Ceritasilat Novel Online

Pedang Darah Bunga Iblis 24


Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH Bagian 24


Pedang Darah Bunga Iblis Karya dari G K H   Tiba2 otaknya mendapat suatu ilham yang membuat terang hatinya.   Baru sekarang dia sadar mengapa Majikan Menara iblis serta Gandarwa merah dan hitam bisa dengan antengnya berdiri dipermukaan air.   Maka dicarinya dua lembar papan kayu selebar telapak tangan terus diikat dibawah sepatunya.   Waktu ia melompat turun kedalam air, eh benar juga ternyata anteng dan ringan sekali.   Begitu Giok ci sin kang dipusatkan, seketika terasa badannya seenteng daon, secepat burung walet terbang terus melesat kearah Menara iblis itu.   Sebentar saja tibalah dia didepan pintu Menara iblis.   Kiranya bangunan Menara iblis ini melingkupi tanah seluas puluhan tombak, selain Menaranya yang tegak meninggi sekelilingnya masih ada tanah pelataran kosong.   Memandangi Menara iblis didepannya ini, tanpa terasa ciut nyali Suma Bing, seluruh bangunan Menara ini terbuat dari besi baja, selain dua pintu besi yang terpasang ditingkat paling bawah, lapisan selanjutnya sampai paling puncak tiada pintu atau jendela sebuahpun, se-akan2 berbentuk seperti keong.   Diatas pintu besi besar itu terpancang papan besi yang bertuliskan 'Menara Iblis'.   Sejenak Suma Bing ragu2, lalu dengan langkah lebar mendekat kedepan pintu, waktu tangannya mendorong ternyata tidak bergeming, maka ia mundur tiga langkah, kedua tangannya menghimpun seluruh tenaganya terus dihantamkan kearah pintu besi itu.   Dentuman keras menggelegar membuat seluruh bangunan Menara itu tergetar.   Pintu besi itu terpentang lebar bertepatan dengan itu hujan anak panah memberondong keluar.   Tercekat hati Suma Bing, sebat sekali kakinya menggeser kesamping delapan kaki, untung bisa terhindar dari serangan keji ini.   Setelah menenangkan gejolak hatinya, sambil melintangkan kedua tangan didepan dada gesit sekali ia melompat masuk kedalam Menara iblis.   Terdengar suara kereyat kereyot, pintu besi Menara iblis itu mulai menutup sendiri.   Keadaan dalam menara seketika gelap gulita sampai lima jari sendiri tidak terlihat.   Betapapun tinggi dan hebat kepandaian Suma Bing, dalam keadaan sekarang ini tak urung hatinya kebat-kebit dan was2 juga.   Sekian lama kedua matanya dipejamkan, lalu dibuka kembali, samar2 pemandangan dihadapannya mulai jelas, dimana sorot matanya memandang mendadak ia menjerit kaget dan melompat mundur.   Tampak ber-puluh2 kerangka tengkorak yang lengkap berdiri berjajar membelakangi dinding, sikapnya mengancam dengan menjulurkan kedua tangannya kedepan siap hendak menubruk mangsanya.   Perasaan dingin timbul diatas tengkuknya terus menjalar keseluruh tubuh.   Seram dan menakutkan benar sehingga tanpa terasa telapak tangan Suma Bing basah oleh keringat.   Tiba2 suara ringkik jeritan setan terdengar saling bersahutan menusuk telinga.   Semua kerangka itu mendadak bergerak2 dan mulai bertindak maju dengan langkah kaku terus merubung kearah dirinya.   Keruan Suma Bing merasa arwahnya terbang ke-awang2, keringat dingin ber-ketes2 membasahi tubuh.   'Trap, trap!' irama tulang2 yang bergeser diatas tanah menambah keseraman suasana yang menakutkan.   Kerangka sudah tentu tidak akan bisa bergerak, tidak perlu disangsikan pasti semua ini ada peralatan yang mengendalikan.   Suma Bing mengheningkan cipta menenangkan gejolak hatinya, tiba2 tangannya terayun terus memukul kedepan.   Kontan beberapa kerangka yang berada didepan tersapu roboh berantakan menumbuk dinding.   Suara tulang2 yang tercerai berai menumbuk dinding terdengar riuh rendah, asap putih kehijauan ber-gulung2 dari tulang2 yang hancur ber- keping2 itu.   Kerangka lain yang tidak terserang masih tetap melangkah kaku mendekat kearahnya dengan sikap mengancam.   Bahwa pukulannya dapat merobohkan beberapa kerangka itu, ini menambah keberanian Suma Bing.   Sambil menggereng keras dia menggerak2kan kedua tangannya sambil memutar badan sekaligus Suma Bing serang semua kerangka yang mengelilingi dirinya.   Maka dalam sekejap saja kerangka2 itu menjadi setumpukan tulang2 kering yang hancur berantakan berserakan dimana2.   Tapi asap putih kehijauan yang menguap dari dalam tulang2 yang hancur itu bertambah lebat memenuhi ruangan.   Kabut putih ini mengeluarkan bau harum yang dapat memabukkan orang.   Suma Bing merasa kepala pening dan badan terasa enteng, tahu dia bahwa kabut putih ini ternyata mengandung racun jahat.   Cepat2 ia kerahkan hawa murni dalam tubuhnya untuk membendung serangan hawa beracun ini.   Untung dia pernah menelan rumput ular yang berkhasiat menolak segala bisa, kalau tidak tanggung sejak tadi ia sudah terkapar roboh tanpa bernyawa lagi.   Waktu angkat kepala memandang keatas, lapis kedua kira2 setinggi dua tombak, tampak undakan atau tangga untuk naik keatas.   Hanya disebelah kanan sana terbuka sebuah lobang kecil kira2 lima kaki, lobang kecil inilah agaknya menjadi pintu penghubung untuk menerobos masuk ketingkat dua itu.   Dengan adanya pengalaman yang berbahaya pada tingkat permulaan ini, sudah pasti pada tingkat kedua juga tidak bakal selamat begitu saja, mungkin bahaya yang mengancam lebih menakutkan dan lebih seram.   Sekian lama Suma Bing mengamat2i lobang kecil itu, tiba2 ia menghantam kearah lobang bundar itu, terus tubuhnya ikut melejit kesamping...   'Blum!' terdengar dentuman menggelegar, sebuah papan baja bundar sebesar lobang diatasnya itu meluncur mengemplang keatas kepalanya, untung dia cepat menyingkir sehingga papan baja itu jatuh diatas tanah menggetarkan seluruh bangunan Menara iblis, dari sini dapatlah dibayangkan betapa berat papan besi baja itu.   Kalau secara ceroboh tadi Suma Bing terus meloncat keatas hendak menerobos naik, pasti tubuhnya akan tertindih hancur lebur menjadi perkedel.   Sekian lama Suma Bing kesima dan menelan air liur sambil melelet lidah.   Tapi bagaimana juga karena Majikan Perkampungan bumi terkurung dipuncak menara ini, seumpama gunung golok dan wajan minyak mendidih juga harus dihadapi dan diterjang terus.   Begitulah setelah hatinya tenang dan semangatnya pulih kembali, beruntun tangannya bergerak memukul tiga kali, setelah dilihatnya tiada reaksi apa2 baru kakinya dijejakkan, tubuhnya terus melejit keatas menerobos lobang bundar itu.   Pada saat tubuh Suma Bing baru saja muncul diambang lobang kecil itu, segulung angin pukulan laksana gugur gunung sudah menerjang tiba mengarah tubuh Suma Bing.   Kesempatan untuk berpikir saja belum ada tahu2 badan Suma Bing sudah terpental jauh menumbuk dinding besi baja.      Tiraikasih Websitehttp.//kangzusi.com   / 'Blang', tubuhnya terpental balik lagi terus terkapar diatas tanah, terasa kepalanya pusing tujuh keliling, mata ber- kunang2.   Waktu ditegasi terlihat seorang perempuan berpakaian serba hitam dengan rambut terurai panjang tengah berdiri membelakangi dirinya.   Jadi yang membokong dengan pukulan tadi terang adalah perbuatan perempuan ini.   Timbullah hawa amarahnya bentaknya.   "Berputarlah untuk terima kematianmu!"   "Terima kematian? Hahahahahahaha..."   Nada kata dan tertawanya hakikatnya bukan suara yang keluar dari mulut makhluk berjiwa, sedemikian dingin kaku seram dan aneh menakutkan. 46. MENEBUS CINTA. Tanpa terasa berdiri bulu kuduk Suma Bing, gertaknya sekali lagi.   "Aku tidak ingin membunuhmu dari belakang!"   "Membunuh aku? Apa kau mampu?"   "Segampang membalikkan tangan!"   "Huh, kau sedang bermimpi?"   "Baik, lihatlah ini!"   Diiringi bentakan kedua tangannya sudah bergerak...   Namun sebelum tenaga terkerahkan keluar, mendadak terasa papan besi dimana dia berpijak bergerak terus berputar, semakin berputar semakin cepat.   Kontan pandangannya menjadi kabur dan kepala terasa berat dan pening.   Diam2 hatinya mengeluh, kalau berputar terus seperti ini tak sampai sepeminuman teh pasti dirinya akan roboh secara konyol.   Suara dingin yang menusuk telinga itu mendadak terdengar lagi.   "Suma Bing, bagi yang berani memasuki Menara iblis, selain menjadi setan tiada jalan lain untuk hidup". Pecah nyali Suma Bing, tapi apa yang dapat diperbuatnya, dalam keadaan tubuh turut berputar seperti gangsingan itu, darah mulai bergolak dirongga dadanya. Apakah harus mandah saja terima kematian? Biasanya orang yang terdesak dalam bahaya bisa timbul akal sehatnya, demikian juga mendadak Suma Bing mendapat ilham cara bagaimana dia harus menyelamatkan diri. Tiba2 tubuhnya meluncur tinggi terus bergantungan diatas atap loteng tingkat ketiga se-olah2 seekor kelelawar besar. Terdengar sebuah seruan kejut, besi berputar itu juga segera berhenti. Perempuan aneh bagai setan itu masih tetap berdiri ditempatnya. Suma Bing melayang turun terus mencengkram kearah lawan... Selicin belut perempuan itu berkelit kesamping terus membalik badan. Napas Suma Bing hampir berhenti dan serta merta mundur berulang2. Sungguh dia tidak dapat membedakan apakah makhluk dihadapannya ini manusia atau setan. Seumur hidupnya belum pernah dilihatnya makhluk seaneh ini. Panca indra perempuan ini tidak lengkap, wajahnya penuh goresan luka dan daging yang menonjol2 matanya tinggal satu dan miring kesamping, hidungnya bolong plong dan mulutnya meringis kelihatan dua baris giginya yang memutih menyeramkan...   "Kau ini manusia atau setan?"   "Terserah apa yang hendak kau katakan!"   Suma Bing menjadi nekad dan bertekad, katanya.   "Tak peduli kau ini manusia atau setan, yang terang kau memang harus mampus!"   Ih sing to cwan(bintang bergeser jumpalitan) yaitu jurus kedua dari Giok ci sin kang dengan kecepatan yang susah diukur dilancarkan untuk menyerang.   Jurus Ih sing to cwan inilah yang telah mengalahkan Hui Kong Taysu, si padri agung dari Siau lim si yang diabdikan sebagai Hudco.   Betapa dahsyat kekuatannya dapatlah dibayangkan.   Apalagi sekarang dilancarkan didalam ruang menara yang luasnya hanya empat tombak saja, hampir setiap senti peluang yang kosong sudah terlingkup dalam kekuatan pukulan Suma Bing ini.   Baru saja perempuan aneh tadi hendak menggerakkan alat rahasianya, tapi sudah terlambat.   Terdengar keluhan tertahan lantas badan perempuan itu limbung kebelakang terus terkapar roboh tak bergerak lagi.   Suma Bing menyeringai dingin, sekali cengkram dengan mudah saja ia jinjing tubuh orang terus mendongak memandang ketingkat ketiga, dia bersiap menggunakan perempuan yang terluka berat ini sebagai perintis jalan menerobos lobang kecil yang menuju ketingkat tiga itu.   Memang perbuatannya ini agak kejam.   Tapi bagaimana juga perempuan jelek rupa ini harus dikorbankan menjadi makanan bagi alat2 rahasia yang dipasang ditingkat ketiga itu.   Pada saat itulah mendadak sebuah nada dingin kaku berkata gugup.   "Suma Bing, letakkan dia!"   Sebat sekali Suma Bing memutar tubuh, dilihatnya majikan Menara iblis sudah berdiri dihadapannya.   "Letakkan dia!"   Seru majikan Menara iblis pula. Suma Bing mendengus ejek, katanya.   "Kau anggap sedemikian gampang?" "Lalu kau mau apa?"   "Kuharap dia membuka jalan untuk naik ketingkat ketiga itu!"   "Tidak mungkin!"   "Tidak mungkin? Kalau kau bilang tidak lantas benar tidak?"   Berulangkali wajah majikan Menara iblis ber-ganti2 tak menentu, desisnya dingin.   "Suma Bing, dia sudah terluka berat sekali..."   "Memang, tapi justru cayhe baru saja terhindar dari ancaman elmaut!"   "Letakkan dia!"   "Tidak bisa."   "Kalau sampai terjadi apa2, awas, tubuhmu pasti hancur lebur!"   "Kalau kau anggap kau bisa berbuat begitu, silahkan lakukan, aku anggap sepele!"   "Suma Bing, menara ini dibangun dengan besi baja, selain lobang hawa tiada pintu atau jendela. Seumpama kau dapat menerobos sampai ketingkat teratas, juga hanya kematian saja bagimu, jangan harap kau dapat tinggal pergi dengan masih bernyawa!"   "Itukan urusanku sendiri nanti!"   "Jadi kau sudah bersiap mengantar nyawamu didalam menara ini?"   "Belum tentu, masih terlalu pagi untuk menentukan itu!"   Sikap gugup dan nada ucapan majikan Menara iblis yang lunak ini benar2 membuat Suma Bing ter-heran2.   Kenapa sedemikian besar perhatian majikan Menara iblis ini terhadap perempuan jelek yang sudah setengah mampus ini? "Suma Bing, lepaskan dia, biar kululusi kau naik terus tingkat teratas dengan selamat."   Suma Bing me-nimang2 mati hidup Tekun masih belum diketahui daripada menerjang secara sembrono, lebih baik menyetujui permintaan orang saja.   Orang ini adalah ketua dari suatu aliran yang ditakuti, sudah tentu tidak akan ingkar janji, maka segera katanya dingin.   "Apa benar majikan Perkampungan bumi terkurung dipuncak sana?"   "Benar!"   "Apa benar dia belum mati?"   "Pertanyaanmu ini berlebihan."   "Baik, aku setuju dengan permintaanmu itu!"   Lalu dilemparkan perempuan jelek itu kearah majikan Menara iblis.   Ter-sipu2 majikan Menara iblis maju menyambut terus memeriksa lukanya, lalu mengusap wajahnya.   Pandangan Suma Bing serasa kabur, matanya terbelalak.   Ternyata perempuan jelek menyerupai setan itu adalah penyamaran dari seorang gadis yang cantik rupawan.   Kiranya dia mengenakan kedok muka untuk me-nakut2i orang.   Baru sekarang dia paham, gadis ayu ini pasti ada hubungan sangat erat dengan majikan Menara iblis, mungkin juga anaknya, kalau tidak mana mungkin dia begitu gugup dan perhatian malah mau mengalah mengajukan syarat tukar menukar.   Sekian lama majikan Menara iblis memeriksa dengan teliti, akhirnya pandangannya beringas dan membentak bengis.   "Suma Bing, kalau lukanya sampai tak dapat ditolong akan kubalas dengan tindakan keji yang paling kejam!"   Nada ucapannya mengandung ancaman serius yang berlimpah2. Acuh tak acuh Suma Bing menyahut.   "Kalau kau mampu melaksanakan ancaman itu cayhe takkan berkerut alis!" "Baik, semua alat rahasia kini sudah kututup semua, silahkan kau naik keatas!"   Sejenak Suma Bing bimbang, lalu melejit menerobos lobang bundar diatasnya.   Benar juga tanpa rintangan yang membahayakan dalam sekejap saja, dia sudah tiba ditingkat kesebelas.   Setingkat lagi adalah yang terakhir, itulah tempat dimana Te kun sekarang tengah dikurung.   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Seperti yang sudah2, hanya lobang bundar sebesar kakilah satu2nya, penghubung antara tingkat demi tingkat itu.   Perasaan Suma Bing mulai tegang.   Dia ingin berteriak memanggil, tapi setelah dipikir2, akhirnya dia urung membuka suara, sekali kakinya mengenjot tanah, tubuhnya terus menerobos lewat dan tiba ditingkat teratas.   "Siapa itu?"   Terdengar sebuah bentakan nyaring serak.   Sekali dengar lantas Suma Bing tahu itulah bentakan yang keluar dari mulut Te kun sendiri.   Suma Bing menyapu pandang kesekelilingnya, melihat apa yang terpajang dihadapannya seketika ia terlongong2.   Sampai lupa memberi jawaban! Itulah sebuah ruang atau kamar yang dihias sedemikian indah dan mewah seumpama kamar penganten, sinar mutiara berkilauan menerangi seluruh kamar itu.   Tampak Te kun tengah duduk tegap diatas sebuah korsi malas.   Wajahnya mengunjuk rasa kejut, matanya kesima memandangi Suma Bing.   Ini bukan kamar tahanan, jadi terang bahwa Te kun juga bukan ditahan.   Pasti ada hal2 apa yang mencurigakan? Konon bahwa seorang diri Te kun meluruk datang menepati janji dan terkubur didasar Telaga air hitam.   Tapi kenyataan dia masih segar bugar? Ada pula yang mengatakan Te kun terkurung dipuncak Menara iblis, namun kenyataan ini juga berlawanan dengan berita yang dikabarkan? Adalah majikan Menara iblis ternyata adalah perempuan setengah umur yang masih cantik molek, mungkinkah disini letak persoalannya? Otaknya sampai terasa berdenyutan memikirkan persoalan ini.   Akhirnya Te kun Pit Gi membuka suara.   "Menantuku, untuk apa kau kemari?"   Suaranya sudah tidak berat dan berwibawa seperti waktu masih berada di Perkampungan bumi, tak ubahnya seperti orang tua biasa yang tengah bicara dengan menantunya. Sesaat Suma Bing tertegun, lalu sahutnya sambil membungkuk hormat.   "Siau say(menantu) menghadap Te kun!"   "Sudahlah, coba katakan mengapa kau datang kemari?"   "Menurut kabar bahwa Te kun sudah terkubur di Telaga air hitam. Seluruh kekuatan Perkampungan bumi akan diboyong kemari untuk menuntut balas. Maka jauh2 Siau say menyusul tiba, tapi..."   "Kenyataan tidak seperti apa yang dikabarkan?"   "Ya, benar!"   "Kabar kematian itu memang aku sendiri yang suruh orang menguarkan!"   "Kenapa?"   Tanya Suma Bing tersentak kaget. Agaknya Raja bumi sudah berobah sangat tua dalam sekejap mata ini, katanya sambil menghela napas.   "Selama hidup ini aku sudah berkeputusan untuk tidak kembali lagi ke Perkampungan bumi atau muncul didunia persilatan!"   Lebih heran dan tak mengerti, dalam ingatan Suma Bing betapa garang dan besar wibawa Raja bumi tempo hari sungguh tidak nyana hari ini bisa bicara demikian lunak dan lembek, ini benar2 susah dapat dipercaya. Berkata pula Te kun Pit Gi.   "Kau merasa diluar dugaan bukan?"   "Ya."   "Sudah kebancut kau datang kemari, terpaksa harus kututurkan duduk perkara sebenarnya. Tapi, kau harus ingat satu hal..."   "Harap jelaskan?"   "Duduk perkara peristiwa ini hanya kuijinkan kau sendiri yang tahu, selamanya jangan kau bocorkan kepada siapapun juga!"   "Terhadap adik Ang juga tidak boleh?"   Terbayang rasa duka pada wajah Raja bumi, sahutnya.   "Dia boleh dikecualikan, tapi juga harus tiba saatnya yang tepat baru boleh kau beritahu kepadanya."   "Yang dimaksud tiba saatnya adalah..."   "Sedikitnya setelah duapuluh tahun kemudian."   "Duapuluh tahun kemudian?"   "Bersama itu, kau juga harus tahu benar bahwa aku sudah mati."   "Ini..."   "Inilah perintahku yang pertama dan yang terakhir kepadamu, kau harus patuh!"   "Tapi Perkampungan bumi tiada yang memimpin..."   "Kaulah calon penggantinya."   Berobah airmuka Suma Bing, sungguh dia tidak berani membayangkan masa depannya, sebab dia masih berhutang budi terhadap Racun diracun, namun dia juga harus membunuh Racun diracun.   Dia sendiri pernah berkata akan menebus budi orang dengan kematiannya, untuk membuktikan kejantanannya bahwa dia dapat membedakan antara budi dan dendam.   Baru saja pikiran Suma Bing melayang2, terdengar Raja bumi berkata lagi.   "Menantuku, kau tahu mengapa aku berbuat demikian?"   "Siau say tidak paham!"   "Untuk menebus cinta!"   "Menebus cinta? Apakah artinya?"   Berobah nada ucapan Raja bumi, sedemikian berat serak dan merawan hati.   "Dulu, aku menelantarkan seorang perempuan. Sekarang, dengan sisa hidupku ini aku harus menebus kesalahanku itu kepadanya!"   "Siapakah dia?"   "Majikan Menara iblis!"   "O!"   Tergetar seluruh tubuh Suma Bing.   Mimpi juga tidak nyana bahwa urusan ini ternyata ber-liku2 sedemikian jauh.   Bahwa dua majikan dari Perkampungan bumi dan Menara iblis yang sangat disegani itu kiranya adalah sepasang kekasih, tapi dia salah berpikir...   "Dia adalah istriku sah, kita mempunyai seorang anak perempuan, lebih tua dua tahun dari Yau ang. Dia bernama Yau cu!"   "O!"   Tercetus seruan kaget dari mulut Suma Bing.   Teringat olehnya gadis molek yang terluka berat oleh pukulannya ditingkat kedua tadi, pastilah dia itu Pit Yau cu adanya.   Dia adalah toaci dari istrinya kedua Pit Yau ang, entah bagaimana keadaannya.   "Apa kau tahu siapakah aku ini dulu?"   Terbayang oleh Suma Bing percakapan Pek chio Lojin dan muridnya, segera ia manggut2 dan sahutnya.   "Tahu!"   "Tahu! darimana kau tahu?"   "Dengar dari percakapan orang!"   "Coba katakan yang kau tahu!"   "Kiu im Suseng adalah tokoh silat nomor satu diseluruh jagad ini pada pertandingan silat pertama dipuncak Hoa san..."   "Ya, kau benar. Sejak aku menggondol gelar jago nomor satu seluruh jagad yang kosong itu, pengalamanku hampir sama dengan nasibmu itu!"   "Sama dengan nasibku?"   "Ya, sama benar, seperti kau menjadi duplikatku!"   "Terpilih sebagai huma oleh Perkampungan bumi?"   "Semua benar, dalam keadaan yang tidak merdeka aku dinikahkan dengan ibu Yau ang. Sejak itu aku menduduki jabatan sebagai Raja bumi. Sedang ibu Yau ang sejak melahirkan Yau ang terus meninggal dunia. Dan bertepatan dengan waktu aku terpilih sebagai calon Huma di perkampungan bumi, Yau cu ibu beranak mendadak menghilang, kemana2 aku telah mencari tanpa hasil. Tak nyana takdirlah yang menentukan, kiranya dia telah menjadi majikan dari Menara iblis ini!"   Habis berkata ia menghela napas panjang dengan lesu! Suma Bing manggut2, ujarnya.   "Sekarang aku paham!"   Pada saat itulah sebuah bayangan mendadak muncul bagai bayangan setan.   Terlihat bayangan itu tengah membopong bayangan orang lain.   Mereka bukan lain adalah majikan Menara iblis ibu beranak.   Air muka majikan Menara iblis membesi kaku, matanya menyorotkan kemarahan yang ber-api2.   Melihat gelagatnya, ciut nyali Suma Bing, perasaannya ikut tenggelam dan mendelu mungkin Pit Yau cu sudah meninggal? Terdengar Te kun berjingkrak kaget, serunya.   "Dia... Yau cu kenapa?"   "Dia sudah mati!"   Sahut majikan Menara iblis penuh kebencian. Te kun melompat bangun serunya gemetar.   "Apa katamu?"   "Cuji sudah mati?"   "Bagaimana bisa mati?"   "Menantumu yang bagus itulah yang turun tangan!"   Bergetar seluruh tubuh Te kun, dua kilat matanya menatap tajam ke wajah Suma Bing lama dan lama kemudian baru tercetus pertanyaannya.   "Kau yang membunuh dia?"   Suma Bing menggigit gigi, sahutnya.   "Benar, sebelum ini kita masing2 adalah musuh besar yang harus menentukan mati atau hidup!"   Te kun maju memayang tubuh Yau cu, dua titik air mata meleleh keluar menetes di wajahnya yang pucat pias tanpa darah. Ancam majikan Menara iblis gemetar.   "Suma Bing, sudah kukatakan akan kuhancur leburkan tubuhmu menjadi perkedel!"   Serta merta Suma Bing mundur selangkah! Suara Te kun terdengar sangat sedih.   "Istriku, dia tidak sengaja..."   Mata majikan Menara iblis semakin me-nyala2, semprotnya beringas.   "Kau berani merintangi aku menuntut balas anak gadisku?"   Sementara itu Te kun tengah memeriksa denyut jantung anak gadisnya, mendadak dia berseru kegirangan.   "Nadi besarnya masih belum putus..."   "Aku tahu, tapi seumpama tabib Hoa tho(tabib kenamaan pada jaman Sam kok) hidup lagi juga jangan harap dapat menyembuhkan dia!"   Mendengar ini, Suma Bing berseru girang, tanyanya gugup.   "Apa betul nadi besarnya belum putus?"   "Betul."   Sahut majikan Menara iblis mengertak gigi.   "delapan nadi diseluruh tubuhnya sudah hampir musnah, meskipun..."   "Bisa ditolong."   "Apa, bisa ditolong?"   Te kun dan majikan Menara iblis berseru kejut berbareng. Suma Bing mengusap keringat yang membasahi jidatnya, serta katanya.   "Ilmu Kiu yang sin kang yang Siau say pelajari dapat menolongnya!"   Majikan Menara iblis masih kurang terima, jengeknya.   "Suma Bing, kau menolong dia untuk menolong jiwamu sendiri!"   Watak Suma Bing juga keras dan congkak, hampir saja kemarahan hatinya meledak namun karena berhadapan langsung dengan Te kun sedapat mungkin ia tahan kemarahannya, sahutnya dingin.   "Aku menolongnya karena aku kenal budi pekerti, bukan untuk menolong diriku sendiri."   Te kun Pit Gi meletakkan Pit Yau cu diatas ranjang lalu katanya.   "Menantuku, lekaslah kau menolongnya!"   Setelah menenangkan hatinya dan menghimpun semangat, Suma Bing maju mendekati ranjang, secepat terbang tangannya bergerak menutuk berbagai jalan darah besar, lalu mencopot sepatu naik dan duduk diatas ranjang.   Kiu yang sin kang mulai dikerahkan melalui tangan yang menekan batok kepala terus disalurkan, hawa murni yang positip bersifat panas terus membanjir masuk...   Sepeminuman teh kemudian, badan Suma Bing basah kuyup bagai kehujanan, wajahnya pucat pasi.   Sebaliknya Pit Yau cu bernapas teratur, darahnya sudah berjalan normal airmukanya juga sudah bersemu merah.   Tanpa berkesip Te kun dan majikan Menara iblis mengawasi keadaan anaknya.   Setengah jam telah berlalu lagi, terdengar Pit Yau cu mulai mengerang lirih Pit Yau cu membuka mata dan pelan2 bangkit berduduk, begitu melihat Suma Bing yang tengah bersamadi diatas ranjang, sambil menggerung gusar terus angkat tangan mengepruk kebatok kepala Suma Bing...   "Jangan Cuji!"   Cegah Te kun sambil menyambar pergelangan tangannya serta katanya pula.   "Kejadian ini akibat salah paham, untuk menolong kau dia sudah kehilangan banyak hawa murni. Kau turunlah beristirahat!"   Pit Yau cu menarik pulang tangannya, setelah melerok sekali lagi kearah Suma Bing terus putar badan dan menghilang dipintu rahasia.   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Waktu Suma Bing selesai dengan samadinya, itu sudah berselang satu jam kemudian dihadapannya tinggal Te kun seorang saja.   Kata Te kun dengan sedihnya.   "Menantuku, tugas berat Perkampungan bumi selanjutnya kini terjatuh diatas pundakmu?" "Siau say akan junjung tinggi pengharapan Gak tio(bapak mertua) yang mulia!"   "Bagus sekali, masih ada lagi, kuharap kau perlakukan Angji baik2..."   "Pasti aku bisa."   "Jagalah dirimu baik2, sekarang boleh kau pergi. Ingat dan jangan lupa pesanku tadi."   "Siau say ingat betul, sekarang juga minta diri!"   Setelah membungkuk dan memberi hormat langsung Suma Bing turun dari Menara iblis.   Kini pintu besar Menara iblis sudah terbuka lebar, hanya sekarang tidak tampak bayangan seorang jua.   Seperti datangnya tadi dia menyebrangi danau dan kembali tiba didarat.   Memandang kearah Menara iblis dikejauhan sana, hatinya terasa hampa dan masgul, Sang junjungan yang agung majikan Perkampungan bumi kenamaan dan ditakuti akhirnya harus menghabiskan sisa hidupnya ditempat pengasingan.   Tapi, sudah seharusnya ia merasa tentram dan puas, seperti apa yang dikatakan sendiri tengah menebus cintanya yang tertunggak.   Baru sekaranglah diinsafi pula olehnya bahwa semua kejadian dan peristiwa dikalangan Kangouw ternyata serba- serbi dan tiada sesuatu yang selalu abadi.   Sekonyong2 terdengar derap langkah kaki yang ramai tengah mendatangi dari kejauhan sana, disusul berkelebat beberapa bayangan manusia tengah melayang tiba bagai bintang terbang.   Betapa jeli pandangan Suma Bing sekarang, dari kejauhan sudah dilihatnya bahwa mereka itu bukan lain adalah anak buah dari perkampungan bumi.   Yang mengepalai dan terdepan adalah istrinya sendiri yaitu Pit Yau ang bersama Coh hu dan Yu pit dua perdana menterinya, dan dibelakangnya lagi adalah para Tongcu dan semua petugas hukum serta para kerabatnya, jumlahnya tidak kurang dari dua ratusan orang.   Ditengah ramainya suara kaget bayangan orang2 itu melayang tiba semua.   Pit Yau ang berjingkrak kegirangan diluar dugaan serunya.   "Engkoh Bing, tak terduga kau telah tiba lebih dulu!"   Suma Bing tertawa ewa, sahutnya.   "Adik Ang, semua anak buahmu sudah kau kerahkan datang semua?"   "Ya, hanya tinggal beberapa orang saja untuk menjaga rumah."   Coh hu Yu pit segera maju menghadap dan menyembah.   "Menghadap Huma!"   Cepat2 Suma Bing goyang2 tangan, katanya.   "Kalian bangun tak perlu banyak peradatan."   Lalu beramai2 para Tongcu dan semua kerabatnya bergiliran maju dan menyembah.   Sambil melayani semua anak buah Perkampungan bumi, otak Suma Bing bekerja keras, dengan alasan apakah dia harus mencegah supaya Pit Yau ang tidak berkukuh untuk menuntut balas? Semua anak buah Perkampungan bumi tengah berkabung dan geram hatinya, mereka meluruk datang dengan hati panas yang me-luap2 untuk membalas dendam, bara api tengah ber-kobar2 disetiap sanubari mereka.   Setelah dipikirkan secara mendalam, Suma Bing ambil keputusan, untuk perintah Te kun yang terakhir itu, terpaksa dia harus berlaku keras dan tegas untuk berbohong.   Mata Pit Yau ang mengembeng airmata, ujarnya sedih merawan hati.   "Engkoh Bing, sekarang kaulah yang memimpin untuk bertindak...   "Aku yang memimpin?" "Sudah lajim dan jamak sekali bukan, masa kau..."   "Urusan ini sudah selesai sebagian..."   "Apa?"   "Apa kau tidak melihat mayat2 dipinggir telaga dan noda2 darah itu? Semua sorot mata beralih mengikuti tempat yang ditunjuk Suma Bing. Lalu kembali lagi menatap kearah Suma Bing. Tanya Pit Yau ang heran dan tak mengerti.   "Engkoh Bing, apakah yang telah terjadi?"   "Aku sudah menuntut balas bagi Te kun!"   "Kau..."   "Ya Menara iblis sudah kucuci bersih dengan banjir darah!"   Semua anak buah Perkampungan bumi mengunjuk rasa kagum dan kaget luar biasa.   Dengan tenaga seorang saja dapat mencuci bersih seluruh kekuatan Menara iblis, ini benar2 susah dibayangkan dengan akal pikiran sehat.   Tapi, kenyataan ini terucapkan dari mulut Huma sendiri, siapa yang berani tidak percaya.   "Engkoh Bing,"   Ujar Pit Yau ang pilu.   "Lalu bagaimana dengan jenazah ayahku?"   Suma Bing tidak menduga bakal mendapat pertanyaan ini, seketika ia terhenyak ditempatnya tanpa mampu menjawab. Tapi akhirnya tersimpul suatu akal dalam benaknya, sahutnya.   "Jenazahnya tenggelam didasar danau hari itu juga waktu dia datang kemari."   "Tenggelam didasar danau?"   Pit Yau ang mengeluh panjang terus berlutut dan menyembah kearah danau, pecahlah tangisnya ter-gerung2.   Tidak ketinggalan semua anak buah Perkampungan Bumi serempak juga berlutut dan menyembah kearah danau sebagai penghormatan terakhir kepada Te kun almarhum.   Sebagai Huma sudah tentu tidak bisa tidak Suma Bing harus menunjukkan teladan, terpaksa dia juga berlutut dan menyembah disamping Pit Yau ang.   Suasana seketika menjadi sunyi menyedihkan diliputi isak tangis berkabung yang merawan hati.   Tapi keadaan sebenarnya hanya Suma Bing seoranglah yang jelas mengetahui.   Agak lama kemudian baru Suma Bing bimbing Pit Yau ang bangkit berdiri dan membujuk supaya menghentikan tangisnya.   Semua berdiri dan mengheningkan cipta kearah Menara iblis yang berada ditengah danau sana.   Tiba2 Pit Yau ang membanting kaki, serunya geram.   "Engkoh Bing, menara itu harus kita hancurkan."   Tercekat hati Suma Bing, sahutnya gugup.   "Adik Ang, menurut hematku, kita sudahi saja sampai disini..."   "Kenapa?"   "Air danau hitam ini mengandung racun yang sangat jahat, bagi siapa yang terkena pasti segera mati. Aku sudah menebus hutang darah Te kun, kalau ada pula tindakan apa2, sedikitnya harus mengorbankan tenaga dan mungkin malah jiwa!"   "Sejak semula kenapa tidak kau runtuhkan saja menara itu?"   "Itu tak mungkin terjadi!"   "Kenapa tak mungkin?"   "Menara itu dibangun dengan lapisan papan2 besi baja, mana gampang untuk merusaknya!" "Lantas kita mandah saja terima nasib ini?"   "Adik Ang, Menara Iblis sudah mengorbankan apa yang harus dia korbankan. Pasti Te kun dapat meram dialam baka."   Namun kecintaan Pit Yau ang terhadap ayahnya sangat dalam, sekian lama dia masih meributkan ini itu serta bertangisan sekian lamanya pula.   Sehingga membuat Suma Bing jengkel tapi juga tak tega.   Namun bagaimana juga dia tidak bakal berani membangkang akan perintah Te kun itu, untuk mengatakan duduk perkara sebenarnya.   Coh hu Si Kong teng, Yu pit Ciu Ing tiong berbareng maju menghadap sambil membungkuk tubuh.   "Hamba berdua minta sedikit petunjuk?"   "Silahkan katakan!"   Kata Coh hu hormat.   "Perkampungan kita tidak bisa tanpa pimpinan, harap Huma segera kembali kedalam kampung untuk menduduki jabatan Te kun ini?"   Suma Bing tertegun, sahutnya.   "Te kun baru saja wafat, urusan ini harus dirundingkan lagi seratus hari kemudian. Apalagi urusan pribadiku dikalangan Kangouw masih belum selesai. Sekali aku menduduki jabatanku, nama dan kedudukanku akan membuat penghambat belaka. Bagaimana menurut pendapat kalian berdua?"   Lalu dia berpaling kearah Pit Yau ang dan katanya pula.   "Adik Ang, kau jelas mengetahui keadaanku yang serba sulit ini. Semua urusan dikampung sementara biarlah kau yang urus dan pimpin maukah?"   Sesaat Pit Yau ang ragu2, akhirnya manggut2 setuju. Sekilas Coh hu dan Yu pit saling berpandangan, lalu membungkuk dan berseru lagi.   "Menurut perintah Huma!"   Terus mengundurkan diri. Suma Bing menghela napas lega, ujarnya.   "Adik Ang, perintahkan segera kembali!" "Lalu kau bagaimana?"   "Kuharap kau dapat memaafkan aku. Segera aku harus kembali ke Tionggoan untuk menuntut balas kepada musuh2ku!"   "Kau tidak mengiring..."   Bicara setengah terus ditelan kembali. Suma Bing tertawa ringan, bujuknya.   "Adik Ang, hari2 yang akan datang masih panjang."   Mata Pit Yau ang merah dan berlinang air mata, katanya.   "Baiklah, engkoh Bing, jagalah dirimu baik2!"   "Aku pasti dapat, kau juga hati2 dan jagalah kesehatanmu!"   Sekian lama dipandangnya Pit Yau ang lekat2, diam2 benak Suma Bing mengeluh, sungguh dia tidak berani membayangkan masa depannya, janjinya terhadap Racun diracun merupakan ketentuan dari nasibnya kelak.   Demi dendam dan demi kesejahteraan kaum persilatan dia harus membunuh Racun diracun.   Dan untuk menebus budi kebaikan Racun diracun yang berulangkali menolong jiwanya, hanya dengan kematianlah dapat melunasi hutang budinya ini.   Demikianlah dengan rasa pilu dan masgul dia ambil berpisah dengan istri keduanya Pit Yau ang terus beranjak cepat menuju ke Tionggoan.   Dendam kesumat dan kebencian sudah semakin deras berderap dalam aliran darahnya.   Tujuannya yang pertama kali ini adalah menangkap hidup2 Loh Cu gi dan menumpas habis seluruh Bwe hwa hwe dengan banjir darah.   Dua jam kemudian dia sudah menempuh perjalanan sejauh dua ratusan li.   Tengah berlari kencang itulah, mendadak dilihatnya tiga orang Tosu tengah berdiri jajar dibawah sebuah pohon besar dipinggir jalan.   Saking heran dan ingin tahu, segera Suma Bing menghentikan langkahnya.   Ketiga Tosu ini masing2 mengenakan seragam jubah panjang berwarna abu2 kehitaman.   Suma Bing melengak.   Dari jubah seragam yang aneh ini dia tahu bahwa ketiga Tosu ini adalah anak murid Bu tong pay yang sangat kenamaan dengan ilmu pedangnya yaitu Bu tong sam siu.   Bu tong sam siu tidak bergerak juga tidak membuka suara, mereka berdiri tegak bagai tiga buah patung hidup.   Suma Bing semakin heran dan besar hasratnya ingin tahu.   Entah untuk keperluan apa Bu tong sam siu ini datang keperbatasan yang belukar ini? Tapi mereka sedemikian angkuh tanpa menyapa sekedarnya, buat apa pula dirinya mencari penyakit.   Setelah dipikir2, kakinya diangkat hendak tinggal pergi...   Mendadak dilihatnya jubah didepan dada Bu tong sam siu itu bersemu merah darah! Keruan hatinya terperanjat, sebat sekali tubuhnya berkelebat tiba dihadapan Bu tong sam siu.   Waktu ditegasi merindinglah tubuhnya.   Kiranya ketiganya sudah menjadi mayat dan kaku tanpa roboh.   Bu tong sam siu mati bersamaan dipinggir jalan, ini betul2 sangat mengejutkan dan susah dipahami.   Dilihat dari noda darah yang masih merembes keluar, agaknya kematian mereka terjadi belum lama ini.   Setelah diteliti sekian lamanya tanpa terasa tercetus seruan kaget dari mulutnya.   "Rasul penembus dada!"   Ternyata dada ketiga Tosu dari Bu tong pay ini masing2 berlobang karena tusukan cundrik. Cara2 pembunuhan Tiraik asih Websi tehttp.// kangz usi.co m/ semacam ini, selain perbuatan Rasul penembus dada tiada keduanya lagi.   Betapa tenar dan kenamaan Bu tong sam siu ini, kenapa bisa mati ditangan Rasul penembus dada.   Perkumpulan macam apakah Jeng siong hwe sebenarnya? Apa tujuannya menyebar maut dengan pembunuhan sadis yang menakutkan itu? Tokoh macam apakah Ketua mereka? Waktu pertamakali dirinya bertemu dengan Rasul penembus dada, orang pernah menyangka bahwa dirinya adalah sekomplotan dengan Loh Cu gi.   Maka, naga2nya bahwa Loh Cu gi, juga pasti adalah salah satu sasaran yang harus dibunuh pula oleh pihak Jeng siong hwe.   Kalau sampai Loh Cu gi diketahui oleh Rasul penembus dada sebagai sesepuh atau pemegang peranan belakang layar Bwe hwa hwe.   Bukankah jerih payah sekian lama ini bakal menjadi sia2 belaka? 47.   IBU SUMA BING ADALAH KETUA JENG SIONG HWE Berpikir sampai disini, semakin besar hasratnya untuk segera meluruk kemarkas besar Bwe hwa hwe, supaya sakit hatinya dapat segera terbalas.   Namun ber-turut2 lain pikiran segera merangsang juga dalam benaknya.   Itulah persoalan tentang barisan pohon2 bunga Bwe itu.   Barisan inilah merupakan perintang utama sebagai penghambat untuk terlaksananya cita2nya untuk menuntut balas.   Kalau tidak dapat memecahkan barisan pohon2 bunga Bwe ini, bagaimana juga dirinya tidak bakal dapat memasuki markas besar musuh.   Alis tebalnya berkerut semakin dalam.   Pada saat itulah, se-konyong2 terdengar sebuah suara memanggil.   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Suma Bing, selamat bertemu."   Terperanjat Suma Bing, dimana pandangannya menyapu, dilihatnya sebuah bayangan putih melayang tiba bagai bayangan setan tahu2 sudah tiba dihadapannya.   Pendatang ini tak lain tak bukan adalah Rasul penembus dada.   Agaknya setelah membunuh Bu tong sam siu Rasul penembus dada masih belum pergi jauh.   Sinar mata Suma Bing berkilat menyapu lawan, katanya dingin.   "Bu tong sam siu ini adalah kau yang membunuh?"   "Tidak salah!"   "Untuk kejahatan apa mereka harus dibunuh?"   "Sudah tentu ada alasannya untuk dibunuh!"   "Alasan apa? Coba katakan!"   "Ini tidak menyangkut urusanmu!"   "Kalau aku mau mengurus?"   "Kau tidak akan mampu mengurus!"   Berkobar marah Suma Bing, dengusnya berat.   "Aku tidak percaya tidak dapat mengurus."   Rasul penembus dada menyeringai dingin.   "Suma Bing, keselamatanmu sendiri susah diramalkan, masih berani banyak tingkah dan membela orang yang sudah mati?"   Suma Bing maju dua langkah, tantangnya.   "Dalam dua gebrak kalau kau masih tetap hidup, untuk selanjutnya biarlah aku tidak bernama Suma Bing."   Tanpa sadar Rasul penembus dada mundur selangkah lebar, desisnya.   "Mungkin kau tiada kesempatan turun tangan!"   "Hm, biar kau rasakan..." "Nanti dulu!"   "Masih hendak kentut apalagi kau?"   "Suma Bing bicaralah sopan sedikit!"   Panas rasa wajah Suma Bing, baru sekarang disadari bahwa musuhnya ini adalah seorang perempuan, memang ucapannya tadi terlalu kasar. Maka tanyanya mendesak.   "Ada omongan apalagi, lekas katakan?"   "Ketua kami ingin bertemu dengan kau!"   Suma Bing melengak, tanyanya menegasi.   "Ingin ketemu aku?"   "Tidak salah!"   "Untuk apa?"   "Kau takut?"   Semprot Suma Bing dengan sombongnya.   "Selamanya aku tidak kenal apa artinya takut!"   Rasul penembus dada keluarkan suara tawa ringan, jengeknya.   "Tuan terlalu besar mulut!"   "Apa kau tidak terima?"   Dengus Suma Bing.   "Setelah bertemu dengan ketua kita, baru kau akan kenal apa yang dinamakan takut!"   Suma Bing berludah menghina.   "Sekarang mari kau ikut aku!"   "Baik, tunjukkan jalan!"   Suma Bing mengintil dibelakang Rasul penembus dada, sepanjang jalan mereka berlari secepat terbang.   Tidak lama kemudian tibalah mereka di-tengah2 sebuah selat sempit dimana tersebar batu2 runcing bagai hutan batu.   Tiba2 Rasul penembus dada menghentikan langkah sembari berkata.   "Sudah sampai!"   Suma Bing menyapu pandang keempat penjuru, tanyanya.   "Disinikah markas besar Jeng siong hwe kalian?"   "Jangan banyak cerewet, nanti sebentar kau akan tahu!"   Pada waktu itulah tiba2 muncul seorang gadis serba putih yang membekal sebilah pedang merah darah, serta serunya nyaring.   "Suci sudah kembali!"   "Dimana suhu berada?"   "Berada didalam kamarnya!"   "Segera laporkan kepada Suhu, bahwa Suma Bing sudah tiba!"   "O!"   Gadis itu mengunjuk rasa kejut dan mengerling kearah Suma Bing, sekejap saja bayangannya sudah menghilang dibalik batu. Tiba2 berkatalah Rasul penembus dada.   "Suma Bing, konon kabarnya dalam dua gebrak kau dapat mengalahkan Hui Kong Taysu yang dipandang sebagai Hudco oleh Siau lim si. Apakah hal ini benar?"   Suma Bing membatin, kabar yang tersiar dikalangan Kangouw sedemikian cepat, tak tahunya kabar ini sudah sampai di perbatasan yang sepi dan belukar ini. Otak berpikir mulutnya menyahut pelan.   "Benar, memang begitulah halnya!"   "Kepandaian yang kau lancarkan pasti bukan asli dari pelajaran Lam sia."   "Ini... memangnya kenapa?"   "Kau ketiban rejeki?"   "Rasanya aku tidak perlu jawab."   Gadis serba putih itu muncul kembali, katanya.   "Suci, menurut perintah Suhu, harus langsung dibawa ke Hiat tham(panggung berdarah)."   Berdetak jantung Suma Bing.   Panggung darah, suatu nama yang menusuk telinga.   Berulangkali dirinya bermusuhan dengan Jeng siong hwe, entah cara bagaimana mereka hendak menghadapi dirinya nanti...   Belum hilang pikirannya, tampak Rasul penembus dada sudah bertindak seraya ajaknya.   "Mari ikut aku."   Batin Suma Bing, mengandal apa yang telah dipelajarinya, masa perlu takut2 lagi.   Maka dengan tenang dan angkernya dia mengikuti dibelakang orang.   Batu2 runcing itu sedemikian banyak bagaikan hutan, setelah selulup timbul dan belak belok kekanan kiri, se-akan2 mereka tengah berada didalam suatu barisan yang menyesatkan saja.   Tak lama kemudian mendadak pemandangan didepannya berubah.   Didepannya sekarang muncul sebuah panggung batu putih setinggi lima tombak.   Didepan panggung batu ini terdapat sebuah papan batu yang dipasang melintang diatas papan batu ini bertuliskan dua huruf besar warna merah darah Hiat tham.   Dibelakang papan batu bertuliskan Panggung darah ini adalah undakan batu yang menjurus keatas sampai puncak panggung.   Melihat suasana dan keadaan ini, tanpa terasa Suma Bing menyedot hawa dingin.   Kira2 setombak terpaut dari panggung batu itu Rasul penembus dada menghentikan langkahnya.   Segera terlihat dua baris wanita serba putih pelan2 keluar dari dua samping panggung darah terus berbaris rapi di kedua samping, mereka berdiri tegak dengan hikmad.   Terlihat sebuah bayangan bergerak diatas panggung, lantas terdengar dua kali suara 'Tang, tang!' suara lonceng dari atas panggung ini sangat nyaring, menambah seram suasana yang mencekam sanubari ini.   "Silahkan naik panggung!"   Rasul penembus dada menyilahkan.   Sedikit bimbang lantas Suma Bing beranjak diatas undakan dengan mengangkat dada.   Rasul penembus dada mengikuti dibelakangnya.   Begitu tiba diatas panggung, langsung ia berhadapan dengan sebuah kursi batu.   Kursi batu ini sudah berubah warna dan berlepotan noda2 hitam, sekali pandang dapatlah diketahui itulah bekas2 noda2 darah yang bertumpuk sampai sekian lamanya.   Ditengah panggung terletak sebuah meja batu panjang, dibelakang meja ini duduk diatas kursi kebesaran seorang mengenakan cadar serta pakaian serba putih.   Sebelas Rasul penembus dada lainnya mengelilingi dibelakangnya.   Setelah membungkuk dan memberi hormat kepada orang ditengah yang mengenakan cadar itu lantas Rasul penembus dada mengundurkan diri bergabung dengan sebelas teman lainnya tanpa bersuara.   Dengan angkuh serta membusung dada Suma Bing menghadapi orang serba putih ditengah itu.   Sorot mata si orang serba putih ini bagai tajam pedang menatap tajam kewajah Suma Bing tanpa berkesip.   Dari sinar matanya yang ber-kilat2 ini dapatlah diukur bahwa orang serba putih ini Lwekangnya sudah mencapai taraf yang sangat mengejutkan.   Tidak tertahan lagi, Suma Bing membuka suara lebih dulu.   "Tuankah ketua Jeng siong hwe?" "Tidak salah!"   Suaranya dingin dan melengking menusuk telinga, ini menandakan bahwa ketua Jeng siong hwe ini ternyata adalah perempuan juga.   Sungguh tidak nyana bahwa sebuah perkumpulan rahasia seperti Jeng siong hwe yang menggetarkan seluruh dunia persilatan ternyata diketuai oleh seorang perempuan.   "Ada petunjuk apakah tuan mengundang cayhe kemari?"   Dengan nada suara yang menyedot semangat orang berkatalah ketua Jeng siong hwe.   "Suma Bing, apa betul kau murid Lam sia?"   "Tak usah disangsikan lagi!"   Sahut Suma Bing sambil mengacungkan cincin iblis yang dipakai dijari manisnya.   "Apa hubunganmu dengan Loh Cu gi?"   Mengungkit nama Loh Cu gi membuat darah Suma Bing mendidih dengusnya dengan penuh kebencian.   "Untuk apa tuan Ketua menanyakan hal ini?"   "Sudah tentu ada keperluanku!"   "Kalau dikatakan kita terhitung sebagai kakak adik seperguruan!"   Berkelebat sorot kebuasan dimata ketua Jeng siong hwe yang secepat itu pula terus menghilang, tanyanya menegasi.   "Kalian adalah kakak adik seperguruan?"   "Tidak salah!"   "Dimana sekarang Loh Cu gi berada?"   "Untuk apa tuan Ketua ingin mengetahui jejaknya?"   "Kenapa kau tidak perlu tahu. Jawab saja pertanyaan yang kuajukan!"   Nada perkataannya seakan tengah mengompres pesakitan. Keruan timbul watak sombong Suma Bing.   "Tuan ketua sedang mengompres keteranganku?" "Boleh dikata demikian!"   "Ingat cayhe bukan menjadi pesakitan disini?"   "Suma Bing, sekarang kau sudah termasuk pesakitanku tahu!"   Saking gusar Suma Bing malah tertawa, serunya.   "Kau seorang ketua, obrolanmu..."   "Tutup mulut! Suma Bing. Meskipun kau seorang Huma dari Perkampungan bumi, itu tidak menjadi soal, biar aku bicara terus terang padamu, namamu sudah tercatat dalam daftar kami."   "Hahahaha..."   "Kau mau bicara tidak?"   Setelah mengakak kegilaan, berserulah Suma Bing.   "Tidak!"   "Ringkus dia!"   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Tiba2 ketua Jeng siong hwe membentak memberi perintahnya. Dua orang serba putih mengiakan terus melesat kearah Suma Bing.   "Cari mati!"   Suma Bing menggertak keras.   Namun baru saja badannya bergerak tiba2 terasa kakinya kencang, beberapa borgolan tahu2 sudah membelenggu seluruh kakinya dalam sekejap mata.   Alat rahasia semacam ini sungguh praktis dan lihay sekali membuat orang susah berjaga2 sebelumnya.   Bagai harimau masuk perangkap, Suma Bing menggembor keras sambil meronta sekuat2nya namun sedikitpun kakinya tidak dapat digerakkan lagi, maka dapatlah dimengerti bahwa alat2 rahasia semacam ini memang khusus dibuat secara istimewa.   Dalam pada itu, kedua orang serba putih itu sudah mendesak tiba dihadapan Suma Bing terus ulur tangan menutuk...   Meskipun kedua kakinya terbelenggu tanpa dapat bergeming, namun kedua tangannya masih bebas bergerak, menyongsong kedatangan kedua musuh ini langsung dia lancarkan pukulan Kiu yang sin kang.   Dalam kemampuannya saat itu apalagi tengah dirangsang gusar, betapa dahsyat kekuatan pukulannya ini susahlah diukur.   Terdengar jeritan panjang yang menyayatkan hati, kedua orang serba putih itu kontan terbang jauh melayang jatuh kebawah panggung.   Ketua Jeng siong hwe menggeram gusar, tangannya menggablok diatas kursinya, tempat dimana Suma Bing berdiri mendadak merekah kontan tubuhnya terus membrosot turun sampai sebatas pinggang baru berhenti, dan secepat itu pula batu yang merekah tadi sudah merangkap lagi sehingga separuh tubuhnya terjepit.   Dengan keadaan seperti ini hilanglah kemampuannya untuk melawan.   Mata Suma Bing mendelik hampir melotot keluar, desisnya sambil mengertak gigi.   "Jikalau aku Suma Bing tidak sampai mati. Anjing dan ayam diseluruh Jeng siong hwe sini tidak akan ketinggalan hidup."   Ketua Jeng siong hwe juga tidak mau kalah wibawa, jengeknya sinis.   "Tapi sayang kau sudah pasti mati."   "Perbuatan rendah seperti kalian ini termasuk..."   "Menghadapi binatang semacam kau ini, apa perlu mempersoalkan kejujuran dan kebajikan?"   Darah hampir menyemprot dari mulut Suma Bing, sekuat tenaga dia telan kembali, semprotnya.   "Keganasan Jeng siong hwe kalian, bukankah lebih kejam dan buas dari binatang alas..."   "Tutup mulut, cundrik tajam kami selamanya belum pernah membunuh manusia tanpa dosa!" "Bohong!"   "Suma Bing, katakan dimana jejak Loh Cu gi, nanti kami beri pengampunan kepadamu."   "Tidak sudi!"   "Kau akan sudi!"   Lantas terdengar suara mencicit dari samberan angin tutukan jari tangan yang melesat kearah Suma Bing.   Tergetar seluruh tubuh Suma Bing, terasa hawa murni dalam tubuhnya mulai lumer dan meluber, darah mengalir terbalik, seketika terasa kesakitan luar biasa dalam tubuhnya se-akan2 dirambati ribuan semut, se-olah2 pula dibeset hidup2, siksaan ini benar2 sangat berat dan menderita.   Memang inilah cara kompres yang paling kejam dan berat didunia ini.   Meskipun tubuh terbuat dari tulang besi dan otot kawat juga akhirnya tidak kuat bertahan.   Saking kesakitan gigi Suma Bing hampir copot dari gusinya sehingga berdarah, keringat dingin berceceran, sekuat tenaga ia bertahan, mengeluhpun tidak.   "Suma Bing, mau katakan tidak?"   "Ti... dak."   "Akan kulihat sampai kapan kau kuat bertahan?"   "Ku... bunuh..."   Akhirnya ia jatuh pingsan. Waktu jalan darah Thian in hiat bergetar, ia siuman kembali, rasa nyeri yang menyusup sampai ketulang sumsum datang bergelombang menyiksa dirinya.   "Suma Bing, katakan nanti kuberi keringanan!"   "Tidak... bisa!"   Ia jatuh pingsan untuk kedua kalinya.   Tidak lama kemudian dia siuman lagi, lama kelamaan tubuhnya semakin terasa linu dan semakin membeku, otot diatas jidatnya sudah merongkol keluar segede kacang hijau.   Sikap ketua Jeng siong hwe tetap sinis dan dingin.   "Suma Bing, katakan?"   "Tidak..."   "Kalau kau tidak mau katakan, baiklah aku tidak memaksa lagi. Asal Loh Cu gi masih hidup, akan datang suatu hari dapat kutemukan. Sekarang kau adalah sesajen pertama dipanggung berdarah ini setelah penggantian majikan disini!"   Ucapannya ini terdengar sedemikian menggiriskan membuat orang mengkirik. Ternyata Suma Bing akan dijadikan korban persembahan atau sesajen diatas panggung berdarah itu.   "Siapkan sembahyangan!"   Begitu perintah ketua Jeng siong hwe ini dikeluarkan, suasana menjadi semakin tegang dan menyesakkan napas.   Sepuluh orang berpakaian serba putih ber-sama2 bekerja mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan.   Arwah Suma Bing serasa copot dari raganya, naga2nya memang sudah nasibnya hari ini tiba ajalnya ditangan ketua Jeng siong hwe.   Kedua orang seragam putih itu menyeret tubuh Suma Bing terus dibaringkan diatas meja batu panjang yang terletak ditengah panggung itu.   Kaki tangannya dipentang keempat penjuru dan diborgol dengan kuat.   Begitu sebuah tombol ditekan mendadak meja panjang itu bergerak dan menegak menghadap ketengah dimana Ketua Jeng siong hwe tengah duduk dengan angkernya.   Dengan membekal cundrik yang berkilau2an dan diangkat tinggi diatas kepalanya.   Rasul penembus dada berdiri tegak dihadapan Suma Bing, sikapnya mengancam.   Para seragam putih lainnya berpencar dan berdiri tegak diempat penjuru.   Setelah terkena tutukan angin jari yang aneh dan ketua Jeng siong hwe itu.   Suma Bing merasakan hawa murninya semakin terkuras keluar, maka ilmu saktinya sukar dikerahkan untuk melindungi badan, sedikitpun tak kuasa lagi melawan atau berontak, terpaksa mandah saja menerima entah nasib apa yang bakal menimpa dirinya.   Saking putus asa matanya dipejamkan.   Saat mana hanya malaikat elmaut saja yang selalu terbayang dan melingkupi sanubarinya, hatinya terasa kosong melompong.   Dengan tenang tanpa bergerak dinantikannya cundrik musuh yang berkilauan itu menembusi ulu hatinya.   Sampai mati dia juga tidak akan mengerti mengapa namanya bisa termasuk dalam daftar buku hitam musuh.   Satu hal yang dimengerti alasannya hanyalah karena dirinya seperguruan dengan Loh Cu gi.   Sedang Loh Cu gi adalah sasaran terpenting bagi Jeng siong hwe, sehingga dirinya kena tersangkut dan terseret dalam pengalaman yang menggetirkan ini...   Terdengar suara ketua Jeng siong hwe dingin menusuk telinga.   "Jalankan hukuman!" 'Bret!' kontan Suma Bing merasa dadanya silir dingin, kiranya baju didepan dadanya sudah tersobek seluruhnya.   "Tahan dulu!"   Tiba2 ketua Jeng siong hwe berseru kejut, suaranya panik dan tergetar penuh kejut serta keheranan. Mata Suma Bing ber-kilat2 menatap kearah ketua Jeng siong hwe. Kata ketua Jeng siong hwe gemetar.   "Suma Bing, siapakah ayah ibumu?"   Suma Bing menyangka bahwa dirinya sudah pasti bakal mati, sungguh tak terduga mendadak ketua Jeng siong hwe berobah haluan dan menghentikan pelaksanaan hukuman, menanyakan asal-usul dirinya lagi.   Kejadian ini sungguh sangat janggal dan mencurigakan.   Meski berada diambang jurang kematian namun dasar wataknya memang angkuh dan keras kepala, maka sahutnya dingin.   "Apa maksudmu ini?"   "Kutanya riwayat hidupmu."   "Riwayat hidup? Agaknya tidak perlu kuberitahu kepadamu?"   "Suma Bing, jalur bekas luka diulu hatimu itu...?"   Sejenak Suma Bing melengak lantas melonjak keraslah jantungnya.   Darimana dia tahu tentang bekas luka tusukan diulu hatinya ini, apa mungkin...   Tubuhnya gemetar! Terbayang tragedi seperti apa yang pernah diceritakan oleh si maling bintang Si Ban cwan dulu itu.   Tubuh ketua Jeng siong hwe gemetar semakin keras, tanyanya lagi.   "Suma Bing, katakan, bekas luka diulu hatimu itu?"   "Kau... Siapakah kau?"   Tanya Suma Bing.   "Aku yang bertanya kepadamu!"   "Aku yang rendah Suma Bing!"   "Aku sudah tahu. Apa benar kau she Suma?"   "Kau sangka aku membual?"   "Siapa ayahmu?"   Suma Bing mengertak gigi sahutnya.   "Su hay yu hiap Suma Hong!"   Mendadak ketua Jeng siong hwe melonjak bangun sekali berkelebat tahu2 tubuhnya sudah melesat tiba dihadapan Suma Bing, tanyanya gemetar.   "Siapa katamu?"   "Suma Hong!" "Tidak salah?"   "Malu aku meng-aku2 orang lain sebagai bapakku!"   Ketua Jeng siong hwe tersurut dua langkah lebar, gumamnya.   "Tidak mungkin! Betulkah dia? Dia... sudah terang tak dapat tertolong lagi... oh tidak mungkin..."   Tanpa terasa jantung Suma Bing berdebur keras, dari perkataan orang, agaknya telah menemukan apa2.   Apa mungkin orang dihadapannya ini adalah...   Sungguh dia tidak berani membayangkan bahwa apa yang tengah dihadapinya ini adalah kenyataan.   Maka dengan nada menyelidik ia bertanya.   "Apa tuan ketua kenal dengan ayahku Suma Hong?"   "Bukan saja kenal. Aku adalah..."   "Adalah apa?"   "Apa kau benar2 putra Suma Hong?"   "Sedikitpun tidak salah."   "Tapi Suma Hong sudah meninggal dunia pada limabelas tahun yang lalu..."   "Benar, ayahku mati karena dikeroyok sekian banyak sampah2 persilatan!"   "Kau benar adalah..."   "Waktu itu cayhe terluka berat dan hampir mati, karena tidak tega melihat putranya hidup menderita maka ibunda menusuk ulu hatiku dengan sebuah cundrik. Malah tubuhku akhirnya ditendang masuk jurang oleh musuh besar yang laknat itu. Memang Tuhan Maha Kuasa beruntung aku tertolong..."   Tubuh ketua Jeng siong hwe hampir roboh, tanyanya tersendat gemetar.   "Darimana kau ketahui riwayatmu ini?" "Tatkala peristiwa tragis itu terjadi, kebetulan ada seorang yang mengintip!"   "O, jadi kau sudah jelas dan mengetahui semua peristiwa itu?"   "Ya, menurut cerita orang itu!"   Tiba2 ketua Jeng siong hwe ulapkan tangannya memerintahkan semua anak buahnya menyingkir.   Sambil membungkuk hormat serta mengiakan semua orang2 seragam putih itu serentak turun dari atas panggung berdarah itu terus menghilang dibalik tikungan sana.   Suma Bing tak berani memikirkan akan kenyataan yang tengah dihadapinya ini.   Semua kejadian yang datang secara mendadak dan aneh ini sungguh terasakan seumpama dialam mimpi saja.   Sampai saat mana dia sudah dapat menerka siapakah orang dihadapannya ini, tinggal menunggu waktu dan pernyataan saja.    Bajak Laut Kertapati Karya Kho Ping Hoo Pedang Wucisan Karya Chin Yung Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini