Pedang Darah Bunga Iblis 27
Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH Bagian 27
Pedang Darah Bunga Iblis Karya dari G K H "Ada pertanyaan lain?" "Dalam Bulim masa ini, siapakah kiranya yang paling pandai dalam ilmu rias?" "Ini... terutama dari aliran Pek Kut Hujin yang mempunyai ilmu Hian goan tay hoat ih sek!" Diam2 Suma Bing mengangguk, lalu katanya lagi. "Menurut apa yang cayhe ketahui, ilmu Hoan goan tay hoat ih sek hanya dapat merobah bentuk badan sendiri tapi tak dapat untuk menyamai bentuk rupa orang lain..." "Ya, memang begitulah!" "Adakah tokoh yang lain?" "Sin liong kay Ho Heng salah satu tertua Tianglo dari Kaypang adalah seorang ahli dalam bidang ini". "Sin liong kay Ho Heng? Tiada orang lain lagi?" "Agaknya tidak ada lagi yang perlu diketengahkan!" Alis Suma Bing mengerut semakin dalam, dua sumber yang dikatakan si maling bintang ini agaknya kurang tepat dan tak mungkin terjadi. Betapa tenar dan mulia Kaypang Tianglo itu sudah tentu dia takkan mau melakukan perbuatan rendah yang terkutuk itu. Sedang aliran dari Pek Kut Hujin, adalah bibinya Ong Fong jui dan muridnya, mereka tidak perlu dikuatirkan dan tak perlu dicurigai lantas tanyanya lagi. "Apa benar2 tidak ada yang lain?" Sekian lama si maling bintang pejamkan mata berpikir, tiba2 dia membuka mata dan berkata ragu2. "Ada sih ada, tapi..." "Tapi kenapa?" "Iblis itu sudah puluhan tahun yang lalu tidak muncul di Kangouw..." Tergerak hati Suma Bing, tercetus seruan dari mulutnya. "Pek bin mo ong?" "Tidak salah!" "Benar tentu dia!" Teriak Suma Bing berjingkrak. "Apa benar dia?" "Tak perlu disangsikan lagi!" "Buyung, dengan alasan apa kau berani memastikan?" Suma Bing berdiam diri, dia tengah tenggelam dalam pemikiran untuk menyusun rasa kecurigaannya yang mengalutkan pemikirannya. Menurut apa yang dikatakan bibinya tempo hari katanya bahwa Pek bin mo ong sudah muncul lagi didunia persilatan, mungkin dia inikah yang diangkat sebagai Maha pelindung oleh pihak Bwe hwa hwe. Sedang Pek Chio Lojin sendiri juga pernah mengatakan, bahwa gabungan antara Kiu im cinkeng dengan Kiu yang sinkang dapat melatih suatu ilmu digdaya yaitu Bu khek sinkang. Sesepuh atau tulang punggung dari Bwe hwa hwe adalah Loh Cu gi, siapa telah dapat melatih Kiu yang sinkang sampai tingkat kedua belas, kalau dia mengincar dan ingin mendapatkan pula Kiu im cinkeng adalah jamak dan tak perlu dibuat heran. Pek chio Lojin adalah ayah mertua Loh Cu gi. Sedang Raja iblis seratus muka adalah Suheng Pek chio Lojin, menurut sumber dari aliran ini, mungkin analisanya ini takkan salah dan luput. Dirinya adalah musuh bebuyutan dari Bwe hwa hwe, kalau pihak musuh menyamar dirinya untuk menyebar maut berbuat kejahatan ini berarti satu kali panah mendapat dua ekor burung, bukan saja tujuan dapat tercapai, malah mendatangkan musuh menimpakan bencana ini kepada dirinya. Tak tertahan lagi, ia membuka kata. "Tepat pasti perbuatan raja iblis itulah!" "Buyung." Ujar si maling bintang gelisah. "coba terangkan secara ringkas!" Secara ringkas Suma Bing terangkan analisanya tadi, ber- ulang2 si maling tua membanting kaki dan menggaruk kepala. "Buyung, ini mungkin terjadi, mungkin terjadi!" "Cayhe masih ada sedikit kecurigaan." "Tentang apa?" "Bu khek Ciangbun Tio Leng wa mempunyai seorang anak perempuan bernama Tio Keh siok..." "Ya, memangnya kenapa?" "Kepandaiannya tidak lemah!" "Budak itu semasa kecilnya ketemu rejeki, dia bukan terhitung anak murid Bu khek bun lagi, tapi asal-usul perguruannya kurang jelas, setiap tahun jarang pulang untuk menilik orang tuanya. Waktu peristiwa yang mengenaskan itu terjadi kebetulan dia tengah pergi keluar!" "O, tidak heran, kalau tidak dengan kelihayan kepandaiannya pasti sedikitnya dia dapat mencegah atau merintangi ketelengasan musuh!" "Ini sudah kehendak Allah, dan tak perlu penjelasan lagi, Buyung, dia... Cara bagaimana Phoa Kin sian bisa meninggal?" Sekali lagi Suma Bing harus menghadapi kenyataan yang merenggut hati dan menyedihkan ini, sambil menahan airmata, secara ringkas ia bercerita. Si maling bintang menggeleng2 kepala sambil berdiam diri, gumamnya. "Takdir!" Suma Bing ganda tertawa pahit. Kata si maling bintang sungguh2. "Buyung, bagaimana tindakanmu selanjutnya?" "Mencabut rumput sampai seakar2nya!" "Bwe hwa hwe maksudmu?" "Tepat sekali!" "Dapatkah kau memasuki barisan pohon bunga Bwe itu?" "Cayhe sudah mempunyai perhitungan, sekarang juga aku harus mengerjakan satu urusan besar!" "Urusan besar apa?" "Aku hendak menyambangi Si gwa sianjin, akan kuminta petunjuk tentang cara pemecahan barisan itu!" "Kalau begitu, biarlah kita berpisah lagi melakukan kerjaan masing2!" "Cianpwe silahkan!" Tubuh si maling tua yang tambun bergolek seperti mentok berjalan, sebentar saja tubuhnya yang bundar itu sudah menghilang dibalik hutan sana. Menghadapi pusara Phoa Kin sian Suma Bing mengheningkan cipta dan memanjatkan doa serta ambil berpisah, air mata meleleh deras tanpa terasa. Setiap tiga tindak pasti dia menoleh dan berat untuk tinggal pergi, tapi toh akhirnya dia pergi juga sambil membekal hatinya yang sudah hancur luluh. Gundukan tanah itu memendam istri serta anaknya yang belum lahir. Tidak jauh dari letak kuburan itu, diluar rimba sebelah sana adalah jalan raya. Kuda yang membedal keras dan para kaum persilatan yang melesat lewat dari sampingnya secepat terbang, lambat laun membangunkan semangatnya yang sudah lesu sekian lama ini sadarlah dia dari kesedihan yang mencekam sanubarinya, tanpa terasa gerak kakinya juga semakin cepat dan akhirnya dia berlari dengan pesatnya. Bu eng san, sesuai dengan namanya atau gunung tanpa bayangan, untung tempo hari Suma Bing pernah datang satu kali, sedikit banyak dia sudah apal akan jalanan yang harus ditempuhnya, tanpa banyak memakan waktu ia langsung menuju ketempat tujuan. Tidak lama kemudian tibalah dia dilereng gunung dipinggir sebuah batu besar yang berbentuk lancip. Disinilah letak tempo hari dia bertanding dengan Si gwa sianjin. Tempat yang lebih tinggi sebelah depan sana dia belum pernah datang. Kini dia menjadi ragu2, haruskah dia terus menerjang keatas? Karena keraguannya ini segera dia gunakan ilmu gelombang suara memancar ribuan li, dia salurkan seluruh hawa murninya terus berseru lantang kearah puncak. "Si gwa Cianpwe, cayhe Suma Bing ada sedikit persoalan ingin bertemu!" Sudah ber-kali2 ia ber-kaok2 tanpa reaksi atau penyahutan. Beruntun lima kali dia menggembor sangat keras, setelah dinanti selama sepeminuman teh dan masih tanpa reaksi, timbullah rasa heran dan curiganya. Sifat Si gwa sianjin sangat ganjil dan suka menyendiri. Bagaimana juga dia takkan mau meninggalkan tempat pertapaannya ini, tapi mengapa keadaan tetap sunyi senyap tanpa reaksi apa? Apa mungkin orang tua aneh ini tidak mau menemui orang yang belum dikenalnya? Atau... sekian lama dia ragu2 dan bimbang, akhirnya diambil keputusan untuk langsung meluruk keatas saja. Kabut dipuncak lebih tebal, keadaannya sangat gelap pekat, tapi Suma Bing sekarang lain dengan Suma Bing tempo hari waktu pertama kali datang, kejelian matanya dapat memandang sejauh sepuluh tombak. Tak lama kemudian tibalah dia diatas sebidang tanah datar, pemandangan disini lain dari yang lain, dihadapannya berdiri tiga bangunan rumah gubuk, kira2 tiga tombak diluar rumah gubuk itu berserulah Suma Bing lantang. "Suma Bing mohon bertemu dengan Cianpwe!" Sungguh aneh masih tetap tiada penyahutan. Tanpa terasa merinding tubuh Suma Bing jikalau si orang tua itu tinggal pergi entah kemana, tentu telah terjadi sesuatu... Dengan rasa was2 dia pandangi ketiga bangunan gubuk itu, kedua pintunya hanya dirapatkan saja sehingga ber- gerak2 keluar masuk dihembus angin pegunungan mengeluarkan suara kereyat-kereyot, suara ini menimbulkan suasana giris dan seram. Akhirnya dengan memberanikan diri dia beranjak maju mendorong pintu terus melangkah masuk, dimana pandangannya menyapu, tanpa terasa dia berseru kejut heran. Tampak seorang tua berambut ubanan yang mengenakan jubah kuning, dengan tenang dan kerengnya, duduk diatas sebuah bale2, dia bukan lain adalah Si gwa sianjin yang ingin ditemuinya. Tersipu2 Suma Bing membungkuk tubuh memberi hormat serta sapanya. "Cayhe sembrono menerjang masuk kemari, harap Cianpwe suka memaafkan!" Sepasang bola mata Si gwa sianjin yang berkilat2 itu memancar memandang Suma Bing tanpa berkesip, lama kemudian baru dia mengeluarkan suara dengan ogah2an. "Buyung kau inikah Sia sin kedua Suma Bing?" Pertanyaan ini membuat hati Suma Bing melonjak kaget, bukan untuk pertama kali orang tua ini pernah bertemu dengan dirinya, bagaimana bisa mengeluarkan pertanyaan seperti ini, apalagi nada suara itu agaknya berlainan, cuma yang terang bahwa orang itu memang Si gwa sianjin adanya... Maka sambil mengerut alis ia menyahut. "Agaknya Cianpwe seorang pelupa, bukankah dulu cayhe pernah datang mohon sebatang rumput ular, masa..." "0, lantas apa, maksud kedatanganmu kali ini?" Suma Bing semakin tertegun heran, suara ini benar2 bukan keluar dari mulut Si gwa sianjin yang masih dalam ingatannya. Maka dengan seksama penuh, rasa kecurigaan ia tatap wajah Si gwa sianjin, hatinya tengah berpikir keras. Terdengar Si gwa sianjin berkata dingin. "Suma Bing tempat kediaman Lohu ini selamanya dilarang siapapun sembarangan terobosan disini?" Mendadak Suma Bing mendapat satu akal, cepat2 ia angkat tangan sembari berkata. "Cianpwe harap sukalah kau memberi lagi sedikit rumput ular itu..." Si gwa sianjin mengekeh tawa ejek, serunya. "Buyung rumput ular adalah barang berharga yang tidak ternilai, darimana aku punya begitu banyak untuk diberikan kepada bocah seperti kau ini yang serakah." Penyahutan ini seketika menghilangkan rasa kecurigaan Suma Bing, katanya pula memutar. "Sebetulnya cayhe masih ada satu urusan minta petunjuk!" "Coba katakan!" "Urusan ini mengenai Bwe lim ki tin (barisan hutan bunga Bwe yang aneh)..." "Apa?" "Barisan hutan pohon Bwe!" "Selamanya belum pernah Lohu dengar tentang barisan semacam itu!" Suma Bing bungkam menelan ludah, memang dirinya sendiri yang menamakan barisan itu sebagai Bwe lim ki tin. Sebab Bwe hwa hwe menggunakan pohon2 Bwe itu untuk membentuk barisan, hakikatnya dia sendiri tidak mengetahui barisan apakah ini namanya, cuma sembarangan saja dia namakan Bwe lim ki tin, kini setelah diberondong pertanyaan dia sendiri menjadi geli, maka segera ia menambahkan. "Barisan ini terbentuk dari pohon2 bunga Bwe secara..." "Lantas kau sendiri yang menamakan begitu?" "Ya, begitulah!" "Berapa banyak perobahan semua barisan dikolong langit ini takkan dapat meninggalkan dari sumbernya semula. Semua tidak akan lepas dari Ngo heng, Im dan yang atau aturan2 Kiu kong pat kwa, hanya caranya saja yang penuh variasi dari sang pencipta sendiri. Lohu sendiri belum pernah melihat barisan macam apakah itu, sudah tentu tidak dapat memecahkan barisan apakah itu?" 52 NENEK KEJAM YANG DOYAN MEMBUNUH. Suma Bing menjadi serba susah, namun dia belum putus asa, desaknya lagi. "Cianpwe sudilah kiranya ikut wanpwe turun gunung..." "Buyung, sudah puluhan tahun lohu belum pernah meninggalkan gunung ini!" "Dapatkah dibuat kecualian?" "Tidak mungkin!" "Cayhe rela mengorbankan apa saja sebagai penggantian atas jerih payah ini!" "Penghargaan?" "Benar, dengan syarat apapun untuk saling tukar!" "Lohu tiada niat untuk memperebutkan nama lagi, dan tak mau mohon kepada orang lain!" "Apa cianpwe tak sudi membantu kesukaran ini?" "Benar!" Dingin perasaan Suma Bing, katanya apa boleh buat. "Kalau begitu cayhe minta diri." Merangkap tangan terus membalik tubuh hendak pergi. Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Nanti dulu!" "Cianpwe masih ada pertanyaan?" "Mendadak timbul niatku untuk berkenalan dengan Bwe lim ki tin seperti yang kau sebutkan itu!" Diam2 Suma Bing membatin. 'orang aneh bertabiat aneh pula.' Cepat2 ia memberi hormat lagi serta ujarnya. "Cayhe mengucapkan banyak terima kasih!" "Tidak perlu, masih terlalu pagi kau menyatakan terima kasihmu. Kan lohu belum pasti mau memberitahukan cara bagaimana untuk memecahkan barisan itu!" Suma Bing menjadi gopoh dan mangkel dalam hati, namun apa boleh buat, ujarnya. "Terserah apa yang cianpwe kehendaki, kapan kita berangkat?" "Sekarang!" "Kalau begitu, silahkan!" Se-konyong2 terdengar sebuah seruan yang nyaring melengking. "Losuheng(kakak tua)!" Mendengar suara ini tergerak hati Suma Bing, suara ini agaknya pernah didengarnya entah dimana. Sebuah bayangan putih berkelebat, tahu2 dalam gubuk itu sudah bertambah seorang gadis serba putih yang cantik rupawan bak bidadari. Dia bukan lain adalah Tio Keh siok itu putri Bu-khek Ciangbun Bu khek chiu Tio Leng wa. Tanpa tertahan Suma Bing berseru kejut. Tibanya Tio Keh siok ini benar diluar dugaannya, sedang panggilan kakak tua itu ternyata ditujukan kepada Si gwa sianjin, ini lebih mengejutkan hatinya. Kalau Tio Keh siok dengan Si gwa sianjin ternyata adalah Suheng moay ini benar2 susah dapat dipercaya. Paling banyak usia Tio Keh siok baru duapuluh tahun, sedang Si gwa sianjin sedikitnya juga sudah mencapai tujuhpuluh tahun, bagaimana bisa mereka belajar dalam satu perguruan? Tokoh macam apa pula guru mereka itu? "Losuheng!" Sekali lagi Tio Keh siok memanggil. Sorot mata Si gwa sianjin berjelalatan tidak tenang samar2 saja ia mendehem. Waktu pandangan Tio Keh siok menyapu kearah Suma Bing, kontan dia tersentak kaget bagai disengat kala, wajahnya segera berobah beringas dan merah padam, makinya sambil tuding Suma Bing. "Suma Bing, akan kubeset kulitmu dan kuhancurkan tubuhmu!" Suma Bing menyeringai dingin sahutnya. "Menuntut balas bagi Bu Khek sianglo?" Tio Keh siok mendelik semakin buas, teriaknya. "Suma Bing, kau ini seekor anjing yang rendah, sedemikian kejam kau menggunakan tanganmu memusnahkan seluruh Bu Khek po!" Suma Bing sudah paham apa yang dimaksud oleh lawan sahutnya dingin. "Nona Tio, sudikah kau dengar beberapa patah perkataanku?" "Tidak sudi, aku hanya hendak membunuhmu!" "Hal itu mungkin susah terlaksana!" Sambil menggerung keras Tio Keh siok melesat maju menggerakkan tangan secepat kilat, pukulannya mengurung seluruh tubuh Suma Bing. Kekuatan pukulan ini bukan olah2 dahsyatnya, apalagi dilancarkan dalam nafsu kebencian yang me-nyala2. Suma Bing berkelebat sebat sekali bagai belut, dengan lincah dan tepat serta indah sekali ia hindarkan diri dari serangan lawan berbareng tubuhnya melesat keluar sampai diluar gubuk. Tio Keh siok memekik gusar sambil mengejar keluar pintu. Yang mengherankan ternyata Si gwa sianjin masih tetap duduk ditempatnya tanpa bergerak atau bergeming, serta tidak juga mengeluarkan suara. Sedemikian dahsyat dan hebat pertempuran dua tokoh silat tinggi yang sudah mencapai kesempurnaan kepandaiannya. Suma Bing bermaksud memberi penjelasan secara terang, maka dia tidak mau melukai lawan, maka setiap jurus gerak serangannya pasti mempunyai perhitungannya sendiri. Sebaliknya bagi Tio Keh siok, bukan saja kepandaiannya memang sudah sempurna, apalagi lawan melancarkan serangannya dengan gencar serta sengit, maka tak heran Suma Bing mencak2 dan terdesak dibawah angin. Dalam sekejap mata saja, dua belah pihak sudah melangsungkan gebrak yang kedua puluh jurus lebih. Sampai akhirnya mau tak mau Suma Bing harus berpikir, kalau dirinya tidak memberikan sedikit hajaran kepada lawan, tak mungkin dia dapat membuat lawannya tunduk. Hubungannya dengan Si gwa sianjin sebagai kakak adik seperguruan, kalau terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan mungkin bisa membawa akibat jelek bagi tujuan kedatangannya ini. Karena pikirannya ini segera ia membentak. "Nona Tio, berhenti aku ada perkataan hendak kukatakan!" Sikap Tio Keh siok mendengar tapi acuh tak acuh, malah serangannya semakin dipergencar, perbawa akibat dari serangannya ini benar2 laksana geledek menggelegar. Sambil melayani setiap serangan musuh. Suma Bing masih sempat berkata lagi. "Kalau kau tidak mau berhenti, jangan salahkan aku berbuat dosa padamu!" "Suma Bing!" Desis Tio Keh siok menggertak gigi. "kalau bukan kau yang mati biar aku yang mati!" Suma Bing mejadi dongkol dan gemas, terpaksa akhirnya ia lancarkan jurus kedua dari Giok ci sinkang yaitu bintang berpindah jungkir balik. Kontan terdengar suara keluhan seperti orang hampir muntah, terlihat Tio Keh siok terhuyung puluhan langkah jauhnya, tubuhnya limbung hampir roboh, mulutnya yang kecil melelehkan darah segar, wajahnya yang memang membesi gusar berobah semakin menakutkan. Terbayang rasa menyesal diwajah Suma Bing, serunya gugup. "Nona Tio, cayhe membunuh Bu khek sianglo adalah untuk menuntut balas sakit hati orang tuaku, perhitungan ini dapat kuakui. Tentang peristiwa yang menggemparkan Kangouw dengan terjadinya pembunuhan besar2an dan habis- habisan di Bu khek po serta peristiwa di Ngo bi san dll. Perlu kutegaskan sekali lagi aku menolak dan menyangkal tuduhan itu." Tio Keh siok mendelik gusar dan menatap Suma Bing dengan kebencian. "Kau menyangkal? Hm..." "Ada seseorang yang menyamar sebagai aku menyebar maut dan melakukan kejahatan, sekarang cayhe sendiri tengah menyelidiki akan peristiwa ini, entah siapakah kiranya durjana itu...?" "Ah, omong kosong!" Berobah airmuka Suma Bing, sahutnya. "Keteranganku sampai disini saja, terserah kau mau percaya tidak?" Rona wajah Tio Keh siok tidak menentu, otaknya tengah menerawangi tindak apa yang harus dia lakukan selanjutnya, lama kemudian baru dia membuka suara lagi. "Apakah bentuk tubuh seseorang juga dapat dipalsukan?" "Betapa besar dunia ini, tidak sedikit orang pandai dan yang ahli dalam bidang ini!" "Bagaimana tentang ilmu silatnya?" "Ilmu silat?" "Benar, dalam dunia Kangouw selain aliran dari Lam sia Kho Jiang, ada siapa lagi yang pandai menggunakan Kiu yang sinkang?" Tanpa terasa tergetar dan berdebar keras jantung Suma Bing serunya kaget. "Maksud nona bahwa semua korban itu adalah karena terkena pukulan Kiu yang sinkang?" Tio Keh siok mengiakan sambil bertolak pinggang. Mendadak Suma Bing membanting kaki, serta merta mulutnya berseru. "Pasti dia!" "Dia siapa?" Suma bing tidak menjawab dendam dan kebencian bergelora dan tengah mengalir deras dalam darah panasnya tidak perlu disangsikan lagi bahwa semua peristiwa ini pasti adalah perbuatan Loh Cu gi atau orang lain suruhannya. Dia sudah menurunkan ilmu Kiu yang sinkang kepada para anak buahnya, ketiga pemuda yang dibunuhnya di Bu khek po tempo hari sebagai bukti yang nyata. Bukankah mereka bertiga dapat atau mampu melancarkan ilmu dari ajaran Kiu yang sinkang... "Siapakah dia?" Desak Tio Keh siok lagi. Kejadian ini merupakan penghinaan dan menjelekkan nama perguruannya, sudah tentu sukar baginya untuk membuka mulut memberi keterangan secara jelas, terpaksa dia mengalihkan bahan pembicaraan. "Apakah nona kenal dengan si maling bintang Si Ban cwan?" "Dia sebagai sahabat kental dari kakekku!" "Asal mula peristiwa ini dia mengetahui paling jelas, kalau ada kesempatan silahkan nona langsung tanyakan kepadanya!" "Kenapa tidak kau katakan sendiri?" "Aku mempunyai kesukaran yang susah kuucapkan!" "Suma Bing mengandal ucapanmu yang ngelantur dan tanpa bukti dan saksi ini, lantas kau hendak menghindari tanggung jawabmu?" "Lalu apa kehendak nona sebenarnya?" Tepat saat itu mendadak dari dalam gubuk itu terdengar jeritan serak yang menyayatkan hati. Tio Keh siok dan Suma Bing terkejut bersama, berbareng mereka berpaling, ternyata bayangan Si gwa sianjin sudah menghilang dari dalam gubuk. Sebentar Suma Bing mengerutkan alis, lantas dia juga ikut terbang masuk ke dalam gubuk. Terdengar dari bilik sebelah samping jeritan Tio Keh siok yang menyedihkan. "Losuheng, losuheng...!" Sedikit berpikir tanpa ayal lagi segera Suma Bing juga menerobos kebilik sebelah kiri itu, sekali pandang seketika ia tertegun ditempatnya. Tampak Si gwa sianjin menggeletak celentang diatas sebuah dipan dalam bilik itu, badannya berlepotan penuh darah, keadaan kematiannya sangat ngeri dan menyedihkan. Siapakah yang dapat turun tangan sebegitu cepat dalam waktu yang singkat ini, sedemikian gampang dia membunuh seorang aneh yang tidak kemaruk harta dan nama didunia fana? Kepandaian silat Si gwa sianjin sendiri bukan olah2 lihaynya, maka dapatlah dibayangkan algojo kejam itu pasti berkepandaian yang susah diukur tingginya? Terang dia tadi duduk tenang diruang depan itu, bagaimana mendadak kedapatan telah mati konyol diatas dipan dalam bilik sebelah samping ini? "Ganjil sekali!" Suma Bing berkata seperti tengah menggumam, dengan langkah lebar dia mendekati tempat tidur... Sambil mengusap air mata, Tio Keh siok bertanya. "Apanya yang ganjil?" Tanpa menjawab terlebih dulu Suma Bing memeriksa jenazah dengan seksama, lalu serunya ter-buru2. "Kejar jangan sampai si algojo itu lolos!" Sekali melesat tubuhnya melompat keluar dari jendela. Tampak alam disekitar dirinya hitam kelam diliputi kabut putih, sepuluh tombak diluar pandangannya keadaan semakin kelam dan remang, tanpa terasa dia menghela napas, ujarnya. "Sayang, dalam suasana demikian, sepuluh orang juga gampang saja melarikan diri dengan selamat!" "Apakah yang telah terjadi?" Tanya Tio Keh siok keheranan dan tak mengerti. "Si pembunuh itu telah lolos!" "Apa kau melihat si pembunuh itu?" "Tidak!" "Lalu apa maksud perkataanmu tadi?" "Suhengmu sudah meninggal kira2 setengah harian..." "Setengah harian? Apa betul?" "Betul, jenazah itu sudah dingin kaku, darahnya juga sudah membeku, kulitnya juga sudah berubah kehitaman semua ini sudah cukup membuktikan." Tergetar seluruh tubuh Tio Keh siok beruntun dia mundur tiga langkah, katanya gemetar. "Lalu orang didalam ruang tengah tadi...?" "Dialah pembunuhnya!" Lagi2 Tio Keh siok mundur dua langkah, air mukanya berobah, serunya penuh haru. "Dia bukan losuhengku..." "Palsu!" "Jadi kau sudah tahu sebelumnya?" "Tidak, sekarang baru aku tahu!" "Mengapa?" "Waktu tadi cayhe tiba kemari, lantas aku merasa sikap dan nada perkataan suhengmu agak ganjil, tapi aku tidak berani memastikan, selanjutnya kau lantas datang, begitulah duduk penjelasannya!" "Siapakah dia?" "Menurut hemadku, pastilah ini perbuatan dari Pek bin mo ong yang pandai merias diri dan malang melintang di Bulim itu. Jadi yang memalsu cayhe membabat habis Bu khek po dan melakukan kejahatan di Ngo bi san dan ngapusi..." Sampai disini ia telan kembali perkataannya, sebab dia merasa tidak semestinya... menceritakan juga tentang hilangnya Kiu im cinkeng. Maka setelah merandek sejenak lantas dia menyambung lagi. "Mungkin semua peristiwa itu dilakukan oleh satu orang!" Tio Keh siok berkata dengan curiga dan tak percaya. "Bukankah Raja iblis seratus muka itu sudah lama tidak muncul dalam Bulim?" "Memang, tapi sekarang dia muncul lagi!" "Apa maksudnya dia berbuat begitu?" "Membabat habis Bu khek po adalah untuk Kipas pualam, sedang di Ngo bi san tujuannya adalah hendak merebut Ce giok pe yap..." "Lalu mengapa pula dia membunuh suhengku juga?" "Karena dia paham pelajaran tentang ilmu barisan!" Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Kiranya kau sudah tahu semuanya?" Tanyanya Tio Keh siok sambil memandang Suma Bing penuh kekaguman. "Ini hanja sedikit analisaku menurut keadaan!" "Aku ingin mendengar penjelasanmu?" "Kalau kipas pualam dan daon giok ungu itu digabung, dalam waktu yang singkat dapat membuat seseorang memperoleh tenaga dalam yang tiada taranya... Tentang tujuannya membunuh suhengmu adalah supaya rintang utama dari barisan pohon2 bunga Bwe diluar markas besar Bwe hwa hwe tetap utuh!" "Bwe hwa hwe?" "Ya, sebuah perkumpulan yang berambisi hendak menguasai dunia persilatan!" "Raja iblis ini mungkin adalah Maha pelindung yang baru saja diangkat belum lama ini. Tapi, ini hanya merupakan dugaan saja, bagaimana duduk persoalan sebenarnya, perlu pembuktian dengan kenyataan yang harus kita selidiki secara mendalam!" Sekian lama Tio Keh siok bungkam akhirnya berkata menggertak gigi. "Bwe hwa hwe, pasti aku dapat menyelidikinya!" Memandang kearah Tio Keh siok Suma Bing membuka mulut hendak berkata apa2 namun ditelannya kembali. Kalau dia seperguruan dengan Si gwa sianjin, pasti dia ini juga paham intisari pelajaran tentang segala barisan. Sekarang Si gwa sianjin sudah wafat, maka perjalanannya ini gagal total, kalau minta petunjuk kepadanya berat rasanya untuk mengucapkan. Bukankah setengah jam yang lalu mereka adalah musuh bebuyutan yang harus menentukan mati dan hidup. Tio Keh siok balas pandang Suma Bing dan berkata. "Untuk apa tuan datang kemari?" "Untuk menyambangi suhengmu!" "Untuk apa?" "Ada persoalan hendak minta petunjuknya, kini dia sudah menemui ajalnya maka tak perlu disinggung lagi. Hanya aku agak heran, suhengmu pandai dan paham akan segala pelajaran barisan mengapa ditempat kediamannya ini tidak dipasang perangkap semacam itu?" "Seorang aneh kelakuannya juga aneh, dia anggap tiada rasa tamak untuk memperebutkan segala kemewahan duniawi, maka dia segan mengatur barisan jebakan!" Suma Bing mengiakan dan manggut2 paham. "Sekarang tuan boleh pergi!" Sebetulnya ingin rasanya Suma Bing hendak menanyakan asal-usul perguruan orang, dasar sifat pembawaannya yang dingin dan congkak setelah mendengar pengusiran orang secara halus ini, dia manggut2 serta menyahut. "Kalau begitu baiklah aku minta diri." "Dan tentang..." "Tentang apa?" "Tentang kematian kedua susiokcoku, baiklah perhitungan ini kita batalkan!" Suma Bing terharu dibuatnya, agaknya Tio Keh siok juga seorang gadis yang berpandangan obyektif dan tahu aturan maka ujarnya sopan. "Sungguh cayhe sangat menyesal. Tapi memang terpaksa aku harus melakukannya!" "Sudahlah, silahkan!" Sudah dua kali Suma Bing diusir secara halus sudah tentu tiada muka dia terus tinggal ditempat itu, maka tanpa banyak kata lagi dia terus melesat turun gunung. Begitulah tengah ia berlarian pesat, samar2 terlihat olehnya sebuah bayangan berkelebat dikejauhan sana bergerak cepat ditengah lautan kabut. Tergerak hatinya, batinnya. 'Bukan mustahil dia ini orangnya!' karena pikirannya ini gerak tubuhnya dipercepat, maka secepat burung terbang dia mengejar dengan kencangnya. Gerak tubuh bayangan itu tidak lemah, teraling oleh kepekatan kabut lagi, serta keadaan alam pegunungan itu sangat berbahaya dan penuh semak belukar pula, maka bayangan itu kadang2 terlihat dan kadang2 menghilang. Sedemikian kencang Suma Bing mengejar namun sebegitu jauh masih belum dapat menyusulnya. Satu jam kemudian mereka sudah keluar dari lingkungan lautan kabut. Kini bayangan misterius itu sudah menghilang dan tak terlihat lagi. Berdiri diatas sebuah puncak bukit, sungguh hati Suma Bing merasa sangat menyesal dan mashgul. Dia curiga kalau bayangan itu adalah Raja iblis seratus muka orang yang membunuh Si gwa sianjin. Atau mungkin juga orang yang memalsukan dirinya untuk melakukan berbagai kejahatan yang menggemparkan dunia persilatan itu. Kalau bisul jahat ini tidak lekas2 dilenyapkan, akibatnya susahlah dibayangkan. Karena tekadnya yang besar, sepasang matanya mencorong tajam menyapu keempat penjuru. Se-konyong2 jeritan beberapa orang yang mengerikan memecah kesunyian alam pegunungan. Terkejut Suma Bing dibuatnya, dialam pegunungan yang belukar ini darimana datangnya suara jeritan itu? Terdengar dua kali jeritan lagi samar2 terbawa angin. Didengar dari datangnya suara agaknya berada dibalik bukit dimana dia berada. Suma Bing jejakkan kedua kakinya, seenteng burung walet tubuhnya melesat turun menuju kebukit sebuah belakang sana. Sesampai dibawah bukit, tepat didepannya terbentang sebuah mulut selat yang sempit, beberapa mayat manusia tampak bergelimpangan tergenang dalam cairan darah. Sekilas pandang lantas Suma Bing mengenal mereka adalah para anak buah Bwe hwa hwe, semua berjumlah tujuh orang, cara kematian ketujuh orang ini semua sama, yaitu hancur lebur batok kepalanya, sungguh sangat mengerikan. Sungguh aneh, siapakah yang membunuh mereka, sedemikian kejam cara dia membunuh? Para anak buah jagoan Bwe hwa hwe untuk apa datang diatas pegunungan yang jarang dijajaki manusia ini? Waktu dia angkat kepala memandang kemulut selat, tergetar seluruh tubuhnya, merinding dan berdiri pula bulu kuduknya, beruntun mundur tiga langkah. Tampak seorang nenek berhidung betet berpipi tepos dan bermuka lebar tengah duduk angker diatas sebuah batu besar yang mencegat dijalanan masuk kedalam selat sempit itu, kedua mata nenek tua beruban ini seakan mata burung hantu yang memancar dimalam hari memancarkan sinar kehijauan, dengan tajam dan mengancam tengah menatap Suma Bing. Tak perlu disangsikan lagi, orang yang membunuh para jagoan dari Bwe hwa hwe itu pastilah si nenek tua ini. Tanpa membuka mulut si nenek aneh itu angkat telapak tangannya yang kurus kering itu diarahkan kepada Suma Bing terus pelan2 ditarik mundur. Dalam kejut dan herannya Suma Bing mendadak merasa sesuatu kekuatan daya sedot yang besar sekali tengah menarik dirinya maju kedepan. Jarak kedua belah pihak kira2 empat tombak, tapi lawan dapat mengeluarkan tenaga daya sedot sedemikian besar ini benar2 sangat mengejutkan. Dalam keadaan yang tidak bersiaga, Suma Bing terseret oleh daya sedot itu sampai sempoyongan maju beberapa langkah, maka cepat2 ia kerahkan hawa murninya serta sekuatnya menahan tubuh sendiri. Tenaga daya sedot itu semakin lama semakin kuat. Suma Bing kerahkan kekuatan Giok ci sinkang, pelan2 tenaga murninya tersebar keseluruh tubuh terus saling bertahan dan bentrok dengan tenaga daya sedot itu. Seketika pandangan mata si nenek aneh mengunjuk rasa heran dan kejut, sekarang dia menggunakan kedua tangannya terus ditarik mundur sehingga rambutnya yang ubanan berdiri tegak, maka keadaannya yang ganjil semakin aneh dan lucu lagi seram menakutkan. Kini Suma Bing sudah bersiaga daya pertahanannya sekokoh gunung, wajahnya yang membesi mengunjuk kehampaan. Tiba2 si nenek aneh itu menarik kedua tangannya, suaranya terdengar serak kasar seperti suara burung kokok beluk. "Setan kecil ada isinya juga, tapi kau harus mati." Perkataan tanpa juntrungannya ini membuat Suma Bing melengak sambil garuk2 kepala, begitu ketemu orang lantas hendak membunuh, inilah kejadian aneh yang belum pernah didengarnya, apakah dia seorang kuntilanak yang kehilangan kesadarannya? Tengah berpikir ini pandangannya menyapu keempat penjuru, tanpa terasa tenggelam dan membeku perasaan hatinya, tampak dimana2 terserak tulang2 putih manusia, ada kerangka yang masih lengkap ada pula yang sudah berantakan tak genah. Maka sahutnya tertawa ejek. "Apa aku pasti mati?" "Benar!" "Mengapa?" "Bagi siapa yang melihat aku dia harus mampus!" Suma Bing mengekeh dingin, serunya. "Belum pernah kudengar kejadian seaneh ini." Bola mata si nenek aneh memancarkan sinar kehijauan, tanpa berkedip dia pandang Suma Bing dengan perasaan gusar dan kebencian yang me-luap2. Biasanya bagi mereka yang bermusuhan besar baru terunjuk sikap garang seperti itu. Namun lain halnya dengan si nenek aneh ini, ternyata dengan sikap dan pandangan yang mengancam itu dia pandang Suma Bing, benar2 sangat aneh dan susah dipercaya. Suma Bing sendiri juga melongo heran. Si nenek aneh tertawa ter-serok2, seringainya dingin. "Setan kecil, kulanggar kebiasaanku untuk memberi kesempatan kau meninggalkan namamu..." "Melanggar kebiasaan? Kebiasaanmu itu tak perlu kau langgar, aku tidak sudi meninggalkan namaku!" "Setan kecil, kau tidak tahu kebaikan!" "Memangnya kau bisa apa?" "Jadi kau ingin menjadi tulang2 kering tanpa nama?" Suma Bing geli dan jengkel dibuatnya, ejeknya tak acuh. "Cayhe masih belum ingin mati!" "Tapi kau sudah pasti harus mati!" "Kalau begitu ingin aku minta pengajaran, entah siapakah tokoh kosen ini?" "Setan kecil, jangan banyak cerewet!" "Sayang sekali!" "Apa yang sayang?" "Engkau tidak mau menyebut nama atau gelaranmu, kalau kau mati bukankah juga menjadi tulang2 kering yang tidak bernama seperti mereka2 itu." Tenggorokan si nenek aneh berkerok2 mengeluarkan suara aneh yang keras, rambutnya yang ubanan seperti perak berdiri tegak semua teriaknya beringas. "Setan kecil, terhitung kaulah yang sudah pernah melihat wajahku dalam waktu yang paling panjang sekarang serahkanlah jiwamu!" Belum lenyap suaranya tubuhnya mendadak melejit maju kedepan Suma Bing terus ulur tangan mencengkram dada. Cara cengkramnya ini benar2 hebat luar biasa kiranya tiada tandingan diseluruh kolong langit ini. Sampai Suma Bing sendiri yang berkepandaian sedemikian tinggi juga tidak mampu berkelit lagi. Keruan kejutnya bukan kepalang, tanpa disadari tubuhnya bergerak secara reflek menggeser kedudukan kesamping setombak lebih. Tanpa disadarinya dia menggunakan gerak Bu siang sin hoat untuk menyingkir dari cengkraman lawan, setelah itu lantas dia menyesal. Dia pernah bersumpah pada Giok li Lo Ci selamanya takkan menggunakan gerak tubuh ini, juga kepada pihak Siau lim si dia pernah berjanji untuk mengubur ilmu ini dari sanubarinya, untuk selamanya takkan muncul, dikalangan Kangouw, sungguh tidak nyana dalam keadaan yang kepepet dan tanpa sadar dia telah menggunakan ilmu yang digdaya itu. Melihat cengkramannya mengenai tempat kosong, si nenek aneh mengeluarkan seruan kejut, tapi tangannya masih tetap bergerak secepat kilat, tahu2 cengkraman jurus kedua sudah merangsang tiba pula. Lwekang Suma Bing setiap saat timbul menurut kesigapan perasaannya, dalam waktu yang pendek Giok ci sinkang sudah menyelubungi seluruh tubuhnya, telapak tangannya bergerak miring seperti membacok memapak cengkraman musuh. Memang Giok ci sinkang sakti mandraguna, waktu cengkraman si nenek aneh merangsang tiba terpaut tiga senti diatas kepala Suma Bing, mendadak tertolak kembali oleh tenaga kuat yang merintangi tenaga serangannya. Hanya dalam waktu yang pendek itulah bacokan telapak tangan Suma Bing juga sudah memapas tiba didepan dada musuh. Kepandaian si nenek aneh ini memang luar biasa sekali, kalau dia teruskan cengkramannya pasti dirinya juga akan konyol. Maka gesit sekali dia tekuk sikutnya kebawah untuk menangkis. 'Blang!' bacokan telapak tangan Suma Bing telak sekali membentur sikut lawan. Terdengar si nenek aneh memekik kesakitan, cepat2 ia mundur tiga langkah. Suma Bing sendiri juga terkejut melihat kekuatan musuh, agaknya inilah musuh paling tangguh selama dia kelana didunia persilatan. Mendadak si nenek aneh berteriak nyaring. "Tidak benar!" Suma Bing tertegun dan melongo. Sorot si nenek ubanan memancarkan kemurkaan, makinya sambil menuding Suma Bing. "Setan kecil, tadi kau melancarkan Bu siang sin hoat bukan?" Suma Bing menjadi serba salah, harus mengakui atau tidak, seperti diketahui secara ceroboh tanpa sengaja dia lancarkan ilmu yang sudah pernah dijanjikan untuk tak diunjukkan lagi dikalangan Kangouw. Kini telah ditunjuk secara terang2an oleh lawan tak heran dia maju mundur dan bimbang dibuatnya. "Katakan setan kecil!" Teriak si nenek beruban sambil berjingkrak seperti orang gila. Naiklah hawa amarah Suma Bing, sahutnya dingin. "Kalau benar kau mau apa?" Si nenek beruban melangkah setindak, geramnya sambil menggigit gigi. "Kiong Ji lan si budak rendah itu termasuk apamu?" Suma Bing tersentak kaget sampai mundur dua langkah, matanya kesima memandangi si nenek aneh. Dari Kang Kun Lojin diketahui bahwa Kiong Ji lan adalah nama asli dari Bu siang sin li. Bu siang sin li adalah tokoh aneh yang sangat disegani pada ratusan tahun yang lampau, kini secara se- mena2 dimaki sebagai budak rendah oleh lawan, ini benar2 sangat keterlaluan dan luar biasa. Dari sini dapatlah diperkirakan kalau si nenek aneh ini pasti juga bukan tokoh sembarangan, mungkin tingkatannya juga tidak rendah. Tapi siapakah dia ini? Agaknya si nenek aneh ini terpengaruh oleh perasaannya kulit mukanya yang kurus tepos tinggal pembungkus tulang itu bergerak dan gemetar, raganya juga tergetar. Keadaan ini membuat Suma Bing semakin heran dan tak habis mengerti. Sekian lama bibir si nenek ber-gerak2 baru akhirnya terdengar suaranya berkata. "Katakan setan kecil!" "Apa yang harus kukatakan?" Balas tanya Suma Bing. "Kiong Ji lan si budak busuk itu apamu?" Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Maksudmu Bu siang sin li Locianpwe?" "Cis, Locianpwe apa segala, budak rendah..." Suma Bing pernah menerima ilmu digdaya dari Bunga iblis yang diwarisi oleh Bu siang sin li, dalam hatinya merasa sangat kagum dan hormat kepada cianpwe aneh yang sudah lama mangkat itu. Tatkala mendengar makian lawan dia menjadi gusar dan merasa ikut terhina, sahutnya dingin kaku. "Kau sudah tua dan jangan sembarangan membuka mulut memaki orang lain, untuk selanjutnya kuharap kau bicara mengenal sopan santun!" "Setan kecil, berani kau memberi kuliah pada aku orang tua?" "Jikalau kau tua tapi tidak mengenal penghargaan, seumpama tinggi tingkatanmu apa pula faedahnya?" "Setan kecil, sebetulnya kau ini apanya?" "Apapun bukan." "Hah, lalu Bu siang sin hoat itu darimana kau pelajari?" "Kiranya hal itu tidak menyangkut persoalanmu!" "Aku orang tua harus menanyakan secara jelas." Otak Suma Bing harus bekerja keras, batinnya, lebih baik kukorek keterangan yang lebih jelas dari mulutnya, siapa tahu persoalan itu merupakan rahasia terpendam dalam sejarah dunia persilatan yang sangat berharga. Maka segera ia menyahut dengan suara berat. "Apa kau benar2 ingin mengetahui?" "Sudah tentu!" "Terlebih dulu kuminta kau mau bicara secara terang, nanti biar kututurkan dan kubeberkan secara terang gamblang." "Setan kecil, kau tidak setimpal untuk menanyakan urusan pribadiku!" "Kalau begitu aku juga keberatan memberi tahu!" "Kau ingin mampus?" "Tidak gampang kau hendak membunuh aku!" Agaknya si nenek beruban hampir saja hendak mengumbar nafsu amarahnya, namun sikapnya berobah menjadi lunak lagi, serunya uring2an. "Setan kecil, karena dialah maka selama puluhan tahun ini kedua tanganku selalu berlepotan darah!" Suma Bing mengerut kening, tanyanya. "Jadi kau membunuh karena Bu siang Locianpwe?" Si nenek manggut2 sambil mengiakan. "Kenapa?" "Karena dia telah membuat aku merana selama hidupku ini!" ________________________________________________ ___________________________________ Apa alasannya sehingga si nenek berani berkata begitu? Siapakah si nenek ini, mengapa pula dia berlaku begitu kejam? Mengapa dia memegat dijalan masuk kedalam selat sempit itu, ada apa dan siapakah yang berada didalam sana? Dalam usahanya menuntut balas, Suma Bing harus menghadapi berbagai jebakan dan rintangan malah dia harus berkecamuk dalam pertempuran dibawah keroyokan gembong2 silat lihay dari pihak Bwe hwa hwe langsung dibawah komando Loh Cu gi sendiri! 0oodwoo0 Jilid 14 53 CINTA ABADI SEORANG NENEK PEYOT. Perkataannya ini membuat jantung Suma Bing berdebar keras, tanyanya. "Mohon dijelaskan!" "Perkataanku habis sampai disini!" "Kalau begitu harap diketahui bahwa cayhe dengan Bu siang Locianpwe hanya ada sedikit jodoh." "Jodoh, apa artinya?" "Aku pernah menerima kebaikan dari dia orang tua!" "Kau bukan muridnya?" "Bukan!" "Dapatkah dipercaya omonganmu ini?" "Terserah kepada cianpwe!" "Lalu dimana dia sekarang?" "Ini..." "Hm, dia membuat aku merana selama hidup ini, aku harus membalas, aku harus menghadapinya secara langsung." "Itu tidak mungkin!" "Kenapa?" "Sebab dia orang tua sudah lama wafat." Mendadak si nenek aneh itu membanting kaki, sambil menggerung gusar. "Dia sudah mati." Suma Bing mengiakan. "Dia... sudah mati? Tidak, dia tak boleh mati, dia harus mati ditanganku, dia... setan kecil, dimana dia dikubur... dia..." "Masa cianpwe hendak menuntut balas terhadap orang yang sudah meninggal?" "Benar, kuhancur leburkan tulang belulangnya dulu, baru membabat keturunannya." "Baiklah aku tidak akan membuka mulut lagi." "Setan kecil, tiada tempatmu turut bicara disini..." Dingin perasaan Suma Bing, serunya. "Orangnya mati permusuhanpun himpas." "Katakan, dimana dia dikubur?" "Aku tidak akan memberi tahu." "Kau berani?" "Bukan soal berani atau tidak, kan sudah cayhe katakan tidak akan memberitahu!" "Kau ingin mati?" "Mengandal kepandaianmu kau belum mampu mencabut nyawaku!" "Lihat serangan!" Diiringi ancamannya ini serangannya juga lantas merangsang maju, seketika gelombang angin puyuh bagai gugur gunung menerpa keras ber-gulung2 kearah Suma Bing. Ter-sipu2 Suma Bing angkat tangan untuk menangkis. Dentuman keras menggetar bumi membuat si nenek aneh itu terpental mundur tiga tindak, sedang Suma Bing hanya limbung bergoyang gontai, namun kakinya sedikitpun tidak bergeser. "Setan kecil, kau..." "Aku kenapa?" "Kau murid siapa?" "Tak dapat kuberitahu!" Si nenek aneh beruban ber-teriak2 gusar sambil menyerang lagi, tampak dalam kedua tangannya bergerak diayun itu berpetalah bayangan delapan belas telapak tangannya bersama itu semua menungkrup kearah delapan belas jalan darah penting ditubuh musuh. Jurus serangan semacam ini benar2 belum pernah dengar dan lihat. Sudah tentu Suma Bing tidak berani berlaku gegabah, tidak kalah sigapnya jurus bintang berpindah jungkir balik, jurus kedua dari Giok ci sinkang juga segera diberondong keluar untuk menandingi serangan musuh. Karena tidak mampu memunahkan serangan musuh yang hebat dan ajaib itu maka terpaksa dia menyerang untuk balas menyerang. Mendadak si nenek aneh menarik pulang serangannya ditengah jalan, gesit sekali tubuhnya terus melesat kesamping sejauh setombak lebih, mulutnya juga berseru heran. Reaksi Suma Bing sendiri juga tidak kalah sigap, melihat lawan batal menyerang diapun mengendorkan tenaga, dan membatalkan serangan balasannya. Sekarang sinar mata si nenek aneh memancarkan cahaya yang aneh, dengan tajam dia menatap Suma Bing, tapi sinar matanya ini tidak seperti tadi yang beringas dan ber-api2, malah suaranya kini terdengar kalem dan sabar. "Buyung agaknya terpaksa aku harus melanggar sumpahku!" Sikap Suma Bing tetap dingin angkuh, tanyanya. "Melanggar sumpah apa?" "Mendadak aku tidak ingin membunuh kau lagi." Diam2 Suma Bing tertawa geli, pintar juga nenek aneh ini mengikuti arah angin memutar haluan, terang dia takkan bisa menghadapi dirinya, sebaliknya mengatakan melanggar sumpah apa segala, diapun segan menyindirnya, hanya sikapnya tetap angkuh katanya. "Itupun kenapa?" "Pertama cara bersilatmu kentara kau bukan murid budak rendah itu." "Lalu ada apa lagi?" "Kedua, mungkin kau dapat membantu aku melaksanakan satu cita2!" Bukan terkejut sebaliknya Suma Bing merasa aneh tanyanya. "Cita2 apa?" "Aku tidak akan minta kepadamu secara cuma2!" "Cayhe sendiri juga belum tentu setuju!" "Hm, orang paling sombong yang pernah kulihat selama seabad ini." "Ah, terlalu dipuji2." "Buyung, cobalah kau pandang kedalam selat sempit itu." Dengan heran Suma Bing memandang menurut apa yang diminta, tampak selat sempit itu hanya selebar puluhan tombak, kedua sampingnya adalah dinding batu yang terjal seperti dipapasi dengan senjata tajam, sedemikian tinggi kedua lamping ini sehingga menembus langit, keadaannya sangat sunyi dan gelap menyeramkan apapun tidak kelihatan. "Sudah lihat belum?" "Melihat apa ?" "Lihatlah mulut lembah itu." Sekarang Suma Bing memandang lebih seksama, memang dimulut lembah itu muncul dan merintang ditengah jalan sebuah batu cadas besar persegi setinggi dua tombak lebih dibelakang batu besar ini terserak tidak teratur banyak sekali batu2 runcing yang sekilas pandang saja tiada sesuatu yang kelihatan aneh. "Bagaimana?" "Maksudmu batu besar itu? Adakah guna faedahnya?" "Sudah enampuluh tahun lebih batu itu menghalangi aku masuk kedalam lembah!" Sudah tentu Suma Bing semakin heran dan tak mengerti, sambil garuk2 kepala. Meskipun batu itu besar dan tepat berada ditengah, namun lembah itu lebar sepuluh tombak jadi masih banyak tempat luang yang tidak terintang untuk keluar masuk, orang akan menyangka perkataannya itu bukan keluar dari mulut seorang yang berotak waras. Melihat sikap Suma Bing yang ragu2, si nenek menegasi. "Buyung, kau tidak percaya?" "Memang susah untuk dipercaya!" "Lebih baik kau pergi mencobanya!" "Mencoba bagaimana?" "Coba kau dapat melewati batu besar itu sejauh sepuluh langkah tidak?" Melihat sikap orang yang sungguh, timbul keinginan Suma Bing batinnya, 'bukan mustahil memang ada sesuatu keganjilan didalam sana, biarlah kucoba.' Cepat sekali dia berlari badannya melenting kearah mulut lembah itu, baru saja ia mengitar kebelakang batu besar itu, pandangan didepannya mendadak berobah terlihat batu2 aneh bermunculan dan berserakan bagai hutan, jalan diantara empitan batu2 itu berliku2 tidak menentu, dihembus angin sepoi2 lagi sehingga terasa dingin menembus tulang, bila dia berpaling melihat kebelakang, tanpa terasa berjingkrak kaget, pemandangan dibelakangnya juga sama saja batu aneh dan jaluran jalan yang sempit belak-belok ber-lapis2 susah dibedakan mana timur barat atau selatan. Ini merupakan sebuah barisan. Baru sekarang dia percaya akan perkataan si nenek aneh ternyata bukan bualan belaka sekali melejit Suma Bing lompat keatas sebuah batu runcing yang agak tinggi, pemandangan dari ketinggian ini ter-lihat remang2 gelap tanpa terlihat ujung pangkalnya. Mendadak sebuah suara terkiang dipinggir telinganya. "Buyung, jangan banyak bergerak, biar kutolong kau keluar dari sini!" Terasa lengannya kenceng dicengkram seolah2 tubuhnya dijinjing ketengah udara, tahu2 dimana pandangannya kembali terang ternyata dirinya sudah tiba pula diluar mulut selat lagi. Pemandangan didepannya tidak berobah tetap batu besar itu yang terlihat merintangi jalan. "Bagaimana Buyung?" Tanya si nenek aneh setelah duduk kembali dibatu tempatnya tadi. "Itu merupakan sebuah barisan?" "Ya," Sahut si nenek sambil manggut2. "Siapakah yang membangun?" "Orang yang selalu kuingat selama enam puluh tahun itu." "Siapa?" "Aku tidak senang menyebut namanya!" "Dengan cianpwe adalah..." "Musuh bebuyutan!" "Dia menetap dalam lembah ini?" "Benar, sudah selama enampuluh tahun aku menunggunya diluar sini..." "Enampuluh tahun lebih?" Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tanya Suma Bing terperanjat. "Barisan itulah yang merintangi cianpwe sehingga tidak bisa masuk kedalam lembah sana?" Si nenek ganda manggut2 sebagai penyahutan. "Pernahkah dia muncul?" "Pernah!" "Lalu kenapa cianpwe tidak segera menyelesaikan secara berhadapan?" "Itu terjadi sebelum enampuluh tahun yang lalu," Si nenek menjelaskan dengan uring2an dan penuh kebencian. "Waktu pertama kali aku datang kemari dia pernah keluar katanya jikalau aku dapat memecahkan barisannya itu dan masuk kedalam sana, dia mandah terima perintah apa saja dan pasrah nasibnya ditanganku. Sejak saat itu, lantas dia tidak pernah muncul lagi sampai sekarang!" Diam2 Suma Bing melelet lidah, entah ada permusuhan apakah si nenek tua ini dengan penghuni dalam lembah itu, sedemikian berat dan rela dia mau menunggunya diluar lembah ini selama enampuluh tahun tanpa bosan2. Kalau dia memaki Bu siang sin li sebagai budak busuk, terang kalau usia dan tingkatannya pasti tidak berbeda seberapa. Itu berarti bahwa usianya pasti juga sudah seabad lebih. Dari nada perkataannya, antara si nenek tua ini dengan Bu siang sin li agaknya ada ganjalan hati atau permusuhan lama. Tapi siapa pula orang yang menghuni didalam lembah itu. Mengapa dia sampai sedemikian sabar menunggunya selama puluhan tahun? Kalau barisan aneh itu merintangi dan dia sendiri tidak mampu memecahkan bukankah seumur hidup dia menunggu disini juga akan sia2? Akhirnya pikiran Suma Bing melayang dan terkenang akan Sucinya Sim Giok sia bukankah karena "cinta" Sehingga Sucinya itu menderita dan sengsara selama tigapuluh tahun, sehingga mengubur seluruh masa remajanya. Akhirnya meskipun dapat mencapai cita2nya yang terakhir dan dapat terlaksana pertemuan kembali dengan Tiang un Suseng. Sayang nasib dan kodrat ilahi telah menuntun dan mengatur perjalanan hidup mereka selanjutnya. Sepasang kekasih yang dimabuk cinta ini akhirnya harus menemui ajalnya, didalam penjara bawah tanah Bwe hwa hwe. Lantas terbayang juga akan sumpah setia Giok li Lo Ci kepada suhunya, sedemikian besar rasa cintanya kepada suhunya sehingga lupa waktu lupa segalanya sampai usia sendiri sudah lanjut masih tanpa disadari. Wanita aneh tua, dihadapannya ini bukan mustahil juga seorang yang menjadi korban akan kegagalan cintanya? Maka tak tertahan lagi segera ia bertanya. "Penghuni dalam lembah itu apakah seorang pria?" Bermula sikap si nenek menjadi lesu dan mashgul, namun lantas berkobar pula perasaan bencinya, desisnya rendah. "Buyung kau berkata benar!" "Orang dalam lembah itu berhubungan sangat erat dengan cianpwe?" "Ya erat sekali sampai aku bersumpah harus membunuhnya baru lega hatiku." Tubuh Suma Bing gemetar dan bergidik, kalau terkaannya tidak salah, pasti rasa benci yang berlebihan ini timbul karena cintanya bertepuk sebelah tangan. "Lalu kenapa cianpwe harus selalu membunuh orang?" "Aku benci seluruh lelaki diseluruh kolong langit ini!" "Kenapa?" Tanya Suma Bing berjingkat. "Buyung, sudah terlalu banyak kau bertanya!" "Hanya karena benci maka cianpwe membunuh orang?" "Benar, itu juga terbatas ratusan li dalam lingkungan selat ini. Jikalau ada orang berani menerjang masuk, hanya ada satu jalan bagi dia, yaitu mati!" "Bukankah perbuatan ini terlalu kejam?" "Kejam? Hahaha..." Gelak tawa yang menggila ini seakan tangisan setan dimalam hari, seumpama lolong srigala ditengah malam, membuat orang mengkirik seram. Agak lama kemudian baru tawanya yang memilukan itu berhenti dan katanya lagi. "Secara mentah jiwa hidupku selama ini dikubur hidup2, seorang gadis jelita, dia harus hidup merana dalam jurang kesedihan sehingga menjadi seorang nenek2 tua yang bongkok dan tinggal kulit pembungkus tulang ini, apakah ini tidak terlalu kejam?" "Ini..." Suma Bing kehilangan kata2nya, bukankah dirinya sendiri juga tengah terombang-ambing dalam dendam dan budi. Berhenti sebentar lantas dia melanjutkan memutar haluan. "Lalu apa yang cianpwe tunggu sampai sekarang?" "Memecahkan barisan dan masuk kedalam!" "Tapi..." "Hahahaha... puluhan tahun yang sudah terbuang ternyata tidak sia2, telah kutunggu2 saatnya seperti ini, akhirnya Tuhan telah mengirim kau datang kemari!" Diam2 terkejut Suma Bing, tanyanya heran. "Apa maksud perkataan cianpwe ini?" "Kau dapat membantu aku memecahkan barisan itu!" "Sedikitpun aku tidak paham akan segala barisan?" "Itu tidak menjadi soal!" "Sungguh aku tidak paham?" "Kulihat dari cara turun tanganmu tadi, agaknya kau melatih suatu ilmu sakti semacam Sian thian bu khek sinkang yang peranti untuk melindungi badan, kalau kau dapat menggunakan ilmu saktimu itu untuk memecahkan batu besar itu, barisan itu akan hancur total tanpa kita menyentuhnya lagi. Kau sudah paham?" Baru sekarang Suma Bing sadar, ternyata si nenek tua ini hendak meminjam tenaganya atau ilmu Giok ci sinkangnya untuk menghancurkan batu besar itu. Maka katanya menyindir. "Kiranya cianpwe juga seorang welas asih!" "Memangnya kenapa?" "Apakah cianpwe berpendapat kalau aku pasti mau membantu?" Si nenek tua berjingkrak berdiri, semprotnya gusar. "Apa bocah jadah kau tidak mau membantu?" Sahut Suma Bing tawar. "Tiada alasannya aku harus membantu kau memecahkan barisan itu supaya kau dapat leluasa membunuh orang." "Berani kau menentang aku" Teriak si nenek dengan murkanya. Sekilas Suma Bing menyapu pandang lawan dingin, lalu katanya ogah2an. "Ini bukan soal berani atau takut?" "Kubunuh setan cilik seperti kau ini!" "Tidak segampang perkataan yang kau ucapkan?" Saking murka badan si nenek sampai gemetar, rambutnya yang ubanan juga riap2an sepasang matanya memancarkan cahaya yang menakutkan. Namun sikap Suma Bing tetap tenang seolah2 tidak melihat, katanya. "Maaf cayhe minta diri." "Setan kecil, seumpama tumbuh sayap juga kau takkan dapat lolos!" "Apakah perkataan cianpwe ini tidak keterlaluan?" Se-konyong2 sebuah bayangan putih bagai awan mengembang laksana air mengalir enteng sekali tanpa suara melayang tiba. Diam2 tercekat hati Suma Bing melihat bayangan orang yang sudah dikenalnya ini. Sesaat dia berpikir, bayangan putih itupun telah melayang tiba. Tanpa kuasa Suma Bing berseru kejut. "Kau!" Memang yang mendatangi ini bukan lain adalah Tio Keh siok, putri Bu khek ciangbun atau adik seperguruan dari Si gwa sianjin. Entah untuk apa Tio Keh siok muncul disini. Aneh sikap si nenek tua sedikitpun dia tidak memberikan reaksi akan kedatangan Tio Keh siok ini, acuh tak acuh tanpa mengerling matapun jua. Agaknya Tio Keh siok sendiri juga heran melihat kehadiran Suma Bing ditempat ini. Dengan penuh tanda tanya ia pandang Suma Bing dan berseru. "Kau!" "Apakah nona Tio sudah selesai mengurus jenazah Suhengmu?" "Bagaimana bisa kau..." Baru setengah perkataannya, matanya lantas mengerling kearah si nenek aneh, seketika ia telan kembali perkataan selanjutnya. Maka terdengar si nenek mendengus se-keras2nya sambil menggerung. Setelah memandang Suma Bing keheranan dan ber-tanya2 akhirnya Tio Keh siok berkelebat melesat memasuki selat sempit itu, sebat sekali dia sudah memutar kebelakang batu besar itu lantas tubuhnya terbang menghilang. Kecepatan gerak tubuhnya itu benar2 luar biasa seumpama setan melayang dibawa angin lalu. Suma Bing terhenyak dan terpekur ditempatnya. Kalau Tio Keh siok dapat masuk keselat itu sedemikian gampang tanpa rintangan, pasti dia adalah murid orang dalam selat itu, dia memanggil Si gwa sianjin sebagai Losuheng, kalau diukur dari usia Si gwa sianjin, maka usia orang dalam selat itu sedikitnya sudah seabad, dan rekaannya ini agaknya memang sedikit mendekati kenyataan, justru yang mengherankan kalau penghuni lembah itu sudah selama enam puluh tahun tidak pernah keluar meninggalkan tempat kediamannya lalu darimana dia bisa peroleh seorang murid wanita yang masih sedemikian muda? Si gwa sianjin termashur akan ilmu barisannya, maka dapatlah diperkirakan kalau penghuni lembah itu pasti juga seorang ahli dalam bidang ini. Perangkap Karya Kho Ping Hoo Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Si Bungkuk Pendekar Aneh Karya Boe Beng Giok