Pedang Kayu Cendana 2
Pedang Kayu Cendana Karya Gan KH Bagian 2
Pedang Kayu Cendana Karya dari Gan K H Karuan keempat pengeroyoknya sama2 menjerit kaget, karena terbawa sejurus gerakan pedang cendana yang dilancarkan Pakkiong Bing ini sekaligus telah mendesak mundur mereka, sehingga dipaksa beralih tiga-empat batang bambu. Tangkas sekali gerakan Pakkiong Bing se jurus memperoleh peluang, segera dia mendesak lebih gencar, pedang cendana ditangannya berubah laksana damparan2 badai, jurui Tam sing-poat-te (merogoh rembulan mengeduk bumi) ini memang merupakan tipu terlihai dari permainan pedang cendana, celaka adalah Im-boankoan yang berada tepat didepannya, tanpi ampun dia tergulung oleh damparan dahsyat itu sehingga tertolak sempoyongan. Untung ketangkasannya masih menolong jiwanya, dalam seribu kerepotan, kakinya masih sempat menutul ujung bambu, tapi sebelum dia sempat berbuat lebih banyak. bayangan gelap laksana segumpal mega mendung tahu-tahu sudah menungkrup kepalanya. Ti Bun tahu, inilah jurus Nge-coat-sek dari ilmu pedang cendana Pakkiong Bing yang lihay sehingga dia dianugerahi jago nomor satu diutara sungai besar. Padahal kakinya belum kokoh menginjak bambu, bayangan pedang tinggal satu kaki di atas kepala, tahu bahwa elmaut sudah hampir merenggut jiwanya, mukanya yaag memang hitam gelap seperti pantat kuali itu menunjukkan mimik yang aneh dan sukar dilukiskan, sorot matanya memancarkan bayangan kematian yang sangat mengerikan- Dalam sekejap ini, se-olah2 dari mimik wajah yang aneh serta sorot matanya yang mengandung ketakutan dan kejut itu, se-olah2 membayangkan perasaan ruwet yang sukar dijelaskan, mungkin malah secercah sinar penyesalan akan kejahatan yang pernah dilakukannya selama hidup, Dalam waktu yang sama lolongan kalap yang keras disertai selarik sinar putih menyambar tiba, itulah Boan-koan-pit putih mengkilap datangan Ti Bu yang menutuk ke Ling-tay hiat dipunggung Pakkiong Bing. Mati hidup seseorang, seringkali ditentukan pada daya pikirannya yang sekejap itu. tetapi ada kalanya juga ditentukan oleh sekali pikiran orang lain- Demikianlah akan jiwa Ti Bun. kalau Pakkiong Bing sekarang sedang bertempur dalam keadaan biasa, kemungkinan dia akan menarik diri menyelamatkan jiwa sendiri lebih dulu, maka jiwa Ti Bun yang sudah berada dijurang kematian, akan ditarik balik oleh sergapan Ti Bu yang kalap itu. Akan tetapi Pakkiong Bing sudah nekat dan memperteguh keyakinan bahwa pertempuran harus cepat diselesaikan, dan ini mempercepat proses kematian Ti Bun pula ditempat ini. Sudah tentu, meski Pakkiong Bing sudah nekad untuk adu jiwa, betapapun dia tidak akan meremehkan jiwa raga sendiri untuk bertaruh satu lawan satu jiwa raganya, maka sambil kertak gigi, pedang ditangannya tetap bergerak tidak berobah, tubuhnya mendadak mendekam kedepan, miring meluputkan diri dari tusukan dari belakang.Jadi di dalam usahanya merobohkan musuh, diapun berusaha menyelamatkan diri sendiri secara untung2an- Jeritan mengerikan lebih keras dari suara robekan baju, badan Ti Bun telah terbelah jadi dua oleh pedang cendana Pakkiong Bing, tubuhnya terpental ke-dua arah dan tertusuk bambu runcing, sementara punggung Pakkiong Bing juga tergores luka sepanjang empat dim dari pundak kiri menurun kebawah, darah segar segera meleleh keluar membasahi badannya. Tubuhnya agak limbung dan tersuruk dua langkah kedepan baru menguasai diri pula, wajahnya tetap kereng dan membeku dingin, secercah senyuman menghias bibirnya, didamping mengejek tercampur puas dan bangga. Dia tahu, bila orang lain bertempur dalam cara seperti yang dialaminya tadi, pasti dua jiwa akan berkorban dalam waktu yang sama. Sisa tiga orang yang masih hidup terbeliak kaget menyaksikan kenekatan Pakkiong Bing, namun lekas sekali dendam membara menghantui sanubari mereka, mereka disentak sadar akan tekad bersama untuk mencincang musuh yang satu ini, terutama Lao Hin-bu dan Ti Bu yang masing2 telah kematian seorang saudaranya, bola mata mereka sudah merah membara sebuas serigala yang haus darah. Kalau ketiga lawan itu sudah dirasuk setan gila, mereka menyerang dan melabrak dengan ganas, diantara gegap gumpitanya hardik dan caci maki mereka bertiga, diseling tawa dingin yang mengejek. deru angin pukulan dan samberan senjata tajam simpang slur, sehingga berpadu menjadikan kisaran angin lesus yang mendampar kencang, sehingga pohon-pobon bambu diluar arena terkuak seperti keterjang badai, dalam arena tiga tombak, pohon dan rumput menjadi gundul, empat bayangan tetap berlompatan selincah kecapung dipucuk bambu2 runcing, adu otot, bertanding senjata berlaga dengan sengit. Walau Pakkiong Bing berhasil mengurangi kekuatan pihak lawan, tetapi luka dibelakang pundaknya juga tidak enteng meski tidak terlalu fatal baginya, namun situasi tidak lebih baik baginya, apa lagi dia harus menahan rasa sakit luka dipunggung dantak mampu mencegah merembesnya darah, maka dia tetap nekat melabrak ketiga musuhnya. Dua ekor serigala yang menggila dan seekor rase yang licin dan buas, mengeroyok seekor harimau yang sudah terluka, lalu siapa bakal gugur di medan laga ? Hiat-ciang Tou Pit-lip tertawa dingin, tangan kanan yang terbalik disampuk keluar, dengan jurus Poh- cui- tam-hoa, kelima jari yang terkepal terbuat dari baja murni itu, tahu2 sudah menggenjor ke Tam- Tiong- hiat didada Pakkiong Bing. Kaki pasang kuda2 tubuh bagian atas doyong kebelakang menghindar jotosan senjata lawan, berbareng kaki kanan melayang menendang pergelangan tangan Tou Pit-lip. Tak nyana serangan Tou Pit-lip ini ternyata hanya gertakan belaka, begitu tubuh Pakkiong Bing doyong dan menendang, sigap se kali Tou Pit-lip sudah merendahkan tubuh sambil menurunkan Sikut, dimana sinar dingin berkelebat, membawa deru kencang, senjata tinjunya itu tertarik turun terus menghantam ke muka Pakkong Bing, sementara Boan-koan-pit Ti bu ternyata sudah menukik pula dari atas kepalanya menusuk ke-ubun2 kepalanya. Bahwa berpijak hanya dengan sebelah kaki sementara tubuh doyong kebelakang, kala berusaha menerjang keluar, jelas usaha yang sukar dicapai, padahal didepan dirinya dihadang oleh potlot Ti Bu, untuk menerjang ke depan jelas tidak mungkin. Bila menyingkir kekiri atau kekanan juga jelas tidak bisa karena tenaga untuk dikerahkan kearah itu tidak mungkin dicapai, apa lagi umpama usahanya berhasil, letak bambu yang tumbuh secara alamiah tak teratur ini tidak bisa dibuat patokan untuk gerak langkah kakinya, disaat tubuh terjengkang kebelakang menghadap keatas, bagaimana matanya dapat melihat keadaan bambu dibawah kakinya ? Sekali salah langkah, tubuhnya pasti ambruk dan akibatnya pasti fatal. Tapi dua macam senjata mengancam bersama, maju tidak bisa menyingkir tidak mungkin, bila menangkis dengan pedang mestika secara kekerasan, senjata lawan berbobot berat, padahal kakinya berpijak diujung bambu dengan tubuh doyong pula, dirinya pasti bisa tertindih roboh kebawah, itu berarti jiwanya bakal tamat lebih cepat dengan tubuh tertusuk belong oleh bambu runcing. Menyingkir tidak bisa, menangkis juga celaka, mau nekat dan adu jiwa juga tidak mungkin lagi, setelah dipikir, menyingkir kesamping adalah pilihan satu2nya yang paling menguntungkan dari sekian cara untuk menyelamatkan diri, perduli apakah kakinya nanti dapat menemukan tempat berpijak dipucuk bambu runcing, paling tidak dia harus mencari kesempatan hidup. Sudah tentu jalan pikirannya itu hanya berlangsung seperseribu detik cepatnya, begitu putusan tetap. sigap sekali Pakkiong Bing berputar mendadak kesamping, lima kaki menyingkir kekanan. "Pletak" Ditengah pecahnya bambu yang nyaring, bambu dimana barusan dia berpijak telah hancur terpukul oleh senjata Tou Pit-lip dan Ti Bu. Tubuh Pakkiong Bing yang melintang ke samping dengan berputar setengah lingkar itu mana bisa membedakan arah bambu, kenyataan kedua kakinya menginjak tempat kosong, keruan bukan kepalang kagetnya, serasa arwah sudah terbang kesorga, dalam seribu kerepotannya, secara mentah2 dia memutar tubuhnya pula Seningga punggung keataS, jadi tubuhnya tengkurap kebawah. Dilihatnya bambu2 yang runcing Siap menusuk tubuhnya Semakin dekat, semakin besar, pandangan menjadi ber-kunang2. dikala kepala pusing tujuh keliling itulah didengarnya seorang terkekeh seram di sertai gelak tawa puas, mau tak mau Pakkiong Bing mengeluh. "Tamatlah riwayatku kali ini." Tiba2 rasa sakit merangsang pahanya, syukur karena rasa sakit ini telah menyentak kesadarannya dan menggugah syarafnya, sebuah pikiran berkelebat dalam benaknya, secepat kilat tangan kiri Pakkiong Bing diulur menekan ke bawah berpegang pada sebatang bambu runcing, sementara perutnya sudah menempel pada ujung bambu yang lain, dadapun hanya dua dim diatas bambu runcing, syukurlah karena pegangan tangan kiri itu, dengan kekuatan lengannya dia menahan tubuh sehingga mengerem tubuhnya yang jatuh kebawah, pada detik-detik yang gawat itu, jiwanya telah ditarik balik dari renggutan elmaut. Pakkiong Bing menggerung sekali, begitu tangan kirinya menekan dan menggentak, tubuhnya tiba2 jungkir balik terus mencelat keatas serta bersalto sekali, secara enteng kakinya berhasil berpijak pula diujung dua bambu runcing, tapi tak urungpaha kirinya kembali tergores luka oleh tajamnya bambu runcing, sepanjang satu setengah dim. Baru saja Pakkiong Bing berdiri belum tegak. ditengah raungan gusar, tiga orang lawannya kembali mera bukan senjata seperti mau berlomba untuk merobohkan lawannya yang satu ini. Baru saja lolos dari lobang jarum, dan belum sempat Pakkiong Bing ganti napas, sudah tentu dia tidak berani ayal, lekas dia menyelinap kepinggir dua langkah, menghindari samberan dua macam senjata, pedang dan telapak tangan segera bergerak kedua arah, dengan jurus San ing-hun-sing (bayangan gunung membedakan bentuk), tangan kiri sedikit membalik, merogoh urat nadi pergelangan tangan kanan Lao Hin-bu, sedang pedang cendana menusuk dadanya. Lao Hin-bu berkelit sambil menusukkan tangan, lempengan tembaga di tangannya serta merta mengemplang dengan deru angin kencang kearah dada Pakkiong Bing. Dasar kepandaian tinggi Pakkiong Bing cukup tabah menghadapi resiko, tidak berkelit tanpa menghindar, dikala senjata lawan hampir menyentuh tubuhnya, tiba2 badannya berputar mengikuti arah lempengan tembaga lawan, berbareng tangan kanan menjojoh keluar balas menghantam dada Lao Hin-bu. Bergerak memutar sambil melancarkan pukulan itu ternyata dilancarkan dengan gerakan yang masih tangkas dan kuat luar biasa. Begiru serangan luput, kepalan Pakkiong Bing mengancam dada sendiri malah, padahal Lao Hin-bu terlampau bernafsu merobohkan lawan, sehingga serangan kali ini tidak di perhitungkan, gerakan yang sudah kebacut itu jelas tidak mungkin ditarik balik, padahal sisa tenaga untuk penjagaan pun sudah ludes, apa boleh buat sebisanya lekas dia berkelit kekanan sambil melompat. "Blang" Pukulan telak mengenai dada, ditengah erangan Lao Hin-bu tubuhnya terpental mumbul dengan tulang pundak pecah kena pukulan, tubuhnya yang memang melompat berkelit itu jadi seperti didorong mencelat lebih hebat, darah menyembur dari mulutnya disaat tubuhnya terapung jungkir balik, jeritan mengerikan keluar dari mulutnya menjelang jiwanya ajal tertembus bambu runcing yang telah menyambut tubuhnya, bukan saja dada belong, perurnyapun modal-madil sampai ususnya berserakan, setelah meregang jiwa, akhirnya bola matanya terbalik, kaki menjulur lemas, jiwa pun melayang. Tapi untuk meluputkan diri dari telapak tangan Tou Pit lip, Pakkiong Bing tidak sempat perhatikan potlot Ti Bu sehingga tambur kepalanya terkelupas oleh ujung senjata lawan, lukanya memanjang dua dim. Rambut Pakkiong Bing yang semula di-ikal diatas kepala dengan tusukan sebatang jepitan batu-jade kini sudah awut2an, badan berlepotan darah pula, sehingga keadaannya seperti manusia darah yang mengerikan- Tiga orang masih terus berhantam diatas bambu runcing, Hiat-ciang Tou Pic- lip memang manusia culas yang licin, sudah tentu dia tidak akan mempertaruhkan jiwanya untuk nekat secara membabi buta, maka dibawah tekanan rangsakan balasan pedang Pakkiong Bing dia mendapat rintangan yang tidak mungkin dapat diabaikan begitu saja, sehingga Pakkiong Bing beberapa kali lolos dari renggutan elmaut, malah dalam keadaan terdesak dua kawan sendiri kembali telah dibunuhnya. Tou Pit-lip juga tahu bahwa luka2 yang diderita Pakkiong Bing hanyalah luka luar saja jikalau hari ini mengabaikan kesempatan baik ini untuk mengganyang jiwanya, untuk menuntut balas di kemudian hari tentu lebih sukar lagi, maka dia tidak berani mengendorkan tekanan serangannya, bersama Yang- bean koan mereka menggencet Pakkiong Bing dari dua arah. Lekas sekali tiga puluh jurus telah berselang pula, tampak tiga larik sinar putih menggubat bayangan gelap. begitu seru saling berkutat secara ketat dan memagut dengan gencar sekali. Pakkiong Bing sudah mandi keringat yang bercampur darah, tenaganya beleh dikata sudah terkuras habis, hakikatnya dia sudah tak mampu menyerang lagi, wajahnya kelihatan pucat pias, keringat dtmukanya membuat rambutnya yang awut2an lengket dengan muka dan kepalanya, bercampur darah yang masih terus mengalir keluar, sekuat tenaga dia lompat sana kelit sini, tangkis sin Hindar sana. Tenaga murni Pakkiong Bing terkuras terlampau besar, rasanya kaki tangan bukan saja lunglai, juga terasa linu pegal. Pakkiong Bing insyaf dirinya tidak akan kuat bertahan lama, mendadak dia tertawa gelak2, tawa gelak dengan suara serak sambil menyeringai seram. Kebetulan kepalan baja senjata Tou Pit-lip yang berat itu tengah terayun balik menggenjot musuhnya dengan jurus Siang- Ilong-toh-cu (sepasang naga berebut mutiara). Sementara potlot Ti Bu juga menjojoh lian-kin-hiat di pundak Pakkiong Bing. Lekas Pakkiong Bing menggeser miring sambil berputar, kaki kanan melangkah keluar sambil menginjak pucuk sebuah bambu, dengan mudah masih kuasa dia meluputkan diri dari rangsakan musuh yang gencar ini. Tetapi potlot Ti Bu yang lebih ring an ternyata lebih lincah bergerak. karena jojohannya mengenai tempat kosong, sekalian dia ayun potlotnya itu seperti pentung dengan jurus Hing- sau- jian- kun ( menyapu ribuan bala tentara ), dengan deru kencang potlot itu menyambar tiba. Pakkiong Bing dipaksa menarik kaki kiri sehingga tubuhnya turun terduduk. kembali sapuan potlot Ti Bu telah dihindari, tapi senjata cakar baja ditangan Tou Pit-lip ternyata telah mencengkeram datang dari kiri, kesempatan untuk ganti napas atau balas menyerang pun tiada lagi bagi Pakkiong Bing, terpaksa dia kerahkan tenaga diujung tumit, sedikit menutul tubuhnya mencelat pergi satu tombak jauhnya. Tubuh Pakkiong Bing tampak bergontai dua kali, napaspun sempat ditariknya dalam2 Ti Bu sudah menubruk maju pula, belum kakinya menginjak pucuk bambu, sambil mendengus hina, potlot ditangannya diputar kencang, menciptakan beberapa buah lingkaran sinar gemerdep. seluruhnya merabu kedadanya Pakkiong Bing. Mendadak terpancar Secercah senyum penuh arti yang sukar dilukiskan pada wajah Pakkiong Bing, bola matanya yang separoh tertutup rambutnya yang basah oleh keringat, memancarkan sinar buas dan beringas, mendadak dia menarik napas dalam, serangan Ti Bu ternyata hanya ditatapnya saja. Dikala potlot lawan hampir saja menyentuh dadanya, mendadak tubuhnya mengkeret, disertai gemberan yang mengguntur, pedang cendana ditangannya mendadak terayun dengan jurus cun-ko-mo-hun, sesuai namanya bayangan pedang nan gelap. seketika bertebaran diempat penjuru menimbulkan damparan angin badai, terus mengulung Ti Bu yang masih terapung di tengah udara. Ti Bu terlampau bernafsu dengan jurus serangannya yang menggunakan sepenuh tenaga, sehingga tubuhnya yang terapung itu tak kuaSa menghindar dari serangan jurus cun-ko mo-hun salah satu jurus Ngo soat-sek kebanggaan Pakkiong Bing, walau serangan itu dilancarkan setelah Pakkiong Bing dalam keadaan kehabisan tenaga, namun ilmu Ngo-coat-sek itu sendiri betapapun tak akan mungkin bisa dilawan oleh Ti Bu dengan tubuh yang masih terapung, apa lagi potlotnya sudah terlanjur di lontarkan, bukan saja tidak mampu menyingkir, juga tidak bisa menangkis pula, jelas Ti Bu bakal ajal pula dibawah pedang cendana Pakkiong Bing. Kalau Ti Bu gugup dan ngeri, Tou Pit-lip pun tak kalah gelisahnya, bukan kerja gampang untuk mengumpulkan kawanan iblis yang dua pasang itu, ditambah dirinya, lima orang dia yakin pasti dapat melenyapkan duri didepan mata ini, Bok-kim-ciong-siau Pakkiong Bing yang pernah dua kali mengalahkan dirinya, yakin pasti akan terkubur dihutan bambu ini. Akan tetapi datang2 Bok-cu-gin-so Tan Toa-pin telah mengumbar nafsu dan membekong musuh sehingga seluruh rencananya menjadi gagal total, dan akibatnya bukan saja tak mampu merobohkan lawan, Pakkiong Bing malah beruntun menamatkan jiwa dua orang pihaknya, bila sekarang Ti Bu juga ajal dibawah pedang Pakkiong Bing, seorang diri mana dia mampu menghadapinya . Semakin dipikir semakin ciut nyali Tou Pit-lip. demi kepentingan dan mengejar kemenangan, sembari meraung gusar, kedua senjatanya segera dikerjakan dengan sengit mengepruk batok kepala Pakkiong Bing, pikirnya. "Bila kau melukai Ti Bu, biar jiwanyapun kuhabisi sebagai penuntut keadilan-" Jelas pedang cendana Pakkiong Bing pasti akan membunuh Ti Bu, tetapi deru angin kencang tahu2 juga sudah menindih tiba di atas kepalanya, dia insyaf bila dirinya berhasil merobohkan Ti Bu, pasti dia tak akan sempat meloloskan diri dari ancaman senjata Tou Pit-lip. tapi dia berpikir. "cepat atau lambat sama2 mati, dengan wibawa dan ketenaran nama besar Bok-kiam-ciong-siau, memangnya aku harus hengkang sebelum pertempuran ini mencapai penyelesaian, lebih baik satu persatu aku habisi jiwa merekanya, kenapa aku tidak bertindak demikian." Pikiran ini hanya sekilas bekerja dibenak Pakkiong Bing, maka tanpa ayal gerak pedangnya tetap pada sasaran semula, sisahawa murninya dia kerahkan dilengan kiri terus diangkat mendadak untuk menyambut telapak tangan gede serangan Tou Pit-lip. Terdengar jeritan yang mengerikan, kedua kaki Ti Bu sebatas paha telah ambil berpisah dengan raganya. "Bles" Tubuhnya terlontar ke-tengah2 bambu runcing, tertusuk tembus dan jiwanyapun melayang seketika, darah muncrat. Bambu runcing hijau seluas tiga tombak itu kini ditaburi beberapa mayat dalam keadaan serba mengerikan, semuanya mampus dengan mata terbeliak dan tubuh ditembus bambu, sehingga kelihatan seram dan menakutkan dibawah penerangan cahaya rembulan yang remang2. Tapi Pakkiong Bing sendiri juga mendehem cukup keras menahan sakit. "Krak" Sebelah lengannya terkepruk remuk menjadi beberapa potong. Saking sakit, pandangan Pak kiong Bing sampai ber-kunang2, keringat dingin bercucuran sederas sumber air, sekuatnya dia menegakkan rubuh, setelah sempoyongan baru berhasil menegakkan diri. Tou Pit-lip ternyata kesima, dan gentar oleh kenekatan lawannya yang keras kepala dan tabah itu. Mendadak, Pakkiong Bing mendongak sambil tertawa kial2, Ton Pit-lip bergidik seram dan merinding mendengar tawa buas dan beringas ini. cuaca remang2 menjadikan keadaan Pakkiong Bing yang berlepotan darah itu kelihatan lebih mengerikan, sebelah lengannya terlampir lunglai, rambut awut2an, mulut terpentang dengan rawa yang menggiriskan pula, makin besar rasa ngeri dan takut Tou Pit-lip. timbul keinginannya untuk melarikan diri, lekas hengkang dari arena yang sudah kotor dengan bau darah direngah hutan bambu ini, akan tetapi kedua kakinya seperti lengket dan kaku tidak mampu bergerak. maka dia hanya berdiri melongo dengan pandangan terbeliak Tiba2 sirna tawa Pakkiong Bing, dua jalur sinar matanya yang berkilat menembus rambut awut2an yang menutupi mukanya menatap tajam kemuka Tou Pit-lip yang sudah pucat ketakutan, pelan2 tapi pasti dia mulai mendesak kearah Tou Pit-lip. Tou Pit-lip tersentak kaget seperti sadardari lamunannya, secara reftek, telapak tangan gede terbuat dari baja ditangan kirinya tiba2 terayun mengepruk kearah bayangan pedang yang menerjang datang itu. Tou Pit-lip memang jadi pikun sekejap oleh bayangan sendiri, bukan dia tidak tahu kelihayan Ngo-coat-sek yang dimiliki Pakkiong Bing, tahu2 dia merasa pergelangan tangannya mendadak perih dan sakit, ternyata tangan kirinya sebatas pergelangan tangan sudah tertabas kutung. Tou Pit-lip meraung gusar, sinar matanya menjadi liar dan penasaran, kepelan baja di-tangan kanannya mendadak terayun keatas terus ditimpukkan dengan setaker kekuatannya kearah dada Pakkiong Bing. Bahwa serangannya behasil sudah tentu membuat Pakkiong Bing kegirangan, belum lagi pedang dia tarik balik, sinar perak berkelebat, kepalan gede senjata lawan tahu2 sudah menggempur dada, jarak sedemikian dekat, untuk berkelit terang tidak mungkin, karuan bukan main kaget Pakkiong Bing. "Blang" Dengan telak kepalan gede terbuat dari baja itu menggodam dadanya. Setelah melontarkan senjatanya, Tou Pit-lip tidak berdiri diam lagi, sembari bersuit panjang, dengan langkah sempoyongan dia kabur dari tempat situ terus menerobes hutan bambu, hanya beberapa kali lompatan berjangkit dia sudah lenyap diantara rimbunnya dedaonan bambu. Pakkiong Bing tersodok mundur beberapa langkah oleh gempuran kepalan senjata baja Tou Pit- lip yang berat itu, beberapa kali dia sempoyongan hampir jatuh, terasa darah Seperti mendidih dirongga dadanya, paru2nya seperti tergetar pindah dari tempatnya semula. "Huuuuaaaaaahh" Tidak tertahan dia menyemburkan darah segar se-banyaK2nya. Pakkiong Bing tahu lukanya amat parah, untung dia memiliki Lwekang tangguh, lekas dia menarik napas menyalurkan hawa murni dari pusar, darah yang menindih dan hampir menerjang keluar mulutnya berhasil ditekannya pula. Pelan2 Pakkiong Bing menyarungkan pedangnya yang berlepotan darah, lalu dari kantong bajunya dia keluarkan sebuah botol obat tanpa dihitung sekenanya dia tuang beberapa butir terus dilempar kedalam mulut, setelah dikunyah terus ditelannya mentah2. Wajahnya basah oleh keringat dan darah, bela matanya merah memancarkan sinar beringas, dengan langkah sempoyongan dia berusaha meninggalkan tempat itu. Beruntung meski dengan langkah limbung Pakkiong Bing bisa keluar dari hutan bambu, namun napasnya sudah sengal2 hampir putus, meski hawa murni berhasil menekan darah yang hampir menyembur keluar, namun isi perut dan dadanya memang tergoncang teramat keras sehingga Sakitnya bukan kepalang, dia tahu paru2nya mungkin pecah nan tergetar miring dari tempatnya Semula, dia tidak tahu apakah dirinya masih bisa bertahan hidup, dan berapa lamanya ? Mungkin dua hari, atau besok juga telah ajal. Kuda hitam miliknya itu memang sudah terlatih baik, langkahnya pelan dan tidak menimbulkan goncangan sehingga sang majikan yang mendekam diatas punggungnya merasa lega, kuda itu beranjak ditegalan berbatu, rasa sakit dadanya tidak berkurang, malah semakin hebat, maka dia diamkan saja kudanya menuju kearah yang ditujunya. Pandangannya kaku lurus kedepan, rambutnya yang terurai menutupi mimik wajahnya yang penuh dengan siksaan dan derita, hembusan angin di musim rontok yang setajam pisau tak dirasakan lagi, maklum separoh bagian kiri tubuhnya beleh dikata sudah pati rasa... lapat2 Pakkiong Bing masih bisa berpikir. "Sudah saatnya kau pulang... Pakkiong. Bing, mungkin kau akan segera mati, maka lekaslah kau pulang saja." Ternyata nalurinya masih bisa bekerja secara normal, tali kekang di tariknya sehingga kuda mulai berlari berputar arah, melampaui Sia tay terus dibedal menuju kearah ciok-muy. Sementara itu, rembulan sudah hampii tenggelam diufuk barat, ditengah ke pulan debu yang membumbung tinggi, tampak seekor kuda hitam ditunggangi seorang yang berlumuran darah, terus membedal kearah utara. Tik tak tik tak, dentam tapal kuda yang berat dan perlahan terdengar bercampur baur dengan suaranya didalam ceng-hun-kok Mendadak Pakkiong Bing angkat kepalanya, sorot matanya menunjukkan rasa kaget dan heran, diam2 dia membatin- " Ceng hun eh, bukan, inilah Bong-hun-kok dimana Toh-bingi sip-mo yang berbentuk mumi masih mengganas..... se-olah2 dia sudah melihat mayat hidup yang dibalut perban putih bercokol dipunggung seekor kuda, hanya dua bola matanya yang masih kelihatan dibalik perban tebal dengan memancarkan cahaya dingin tengah menatapnya lekat2. Tanpa sadar Pakkiong Bing bergidik merinding, dia kucek mata serta mengedipkannya beberapa kali, dari balik rambut kepalanya yang awut2an menutupi muka dia memandang kedepan, cuaca dalam lembah tetap guram, namun bayangan seorangpun tidak tampak didalam lembah. Tapi derap tapal kuda yang berat dan perlahan itu masih berdentam didalam lembah meski suaranya terdengar sayup2. Serta merta Pakkiong Bing menarik tali kekang kudanya sehingga tunggangannya memperlahan larinya. "Apakah aku tetap melanjutkan kedepan? Atau memutar balik kuda kemkali kekota Sia-tay ? Lalu berkisar satu lingkaran besar pulang dari jurusan lain ? Demikian Pakkiong Bing membatin dalam hati..Mendadak sorotan mata Pakkiong Bing yang teraling rambut kepalanya itu memancarkan cahaya keteguhan dan ketegasan keputusanya, diam2 dia berolok pada diri sendiri. "Pakkiong Bing, jangan gentar, kau harus melanjutkan perjalanan kedepan, kau harus berani mencobanya, kau harus lekas pulang berkumpul dengan anak binimu.." Pada saat itulah diujung pengkolan jalan dalam lembah sana muncul seekor kuda putih- dipunggung kuda bercokol sebentuk tubuh kekar yang seluruh tubuhnya dari kepala sampai keujung kaki dibalut perban, gerak geriknya kaku dan lamban, setelah tapal kuda berdentam pula dua kali, kuda putih itu mendadak berlari sedikit kencang, kalau tak mendengar derap tapal kudanya yang menyentuh batu, orang akan menyangka bahwa kuda putih itu melesat terbang dari permukaan bumi. Tak urung Pakkiong Bing bersuara heran dalam batinnya. "Itukan Liong-ma (kuda naga), kuda naga yang jarang ditemukan selama ribuan tahun mendatang ini..." Dalam lembah kini ada dua ekor kuda, seekor kuda putih ditunggangi oleh Toh bing-sik-mo yang sekujur badannya dibalut perban dan ditakuti oleh kaum persilatan. Sementara kuda hitam ditunggangi Pak-kiong Bing yang berlepotan darah, dengan muka beringas pucat dan rambut awut2an, jarak kedua orang semakin dekat, cuaca dalam lembah tetap guram, tapi keduanya terus saling mendekat. Akhirnya kuda putih berhenti kira2 puluhan tombak jauhnya, tetapi kuda hitam Pakkiong Bing tetap beranjak kedepan- Terunjuk rasa heran pada sorot mata Toh bing-sik-mo yang dingin kaku itu, keadaan Pakkiong Bing yang serba mengenaskan agaknya menarik perhatiannya, keadaannya tak ubahnya seperti mayat gentayangan pula, sehingga mayat hidup yang dibuntal perban ini menampilkan cahaya simpatik yang belum pernah diperlihatkan kepada setiap korban yang dibunuhnya. Perlahan tapi pasti kuda hitam terus maju, perlahan dan perlahan semakin dekat. Perlahan tapi meyakinkan Toh-bing-sik mo mulai ulur tangan merogoh gendewa memasang anak panah merah. Napas Pakkiong Bing terasa sesak dan tersengal, namun dia tidak mandah terima nasib, dia berusaha menghimpun hawa murni sembari menggerakkan tangan kanan yang tadi memega tali kekang kepunggung, pelan2 dia melolos pedang cendana yang amat disayanginya dan masih berlepotan darah itu dari punggungnya. Hembusan angin lalu membawa bau anyirnya darah, namun juga meniup seperti harumnya cendana. Dikala Pakkiong Bing pelan2 melolos pedang cendana itulah, dua bola mata simayat hidup perban putih itu tiba2 seperti mencorong menyala, rona matanya menampilkan rasa kejut dan girang tidak terkendali, seperti seorang yang tiba2 mendapatkan sesuatu yang telah sekian lamanya didambakan- Loroh tawa aneh semacam pekik setan yang berkepanjangan menelan deraptapal kuda hitam yang ditunggangi Pakkiong Bing, lembah sunyi ini seakan tergetar oleh loroh tawanya yang dilandasi Lwekang tangguh, sehingga genderang telinga Pakkiong Bing serasa hampir meledak. Pedang Kayu Cendana Karya Gan KH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo suaranya mengalun tinggi bergema diangkasa raya. Agaknya Toh-bing-sik- mo tidak sabar lagi memanah mati Pakkiong Bing seperti traktat yang pernah dia lakukan setiap kali membunuh korbannya, di tengah loroh tawanya itu kuda putih tunggangannya itu mendadak melompat jauh kedepan, hanya sekejap tahu2 sudah berada disamping Pakkiong Bing. Loroh tawa yang mengandung ftekwensi tinggi itu seperti menyentak kesadaran Pakki ong Bing, tahu2 Toh-bing-sik- mo telah berada disampingnya, secara reftek Pakkiong Bing menggeram, pikirnya. "Turun tangan dulu lebih menguntungkan-" Tahu2 tangannya bergerak. dengan menderu kencang pedang cendana membelah langsung kepinggang Toh-bing-sik- mo. Toh-bing-sik-mo pegang gendewa merahnya dengan ibu jari,jari kelingking dan jari manis, sementara jari tengah dan jari telunjuk yang juga dibalut perban menyambut sambaran pedang cendana Pakkiong Bing serta menjepitnya bagai tanggem. Hanya sedikit menggentak kedua jarinya, terasa oleh Pakkiong-Bing telapak tangannya panas dan pecah berdarah, pedang cendana tak kuasa dipegangnya lagi, secara mudah telah terebut oleh Toh-bing sik mo. Berbareng Toh-bing-sik mo ayun tangan kiri, dimana bayangan merah berkelebat, anak panah yang dipegangnya terus ditimpuknya, anak panah itu meluncur dengan deru pesat yang tidak terlawankan langsung menusuk kejantung Pakkiong Bing, Bahwa pedang terampas, tahu2 anak panah musuh telah melesat tiba pula, karuan kejut Pakkiong Bing yang sudah dalam keadaan payah ini bukan kepalang, secara reftek dia masih berusaha menyampuk dengan tangan kanan sekuat sisa tenaganya, sementara tinju tangan kirinya menggenjot kebatok kepala Toh-bing-sik- mo. Tapi sebelum tangannya berhasil menyampok panah serta tinjunya mendarat dikepala orang tahu2 dadanya terasa sakit seperti ditusuk. diwaktu matanya terbeliak itulah dilihatnya perban diatas kepala Toh-bing-sik- mo tersapuk jatuh oleh angin pukulan tinjunya, sehingga tampak rambut orang yang panjang dan berwarna merah, rambut merah. "Bluk..." Tak kuasa Pakkiong Bing bertahan pula, dia tersungkur roboh dari punggung kuda dan tidak ingat diri. Fajar telah menyingsing, sinar pagi telah menerangi lembah yang gelap. Hembusan angin pagi nan semilir amat menyegarkan, di-tengah erangan perlahan sehabis berkelejetan karena tubuh mengejang, per-lahan2 Pakkiong Bing siuman dalam penderitaan. Toh-bing-sik mo sudah tidak kelihatan, demikian pula pedang cendana telah lenyap entah kemana. Huuuuaaaaahh sekumur darah segar tumpah dari mulut Pakkiong Bing, lekas dia kerahkan tenaga murni supaya darah tidak tumpah pula, sekilas dia awasi batang panah yang menancap didadanya, lama kelamaan pandanganannya menjadi terbeliak heran dan tak habis mengerti, pikirnya. "Kenapa aku belum mati ? Mungkinkah jantungku telah tergeser pindah ? Ya , betul, kiranya jantungku tergetar oleh timpukan tinju baja Hiat-ciang Tou Pit-lip yang keras itu sehingga pindah tempat." Loroh tawa dingin dan pekiksetan yang menggiriskan masih terkiang dalam telinganya. Aku harus menuntut balas, aku harus beritahu kepada puteraku, supaya dia merebut kembali pedang cendana, biarlah puteraku menuntut pukulan dan tusukan pedang serta tujukan panah ini. Rasa dendam kesumat inilah yang mempertahankan semangatnya sehingga dia kuat meronta, sambil menahan segala kesakitan, pelan2 dia berdiri serta merayap naik punggung kudanya namun baru satu tombak "Gedebuk" Pakkiong Bing terjungkal jatuh pula, kuda hitamnya mendongak sambil meringkik terus putar balik dan berdiri disamping majikannya. Setelah mengatur napas dan menghimpun tenaga pula. Pakkiong Bing meronta pula, sekali gagal dua kali gagal, tiga kali tidak berhasil akhirnya dia bertopang pada kedua kakinya dengan tangan berpegang pada pelana, lama tapi akhirnya dia berhasil merayap ke punggung kuda pula. Kuda hitam yang gagah ini akhirnya membawa lari Pakkiong Bing yang berlepotan darah dengan sebatang panah menancap didada, keadaannya boleh di kata sudah Sekarat, namun mendekam dipunggung kudanya, mulutnya masih menggumam . "Hiat-ciang Tou Pit- lip. Tou Pit- lip. Toh-bing-sik- mo, tubuh di bungkus perban, gendewa dan panah merah dan kepalanya berambut merah..." Sejak peristiwa itu, lembah mega hijau ini menjadi tentram dan aman- sejak saat itu pula Toh-bing-sik- mo lenyap tak karuan paran iblis pelenyap sukma yang membawa tragedi mengenaskan lama kelamaan telah dilupakan orang, entah dari keluarga yang pernah jadi korban atau kaum persilatan umumnya, waktu telah membawa lalu peristiwa besar-yang mengerikan itu dan tak pernah terngiang lagi untuk masa2 mendatang. Nama Bong-hun-kok atau lembah pelenyap sukma lama kelamaan telah dilupakan orang, ceng-hun-kok kembali ramai dibicarakan-orang, jalan raya yang menghubungkan utara dan selatan, kembali ramai dilalui Lalu lintas. Akan tetapi kenangan pahit, dendam kesumat tetap menjalari sanubari sanak kadang para korban ---oodwoo-- Sang waktu berselang tanpa terasa, hanya sekejap sepuluh tahun telah menjelang sejak peristiwa yang mengerikan itu. Waktu yang tidak terhitung pendek itu telah berselang ditengah percakapan orang banyak. Kembali pada suatu malam di musim rontok, bulan sabit bercokol juga diangkasa seperti bergantung diatas ceng-hun-kok^ sehingga lembah yang lembab dan gelap itu mendapat sedikit penerangan. Tik tak tik tak, derap tapal kuda yang berirama tetap. tidak Cepat juga tidak lambat, bergema dalam lembah memeCah kesunyian ceng hun kok, di mulut ceng-hun-kok tampak seorang laki2 tua berambut uban membelokkan kuda tunggangannya memasuki lembah. Tampang kakek ini pucat sadis, sorot matanya berkilat,jenggot kambingnya memutih saiju, senyuman sinis dilembari hawa nafsu yang melandasi keCulasan hatinya tampak menghias diwajahnya. Tangan kirinya buntung tepat dipergelangan, gundul dan kelimis berwarna kemerahan, kakek tua ini bukan lain adalah tokoh golongan hitam yang terkenal dan paling jahat, yaitu bukan lain adalah Hiat ciang Tou Pit-lip. Tou Pit- lip mendongak melihat cuaca, wajahnya mengulum senyum senang danpuas, seakan dia tengah dibuai kemenangan masa lalu yang menyenangkan hatinya. Setelah mendengus hidung, seorang diri ia menggumam. "Siang-to ceng Kek-pin, berani ia mencabut kumis harimau, melukai muridku serta membuat buntung lengan kanannya. IHm,jikalau malam ini jiwamu tak berhasil kurenggut, paling tidak kau harus membayar rente dengan membuat buntung kedua tangannya." Ditengah renungan itu kembali dia tersenyum sinis, kepalanya mendongak pula melihat cuaca, tiba2 alisnya berkerut, kembali dia membatin. "Aneh, Ngo-tok-sin-ciam Ni Sau-liang kenapa belum datang, kusuruh dia sembunyi di suatu tempat serta membokong dengan jarum beracunnya itu, supaya...." Dikala IHiat-ciang Tou Pit iip melayang lamunannya itulah, dari mulut lembah sebelah depan berkumandang langkah kuda yang dilarikan pelan2. Senyum lebar seketika menghias wajah Tou Pit- lip. namun hanya sekejap saja senyumannya sirna, mukanya kaku, tali kekangpun ditariknya, kuda dihentikan, sejenak dia memasang kuping, batinnya. "Kawan atau lawan ?" Tiba2 langkah kuda berhenti, entah kenapa derap lari kuda yang cukup kencang itu mendadak seperti putus, suasana lembah kembali dicekam keheningan, karena bagi orang yang mendengar dan menyaksikan terasa bahwa keheningan yang mendadak ini terlalu aneh dan menarik perhatian, sukar diduga apa yang terjadi dan apa penyebabnya. Tou Pit- lip menjublek di punggung kudanya, dia tidak tahu orang dipengkolan lembah sebelah depan entah kawan atau lawan, sebelum memperoleh kepastian dia tidak akan bergerak. dia tidak ingin jejaknya diketahui pihak sana, walau hal ini sebetulnya tidak perlu dibuat heran atau sampai mengharuskan dia bersitegang leher. Tiba2 derap langkah kuda yang mencongklang kencang berkumandang di mulut lembah sebelah sana, semula sayup2 tapi lama kelamaan terdengar makin jelas dan dekat. Tiba2 dentam tapal kuda itu berhenti pula. ceng-bun-kok diliputi keheningan yang mencekam sanubari. Keanehan menimbulkan rasa kejut dan waspada dibenak Tou Pit lip^ hatinya mulai tegang, dia yakin kalau bukan kawan yang datang kali inipasti lawan, namun kenapa kudanya mendadak dihentikan, serta tak terdengar pula suara apa2 ? Suasana kembali diliputi kesunyian- Ditengah kesunyian itulah terdengar sebuah benda berat jatuh gedebukan diatas tanah, disusul suara kuda yang berjingkrak kaget dan meringkik pendek. Kenapa dan apakah yang telah terjadi? Tanpa sadar Tou Pit-lip segera keprak kudanya dicongklang kedepan menembus pengkolan, namun belum lagi dia melihat sesuatu di depannya, kupingnya telah mendengar gelak tawa aneh yang mengerikan, gelak tawa yang bergelombang dengan getaran yang cukup membuat telinga orang tuli, ceng hun- kok serasa seperti digoncang oleh gelak tawa yang bernada tinggi ini. Tou Pit- lip yang membekal Lwekang tinggi pun tak urung bergidik seram dan berdiri bulu kuduknya, Firasat buruk seketika menghantui sanubarinya, namun dalam waktu singkat dan mendesak ini, tiada tempo buat dia menggUnakan otaknya Untuk menerawang api yang terjadi didepan matanya, sementara kuda tunggangannya telah keluar dari pengkolan lembah. Seketika Tou Pit-lip gemetar dan mengetik dipunggung kudanya, keringat dingin tidak terbendung lagi, secara reftek dia menarik tali kekang kudanya serta berdiri melongo seperti orang linglung, se-akan2 bingung apa jang harus dilakukannya. Darah tampak berceceran diatas tanah, di mana rebah miring kawan yang diundang untuk membantu dirinya dalam menghadapi musuhnya, yaitu Ngo-tok-ciam Ni Sau liang. Dadanya ditembus sebatang panah merah yang telah mengenai jantungnya, jiwanya melayang seketika. Tak jauh disebelah belakang lagi, berdiri seekor kuda putih dan yang bercokol dipunggung kuda ternyata bukan musuh bebuyutannya yang dia tantang berduel dilembah mega hijau ini yaitu Siang-to cong Kok-ping tapi adalah mayat hidup yang tubuhnya dibalut perban kaki sampai atas kepala, hanya sorot bola matanya yang kelihatan, ternyata mumi yang pernah menggetarkan Kangouw sepuluh tahun yang lalu dan pernah mengganas dilembah hijau ini kembali menampakkan diri dan mulai mengadakan teror pula, itulah Toh-bing sik-mo yang menyebabkan lembah mega hijau akhirnya diganti namanya lembah pelenyap sukma. Toh-bing-sik- mo (mayat iblis merenggut nyawa) nama julukan yang membuat manusia giris dan merinding ini dicerna sekian lamanya dalam otak Tou Pit-lip yang masih kebingungan, tak tahu apa yang harus dilakukan untuk bertindak ? Atau melihat gelagat ? Kali ini dii seperti kehilangan akal sehatnya yang penuh diliputi muslihat jahat, se-olah2 jiwa raganya sudah tergenggam ditangan lawan, keCuali matanya memancarkan sinar rasa ketakutan dan minta pengampunan, boleh dikata manusia durjana ini sudah tidak mampu menguasai dirinya lagi. Dua bola mata Toh- bing-sik-mo yang mencorong keluar dari balik sela2 perban di mukanya menatap tajam kemuka Tou Pit-lip. pelan2 dia melolos sebatang panah merah, lalu mengangkat gendewa serta memasang anak tanah itu diatas gendewa serta pelan2 menarik serta membidik. Bola mata Tou Pit- lip melotot bundar, memancarkan rasa ngeri dan ketakutan, sorot mata mohon pengampunan, sekujur badannya gemeroblos oleh keringar dingin, ingin dia rasanya turun dari punggung kudanya menyembah dan berlutut minta ampun, dia ingin meratap supaya kakek moyangnya mengampuni segala dosa yang pernah dia lakukan selama ini, namun sekujur badannya seperti lunglai, tak bertenaga, mulut sudah terpentang tetapi lidahnya kelu, suaranya tidak berbunyi. Sungguh siksa derita yang dialami Tou Pit lip sekarang amat mengenaskan, se-akan2 dunia sudah beku dan waktu berhenti, namun kenyataan dia menyaksikan Toh bing-sik-mo sudah mulai angkat panahnya serta mulai membidik, tapi gerakan kaku itu akhirnya terhenti bola matanya yang mencorong hijau mendelik kearah Tou Pit-lip. gelak tawa seperti ringkik setan bergema lagi didalam lembah, seakan 2 dia merasa senang dan bangga menyaksikan rasa ketakutan Tou Pit-lip yang mengawasinya dengan tatapan yang harus dikasihani. Sang waktu seperti berhenti di tengah gelombang tawa Toh- bing-sik-mo yang menggiriskan itu, dan gelak tawa itu jelas berlalu sedemikian lambat dan kaku. Tou Pit-lip tidak mampu membuka tabir kebekuan ini, sungguh dia memang sudah tiada kemampuan lagi untuk memulihkan suasana kebiasaannya bila dia berhadapan dengan musuh yang akhirnya menjadi bulan2an dirinya seperti kucing mempermainkan tikus pada korbannya. Kini keadaan justeru terbalik, gelak tawa Toh- bing-sik-mo serta tatapan matanya yang dingin mencorong seperti menembus pori2 kulitnya, menyelinap masuk keseluruh tubuh Tou Pit-lip. sehingga otaknya sudah berhenti bekerja. Suasana dalam lembah semakin seram dan menggiriskan, cuaca semakin guram dan hawapun basah oleh kabut yang dingin. Sekonyong-konyong suara tik tak tik tak kembali berdentam menimbulkan gema yang nyata dalam lembah. Tou Pit lip seperti disentak oleh suara tik tak tik tak tapal kuda yang berdentam di tanah pegunungan, sehingga otaknya yang kaku dan hampir beku itu seketika berputar balik mulai sadar dan cerdik serta culas pula, kelopak matanya memicing, bola mata berputar, lekas sekali dia sudah kempit perut kudanya sambil menarik tali kekang kuda, hatinya dirasuk angan2nya untuk mengejar kehidupan yang lebih fantastik dikelak kemudian hari daripada menunggu ajal secara konyol disini, meski harapan hidup hanya seperseratus prosen belaka, betapapun dia harus merebutnya sekuat tenaga dengan segala kemampuannya pula. Dibawah keremangan sinar rembulan, tampak selarik bayangan merah berkelebat, luncuran yang begitu cepat, tahu2 Tou Pit-lip merasakan dadanya menjadi panas dan sakit seperti ditusuk jarum, segulung tenaga besar kontan menerjang datang pula sehingga tanpa kuasa tubuhnya diterjangnya mumbul dan jatuh terguling dari punggung kudanya, darah pun muncrat dari dadanya membasahi seluruh tubuh menyirami tanah gersang didalam lembah nagahijau ini. Sebatang panah merah telah menembus jantung, boleh dikata Tou Pit-lip sudah kehilangan kesadaran, namun dia masih tetap meronta dan meregang jiwa, biji matanya terbalik dan melotot besar, tangannya yang tinggal satu, jari2nya tampak mencakar amblas kedalam bumi, beberapa kali kedua kakinya me-nendang2, berkelejetan lalu mengejang pula, akhirnya napasnya putus dan tubuhnyapun lunglai tidak bergerak lagi. Pelan2 Toh- bing-sik-mo menurunkan kedua tangannya, dia tetap bercokol dipunggung kudanya tanpa bergeming. Suara derap kaki kuda yang dilarikan kencang kembali bergema didalam ceng-hun-kok, lari kuda yang gugup danpesat itu semakin jelas dan dekat. Derap kuda itu terhenti setelah diakhiri dengan ringkik panjang dan suasana kembali dicekam kesunyian- Tidak jauh di pengkolan sana, seorang laki2 menunggang kuda sedang tampak melongo dipunggung kudanya sepasang golok tampak terselip di kanan kiri punggungnya, pakaiannya ketat, wajahnya tampak kaget takut dan ngeri. Pendatang baru ini bukan lain adalah Siang-to ceng Kok-ping yang diundang Hiat Ciang Tou Pit lip untuk duel-menentukan mati hidup, Ternyata munculnya kembali Toh- bing-sik-mo telah mengakibatkan dua gembong penjahat dari aliran sesat ajal didalam lembah, teror yang pernah dilakukan Toh- bing-sik-mo sepuluh tahun lalu sekarang seperti baru terjadi kemaren sore, kini dengan mata kepala dia saksikan tragedi itu terulang, logis kalau sepasang golok ceng Kok-ping melongo dan menjublek ditempatnya. Dia jadi lupa dimana sekarang dirinya berada, lupa untuk apa kedatangannya kemari sampaipun tindakan apa yang harus dia lakukan sekarang juga sudah tak sempat dipikir. LuCunya lagi, otaknya serasa kosong dan hampa. Pelan2 Toh- bing-sik-mo gerakkan kepalanya menoleh, sepasang matanya menatap ke arah ceng Kok-ping dengan pandangan tajam, Cukup lama dia mengamati laki2 bergaman sepasang golok ini. Sesaat kemudian dia menarik sorot matanya serta melirik kearah mayat yang menggeletak dtatas tanah, gelak tawa akhirnya terlontar pula dari mulutnya, nada tawanya yang tinggi seperti menembus langit, mengalun di angkasa dan menimbulkan gema suara yang memilukan didalam lembah, genderang telinga serasa hampir pecah. Ceng Kok-ping merinding dan bergidik seram, kini dia teringat akanjiwa raganya sendiri, dia saksikan dua mayat yang mati secara mengerikan ditanah, nyalinya semakin ciut, rasa takut semakin menghantui sanubarinya, tanpa disadarinya pelana kudanya telah basah kuyup, Se-olah2 dia telah dibayangi oleh elmaut yang sebentar bakal merenggut sukmanya. Akan tetapi kejadian didunia ini kadangkala memang sukar bisa dijangkau oleh pikiran sehat manusia. Pelan2 dilihatnya Toh-bing-sik-mo menaruh gendewanya disamping pelana, tali kekang ditariknya sehingga kuda putih itu membelok arah dan lekas sekali suara tik tak tik tak seperti bunyi musik yang merdu bergema didalam lembah, ternyata tanpa menoleh Toh-bing-sik-mo tinggal pergi tanpa hiraukan kehadiran ceng Kok-ping. Sudah tentu ceng Kok-ping menarik napas lega dan diam2 bersyukur kepada Thian yang maha kuasa bahwa dirinya selamat. Pelan-pelan dia angkat kepalanya serta menyeka keringat dimukanya. Hatinya agak heran, karena suara tik tak tik tak dari derap kuda putih tunggangannya Toh- bing-sik-mo sekarang, agaknya berbeda dengan suara tik tak tik tak yang kedengaran berat, pelan dan rendah, namun lekas sekali ceng Kok-ping sudah menimbulkan rasa curiganya ini, pikirnya. "Betapapun kejadian sudah berselang sepuluh tahun, bagi seekor kuda sepuluh tahun merupakan waktu yang sudah Cukup lanjut bagi usianya." Setelah melirik pula kearah dua mayat yang menggeletak diatas tanah, ceng Kok-ping menarik napas dengan sedotan yang bergidik, lekas dia putar haluan kudanya terus dibedal-nya sekencang angin lesus, lekas sekali bayangannya telah lenyap dari lembah mega hijau. Ceng Kek-ping telah pergi, pergi dengan jiwa raga utuh, namun kemunculan Toh- bing-sik-mo yang kedua kalinya ini secara langsung telah tersiar luas dari mulutnya, lekas sekali dunia persilatan kembali gempar. Sepuluh tahun yang lalu, dalam jangka satu bulan sejak Toh bing-sik-mo muncul, dengan gendewa dan panah merahnya, secara mudah dia telah menghabisi lima puluh jiwa orang, akhirnya dia menghilang secara aneh dan misterius. Tapi sepuluh tahun kemudian, dikala insan persilatan mulai melupakan kenangan buruk masa lalu, tahu2 Toh-bing-sik-mo menampakkan dirinya pula, dengan dua jiwa manusia sebagai gala premire dari munculnya yang kedua, kali ini entah berapa lama dia akan mengganas, entah berapa jiwa pula yang akan menjadi korban terornya itu. Entah untuk apa sepuluh tahun yang lalu dia muncul ? Lalu untuk apa pula kali ini Toh- bing-sik-mo muncul ? Manusia yang sengaja ingin bertindak secara misteriuskah dia ? Ataukah mayat hidup tulen yang gentayangan dan penasaran serta ingin menuntut balas kepada para musuhnya ? Semua itu merupakan tanda tanya besar yang tidak terjawab sejauh ini, karena itu peristiwa dan lika likunya menjadikan bahan pembicaraan ramai orang banyak. Pembantaian di ceng hun kok masih terus berlangsung, namun tidak sedikit pula manusia yang lewat secara baik2 dan selamat dari lembah ini. Akhirnya khalayak ramai sadar bahwa para korban dibawah panah merah Toh bing-sik-mo, semua adalah penjahat2 yang keliwat besat kejahatannya. Perduli mereka bersenjata pedang atau golok dan gaman lainnya. Kenapa ? Kaum pendekar sama heran dan takjub, namun jago2 golongan hitam sama kaget dan geram. Ternyata jejak Toh-bing sik-mo sukar dijajagi, untuk mencegah teror yang berkepanjangan ini, kaum pendekar sama berikrar untuk mencegah dan menghentikan pembantaian besar2an ini, namun usaha mereka sia2 meski sudah menunggu dan menunggu belasan hari tanpa berhasil memergoki atau menemukan jejaknya. Demikian pula dengan jago2 golongan hitam yang sepakat untuk mengganyangnya, mereka mengatur tipu daya, membuat jebakan dan memendam jago2 kosen mereka di ceng- hun kok, tetapi akhirnya mereka semua tertumpai habis malah. Dan kini ceng-hun-kok kembali disebut Bong-hun-kok. keCuali bau anyir darah, hanya suasana sunyi dan kesepian melulu yang mencekam lembah sempit ini seperti diliputi kekuatan magis melulu. Setengah tahun sudah berselang dalam suasana yang tegang dan mencekam ini. Bau anyir darah semakin tebal dan memuakkan didalam lembah, derap kaki kuda yang tik tak tik tak itu masih sering berkumandang disana, suara gelak tawa seperti ringkik setan gentayanganpun masih sering bergema didalam lembah. ---ooo0dw0ooo--- 3 SECERCAH cahaya mulai mengintip di ufuk timur, tabir kegelapan mulai sirna oleh datangnya sinar mata hari. Hembusan angin pagi di musim rontok terasa dingin membuat orang merinding dan berdiri bulu romanya. Hujan rintik2 membasahi jagat raya, berjatuhan merata dari angkasa tanpa bersuara, nampak angin menghembus semakin kencang. Toh- bing-sik-mo yang tetap membalut perban diseluruh anggota badannya tampak bercokol dipunggung kuda putihnya, mumi yang serba aneh dan misterius ini berada di Bong-hun-kok. agaknya dia tidak merasakan hembusan angin dingin dimusim rontok yang mengiris kulit ini, seakan dia tidak merasakan hujan rintik2 yang telah membasahi kuyup sekujur tubuhnya. Kuda putih berdiri menunduk. tidak meringkik juga tidak menendang kakinya, Toh-bing-sik-mo juga tidak bergelak tawa, kecuali hujan rintik dan angin lalu tiada kedengaran suara apapun didalam lembah, hanya terasa bau darah yang amis itu terbawa hembusan angin lalu, keheningan yang menggelitik sanubari, suasana sepi yang menakutkan. Toh- bing sik-mo yang membalut seluruh tubuhnya itu tampak menunduk. agaknya dia merasa tawar pula, karena terdengar suara helaan napasnya yang merisaukan. Dikala seorang diri, ternyata Toh- bing-sik-mo menghela napas dan mereras diri sendiri, kenapa dan apa sebabnya ? Entah keputus-asa-an yang menggambar perasaannya, ataukah keluhan yang keluar dari sanubarinya... ? Helaan napas yang bernada ruwet ini kecuali diri sendiri, orang lain jelas takkan tahu dan dapat menyelami perasaannya. Sayup2 seperti kedengaran dia menggumam seorang diri. "sudah setengah tahun ya, sudah setengah tahun, mungkinkah..." Lambat2 dia angkat kepalanya, bola matanya yang kelihatan dibalik perban itu, kini tidak lagi memancarkan cahaya terang menyala, tapi sorot mata yang menampilkan kerisauan, kehampaan dan kemasgulan. Se-konyong2 bola matanya terbelalak. serta jelilatan. Mungkin bakal terjadi sesuatu ? Betul juga , ditengah hujan rintik2 serta hembusan angin kencang itu, sayup2 terdengar derap lari kuda yang mendatangi. Terpancar cahaya yang penuh harapan, agaknya derap kaki kuda dimulut lembah sana memberikan setitik harapan bagi Toh-bing sik-mo. maka dia menghimpun tenaga memusatkan pikiran menunggu dengan tenang dan sabar. Memang dari luar mulut Bong-hun-kok tampak dicongklang seekor kuda, setelah berada didalam lembah, lari kuda diperlambat, Eh, kiranya seorang gadis jelita penunggang kuda yang gigih berwarna, coklat itu, tubuhnya ramping, wajahnya bulat telur, sebatang pedang tampak terselip dipunggungnya, napasnya sedikit menderu karena menempuh perjalanan jauh dan menahan hawa yang dingin ini. Cuaca buruk tidak mengurangi ketajaman pandangan matanya yang penuh tekad dantegas, sebelah tangannya terangkat kebelakang memegang gagang pedang, diam 2 dia berdoa. "Semoga arwah ayah dialam baka memberkahi anak. supaya hari ini anak berhasil menuntut balas kematian ayah." Sambil berdoa, dia memicing mata, seolah 2 dia membayangkan bagaimana kematian ayahnya dulu yang amat mengenaskan di dalam lembah ini. Pedang Kayu Cendana Karya Gan KH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Waktu itu dia baru berusia tujuh tahun, Hari itu sepuluh tahun yang lalu dia sedang ber-main2 didepan Piaukiok^ dengan mata kepala sendiri dia saksikan Piausu HuiPiu membawa pulang jenazah ayahnya, keadaannya yang mengenaskan dan mengerikan sungguh tidak terlupakan seumur hidup ini. Pendekar Patung Emas Karya Qing Hong Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung