Ceritasilat Novel Online

Pedang Darah Bunga Iblis 8


Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH Bagian 8


Pedang Darah Bunga Iblis Karya dari G K H   "Jadi kau tidak percaya?"   "Kalau kau tidak membicarakan urusan sebenarnya, lebih baik aku permisi saja."   "Kau hendak pergi? Hahaha, kuberitahu Suma Bing, ada jalan masuk untukmu tapi tiada pintu untuk keluar, kalau tidak percaya kau boleh coba2"   "Belum tentu kau dapat mengekang aku?"   "Terserah kau mau percaya apa tidak, akan tiba saatnya kau dapat membuktikan. Sekarang jawablah satu pertanyaanku, sebebenarnya Sia-sin Kho Djiang mengumpat dimana?"   "Mengumpat, huh, diseluruh jagad raya ini mungkin tiada seorangpun yang dapat memaksa dia orang tua mengumpat!"   "Kutanya kau dimana dia sekarang?"   "Tentang..."   Otak Suma Bing berputar cepat, pesan Suhu sangat keras dia melarang aku turun tangan terhadap wanita yang pandai menggunakan ilmu cakar setan seratus perobahan juga dilarang menerangkan jejaknya, bagaimana mungkin dia melanggar pesan Suhunya itu, maka setelah merandek sekian lamanya segera ia menyahut tegas.   "Tak bisa kukatakan!"   Agaknja orang didalam peti mati itu menjadi gusar bentaknya garang.   "Tidak kau katakan!"   "Benar aku tidak bisa memberitahu."   Sahut Suma Bing kaku.   "Huh, gurunya sesat muridnyapun nyeleweng, memangnya kau sangka aku kewalahan menghadapi kau?"   "Brak,"   Tiba2 tutup peti mati berkisar kesamping disusul sebuah bayangan orang muncul berduduk dari peti mati, jelas itulah seorang wanita pula keadaannya seperti si serba hitam, rambutnya terurai panjang awut2an, yang berbeda hanya rambut yang menutupi muka itu sudah hampir seluruhnya beruban.   Berdetak keras jantung Suma Bing, serta merta ia mundur dua tindak.   Suasana tegang mengandung keseraman yang mencekam hati.   Entah cara bagaimana orang bergerak, tahu2 orang dalam peti mati itu sudah melejit tiba diambang pintu dan berdiri dihadapan Suma Bing, dengan ketajaman pandangan Suma Bing ia tidak tahu kapan dan bagaimana orang bergerak.   "Suma Bing, kau katakan tidak?"   "Tidak."   "Kau jangan menyesal ya."   "Selamanya aku tidak mengenal apa artinya menyesal!"   Orang aneh dari peti mati itu mendesis seram, katanya. "Kau tahu bagaimana aku hendak menghadapimu?"   Ancaman ini benar2 membuat orang bergidik takut. Suma Bing menjadi nekad, sahutnya.   "Cara bagaimana kau hendak menghadapi aku?"   "Kulenyapkan ilmu silatmu, kurusak wajahmu juga baru kulepas kau dikalangan Kangouw."   Suma Bing tidak tahu wanita aneh ini ada permusuhan apa dengan suhunya sehingga sedemikian kejam ia hendak menghukum dirinya.   Karena suhu melarang aku turun tangan masa aku harus mandah terima binasa? Karena pikirannya ini tanpa terasa rnulutnya berkata.   "Ada permusuhan apa suhuku kepadamu?"   "Dendam! hehehehe, aku benci dia, juga membenci seluruh laki2 dikolong langit ini."   "Kenapa?"   "Benci, karena benci, tidak karena apa? sekarang kuperingatkan yang terakhir, kau katakan tidak?"   "Tidak!"   Sahut Suma Bing menggeleng dengan angkuhnya.   Tangannya diulur langsung, wanita aneh didalam peti mati mencengkram kemuka Suma Bing.   Selayang pandang Suma Bing dapat lihat bahwa lawan melancarkan jurus2 dari ilmu cakar setan beratus perobahan itu, karena mematuhi pesan gurunya, segera ia batalkan serangan tangan yang sudah diayun, tubuhnyapun segera melesat mundur secepat kilat sejauh lima kaki, terpaut serambut hampir saja mukanya dedel dowel.   Wanita aneh mengekeh dingin, lagi2 cakar tangannya sudah mencengkram tiba, bukan saja cara mencengkramnya sangat cepat juga sangat aneh dan menakjubkan.   Keringat dingin membanjir membasahi tubuh Suma Bing, sedapat mungkin ia miringkan tubuh berusaha berkelit, namun 'bret' lengan bajunya terkoyak panjang, sepanjang lengannya membekas jelas lima jalur merah darah bekas cakaran tangan.   "Suma Bing, kalau kau dapat menghindari jurus ketiga, segera kulepas kau pergi,"   Bayangan cakar setan berkelebat melayang2 bagai hujan salju semua menungkrup kearah Suma Bing.   Arwah Suma Bing seakan melayang keluar, terasa olehnya tiada tempat atau waktu untuk dirinya menyingkir atau berkelit lagi, tahu2 pundaknya terasa kesakitan lima cakar lawan mencengkram amblas masuk da ging.   Seketika buyarlah semua hawa murni dan tubuhpun terasa lemas lunglai.   "Kau masih ada omongan apa lagi?"   Ancam wanita aneh menyeringai. Bergolak darah Suma Bing serunya beringas.   "Kalau bukan karena pesan suhu, belum tentu kau dapat berhasil sedemikian gampang."   Agaknja wanita aneh itu tergetar kaget, tanyanya.   "Pesan guru apa itu?"   "Dia orang tua melarang aku turun tangan terhadap orang yang menggunakan jurus2 Pek-pian-kui djiau!"   "Apa betul?"   "Apa kau lihat aku balas menyerang?"   "Dia... dia... hm, bohong. Siautju, sekarang biar kurusak wajahmu ini."   Sebuah cakar tangan yang halus pucat memutih per-lahan2 bergerak kearah wajah Suma Bing.   Dalam saat2 diambang ajal itu terbayang oleh Suma Bing akan tugas menuntut balas yang belum terlaksana, juga teringat akan benci, hutang budi pada orang lain, semua ini terbayang dikelopak matanya dan sekejap itu pula menghilang dari ingatannya.   Dia ingin berontak, tapi lantas teringat akan pesan suhunya yang selalu mengekang dan membatasi gera-gerik dirinya...   Dengan membelalak ia awasi cakar tangan itu semakin dekat didepan matanya.   Terpaut setengah dim dari wajahnya cakar tangan itu berhenti dan tidak bergerak lagi.   Keringat dingin segede kacang mengalir deras diatas jidatnya.   "Kasih tahu aku, dimana dia berada?"   Ratapnya sedih menyayatkan hati mengandung kegetiran hati yang tak terperikan.   "Tidak bisa!"   Sahut Suma Bing tetap keras kepala.   "Jadi kau rela menjadi tanpadaksa dan rusak wajahmu, lebih baik mati daripada hidup?"   "Siluman jalang, turun tanganlah."   "Plok,"   Sebuah tamparan nyaring membuat mata Suma Bing ber-kunang2, darahpun meleleh dari sudut bibirnya lalu disusul jari2 berat berkali2 menutuk diberbagai jalan darah diseluruh tubuhnya.   Mengikuti setiap tutukan Suma Bing merasakan hawa murninya pun ber-angsur2 membuyar dengan cepat.   Diam2 ia mengeluh dalam hati, seluruh kepandaian silatnya sudah ludas dalam sekejap itu.   Untuk seorang persilatan hal ini lebih mengenaskan beratus lipat dari kematian, saking tak tahan mulutnya berteriak memaki.   "Siluman jalang kau..."   "Blang"   Badan Suma Bing terbang sejauh tiga tombak darah menyembur keras dari mulutnya, tubuhnya lemas lunglai tergolek diatas tanah tanpa bergerak.   Segera wanita aneh dari peti mati itu berpaling kearah wanita serba hitam dan berkata.   "Giok-sia kurung dia didalam barisan teriakan setan mengejar nyawa, seumur hidup ia tidak membuka mulut, kurung dia selama itu jua."   Si wanita serba hitam mengiakan, bagai menangkap anak ayam ia jinjing tubuh Suma Bing dengan langkah lebar ia keluar terus memasuki hutan pohon siong sebelah sana, ditengah antara rumpun pohon siong dibangun sebuah rumah kecil serba hitam pula, dimana hanya ada sebuah pintu dan sebuah jendela.   Suma Bing dilempar masuk kedalam rumah kecil itu, lantas pintu ditutup keras2 dan dikunci dari luar.   Sungguh mimpipun Suma Bing takkan menduga bahwa akhirnja ia harus menjadi tawanan dan dipenjarakan dalam rumah hitam itu oleh wanita aneh itu.   Karena kepandaiannya sudah lenyap, tak mungkin lagi dia berobat diri, lebih tak mungkin dapat meloloskan diri.   Kiranya rumah hitam itu terbuat dari besi baja, seumpama Lwekangnya belum hilangpun takkan mungkin dapat membobol rumah besi yang kokoh kuat ini.   Se-olah2 dia tengah bermimpi buruk, ya buruk sekali.   Dalam rumah besi itu selain sebuah dipan kayu tiada perabot lainnya.   Setiap hari wanita bernama Giok-sia itu menghantarkan setalang air dan secawan nasi.   Begitulah Suma Bing lewatkan hari2 dalam kegelapan.   Dia masih mengandung secercah harapan, namun harapan itu adalah sedemikian kecil bagai bayangan saja, sang waktu berjalan terus dan berlalu tanpa terasa.   Namun bagi seorang yang menderita dalam kurungan, seumpama satu jampun sudah terasa bagai satu tahun lamanya.   Hari itu seperti biasanya wanita serba hitam itu datang lagi mengantar makanan, akhirnya tak sabar lagi Suma Bing bertanya.   "Sudah berapa lama aku terkurung disini?"   "Tiga bulan." "Tiga bulan?"   Suma Bing berteriak kejut tubuhnyapun sempoyongan hampir roboh, raut wajahnya ber-kerut2 tak hentinya.   Teringat dia akan janji pertemuan dengan Siang Siau-hun dalam jangka seratus hari didalam biara bobrok itu.   Sudah tentu Siang Siau-hun takkan tahu bahwa racun dalam tubuhnya sudah punah.   Dalam jangka seratus hari kalau dirinya tidak menepati janji, dapatlah dibayangkan akibatnya, pasti Siang Siau-hun akan bunuh diri untuk membuktikan kesetiaannya.   Di-hitung2 waktunya masih tinggal tiga hari lagi.   Tiga hari, seumpama badannya sehat waalfiat dan bebas dari kurungan, juga sukar dapat menyusul tiba ditempat perjanjian.   Apalagi kini dirinya terkurung dalam penjara apa dia harus membiarkan Siang Siau-hun berkorban karena dirinya.   "Tidak!"   Dia berteriak histeris, suaranya serak menggila dan sesenggukkan. Wanita bernama Giok-sia itu mendengus hina ujarnya.   "Kau berteriak apa? Aku terkurung disini tiga puluh tahun lamanya, mengeluhpun aku belum pernah. Kau hanya terkurung tiga bulan terhitung apa?"   "Tidak, aku... aku..."   "Kau kenapa?"   "Dalam waktu tiga hari, kalau aku tidak menepati sebuah janji pertemuan, seorang gadis akan melayang jiwanya."   "Kenapa?"   "Dia menganggap aku sudah tak dapat hidup lagi...   "Dia itu kekasihmu?"   "Benar."   "Tapi kau tak mungkin keluar, apalagi ilmu silatmu sudah punah?"   Suma Bing mengeluh panjang serta memohon.   "Aku Suma Bing selamanya belum pernah minta belas kasihan orang lain. Sekarang aku mohon padamu, silakan kau lapor kepada gurumu supaya aku keluar menepati janji pertemuan itu, setelah urusan selesai aku pasti kembali lagi, mau bunuh atau mau diapakan terserah pada kalian, aku takkan berkerut kening."   Wanita bernama Giok-sia itu bergelak tawa, serunya.   "Ceritamu ini memilukan hati, tapi masih terlalu hijau. Kau sangka suhumu Kho Lo-sia bisa datang menolongmu?"   Saking gugup otak Suma Bing agak limbung dan kelepasan mulut.   "Tidak, dia sudah mati suhuku sudah lama meninggalkan dunia fana ini."   Sebuah suara gemetar yang memilukan menyambung.   "Apa dia mati, dia... sudah mati?"   Suma Bing melirik kearah suara itu, wanita aneh dari peti mati itu tengah berdiri kaku tiga tombak jauhnya.   Baru sekarang ia insaf telah kelepasan Omong, karena sudah terlanjur segera ia berpikir.   Suhu berpesan supaya jangan membocorkan jejaknya, tapi itu waktu dia masih hidup, sekarang dia sudah meninggal, tak perlu lagi dipersoalkan tentang jejak apa segala.   Sungguh dia sangat menyesal mengapa tidak sejak dulu2 ia berpikir akan hal ini, kalau tidak dia takkan terkurung dan menderita dalam penjara ini, namun sekarang semua sudah terlambat, maka ia manggut2 dan berkata.   "Benar dia sudah mati."   Wanita aneh mengabitkan kepala hingga rambutnya panjang menjulur kebelakang kepala, maka terlihat jelas raut mukanya, sebenarnya wajah itu tidak buruk, namun saat itu menyeringai macam rupa setan menakutkan, dapatlah dimengerti bahwa kabar kematian suhunya memberikan suatu pukulan berat bagi sanubarinya.   "Hahaha... dia sudah mati... hahaha..."   Suara tawa yang menyayatkan hati bagai ringkikan setan iblis, seperti juga lolong serigala yang haus darah, membuat takut dan mengkirik pendengarnya.   "Suhu... kau..."   Wanita serba hitam maju memayang tubuh wanita aneh yang lemas karena terpengaruh oleh perasaannya sendiri. Lama dan lama sekali baru dia menghentikan sengguk tertawanya, kini wajahnya berobah penuh kegetiran hati dan gusar sekali, desisnya.   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Suma Bing kau tahu siapa aku?"   "Ini aku tidak tahu."   "Setan barat, kau sudah pernah dengar nama itu?"   Terperanjat hati Suma Bing, sungguh diluar tahunya bahwa nenek tua aneh ini kiranya adalah 'Setan barat' yang sejajar dengan suhunya dalam Bu-lim-su-ih.   Akan tetapi ada dendam apakah antara Setan barat dan Lam-sia? "Harap tanya Tjianpwe dan guruku..."   "Hal itu kau jangan tanya,"   Tukas Setan barat sambil mengulapkan tangan.   "Bagaimana suhumu sampai meninggal?"   "Mati keracunan."   "Apa, mati keracunan?"   Hardik Setan barat, saking gusar rambutnya berdiri menegak bentaknya lebih bengis.   "Siapa yang meracuninya?"   "Murid murtad yang pertama bernama Loh Tju-gi."   Badan Setan barat ber-gerak2 hampir roboh, kedua matanya, mendelik besar memancarkan sinar kekejaman, desisnya.   "Mati ditangan muridnya sendiri?"   Sehijau dan sebodoh2nya Suma Bing kini ia dapat menerka bahwa antara suhunya dan Setan barat ini tentu ada pertikaian cinta asmara yang sangat ruwet.   "Benar mati ditangan muridnya yang dididik dan diasuhnya sejak kecil."   "Ceritakan sejelasnya."   "Loh Tju-gi meminjam nama suhu membunuh tiga antara Bu-lim-sip-yu. Maka tujuh kawan lainnya segera meluruk datang ke Sin-li-hong membuat perhitungan, akibat dari pertempuran yang sengit itu, suhu dikorek sebuah matanya dan ditabas kedua kakinya, lalu dibuang kedalam jurang..."   Tubuh Setan barat tergetar lagi, katanya.   "Masa dia tidak ungkulan melawan keroyokan tujuh orang dari kawanan Bu-lim-sip-yu?"   "Tidak, Loh Tju-gi sebelumnya sudah mengatur tipu daya yang keji lagi telengas, dia meracuni suhu hingga Lwekang suhu surut sebagian besar."   "Anak serigala berhati kejam, apa tujuannya?"   "Dia mencuri se   Jilid buku Kiu-yang-tjin-keng dan sebutir Kiu-tjoan-hoan-yang-tjau-ko. Dengan keampuhan dari benda mustajab itu dia merebut kedudukan jago nomor satu dari seluruh dunia persilatan, lalu sejak itu dia menghilang tidak keruan paran."   "Sudah berapa lama peristiwa itu terjadi?"   "Kira2 delapan belas tahun yang lalu." "Delapan belas tahun, delapan belas tahun. Oh, aku terlalu menyalahkan dia!"   Akhirnya Setan barat tak kuat menahan tubuhnya dia meloso lemas duduk diatas tanah. Suma Bing bagai tenggelam ditengah kabut, pikirannya kosong hampa.   "Kau sudah menuntut balas belum?"   Tanya Setan barat lagi.   "Seumpama terbang kelangit dan masuk kebumi wanpwe juga harus mengejar Suheng Loh Tju-gi si murid murtad itu untuk menumpasnya. Tentang Bu-lim-sip-yu selain Tji Khong Hwesio yang sudah mati ditanganku yang lain sudah mati semua tinggal Tiang-un Suseng seorang yang menyembunyikan diri..."   Berkilat2 mata Setan barat menatap kearah muridnya Giok- sia. Wanita serba hitam yang bernama Giok-sia itu perlahan2 menundukkan kepalanya. Tiba2 Setan barat mengalihkan pokok pembicaraan, tanyanya.   "Suma Bing, tadi kau bilang ada janji?"   "Ya, benar."   "Kalau kau tidak menepati janjimu, maka orang itu pasti mati?"   "Ya begitulah!"   "Begitu besar rasa cintanya kepadamu?"   Suma Bing mengiakan sambil manggut2.   "Apa kau juga mencintainya?"   "Sudah tentu!"   "Seumpama kau harus mengorbankan jiwamu demi cintanya itu?"   Suma Bing melengak, entah apa maksud pertanyaan ini? Namun dengan tegas segera ia menjawab.   "Kalau memang harus begitu, akan wanpwe lakoni."   Rona wajah Setan barat berobah tak menentu, agaknya dia tengah menahan perasaan hatinya akhirnya ia berkata lagi dingin kaku.   "Suma Bing, kau tahu bahwa kau pasti mati. Tapi biarlah kubantu melaksanakan keinginan hatimu itu. Kuberi kau tujuh hari untuk hidup, kusembuhkan kembali kepandaian silatmu untuk sementara, supaya kau dapat pergi menepati janjimu. Setelah selesai kau harus segera kembali kesini menyerahkan jiwamu, apa kau sanggup?"   Persoalan berat ini membuat Suma Bing ragu2 maju mundur, sudah pasti bahwa janjinya dengan Siang Siau-hun itu sangat penting.   Tapi, dendam perguruan, sakit hati keluarga, siapa lagi yang akan menuntut balas setelah dia mati? Apakah dia bisa meram? Setan barat perdengarkan suara tawa dingin ber-ulang2, jengeknya.   "Suma Bing, macam inikah cintamu itu, kau ragu2 dan bimbang bukan?"   Suma Bing mengertak gigi, sahutnya.   "Aku teringat dendam perguruan dan sakit hati keluarga, kalau aku..."   "Hahaha, kalau kau tidak menepati janji, kalau kau selamanya dipenjarakan diatas pulau ini, kalau riwayatmu sudah tamat, semua ini apakah sudah kau pikirkan? Lalu bagaimana pula akibatnya?"   "Baiklah begitu kita atur."   Akhirnya Suma Bing nekad.   "Pada hari ketujuh kau harus sudah kembali disini?" "Aku pasti kembali."   "Seandainya kau tidak pulang, kau juga takkan lolos, dari tanganku!"   Habis berkata ia menunjuk wanita serba hitam itu dan berkata.   "Dia bernama Sun Giok-sia, muridku satu2nya, nanti pada hari ketujuh dia akan menantimu dengan sebuah sampan dibawah Te-tjui-hong! (puncak titik lajung)."   "Te-tjui-hong?"   "Benar, terletak didepan danau itulah."   Lalu ia berpaling dan berkata lagi .   "Giok-sia lepaskan dia."   Segera Sim Giok-sia maju membuka kunci dan mementang pintu.   Dengan langkah berat Suma Bing keluar dari rumah hitam.   Seakan ia hidup kembali setelah selama tiga bulan mengecap penderitaan dalam penjara, seakan sudah tiga ratus tahun dia berpisah dengan dunia ramai.   Setan barat segera maju mendekat dengan jarinya ia menutuk beberapa jalan darah ditubuh Suma Bing lalu berkata.   "Lwekangmu bukan kupunahkan, hanya kututup dengan ilmu tutukan tunggalku, sekarang kau pulih kembali seperti biasa"   Suma Bing menyedot hawa dalam2 dan coba2 mengerahkan tenaga, benar juga hawa murni dalam tubuhnya segera bergolak. Setan barat berputar dan per-lahan2 tinggal pergi masuk rumah.   "Mari ikut aku,"   Segera Sim Giok-sia berkata dan menggape.   Suma Bing mengintil dibelakang Sim Giok-sia.   setelah belak-belok beberapa kali, mereka tiba diluar barisan jeritan setan pengejar sukma itu.   Tampak sinar sang surya berkilau2 dipermukaan danau, hari cerah dan pemandangan Tiraik asih Websi tehttp.// kangz usi.co m/ disekitarnya sangat menyejukkan.   Beruntun mereka naik keatas sampan, seperti datangnya dulu Sim Giok-sia melajukan perahunya dengan cepat.   Kira2 sepeminuman teh kemudian mereka sudah tiba dibawah sebuah bukit kecil yang menghijau.   "Sudah sampai, tempat inilah yang dinamakan Te-djui- hong, tujuh hari kemudian kunanti kedatanganmu disini."   Suma Bing tertawa hambar, katanya.   "Selamat bertemu!"   Melompat tiba didarat segera ia kembangkan ilmu ringan tubuh dan kerahkan seluruh kekuatannya berlari kencang keluar lingkungan bukit kecil ini, dalam tempo tiga hari dia sudah harus tiba dibiara bobrok tempat dimana ia berjanji untuk bertemu pula dengan Siang-Siau-hun.   Begitulah siang dan malam dia terus berlari tak hentinya, pada hari ketiga pagi2 benar tepat waktu sang surya muncul dari peraduannya dia tiba disebuah kota kecil yang tinggal terpaut tigapuluh li dari biara bobrok itu.   Baru sekarang legalah hatinya yang was2 dan kuatir, setelah menangsel perut sekadarnya, bergegas ia melanjutkan pula perjalanannya.   Belum jauh dia meninggalkan kota kecil itu, se-konyong2 sebuah bayangan lencir hitam berkelebat melintang melintasi jalan raya dengan kecepatan seperti angin lesus, sekejap itu bayangan itu menghilang didalam rimba sebelah sana.   15.   RAC UN UTA RA KON TRA RAC UN DIR ACU N.   Serta merta Suma Bing menghentikan langkahnya karena ia merasa sangat kenal akan bayangan hitam itu.   Setelah merenung sekian lamanya, teringat dia bahwa bayangan hitam itu tak lain tak bukan adalah Racun diracun yang merebut Pedang darah dari tangannya.   Hari masih begitu pagi dan Racun diracun muncul disini tentu ada peristiwa apa yang telah terjadi.   Apa mungkin didalam rimba itukah sarang Racun diracun? Tanpa hiraukan bahaya bakal mengancam segera ia melesat memasuki hutan lebat itu.   Kiranya rimba itu adalah sebidang tanah pekuburan.   Membelakangi hutan sebelah kanan sana berdiri sebuah gardu segi delapan, didalam gardu itulah berdiri dua orang entah sedang apa.   Selincah kucing yang hendak menubruk mangsanya Suma Bing berkelebat sembunyi dibelakang sebuah pohon besar yang tidak terlalu jauh dari gardu itu.   Salah seorang dalam gardu itu kiranya adalah Tangbun Yu putra Racun utara.   Melihat musuh besarnya ini timbullah gelora amarah Suma Bing yang tertekan selama ini.   Karena bocah beracun inilah sehingga timbul berbagai peristiwa yang menyakitkan hatinya, maka bocah beracun ini harus dibunuh untuk melampiaskan rasa dendamnya itu.   Seorang lain dalam gardu itu adalah seorang tua berwajah tirus, hidung bengkok mata juling menunjukkan kelicikan wataknya.   Terdengar Tangbun Yu tengah berkata.   "Ayah apa dia pasti datang?"   "Dia sudah datang!"   Tanpa merasa Suma Bing tergetar kaget, adalah diluar sangkanya bahwa siorang tua ini kiranya Pak-tok Tangbun Lu adanya, entah siapakah yang mereka maksud 'dia' dalam percakapan itu? Tangbun Lu si Racun utara bergelak tawa dengan angkuhnya, serunya.   "Lohu sudah menunggu sekian lamanya, keluarlah!"   Sebuah bayangan berkelebat keluar tidak jauh dari tempat sembunyi Suma Bing, sekali berkelebat enteng dan gesit sekali tahu2 sudah tiba diluar gardu.   Bayangan hitam itu tak lain tak bukan adalah Racun diracun.   Menghadapi Racun diracun, Pak-tok menyeringai tawa hina, sapanya.   "Tuan ini Racun diracun?"   "Benar, tuan mengundang aku ketanah pekuburan ini ada pengajaran apakah?"   "Kalau kau mau menghapus nama julukanmu, Lohu tidak akan memperpanjang urusan ini."   Racun diracun bergelak sombong, katanya.   "Bagi kaum persilatan dia memandang nama julukan lebih berharga dari nyawanya sendiri. Omongan tuan tadi benar2 keterlaluan menghina orang."   Wajah tua Pak-tok semakin mengelam kaku, jengeknya.   "Apa kau tahu mengapa Lohu memilih tempat semacam ini untuk tempat pertemuan kita?"   "Silakan tuan jelaskan."   "Kalau dipendam disini, setelah mati pasti tidak akan kesepian."   Racun diracun mengekeh tawa meliuk tubuh, ujarnya.   "Sama2! Tuan benar2 teliti dan rapi bekerja, mungkin selama ini tuan paling takut akan kesunyian maka sudah mengatur ditempat semacam ini, lain halnya bagi aku yah tidak menjadi soal!"   Saking marah wajah Pak-tok berobah membesi kehijau2an, kepalanya menguap putih, nafsu kekejaman semakin tebal pada wajahnya. Kata Racun diracun lagi.   "Sebaliknya aku belum berpikir untuk minta pada tuan supaya tuan menanggalkan nama julukan Pak-tok..." "Tutup mulut! Nama Racun diracunmu itu, apa kau bermaksud hendak mengungkuli Lohu?"   "Itu terserah bagaimana tuan ambil kesimpulan, aku tidak ingin main debat!"   "Siaupwe sungguh sombong benar..."   "Siaupwe? Hahahaha, sebaliknya kau Tangbun Lu jangan kau mengangkat dirimu terlalu tinggi."   Gemetar tubuh Racun utara saking menahan kemarahan hatinya, suaranya mengandung ancaman membunuh.   "Jadi kau beranggapan bahwa kau lebih beracun dari Lohu?"   Racun diracun tertawa sinis, sahutnya.   "Akan tetapi tuan belum tentu kau lebih unggul dari aku."   "Baiklah, biar Lohu mengukur sampai dimana kemampuanmu."   "Dengan senang hati aku mengiringi."   "Yu-ji, tuang arak suguhkan pada tamu."   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Tangbun Yu mengiakan dan segera menuang dua cangkir arak terus diletakkan diatas meja batu ditengah gardu.   Ketegangan melingkupi suasana sekelilingnya, sebab dua belah pihak sama2 menggunakan racun2 berbisa yang bertujuan membunuh lawannya tanpa menggunakan kekerasan.   Sementara itu Suma Bing sendiripun tepekur dibelakang pohon bersitegang leher, dua pihak yang tengah menyabung nyawa dalam gardu adalah musuh2nya, ingin dia menyaksikan siapa lebih unggul dan siapa lebih berbisa.   Tangan Racun utara diulapkan dan berkata.   "Inilah Jip-gau-toan-yang (masuk mulut meremukkan usus) silahkan.", terus ia angkat cangkir langsung ditenggak habis.   Racun diracun melangkah masuk kedalam gardu, tanpa ragu2 ia angkat juga cangkir yang lain terus ditenggak habis.   Lalu dia sendiri menuang dua cangkir penuh arak, jari kelingkingnya menyelentik sekali dibibir cangkir terus berkata.   "Pemberian yang tak dibalas kurang hormat, silahkan inilah It-te-siu (setitik istirahat)."   "Inilah Giam-ong-leng (perintah raja akhirat), silakan"   "Inilah Racun tanpa bayangan, silakan."   "Inilah Biat-seng-tjui, (air pelenyap bentuk) silakan."   Racun diracun menuang dua cangkir terakhir, serta katanya.   "Inilah cangkir yang terakhir, kalau tuan mampu bertahan, aku mengaku kalah saja, untuk selanjutnya biar kalangan Kangouw tiada seorang kosen macam Racun diracun..."   "Apa nama racun ini?"   "Tuan berjuluk Racun utara, masa tidak dapat melihat sendiri?"   Rona wajah Racun utara berobah mengeras, sekian lama ia terlongo ditempatnya tanpa kuasa buka suara. Racun diracun menyeringai hambar, lalu ujarnya.   "Inilah Ban-lian-tok-bo!"   Racun utara mundur terhuyung tubuhnya semampai lemas dijagak gardu mulutnya mendesis gemetar.   "Induk racun berlaksa tahun?"   "Yah, inilah racun diracun, racun diluar racun, kombinasi berlaksa racun dari seluruh jagad."   Suma Bing yang bersembunyi ditempat gelappun merinding dan berdiri bulu kuduknya, permainan adu racun yang menentukan mati hidup dan gengsi macam ini agaknya belum pernah terjadi dalam dunia persilatan selama ini.   Begitulah Racun diracun segera angkat sebuah cawan terus ditenggak habis dan mengacungkan cangkir kosong kehadapan Racun utara.   Agaknya Racun utara keder, setelah bimbang sekian lamanya terpaksa ia minum juga arak terakhir ini, seketika otot hijau diatas jidatnya merongkol keluar, tubuhpun terhuyung hampir roboh.   Kata Racun diracun pula.   "Tuan selamanya pandai menggunakan racun, sudah tentu Induk racun berlaksa tahun ini takkan dapat membuat tuan mati. Tapi untuk membersihkan racun itu dari dalam tubuhmu, sedikitnya kau harus berjerih payah selama sepuluh tahun!"   Dengan kebencian yang me-nyala2 Tangbun Lu mendengus, serunya.   "Yu-ji, mari pergi!"   "Bocah berbisa tunggu dulu!"   Berbareng dengan habisnya suara ini sebuah bayangan sudah melesat tiba diluar gardu. Tangbun Yu menyeringai bengis, desisnya.   "Suma Bing kau belum mati. Oh, ya, waktunya belum tiba bukan?"   Bagai bola api yang membara kedua mata Suma Bing berkilat2 menatap Tangbun Yu geramnya.   "Bocah jadah barang permainan seperti racun Pek-jit-kui mu bisa mengapakan aku? Hari ini silahkan kaupun merasakan kelihayan aku punya Lip-sip-kui"   "Apa? Lip-sip-kui (segera pulang)?" "Benar, Lip-sip-kui-thian (segera mati)!", sembari kedua tangan langsung disodokkan kearah Tangbun Yu, bahna gusarnya pukulannya ini meliputi pengerahan seluruh tenaganya yang berlandaskan Kiu-yang-sin-kang, gelombang panas bagai badai dipadang pasir segera ber-gulung2 melanda kearah Tangbun Yu. Ter-sipu2 Tangbun Yu juga angkat tangan menangkis.   "Blang"   Ditengah ledakan dahsyat itu tubuh Tangbun Yu tergetar terbang jauh setombak lebih.   Belum cukup puas melihat hasil pukulannya Suma Bing berkelebat menyusul tiba lagi dengan serangan yang lebih hebat.   Sebuah tangan Tangbun Yu ber-goyang2 sambil membentak.   "Roboh!"   Suma Bing tahu bahwa lawan tengah menyebar racun berbisa.   Namun sejak menelan seluruh batang rumput ular serta buahnya pemberian Manusia bebas diluar dunia itu Suma Bing sudah kebal dan tidak lagi takut segala racun berbisa.   Bertepatan dengan seruan 'roboh' Tangbun Yu dengan kecepatan kilat sebuah pukulan Suma Bing sudah menghantam ke dada Tangbun Yu.   Sungguh mimpipun Tangbun Yu takkan menyangka bahwa Suma Bing kini sudah tidak gentar lagi menghadapi segala racun, baru saja ia tertegun kejut pukulan Suma Bing sudah menyodok tiba.   "Blang"   Diselingi pekik kesakitan Tangbun Yu mulutnya muntah darah badannyapun terbang sejauh tiga tombak. Melihat putra tunggalnya terpukul luka parah, keruan Racun utara murka sekali bergegas ia melejit maju serta bertanya.   "Kau ini murid Kho-lo-sia?"   "Kau mau apa?"   "Sambutlah sebuah pukulan Lohu."   Habis ucapannya sejalur angin dingin segera menerpa deras kearah Suma Bing.   Hian-in-kang kebanggaan Racun utara merupakan salah satu ilmu tunggal yang diakui kehebatannya oleh kaum persilatan.   Meskipun Suma Bing melatih Kiu-yang-sin-kang, ilmu sakti lawan pemunah dari Hian-in-kang sayang Lwekang dan latihannya belum sempurna.   Begitu ia menangkis, kekuatan pukulannya bagai amblas kedalam lautan hanya terdengar suara mendesis.   Kontan dia sendiri lantas merasakan jalur2 angin sedingin es meresap memasuki seluruh tubuhnya terus merangsang kearah jantung, tubuhnya gemetar kedinginan dan limbung hampir jatuh.   Pak-tok menyeringai iblis, ujarnya.   "Siau-sia (sesat kecil), biar Lohu sempurnakan kau!"   Angin puyuh laksana sebuah gunung menindih kearah Suma Bing, dalam melancarkan pukulannya ini Pak-tok tidak mengerahkan ilmu Hian-in-kang lagi, namun dengan latihan Lwekang Racun utara berpuluh tahun itu cukup kiranya membuat Suma Bing gentayangan, apalagi sebelumnya ia sudah kesurupan hawa dingin jahat dari pukulan musuh, sedikit banyak hawa murninya sudah susut sebagian.   "biang"   Untuk sekian kalinya Suma Bing muntah darah dan terpental jauh setombak lebih.   Sementara itu sambil menggendong tangan Racun diracun mandah menonton saja dipinggiran.   Memangnya antara Pak-tok dan Lam-sia adalah musuh bebuyutan, besar niatnya hendak melenyapkan murid musuh besarnya ini.   Maka tanpa mengenal ampun lagi tubuhnya lagi2 sudah melejit tiba dan sebuah pukulan keras dilancarkan pula.   "Bum"   Sebelum Suma Bing sempat bernapas tahu2 tubuhnya sudah sungsang sumbel jungkir balik terbang dua tombak lebih jatuh dipinggir hutan.   Memang sifat Pak-tok kejam telengas, tubuhnya berkelebat maju lagi...   Mendadak sebuah bayangan putih berkelebat juga melayang tiba menghadang didepan Suma Bing.   Pak-tok melengak, desisnya.   "Budak kecil, minggir!"   Bayangan putih yang baru tiba ini kiranya adalah murid Pek-hoat-sian-nio yang bernama Ting Hoan. Wajah Ting Hoan penuh rasa ejek, semprotnya.   "Tua bangka beracun perbuatanmu sungguh kejam dan tidak tahu malu!"   "Siapa kau?"   "Ting Hoan!"   "Murid siapa?"   "Kau tidak perlu tahu."   "Aku tidak sudi turun tangan kepada angkatan muda kalau kau ingin hidup lekas menyingkir."   "Huh, kenyataan tingkah lakumu berbeda dengan obrolanmu itu."   Selamanya Pak-tok sangat menjunjung tinggi gengsi dan kedudukannya.   Tapi setelah dikalahkan oleh Racun diracun, putra kesayangannya juga dihantam luka parah oleh Suma Bing, dalam gusar dan malunya ia berbuat diluar kesadarannya, tingkah lakunya berlawanan dengan kebiasaannya, sambil menggeram murka ia membentak.   "Budak busuk, akan Lohu bikin kau mati tiada tempat liang kubur."   Melihat yang datang menghadang ini adalah Ting Hoan, Suma Bing gugup teriaknya.   "Nona Ting, minggirlah kau..."   Belum lenyap suaranya Racun utara sudah turun tangan menyerang kearah Ting Hoan.   Serangan kali inipun bukan olah2 dahsyatnya.   Sebenarnya Ting Hoan gampang saja berkelit, tapi bila dia menyingkir berarti serangan hebat ini pasti akan menerjang Suma Bing yang sudah luka parah itu, maka dapatlah dibayangkan akibat dari pukulan ini.   Terpaksa Ting Hoan nekad menyambuti pukulan musuh secara keras lawan keras.   Akan tetapi dalam dunia persilatan masa itu yang kuat bertahan terhadap pukulan hebat Hian-inkang dari Pak-tok ini mungkin dapat dihitung dengan jari.   Baru saja Ting Hoan melancarkan pukulannya, angin dingin pukulan musuh sudah menungkrup tiba mengurung seluruh tubuhnya, seketika tubuhnya bergidik kedinginan, tubuhnyapun terpental jatuh duduk diatas tanah, seakan badannya direndam dalam gudang es dan menjadi beku.   Memang tidak malu Pak-tok kenamaan karena kekejaman dan kelicikannya, sambil menyeringai seram ia mendesak maju lagi sambil angkat tangannya siap hendak memukul lagi.   Pada saat itulah mendadak Racun diracun melayang tiba mencegat dihadapannya, jengeknya.   "Tuan kiranja cukup sampai sekian saja!"   Wajah Pak-tok berobah keras membesi, desisnya.   "Kaupun turut campur dalam urusan ini?"   Racun diracun mendengus jijik, ujarnya.   "Dengan kedudukan tuan, turun tangan tiga jurus sudah harus segera mengundurkan diri!"   Air muka Tangbun Lu siracun utara berobah merah padam, sikapnya malu dan serba susah, setelah membanting kaki segera ia memutar tubuh mengempit Tangbun Yu terus berlari pergi bagai terbang. Terdengar Suma Bing berseru keras.   "Jadah tua beracun, akan datang suatu hari akupun akan menghantammu muntah darah!"   Bahwa dengan gertakan saja Racun diracun dapat menggebah pergi Racun utara benar2 membuat Suma Bing kagum dan heran.   Sementara itu wajah Ting Hoan pucat pias, matanya terpejam rapat dan tengah menjalankan pernapasan untuk menghimpun tenaga dan mendesak hawa beracun yang bersifat dingin itu menguap keluar dari tubuhnya.   Racun diracun mengacungkan sebutir pil kearah Suma Bing serta katanya.   "Telanlah ini, segera tenaga kau akan pulih segar bugar!"   Suma Bing terlongo memandang Racun diracun dengan penuh tanda tanya, dilain saat wajahnya berobah kaku dingin dan berkata.   "Aku tak sudi terima budimu ini."   "Suma Bing, nona ini terluka parah karena menolong kau, hawa beracun sudah meresap kedalam tubuhnya, selain ilmu Kiu-yang-sin-kangmu tak mungkin dapat mendesak keluar hawa beracun itu dari dalam tubuhnya. Kalau tertunda terlalu lama, bila hawa beracun itu merembes masuk jalan darah Yang-wi dan Yang-kiau serta sendi2nya, seumpama dewapun takkan mampu menolongnya lagi."   Bergidik seram Suma Bing hal ini benar2 membuatnya serba susah.   Tak mungkin dia tinggal diam melihat Ting Hoan menderita terancam jiwanya karena membantu dirinya.   Tapi sebaliknya dia tidak sudi terima kebaikan yang diulurkan dari Racun diracun.   Lagi pula sepak terjang Racun diracun ini benar diluar dugaannya.   Terdengar Racun diracun telah berkata lagi.   "Apa kau benar2 tega melihat gadis rupawan ini berkorban karena menolong jiwamu?"   Lagi2 melonjak hati Suma Bing, katanya. "Tuan mengandung muslihat apa silakan jelaskan sekalian."   Racun diracun tertawa ejek, ujarnya.   "Suma Bing, untuk merenggut jiwamu aku tidak perlu bersusah payah, entah dengan tanganku atau menggunakan racunku, mengapa sedemikian besar rasa curigamu?"   "Akan tetapi diantara kita masih ada hutang lama yang belum dilunasi."   "Maksudmu tentang Pedang darah itu?"   "Benar, dan juga peristiwa peracunan Siang Siau-moay dan Li Bun-siang termasuk pula dalam perhitungan itu."   Racun diracun tertawa sinis, ujarnya.   "Suma Bing beginilah macam murid Lam-sia yang ditakuti itu, sikapmu sangat tercela."   Suma Bing melengak, sahutnya.   "Mengapa?"   "Kelak masih ada waktu panjang untuk menyelesaikan perhitungan itu, aku tidak akan mungkir dan takkan menebus dengan perbuatan baik budiku, kau tidak perlu takut. Saat ini adakah minatmu untuk menolong jiwa orang?"   Kontan merah jengah selebar muka Suma Bing, ia bungkam seribu basa. Kata Racun diracun lagi.   "Sebelum kau turun tangan menolongnya kau harus menutuk seluruh jalan darah besar kecil diseluruh tubuhnya, supaya hawa dingin tidak merandek ketinggalan didalam tubuhnya. Sekarang aku pergi!"   Baru saja Suma Bing hendak mengucapkan apa2, Racun diracun sudah berkelebat hilang.   Sebetulnya dia tidak sudi terima obat orang, namun luka Ting Hoan itu tidak bisa tidak harus diobati.   Jikalau luka tubuhnya sendiri belum tersembuhkan, mana mungkin ia kuat mengerahkan Kiu-yang- sin-kang.   Seandainya dia kuat bertahan dan berobat dengan caranya sendiri, tanpa menggunakan obat pemberian orang, mungkin pada saat ia selesai berobat waktunya sudah terlambat.   Dulu waktu dirinya diringkus Pek-hoat-sian-nio, beruntung Ting Hoan diam2 membantu hingga dia lolos dari lobang jarum.   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Sekarang Ting Hoan terluka parah oleh pukulan Hian-sin-kang karena dia pula, apa aku tidak harus menolongnya? Sepak terjang Racun diracun yang diluar kebiasaan ini benar2 susah diselami, bahwa manusia beracun yang lebih berbisa dari Racun utara kiranya juga dapat berbuat bajik dan mengenal peribudi? Begitulah setelah timang dan direnungkan sekian lamanya akhirnya ia telan juga obat pembelian Racun diracun itu.   Benar2 mustajab kenyataan seperti apa yang diucapkan oleh Racun diracun, dalam jangka waktu yang tidak begitu lama Suma Bing rasakan tenaganya sudah pulih seluruhnya, rasa sakit diseluruh tubuhpun lenyap tak berbekas, entah obat dewa apakah ini sedemikian hebat khasiatnya.   Setelah tenaga Suma Bing pulih kembali, segera yang harus dilakukannya adalah menolong Ting Hoan mendesak hawa berbisa dari pukulan Hian-in-kang keluar dari badannya.   Tapi setelah diingat bahwa dia harus menutuki jalan darah besar kecil diseluruh tubuh orang, seketika ia bimbang dan ragu, bukankah itu berarti dia harus menyentuh tubuh gadis rupawan yang masih suci bersih itu...   Namun setelah dipikirkan lagi, apa yang dilakukan ini demi untuk menolong jiwanya tentu Ting Hoan akan maklum dan memaafkan perbuatannya ini.   Maka tanpa ragu2 lagi segera ia turun tangan menutuk semua jalan darah ditubuh orang! Dimana telunjuk jarinya menyentuh terasa kulit tubuh orang sedemikian halus dan lemas seakan tidak bertulang, suatu perasaan yang susah dilukiskan terasa meresap masuk kedalam badan dan mengambang keseluruh tubuh.   Matanya dipejamkan tak berani menatap wajah yang ayu molek bak bidadari, karena itu akan menambah gejolak hatinya yang tidak tentram.   Saat mana kebetulan dia menutuk sebuah jalan darah disamping Djiu-tiong-hiat, tiba2 Ting Hoan menggeliat hingga, jarinya dengan tepat menutuk diujung buah dadanya yang montok lunak.   Tubuh Suma Bing tergetar bagai kesetrom aliran listrik.   Untung Ting Hoan masih belum siuman dari pingsannya, kalau tidak entah bagaimana risi dan kikuk sikapnya.   Setelah semua jalan darah tertutuk habis badan Suma Bingpun basah kuyup oleh keringat.   Bukan karena terlalu lelah atau banyak mengeluarkan tenaga tapi adalah karena terlalu tegang dan gugup.   Ia menghela napas panjang lega lalu membalik tubuh Ting Hoan, tangan kiri melekat dijalan darah Bing-bun-hiat, lantas kekuatan Kiu-yang-sin-kang disalurkan melalui telapak tangannya merembes masuk dari Bing-bun-hiat keseluruh tubuh Ting Hoan.   Kiu-yang-sin-kang memang lawan pemunah dari Hian-in- kang, maka setengah jam kemudian per-lahan2 Ting Hoan siuman dari pingsannya.   Suma Bing segera menarik tangannya! Ter-sipu2 Ting Hoan melompat bangun, dengan penuh haru ia berkata pada Suma Bing.   "Terima kasih kau telah mengobati aku."   "Nona terluka karena aku,"   Jawab Suma Bing sungguh2.   "Sudah seharusnya aku menolongmu, apalagi tempo hari nona diam2 telah membantu aku..."   Wajah Ting Hoan berobah serius, katanya.   "Memang waktu Suhu akhirnya tahu kau belum mati, dia marah2 dan hendak menghukum aku karena membangkang pada perintahnya.   Dalam gugupku aku berbohong kukatakan bahwa kau pandai ilmu memindah jalan darah, maka meskipun kau tertutuk jalan darah kematianmu tapi tak dapat meninggal."   "Selamanya aku mengutamakan perbedaan budi dan dendam, kelak aku harus membalas..."   Dengan penuh perasaan mesra dan penuh perhatian Ting Hoan menukas ucapan Suma Bing.   "Siapa ingin kau mengucapkan perkataan itu, aku berbuat begitu, karena... karena.."   "Karena apa?"   Merah jengah selebar muka Ting Hoan, sambil menunduk malu2 akhirnya ia berkata.   "Karena aku suka kepadamu!"   Serta merta tergerak hati Suma Bing, sudah tentu ia maklum akan maksud perkataan 'Suka' ini.   Mendadak teringat olehnya akan tujuan kedatangannya yang utama serta janjinya kepada Setan barat.   Dalam tujuh hari dia harus kembali kepulau kecil ditengah danau itu.   Karena pikirannya ini tanpa terasa mencelos hatinya, serunya gugup.   "Nona Ting, saat ini aku ada urusan sangat penting, harap sukalah maafkan ucapanku yang teledor tadi. Budi kebaikan nona itu mungkin selama hidup ini tak mungkin dapat kubalas lagi. Tapi itu hanya suatu misal saja, asal aku dapat tetap hidup tentu tidak akan kulupakan keluhuran budi nona itu, harap kau menjaga diri baik2."   Berobah hebat wajah Ting Hoan mendengar ucapan Suma Bing itu, serunya tergagap.   "Kau... kau... Apa katamu?"   Namun Suma Bing sudah melesat terbang jauh tak mendengar seruannya, sebentar kemudian bayangan tubuhnya sudah hilang dari pandangan mata.   Ting Hoan tertegun melongo ditempatnya, entah bagaimana perasaan hatinya, dia tidak tahu mengapa Suma Bing bisa mengucapkan perkataan demikian? Dengan penuh keperihan hati ia menghela napas panjang lantas menggerakkan tubuh berlari keluar rimba.   Dalam pada itu Suma Bing tengah berlari cepat bagai luncuran meteor, jarak tigapuluh li dalam sekejap mata saja telah ditempuhnya.   Samar2 bayangan tembok biara bobrok itu sudah kelihatan dari kejauhan, denyut jantungnya berdetak semakin cepat, dia berharap bahwa kedatangannya ini masih belum terlambat.   Sejenak ia menenangkan hati terus berkelebat memasuki biara.   "Ah..."   Tidak tertahan lagi Suma Bing berseru kejut bulu kudukpun berdiri seram saking kaget hampir saja jantung terasa hendak melonjak keluar.   Tujuh mayat manusia yang berlepotan darah susah dikenal malang melintang terkapar diatas tanah dipekarangan biara bobrok itu.   Dari tanda pengenal yang tersulam didepan dada para korban dapat diketahui bahwa mereka adalah anak buah Bwe-hwa-hwe.   Siapakah yang telah turun tangan sekejam itu? Apakah Siang Siau-hun sudah datang menepati janjinya? Apa ada sangkut paut kematian mereka ini dengan Siang Siau-hun? Otaknya bekerja cepat memikirkan semua pertanyaan itu.   Kaki diangkat ia melangkah masuk kedalam ruang tengah yang kotor dan jorok, dimana ia tempo hari bertempur dengan putra Racun utara yaitu Tangbun Yu, dan karena kelicikan Tangbun Yu lah maka dia terkena racun dan terjadilah ikatan perjanjian sehidup semati itu.   Baru saja kakinya tiba diambang pintu sebuah bayangan punggung seseorang tersandang dalam pandangan matanya.   Sungguh girang Suma Bing bukan kepalang, kiranya dirinya belum terlambat, maka dengan suara riang gembira ia berseru nyaring.   "Adik Hun!"   Eh, aneh, mengapa bayangan tubuh langsing menggiurkan itu diam saja tanpa bergerak se-olah2 tidak mendengar seruannya.   "Adik Hun, aku..."   Dia berseru lagi lebih keras.   Wanita itu per-lahan2 memutar tubuh.   Seketika pandangan mata Suma Bing terbelalak se-olah2 didepan matanya terpasang sebuah lampu yang bersinar terang menyilaukan matanya serta melihat orang dihadapannya segera ia telan kembali kelanjutan kata2nya dan serta merta ia mundur dua langkah.   Orang itu (wanita) bukan Siang Siau-hun.   Namun lebih cantik lebih rupawan dari Siang Siau-hun, wanita ini sedemikian cantik molek, tapi wajahnya membeku dingin dan sikapnya angkuh sekali, membuatnya tidak berani beradu pandang.   Hati Suma Bing menjadi gundah dan risau, bahwasanya bagaimanapun juga tentu Siang Siau-hun tidak akan ingkar janji, namun kemana orangnya? Mayat bergelimang darah didalam biara bobrok ini sangat mengherankan.   Adalah nona cantik bak bidadari bersikap kaku dingin ini lebih menambah hatinya tidak tentram.   Mulut mungil sigadis setengah terbuka dan berkata dingin.   "Siapa adik Hun-mu itu?"   Suma Bing merasakan mukanya panas, sahutnya kikuk.   "Maaf aku salah mengenal orang!"   "Huh, salah mengenal orang, apa adik Hunmu itu berparas seperti nonamu ini?" "Ini... tidak..."   "Lalu bagaimana kau bisa salah mengenal orang?"   Sebenarnya Suma Bing ingin memberi penjelasan, dasar sifatnya sendiri memang angkuh dan congkak, melihat sikap kaku dan dingin sinona dongkol hatinya tanpa banyak kata lagi segera ia putar tubuh terus tinggal pergi.   "Kembali!"   Tanpa kuasa Suma Bing menghentikan langkahnya dan membalik tubuh, tanyanya dingin.   "Nona masih ada perkataan apa lagi?"   "Kau ini yang bernama Suma Bing?"   Suma Bing melengak tidak tersangka olehnya bahwa orang mengetahui namanya, sebaliknya dia belum kenal siapakah nona ini, maka sambil manggut dia menjawab.   "Benar!"   "Apa kau tidak ingin tahu siapa aku ini?"   "Hal ini... agaknya tidak begitu perlu!"   "Huh, serba sesat!"   "Apa maksud ucapan nona ini?"   Semprot Suma Bing dongkol. Gadis itu celingak-celinguk lalu berkata.   "Kau datang menepati janji seorang gadis bukan?"   "Darimana nona bisa tahu?"   "Gampang sekali, kau pontang panting berlari datang, salah mengenal orang, bukankah ini bukti yang nyata?"   "Apa nona melihat wanita sahabatku itu?"   "Ya, malah aku kenal namanya Siang Siau-hun!"   Suma Bing kegirangan serunya.   "Dimana dia?"   "Sudah pergi!"   "Pergi?"   Seru Suma Bing kejut sambil mundur setindak, sungguh dia tidak habis mengerti mengapa setelah Siang Siau-hun datang lantas pergi lagi, bukankah janji mereka kalau tidak ketemu tidak akan berpisah, apa mungkin...   "Kenapai dia pergi..."   "Pergi mencari kau."   "Mencari aku?"   Kedua mata Suma Bing membelalak keheranan. Sikap gadis itu tetap dingin dan kaku, sahutnya. Apa ada yang tidak beres?"   "Kita berjanji hanya bertemu disini, mana bisa..."   "Mungkin dia kuatir kau terluka waktu bergebrak dengan orang."   Bertambah besar rasa kejut dan heran Suma Bing, bagaimana bisa Siang Siau-hun mengetahui dirinya berkelahi dan terluka oleh musuh? "Dia... mengapa dia tahu..."   "Malah dia juga tahu sekarang tubuhmu sudah kebal akan segala racun."   "Dia... tahu... apa itu benar?"   "Apa kau sangka aku bohong?"   "Tapi itu tidak mungkin?"   "Terserah kau percaya tidak?"   "Dapatkah nona memberi sedikit penjelasan?"   Gadis itu merenung sebentar lantas katanya.   "Aku pernah lihat kau berkelahi dengan ayah beranak Racun utara hingga luka parah, lantas Racun diracun memberimu sebutir obat mustajab, supaya kau dapat selekas mungkin memberi pertolongan kepada murid Pek-hoat-sian- nio yang bernama Ting Hoan itu.   Kebetulan waktu aku liwat disini kudengar ada suara pertempuran, kiranya para kurcaci dari Bwe-hwa-hwe itu tengah mengeroyok nona Siang maka kubunuh para kunyuk rendah itu.   Kuberitahu pula apa yang barusan kulihat.   Secara terus terang diapun menuturkan segalanya, dia sangat perihatin atas dirimu maka buru2 dia pergi menyusul kau didepan sana, mungkin kalian selisipan jalan."   "Nona jadi kaulah yang telah menolong jiwanya?"   Kata Suma Bing haru.   "Ah aku hanya melakukan apa yang senang kulakukan."   Suma Bing angkat kedua tangannya serta berkata.   "Kalau begitu biar ku mewakili nona Siang mengucapkan terima kasih atas pertolongan nona itu."   "Tidak perlu sungkan2"   "Bolehkah tanya nama nona yang harum?"   Mendadak gadis itu unjuk senyum tawa manis, tawanya ini bak bunga mekar dimusim semi, sahutnya.   "Aku bernama Phoa Kin-sian."   Serta merta tergerak hati Suma Bing. Terdengar Phoa Kin-sian berkata lagi.   "Apa kau tidak mau mencarinya?"   Suma Bing menggeleng kepala, sahutnya.   "Kalau dia sudah tahu sejelas itu lebih baik, akupun tidak perlu lagi mencari dia." "Mengapa?"   "Sudah tiada waktu lagi"   "Tiada waktu, apa maksudmu?"   "Karena aku masih ada janji lainnya."   Agak berobah wajah Phoa Kin-sian, katanya.   "Begitu besar rasa kasih Siang Siau-hun kepadamu, jangan membuat dia putus harapan."   Suma Bing menjadi gugup, sahutnya.   "Nona salah paham akan keteranganku..."   "Lalu siapakah orang yang kau janjikan itu?"   Suma Bing tertawa hambar, sahutnya.   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Agaknya perlu kuterangkan, maaf aku minta diri."   Sekonyong2 dari luar biara sana terdengar derap langkah riuh ramai lalu disusul seruan kaget beberapa orang, agaknya mereka telah melihat mayat2 yang bergelimang darah itu. Phoa Kin-sian tertawa ejek, katanya.   "Yang mengantar kematian telah datang lagi..."   Dengan langkah lemah gemulai dia melangkah keluar ruangan sembahyang, Suma Bing pun mengikuti dibelakangnya.   Ditengah pelataran berdiri lima orang laki2 dan seorang wanita.   Dua diantaranya berusia enam puluhan, dan tiga laki2 muda bertubuh tegap gagah, sedang si wanita sudah berusia agak lanjut, tapi sikapnya genit dan tengik.   Dari seragam yang mereka pakai jelas menunjukkan bahwa mereka juga para anak buah dari Bwe-hwa-hwe.   Kehadiran Phoa Kin-sian dan Suma Bing yang mendadak itu menimbulkan pula seruan kaget mereka, dari memandang Phoa Kin-sian sorot mata keenam orang itu beralih menatap Suma Bing.   Mata wanita genit itu pelerak-pelerok mengawasi kecakapan wajah Suma Bing dengan tingkah yang sangat tengik sekali, wajahnya mengunjuk senyum tawa, entah teringat apa mendadak wajahnya berobah kaget serta serunya.   "He, kau inikah Suma Bing?"   Begitu melihat para begundal Bwe-hwa-hwe ini muncul lagi, nafsu membunuh Suma Bing me-nyala2, sahutnya dengan dingin.   "Benar!"   Kontan kelima laki2 itu mundur terbelalak mendengar pengakuan Suma Bing, wajah mereka berobah pucat pias perlahan2 mereka mundur teratur dan bersiap siaga.   16.   SEBUAH TRAGEDI DIDALAM RIMBA.   Dengan ilmu Tjoan-in-djip-bit Phoa Kin-sian berkata kepada Suma Bing.   "Wanita itu bernama Tok-bi-kui Ma Siok-tjeng, salah seorang pelindung Bwe-hwa-hwe, kepandaiannya hanya lebih rendah dari Ketua mereka."   Tanpa terasa Suma Bing juga terperanjat, bahwa nama serta kejahatan Tok-bi-kui Ma Siok-tjeng, sudah lama dia pernah dengar, terutama sifat cabulnya sangat dibenci oleh kaum persilatan.   Sungguh diluar sangka bahwa dia kini menjadi pelindung Bwa-hwa-hwe malah.   Sambil menunjuk tujuh mayat dihadapan mereka Tok-bi-kui Ma Siok-tjeng bertanya.   "Siapa yang membunuh mereka?"   Suma Bing mengajukan diri dan menjawab dengan nada berat dingin. "Aku yang membunuh kau mau apa?"   Sekilas Phoa Kin-sian melirik kearah Suma Bing tanpa buka suara, wajahnya yang kaku bersemu merah dan senyum2 malu yang hampir tak kentara, entah apa yang tengah dipikirkan dalam benak nona jelita ini. Ma Siok-tjeng menjengek dingin serunya.   "Bagus sekali Suma Bing, hutang jiwa bayar jiwa, hutang uang bayar uang..."   "Ma Siok-tjeng,"   Dengus Suma Bing menghina.   "Perhitunganku dengan Bwe-hwa-hwe kalian susah dilunasi, hanya beberapa gelintir jiwa rendah itu terhitung apa? Ketahuilah, asal aku ketemukan setiap anggota Bwe-hwa-hwe tentu tidak akan kulepas tinggal hidup!"   "Huh, kau tahu pasti dapat hidup pergi dari sini?"   Suma Bing menjadi murka sekali, sambil menggeram ia melompat maju ketengah pelataran. Ma Siok-tjeng berenam gentar dan mundur beberapa langkah. Suasana menjadi tegang meruncing. Dengan tangannya Ma Siok-tjeng menunjuk Phoa Kin-sian dan bertanya.   "Dia apamu?"   "Kau tiada hak bertanya!"   Sahut Suma Bing mendengus hidung. Wajah jelita Ma Siok-tjeng berobah beringas penuh nafsu membunuh geramnya.   "Baik biar kusempurnakan kalian menjadi sepasang mendarin dialam baka.", habis berkata ia memberi aba2 kepada kelima teman laki2nya. Tiga orang laki2 bertubuh tegap itu segera melejit menubruk kearah Phoa Kin-sian yang berdiri dibawah serambi panjang sana.   "Mampus kalian!"   Mendadak Suma Bing menggembor keras sebat luar biasa tubuhnya bergerak sambil mengirim sebuah hantaman dahsyat, angin pukulannya bagai gelombang pasang menerpa deras kearah tiga laki2 gagah itu, seketika tubuh mereka yang tengah meluncur maju itu terporak poranda sungsang sumbel jungkir balik ketempatnya semula.   Pada saat Suma Bing membentak dan melancarkan serangannya itu, Ma Siok-tjeng pun telah turun tangan menyerang kearah Suma Bing dengan tidak kalah sengitnya.   Jangan dipandang rendah sebuah pukulannya ini, karena mengandung perobahan aneh menakjubkan yang susah diraba sebelumnya.   Suma Bing sendiripun tidak kepalang kejutnya terdampar oleh angin pukulan musuh, tubuhnya tersurut mundur selangkah.   Sungguh diluar tahunya kalau Lwekang Tok-bi-kui Ma Siok-tjeng kiranya sedemikian hebat.   Dalam pada itu, tanpa mengenal takut atau keder lagi ketiga laki2 tegap itu nekad membandel menubruk kearah Phoa Kin-sian.   Timbullah amarah Suma Bing melihat kebandelan lawannya, dengan jurus Liu-kim-hoat-tjiok ia tetar Ma Siok-tjeng hingga kelabakan melejit tinggi dan menghindar jauh.   Mendapat peluang ini dengan kecepatan kilat badannya berkelebat miring, mengerahkan seluruh kekuatan Kiu-yang- sin-kang mengepruk kearah tiga laki2 tegap itu.   Gelombang panas bagai lahar gunung meletus segera melanda memberangus ketiga laki2 tegap itu.   Seketika mereka berpekik nyaring mengerikan, setelah menyemburkan darah dari mulutnya, tubuh mereka berobah hitam angus dan mati terkapar.   Memang kedudukan ketiga laki2 tegap itu hanya tingkat dua saja dalam Bwe-hwa-hwe, namun kalau dalam satu gebrak saja lantas mati konyol oleh pukulan lawan, hal ini benar2 membuat Ma Siok-tjeng dan kedua orang tua lainnya melongo dan kaget luar biasa.   Wajah Phoa Kin-sian diliputi suatu rasa yang sukar ditebak.   Sikapnya tenang dan acuh tak acuh menyaksikan adegan seram ini.   Maka sambil mengertak gigi, dengan nekad Ma Siok-tjeng menubruk kearah Suma Bing.   Berbareng kedua orang tua lainnya itupun menerjang kearah Phoa Kin-sian.   Sebagai pelindung Bwe-hwa-hwe sudah tentu bukan olah2 lihay dan hebat Lwekang Ma Siok-tjeng, dalam tiga jurus saja Suma Bing sudah terdesak kerepotan.   Sementara itu, kedua orang tua itupun sudah menerjang tiba diserambi panjang sana terus menyerang kepada Phoa Kin-sian.   Kontan terdengar suara benturan keras yang menggelegar disertai pekik dua suara ngeri.   Maka dilain saat terlihat kedua kakek tua itu sudah terkapar roboh ditanah pelataran tanpa berkutik lagi untuk selamanya.   Sungguh kejut Tok-bi-kui (bunga rose beracun) bukan olah2, sebat luar biasa tubuhnya melejit mundur, dengan sorot mata heran dan penuh tanda tanya matanya membeliak mengamati Phoa Kin-sian.   Dilain pihak kejut Suma Bing sendiripun tidak kalah besarnya, bahwa sedemikian hebat dan lihay Lwekang Phoa Kin-sian ini benar2 diluar tahunya, dalam sekali gebrak saja dengan mudah dia telah robohkan dua gembong silat kelas satu dari Bwe-hwa-hwe.   Bagaimanapun juga Ma Siok-tjeng takkan tahu akan asal-usul si gadis jelita yang ayu rupawan tapi berwajah kaku dingin ini.   Dengan kepandaian yang dipertunjukkan ini pastilah dia bukan kaum keroco yang berkedudukan rendah.   Namun nama Phoa Kin-sian ini benar2 menggetarkan jiwa dan semangatnya, meskipun baru kali ini ia dengar akan nama itu.   Apa mungkin dia salah seorang murid seorang Tjianpwe lihay yang mengasingkan diri, dan baru kali ini berkelana di dunia persilatan? Setelah sadar dari kagetnya segera Suma Bing membentak keras.   "Tok-bi-kui kaupun rebahlah!"   Secepat kilat ia kirim sebuah pukulan deras mengarah muka Ma Siok-tjeng. Terpaksa Tok-bi-kui angkat tangan menangkis "blang"   Dimana kedua kekuatan saling bentur, tubuh Tok-bi-kui bergoyang gontai, sebaliknya Suma Bing limbung setindak.    Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Pendekar Bunga Karya Chin Yung Bajak Laut Kertapati Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini