Pedang Darah Bunga Iblis 4
Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH Bagian 4
Pedang Darah Bunga Iblis Karya dari G K H Pek-hoat-sian-niopun menghentikan serangannya, suaranya tetap mengancam. "Kau mau katakan atau tidak?" Suma Bing menutuk jalan darahnya sendiri untuk mengurangi mengalirnya darah dilukanya itu, wajahnya yang putih cakap saat itupun penuh diselubungi hawa pembunuhan yang dalam, jawabannya tetap kaku dan garang. "Tidak kukatakan." "Pendek kata kau harus mengatakan." ~ Habis berkata Pek-host-sian-nio melancarkan serangannya. Sungguh murka Suma Bing bukan alang kepalang, dua tangannya diangkat berbareng ia mendorong sekuatnya kedepan. Pukulannya ini mengandung seluruh tenaga Kiu-yang-sin-kang, maka gelombang panas bergulung2 bagai lahar gunung berapi yang meletus. Suara benturan mengguntur memekakkan telinga Sekali lagi Suma Bing terdesak mundur tiga langkah, tubuh Pek-hoat-sian-nio hanya ber-goyang2 saja, jengeknya dingin. "Kiu-yang-sin-kang, pelajaran tunggal dari Lam-sia, sayang latihanmu masih terpaut ter-lalu jauh." Suma Bing melihat bahwa pukulan Kiu-yang-sin-kang yang telah mengerahkan setaker tenaganya masih belum mampu merobohkan lawan malah seujung rambutpun tidak terluka, seketika luluhlah semangatnya, namun begitu hatinya ma-sih mantap untuk tidak mundur begitu saja. Sambil berteriak panjang Pek-hoat-sian-nio lancarkan sebuah pukulan lagi. Kedua mata Suma Bing merah membara, tahu dia bahwa dirinya bukan tandingan orang, tapi bagaimanapun ia tidak mau mandah terima ajal, tangan diangkat lagi2 ia menangkis. "Blang" Ditengah suara mengge-ledek itu, Suma Bing mengeluh panjang, darah segar me-nyembur keluar bagai anak panah, tubuhnyapun terbang tiga tombak jauhnya- Pucat pasi wajah Ting Hoan, tanpa me-rasa ia berseru kejut dan kuatir, keempat gadis pemikul tandupun tak urung ikut kaget dan berobah air mukanya. Suma Bing merasakan kesakitan yang luar biasa menyerang seluruh tubuhnja, pandangan mata ber-kunang2, namun sifat angkuh dan kukuhnya masih tetap bertahan dalam be-naknya, seakan2 terkiang dipinggir kupingnya sebuah suara. "Jelek2, kau murid Lam-sia yang ditakuti, mana boleh ber-tekuk lutut dihadapan orang lain!" ~ Sambil mengertak gigi, tubuhnya terhuyung bangun, seluruh tubuh penuh berlepotan darah, kiranya luka dipundak kiri karena cengkeraman siwanita baju hitam itu dan lobang pundak kanan karena tusukan jari Pek-hoat-sian-nio itu pecah lagi dan mengeluarkan darah karena benturan adu kekuatan dahsyat ini. Ditambah noda darah dari mulutnya, keadaannya boleh dikatakan sangat seram dan mengenaskan seperti setan da-rah. Kecut serta dingin perasaan Pelc-hoat-sian-nio melihat ke-angkuhan dan tekad anak muda yang besar ini. "Suma Bing, selamanya aku orang tua tidak suka tu-run tangan kejam terhadap orang, tapi untuk menge-tahui jejak bajingan Loh Cu-gi itu, terpaksa aku me-langgar kebiasaanku. Kurasa kaupun tahu betapa enak me-rasakan menjungsang nadi memuntir urat?" Bergidik dan gemetar tubuh Suma Bing mendengar pernyataan orang, namun ia tetap berkeras hati. "Pek-hoat- sian-nio, kau turun tanganlah, paling banyak aku Suma Bing mati di tanganmu." Mimik wajah Pek-hoat-sian-nio berobah tak menentu, dengan kedudukan dan namanya yang tenar kiranya tidak pa-tut ia turun tangan terhadap angkatan muda. Akan tetapi, untuk mengetahui dimana jejak Loh Cu-gi itu terpaksa dia harus berlaku sekejam mungkin, tidak peduli akan gengsi dan kedudukan apa segala. Sebelum Pek-hoat-sian-nio turun tangan, Ting Hoan maju beberapa langkah dan berkata gemetar. "Suhu, lebih baik digusur pulang saja dan per-lahan2 ditanyai." Pek-hoat-sian-nio mendelik. "Apa kau sudah melupakan peraturan gurumu?" "Murid tidak berani, hanya." "Bagaimana? "Mungkin dia bisa. mati!" "Kau jangan melupakan seorang yang lebih menderita daripada mati." Ting Hoan tidak berani bersuara lagi, sambil tunduk la mengundurkan diri. Hakekatnya Suma Bing tidak tahu persoalan apa yang di percakapkan antara guru dan muridnya itu. Tapi sedikit banyak ia dapat menduga persoalan itu menyangkut per-buatan busuk Loh Cu-gi Suhengnya yang murtad itu. Kalau mau bicara terus terang, mungkin perkembangan selanjutnya akan berobah. Dasar sifat Suma Bing memang angkuh dan ketus sampai matipun dia takan bertekuk lutut. Setelah merenung sekian lama, mendadak Pek-hoat-sian- nio menghardik lebih bengis lagi. "Ada guru tentu ada mu-rid, sifat pembawaan binatang serigala yang harus diberan-tas. Hoan-ji, musnahkan dia." Sekilas Ting Hoan memandang gurunya, dengan ragu2 ia mendekat kedepan Suma Bing bibirnya gemetar. "Suma Bing, mengapa tidak kau katakan saja?" Suma Bing hanya pelototkan kedua matanya yang mengembang air darah, mulutnya terkancing rapat tak menggubris pertanyaan orang. Wajah Ting Hoan penuh mengunjuk belas kasihan, de-ngan suara yang paling lirih hampir tak terdengar ia mem-bisiki. "Suma Bing, rebahlah mengikuti telunjuk jariku." Lantas disusul suaranya membentak keras. "Kau mencari kematianmu sendiri, jangan sesalkan orang lain." Ditengah suara bentakannya kedua jarinya dirangkapkan menutuk jalan darah kematian didada Suma Bing. Tanpa ber-suara Suma Bing roboh terkapar diatas tanah. Pet-hoat-sian-nio ulapkan tangan terus membalik tubun masuk kedalam tandu lagi, segera keempat gadis baju hijau mengangkat tandu terus tinggal pergi. Diam2 Ting Hoan memandang iba kearah tubuh Suma Bing yang meng-geletak diatas tanah, terus tinggal pergi ikut dibelakang tandu. Begitu bayangan Pek-hoat-syan-nio beramai menghilang. Suma Bing terhuyung bangun berdiri. Mulutnya menggu-mam. "Mengapa dia menolongku? Aku berhutang nyawa kepadanya, sebaliknya Suhunya berhutang darah padaku." Suma Bing menunduk melihat seluruh tubuhnya yang pe-nuh berlepotan darah, katanya tertawa sedih. "Aku sudah mati dan hidup sekali lagi." Dengan sempoyongan ia berjalan menyusur balik memasuki hutan, untung hutan ini tidak begitu besar, setelah sekian lama ubek2an ditengah rimba ditemukan sebuah gua cukup untuk menetap semen-tara waktu. Saat mana yang paling penting adalah menge-rahkan tenaga untuk berobat diri. Luka2nya terlalu berat, pukulan Pek-hoat-sian-nio itu hampir saja memutuskan seluruh urat nadinya, hawa murninya susut terlalu banyak, se-telah berkutetan sekian lama jalan darah tertembuskan semua rintangan dalam tubuhnya. Begitulah tanpa mengenal lelah ia semadi dan berobat diri, dua hari dua malam kemudian baru usahanya itu berhasil memuaskan. Tengah hari pada hari ketiga, dengan sikap gagah dan semangat me-nyala2 ia sudah melanjutkan perjalanannya ditengah jalan raya. 7. TANGBUN YU = PUTRA RACUN UTARA Tujuan perjalanan kali ini adalah markas besar Ngo-ouwpang. Didepan pintu gerbang markas besar Ngo-ouw-pang terpancang sebuah bendera putih tanda duka-cita, semua anak murid perkumpulan itu mengunjuk rasa duka dan lesu. Saat mana tiba waktu tengah hari, seorang pemuda ganteng yang bersikap agak angkuh dan kasar memasuki ruang menyambut tamu pada markas terdepan. Seorang tua berwajah hitam sekian lama mengamat-amati orang yang baru datang ini, lalu maju menyapa. "Harap tanya nama Siauhiap yang mulia?" "Suma Bing." "Ada hubungan apa dengan Pangcu kami?" "Sahabat lama." "O, jadi kedatangan Siauhiap dari jauh ini tentu hendak ikut melawat, sepanjang jalan tentu melelahkan silahkan duduk dan minum teh untuk menyegarkan badan, nanti ." "Tidak usahlah." Tukas Suma Bing dingin. Harap saja saudara mengundang orang untuk mengantarkan aku bagai-mana?" "Ini. baiklah, The-hiangcu!" "Hamba berada disini." Seorang laki2 pertengahan umur maju memberi hormat. "Tuan Suma Siauhiap ini adalah sahabat kental Pangcu waktu masih hidup, dari jauh dia datang ikut melawat, iringilah pergi keruang lajon." Hiangcu she The itu mengiakan hormat terus memutar tubuh menghadapi Suma Bing dan merangkap tangan kata-nya. "Suma Siauhiap silahkan ikut aku yang rendah." Suma Bing mengangguk terus mengikuti dibelakang The- hiangcu, setelah keluar dari ruang penyambut tamu terus langsung menuju kemarkas besar, sepanjang jalan orang berlalu lalang tak putusnya, wajah mereka menunjuk rasa simpatik dan serius. Diam2 Suma Bing tengah menimang2 satu persoalan yang penting. Seperti dugaan Suhu-nya semula ternyata bahwa Tiang-un Suseng benar2 pura2 mati untuk menghindari kematian. Sekarang Ngo-Jouw Pangcu Coh Pin juga mati bertepatan dengan kedatangannya ini. Inilah kebetulan atau mengikuti cara Tiang-un Suseng untuk mengelabui dirinya? Naga2-nya memang keadaan ini tak mungkin palsu, tapi pengalaman terdahulu membuatnya waspada, mana bisa ia membiarkan musuh lolos dengan secara licin. Demi mem-balas sakit hati Suhunya dia bersiap untuk menghadapi segala resiko meskipun dirinya harus menjadi mu-suh bersama kaum persilatan tapi tujuan pertama untuk membelah peti mati harus tetap dilaksanakan. Sudah tentu secara halus ia bisa minta supaya diberi kesempatan mem-buka peti mati untuk memeriksa, tapi itu tak mungkin terjadi. Setelah jenazah masuk peti dan dipaku rapat, pasti tidak mungkin dibuka lagi untuk diperiksa, maka jalan satu2-nya menggunakan kekerasan membelah peti mati itu. Dia sudah dapat membayangkan akibat perbuatannya itu. Tanpa menimbulkan kecurigaan ia bertanya kepada The- hiang-cu yang membawa dirinya itu. "The-hiangcu, terse-rang penyakit apakah hingga Pangcu kalian meninggal dunia?" "Ini. eh angin duduk." "Angin duduk?" "kejadian didunia ini susah diduga sebelumnya oleh manusia". Mulut Suma Bing menjebir ejek, sahutnya pura2 penuh perhatian. "Benar, kejadian dikolong langit ini kadang2 memang diluar dugaan orang." Tak lama kemudian tibalah mereka diluar gedung markas besar, gedung markas besar ini dibangun sedemikian megah dan angkernya. Walaupun dalam saat2 duka-cita tapi pen- jagaan diadakan sedemikian kuat dan keras. Tiba diluar pintu The-hiangcu menyingkir kesamping dan menyilahkan. "Siauhiap silakan!" Suma Bing tidak mau bermain sungkan, sambil mengang-kat dada ia melangkah memasuki markas besar. Ruang lajon terletak ditengah bangunan gedung bertingkat dimana biasanya diadakan perundingan penting bagi kaum Ngo-ouw-pang. Suasana dalam gedung sesak berhimpitan kare-na tamu2 yang datang melawat kelewat banyak. Sampai didalam ruang lajon Suma Bing menjadi sangsi, sukar dipastikan untuk menentukan benar2 mati atau pura2 matikan Ngo-ouw Pangcu Coh Pin ini. Coh Pin adalah satu. diantara Bu-lim-sip-yu, pemalsuan kuburan Tiang-un Suseng merupakan pengalaman pahit yang pertama, maka kalini dia harus berani benar turun tangan untuk membuk tikau kebenarannya. Tapi, dihadapan sekian banyak hadirin, hendak membelah peti mati, akfbatnya tentu akan menim-bulkan kemarahan massa- Lantas teringat olehnya bahwa kedatangannya ini adalah untuk penuntut balas sakit pergu-ruan, mengapa harus takut2 dan gentar menghadap; segala risiko. Tengah berpikir itu Ia sudah melangkah mendekati layon, seorang tua berjubah panjang warna hitam segera maju menyapa. "Banyak terima kasih atas kedatangan Siauhiap ikut memberi penghormatan kepada Pangcu." Hidung Suma Bing mendengus dingin sikapnya angkuh. Melihat gelagat Yang tidak baik ini berobah air muka si OTang tua jubah hitam, namun ia masih berlaku hormat dan merendah. "Siapakah Siauhiap Ini?" "Aku yang rendah Suma Bing." "Suma Siauhiap dan Pangcu kita semasa hidup adalah." Wajah Suma Bing berobah kelam, sinar matanya beri-ngas penuh nafsu membunuh, dengan angkuh ia tukas kata2 orang. "Cayhe ingin menjenguk wajah jenazah Pangcu kalian." Siorang tua melonjak kaget, serunya. "Jenazah Pangcu sudah masuk peti dan tertutup rapat." Sekali berkelebat Suma Bing memutar kesamping meja sembahyang terus maju mendekat lajon. Orang tua jubah hitam menghardik keras. "Berani kau-" Sebat sekali memburu tiba dibelakang Suma Bing terpaut lima langkah Karena bentakan nyaring ini terkejutlah para hadirin dalam dan diluar gedung, beramai2 mereka merubung datang, maka dalam sekejap mata ribut dan gegerlah suasana dalam ruang lajon itu. Segera seorang tua yang berwajah angker berjenggot kambing melangkah kedepan, berhadapan de-ngan Suma Bing terpaut peti mati, nada kata2nya berat-"Siauhiap ini apakah tujuan kedatanganmu?" Sekilas Suma Bing melirik dingin kearah orang tua beru-ban ini. sahutnya kaku. "Tidak apa2, hanya ingin kulihat jenazah Pangcu kalian." Buncahlah semua hadirin Yang mendengar ucapanya itu, semua mengunjuk rasa gusar. Alis putih siorang tua beruban berjengkit, serunya. "Lohu San Bok-sing Tongcu pejabat seksi hukum, Siauhiap ini siapa dan dari perguruan mana?" "Aku Suma Bing." Dari perguruan mana?" "Tidak perlu kuberitahu kepada kau." San Bok-sing Tongcu pejabat seksi hukum dari Ngo-ouwpang menarik muka keren, sinar matanya berkilat2, serunya bengis. "Kedatangan tuan ini adalah hendak menuntut balas?" "Tidak salah ucapanmu" "Tidak perduli semasa hidup Pangcu kita ada permusuhan sebesar apa dengan kau. tapi pepatah mengatakan; orangnya mati permusuhan ludes. Masa tuan hendak membelah peti mati dan merusak jenazahnya?" "Aku yang rendah hanya ingin memeriksa dia benar2 mau atau pura2 mati, tentang merusak jenazah itulah ucapan berkelebihan." Ketegangan dalam ruang lajon meruncing, saat mana datang pula tiga orang tua dan dua laki2 pertengahan umur mendesak dibelakang Suma Bing berdiri jejer dengan si orang tua jubah hitam tadi, semua mengangkat alis membelalakan mata, wajah serius penuh ketegangan bersiaga menghadapi setiap perobahan. Suma Bing ganda mendengus sekali, tangan diangkat langsung mencengkram kearah peti mati. "Siaucu kau cari mati." Teriak Sing-tong Tongcu (Tong-cu seksi hukum) San Bok-sing. Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Berbareng kedua tangan-nya menjodok kedepan membawa kesiur angin dahsyat me- nerjang kearah Suma Bing. Tangan kiri Suma Bing dikiblatkan, sedang tangan kanan tetap mencengkram kearah peti mati. "Blang" San Bok-sing tertolak undur tiga langkah. Hampir dalam waktu yang bersamaan enam jalur angin keras bersama melanda dari belakang menerjang ke arah punggung Cuma Bing. Betapa tinggipun kepandaian Suma Bing tak mungkin berani memandang enteng gabu-ngan tenaga enam tokoh silat tinggi, terpaksa ia melejit untuk menyingkir, kecepatan gerak tubuhnya ini hampir susah dilihat pandangan mata. Baru saja enam tokoh silat dari Ngo-ouw- pang melancarkan pukulannya lantas mereka kehilangan bayangan musuh, maka cepat2 mereka harus berusaha untuk menarik tenaganya, atau mungkin tenaga pukulan mereka sendiri yang akan membelah peti mati itu. Di sebelah sana Sing-tong Tongcu San Bok-siang sudah memutar tubuh berhadapan lagi dengan Suma Bing. Nafsu membunuh semakin menegangkan. Air muka Suma Bing beringas dan tebal diselubungi hawa membunuh, nada kata2nya dingin laksana es. "Cayhe hanya ingin membuktikan kematian Coh Pin, tiada hasratku untuk mengalirkan darah, kuharap kalian tahu diri." Sorot ma-tanya tajam ber-kilat2 menyapu kearah semua hadirin, bergidiklah semua orang yang dipandang sedemikian rupa. Tahulah mereka bahwa tiada seorangpun hadirin yang bakal mampu melawan kelihayan Suma Bing. Karena apa Suma Bing hendak membuka peti mati dan memeriksa jenazah? permusuhan apa dengan Pangcu mereka semasa masih hidup, semua bertanya2 dalam hati. Akan tetapi betapa besar wibawa nama Pangcu dari Ngo- ouw-pang ini, setelah mati di kandang sendiri pula, peti matinya hendak dibelah orang, bukankah merupakan penghi-naan yang terbesar. Ditengah suara bentakan yang riuh rendah itu, Sing-tong Tongcu San Bok-sing sudah merangsak maju lagi. "Wut" Langsung ia kirim sebuah pukulan mengarah dada Suma Bing. Pukulan ini dilancarkan dengan himpunan seluruh tenaganya, kekuatannya benar2 membuat orang kagum dan mengelus dada. Cepat" Tangan Suma Bing berkelebat. "Blang" Terdengar San Bok-sing berseru tertahan darah segar berhamburan dari mulutnya, tubuhnya terpental mundur menerjang din-ding dan terpental balik lagi. ~ San Bok-sing merupakan to-koh kelas satu, namun hanya satu gebrak saja sudah terluka muntah darah, keruan semua hadirin mengkirik ke-takutan. Namun tidak demikian dengan empat orang tua dan dua laki2 pertengahan umur itu, demi melindungi nama baik perkumpulan, mereka rela berkorban segalanya termasuk jiwa raga sendiri. Maka sambil membentak2 serentak me-reka menubruk maju. Walaupun ruang lajon itu sangat besar tapi karena terlalu banyak orang yang hadir dalam ruang itu, tempat yang tinggal kosong tidak lebih hanya tiga tombak lebarnya, maka begitu berkelebat keenam orang itu sudah menerjang tiba. Suma Bingpun tidak mau unjuk kelemahan, kedua tangan bergerak membuat garis lintang beruntung ia lancarkan tiga kali pukulan menyam-but rangsakan musuh. Dimana angin pukulannya melandai segera terdengarlah keluhan sakit dari mulut2 penjerangnya, keempat orang tua terdesak mundur beberapa langkah, se-dang dua laki2 pertengahan umur itu terpental terbang se-jauh tiga tombak menerjang kearah kawan2nya yang te-ngah menonton. Dan pada saat itulah sebat luar biasa Suma Bing berkelebat tiba didepan peti mati dan tangan sudah diajun, sesaat sebelum tangannya tiba pada sasarannya. "Siaucu, kau terlalu menghina orangl" Dibarangi seruan itu, beberapa jalur desis angin selentikan jari secepat kilat menyerang dirinya. Keruan kejut Suma Bing bukan kepalang, tahu dia bah-wa orang yang turun tangan ini tentu Lwekangnya hebat luar biasa, maka sebat sekali ia menggeser kesarnping lima kaki, dimana pandangan matanya tertuju, seketika ia terte-gun heran, karena orang yang melancarkan serangan selen-tikan jari ini kiranya adalah seorang nenek2 tua yang me-ngenakan pakaian berkabung. Sinar matanya berkilat2 mengandung penuh kebencian benar2 menciutkan nyali orang yang dipandang. "Kau ini yang bernama Suma Bing?" "Tidak salah, harap tanya." "Akulah janda tua Coh Pin, ada dendam dan sakit hati apakah suamiku itu terhadap kau hingga sedemikian tega kau menghadapi kematiannya?" "Coh-hujin," Seru Suma Bing dingin. "Saat ini lebih baik jangan mempersoalkan tentang permusuhan, aku hanya ingin membuktikan kebenaran Kematian suamimu ini?" "Cara bagaimana kau hendak membuktikan?" "Membuka peti mati dan melihat jenasahnya." "Orang benar2 mati masa ada palsu atau tulen?" "Aku yang rendah sudah pernah tertipu sekali" "Tertipu?" "Ya, Tiang-un Suseng membuat sebuah kuburan kosong untuk mengelabui mata hidung orang. Hanya sayang tipu muslihatnya yang llcik itu telah membuka kedoknya." Berobah hebat air muka Coh-hujin, serunya ketakutan". "Jadi kau sudah membongkar kuburan Tiang-un Suseng? "Memang begitulah tujuanku, tapi secara kebetulan su-dah ada orang lain yang turun tangan." "Benar2 kau hendak membuka peti mati ini?" "Maaf aku terpaksa harus berbuat demikian" "Suma Bing, bila kau dapat mengatakan alasanmu, boleh kusilakan kau membuka peti mati ini untuk kau periksa." Otak Suma Bing bekerja cepat, setelah sangsi sekian lamanya akhirnya ia merogoh saku mengeluarkan Mo-hoan dan dipakai dijarinya tengah terus diangsurkan kehadapan orang. "Hujin sudah jelas?" "Mo-hoan!" Seru Coh-hujin ketakutan kontan wajah-nya pucat pasi. Benda khas pertanda milik Sia-sin Kho Djiang itu tiada seorangpun dari kalangan Bu lim tidak mengetahui, andaikata belum pernah lihat juga pernah dengar. Seruan ini benar2 membuat kejut semua hadirin. Siapa akan mengira benda khas pertanda milik Lam-sia itu bisa terdapat ditubuh anak muda berkepandaian tinggi ini, jelas kalau bukan muridnya tentu cucu muridnya, ten-tang mengapa datang hendak menuntut balas kepada Pangcu kecuali Coh-hujin seorang, mungkin tiada seorangpun yang tahu akan latar belakangnya. "Suma Bing, peristiwa dulu itu merupakan salah paham yang berat." "Hujin, itulah kecerobohan, bukan salah paham." "Sekarang susah untuk dijelaskan, apa tujuanmu hanya mau memeriksa jenazah suamiku saja?" Suma Bing mengiakan sambil menggut2. "Suma Bing, baik kuijinkan kau memeriksa, tapi jangan sekali2 kau sentuh jenazahnya!" "Syarat ini dapat kululusi." "Baik, silakan periksa" Wajah Coh-hujin membesi kehijau2an, ia maju men-dekat disamping peti mati kedua tangannya menyanggah di tutup peti terus diangkat keras dan digeser kesamping satu kaki. Serunya sekali lagi. "Lihatlah." Dengan pandangan tajam Suma Bing memandang ke- dalam peti, terlihat olehnya seorang tua yang berwajah ke-ren berwibawa menjulur kaku didalam peti, wajahnya masih sedemikian hidup bagai tidur njenyak saja, segera alisnya dikerutkan dan bertanya. "Sudah berapa hari dia meninggal?" "Tiga hari." "Tiga hari tapi wajahnya masih belum berobah?" Serta merta tubuh Coh-hujin tergetar seperti kesetrom listrik, sahutnya. "Jenazahnya sudah kita lumuri obat anti membusuk." Suma Bing mengiakan dengan sangsi, katanya. "O, be-gitu." "Suma Bing, kau sudah puas?". Dalam hati Suma Bing masih banyak persoalan yang me-nimbulkan kecurigaan. Pertama. Waktu kematian Coh Pin ini secara kebetulan terjadi setelah dirinya mulai menun-tut balas, bukankah sangat meragukan. Kedua. walaupun sudah dimasukan dalam peti mati, air mukanya masih ha-ngat seperti masih hidup. Ketiga; Dengan adanya pengala-man pahit Tiang-un Suseng itu, sukarlah diduga bahwa apa yang dialami hari inipun ada yang harus dicurigai. Namun dia sudah berjanji untuk tidak merusak jenazah, bagi kaum persilatan sangat menghargai ucapan yang harus dipercaya. Kalau tidak hanya dengan sebuah jarinya saja dapatlah ia menghapus rasa curiganya ini. Maka dengan dingin segera ia berkata. "Coh-hujin, begitulah untuk se-mentara." "Sementara, apa maksudmu?" "Kuharap aku takan datang lagi kemari." Wajah tua Coh-hujin berobah2, bahwa ucapan musuh yang penuh mengandung arti itu membuat tubuhnya bergidik seram. Habis berkata dengan langkah lebar dan membusung da-da Suma Bing berjalan pergi. Perjalanan ke Ngo-ouw-pang kali ini boleh dikatakan menemui kegagalan lagi. Para durjana yang mengerojok dan menganiaja gurunya dulu itu masih ada Lo-san-siang-kiam, Leng Hun-seng Ciangbun dari Ceng-seng-pay dan Goan Hi Hwesio dari Siau-lim. Setelah me-nimang2 dalam hati, Suma Bing memutar ha-luan meruju kearah Ceng-seng-san. Hari itu matahari mulai doyong kebarat. baru saja Suma Bing menangsel perut dan melanjutkan perjalanan belum beberapa li jauhnya, tiba2 terlihat olehnya sebuah bayangan manusia berkelebat seperti kecepatan elang terbang, bayangan itu melesat memasuki sebuah biara bobrok, diketiak bayangan itu agaknya mengempit seorang wanita. Karena heran dan ingin tahu segera Suma Bingpun menyusul kearah biara bobrok itu. Ditengah ruang sembayang yang tidak keruan keadaannya, terlihat olehnya seorang ga-dis cantik bagai bidadari terlentang rebah diatas tanah, kedua matanya dipejamkan. Disampingnya berdiri seorang pemuda yang berpakaian sastrawan lemah berusia 20-an, wajahnya dingin membeku, kedua matanya tengah menatap wajah sigadis tanpa berkedip. Baru saja Suma Bing melangkah kedalam biara, sipemuda sudah mengetahui, tanpa berpaling ia berseru tanya. "Siapa itu?" "Orang lewat," "Pergi keluar!" "Hm," Suma Bing sudah berkelebat tiba didalam ruang sembahyang itu, waktu ia pentang matanya tanpa merasa bergolaklah hawa amarahnya. Sebab gadis yang rebah diatas tanah itu bukan lain adalah Siang Siau-hun- Meskipun tiada sesuatu hubungan dengan Siang Siau-hun, hitung2 mereka sudah pernah bertemu satu kali. Pemuda berpakaian sastrawan itu perlahan2 memutar tu-buh, melihat orang yang datang ini kiranya adalah seorang pemuda cakap ganteng bertubuh kekar, diapun tertegun heran, suaranya dingin sambil menyeriangi. "Siaucu, ku-suruh kau pergi dengar tidak?" Sinar mata tajam dingin Suma Bing menatap garang, mendengus ejek sekali lalu menjawab. "Kau tidak berhak berkata demikian." "Ada tiada harganya segera kau akan tahu." "Siang hari bolong yang terang benderang ini kau hen-dak mengapakan gadis ini? "Kau tak berharga bertanya" "Aku sudah pasti harus tahu." "Hahahaha, Siaucu. kalau begitu, kau sudah pasti mati," Sambil berkata dari kejauhan itu sebuah tangannya disodokkan mengirim serangan. Serta merta Suma Bing juga mengangkat sebelah ta-ngan untuk menyambut pukulan musuh Mendadak terasa olehnya tenaga pukulan lawan sedemikian ringan melayang mengandung hawa dingin laksana es, sedikitpun pukulan dirinya itu belum mampu mendesak balik serangan lawan malah terasa hawa dingin bagai es itu menembus masuk kedalam tubuhnya sampai2 kesendi2 tulangnya, seketika se-luruh tubuh terasa dingin bagai berada didalam gua gunung salju. Sungguh kejutnya bukan alang kepalang, cepat2 ia kerahkan Kiu-yang.sin-kang untuk bertahan, sejalur hawa hangat timbul dan melebar keseluruh tubuh dari pusarnya, kekuatan hawa dingin itu segera lenyap seluruhnya Agaknya pemuda pelajar itu juga tercengang- bahwa Hawanya sedikitpun tiada menunjukkan reaksi pukulannya itu, dengan wajah penuh penasaran segera ia berseru lagi. "Siaucu, cobalah sambut ini lagi" berbareng dengar ucapannya ini kedua tangan sudah bergantian dikiblatkan kedepan, gelombang angin dingin segera bergulung mener- jang kearah Suma Bing. Tanpa ayal Suma Bing kerahkan kekuatan Kiu-yang-sin- kang, dimana kedua tangan ditarik lalu disodokkan kedepan, gelombang panas bagai gugur gunung melandai keluar. Sungguh ajaib begitu gelombang dingin saling bentur dengan gelombang panas kontan mengeluarkan suara "ces" Nyaring sedikit tergelar kedua gelombang pukulan itu sirna menghilang tanpa bekas. "Kiu-yang-sin-kang!" Tanpa merasa sipemuda pelajar berseru kejut ketakutan. Melihat lawan sekali gebrak lantas mengetahui asal-usui ilmu saktinya, diam2 Suma Bing terkejut juga, sahutnya dingin. "Tidak salah, luas juga pandanganmu." "Siaucu, jadi kau inilah, murid Lam-sia?" Pada saat itulah perlahan2 Siang Siau-hun membuka ke-dua matanya. setelah tertegun segera ia berseru marah. "Dia.dialah Tangbun Yu, putra Racun utara" Melonjak kaget hati Suma Bing, batinnya. "Kiranya pemuda ini adalah putra Racun utara, tak heran Siang Siau-hun telah menemukannya. Racun tanpa bayangan yang membunuh Siang Siau-moay dan Li Bun-siang pastilah." Karena pikirannya ini wajahnya berobah bengis membesi, sambil tertawa dingin ia berkata. "Tangbun Yu, Tuhan sudah mengatur segalanya, aku tengah mencarimu." Tangan Yu melengak, tanyanya. "Bocah seperti kau ini mencari aku?" "Benar, bukan saja mencari kau, malah hendak kubu-nuh kau." "Mulut yang takabur, sebutkanlah namamu dulu "" "Suma Bing.". "Ada urusan apa kau mencari tuanmu." "Belum lama berselang, yang menggunakan Racun tanpa bayangan membunuh adik nona Siang ini dan seorang pe-muda bernama Li Bun-siang apakah itu buah karyamu?" "Kalau benar bagaimana? Kalau bukan kau mau apa?" Suma Bing maju satu langkah, suaranya mendesis hambar. "Kalau benar perbuatanmu, jangan harap kau dapat tinggal pergi dengan masih hidup." "Mengandal kau ini?" "Tiada halangannya kau mencoba2-" sebuah tangannya meluncur dengan sebuah serangan hebat kearah Tang-bun Yu, bukan saja cepat serangan inipun sangat aneh, sasaran yang diarah berbeda pada permainan silat umumnya. Sebagai murid Racun utara sudah tentu kepandaian Tangbun Yu juga tidak lemah, ringan sekali tubuhnya meng-geser kesamping menghindarkan pukulan dahsyat ini, berba-reng iapun kirim sebuah hantaman balas menjerang, serangannya inipun tidak kalah aneh dan kejinya dibanding pu-kulan musuh. Segera Suma Bing angkat tangan untuk menangkis "Biang" Kedua belah pihak mundur satu langkah. Dalam gebrak permulaan ini menunjukkan bahwa ke-pandaian dan tenaga dalam kedua pihak sama kuat alias berimbang. Tangbun Yu perdengarkan suara tawa dingin, katanya. "Suma Bing. dalam dunia persilatan orang membanggakan bagaimana lihay dan ampuh Kiu-yang-sin-kang dari Lam-sia. Biar harini tuan mudamu menjajal sampai dimana kau bocah ini telah belajar ilmu yang diagul2kan itu." Tidak kurang garangnya Suma Bingpun balas menjemprot. "Bagus Sekali, aku juga ingin berkenalan sampai dimana kejam dan keji Hian-in-kang dari Racun utara". Setelah itu mereka masing2 mundur tiga langkah lalu ber-bareng mengangkat kedua tangan. Maka dilain kejap meng-gunturlah benturan dua tenaga dahsyat yang saling beradu debu berhamburan atap rumahpun tergetar. Kiranya Tang-bun Yu dan Suma Bing kerahkan duabelas bagian tenaga masing2 untuk mengadu pukulan ini. Kalau Suma Bing ma-sih dapat berdiri tegak ditempatnya, tidak demikian dengan Tangbun Yu ia terhujung mundur dua langkah. Kiu- yang-sin-kang termasuk pukulan positip sebaliknya Hiau-in- kang termasuk pukulan negatif. Perbedaan tenaga dalam kedua belah pihak berselisih tidak terlalu besar. Su-ma Bing cuma lebih unggul seurat, begitu saling bentur getaran tenaga pukulan itupun tidak terlalu berat, kalau sebaliknya mungkin rumah biara itu sudah runtuh berham-buran. Sejak tadi Suma Bing sudah bermaksud untuk membu-nuh lawannya, akan dibuatnya supaya bocah keji berbisa ini tak dapat pergi dengan jiwa masih hidup. Sambil mengge-ram keras secepat kilat ia menubruk maju lagi kedua tanganny berputar membuat lingkaran dengan jurus Liu-kim-hoat-ciok (emas murni berobah batu) ia turunkan ta-ngan kejinya. Jurus Liu-kim-hoat-ciok ini merupakan daya cipta Lam-sia yang telah menguras seluruh tenaga pikirannya selama ber- tahun2- meskipun hanya satu jurus, tapi perbawa pero- bahannya tak terhitung banyaknya, waktu melancarkan se-rangan ini harus mengandal kemurnian Kiu-yang-sin-kang sebagai landasan atau pendorong yang utama- Untuk masa itu tokoh2 silat dikalangan Kangouw yang mampu bertahan dari serangan jurus Liu-kim-hoat-ciok ciptaan Lam-sla ini mungkin dapat dihitung dengan jari. Walaupun tenaga dalam Suma Bing belum dapat menandingi gurunya, tapi be-gitu jurus ampuh ini dilancarkan, betapa dahsyat kekuatannya kiranya cukup juga menggetarkan dunia persilatan. Arwah Tangbun Yu seakan terbang meninggalkan badan melihat kehebatan pukulan musuh, cepat2 ia lancarkan tipu Te-tong-thian-han (bumi membeku udara dingin) untuk menjaga diri melindungi tubuh. Memang jurus Te-tong-thian-han ini diciptakan praktis untuk menjaga diri. Lagipula ciptaan Pak-tok ini memang khusus untuk menghadapi jurus serangan Liu-kim-hoat-ciok dari Lam-sia itu. Jurus Te-tong-thian-han ini selesai dan sempurna diciptakan setelah 20 tahun akhir2 ini, bahwasa-nya belum pernah saling diadu secara berhadapan. Bahwa Tangbun Yu menggunakan jurus itu tidak lebih hanya ber-harap dapat melindungi jiwanya. disamping itu karena te-naga dalamnya memang kalah setengah urat dibanding la-wan. Apalagi Kiu-yang-sin-kang justru merupakan ilmu sakti satu2nya yang dapat melumpuhkan Hian-in-kangnya itu. Sambil berteriak kesakitan yang sangat mulut Tangbun Yu menyembur darah segar bagai anak panah, tubuhpun tergoyang gontai hampir roboh. Suma Bing sendiripun merasa kaget, bahwa jurus ciptaan gurunya ini baru pertama kali ini dilancarkan ternyata keampuhannya begitu dahsyat diluar dugaannya. Air muka Tangbun Yu yang memang sudah pucat dan membesi itu kini semakin jelek membeku bagai wajah setan, serunya sambil mengertak gigi. "Suma Bing, kau dengar, tubuhmu sekarang sudah terkena racun yang jahat, diseluruh kolong langit ini mungkin tiada seorangpun yang bisa mengobati." Suma Bing bergidik dia menjedot hawa dingin, sungguh dia tidak habis mengerti kapan lawannya telah menjebarkan racunnya. Disamping sana Siang Siau-hun juga berseru kejut, na-mun suaranya lirih lemah. Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sekilas Tangbun Yu melirik kearah Siang Siau-hun dengan sorot mata penuh kebuasan lalu berkata kepada Suma Bing. "Kau masih dapat hidup selama seratus hari, jangka seratus hari ini cukup untuk kau menyelidiki siapakah yang menyebar bisa racun tanpa bayangan itu- Sudah jelas bukan, itu berarti bahwa keluarga Tangbun kita tiada pernah mengguna-kan Racun tanpa bayangan itu." Hal ini benar2 diluar sangkaan Suma Bing, serunya ka-get. "Jadi bukan kau yang membunuh Siang Siau-moay dan Li Bun- Siang?" "Omonganku cukup sampai disini saja." Tangbun Yu, berilah penjelasan mengapa kau bawa nona Siang Siau-hun kemari?" "Begitu bertemu dia terus menjerang dengan kalap, maka terpaksa Siauya meringkusnya dan tujuanku membawanya kemari, pertama untuk memberi penjelasan, kedua untuk mengobati lukanya itu." "Hm, gagah benar ucapanmu itu." "Suma Bing, kau jangan mengukur orang dari pandangan sela2 pintu, orang lain akan gepeng dalam pandanganmu. Aku Tangbun Yu bukan bangsa bejat yang suka berlaku tidak senonoh. Dia terluka oleh Hian-in-kangku, Kiu-yang-sin- kangmu itu cukup untuk menolongnya. Tapi kau jangan lupa, nyawamu hanya hidup untuk seratus hari saja." "Tangbun Yu," Teriak Siang Siau-hun mendelik. "Hatimu sungguh kejam, kau tidak.!" Tangbun Yu ganda menyeringai seram ujarnya. "Memang sudah merupakan tradisi keluarga Tangbun selamanya menggunakan racun, kaum wanita lemah takkan mengarti dun paham. Kuberitanu kau, dalam dan luar seluruh tubuhnya sudah terkena racun, namun terhadap kau aku tidak meng-gunakan racun, sebab kau sendiri belum ada harganya." Saking gusar dan gugup, Siang Siau-hun muntahkan darah segar dan jatuh pingsan lagi. Air muka Suma Bing mengelam penuh diselubungi hawa membunuh dengan geram dan murka sekali dia mengancam. "Binatang jahat, kau masih mengharap dapat pergi?" Sambil mengusap darah di ujung mulutnya Tangbun Yu mengekeh tawa panjang lalu serunya dingin. "Siaucu, coba kau kerahkan tenaga dalammu?" Mendengar itu berdirilah bulu roma Suma Bing, dicobalah menjedot hawa dan mengerahkan tenaga, benar juga hawa murninya tidak dapat tersalur keluar dari pusarnya, seketika dingin membeku seluruh tubuhnya diam2 ia mengeluh dalam hati- "Siaucu, bagaimana, aku tidak bohong bukan?" Seru Tangbun Yu puas sekali. "Binatang jahat, cara turun tanganmu ini rendah hina dina." "Tutup mulutmu. Dalam dunia persilatan masa ini, yang berharga sampai Pak-tok ayah beranak terpaksa menggu-nakan racunnya hanya beberapa gelintir manusia saja, kau Siaucu ini harus merasa bangga akan hai ini" "Binatang jahat, akan kubeset dan kucacah hancur tu-buhmu itu." "Sedikitnya sekarang kau tidak mampu" "Tunggulah saatnya akan tiba." "Akan tetapi kau sudah terkena bisa "Pek-jit-kul" (seratus hari pulang), kalau kau hendak membunuh aku, harus kau lakukan dalam jangka seratus hari itu, kalau sudah lewat seratus hari, kau akan menyesal dan mungkin penasaran menghadap Giam-lo-ong." Gugup dan gusar merangsang benak Suma Bing hingga keringat dingin membasahi seluruh tubuh. Selanjutnya Tangbun Yu berkata lagi. "Siaucu, dalam jangka seratus hari ini, carilah sampai ketemu manusia yang, menjebar Racun tanpa bayangan itu, tentang tenaga dalam-mu setengah peminuman teh lagi bisa pulih sendiri seperti sediakala. Maaf tidak kuucapkan lagi selamat bertemu ke-pada kau". ~ Habis berkata tubuhnya melejlt terbang keluar biara. Tinggal Suma Bing masih terlongong2 ditempatnya, sekian lama dia tak kuasa mengeluarkan suara. Dendam per-guruan belum terbalas, musuh2 keluargapun belum ditumpas Musuh2 keluarga yang ikut membunuh ayah-bundanya selaut Tang-mo yang telah merebut pedang berdarah itu, yang lain tiada seorangpun yang diketahui. Nyawanya tinggal hidup seratus hari. Dalam jangka Seratus hari apa yang dapat diperbuatnya? Suhunya berpesan supaja dirinya mendapatkan Pedang berdarah dan Bunga iblis untuk melatih kepandaian tiada taranya didunia, supaya Tiraik asih Websi tehttp.// kangz usi.co m/ membersihkan nama perguruan, harapan besar ini agaknya akan terkatung2 sepanjang masa. Tidak lama kemudian benar juga hawa murninya sudah berjalan lancar kembali. Hatinya benci benar terhadap Tangbun Yu, namun demikian mau tak mau ia memudar juga cara binatang kecll itu menggunakan racun serta kecerdikannya. Tadi kalau Tangbun Yu tidak membuat Suma Bing kehilangan tenaga untuk sementara waktu, pas-ti dia sukar meloloskan diri. Kenyataan bahwa penyebar racun tanpa bayangan kiranya bukan perbuatan Pak-tok ayah beranak, ini benar2 diluar sangkanya, menurut nada ucapan bocah berbisa tad; seakan bukan saja mereka ayah beranak tidak mungkin menggu-nakan, malah rasanya belum kenal akan Racun tanpa bayangan itu. Dikolong langit ini masa ada manusia lain yang pandai menggunakan bisa melampaui Racun-utara?" 8. SI MALI NG BINT ANG MEM BUK A TABI R RAH ASIA . Dalam pikiran tengah melayang2 itu, akhirnya sorot matanya menatap ketubuh Siang Siau-hun yang terlentang pingsan ditanah. Tampak kedua matanya yang bundar itu tertutup rapat wajahnya pucat ke-hijau2an kaki tangannya mulai berkelejetan. Sejenak ia berkerut alis, lalu menghampiri dan berjongkok disampingnya, membalikkan tubuhnya hingga tengkurap lalu diulurkan tangannya tepat menempel di jalan darah Bing-bun-hiat, Kiu-yang-sin-kang mulai disalurkan. Untuk pengobatan memang Kiu-yang-sin-kang sangat mujarab seumpama dapat menghidupkan orang mati- Akan tetapi orang yang mengobati sendiri pasti banyak kehilangan tenaga, selama lima tahun tak mungkin dia bisa berkelahi dengan orang lain. Justru sekarang Siang Siau-hun terluka oleh hawa dingin Hian-inkang. Kiu-yang-sin-kang merupakan satu2nya lawan pemunah dan adanya teori berlawanan antara panas dingin ini, Suma Bing tidak perlu lagi menge-rahkan tenaganya sedemikian besar, untuk menolong jiwa Siang Siau- liun, boleh dikata hanya sekali jamah saja su-dahlah cukup! Air muka Siang Siau-hun berobah kuning lalu lama kelamaan bersemu merah, napasnyapun mulai lancar dan ter-atur. Setengah jam kemudian, mulut kecil Siang Siau-hun mengeluh lirih terus siuman kembali- Per-lahan2 Suma Bing- pun menarik tangannya. Bergegas Siang Siau-hun membalik tubuh dan duduk diatas tanah, dengan rasa benci yang me-nyala2 ia bertanya. "Mana bocah berbisa itu?" "Sudah pergi." "Suma-siangkong." "Ada urusan apa?" "Kau. untuk aku, kau terkena racun Pek-jit-kui, kau.kau hanya dapat hidup seratus hari lagi." Suma Bing tertawa pahit, sahutnya.. , Nona tidak perlu kuatir akan hal itu." Suma Siangkong, kalau kau berkata begitu, matipun aku tidak tentram." "Nona Siang, selamat bertemu, selama hajat masih dikandung badan pasti aku akan melaksanakan janjiku itu, untuk menemukan sipenyebar Racun tanpa bayangan itu. Ta-pi dapat atau tidak terlaksana, susahlah dikatakan." "Tidak, kau tidak boleh pergi" "Aku, tidak boleh pergi, mengapa?" Sahut Siang Siau-hun penuh perasaan haru. "Aku akan selalu mengiringi kau selama seratus hari ini- Dalam jangka seratus harini kita mencari tabib ternama untuk memunah-kan racun yang mengeram dalam tubuhmu." Suma Bing tertawa kecut, ujarnya. "Apa kau tidak de-ngar Tangbun Yu mengatakan bahwa racunnya itu tiada seorangpun yang mampu memunahkan?" "Tapi aku ingin bersama kau dalam seratus harini." "Mengapa? " Merah jengah selebar wajah Siang Siau-hun. achirnya sahutnya tegas. "Sebab aku cinta padamu, aku ingin ber-samamu sampai akhir hidupmu." Ucapan ini benar2 diluar dugaan Suma Bing, sekian lama ia tertegun lantas katanya. ,-Nona Siang, tapi aku tidak mempunyai maksud demikian." Berobah wajah Siang Siau-hun, airmata meleleh semakin deras hingga kedua matanya merah, katanya gemetar. "Ya. memang kau takkan mencintai aku, tapi, aku cinta kau bukankah beres." "Bukankah tujuan nona hanya untuk menghibur hidupku yang takkan lama lagi ini?" Siang Siau-hun menggigit bibir, sahutnya. "Aku tidak menyangkal ada sebab itu, tapi sejak pertama kali aku meli-hatmu, aku. aku sudah tertarik olehmu" Tersirap darah Suma Bing. "Suma Siangkong ijinkanlah aku memanggilmu Bing-ko. dalam, seratus harini, segala milikku kupersembahkan kepa-damu. Tapi, aku harap kau jangan lantas anggap aku se-bagai wanita rendah yang tak bermartabat, seratus hari kemudian. Aku akan bunuh diri." airmata meleleh membasahi kedua pipinya-Suma Bing terperanjat hingga mundur satu langkah, serunya tergetar. "Nona Siang, selamanya Suma Bing akan berterima kasih akan rasa cintamu, tapi aku tidak dapat menerima cara perbuatanmu itu." "Bing-ko, seumpama kau bosan dan membenciku. Tapi hatiku sudah mantap tak mungkin dirobah lagi. "Apa cukup berharga aku Suma Bing untuk kau berbuat demikian?" "Cukup dan malah berkelebihan-" "Kau salah, aku tidak sudi terima segala pengorbanan kasih orang," "Pengorbanan kasih, apa maksudmu?" "Kau anggap aku keracunan karena kau, hatimu menyesal. lantas kau berbuat seperti apa yang kau katakan untuk menambal sanubarimu yang tidak tentram itu!" "Tidak peduli bagaimana anggapanmu, aku cinta padamu, dari sejak sekarang ini, aku tidak akan berpisah setapakpun dengan kau." Akhirnya tergerak juga hati kecil Suma Bing atas ke-teguhan dan kesetiaan orang, tapi lantas terpikir juga oleh- nya. mengapa aku menggunakan tubuh yang hampir mati ini, membawa atau memendam kebahagiaan seumur hidup seorang gadis- Karena pikirannya ini segera ia merobah sikap, wajahnya kaku membesi ujarnya dingin. "Nona Siang, kebaikanmu itu kusimpan dalam lubuk hati. banyak urusan penting yang harus kuselesaikan dalam jangka wak-tu seratus harini, maaf aku tidak dapat melajani kau terlalu lama." habis berkata ia memutar tubuh dan baru saja hendak tinggal pergi. Mendadak Siang Siau-hun mengeluh panjang serunya "Bing-ko, kau tetap tidak mau melulusi, baiklah biar Siau-moay pergi lebih dulu." Tergetar hati Suma Bing mendengar seruannya itu, secepat kilat ia memutar balik, terlihat Siang Siau-hun sudah angkat sebelah tangannya hendak mengepruk batok kepalanya sendiri, dalam gugupnya secepat kilat sebuah jarinya menjentik dari jauh, seketika tangan Siang Siau-hun yang sudah terangkat itu lemas semampai. Sungguh diluar dugaan bahwa Siang Siau-hun bisa mengambil jalan pendek, sa-king kejut keringat dingin membasahi seluruh tubuh. "Nona Siang, kau.mengapa kau berbuat begitu?" "Bing-ko." Seru Siang Siau-hun sambil berlari me-nubruk kedaiam pelukan Suma Bing dan pecahlah tangisnya tergerung2. Selama hidup ini kapan Suma Bing pernah menghadapi adegan yang mendebarkan ini, kontan merah jengah seluruh wajahnya, jantung berdetak keras, kaki tanganpun lemas gemetar, entah apa yang harus diperbuatnya menjurungnya atau memeluknya. Bau wangi khas seorang perawan merangsang hidungnya, dua tubuh hangat bersentuhan menimbulkan suatu perasaan mesra mengalir keseluruh tubuh. Karena tangisnya yang penuh perasaan hingga badannya tergetar naik turun, Suma Bing merasakan dada sinona yang padat dan lunak menempel diatas tubuhnya, membuat pikirannya melayang se-perti di awang-awang. Lengan Suma Bing yang kokoh kuat akhirnya melingkar memeluk tubuh yang montok dan langsing menggiurkan, Akhirnya terangkap juga hati sepasang muda-mudi ini setelah mengalami segala lika-liku aral lintang. Tapi tidak dapat disangkal bahwa rangkapan jodoh mereka ini penuh mengandung sifat duka. "Bing-ko, kalau kau.aku dapat melulusi segala permintaanmu." Suaranya penuh buaian mesra mengandung daya tarik yang tiada batasnya. Semangat Suma Bing terombang-ambing, namun pikiran-nya masih sadar, bagaimana boleh begitu saja ia mengor-bankan jiwa seorang gadis demi menghibur jiwa hidupnya yang sudah tak lama lagi. Maka perlahan2 ia lepaskan pelukannya. Wajah Siang Siau-hun masih bersemu merah, kedua matanya penuh mengembeng air mata, katanya sam-bil sesenggukkan. "Bing-ko, untuk aku, kau mengorbankan jiwamu." "Tapi sekarang aku masih belum mati?" "Memang belum, tapi seratus hari, betapa pendek jangka itu, aku.apa yang dapat kuberikan kepadamu?" "Adik Hwi, hal itu terjadi diluar dugaan, sedikitpun aku tidak bermaksud mengorbankan jiwaku untuk kau, maka kaupun tidak perlu menaruh dalam hati, hidup memang menyenangkan, bagi seorang laki2 sejati matipun tidak perlu dibuat sedih, hanya.ai!" "Bing-ko, bagaimana kau bisa menghapus kenyataan hakikatnya kau telah memberikan pengorbanan yang tiada taranya karena aku." Meskipun Suma Bing seorang laki2 yang Keras hati, akhir-nya toh dia mengeluh juga akan nasibnya itu, dendam per-guruan dan musuh keluarga bagai dua pisau tajam me-lintang didalam benaknya. Seratus hari, apa yang dapat di-perbuatnya? Apa ada muka ia menemui gurunya yang ber-budi dan ayah bundanya dialam baka? "Aku tidak boleh mati?" Keluhannya ini seakan memperotes akan nasib yang sudah menentukan jalan hidupnya. Siang Siau-hun merasa hatinya bagai di-iris2, namun mulutnya kehabisan kata2 untuk membujuk dan menghibur- nya, jikalau itu mungkin terjadi, besar harapannya ia rela menggantikan kematiannya itu, namun itu tak mungkin terlaksana. "Bing-ko, sampai keujung langitpun kita harus mencari obat pemunah itu." Suma Bing membisu sambil goyang kepala, lalu katanya. "Adik Hun, itu tidak mungkin, walaupun jangka seratus hari ada batasnya, aku ada banyak urusan yang harus ku selesaikan, aku tidak boleh menghamburkan waktu sedetik pun. Mungkin semua itu tidak bisa terlaksana, namun seta-pak demi setapak akan kucapai dengan sekuat tenagaku, setelah mati baru hatiku merasa tentram." "Bing-ko!" Siang Siau-hun mengeluh pendek, suaranya mengandung penjesalan, cemas, menghibur dan putus ha-rapan. Nafsu membunuh segera merangsang dalam benak Suma Bing, achirnya diambilnya ketetapan teguh. "Adik Hun, dimanakah tempat tinggal Racun utara ayah beranak?" "Di lembah racun di belakang puncak ketujuh gunung Eu- san, ada apakah kau. "Terlebih dahulu hendak kubunuh Racun Utara ayah ber-anak, baru menjelesaikan urusan yang lain." Saking kaget Siang Siau-hun mundur tiga langkah, mata- nya membelalak tanpa bicara. Pada saat itulah, sebuah suara serak terdengar berkata. "Bujung, mendengar nama Racun utara ayah beranak saja kaum persilatan sudah lari menyingkir, sungguh takabur ucapanmu itu." Berobah kaget wajah Suma Bing dan Siang Siau-hun, sungguh diluar tahu mereka bahwa dalam biara bobrok itu kiranya masih ada orang ketiga yang sembunyi disitu. Segera sinar tajam Suma Bing menatap kearah dari mana suara itu terdengar, serunya. "Orang kosen dari manakah ini, si-lakan keluar untuk bicara." "Hahahaha, Siaucu, darimana kau tahu kalau aku ini seorang kosen?" Ditengah gema suaranya ini, seorang tua beruban yang bertubuh buntak dan pendek, dengan ringan- nya melayang turun dari atas penglari yang penuh kotoran debu, sedemikian enteng bagai asap tubuhnya menginjak tanah tanpa mengeluarkan suara. Tanpa merasa Suma Bing berseru kejut tertahan. Siang Siau-hunpun tidak kalah kaget dan malunya, bahwa orang tua pendek gemuk ini kiranya telah bersembunyi diatas penglari semalaman lamanya, terang segala gerak geriknya tadi tentu telah disaksikan olehnya, bersama itu iapun kagum akan kelihayan ringan tubuh orang. Mulut siorang tua terbuka lebar tertawa besar, katanya. "Siaucu, apa benar kau ini adalah muridnya Kho-losia?" "Bagaimana pendapat tuan?" "Ja, anggap saja benar. Kau tahu siapa Lohu ini?" "To-singtau- gwat Si Ban-can." Dalam pertempuran memperebutkan pedang darah tempo hari, Suma Bing pernah melihat orang muncul memberi peringatan, lalu segera tinggal pergi lagi, maka segera ia bisa menyebutt nama julukan siorang tua. To-sing-tau-gwat Si Ban-cwan manggut manggut. "Tidak malu kau menjadi murid Lam-sia, pengalamanmu boleh juga." "Tadi tuan mengatakan apa?" "O, bukankah barusan kau bermulut besar hendak mem-bunuh Pak-tok ayah beranak?" "Tidak salah, tapi aku tidak takabur." Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Itu berarti kau ingin mempercepat kematianmu," Berobah air muka Suma Bing, sahutnya lantang. "Kukira belum tentu." To-sing-tau-gwat (mencuri bintang merampok rembulan) Si Ban-cwan tertawa hambar katanya. "Siaucu, kepandaian Pak Tiraikasih Websitehttp.//kangzusi.com / tok seumpama Suhumu sendiri juga harus menghadapi sekuat tenaga, kemampuanmu terpaut terlalu jauh, dan lagi dalam lembah beracun itu segala tumbuhan termasuk rumputpun mengandung bisa, apa kau jakin dapat mema-suki lembah itu?" Suma Bing merinding, serunya penuh kebencian. "Kalau aku tidak bunuh Pak-tok ayah beranak, belumlah terlampias rasa penasaran dalam hatiku." "Buyung, mungkin kau menganggap hidup seratus hari itu terlalu panjang?" "Tuan bicaralah sopan dan tahu aturan." "Hihihihi, buyung, ini sudah sangat sungkan. Orang yang tidak masuk dalam pandangan Lohu, malas aku bicara dengan dia. Jangka seratus hari bukan waktu pendek, kau masih bisa menyelesaikan banyak urusan, buat apa kau main berlagak?" "Lo-cianpwe," Tiba2 Siang Siau-hun menjelak. "Racun Pek- jit-kui itu, adakah obat pemunahnya?" "Tentang ini.Kecuali dapat menemukan tertua dari Bu limsip- yu yang bernama Wi-thian-chiu Poh Jiang." Suma Bing merasa sangat terkejut, Bu-lim-sip-yu adalah musuh perguruannya, dia hanya tahu adanya Tiang-un Suseng Poh Jiang, namun belum pernah dengar adanya julukan Wi- thian-chiu (tangan membalik langit). Maka dengan penuh curiga ia bertanya. "Apa diantara Bu-lim-sip-yu itu ada terdapat dua Poh Jiang?" "Tidak, satu saja." "Lalu "Tiang-un Suseng Poh Jiang." "Asal julukannya adalah Wi-thian-chiu, pandai menyamar dan pintar pertabiban, akhirnya entah mengapa dia berganti julukan menjadi Tiang-un Suseng. Kalau kalian dapat menemukan orang ini, mungkin masih ada sedikit harapan." Suma Bing mengiakan, hatinya berpikir. "Su seng adalah salah seorang musuh besar perguruan yang ha-rus dibunuh, kini dia mengumpet dan melarikan diri, sam-pai keujung langitpun pasti kupenggal kepalanya, mana bisa aku minta obat penawar padanya." Sebaliknya Siang Siau-hun berjingkrak kegirangan, seru-nya gemetar. "Bing-ko, singkirkan semua itu dulu, lebih pen-ting kita pergi mencari Tiang-un Suseng?" Tawar2 Suma Bing mengangguk kepala, lantas terpikirkan juga akan wanita seragam hitam yang juga ingin segera menemui Tiang-sun Suseng- Dia pernah berkata bahwa untuk Tiang-un Suseng dia telah rela menderita selama tiga puluh tahun lamanya, meskipun hubungan mereka itu terikat olen rangkaian cinta yang belum diselesaikan. Demikian juga Pek- hoat-sian-nio, dia hendak mencari jejak Tiang-un Suseng, untuk apa hal ini belum jelas. Setelah Pek-hoat-sian-nio mengetahui asal-usul perguruannya lantas dia mencecar menanyakan jejak Suhengnya Loh Cu-gi malah turun tangan keji terhadap dirinya, kalau gadis putih yang bernama Ting Hoan itu tidak membantunya secara diam2 mungkin dia sudah mati beberapa saat lamanya. inipun kenapa? Apa mungkin antara Pek-hoat- sian-nio dengan perguruannya ada permusuhan yang dalam? Pikiran Suma Bing semakin tenggelam, lantas teringat pula akan Suhengnya Loh Cu-gi yang sudah menghianati perguruan, setelah merebut simbol teragung sebagai jago nomor satu diseluruh jagad terus menghilang sejak empat lima tahun yang lalu. entah dimana dia sekarang, diapun salah seorang yang harus dicari dan dibunuh menurut pesan gurunya. Nyata2 simaling bintang Si Ban-cwan menghentikan tawanya katanya. -Siaucu, kalau kau dapat menemukan Tiang-un Suseng tentu kau takkan mati." Katanya tegas. "Aku tentu bisa, akan kucari dia dengan sekuat tenagaku" Dimulut dia berkata begitu tapi maksud hati Suma Bing mengandung arti lain. Siang Siau-hun kegirangan ujarnya tertawa. "Bing-ko, itulah baik, kita harus berpegang pada kesempatan hidup ini." Sudah tentu dia tidak mengetahui arti ucapan Suma Bing yang mempunyai maksud tertentu. Simaling bintang berkata kepada Siang Siau-hun. "Budak kecil, orang yang mati keracunan beberapa waktu yang lalu adalah adikmu? Air muka Siang Siau-hun berobah suram, sahutnya sedih "Ja, itulah adik kandungku Siang Siau-moay dan seorang kawannya bernama Li Bun-siang bersama menjadi korban. "Jadi karena itu kau mencari Bocah beracun itu?" "Benar, menurut hematku Racun tanpa bayangan yang jahat itu selain Pak-tok ayah beranak mungkin." "Sudah tentu hal ini tidak bisa menyalahkan kau. Racun tanpa bayangan konon adalah semacam bisa paling jahat, mungkin Racun-utara sendiripun kewalahan menghadapinya, adikmu itu adalah korban yang penasaran." "Apa Lo-cianpwe mengetahui hal ihwal peristiwa itu." Tanya Siau-hun terkejut. "Tidak banyak, kutahu kulitnya saja." "Harap Lo-cianpwe suka memeriahkan teka-teki ini?" Sejenak simaling bintang berpikir, lalu katanya. "Cerita ini harus dimulai dari pedang darah itu." Tergugah semangat Suma Bing mendengar Pedang darah disinggung lagi, sebab Pedang darah semestinya menjadi hak milik ayahnya Suma Hong, karena pedang darah itu pula maka ayah bundanya menemui ajal, untung dia sendiri dapat lolos dari kematian, maka Pedang darah itupun harus dike-jar kembali. Dan hutang darah yang timbulkan pedang da-rah itu juga harus ditagih. Disamping itu, sebelum meninggal Suhunya Lam-sia pernah berpesan supaja dirinya merebut Pedang darah dan Bunga iblis supaja dapat melatih kepandaian mujijad yang tiada taranya untuk membersih-kan nama perguruan, sebab Suhengnya Loh Cu-gi yang ber- chianat itu telah mencuri sebutir Kiu-coan-hoan-yang-cau-ko, Lwekangnya sudah lebih tinggi dari gurunya sendiri. Ini boleh dikata sebagai harapan Sia-sin Kho Jiang sebelum mati, dan Suma Bing sendiri besar hasratnya untuk melaksa-nakan harapan itu. Siang Siau-hun menyambung mulut. "Apa barang yang dititipkan kepada kita bertiga itu benar2 adalah Hiat-kiam itu?" Si maling bintang Si Ban-cwan membalik mata, sahutnya. "Jangan kau menyelak, dengarkan ceritaku ini; Lima belas tahun yang lalu Hiat-kiam pernah muncul sekali dan terjadilah penjembelihan besar2an, pemiliknya Su-hay-yu-hia.p Suma Hong suami-istri dan anaknya yang berusia kira2 tiga tahun mati mengenaskan, konon Hiat-kiam itu achirnya terebut oleh Tang-Mo (iblis timur)." Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo Pedang Karat Pena Beraksara Karya Tjan ID Pendekar Bunga Karya Chin Yung