelicikan lawan, ter-sipu2 ia harus mendoyong tubuh sambil menekuk lengan tangannya sehingga sorot cahaya cincin iblis mencong kesamping, terpaut serambut hampir saja Pit Yau ang kena terlukakan. Dalam saat itulah seumpama berkelebatnya sinar kilat, secara diam2 Phoa Kin sian mengayunkan sebelah tangannya tanpa mengeluarkan suara menghantam kearah gandarwa merah Ngo Tang. Serangan bokongan secara tiba2 ini betapa tinggi dan kosen kepandaian orang yang diserang juga susah menghindari diri lagi... Dimana terlihat bayangan merah berkelebat, tahu2 gandarwa merah Ngo Tang bagai bayangan setan, sudah menggeser tempat sejauh satu tombak lebih, lalu seringainya sambil berpaling. "Mengandal hasil latihanmu ini masih kurang cukup sempurna." Bukan saja serangannya gagal malah diejek lagi, keruan gusar dan malu Phoa Kin sian bukan buatan, wajahnya sampai pucat dan gemetar. Betapa cepat cara gandarwa merah ini menghadapi reaksi bokongan musuh sungguh sangat mengejutkan. Sekali membanting kaki, tiba2 bayangan Suma Bing menghilang... "Bu siang sin hoat!" Terdengar gandarwa merah berseru kaget. Tiba2 badannya berputar cepat seperti gangsingan... "Lepaskan dia!" Tahu2 sebelah tangan Suma Bing sudah mencengkeram jalan darah Kian kin hiat sebelah kanan. Tapi betapa kaget dan herannya sungguh susah dilukiskan. Ternyata dimana tangannya menyentuh ternyata badan orang sedemikian keras bagai besi baja, keruan ia tertegun. Dan pada detik2 ia tertegun itulah, gandarwa merah Ngo Tang sudah berkelebat selicin belut lolos dari cengkeramannya. Keruan gemes dan dongkol Suma Bing bukan main. Tampak gandarwa merah Ngo Tang mengunjuk rasa kejut2 heran, katanya. "Buyung, sabar sebentar, Lohu ada sedikit omongan!" "Lekas katakan!" "Benar2 kau adalah murid Sia sin Kho Jiang?" "Apa perlunya aku membual?" "Lalu darimana kau peroleh pelajaran Bu siang sin hoat tadi?" "Darimana, kau juga tidak perlu tahu!" "Buyung, kuharap kau suka bicara secara terus terang, jangan kau nanti menyesal sudah terlambat!" "Menyesal, apa maksudmu?" "Apa hubunganmu dengan Bu siang Hujin?" Suma Bing me-nimang2, apakah musuh gentar dan takut menghadapi ketenaran nama Bu siang Hujin, atau ada sebab lain? Maka sahutnya sinis. Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Tiada sangkut-paut apa2!" "Lalu Bu siang sin hoat yang kau kembangkan tadi kau pelajari darimana?" "Tidak perlu kuberitahukan kepadamu!" Wajah tua gandarwa merah berkerut membesi, katanya sungguh2 dengan nada berat. "Benar2 tiada sangkut-paut apa2?" "Tidak salah!" "Bagus sekali. Masih tetap seperti yang kukatakan tadi, beri kabar kepada Pit Gi dalam satu bulan dia harus tiba di Telaga air hitam untuk menyelesaikan urusan lama dan mengambil pulang putri kesayangannya ini. Selewatnya satu bulan, segala akibatnya susahlah dikatakan sekarang!" Habis berkata sambil mengempit Pit Yau ang, tubuhnya berkelebat sepuluh tombak lebih jauhnya. "Lari kemana kau!" Betapa sakti Bu siang sin hoat sambil membentak gusar itu, tubuh Suma Bing sudah berkelebat mencegat dihadapan orang. Gandarwa merah mengekeh gila2an, serunya. "Buyung, kalau kau tidak rela dia segera mati, lebih baik kau tahu diri." Sambil berkata sebelah tangannya yang lain menekan jalan darah Tay yang hiat di pelipis Pit Yau-ang, lalu ancamnya lagi. "Hanya dengan tenaga jari Lohu..." "Kau berani!" "Bukan soal berani atau tidak berani!" "Ingin kutanya, kau ini tengah menjalankan tugas atau sedang..." "Ya, Lohu tengah menjalankan tugas!" "Menerima tugas dari siapa?" "Majikan dari Menara iblis!" "Ada pertikaian apa antara Menara iblis dengan Perkampungan bumi?" "Bocah kecil seperti kau tidak perlu tahu." "Justru aku ingin bertanya!" "Lohu juga tidak akan beritahu kepada kau." Saking murka kepala Suma Bing sampai menguap, ingin rasanya sekali keremus telan musuh ini bulat2. Tapi bagaimanapun dia tidak bisa sembarangan turun tangan, karena Lwekang sendiri masih kalah jauh dengan musuh. Maka mulutnya saja yang dapat bekerja, ejeknya. "Ngo Tang, betapa tenar dan besar nama majikan menara iblis kalian, sungguh tak nyana bisa menyuruh anakbuahnya melakukan perbuatan rendah yang memalukan ini?" Wajah gandarwa merah mengelam biru, sahutnya sinis. "Habis kalau tidak begini, Pit Gi selamanya akan mengeram diri seperti bulus..." "Kentut!" "Keparat kau memaki siapa?" "Memaki kau, kau mau apa?" "Kau cari mati!" Orangnya bergerak mengikuti hilangnya suara makiannya, dengan kecepatan yang paling cepat, langsung ia mencengkram kedada Suma Bing, serangan cengkraman ini bukan saja aneh, lihay juga sangat ajaib jarang terlihat sebelum ini. Seumpama tokoh silat kosen juga susah dapat menghindar diri... Tapi hanya sekali menggeser kaki dan berkelebat menghilang dengan mudah Suma Bing melepas diri dari ancaman musuh. Sudah tentu kalau tidak mengandal keampuhan Bu siang sin hoat, tak mungkin Suma Bing mampu meluputkan diri dari serangan cengkraman setan ini. Gandarwa merah menyeringai seram, ujarnya. "Buyung, kalau kau mau menerangkan dimana letak Perkampungan bumi berada, segera Lohu melepas dia!" Selama diringkus oleh musuh itu, sampai detik itu belum pernah Pit Yau ang membuka mulut. Sekarang mendadak dia bersuara. "Engkoh Bing, biarkan saja, dia takkan dapat berjalan sejauh lima li!" Tanpa terasa Suma Bing melengak sendiri, entah apa maksud perkataan istrinya ini, apa mungkin... Gandarwa merah ter-loroh2 sikapnya sangat angkuh, katanya. "Justru Lohu tidak percaya akan bualanmu!" Pada saat itulah sebuah suara serak dingin yang keras menyahut. "Bualannya ini kau harus percaya betul!" Begitu mendengar penyahutan ini, semua orang terperanjat, waktu memandang kearah datangnya suara. Tampak seorang tua yang memegang kipas, dengan ikat kepala sutra dan jubah panjang bergambar patkwa didepan dadanya, sikapnya tak ubahnya seperti malaikat dewata. Entah kapan kedatangannya, tahu2 sudah berdiri terpaut dua tombak dari mereka. Begitu melihat orang tua ini, bergegas Suma Bing maju memapak terus membungkuk tubuh memberi hormat sambil sapanya. "Menghadap pada Locianpwe!" Cepat2 Phoa Kin sian juga maju turut memberi hormat. Ternyata si pendatang ini tak lain tak bukan adalah Kang kun Lojin yang kenamaan itu. Kata Kang kun Lojin sambil menunjuk Phoa Kin sian. "Dia ini..." "Istriku!" Sahut Suma Bing cepat. Sekian lama Kang kun Lojin mengamat2i Phoa Kin Sian, wajah tuanya mendadak mengelam dalam sambil geleng2 kepala. Gerak geriknya ini membuat Suma Bing tidak habis mengerti. Adalah Phoa Kin sian sendiri juga berpaling kearah lain sambil tunduk terpekur. Baru saja Suma Bing hendak membuka mulut bertanya, terdengarlah sebuah suara halus lirih seperti bunyi nyamuk terkiang dalam telinganya. "Buyung, Lohu ada sedikit paham ilmu meramal. Dalam jangka seratus hari ini istrimu bakal tertimpa suatu bencana, maka ber-hati2 dan waspadalah!" Berobah airmuka Suma Bing. Seorang aneh dan kenamaan seperti Kang kun Lojin pada jamannya dulu, sudi menggunakan ilmu coan im jip bit untuk memperingati dirinya, sudah tentu bukan bualan belaka. Entah mala petaka apakah yang bakal menimpa diri Phoa Kin sian, sebab saat ini dia tengah mengandung, kalau ada kejadian apa2, bukankah... Karena batinnya ini tanpa terasa tubuhnya bergidik dan merinding. Pandangan Kang kun Lojin beralih menyapu kepada gandarwa merah Ngo Tang, katanya. "Lepaskan dia!" Kata2nya ini seolah2 mengandung suatu kekuatan yang tidak terbendung, gandarwa merah Ngo Tang mundur ketakutan, hilanglah sikap angkuh dan kegarangannya tadi, sahutnya tergagap. "Apakah cianpwe ini yang bernama Kang kun Lojin?" "Hm, tepat sekali!" Lagi2 berobah airmuka gandarwa merah, kata Ngo Tang. "Wanpwe menerima tugas dan terpaksa..." "Kau lepaskan dia dulu!" "Baiklah!" Segera Gandarwaa merah melepaskan Pit Yau ang. Karena sedikit teledor maka Pit Yau ang sampai teringkus oleh lawan, gemes dan dongkol benar hatinya. Maka begitu dirinya dilepas tanpa tanggung2 lagi segera tangannya diayun terus menggablok membalik. 'Plak' kontan gandarwa merah terhuyung lima langkah sambil meringis kesakitan. "Siau ang kau mundur!" Seru Kang kun Lojin sambil mengulapkan tangan. Ter-sipu2 Pit Yau ang mengundurkan diri kesamping Suma Bing. Wajah Kang kun Lojin berobah serius, katanya kepada gandarwa merah Ngo Tang. "Aku orang tua bekerja selamanya tidak kepalang tanggung, dalam jangka sebulan. Pit Gi pasti menepati janjinya pergi ke Telaga air hitam. Sekarang kau boleh pergi!" Tanpa banyak bercuit lagi, segera gandarwa merah melejit tinggi terus menghilang. Alis Pit Yau ang berkerut dalam, katanya. "Paman, sebenarnya ada pertikaian apakah antara ayah dengan majikan Menara iblis?" Sahut Kang kun Lojin sambil mengipas2. "Tentang itu kau tanya sendiri kepada ayahmu." "Selamanya tidak pernah dengar dia menyinggung tentang urusan ini?" "Sudah tentu tidak semua urusan terus bercerita kepada kau. Sekarang segera kau kembali ke Perkampungan bumi, suruh ayahmu dalam sebulan ini menepati janji. Kalau aku orang tua sudah mewakilinya berkata, janji ini tidak dapat tidak harus, ditepati. "Akan tetapi..." "Bagaimana, berat meninggalkan suami mudamu ini?" "Tua2 keladi, semakin tua semakin jadi!" Semprot Pit Yau ang dengan muka merah dan malu. Suma Bing sendiri juga merasa mukanya panas. Kata Kangkun Lojin sungguh2. "Kalau majikan Menara iblis mengutus orang untuk meringkus kau buat memaksa ayahmu keluar, pasti urusan ini bukan sembarang urusan, kau harus segera kembali, supaya dia bisa bersiap sebelumnya!" "Biar Titli mengutus orang memberi kabar..." "Tidak boleh, sekarang juga kau harus pulang sendiri." Keadaan Pit Yau ang serba susah dipandangnya Kangkun Lojin dengan sorot tanda tanya, lalu berpaling kearah Suma Bing, katanya. "Engkoh Bing, kapan kau akan pulang kampung?" Suma Bing tertawa kecut, sahutnya. "Aku...?" "Masa kau..." "Urusanku belum selesai, kapan aku kembali susah ditentukan." Sambil berkata sorot matanya melirik kearah Phoa Kin sian, selalu dia merasa mengganjal dalam hati, lirikan selayang pandang ini mengandung rasa penyesalan yang dalam. Sebaliknya Phoa Kin sian mengunjuk tertawa tawar saja. Pit Yau ang menghampiri kearah Phoa Kin sian dan berkata. "Cici, kau sudah berjanji hendak menetap bersama Engkoh Bing di perkampungan bumi bukan?" "Ya, dulu aku pernah berjanji!" "Sekarang saja kau berangkat dulu bersama aku?" "Jangan, masih ada urusan pribadiku yang belum selesai kukerjakan." "Urusan pribadi apa?" "Saat ini tidak leluasa kuberitahukan kepadamu, tapi ada sebuah pertanyaan hendak kutanya kepada kau..." "Silahkan cici katakan." "Apa kau benar2 cinta dia?" "Ini... apa maksud cici?" "Jawablah menurut isi hatimu." "Ya, memang aku cinta dia, malah perkawinan kita sudah direstui oleh orang tuaku." "Harap selalu ingatlah perkataanku ini, berilah bahagia kepada dia." Pit Yau ang mengunjuk rasa tak mengerti dan termangu heran, katanya. "Cici, mengapa kau berkata demikian?" "Kelak kau akan paham!" Alis Suma Bing berkerut semakin dalam, ucapan atau kisikan Kangkun Lojin tadi membuatnya risau dan was2. Pikirnya, apa benar2 dalam jangka seratus hari ini Phoa Kin sian bakal tertimpa malapetaka? Ini benar2 menakutkan cara yang sempurna untuk mengatasinya adalah segera dirinya mengantar tiba Hoan hun tan kedalam solokan untuk menolong bibinya Ong Fong jui, lalu secara diam2 memberi kisikan kepada bibinya supaya mengawasinya selalu tanpa berpisah selangkahpun juga. Karena pikirannya ini hatinya sedikit terhibur dan dada terasa lapang. Terdengar Kangkun Lojin mendesak lagi. "Siau ang, kau segera berangkat!" Dengan penuh rasa berat Pit Yau ang ambil berpisah kepada mereka bertiga terus berlari menghilang dikejauhan sana. Kangkun Lojin kebutkan lengan bajunya serta berkata. "Aku orang tua juga harus pergi. Buyung, selamat bertemu!" "Selamat bertemu!" Begitu habis ucapannya bayangan Kangkun Lojin juga lantas menghilang. Suma Bing terlongong memandangi Phoa Kin sian, hatinya penuh diliputi kuatir dan ketakutan. Kata Phoa Kin sian sambil mengulum senyum. "Engkoh Bing, kenapa kau pandang aku demikian?" "Oh, tidak apa2." Sudah tentu dia tidak akan memberitahukan kisikan Kangkun Lojin kepada Phoa Kin sian. Ratna Wulan Karya Kho Ping Hoo Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo