Ceritasilat Novel Online

Pedang Darah Bunga Iblis 28


Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH Bagian 28


Pedang Darah Bunga Iblis Karya dari G K H   Maka timbullah sedikit harapan dalam benaknya.   "Buyung,"   Terdengar si nenek aneh berkata mendesis.   "Kau kenal dengan budak kecil itu?"   "Ya, pernah bertemu beberapa kali!"   "Hm,"   Entah apa maksud suara dehemannya ini, Suma Bing tidak sudi banyak memikirkan, malah lantas tanyanya ingin tahu.   "Dia juga orang dari lembah itu?" "Benar!"   "Murid penghuni lembah itu? Bukankah penghuni lembah itu sudah mengasingkan diri selama enam puluh tahun tak pernah keluar, darimana dia dapat memperoleh murid semuda itu?"   "Sepuluh tahun yang lalu, budak kecil itu masih merupakan orok kecil yang mungil, dia diculik seorang penjahat dan dibawa lari lewat daerah ini, penculik itu telah kubunuh dan budak kecil itu lantas dibawa masuk kedalam lembah oleh murid terbesar penghuni lembah itu, dan selanjutnya lantas dirawat sampai besar..."   "O, tidak heran..."   "Apanya yang tidak heran?"   "Agaknya cianpwe tidak bersikap bermusuhan terhadap dia!"   "Sudah kukatakan aku hanya membenci kaum pria!"   "Boleh dikata cianpwe pernah menanam budi karena menolong jiwanya bukan?"   "Omong kosong, selamanya aku tidak pernah menanam budi pada orang lain. Sudah suratan takdir yang mengatur cara hidupnya!"   Suma Bing membatin, watak si nenek aneh ini mungkin tidak lebih sesat dan lebih ganjil dari sifat2 gurunya Lam sia! Bola mata si nenek aneh berputar, agaknya dia teringat sesuatu, serunya.   "Buyung, kau mau membantu aku memecahkan barisan itu bukan?"   "Cayhe tidak pernah mengatakan demikian!"   Tiba2 terdengar derap langkah orang banyak disertai suara ribut percakapan orang tengah mendatangi semakin dekat. Si nenek aneh berubah membalikkan mata, katanya berbisik.   "Buyung, ada orang datang!"   "Memangnya kenapa?"   "Kau jangan se-kali2 berani melanggar ketentuanku, sekarang kau minggir kesamping!"   Lebih baik aku menonton saja cara bagaimana dia hendak menghadapi orang2 yang baru datang itu, demikian pikir Suma Bing, maka sambil mengiakan ia minggir kesamping mengumpat dibelakang sebuah batu besar.   Si nenek aneh masih tetap duduk diatas batu besar dimulut selat itu tanpa bergerak.   Warna pakaiannya hampir sama dengan warna batu yang diduduki, ditambah sekelilingnya ditumbuhi rumput dan dedaonan yang agak lebat dan tumbuh subur, kalau tidak maju mendekat memang sukar dapat dibedakan dan dapat melihat tegas.   Derap langkah dan suara percakapan orang2 itu semakin keras dan sudah dekat didalam hutan sebelah sana.   Terdengar sebuah suara serak berat tengah berkata.   "Lapor kepada Hu hoat(pelindung), dimulut selat itulah Hu hiangcu beramai menemui ajalnya."   Terdengar pula sebuah jawaban yang bernada dingin kaku.   "Apa kalian benar2 melihat sendiri kalau mereka mampus ditangan seorang nenek tua renta?"   "Ya, ketujuh rekan itu semua meninggal dalam sekejap saja!"   "Kenapa kalian tidak maju membantu?"   "Ini... hamba memang berdosa, sebab dilihat situasi waktu itu jikalau kita maju juga seumpama kutu menerjang api saja. Sedang tugas penting hamba beramai hanyalah mencari jejak Sia sin kedua!" "Hm, baik, justru Lohu tidak percaya akan semua kejadian ini, biar kuselidiki sendiri secara seksama..."   Seketika timbul amarah dan nafsu membunuh Suma Bing yang bersembunyi dibelakang batu itu.   Kiranya para kurcaci dari Bwe hwa hwe ini tengah mencari jejaknya sehingga sampai disini.   Agaknya setiap gerak geriknya selalu menjadi incaran dan dalam pengawasan ketat pihak musuh.   Terdengar suara serak berat itu berkata lagi.   "Lapor Hu hoat..."   "Ada apa lagi?"   Menurut pendapat hamba yang bodoh ini, lebih baik kita nantikan dulu kedatangan Thay siang hu hoat (maha pelindung)..."   "Tak usah, Lohu mempunyai perhitungan sendiri."   Tanpa terasa melonjak keras jantung Suma Bing, Maha pelindung yang dikatakan pihak lawan itu entah tepat atau tidak dengan rekaannya yaitu Pek bin mo ong atau raja iblis seratus muka itu.   Jikalau benar, terhitung raja iblis ini memang sudah ditakdirkan untuk mampus hari ini.   Tengah benak berpikir ini, terlihat sebuah bayangan orang muncul dari balik rimba sebelah sana, pelan2 tengah menghampiri kemulut lembah! Begitu melihat tegas orang yang mendatangi ini Suma Bing berjingkrak kaget.   Kiranya orang yang mendatangi ini bukan lain adalah Hui bing khek itu sisa dari empat setan gantung yang masih ketinggalan hidup, dia merupakan pelindung atau kaki tangan terpercaya dari Loh Cu gi musuh besarnya nomor satu.   Menggunakan ilmu Coan im jip bit cepat2 ia mengisiki kepada si nenek aneh beruban.   "Cianpwe, orang yang mendatangi ini adalah musuh besarku, cayhe hendak turun tangan membunuhnya?" "Tidak bisa, jangan kau melanggar perundang2ku!"   "Aku tidak perduli segala peraturan tetek bengek!"   "Buyung berani..."   Pada saat itu juga Hui bing khek sudah melihat si nenek beruban, seketika ia menghentikan langkahnya serta tertawa menyeringai dan katanya.   "Tokoh kosen siapakah ini?"   Sikap si nenek ogah2an tanpa membuka suara menjawab, tiba2 kedua tangannya diangkat lalu pelan2 ditarik kembali...   Baru sekarang Hui bing khek merasakan keadaan ganjil yang tidak menguntungkan dirinya, ter-sipu2 ia memutar tubuh, namun sudah terlambat, suatu daya tenaga sedot yang maha kuat tiba2 menyeret tubuhnya kembali.   Pada saat itulah Suma Bing juga sudah bertindak, sebelah tangannya diayun, sejalur gelombang kekuatan hawa yang kuat menerjang tiba di-tengah2 antara kedua orang itu.   'Bum!' terdengar ledakan dahsyat, kontan Hui bing khek terjungkal jungkir balik namun lantas dia merasa bebas dari kekangan tenaga daya sedot itu.   "Setan kecil, berani kau!"   Terdengar si nenek beruban berteriak gusar.   Hui bing khek mengira diam2 ada seorang tokoh telah membantu menyelamatkan jiwanya, maka tanpa ayal lagi secepat kilat ia menjejakkan kedua kakinya terus melesat jauh kembali kedalam hutan.   Tapi tiba2 'blang' dia memekik kaget tubuhnya yang tengah melayang ditengah udara itu terpental balik lagi dan jatuh diatas tanah, waktu dia melihat tegas, tanpa terasa dia berseru ketakutan.   "Sia sin kedua!"   Pelan2 Suma Bing merogoh keluar cundrik penembus dada serta desisnya mengancam.   "Hui bing khek serahkanlah jiwamu!"   Serasa terbang arwah Hui bing khek saking ketakutan tanpa berani bercuit lagi dia terus melesat kesebelah samping sana hendak melarikan diri...   Sebuah teriakan panjang yang menyayatkan hati memecah kesunyian alam sekelilingnya.   Tubuh Hui bing khek terbanting mampus diatas tanah tanpa berkutik lagi, dadanya berlobang tertembus cundrik tajam sampai kepunggungnya, darah mengalir ber-limpah2! Dalam waktu yang bersamaan dalam hutan yang berjarak puluhan tombak sana terdengar pula suara seruan kejut dan ketakutan yang riuh rendah.   Sebuah bayangan abu2 berkelebat melewati samping Suma Bing langsung melesat kedalam hutan sebelah sana.   Tersirap darah Suma Bing, tanpa berayal ia juga melesat menyusul...   Belum dia tiba terdengarlah jeritan saling susul yang menggiriskan bulu roma.   Waktu Suma Bing menginjakkan kaki diatas tanah, dihadapannya sudah bergelimpangan ber-puluh2 mayat yang pecah dan hancur batok kepalanya, keadaan mereka sangat menggenaskan.   Si nenek aneh beruban mengulapkan tangan serta katanya.   "Mari kembali, kita rundingkan urusan yang penting itu!"   Terhadap Bwe hwa hwe dari Loh Cu gi sampai semua anak buah atau kamrat2nya benci Suma Bing meresap sampai ketulang sumsumnya.   Maka dia tidak anggap perbuatan atau cara turun tangan si nenek aneh ini terlalu kejam.   Tanpa buka suara dia ikuti si nenek aneh kembali kemulut lembah lagi.   Namun dalam benaknya masih terganjal satu pertanyaan yaitu tentang Maha pelindung seperti yang dikatakan oleh para korban tadi.   Seperti diketahui, kalau dugaan bibinya Ong Fong jui tidak salah, yang diangkat sebagai Maha pelindung itu pasti bukan lain adalah Raja iblis seratus muka yang menyamar dirinya menyebar maut dan melakukan kejahatan.   Kalau ini betul bagaimana juga dia takkan melepas durjana laknat ini begitu saja.   Bersama itu suatu keraguan juga tengah terbenam menusuk sanubarinya, yaitu bila Kiu im cinkeng benar2 sudah terjatuh ketangan Loh Cu gi, sedang latihan Kiu yang sinkang Loh Cu gi sudah mencapai puncak kesempurnaannya, maka bila ditambah lagi dengan Kiu im cinkeng, tanpa memerlukan banyak waktu lagi pasti dia dapat menyempurnakan diri melatih Thay khek sinkang, sampai saat itu seumpama dirinya berhadapan untuk menuntut balas pasti menghadapi banyak rintangan.   Saat ini tugas yang terpenting baginya adalah berdaya upaya untuk mencari cara supaya dapat memecahkan barisan pohon bunga Bwe itu, kalau ini bisa terlaksana untuk menuntut balas dan menyapu bersih musuh tidak terlalu sukar.   Lain halnya dalam pemikiran si nenek aneh ini agaknya perhatiannya tengah tercurahkan untuk memecahkan batu besar yang merintangi dimulut lembah itu, maka katanya mendesak.   "Buyung, bagaimana jawabanmu?"   Otak Suma Bing harus bekerja keras, jikalau membantu memecahkan barisan itu, tujuan si nenek masuk kedalam untuk membunuh orang demi melampiaskan dendam dan penasarannya selama enampuluh tahun, hakikatnya tidak ada jalan damai.   Sebaliknya dia juga sangat memerlukan petunjuk dari penghuni lembah ini untuk dapat memecahkan Bwe lim ki tin, demi kepentingannya ini sudah tentu tidak mungkin dia membantu si nenek untuk memecahkan barisan dalam mulut lembah itu.   Setelah diterawangi secara masak baru dia menjawab.   "Maaf aku tidak mungkin bisa membantu!" -oo0dw0oo      Tiraikasih Websitehttp.//kangzusi.com   / 54. HWE HUN KOAY HUD MAHA PELINDUNG BWE HWA HWE "Benar2 kau tidak mau?"   "Tidak mungkin!"   Sigap sekali si nenek beruban berjingkrak bangun namun akhirnya meloso duduk lagi dengan lesu katanya mashgul.   "Buyung, aku tidak akan menyia2kan budi bantuanmu ini."   Hati Suma Bing tidak tergerak oleh bujukan yang mengharukan ini, malah jawabnya.   "Bagaimana juga aku tidak sudi membantu orang secara se-mena2!"   "Buyung, mari kita persoalkan untung ruginya!"   "Dengan syarat maksudmu?"   "Benar, silahkan kau ajukan syaratmu!"   Tergerak hati Suma Bing, katanya.   "Syarat yang kuajukan, apa benar cianpwe pasti dapat mematuhi?"   Hampir saja si nenek mengumbar kemarahannya, tapi sekuat mungkin dia tekan dan bersabar, apa boleh buat akhirnya ia berkata.   "Buyung, baiklah coba kau katakan."   "Aku tidak berminat untuk mengajukan!"   "Setan keparat, kau pembual besar yang bermulut kosong!"   "Kenapa harus kukatakan, toh cianpwe takkan mampu melaksanakan!"   "Setan kecil, kalau tidak kau katakan darimana kau tahu kalau aku tidak mampu."   "Kenyataan memang begitu." "Kenyataan apa?"   "Cianpwe terintang oleh barisan dalam mulut lembah itu sehingga tidak dapat masuk selama enam puluh tahun, ini sudah menyatakan..."   "Menyatakan bahwa Lwekangku tidak becus?"   "Bukan!"   "Lalu apa?"   "Syarat yang hendak kukatakan juga mengenai ilmu tentang barisan yang aneh2."   "Ini..."   "Maka kukatakan kalau cianpwe takkan mampu melaksanakan."   "Eh, aku ada akal."   "Ada akal apa?"   "Penghuni lembah ini adalah seorang ahli dalam bidang itu, kalau kau dapat membantu aku masuk kedalam lembah, maka boleh kuperintahkan penghuni lembah itu untuk memberi petunjuk tentang persoalanmu itu."   "Bukankah tujuan cianpwe masuk kedalam untuk membunuh orang?"   "Memang tidak salah, tapi penghuni lembah itu sendiri pernah berkata kalau aku mampu memecahkan barisan itu dan masuk kedalam, maka dia rela dan tunduk menerima segala perintahku tanpa berani membangkang."   "Termasuk juga akan jiwa mati hidupnya?"   "Sudah tentu."   "Tapi aku tidak sudi berbuat serendah itu."   "Apa?" "Cayhe membantu kau membunuh dia, lalu dari dia mendapat petunjuk untuk kebaikanku, dapatlah aku melakukan perbuatan yang rendah begitu?"   Agaknya si nenek beruban sudah tak kuat lagi menahan amarahnya setelah dikocok pulang pergi oleh Suma Bing, dengan beringas pelan2 dia bangkit berdiri, sorot matanya memancarkan kebuasan.   Pada saat itulah tiba2 terdengar gelak tawa aneh yang melengking tinggi, menusuk telinga dan menyedot semangat orang.   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Mengandal keampuhan Lwekang Suma Bing saat itu ternyata juga terpengaruh sampai darah terasa bergolak menyesakkan dada, jantungnya berdebar keras, jelas pendatang baru ini agaknya bukan tokoh sembarang tokoh.   Si nenek beruban sendiri juga terpengaruh dan tersedot oleh suara tawa itu sehingga memandang kedepan tanpa berkedip.   Begitu lenyap suara tawa itu disusul segulung bayangan merah secepat kilat terjun tiba dari tengah udara.   Waktu Suma Bing menegasi, serta merta giris dan dingin perasaan hatinya.   Kiranya pendatang baru ini adalah seorang laki2 yang berbadan tinggi besar mengenakan jubah merah marong, rambut dan jenggotnya juga merah malah kedua bola matanya juga memancarkan sinar merah, seluruh tubuhnya dari atas sampai bawah serba merah, raut wajahnya seram dan menakutkan lagi.   Terdengar si nenek beruban berseru kejut lalu tegornya.   "Kau ini Hwe hun koay hud bukan?"   "Tidak salah!"   Sambil menjawab Hwe hun koay hud mundur setindak, agaknya dia terkejut karena tidak mengenal siapakah si nenek beruban ini, sebaliknya lawan sekali buka mulut lantas dapat menyebut nama julukannya.   Suma Bing sendiri juga melengak, Hwe hun koay hud, nama ini sangat asing baginya.   Akhirnya terdengar Hwe hun koay hud berkata tergagap.   "Kau ini..."   "Tidak kenal ya sudah."   Sahut si nenek beruban dengan sikap angkuh. Sepasang mata aneh Hwe hun koay hud tengah menyapu dan menatap kearah Suma Bing, seringainya dingin.   "Buyung, kau inikah calon majikan Perkampungan bumi yang bernama Suma Bing?"   Si nenek aneh beruban terperanjat, setelah mendengar asal-usul Suma Bing. Terdengar Suma Bing tengah menyahut dingin.   "Benar."   Hwe hun koay hud ter-loroh2, serunya.   "Bagus sekali."   Tergerak hati Suma Bing, tanyanya.   "Apanya yang bagus tuan?"   "Bedebah, kau panggil aku dengan sebutan tuan?"   "Ini terhitung kupandang kau cukup tinggi."   "Ha, keparat, Lohu sudah hidup seratus tahun lebih, tak duga hanya dipanggil sebagai tuan oleh bocah hijau berbau tetek ibumu..."   "Kalau tuan merasa ini kurang tepat, tak usah kau banyak mulut."   Dimulut Suma Bing bersikap angkuh, sebenarnya hatinya juga terkejut dan kebat-kebit, ternyata orang aneh serba merah ini juga sudah berusia seabad lebih, tidak heran sekali bertemu si nenek aneh beruban itu lantas kenal asal-usulnya, yang mengherankan dan merupakan pertanyaan darimana dia dapat mengetahui nama dan asal-usul dirinya.   Sorot mata Hwe hun koay hud yang merah marong itu berjelalatan, dengan nanap dan tajam dia awasi Suma Bing sekian lama lalu katanya.   "Buyung, kau tahu maksud kedatangan lohu kemari?"   Acuh tak acuh Suma Bing menyahut.   "Kedatangan tuan kemari lantaran aku?"   "Tepat sekali!"   "Harap tanya..."   "Untuk mencabut nyawamu!"   Membesi wajah Suma Bing, dengusnya dingin.   "Lantaran aku tuan kemari?"   "Sudah tentu!"   "Coba katakan."   "Kau tahu apa kedudukan aku orang tua saat ini?"   "Kalau tidak tuan katakan sendiri, siapa dapat tahu?"   "Akulah Maha pelindung dari Bwe hwa hwe, sudah jelas?"   Suma Bing melonjak kaget sampai mundur tiga langkah, bukan karena takut namun karena anggapannya yang dinamakan sebagai Maha pelindung dari Bwe hwa hwe itu pasti dijabat oleh Raja iblis seratus muka.   Tapi sekarang kenyataan menghancurkan semua kepastiannya.   Tentang Perkampungan bumi kehilangan buku berharga, Ngo bi juga kehilangan pusaka pelindung perguruan, malah Bu khek po terjadi banjir darah, apakah semua ini ada sangkut pautnya dengan Bwe hwa hwe sekarang lantas menjadi teka teki lagi.   Terdengar si nenek aneh menyeringai seram dan berdesis.   "Hwe hun lo koay, tidak gampang kau hendak membunuhnya?"   "Kenapa, apa kau hendak mencampuri?"   "Mungkin!"   "Nenek keropos, kau sendiri sukar menyelamatkan diri, bukankah puluhan anak buah Bwe hwa hwe semua mampus ditanganmu?"   "Hehehehe, Hwe hun lokoay, kau sendiri sudah tiba disini, terhitung kau sendiri juga harus mengikuti jejak mereka!"   "Baik, nanti setelah kubereskan bocah keparat ini, baru aku menyelesaikan perhitungan kita."   Suma Bing melangkah lebar kembali ketempat asalnya, wajahnya membeku diselimuti kekejaman, nadanya berat tertekan.   "Kedatangan tuan ini atas perintah Loh Cu gi?"   "Wah, bocah keparat kurangajar. Seharusnya kau katakan aku diundang oleh Loh Cu gi kemari, tahu!"   "Mengandal perkataanmu ini, kau setimpal untuk mampus!"   "Keparat, besar benar monyongmu itu."   "Kenyataan akan membuktikan perkataanku ini."   Saking gusar sambil menggerung Hwe hun koay hud lantas angkat tangan mengepruk kebatok kepala Suma Bing, serangan ini bukan saja hebat dan dahsyat kekuatannya juga tipunya lain dari yang lain.   Siang2 Suma Bing sudah mengerahkan Giok ci sinkang sampai tingkat kesepuluh bagian tenaganya, tanpa menggeser kedudukan kepala hanya dimiringkan sedikit berbareng sebelah tangannya diangkat lurus kedepan untuk menangkis.   'Plak' terdengar benturan keras dari beradunya telapak tangan kedua orang, masing2 tergetar mundur satu langkah.   Diam2 tercekat hati Suma Bing, dari gebrak pertama itu dapatlah dia mengukur kiranya Lwekang musuh tidak lebih rendah dari dirinya.   Adalah Hwe hun koay hud juga bukan kepalang kejutnya, musuhnya ini seorang muda yang belum penuh berusia duapuluhan bukan saja kuat menandangi latihannya selama seratus tahun, malah kesudahannya seri tanpa ada pihak yang unggul atau asor.   Sementara itu, Suma Bing mengerahkan tenaga lagi meningkatkan pertahanannya satu bagian lagi...   Sebentar melengak, lantas Hwe hun koay hud melancarkan lagi serangannya sebanyak tiga jurus berantai.   Setiap jurusnya merupakan ilmu yang jarang terlihat dan keampuhannya boleh dibanggakan.   Suma Bing tidak berani ayal kedua tangannya juga bergerak tidak kalah cepatnya untuk menangkis dan memunahkan serangan musuh.   "Bagus."   Diluar dugaan si nenek beruban berteriak memuji keras. Tiba2 Hwe hun koay hud mundur lima kaki, jubah merahnya yang besar gondrong melembung besar, pelan2 kedua tangannya diangkat lapang didepan dada.   "Buyung, awas menghadapi ilmu Hong lui sin lo yang lihay!"   Terdengar si nenek berseru memperingati.   Tercekat hati Suma Bing.   Giok ci sinkang terkerahkan sampai tingkat keduabelas, siap menghadapi segala kemungkinan.   Pelan2 Hwe hun koay hud menarik lalu menyurung pelan kedua tangannya kedepan, seketika angin ribut diselingi geledek menggelegar...   Kontan Suma Bing merasakan dirinya diterpa suatu gelombang kekuatan yang tidak kentara menindih keseluruh tubuhnya, cepat2 ia ayun kedua tangannya terus dipukulkan kedepan.   Ledakan dahsyat disertai badai dan suara geledek menyambar membuat pasir batu dan tanah beterbangan membumbung tinggi keangkasa, gelanggang menjadi kelam diselubungi kabut hitam dari berhamburannya debu.   Saking hebat ledakan ini sampai menimbulkan pantulan suara sekian lama diempat penjuru alam pegunungan.   Keadaan macam ini se-olah2 dunia sudah hampir kiamat.   Darah bergolak dirongga dada Suma Bing, kakinya sampai amblas setengah kaki kedalam tanah.   Sedang Hwe hun koay hud juga telah tersurut mundur ketempat asalnya berjarak setombak.   Si nenek beruban terkesima memandangi Suma Bing, agaknya dia terpesona akan gebrak pertandingan yang hebat seumpama memecahkan bumi menggegerkan langit ini.   Se-konyong2 segulung awan merah melenting tinggi terus menghilang dalam rimba.   "Lari kemana kau!"   Suma Bing membentak beringas, secepat anak panah dia terus berlari mengejar masuk kedalam hutan, tapi bayangan Hwe hun koay hud sudah menghilang tanpa kerana. Diam2 Suma Bing mengumpat caci dan menyumpah2.   "Hari ini kau dapat merat, besok kau takkan dapat lolos."   Tak lama kemudian dia sudah kembali kehadapan si nenek aneh. Kata si nenek aneh beruban penuh kekaguman.   "Buyung, tidak kira Hwe hun koay hud ternyata tidak kuat menahan sekali pukulanmu?"   "Sayang dia dapat melarikan diri!"   Ujar Suma Bing penasaran. "Apa kau benar2 ingin mencabut jiwanya yang sudah tua itu?"   "Akan kukremus tubuhnya."   "Untuk balas dendam?"   "Boleh dikata demikian!"   "Bagaimana bisa setan tua itu sampai bermusuhan dengan kau?"   "Dia sebagai Maha pelindung musuh besarku, bukankah kedatangannya itu lantaran aku!"   "O,"   Si nenek aneh tercengang.   "Orang macam apakah Hwe hun koay hud ini?"   "Masa kau belum pernah dengar?"   "Belum!"   "Kira2 delapan puluh tahun yang lalu, partai Siau lim si muncul seorang murid murtad dan durhaka, dia itulah orangnya!"   "Apa pihak Siau lim si tidak ambil tindakan terhadap dia?"   "Bukan tidak diambil tindakan, adalah kewalahan menghadapinya. Dia mencuri se   Jilid buku Hong lui keng, dengan latihannya selama setengah abad dia berhasil meyakinkan Hong lui sin lo.   Sedemikian ampuh ilmu silat ini sampai tiga tokoh terlihay dari Siau lim si yang kenamaan dengan julukan Siau lim sam cun yaitu Hui Kong, Hui Gong dan Hui Bing juga terkalahkan dalam mengeroyok dia orang..."   Teringat oleh Suma Bing akan Hui Kong Taysu yang dipandang sebagai Buddha hidup oleh Siau lim si ternyata adalah salah satu dari Siau lim sam cun itu.   Sampai sekarang Hui Kong Taysu masih hidup, kalau pihak mereka mendengar kabar akan munculnya lagi murid durhaka dari tingkatan atas ini, entah cara bagaimana mereka hendak menghadapinya? Kiranya ini merupakan noda hitam bagi lembaran sejarah jayanya Siau lim sejak partai ini didirikan beratus tahun yang lalu.   "Selanjutnya,"   Demikian si nenek melanjutkan penuturannya.   "Seluruh kekuatan Siau lim sudah diboyong keluar untuk mengepung dan mengeroyok manusia laknat ini, entah berapa banyak korban berjatuhan dari anak murid Siau lim, tapi akhirnya toh dia masih dapat melarikan diri dan sejak saat itu terus menghilang entah kemana. Peristiwa ini dulu pernah menggegerkan seluruh dunia persilatan."   "Peristiwa itu masih ter-katung2 sampai sekarang?"   "Buyung, kita bicarakan soal kita yang penting. Bagaimana dengan syarat yang ku ajukan tadi?"   "Tak mungkin aku melulusi."   "Bedebah, benar2 kau tidak mau lakukan?"   "Tidak!"   "Berani kau katakan sekali lagi?"   "Tidak!"   "Baik, lihat ini!"   Sambil berseru berbareng dia menubruk dari atas batu besar tempat duduknya kearah Suma Bing, serangan kedua tangannya sangat gencar dan bergerak secepat kitiran.   Suma Bing juga tidak mau kalah wibawa, dengan penuh semangat dia layani setiap jurus serangan pihak lawan.   Maka terjadilah pertempuran hebat yang jarang terjadi selama ini, sehingga batu dan pasir beterbangan membumbung tinggi keangkasa.   Dalam sekejap mata saja tiga puluh jurus telah berlalu, si nenek aneh menyerang semakin gencar seperti orang kalap, jurus serangannya adalah tipu2 yang mematikan, keruan Suma Bing yang tiada niat melukai lawannya menjadi keripuhan dan mencak2 terdesak mundur.   Akhirnya terpaksa dia menjadi nekad, jurus Bintang berpindah jungkir balik dilandasi seluruh kekuatan tenaganya dilancarkan keluar secepat kilat.   Terdengar si nenek menguak keras hampir muntah tubuhnya terhempas dan terpelanting mundur sempoyongan delapan kaki.   Menggunakan kesempatan peluang ini tanpa ayal lagi Suma Bing jejakkan kedua kakinya terus melesat kearah mulut lembah.   Dia berkesimpulan barisan yang dibentuk oleh penghuni lembah itu adalah untuk mencegah atau tegasnya merintangi si nenek masuk kedalam.   Jikalau dirinya mohon bertemu secara hormat mungkin dilulusi siapa tahu, sebab tekadnya untuk memecahkan barisan Bwe lim ki tin itu rasanya lebih penting dari segala urusan.   Mendadak terdengar si nenek beruban berteriak di belakangnya.   "Budak, cegat dia!"   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Mendengar ini Suma Bing malah melengak heran, entah apa yang disuruh si nenek untuk mencegat dirinya, tanpa terasa cepat2 dia hentikan langkahnya.   Maka dilain saat sebuah bayangan putih meluncur tiba menghadang didepannya, lalu disusul bayangan beberapa orang lagi juga merintangi ditengah jalan.   Begitu melihat orang terdepan yang mencegat dihadapannya ini, tercekat hati Suma Bing, ter-sipu2 ia berlutut menyembah sambil berseru.   "Bu, kaukah yang datang!"   Betul juga yang baru datang ini ternyata adalah San Hoa li Ong Fang lan adanya.   Terang ibundanya menjadi ahli waris dari Bu lim ci sin dan menjadi majikan Panggung berdarah.   Bagaimana mendadak sekarang muncul disini malah dipanggil sebagai budak oleh si nenek aneh beruban itu, ini benar2 kejadian yang luar biasa.   Agaknya San hoa li Ong Fang lan sendiri juga ter-heran2 tanyanya.   "Nak, bagaimana kau bisa berada disini?"   "Bu, kau..."   "Kudengar kau menimbulkan banjir darah di Bu khek po, merebut Kipas pualam dan menerjang ke Ngo bi san dan melukai tiga pelindungnya dan lima Tianglo mereka untuk mengangkangi Ce giok pe yap..."   "Karena peristiwa inikah maka ibu keluar dari pesanggrahan?"   "Ya, nak, perbuatanmu itu..."   "Apa ibu juga beranggapan anak dapat berbuat begitu rupa?"   "Tapi kenyataan..."   "Itu bukan kenyataan yang berbukti!"   "Bukan kenyataan?"   "Ada seseorang yang menyamar sebagai aku telah melakukan semua itu."   "O, siapakah dia?"   "Saat ini masih belum ketahuan, anak tengah menyelidikinya secara seksama."   Agaknya San hoa li merasa sangat diluar dugaan, katanya sambil menggandeng tangan Suma Bing.   "Kalau begitu kau bangunlah nak."   Suma Bing berdiri. Segera empat pengikut dibelakang dirinya membungkuk memberi hormat sambil menyapa.   "Menghadap pada majikan muda!"   Suma Bing balas manggut2 serta merta dia berpaling memandang kearah si nenek aneh lalu katanya berbisik.   "Dia orang..."   Wajah San hoa li Ong Fan lan sedikit berobah, cepat dia melesat maju kedepan terus berlutut dan menyembah dengan hikmatnya didepan si nenek, keempat pengikutnya juga turut berlutut dan menyembah. Si nenek aneh ulapkan tangan serta serunya.   "Bangunlah, tak perlu peradatan."   Keruan Suma Bing melongo dan ter-heran2 dibuatnya betapa janggal keadaan ini benar2 susah dilukiskan, setelah terlongong sekian lamanya diapun maju mendekat. Segera San hoa li Ong Fang lan menggape tangan serta katanya.   "Nak, ayo menghadap Sukohco!"   Kontan Suma Bing terhenyak ditempatnya... Salah satu dari empat gadis seragam putih itu, yaitu yang menjadi pentolan dari Rasul penembus dada yang bernama Ih Yan chiu segera berkata berbisik.   "Tuan muda, kau sudah dengar!"   Suma Bing tergagap bagai sadar dari mimpi, cepat2 ia tampil kedepan terus berlutut, serunya.   "Menghadap pada Sukohco!"   "Sudahlah bangun!"   Pelan2 Suma Bing bangkit berdiri, teringat pengalamannya selama ini tanpa terasa merah padam seluruh mukanya, sikapnya risi dan kikuk. Si nenek sendiri juga merasa serba salah dan keheranan memandang San hoa li Ong Fang lan dia berkata.   "Apa jadi dia ini anakmu?"   "Benar, Sukoh!"   "Kenapa kau tidak pernah bilang?"   "Memang ini kecerobohanku, harap Sukoh suka memaafkan."   Si nenek termenung sekian lamanya, mendadak dia mengulap tangan dan berkata.   "Kalian boleh pergi."   San hoa li Ong Fang lan berkata penuh hormat.   "Apakah anak kurangajar ini telah berbuat salah terhadap Sukoh?"   "Tidak tahu tidak berdosa, lekas kalian pergi."   San hoa li menatap tajam kearah Suma Bing, agaknya dia ber-tanya2 akan semua kejadian yang baru saja berlangsung, sinar matanya penuh tanda tanya.   Suma Bing berpikir dalam waktu dekat begini bagaimana dirinya harus memberikan penjelasan kepada ibunya, cepat2 dia berputar menghadap si nenek lantas berkata.   "Mohon kau orang tua segera memberikan perintah."   Si nenek aneh beruban mendengus dingin.   "Tidak perlu lagi, pergilah!"   Suma Bing melongo, katanya lagi.   "Bukankah Sukohco ingin..."   "Sekarang tidak perlu!"   "Mohon bertanya, kenapa?"   "Urusan aku orang tua tidak perlu kalian dari tingkatan rendah turut campur."   "Tapi..."   Sebetulnya dia hendak mengatakan; bukankah kau tergesagesa ingin memecahkan barisan itu dan masuk kedalam lembah? Setelah sampai diujung bibir terasa perkataannya ini kurang hormat maka ditelannya kembali.   Agaknya San hoa li ada sedikit paham setelah mendengar percakapan tadi, katanya menyela.   "Sukoh ada urusan apakah yang memerlukan tenaga anak Bing?"   "Tidak perlu lagi!"   Sentak si nenek uring2an sambil menggoyangkan tangan.   "Cepat kalian pergi saja."   Tentang asal usul atau riwayat ayahbundanya sendiri Suma Bing sedikitpun tidak tahu, bahwa si nenek beruban ini mendadak bisa menjadi Sukohconya benar2 mimpi juga tak terduga olehnya.   Sungguh dia sangat menyesal waktu melihat keadaan rupa si nenek waktu bertemu untuk pertama kalinya tadi.   Dalam pertimbangannya sebab daripada Sukohconya rela dan sudi menunggu dan merana selama enam puluhan tahun pasti tidak lepas dari persoalan 'cinta'.   Sekarang setelah diketahui duduk tingkatannya sudah tentu dia tidak sudi minta bantuan pada angkatan mudanya.   Persoalan bak teka-teki ini mungkin ibunya mengetahui, tapi dihadapan Sukohconya tak enak pula dia menanyakannya.   Mengenai usia Sukohconya mungkin sudah melebihi seratus tahun.   Tiada orang yang takkan mati dalam dunia ini, meski betapa tinggi dan dalam latihan semadinya paling banyak bisa hidup lebih lama dan kuat puluhan tahun dari orang biasa.   Kalau dia sendiri tidak mampu memecahkan barisan itu dengan kemampuannya sendiri, akhirnya juga pasti meninggal dunia diluar mulut lembah itu.   Sekarang kalau dia mau membantu si nenek yang menakutkan dan harus dikasihani ini menghancurkan batu besar itu, bagaimanakah akibatnya? Dia masuk kedalam lembah adalah untuk membunuh orang, tak perduli apa sebab musababnya yang terang sebuah tragedi bakal terjadi.   Dapatkah dibenarkan perbuatannya? Sorot mata ibunya yang gelisah gugup dan penuh tanda tanya melerok lagi kearah dirinya.   Dalam situasi sekarang ini mau tak mau dia harus mengambil suatu keputusan.   Mungkin karena malu akan kedudukannya yang tinggi maka si nenek segan membuka mulut, tapi sebetulnya sanubarinya benar2 ingin dirinya membantu untuk menyelesaikan cita2nya yang tertunggak sampai puluhan tahun? Setelah dipertimbangkan dengan tegas dia berkata kepada ibunya.   "Bu, Sukohco minta aku menghancurkan batu besar dimulut lembah itu untuk memecahkan barisan didalamnya."   San hoa li Ong Fang lan menjadi tegang, sahutnya tergagap.   "O, nak..."   "Cepat kalian menggelinding pergi!"   Teriak si nenek aneh berjingkrak gusar. Ter-sipu2 San hoa li Ong Fan lan berlutut dan berseru.   "Sukoh, mohon dimaafkan kalau perkataan Tecu ini kurangajar, apakah faedahnya Sukoh menunggu selama ini?"   Daging diwajah si nenek ber-kerut2 dan gemetar, katanya sedih.   "Budak, bangunlah."   "Sukoh setuju?"   Tanya San hoa li Ong Fang lan sambil bangkit berdiri.   "Tidak!"   Nadanya sudah agak lembek tidak seketus semula.   "Sukoh, Tecu mewarisi kepandaian Unsu adalah karena jodoh. Mungkin Unsu tidak akan menduga setelah beliau meninggal puluhan tahun bisa mendapat seorang murid seperti aku. Sekarang aku juga ada jodoh dapat menemukan Sukoh yang masih sehat waalfiat meskipun sudah tua, meskipun aku sebagai Sutit hakikatnya seperti murid sendiri juga, maka Tecu memberanikan diri berlaku kurangajar, harap Sukoh berpikir panjang."   Suma Bing melengak mendengar perkataan ibunya itu.   Naga2nya si nenek ini pasti ada hubungan saudara sepupu dengan majikan Panggung berdarah yaitu Bu lim ci sin.   Didengar dari nada perkataan ibunya, kiranya setelah dia mendapat buku pelajaran ilmu silat peninggalan Bu lim ci sin baru dia bersua dengan Sukohnya ini.   Kejadian dalam dunia ini memang serba-serbi dan susah diduga sebelumnya.   Hanya belum diketahui siapakah nama julukan si nenek beruban ini, yang terang pasti dia juga salah seorang tokoh silat nomor wahid pada jaman mudanya dulu.   Karena desakan pikirannya ini, tanpa terasa mulutnya bertanya.   "Sutitsun mohon bertanya nama julukan Sukohco!"   Sekian lama si nenek aneh beruban ragu, akhirnya berkata dingin2.   "Hian thian ceng li!"   Suma Bing mundur tiga langkah saking kaget, wajahnya juga berubah.   Dia pernah dengar dari penuturan Suhunya Sia sin Kho Jiang, tentang Hian thian ceng li ini sebetulnya seorang gadis cantik rupawan pada puluhan tahun yang lalu, kecantikannya pernah menggegerkan dunia persilatan dan banyak pemuda yang ter-gila2 olehnya, bukan saja cantik malah kepandaian silatnya juga bukan olah2 tinggi dan lihay.   Sungguh tidak nyana si nenek tua kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang yang reyot ini ternyata adalah Hian thian ceng li dulu yang serba pandai dalam ilmu silat dan sastra.   "Sukoh."   Terdengar San hoa li berkata pula.   "Setelah cita2mu dapat terkabul, Tecu mohon kau orang tua suka kembali lagi ke Panggung berdarah, supaya Tecu dapat melayani..."   Mendadak Hian thian ceng li ter-loroh2 keras seperti orang gila, serunya.   "Budak, kalau cita2ku terkabul, buat apa aku terus merana didunia fana ini!"   "Sukoh, kau..."   "Ai!"   Helaan nafas yang menyedihkan ini sungguh memilukan hati.   Suma Bing sendiri juga ikut mendelu, dia tidak paham apa yang dipersoalkan tentang cita2.   Namun dalam pandangannya Hian thian ceng li si makhluk aneh yang tua renta ini kini berobah menjadi seorang tua yang harus dikasihani.   Waktu hanya terpaut satu jam saja, namun anggapannya sudah berobah sama sekali, timbul keinginannya sekarang untuk mendharma baktikan sedikit tenaganya untuk seorang angkatan tua yang benar2 memerlukan bantuan sebelum mangkat.   Terdengar San hoa li berkata dengan nada berat dan sungguh.   "Anak Bing, dapatkah kau melakukan?"   Suma Bing tercengang, sahutnya.   "Bu, melakukan apa?"   "Menghancurkan batu besar itu?"   "Aku percaya aku dapat!"   "Baik, lekaslah kau bekerja!"   Hian thian ceng li tetap membungkam, agaknya dia setuju.   Suma Bing manggut2 terus melangkah kedepan mulut lembah.   Kira2 terpaut dua tombak didepan batu besar itu Suma Bing berhenti.   Hatinya kebat kebit tidak tentram, namun saat itu sudah tiada tempo baginya untuk memikirkan apakah tindakannya ini benar atau salah.   Pelan2 kedua tangan terangkat didepan dada, Giok ci sinkang sudah terkerahkan sampai puncaknya.   "Buyung, nanti dulu!"   Tiba2 Hian thian ceng li berseru mencegah. Serta merta Suma Bing menunda gerakannya, dalam pada itu Hian thian ceng li sudah melompat tiba disebelah sampingnya, sedang ibunya berserta empat pengikutnya masih tetap berdiri ditempatnya semula.   "Sukohco masih ada petunjuk apa?"   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Buyung, kau masih ingat permintaanmu tadi?"   "Ini..."   "Aku dapat minta penghuni lembah itu nanti memberi petunjuk memecahkan persoalanmu."   Sifat pembawaan Suma Bing yang terkeram dalam sanubarinya tiba2 berontak, sahutnya menggeleng dengan angkuhnya.   "Tidak perlu lagi!"   "Kenapa?"   "Masih banyak para ahli lain yang dapat membantu aku dalam bidang itu."   "Mengapa harus sedemikian susah payah?"   "Tesun (cucu murid) membantu Sukohco menghancurkan batu dan memecahkan barisan, sebaliknya tujuan Sukohco adalah untuk menuntut balas. Memang Tesun tidak berbakti, kalau aku masih minta petunjuk dan bantuannya bukankah ini menambah dosa yang tak terampunkan dalam lembaran sejarah dunia persilatan!"   Berobah airmuka, Hian thian ceng li, agak lama kemudian baru dia berkata.   "Kau memang benar, sekarang kau boleh pergi!"   "Tidak!"   Sahut Suma Bing menggeleng kepala.   "Apa yang hendak kau lakukan?"   "Berbuat menurut perintah ibunda!"   "Aku tidak mengizinkan!"   "Terpaksa Tesun berlaku kurangajar!"   Habis ucapannya sebat sekali ia memutar tubuh kedua tangannya terus terayun sekalian...   "Jangan!"   Teriak Hian thian ceng li keras berusaha, mencegah.   Namun kedua tangan Suma Bing sudah keburu dipukulkan keluar.   Dentuman menggelegar menggetarkan bumi pegunungan dalam selat itu seakan gugur gunung menggelegar sekian lamanya, batu dan debu berhamburan se-olah2 bumi merekah dan laut tumpah, ternyata setelah suasana mereda tampak batu cadas sebesar gajah raksasa itu telah hancur lebur menjadi setumpukan debu kerikil yang bergugus tinggi.   Melihat ini tubuh si nenek tampak gemetar dan bergidik, kedua matanya memancarkan cahaya tajam ber-kilat2 memandang kemulut lembah tanpa berkesip, lama dan lama kemudian mendadak dia mengakak tinggi seperti orang kehilangan semangat.   Pada saat itulah sebuah bayangan putih langsing meluncur tiba dari mulut lembah sebelah dalam sana, sekejap mata saja dia sudah dihadapan mereka.   Dia bukan lain adalah Tio Keh siok yang belum lama berselang masuk kedalam lembah.   Setelah kakinya menginjak tanah sepasang mata Tio Keh siok setajam ujung pedang menatap kearah Suma Bing dengan nanap.   Tanpa terasa Suma Bing merinding dipandang begitu rupa, sinar mata yang mengandung rasa kebencian yang ber-api2 itu takkan terlupakan selama hidup ini, kontan terasa olehnya suatu keganjilan dalam kejadian ini.   -oo0dw0oo- 55.   SI KAKEK TUA PENGHUNI LEMBAH.   Per-lahan2 pandangan Tio Keh siok beralih kearah Hian thian ceng li, sedikit menekuk lutut dia memberi hormat serta ujarnya dingin.   "Locianpwe, Suhu tengah menantimu didalam lembah."   "Suruh dia keluar menemui aku."   "Kesehatan Suhu terganggu dan tidak leluasa untuk bergerak." "Hm, tidak leluasa apa segala?"   "Kenapa Locianpwe mendesak orang sedemikian rupa?"   "Budak setan, berani kau kurangajar terhadap aku?"   Membesi wajah Tio Keh siok, desisnya geram.   "Locianpwe, Suhu telah menantimu dengan segala perlengkapan!"   "Apa, dia hendak turun tangan dan mengingkari janjinya?"   "Suhu sudah mandi dan ganti pakaian, dengan tenang dia tengah menantikan dewa kematian mencabut nyawanya, tapi..."   "Tapi apa?"   "Ada satu hal yang belum dapat kumengerti!"   "Coba katakan!"   "Apa hubungan Suma Bing dengan Locianpwe?"   "Sutitsun (cucu murid keponakan)."   "Apakah Locianpwe ada melulusi untuk melindunginya..."   "Tutup mulutmu..."   Hian thian ceng li menggerung keras saking murka rambutnya yang ubanan itu sampai berdiri, tanpa kuasa tubuhnya terhuyung dua langkah. Tanpa takut2 Tio Keh siok terus berkata dengan dongkol.   "Sebelumnya Wanpwe sudah dengar, jikalau Suhu ada terjadi apa2, Wanpwe bersumpah untuk membalaskan sakit hati ini. Kalau Cianpwe tidak ingin menimbulkan bencana dikemudian hari silahkan sekarang juga turun tangan melenyapkan Wanpwe sekalian!"   Hati Suma Bing sedih dan perih sekali, dia maklum bahwa tindakannya ini salah, namun seumpama naik harimau susah turun, tak mungkin dia membiarkan Sukohconya mendapat malu dan serba susah, maka senggaknya dingin.   "Nona Tio, selalu cayhe nantikan pembalasanmu!"   Tio Keh siok melirik kearah Suma Bing dengan benci dan kemarahan yang me-luap2, makinya.   "Suma Bing, aku takkan melepas kau!"   Mendadak terdengar sebuah suara berat serak berkata.   "Anak Siok, mundur, jangan kurangajar!"   Dari belakang tumpukan puing2 batu sana muncullah bayangan seseorang yang membelok turun terus hinggap diatas tanah.   Bayangan yang mendadak muncul ini kiranya adalah seorang tua yang rambut serta jenggot dan kumisnya sudah beruban semua, wajahnya penuh kerutan, sinar matanya redup agaknya mengandung kesedihan yang ber-limpah2.   Begitu menginjak tanah langsung terus duduk ditanah tanpa bergerak.   Sekali lagi Tio Keh siok menyapu pandang semua hadirin dengan gemes terus mundur dibelakang orang tua itu serta panggilnya.   "Suhu!"   Kalau tadi beringas dan mentang2, sekarang Hian thian ceng li sebaliknya terbungkam seribu basa, tubuhnya gemetar semakin keras.   Dengan penuh keanehan Suma Bing pandang orang tua ubanan ini, batinnya pasti dialah penghuni lembah yang dikatakan oleh Sukohco itu.   Seperti orang tua umumnya yang loyo penghuni lembah ini duduk diatas tanah dengan sikapnya yang lesu, tiada sesuatu yang mengejutkan malah sepasang sinar matanya juga guram, sikapnya dingin dan tenang menatap kearah Hian thian ceng li tanpa membuka suara.   Tokoh macam apakah sebenarnya Penghuni lembah ini? Setelah hening sekian lamanya akhirnya Hian thian ceng li membuka kesunyian katanya.   "Ada apa lagi yang perlu kau katakan?"   Berkatalah penghuni lembah dengan berat dan tersendat.   "Kau dan aku kan sudah menjadi tua bangka yang dekat masuk liang kubur..."   "Omong kosong, yang kumaksudkan adalah janjimu dulu!"   "Silahkan apa yang hendak kau perbuat, aku menurut saja."   "Masih ada urusan apa lagi yang perlu kau sampaikan kepada muridmu?"   "Urusan terakhir?"   "Benar, hari ini juga kau harus kubunuh!"   Sekilas sepasang mata penghuni lembah memancarkan cahaya terang lantas menghilang lagi, katanya tenang.   "Silahkan kau turun tangan!"   "Sampai mati juga kau tidak menyesal?"   Teriak Hian thian ceng li kalap. Penghuni lembah bergelak tawa, ujarnya.   "Menyesal? Apanya yang perlu disesalkan? Orang hidup bagai mimpi, setelah sadar dari tidur, semuanya juga lantas hilang..."   "Sedemikian kejam dan keji kau menghancurleburkan impian orang lain?"   "Mimpi itu timbul dari hati..."   "Dasar kau tanpa perikemanusiaan!"   "Terserah bagaimana kau hendak berkata. Sekarang biarlah aku menebus dengan jiwaku, masa masih belum cukup?"   "Li It sim,"   Hian thian ceng li menggeram sambil mengertak gigi.   "Setelah kubunuh tetap juga kubenci kepadamu!"   Nama Li It sim itu menggetarkan sanubari Suma Bing, teringat olehnya akan cerita yang dikisahkan oleh Kang Kun Lojin itu.   Sungguh tidak nyana dia masih hidup.   Li It sim yang berjuluk Hwe soh ki khek adalah suami Bu siang sin li, atau ayah kandung Li Hui perempuan yang terkurung selama dua puluh tahun dibelakang puncak Siau lim si itu.   Tidak perlu disangsikan lagi persoalannya dengan Hian thian ceng li ini pastilah menyangkut tentang asmara muda mudi pada masa remaja mereka dulu.   Memang soal cinta merupakan persoalan yang susah diselesaikan, sampai sekarang tua yang peyot berusia seratus tahun lebih juga masih terbawa dalam pertikaian yang menyedihkan ini.   Begitulah karena pikirannya ini bahna heran tanpa terasa mulutnya berseru kejut.   "Bu lim sam ki!"   Seruan kagetnya ini menggetarkan seluruh hadirin.   Terutama Li It sim dan Hian thian ceng li sendiri merasa heran dan terperanjat, darimana Suma Bing bisa mengetahui asal usul riwayat si orang tua ini.   Sedang sebaliknya.   San hoa li Ong Fang lan terkejut karena mendengar akan kebesaran nama Bu lim sam ki itu.   Sorot mata Li It sim bercahaya terang, katanya haru.   "Buyung, apa yang kau katakan?"   Suma Bing membungkuk dan menyahut hormat.   "Bukankah Locianpwe salah satu dari Bu lim sam ki yang berjuluk Hwe soh ki khek?"   "Darimana buyung semuda kau ini bisa tahu?"   "Apakah Cianpwe masih ingat kepada Buyung Ceng Locianpwe?"   Tiba2 Hian thian ceng li menyelak bicara.   "Kang Kun Lojin?"   "Ya, benar,"   Sahut Suma Bing manggut2.   Mendadak Hwe soh ki khek Li It sim bangkit berdiri.   Hampir saja Suma Bing berseru kaget, baru sekarang dia melihat tegas bahwa Li It sim ini ternyata cacat sebelah kakinya hanya tinggal satu.   Maka terbayang dalam benaknya cerita yang dikisahkan Kang Kun Lojin itu.   Demi memperoleh cinta kasih Bu siang sin li, dengan menempuh bahaya besar dia menyelundup ke Siau lim si untuk mencuri Bu siang po liok itu, karena konangan akhirnya dia terkepung dan terluka parah malah menjadi invalid untuk se-lama2nya.   "Buyung,"   Ujar Li Itsim, suaranya tersenggak dalam tenggorokan.   "Kau kenal pada Kang Kun Lojin?"   Suma Bing membenarkan.   "Dia... masih hidup dalam dunia fana ini?"   "Dia orang tua masih sehat walafiat!"   "O, adakah dia pernah menyebut tentang diriku..."   "Dia pernah menuturkan kepadaku!"   "Semua cerita itu?"   "Ini... ya benar, beruntung Wanpwe ada kesempatan untuk mendengarkan!"   "Ada hal lain apa lagi yang dia katakan tidak?"   "Dia pernah berkata dan berpesan jikalau Wanpwe bertemu dengan Locianpwe, dia minta aku menyampaikan dia ingin bertemu kembali ditempat perpisahan dulu."   "Tapi sudah tidak mungkin!"   Ujar Li It sim hampir berbisik suaranya tertekan. Suma Bing melenggong, tanyanya.   "Mohon tanya kenapa tidak mungkin?"   Tanpa menjawab pandangan Li It sim beralih kearah Hian thian ceng li. Baru sekarang Suma Bing paham akan duduknya perkara, dia manggut2. Rona wajah Hian thian ceng li ber-ubah2 beberapa kali, akhirnya tekadnya sudah bulat dan berkata tegas.   "Li It sim, tidak keterlaluan bukan bila kau kubunuh?"   "Mungkin begitu!"   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Mungkin apa maksudmu?"   "Hanya itulah yang dapat kukatakan!"   Sekali melejit Hian thian ceng li melesat dihadapan Li It sim, sedemikian dekat jarak mereka sekali jamah saja cukup untuk merenggut jiwanya.   Per-lahan2 Hwe soh ki khek Li It sim duduk kembali diatas tanah, sikapnya tenang dan pasrah nasib.   Tangan yang kurus kering dari Hian thian ceng li pelan2 diangkat tinggi...   suasana menjadi sedemikian tegang mencekam hati, suatu tragedi yang menyedihkan bakal terjadi dihadapan kita.   Tampak tubuh Tio Keh siok bergerak bersiaga...   Kata Hwe soh ki khek dengan tenang.   "Anak Siok, kau mundur dan lagi kau harus ingat, selamanya jangan kau bersikap hendak menuntut balas apa segala."   "Suhu, kau..."   "Minggir, ini perintah!"   Apa boleh buat Tio Keh siok mundur beberapa langkah sambil menggigit gigi dua butir airmata meleleh membasahi pipinya.   Betapa perih dan sedih hati Suma Bing susah dilukiskan dengan kata2, jikalau dirinya tidak menghancurkan batu besar itu, tragedi yang mengenaskan ini tidak bakal terjadi.   Adalah sekarang menyesalpun sudah kasep, memang hakekatnya dia sendiri juga tidak akan mampu dan kuasa untuk merintangi akan terjadi tragedi yang bakal terjadi ini sebab Hian thian ceng li adalah Sukohconya.   Tanpa terasa pandangan matanya beralih kearah ibunya San hoa li Ong Fang lan, sorot matanya seakan2 tengah berkata apakah aku telah bekerja salah? Tangan Hian thian ceng li yang sudah terangkat tinggi gemetar semakin hebat, lama dan lama sekali tak kuasa dipukulkan.   Untuk detik seperti sekarang inilah maka dia rela menunggu dengan sabar tekun diluar lembah selama enampuluh tahun, karena dia (Li It sim) pula maka dia menyebar maut dan banyak membunuh orang2 yang tidak berdosa, sehingga kedua tangannya berlepotan darah tokoh2 persilatan yang mati penasaran.   Namun setelah detik yang dinantikan ini sudah diambang mata, dia sendiri agaknya tak kuasa turun tangan.   Mengapa? "Li It sim, betul2 kau rela mati?"   Terdengar Hian thian ceng li berkata pilu.   "Ya, benar!"   "Tiada omongan apalagi yang perlu kau ucapkan?"   "Yang sudah lalu biarlah tenggelam, dan yang akan datang buat apa disesalkan!"   "Hanya kalimat itu saja?"   "Jikalau... ai!"   Mendadak Hian thian ceng li berpaling dan berkata kepada San hoa li Ong Fang lan.   "Kalian menyingkir dari sini!"   Wajah San hoa li Ong Fang lan berubah tegang, serunya kuatir.   "Sukoh, kau..." "Lekas minggir!"   San Hoa li tak berani banyak bercuit lagi, sambil menggape kepada Suma Bing dia berseru.   "Anak Bing, mari pergi!"   Suma Bing tak kuat lagi menahan perasaan dukanya, teriaknya penuh haru dan menyesal.   "Li locianpwe, Wanpwe akan merasa menyesal seumur hidup ini!"   Sepasang mata Hwe soh ki khek dipentang berkilat, nadanya berat serak.   "Buyung, jangan kau mereras diri. Lohu tidak salahkan kau, malah aku harus menyatakan terimakasih akan berita dari kawan tuaku itu!"   Tanpa bersuara Suma Bing mengikuti dibelakang ibunya beserta keempat gadis serba putih itu. Kira2 ratusan tombak kemudian baru mereka menghentikan langkah. Tanpa membuang waktu lagi segera Suma Bing bertanya.   "Bu, sebenarnya karena persoalan apakah sehingga Li locianpwe dan Sukohco sampai bermusuhan?"   "Karena cinta!"   "Mereka adalah..."   "Duduk perkara yang jelas aku kurang terang, mungkin pada masa remajanya dulu Sukohcomu terlalu ter-gila2 mencintai Li locianpwe itu, sayang dia bertepuk sebelah tangan,akhirnya dari cinta timbullah rasa benci!"   "Mereka sudah berusia sedemikian lanjut, kenapa..."   "Nak, sejak dahulu kala sampai sekarang, ada berapa manusia yang dapat melepaskan diri dari belenggu cinta asmara?"   "Bu, sebetulnya aku hendak minta petunjuk kepada Li locianpwe tentang..."   "Tentang urusan apa?"   "Mengenai sebentuk barisan yang aneh." "Lantas bagaimana?"   "Diluar lingkungan markas besar Bwe hwa hwe dibangun sebuah barisan aneh sebagai tedeng aling2nya yang kokoh ampuh!"   "Kenapa dalam kesempatan tadi kau tidak mau bilang?"   "Dalam keadaan yang begitu, mana ada muka aku membuka mulut."   "Kau masih ada kesempatan!"   "Kesempatan apa?"   "Menurut hematku Sukohcomu tidak akan tega turun tangan membunuhnya."   "Kukira tidak begitu, betapa besar sikap kebencian Sukohco tadi!"   "Nak, masih ada sesuatu yang belum dapat kau selami, cobalah sekarang kau bercerita tentang pengalamanmu selama ini!"   Suma Bing bercerita tentang pengalaman menuntut balas di Bu khek po, cara bagaimana istri tercinta Phoa Kin sian meninggal dan mengenai orang lain memalsukan dirinya menimbulkan banyak bencana diberbagai tempat. Kata San hoa li sambil menghela napas.   "Nak, kau harus belajar dan dapat menghadapi nasibmu yang sudah tersurat dalam takdir, sebagai seorang persilatan selama hidupmu ini kau harus berani dan tabah menghadapi gelombang hidup yang tidak menentu dan banyak bahayanya ini. Agaknya perlu aku perintahkan Ih Yan chiu dan sebelas Rasul lainnya untuk membantu kau!"   "Bu, jangan!"   "Nak, ini tidak akan mempengaruhi hasratmu untuk menuntut balas seorang diri." "Tapi anak berharap dapat bekerja seorang diri."   "Nak, kau jangan kukuh dan keras kepala, inilah maksud baik ibumu, jangan kau menampik lagi, mereka hanya akan selalu membuntuti gerak gerikmu secara diam2, mungkin dalam suatu keadaan yang mendesak tenaga mereka sangat berguna bagi kau."   Terdesak oleh kebaikan ibunya, terpaksa Suma Bing mengangguk setuju. Mendadak San hoa li berpaling kearah hutan sebelah sana dan berseru nyaring.   "Sahabat darimana itu, harap keluar untuk bertemu."   Benar juga beruntun dua kali berkelebat sebuah bayangan, tahu2 sudah hinggap dihadapan mereka. Jantung Suma Bing ber-debar2, teriaknya gugup.   "Nona Tio."   Yang datang ini memang adalah Tio Keh siok murid Hwe soh ki khek Li It sim.   "Nona Tio apa yang telah terjadi?"   Tanya San hoa li gelisah dan tegang. Agaknya Tio Keh siok sudah kehilangan perasaan gusar dan bencinya, sikapnya kalem katanya sambil bersoja.   "Sungguh tak nyana Cianpwe kiranya adalah ahli waris dari Panggung berdarah, harap terimalah hormat Wanpwe."   "Nona jangan banyak peradatan, tentang Suhumu..."   "Mereka sudah pergi."   "Siapa yang pergi?"   "Suhu dan Hian thian ceng li sudah pergi semua."   "Bagaimana akhir keadaan disana?" "Kedua orang itu sudah mendapat kata sepakat, sekarang suhu pergi menuju tempat perjanjiannya dengan Kang kun Lojin Buyung Ceng untuk bertemu, dia bersumpah untuk tidak mengunjukkan diri lagi selama hidup ini. Tentang Hian thian ceng li Locianpwe entahlah dia pergi kemana"   "Bagus, penyelesaian begini sungguh membuat hatiku puas!"   Kata Tio Keh siok kepada Suma Bing.   "Tuan ingin mengetahui cara pemecahan barisan yang melindungi markas besar Bwe hwa hwe itu bukan?"   Suma Bing tercengang, lantas dia paham pasti Sukohconya tidak lupa akan janjinya dan mengajukan persoalannya ini kepada Hwe soh ki khek, maka segera sahutnya.   "Benar memang begitulah."   "Pernah satu kali secara kebetulan aku sudah berkenalan dengan barisan itu. Menurut teorinya barisan itu termasuk yang dinamakan Im yang ngo heng tin."   Kening Suma Bing berkerut dalam, untuk membalas dendam ayahnya dengan tangannya sendiri dia telah membunuh Bu khek sianglo yang menjadi Susiokco Tio Keh siok, malah melukai Tio Keh siok pula.   Besar anggapannya kalau lawan pasti membencinya sampai ketulang sumsum, haruskah dirinya menerima kebaikan ini dari dia? Meskipun saat ini dia betul2 ingin mengetahui cara pemecahan barisan itu.   Tapi dia tidak mengharap mendapat keterangan dari mulutnya.   Karena pikirannya ini dengan berat dia berkata.   "Nona, hendak memberitahu kepada cayhe..."   "Aku mendapat perintah Suhu untuk menyampaikan saja."   Sela Tio Keh siok dingin.   "Ini bukan maksudku sendiri, harap tuan maklum akan hal ini."   "Jikalau nona tidak sudi memberitahu, boleh tak usah dikatakan." "Hm, tuan aku hanya menyampaikan penjelasan Suhu, ini juga berarti melaksanakan perintah beliau yang terakhir. Aku tak kuasa dan tuan juga harus dengar."   Suma Bing menjadi serba susah dibuatnya. Kata Tio Keh siok selanjutnya.   "Im yang ngo heng tin termasuk barisan luar dari perguruan sesat yang aneh, barisan ini merupakan kombinasi dari dua unsur barisan yang berlawanan, susah untuk dapat diselami, tapi gampang untuk dipecahkan, asal mengerahkan tujuh tenaga orang yang bekerjasama, sekali gebrak saja pasti barisan ini akan berantakan..."   "Satu orang saja tak dapat mengatasi?"   "Bisa keluar masuk tanpa rintangan, tapi susah untuk memecahkan. Ketujuh orang itu harus melalui pintu tengah terus menerobos kepusatnya, lalu begini..."   Selanjutnya dia berjongkok dan mengambil ranting kayu untuk menggambar dan memberi penjelasan men-coret2 diatas tanah. Dasar otak Suma Bing memang encer, sekali lihat dan dengar saja cukup dapat dipahami, segera ia memberi salam dan berkata.   "Cayhe menyatakan banyak terima kasih."   "Mana aku berani terima, selamat bertemu!"   Habis berkata sedikit membungkuk kearah San hoa li terus melejit jauh menghilang dibalik pohon.   "Nak,"   Kata San hoa li serius.   "Ibumu percaya akan kekuatan Lwekangmu, pasti kau dapat melaksanakan pembalasan dendam ini, harap jagalah dirimu baik2, aku pergi."   Suma Bing berat untuk berpisah, katanya tersenggak.   "Bu, kapan aku baru dapat bertemu pula dengan kau orang tua?"   "Kapan2 saja pasti kita dapat bertemu kembali."   "Bu, kuatkanlah imanmu, aku pergi!"   Begitulah setelah keluar dari alas pegunungan Suma Bing langsung meluncur ke markas besar Bwe hwa hwe, semakin cepat kakinya bergerak, semakin berkobar rasa dendamnya, terbayang akan saat2 pembalasan dendam ini, darah musuh besar akan mengalir keluar rasanya belum puas dan belum terlampias sebelum terjadi banjir darah di Bwe hwa hwe.   Dia lupa waktu lupa perutnya yang kosong dan lupa akan badannya yang capek lelah, terus berlaju cepat menuju markas besar musuh yang misterius itu.   Hari itu dia tengah meluncur secepat anak panah melesat dari busurnya.   Tiba2 sebuah bayangan seorang perempuan yang rasanya sangat dikenalnya berkelebat dikejauhan sana.   Disaat mereka bertemu pandang setelah dekat, kedua belah pihak berseru kejut berbareng, dan sama2 menghentikan kakinya.    Pendekar Bunga Karya Chin Yung Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini