Pedang Kayu Cendana 6
Pedang Kayu Cendana Karya Gan KH Bagian 6
Pedang Kayu Cendana Karya dari Gan K H Demi menuntut balas kematian ayahnya Tio Swat-in memang tidak hiraukan mati hidup sendiri. Tapi dalam keadaan terancam seperti ini, ingin mati tidak mati, ingin hidup juga masih merupakan tanda tanya, mau tidak mau bercucuran keringat dingirnya, telapak tangannyapun basah oleh keringat dingin- Tekadnya memang besar, tidak takut mati, tapi sekarang dia justru insyaf dan tidak ingin mati Tiba-tiba suatu pikiran berkelebat dalam benaknya, tubuhnya mendadak menjengkang mundur, pikirnya mau membebaskan diri dari ancaman gendewa Toh bing-sik- mo, namun Toh-hing-sik mo tidak kalah tangkasnya langkahnya lebih enteng pula, ujung gendewa tetap mengancam Yu-bun-hiat didepan dadanya, ternyata tenaga masih tetap mantap. tidak tambah juga tidak berkurang. Beberapa kali Tio Swat-in berusaha tapi tetap gagal, harapan meloloskan diri jelas sudah kandas dan tidak mungkin lagi. Menerawang keadaan dirinya, sungguh pedih dan luluh perasaannya, diam-diam dia lantas berpikir. "Kalau hidup sudah tiada harapan, biarlah aku mati lebih cepat saja." Maka tidak lagi berkelit mundur mendadak^ dia malah menerjang maju menumbukkan tubuhnya kearah ujung gendewa. Sayang sekali, agaknya Tohbing-sik mo dapat menangkap jalan pikirannya, waktu dia mundur tadi Toh- bing-sik- mo tetap mengincarnya dengan ancaman ujung gendewa di Hiat-to mematikan didepan dada. Sekarang dia menerjang maju, ternyata Toh-bing sik-mo yang mundur selangkah malah. Ingin hidup tidak bisa mau mati juga tidak tercapai, sungguh Tio Swat-in kecewa dan akhirnya putus asa. Sorot mata Toh- bing-sik- mo yang dingin kelihatan lebih senang dan bangga, maka dia menengadah sambil terloroh tawa pula, Tio Swat-in yang sudah putus asa meski air mata masih bercucuran, Tapi dia sudah amat tentram dan tenang malah, tiada yang dia pikirkan lagi, matanya mengawasi gendewa yang mengancam didepan dadanya, akhir nya pelan-pelan dia memejam mata. Ceng-hun-kok tetap guram dan lembab, diliputi suasana sedih dan seram, kini ditambah rasa hambar dan putus asa. Malam telah larut, tabir kegelapan menyelimuti alam semesta, suasana hening lelap. Enam li jauhnya dari ceng-hun-kok, ditengah gunung terdapat sebuah gua, malam nan gelap menjadikan gua itu lebih pekat. Sekonyong konyong tawa aneh mengalikan memeCah kesunyian malam, sehingga malam yang dingin terasa seram. Dari jauh gelak tawa itu terdengar masih lirih, tapi cepat sekali sudah makin dekat dan keras, dari keras makin jauh dan lirih, akhirnya lenyap ditelan tabir malam. Gua dilamping gunung itu ternyata dihuni manusia. Helaan napas rawan berkumandang di dalam gua. Tengah malam yang sudah larut, dialas pegunungan yang belukar, dalam gua yang pekat lagi, setelah mendengar tawa aneh yang mengiriskan itu, tanpa terasa penghuni gua itu menarik napas panjang. Siapakah penghuni gua itu? Dia bukan Iain adalah Pakkiong Yau Liong yang semula menyaru Toh- bing-sik- mo sehingga kaum persilatan jeri dan takut kepadanya. IHelaan napas rawan tadi melampiaskan rasa gegetun dan dongkolnya bahwa usahanya setengah tahun ini ternyata sia-sia. Toh- bing-sik- mo yang dipancingnya itu sudah keluar kandang dan berada di- depan mata, tapi dia belum bisa menuntut balas kematian ayahnya sehingga cita-cita sepuluh tahun terbengkalai begitu saja. Gregetan dan gemas pula bahwa Ni Ping-ji si gembong iblis yang ternama ternyata tidak tahu malu, ingkar janji merintangi usahanya melabrak musuh besar. Rasa sesal kini menyelimuti sanubarinya, dia menyesali diri sendiri kenapa siang tadi dia melarikan diri, dia menyesal tidak memegang teguh hasil jerih payahnya selama setengah tahun ini, dan Toh bing sik-mo ungkang-ungkang menyaksikan dirinya bergebrak dengan Ni Ping-ji dan sekarang entah sudah lari ke-mana, entah kapan dia baru akan bisa menemukan jejaknya . Dendam tetap akan dituntut, entah kapan pasti akan datang suatu ketika cita-citanya harus tercapai. Bukan hanya Toh- bing-sik- mo saja, demikian pula Ni Ping-ji - kakek kurus pendek yang punya telinga tunggal itu. Kecuali itu seolah-olah dia merasakan seperti ada sesuatu yang harus diperhatikan juga, perasaan yang belum pernah timbul dalam sanubarinya sebelum mi. Dia berpikir, dan meraba-raba namun dia sendiri tidak tahu dan tidak memperoleh jawaban. Angin malam ribut diluar gua, tiada rembulan tiada bintang, didalam gua ini dia sudah sembunyi selama setengah tahun lamanya, dalam waktu-waktu mendatang dia harus meninggalkan gua ini, maka perasaannya menjadi haru, hambar dan rawan. Malam ini dia merasa kesunyian, karena kuda putih yang telah menemaninya selama setengah tahun telah gugur dalam menunaikan baktinya dimedan laga. Makin banyak yang dipikir, makin ruwet pikirannya, tanpa Sadar akhirnya dia terkial-kial seperti biasanya bila dia hendak mencabut nyawa orang dilembah mega hijau, tawa itu sudah menjadi kebiasaannya selama setengah tahun ini. Akhirnya tanpa sadar dia menghela napas pula. Mendadak loroh tawa lain yang keras berkumandang, ditengah malam gelap seperti hendak menyobek tabir malam, bukan saja bernada keras dingin, gelak tawa itupun mengandung getaran aneh yang tercampur rasa serang dan puas. lenyap gema suara itu, didepan gua berkelebat sesosok bayangan orang disertai larikan sinar emas dan perak secepat kilat menerjang keluar. Begitu Pakkiong Yau-Liong turun dimulut gua, bola matanya jelilatan menyapu sekelilingnya, mulutnya bersuara heran, padahal gema tawa itu masih terkiang di kupingnya, tapi di luar tidak kelihatan ada bayangan orang. Pakkiong Yau-Liong mendengus sekali, lalu terkial-kial pula lebih keras, dari gelak tawa orang tadi, dia sudah tahu siapa yang datang, maka dia pun memperdengarkan suara tawanya yang khas menantang musuh keluar dari sembunyiannya. Waktu tidak memberi kesempatan berpikir, belum berhenti dia tertawa, tiba-tiba bayangan berkelebat, dari atas belakangnya, sesosok bayangan tiba-tiba menukik turun dengan tubrukan kencang membawa tekanan tenaga dahsyat. Gesit sekali gerakan Pakkiong Yau-Liong menyingkir setombak lebih, begitu dia membalik tubuh dilihatnya orang yang menyergap adalah Tok-ni-kau-hun Ni Ping-ji. Dalam kegelapan dua orang berdiri berhadapan, keduanya menginginkan merobohkan lawan sesingkat mungkin, namun kedua nya tiada yang mau bersuara atau bergerak secara sembrono, karena sekali salah langkah, fatal akibatnya. Pakkiong Yau-Liong kendalikan pernapasannya, menunggu dengan tenang,jikalau Ni Ping-ji melejit pula menubruk kearah dirinya dia sudah siap menggempur dengan seluruh kekuatan- Ni Ping-ji pun berdiri tegak mengempos semangat dan menghimpun tenaga di kedua telapak tangannya, jikalau Pakkiong Yau-Liong bergerak diapun akan menyergap dengan serangan mematikan. Pikiran kedua orang sama tujuanpun tak berbeda. Maka keduanya saling pelotot dan berdiri tenang saling tunggu dan menunggu, entah sampai kapan mereka harus menunggu. Tanpa terasa waktu terus berlalu, namun ketegangan Semakin memuncak. keduanya masih terus saling melotot tanpa berkedip. Kecuali deru angin sekelilingnya sunyi senyap. seakan-akan tiada kehidupan makhluk lainnya didunia ini. Tiba-tiba sebuah gemboran galak dan pekik gusar memecah kesunyian alam semesta, sehingga burung-burung yang hinggap diatas pohon sama kaget beterbangan- Ditengah gema suara kedua orang, dua sosok bayangan orang saling terjang kedepan dengan kecepatan dan kekuatan dahsyat. "Pyaaar" Ditengah udara keduanya mengadu pukulan menimbulkan ledakan keras menggetar udara dan bumi, keduanya terpental mundur sejauh satu tombak lebih. Pakkiong Yau Liong meraung dingin, suaranya rendah berat Sebaliknya Ni Ping ji bergelak tawa pula dengan nada menghina dan mencemooh, saking keki Pakkiong Yau-Liong terbayang adegan pagi tadi, di mana mencengkram luka pundaknya, polah lawan yang merintangi usaha menuntut balas... bola matanya mendelik, rona mukanya berobah makin merah padam, napasnyapun makin memburu karena emosi telah membakar hatinya. Rasa sedih, benci dan penyesalan beruntun mengelitik sanubarinya, keresahan hatinya sukar terlampias, laksana gelombang pasang berbagai perasaan itu menggebu lubuk hatinya sehingga dia merasa seperti terbelenggu karena nya. Maka timbullah berbagai khayalan didepan mata, suara kosong memekak telinga, bayangan gelap berkelebat bergantian dalam benaknya, itulah bayangan ayahnya yang sengsara nan menderita, itulah jerit dan pekik ayahnya disaat meregang jiwa. Bagai terjadi suatu ledakan, mendadak pandangannya menjadi gelap. darah seperti mengilir cepat sekali, suatu arus yang tak terlukiskan besar dan bentuknya seperti hendak menerjang dari kerongkongannya kepalanya sudah mandi keringat, telapak tanganpun basah, bukan oleh keringat dingin, tapi keringat panas yang membangkitkan semangat juangnya. Sekonyong-konyong terasa jalur angin kencang menerjang kearah dirinya, dengan kaget sigap sekali Pakkiong Yau-liang kerkelit ke samping lima kaki jauhnya. Ternyata Ni Ping-ji tetap berdiri ditempatnya tanpa bergerak. hanya hembusan angin pegunungan saja yang lalu, karuan Pakkiong Yau-Liong merasa malu dan menyesaL Ni Ping ji terbahak-bahak^ suaranya melengking menusuk telinga, nadanya menghina dan mencemooh. Karuan Pa kk ong Yau-Liong naik pitam, sambil menjerit tiba-tiba dia menyerang dengan kecepatan meteor jatuh. Di mana pergelangan tangannya berputar, cahaya emas dan perak bertaburan, dengan jurus Lui-tian-sui-king yau, deru anginnya semacam pisau, ujung tombak emas dan perak memantul dengan putaran seperti gelang ketika menggulung kepala NiPing-ji dari kanan kiri. Terbeliak mata Ni Ping-ji menyaksikan serangan Pakkiong Yau-Liong, tiba-tiba dia berjongkok, tidak mundur malah mendesak maju selicin belut tubuhnya telah menyusup pergi dari bawah kedua kaki Pakkiong Yau-Liong, lalu sebat sekali tubuhnya membalik balas menyerang dengan jurus Thian-hin-kay-thay. kedua telapak tangannya bergerak secepat kilat menimbulkan putaran angin dahsyat bagai gugur menerjang kearah Pakkiong Yau-Liong. Begitu mengayun senjata sambil menerjang maju Pakkiong Yau Liong lantas kehilangan jejak lawannya, diam-diam dia insyaf bahwa dirinya tengah terancam bahaya, betul juga sebelum kakinya menyentuh tanah, dibelakang telah melanda angin dahsyat yang mematikan. Dalam detik-detik yang gawat ini, amat berbahaya bagi Pakkiong Yau-Liong yang masih terapung diudara, untuk berkelit jelas tidak mungkin, apa lagi mau menangkis. Tapi perjuangan hidup dan usaha menuntut balas menunjang tekad bulatnya, secara reftek mengikuti terjangan agin dari belakang langsung dia menjatuhkan diri kedepan "Plak" Tak urung Pak kiong Yau Liong harus tersungkur delapan langkah. Pundak terasa panas, darah seperti hendak menyembur dari dadanya. Kali ini Pakkiong Yau Liong memang gegabah dan terburu nafsu sehingga serangannya gagal malah dia sendiri yang kecundang pula, pundak belakang terpukul telak oleh Ni Ping-ji, mungkin nasib memang sudah menentukan bahwa dirinya takkan bisa terhindar dari kesulitan. Namun Kungfu Pakkiong Yau-Liong memang cukup tangguh berkat gemblengan gurunya, lekas dia menarik napas mengempos semangat kendalikan darah yang mendidih di rongga dada, dengan segenap sisa kekuatannya dia mengkonsentrasikan diri mengawasi Ni Ping-ji, segala keruwetan tersingkir dari benaknya, diam-diam dia kerahkan tenaga murninya supaya pundaknya yang terpukul hilang rasa pegal dan linu. Seperti kucing yang sedang mempermainkan tikus saja, Ni Ping-ji terbahak bahak pula dengan menengadah. Sebaliknya Pakkiong Yau-Liong tidak terpengaruh sedikitpun, kelopak matanya sedikit terpejam, pengalaman telah menyadarkan kesalahannya, kali ini dia tidak berani sembarangan lagi, padahal pundak yang kena pukulan lawan cukup berat dan fatal akibatnya, tapi tekad dan keyakinan masih dipeluknya kencang, dia percaya masih mampu memberikan perlawanan yang berarti, dan bukan mustahil dirinya nanti akan dapat merobohkan lawannya. Sirap tawanya mata Ni Ping-ji tiba-tiba memancarkan sinar liar, ujung mulutnya memantulkan senyum sinis, selangkah demi selangkah dia menghampiri kedepan Pakkiong Yau Liong. Pakkiong Yau-Liong masih setengah terpejam matanya, seperti seorang padri yang lagi samadi, seolah-olah dia tidak perduli akan situasi yang mengancam jiwanya, tidak merasakan ketegangan yang tengah dihadapinya. Kewajaran dan ketenangan Pakkiong Yau-Liong justru membuat Ni Ping-ji bimbang dan tertegun, empat langkah didepan Pakkiong Yau Liong dia berdiri, meski dalam hati dia sudah memikirkan suatu cara keji untuk menyerang lawannya, tapi menghadapi pemuda gagah yang membekal kungfu yang luar biasa ini, ternyata Ni Ping-ji tidak berani gegabah, padahal barusan dia berhasil melukai lawan. Maka keduanya berdiri berhadapan tidak menunjukkan aksi, keduanya tidak berani ceroboh, terutama Pakkiong Yau-Liong. Malam kelam nan sunyi, hanya terdengar lambaian pakaian mereka yang tertiup angin- Ketegangan terus memuncak. laksana bahan peledak yang tinggal menunggu waktu saja, sekali disentuh pasti meledak dengin dahsyat, tapi siapapun tiada yang berani menyentuhnya . Ruyung lemas singa emas Pakkiong Yau-Liong memancarkan cahayanya yang gemerdep. demikian pula sinar mata Ni Ping-ji memantulkan sinar yang sukar dilukiskan. Terbayang olehnya kejadian dua puluh tahun yang lalu, kejadian yang tak pernah terlupakan selama hidupnya, kenangan masa lalu yang menyedihkan, tanpa terasa otaknya meraba dan menggagap kejadian masa silam. Di kala dirinya berdiri diatas kedua lututnya, tawa hina dan tatapan mencemooh itu, seperti terulang kembali didepan mata, pemilik pertama ruyung lemas singa emas itu yang dahulu menghadiahkan kehancuran nama dan rasa malu yang tak terhingga di hadapan sekian banyak tokoh-tokoh persilatan, dia mendapat penghinaan dan siksaan batin yang teramat besar dan mendalam selama hidup, hingga tiada muka berkecimpung dipercaturan dunia persilatan pula,jangan kata mau menjagoi dalam kalangan hitam. Sejak inilah dia menyembunyikan diri di suatu tempat yang bentuknya menyerupai sumur kira-kira dua ratus li disebelah utara ceng-hun-kok, Kekalahan dua puluh tahun yang lampau telah terukir dalam sanubarinya, maka dia mempersiapkan diri, dikala latihannya telah mencapai taraf yang dapat di ketengahkan dia bersumpah untuk menuntut balas kekalahannya dahulu. Hari ini, pada suatu kesempatan yang kebetulan, tiba-tiba dia melihat ruyung lemas singa emas dimiliki oleh pemuda berkepandaian tinggi, dari mulut sipemuda baru dia ketahui bahwa biang keladi kesengsaraan dan penderitaannya selama dua puluh tahun kehidupannya itu ternyata telah mampus. Maka dendam kesumat yang bersemayam dalam tubuhnya selama dua puluh tahun ini dia limpahkan kepada Pakkiong Yau-Liong. Ruyung lemas dengan sinarnya seperti menantang saja, sehingga amarah Ni Ping-ji semakin memuncak. Terasa olehnya Pakkiong Yau-Liong seperti sedang berobah dan berobah..... bukankah yang berdiri dihadapannya sekarang adalah Biau-hu Suseng yang sedang mengulum senyum hina? Dengus yang keras keluar dari hidung Ni Ping-ji, kembali ujung mulutnya mengulum Senyum sinis. Pelan-pelan sepasang tangannya yang panjang kurus kering terangkat dan lurus didepan dada. Seiring dengan gerakan Ni Ping-ji, Pakkiong Yau Liong juga pelan-pelan membuka matanya yang terpejam, ruyung yang dipegangnya juga pelan-pelan terangkat bergelantung diatas kepalanya, sikapnya tetap tenang, wajahnya tidak menunjukkan perasaan hatinya. Disertai gerengan pendek mendadak Ni Ping-ji menekuk sikut terus mendorong kedua telapak tangannya dengan jurus Kim - ban-song-ti (mengantar ikan dibaki emas), ditengah jalan kedua telapak tangannya berkembang, jari-jarinya laksana cakar, sementara jari jarinya menekuk terus menuding menimbulkan lima jalur angin laksana gunting menCengkram pundak Pakkiong Yau- Liong . Sikap Pakkiong Yau-Liong tidak berobah, matanya terbuka lebar menyorotkan sinar dingin, ruyung lemas yang tergantung diatas kepala mendadak tegak lurus dan kencang, begitu pergelangan tangan bergerak. dengan jurus Ui-hoa kay ce-hoan, dibarengi kelebatnya cahaya emas ruyung lemasnya menggulung kearah kedua tangan Ni Ping-ji. Lekas Ni Ping ji menarik, kedua tangan meluputkan diri dari serangan lihay Pakkiong Yau-Liong, kedua tangan berputar terus mendesak maju hendak balas menyerang dengan gerakan berantai, Tiba-tiba terasa pandangannya menjadi terang, diantara taburan sinar emas dan perak, seperti ada beberapa ekor singa membawa tenaga hebat laksana kilat menubruk kepadanya. Saking kagetnya, tidak sempat balas menyerang, lekas Ni Ping-ji menutul kaki, sebat sekali dia mundur setombak lebih, beruntung dia masih sempat menghindar, namun keringat dingin sudah membasahi kuduknya, cara berkelitnyapun kelihatan serba runyam. Ni Ping-ji tak berani memandang enteng lawannya, dari dalam bajunya, dia mengeluarkan sebatang pentung tembaga merah panjang satu kaki, sambil menghentak serta diacungkan maka berkibarlah selembar panji segitiga yang tersulam dari benang sutra hitam di atas kain perak. Itulah Kau-hun ling ki yang dahulu pernah menggetarkan nyali kaum persilatan dikala Tok-ni-kau-hun Ni Ping-ji malang melintang di kangouw. Tetap menudingkan ruyung lemas singa emas yang kaku oleh tenaga dalam Pakkiong Yau-Liong, mulutnya terkekeh-kekeh dengan nada monoton. Ni Pingji naik pitam, sambil menggerung dia menerjang kearah Pakkiong Yau-Liong, di saat rubuhnya terapung, tangan kanan membalik dan "Beerr" Panji segitiga dengan sulaman hitam itutelah dikeprukkan kebatok kepala Pak kiong Yau-Liong, perbawa serangan panji kecil ini ternyata dahsyat sekali. Lekas Pakkiong Yau-Liong berkelit kekiri, ruyung lemahnya balas menyerang dengan jurus Kang hong- ni-koh- hong, kadang-kadang lemas tiba-tiba kaku ruyung singa itu menyabet ke-arah Ni Ping-ji. Kembali Ni Ping-ji menggerung, seperti orang gila tangannya berputar dengan To-kian kim-cian (menggulung balik kerai emas). Kau hun-ling-ki (panji perenggut sukma) secepat kilat menggulung kearah ruyung Pakkiong Yau Liong yang menyabet datang. Berbareng tangan kiri dengan jurus ou in-bit-pu (mega mendung makin tebal) taburan telapak tangannya tiba-tiba seraburan menepuk ke batok kepala Pak kiong Yau-Liong. Serangannya telak, keras dan tidak memberi ampun. Baru saja Pakkiong Yau Liong menyabetkan ruyungnya, Ni Ping-ji sudah balas menyerang dengan jurus yang berlainan dengan tangan kiri sekaligus, satu menyerang yang lain mematahkan serangannya, karuan Pakkiong Yau-Liong kaget, lekas dia mendekam kebawah, berbareng tumitnya menutul, hingga tubuhnya menerobos pergi lima kaki jauhnya. Diam-diam Pakkiong Yau-Liong berpikir. "Ni Ping-ji telah keluarkan senjatanya, beruntun dua jurus sudah susah kuhadapi, untuk mengalahkan dia agaknya teramat susah bagi diriku." Walau mengakui keunggulan lawan, tapi Pakkiong Yiu- Liong tidak punyaniat untuk segera menyingkir, pengalaman siang tadi telah diresapinya, meski gugur dimedan laga, dia tidak akan melakukan perbuatan yang bodoh dan memalukan itu, karena itu akan menambah rasa sesalnya. Maka tanpa ragu segera dia menjejak kaki, tubuhnya mumbul seringan asap. ditengah udara setelah tubuhnya mencapai ketinggian maksimal, tiba-tiba dia menukik turun, ruyung emasnya membawa tarikan cahaya panjang laksana pelangi menubruk kearah Ni Ping ji. Melihat Pakkiong Yau-Liong melambung keudara, Ni Ping-ji. tahu orang tengah mengembang Ginkang paling tinggi yang dinamakan Yan-tenghun siang in dikombinasikan dengan gerakan tubuh Sin- Liong- wi-khong-coan sehingga tubuhnya mampu bergerak serta menukik balik dari udara. Insyaf serangan lawan teramat lihay, tanpa ayal lekas dia menyingkir lima kaki meluputkan diri dari serangan Pak kiong Yau Liong. Begitu Pakkiong Yau-Liong mencapai bumi dan belum sempat mengganti gerakan untuk melanjutkan serangan susulan, sebat sekali Ni Ping-ji sudah melompat majU seraya mengerjakan tangan, dengan jurus Liong-toh-seng, Kau-hun- ling- king menggulung keluar dengan gerakan gelap yang menepuk ke dada Pakkiong Yau-Liong. Gerak-geriknya ternyata amat lincah, maju mundur dilaksanakan dengan enteng serta aneh. Belum lagi mempersiapkan diri, tiba-tiba dilihatnya lawan sudah berkelit, maka begitu kaki menyentuh bumi Pakkiong Yau-Liong sudah menekan tubuh merobah posisi, dengan jurus Kim-poh-koan-to-gu, ruyung lemasnya bergetar laksana gelombang samudra yang mendebur, batang ruyung menjadi kaku dan serong menusuk kelambung Ni Ping-ji dari samping. Serangan kedua orang dilancarkan hampir bersamaan, jaraknya juga dekat, siapa bisa sempat berkelit menyelamatkan diri diri serangan lihay lawan, lawan pasti berhasil dirobohkan. Sedetik sebelum serangan kedua pihak mengenai sasaran, keduanya samsa-sama membentak. berbareng pula keduanya berusaha mengerem gerakan sambil mengegos miring, sehingga keduanya sama-sama luput dari serangan lawannya. Dalam jangka sesingkat itulah, terdengar Ni Ping ji mendehem sekali, telapak tangannya yang kiri menyerang dengan jurus Tam-yang-ki-but (merogoh kantong mengambil barang), telapak tangannya yang kurus kering itu menimbulkan deru angin yang kencang, secepat kilat menggenjot keperut Pakkiong Yau-Liong. Dikala berkelit Ni Ping-ji masih mampu melancarkan serangan yang mematikan, karuan Pakkiong Yau Liong tersirap kaget, padahal ruyung lemas kebacut menyerang, pundak kiri sudah terluka pula, menangkis dengan tangan kiri juga tidak mungkin, sehingga pertahanan bagian depannya tetbuka lebar, di saat-saat yang menentukan mati hidupnya ini, Pakkiong Yau-Liong tidak hiraukan luka luka dipundaknya lagi, tiba-tiba menjengkang tubuh ke belakang sambil menjejak sehingga tubuhnya melesat kebelakang setinggi dua kaki sejajar dengan bumi. Tubuh yang meluncur sejajar dengan bumi mendadak bergerak dengan gaya Biau-kim-it-si-ki, secara kekerasan tubuhnya itu mendadak bisa menegak pula berdiri. Tak urung keringat telah bertetesan dari jidatnya. Gerakan Tiam Iik-king-hwe-hwe disusul Biau-kim-it-ci-ki adalah ciptaan Biau-hu Su-seng bukan saja gerakannya sukar dilaksanakan, ternyata gayanya kelihatan lemah gemulai dan indah sekali, namun bila dikembangkan terlalu banyak mengeluarkan tenaga. Untuk mengembangkan gerakan tubuh ini bukan saja harus memiliki latihan Lwekang yang sudah sempurna, harus memiliki Ginkang yang tinggi pula, karena prakteknya harus mengerahkan seluruh kekuatan, dikala tubuh celentang lurus dan meluncur lalu dirobah dengan gaya Biau-kim-it-ci-ki harus dilandasi tenaga dalam yang kuat sehingga tubuh dengan sendirinya bisa merobah gerakan menjadi tegak. Pedang Kayu Cendana Karya Gan KH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sudah tentu untuk mencapai seluruh gerakan itu amat makan tenaga... Karena terpaksa Pakkiong Yau-Liong mengembangkan gerak tubuh itu dengan seluruh kekuatannya, sehingga luka- luka dipundaknya tergetar pecah dan mengalirkan darah pula, Sakitnya seperti menusuk ulu hati, sehingga tak tertahan keringat dingin berucuran. Sambil kertak gigi dia menarik napas panjang, seluruh hawa murni dalam tubuhnya lekas dipusatkan, maksudnya untuk mencegah sakit dan darah tidak mengalir terlalu banyak keluar dari luka- luka dipundaknya. Namun tiba tiba terasa kerongkongannya anyir, segulung hawa menyembur naik dan tak tertahan lagi dia menyembur darah segar. Pakkiong Yau-Liong merasa longgar malah setelah segumpal darah tertumpah, namun napasnya malah memburu dan makin lemah. Ni Ping ji terkial-kial melihat sipemuda muntah darah, lengking tawanya menggetar genderang telinga, memecah kesunyian bergema diatas pegunungan. Di kala angin malam menghembus datang, tubuh Ni Ping-ji yang kurus kering itu tiba-tiba menyongsong maju dengan pekik setan yang mengerikan menerjang kearah Pakkiong Yau-Liong. Noda darah masih meleleh diujung mulut Pakkiong Yau Liong, wajahnya pucat pasi, sebelum tubrukan Ni Ping-ji tiba, dia menggeser langkah memapak kesamping, ruyung lemasnya bekerja dengan dua jurus Saling Susul lagi ditengah arena, Senjata mereka ternyata Ban-jong-an-cing-seng dirobah menjadi cap- hekjui-bu plan, bintang dingin bertaburan di lingkaran Cahaya emas, dua jurus bergabung menjadi satu, dengan kekuatan dahsyat memapak serangan Ni Ping-ji. Mendadak Ni Ping-ji meraung, tubuhnya berputar dua kali, tangan dibawah kaki diatas, panji perenggut sukma ditangannya tiba-tiba berkelebat dengan jurus Hong- coat-sip- yau, gagang panji yang terbuat dari tembaga itu menderu dengan kekuatan besar menggulung kearah cahaya ruyung Pakkiong Yau-Liong Itulah jurus terlihay dari Kau-hun-coat-sek Ni Ping-ji yang paling diagulkan- Tampak begitu bayangan hitam membentur cahaya emas kemilau, tubuh Ni Ping-ji mendadak anjlok kebawah. Dua orang berhadapan pula seperti ayam jago sedang berlaga ditengah arena, senjata mereka ternyata saling gubat. Mata Ni Ping-ji melotot, pelan-pelan tubuhnya merendah, otot dilengan kanannya nampak merongkol, mengerahkan setaker tenaganya mendadak dia menarik ke belakang. Demikian pula Pakkiong Yau-Liong merendahkan tubuh, kakinya pasang kuda-kuda, tangan kanan menekan pinggang memegang kencang gagang ruyungnya, dia tidak mengejar kemenangan syukur kalau kuat bertahan dan senjata tidak terlepas dari tangan, kuda-kudanya memang sekokoh gunung. Diatas senjata mereka yang bergubat itulah kedua orang ini mengadu kekuatan tenaga dalam, sedikit lena atau kurang perhitungan, bukan saja senjata terampas, akibatnya teramat fatal, jiwa bisa lenyap seketika. Maka kedua orang ini tak ada yang berani pecah perhatian, masing-masing mengerahkan Lwekang yang diyakinkan sambil menatap tajam setiap perobahan lawan. Terasa hembusan angin lalu membawa kabur ketegangan yang mencekam ini. Sang waktu merambat pelan seperti keong, malam nan sunyi semakin kelam dan larut, dalam kesunyian seolah dapat mendengar debur jantung mereka, deru napas semakin berat dan memburu. Lambat laun dengus napas Pakkiong YauLiong makin keras dan cepat, jantungnya pun seperti berdegup makin besar sehingga deburannya makin cepat, keringat bertetes-tetes diatas kepala dan mukanya. Senjata yang tergubat dan menegang itu, lambat-lambat tapi pasti berkisar makin mendekati Ni Ping-ji. Sekonyong-konyong Ni Ping-ji menghardik keras, tangan kiri menekan lengan kanan kontan Pakkiong Yau-Liong merasa tekanan di atas ruyungnya bertambah besar, insyaf dirinya tak kuasa mengendalikan tubuhnya pula, bila dia tidak segera melepas senjatanya. Diam-diam dia mengeluh dalam hati^ "Pakkiong Yau-Liong, mungkinkah hanya begini saja." Dikala detik detik yang menentukan kalah menang bakal terjadi, tiba-tiba gelak tawa aneh menggelegar diudara, tawa yang mengerikan itu memecah kesunyian malam. Sesosok bayangan orang mendadak melambung dengan kecepatan kilat melesat dari atas kepala Ni Ping-ji. Ni Ping-ji sudah yakin bahwa Pakkiong Yau-Liong sudah pasti dapat dikalahkan, serta merta rasa senangnya membuat dia sedikit lena, lekas dia kerahkan tenaga lebih besar ke- lengan kirinya yang menekan lengan kanan, pikirnya. "coba saja, apakah kau masih kuat bertahan...." Pada saat itulah kupingnya hampir pekak mendengat gelak tawa aneh yang keras, kontan Ni Ping-ji merasa tenaga tarikkannya mendadak seperti kosong, pertahanan lawan blong dan tahu-tahu Pakkiong Yau-Liong melesat lewat diatas kepalanya, berbareng panji perenggut nyawa ditangannya seperti tersendal pula, maka ruyung lemas Pakkiong Yau-Liong yang menggubat panjinya pun terlepas terbawa terbang. Mimpipun Ni Ping-ji tidak pernah menduga bahwa pada detik- detik yang gawat itu Pakkiong Yau Liong masih mampu meminjam daya tarikannya meluncur terbang sambil membebaskan lilitan ruyungnya pada panji kecilnya. Saking gugup dan gusarnya, mendadak dia menjejak bumi, tubuhnya melambung sambil berputar arah mengudak kearah Pakkiong Yau-Liong, gerak geriknya selincah kera segesit tupai. Pergelangan tangan berputar dengan jurus Liu-sing-kan-gwe (bintang Sapi mengejar rembulan), sedang tembaga panji kecilnya itu menderu kencang menutuk ke Giok-Sim-Hiat dibelakang batok kepala Pakkiong Yau-Liong. Baru saja kaki menyentuh tanah, angin kencang sudah mengincar kepala, tanpa berkelit atau memutar badan, Pakkiong Yau-Liong mengayun tangan kebelakang dengan jurus Lik-yap-wiji-yan, cahaya emas berkembang disertai pantulan sinar perak menyabet urat nadi tangan kanan Ni Ping ji. Ni Ping-ji menjerit murka, matanya mendelik buas, tangan kanan ditekan miring dengan jurus Gwe-lng-llng-ho (sinar rembulan menerangi kembang), kelima jarinya terkembang bagai cakar, secepat kilat mencengkram kebatang ruyung Pakkiong Yau Liong yang menyabet tiba. Bahwa serangannya luput, Pakkiong Yauliong sudah siap melompat pergi, tapi tiba-tiba terasa rayungnya mengencang, ujung ruyungnya ternyata sudah terpegang oleh Ni Ping-ji, karuan kaget dan tertegun Pakkiong Yau-Liong, sedetik dikala dia tertegun itulah dilihatnya bayangan hitam dan sinar kuning berkelebat kontan Jian kiat-hiat dipundak kanannya tertutuk oleh gagang panji perenggut sukma Ni Ping-ji. Kontan pandangan Pakkiong Yau- Liong menjadi gelap. tanpa kuasa "Bluk" Pakkiong Yau-Liong tersungkur jatuh tak sadarkan diri. Tawa Ni Ping-ji menggetar langit menggoncang bumi, gema suaranya seperti mendengung dialam bebas. Ditengah keremangan tampak Ni Ping-ji merenggut kuduk Pakkiong Yau-Liong terus dibawanya lari bagai terbang, hanya sekejap bayangannya sudah lenyap ditelan kegelapan- Alam semesta kembali menjadi hening, tabir malam masih menyelimuti jagat raya, angin menghembus lalu. Ditengah kegelapan hanya tercium anyirnya darah, sekeliling sunyi senyap, meski keadaan tenang tiada suatu gerakan, tapi siapa pun akan merinding berada di tempat yang seseram ini. Apalagi ditengah kegelapan sana terdengar pula helaan napas yang rawan, penuh derita dan siksa. -ooo0dw0ooo- 7 BAU AMIS, apek dan kelembaban merangsang hidung. Tidak tahu sekarang siang atau malam. Karena tempat itu tak pernah kena sinar matahari, tak pernah melihat redupnya cahaya rembulan- Hanya kegelapan melulu yang dihadapi dan terbentang di depan mata, kegelapan yang tidak berujung pangkaL Disini tak pernah dia menghirup hawa segar, hanya bau kotor saja yang lelalu menyesakkan rongga dadanya. Tidak pernah hujan tiada angin, hawapun rasanya beku, seperti tiada kehidupan lagi. Mungkin di mana adalah sebuah rumah, atau penjara di bawah tanah ? Mungkin juga bukan rumah atau penjara, tapi berada di neraka. Dalam kesunyian ditempat gelap itu, mendadak berkumandang gelak tawa aneh, gelak tawa yang lebih seram dari jerit setan atau pekik dedemit, di dalam kedelapan yang dingin dan mencekam ini, lima jari sendiri tidak kelihatan, siapa tidak akan merinding dan berdiri bulu kuduknya. Suara berkedut berkumandang sekejap. lalu tampak secercah cahaya menembus ketempat gelap itu, tampak sesosok bayangan berkelebat masuk. yang menyelinap kemari adalah seorang nyonya muda berusia tiga puluhan, berwajah cantik anggun membawa lamplon merah, diri alisnya yang berkerut nampak hatinya seperti dirundung banyak kegelisahan- Dibelakangnya ikut masuk seorang kakek. kurus pendek, kupingnya tinggal satu, dia bukan lain adalah Tok-ni-kau-hun Ni Ping-ji Dengan sorot mata jalang Ni Ping-ji menatap kearah dinding segera dia mengulum senyum puas dan sadis. Selangkah demi selangkah kedua orang ini maju menghampiri makin dekat. Dibawah penerangan lamplon yang guram, tampak di atas dinding bergantung menempel dinding seorang laki-laki yang berambut kusut masai dengan muka pucat kurus. Kepalanya tertunduk lunglai, dua rantai sebesar ibuj ari kaki menembus tulang pundaknya dan terpantek di atas dinding, kaki tangannya terpentang lebar seperti melekat di dinding. Pakaiannya yang sudah koyak-koyak sudah tidak kelihatan warnanya, keadaannya begitu mengenaskan karena tersiksa. Setiba dibawah dinding, Ni Ping-ji menatap tajam penuh perhatian, seperti seorang seniman yang lagi asyik menikmati karyanya sendiri, lalu bergelak tawa kial-kiaL Pelan-pelan akhirnya dia menekan sebuah tombol yang menonjol di dinding sisi kiri, maka terdengar sutra gemerincing, pelan-pelan orang yang tergantung diatas tembok melorot turun, namun kedua kaki orang itu agaknya sudah tidak kuasa menyanggah berat seluruh tubuhnya yang sudah kerempeng tinggal kulit pembungkus tulang, tubuhnya terus meloso jatuh terduduk. punggUngnya menggelendot di dinding. Ni Ping-ji mendehem sekali lalu maju dua langkah, sekali renggut dia jambak rambut kepala orang itu sehingga kepalanya yang tertunduk lunglai jadi menengadah. Dengan seksama dia awasi muka orang itu, siapa lagi kalau bukan Pakkiong Yau-Liong. Mulutnya tergagap, bibirnya gemetar, napasnya juga sudah senin kemis, matanya guram setengah terpejam. Hanya berselang setengah bulan, ternyata keadaannya sudah begitu mengerikan oleh siksaan Ni Ping-ji yang keluar dari batas perikemanusiaan. "Keparat " Damprat Ni Ping-ji. "Jangan pura pura modar. Masih ada siksaan yang lebih nikmat belum kau rasakan, tahu ?" Melihat mula Pakkiong Yau-Liong yang kurus tinggal kulit pembungkus tengkorak, melihat sinar matanya yang redup, kembali Ni Ping-ji terkial-kial puas dan senang, begitu dia melepas renggutannya, kepala Pakkiong Yau-Liong terkulai pula. Diam-diam dia membatin. "Dua hari ini kenapa kau tidak mengamuk tidak mencaci maki..." Tiba-tiba suatu pikiran berkelebat dalam benaknya, sambil tertawa menyeringai dia menatap muka Pakkiong Yau-Liong, akhirnya dia membuka suara. "Keparat, hari ini akan kusampaikan sebuah berita gembira patut di rayakan. Bukankah kau hendak menuntut balas kematian bapakmu ? Bukankah kau hendak mencari Toh-bing-sik-mo ? Nah, biar kuberi tahu kepadamu, dia berada diBiau-kiang, bukankah berita ini cukup menggembirakan ?" Dalam keadaan setengah sadar, lapat-lapat Pakkiong Yau-Liong mendengar sebutan Toh-bing-sik-mo, pelan-pelan dia angkat kepalanya matanya memancar sinar aneh, bibirnyapun gemetar, namun hanya sebentar saja, kepalanya tertunduk lunglai lagi. Ni Ping-ji terkial-kial pula, lalu berkata. "Ayolah tertawa keparat, silahkan pergi keBiau-kiang mencari Toh-bing-sik-mo, tuntutlah sakit hati bapakmu." Lalu jarinya menutuk ke Siau-yau-biat dipinggang Pakkiong Yau-Liong. Kial tawa Ni Ping-ji yang menggila membuat tawa Pakkiong Yau-Liong yang terpingkel-pingkel kelelap. suaranya serak dan semakin lirih, tubuhnya mengejang dan gemetar. Tawa Ni Ping-ji sudah berhenti, tapi Pakkiong YauLiong masih terpmgkel pingkel.. suaranya semakin lirih dan pelan, akhirnya berhenti, tapi tubuhnya makin gemetar, darah mulai meleleh dari mulutnya^ Ni Ping-ji tertawa dingin. Wajah perempUan yang menenteng lamplon menampilkan perasaan yang sUkar dilukiskan, seperti kasihan, simpatik dan penderitaan- Bukan hanya sekali ini dia menyaksikan adegan seperti ini, tapi dia tidak berani menentang atau memperlihatkan reaksinya, maklum nasibnya sekarang tidak lebih baik dari Pakkiong Yau-Liong, kalau Pakkiong Yau-Liong tersiksa badaniah, tapi dia tersiksa batinnya. Perempuan ini bukan lain adalah yang bercokol diam karena pengaruh obat bius Ni Ping ji sejak di ceng-hun-kok tempo hari. Ternyata belum puas juga Ni Ping-ji menyiksa tawanannya. Dia tepuk sekali di dada Pakkiong Yau-Liong, tubuhnya tidak lagi mengejang atau gemetar, tidak tertawa pula, namun mukanya tiba-tiba mengkerut, matanya yang terpejam terbuka sedikit, gignya gemertak menahan sakit yang luar biasa, tubuhnya seperti di tusuki ribuan jarum, setiap sendi tulangnya seperti hampir copot, keringat dingin membasahi sekujur badannya. Rasa sakit memang sukar ditahan, dia ingin menjerit, meratap. menangis atau meraung, menyesali nasib dirinya. Selama setengah bulan ini dia telah disiksa oleh Ni Ping-ji setengah mati, badannya sudah kurus tinggal kulit pembungkus tulang ingin hidup tidak bisa, ingin mati- juga sukar. Pakkiong Yau-Liong tahu, setelah dirinya kenyang merasakan siksaan ini, akhirnya juga pasti mati, tapi didalam hati kecilnya masih mengharapkan munculnya suatu keajaiban, karena dia masih ingin hidup, banyak tugas belum dibereskan. Hatinya dendam, benci dan penasaran, namun semua perasaan itu akan turut terkubur bersama jiwanya yang tak akan lama hidup, dia maklum sekujur tubuhnya sudah pati rasa, otaknyapun sudah berhenti bekerja. Hanya satu yang masih bersemayam dalam sanubarinya, yaitu harapan untuk lolos dari tempat laknat ini, lolos dengan selamat dan hidup, karena dia belum menunaikan tanggUng jawab yang masih dipikulnya, sadah tentu terhadap Tok-ni kau-hun Ni Ping ji diapun akan membuat perhitungan tersendiri pula, tapi semua ini hanya akan tercapai apabila keajaiban muncul dan membebaskan dirinya dari segala penderitaan ini. Tiba-tiba Ni Ping ji terkial-kial pula, dari dalam lengan bajunya dia mengeluarkan beberapa batang bambu kecil kecil dan runcing. Mulutnya menyungging seringai sadis pula, matanya semakin liar mengawasi Pakkiong Yau-Liong yang tergantung diatas rantai. Ni Ping-ji memegang sebatang bambu kecil dengan mendelik tiba-tiba dia tusukkan bambu kecil itu di tengah jari tangan Pakkiong Yau-Liong. Rasa sakit seperti menusuk sanubari, saking kesakitan sekujur tubuh Pakkiong Yau-Liong mengejang, bola matanya yang guram terbeluik, tubuhnya kaku lalu jatuh pingsan Darah segar tampak meleleh dari ujung bambu yang amblas setengah di tengah kuku jarinya setetes, dua tetes dan seterusnya membasahi tanah. Perempuan yang terblus menenteng lampion pun sampai terbeliak menyaksikan siksaan sadis ini, matanya mendelong mengawasi darah yang menetes dari jari Pakkiong Yau-Liong-Ujung bibirnya tiba-tiba gemetar, napasnya memburu, jantungnya berdetak lebih sepat kebencian sudah bersemayam dalam benaknya, penderitaan orang lain seperti juga penderiaannya sendiri, itulah manusia, manusia yang masih punya perasaan cinta kasih terhadap sesama, padahal pikirannya terbius oleh perbuatan kotor Ni Ping ji, namun sorot matanya tiba-tiba memancarkan cahaya terang, menandakan keteguhan hatinya setelah mengambil suatu keputusan, pelan-pelan dia membalik tubuh sambil menyeka air matanya yang tidak tertahan lagi. Cahaya lampion yang guram tampak terlalu redup untuk menerangi ruangan yang gelap pekat ini, kepekatan yang menyiarkan bau amis dan anyir yang memualkan. Agaknya Ni Ping-ji masih belum puas juga melihat hasil karyanya, kembali dia memungut sebatang bambu, pelan-pelan ditusuk kan pula ke jari Pakkiong Yau-Liong yang lain- Rasa sakit membuat sadar Pakkiong Yau-Liong dari pingsannya, sekujur tubuhnya bergeringgingan, lalu kelejeran, mukanya yang sudah pucat tepos menampilkan rasa kesakitan yang luar biasa, bola matanya yang melotot berwarna merah darah, darah kembali menetes dari ujung bambu membasahi lantai di bawah kakinya. Rasa sakit memang tidak tertahankan lagi, mulut Pakkiong Yau-Liong megap-megap. namun tak ada suara yang keluar dari tenggorokannya, tubuhnya masih terus mengejang, namun keringat tidak lagi keluar. Hanya giginya yang gemerutuk sehingga menjadi paduan suara yang mengerikan dengan bunyi darahnya yang menetes. Kecuali itu suasana di dalam ruang batu itu seperti beku, Ni Ping-ji tersenyum sadis, siksaan yang mengerikan yang dia lakukan agaknya belum juga mengetuk perasaannya, belum juga memuaskan hatinya, dengan tatapan kejam dia awasi keadaan Pakkiong Yau-Liong yang mengenaskan, mengawasi jari orang yang tertancap bambu serta darah yang mengalir setetes demi setetes. Kecuali ujung mulutnya yang menyeringai sadis, muka Ni Ping-ji tidak menampilkan perasaan apa-apa, sifat kemanusiaannya agaknya sudah beku. Kembali diambilnya sebatang bambu, ditusuknya pula jari Pakkiong Yau-Liong ditangan yang lain, ditusuk dan bambu itu amblas pelan-pelan- Rasa sakit kembali menyadarkan Pakkiong Yau-Liong dari pingsannya, tapi kembali dia pingsan pula karena kesakitan itu, gemetar tubuhnya kian keras sehingga rantai yang membelenggu tulang pundak, kaki tangannya berbunyi gemerincing. Darah masih terus menetes, namun Pakkiong Yau Liong sudah tidak mampu merintih lagi meski rasa sakit menyiksa dirinya. Ni Ping-ji tertawa lagi dengan suaranya yang tinggi rendah menyentak jantung pendengarnya. Dalam kesakitan yang luar biasa, entah dari mana datangnya tenaga mendadak Pak kiong Yau-Liong meronta sekali lalu jatuh lunglai lagi tak ingat diri, tubuhnya setengah tergantung di atas dinding, matanya melotot mulutnya terbuka, darah mengalir keluar. Rantai yang di sebelah kiri ternyata lepas dari badan Pakkiong Yau-Liong mengeluarkan suara berisik membentur dinding serta bergontai pergi datang. sebatang tulang tampak menongol keluar dari pundak Pakkiong Yau-Liong, tulang pundak kirinya yang terbelenggu rantai ternyata putus karena goncangan tubuhnya tadi. Darah memancur dari pundaknya membasahi tubuh, kulit dagingnya seperti tercacah, mengirikan. Ni Ping-ji menggerung sekali, lalu dengan mendelik gusar dia menatap muka Pakki ong Yau-Liong. Sesaat kemudian dia mencabut bambu yang menancap diujung jari Pakkiong Yau-Liong, dari dalam kantongnya dia mengeluarkan bubuk obat serta membubuhi pundak dan jari-jari Pakkiong Yau-Liong dengan puyer putih lalu membalut luka- luka nya. Akhirnya dia keluarkan pula sebuah botol kecil dan menuang dua butirpil terus menekan dagu Pakkiong Yau-Liong dengan kekerasan sehingga mulut Pakkiong Yau-Liong terpentang, lalu dia jejalkan dua pil tadi. Disinilah letak kekejaman Ni Ping-ji, dia sudah menyiksanya sedemikian rupa, tapi dia belum menginginkan korbannya segera mampus. Ni Ping-ji menekan, pula tombol di dinding kiri, bunyi gemerincing kembali bergema didalam ruangan itu, rantai bergerak Pakkiong Yau-Liong digantungnya pula diatas dinding. Setelah daun pintu yang berat berderit lalu menutup, keadaan kembali menjadi gelap. Entah berselang berapa lama kemudian, di tengah rasa kesakitan yang masih menyiksa dirinya pelan-pelan Pakkiong Yau-Liong siuman dari pingsannya, pelan-pelan dia angkat kepalanya, mulutpun mulai mengeluarkan rintihan perlahan, itulah berkat khasiat kedua butir pil tadi. Rasa sakit di pundak dan jari-jarinya sungguh tak akan tertahankan oleh siapapun, tubuhnya seperti kosong, hampa tidak berjiwa atau bersukma lagi, rasanya seperti linu, tapi bukan sakit juga bukan pegal, pendek kata bagaimana perasaan yang tercampur aduk sukar dilukiskan. Selama setengah bulan ini setiap hari dia disiksa dengan berbagai cara oleh Ni Ping-ji, sebetulnya tubuhnya sudah pati rasa, namun setiap kali dikala napasnya sudah kempas-kempis, Ni Ping ji selalu memberi minum pil kepadanya sehingga dia tidak mati, dengan pil obat mujarab yang bisa menambah darah sekaligus mempertahankan jiwa Pakkiong Yau-Liong namun dengan berbagai cara paling keji pula dia menyiksa Pakkiong Yau-Liong. Selama setengah bulan ini, dia sudah mengalami siksaan lahir batin, siksaan badaniah yang terutama sampai hari ini, tenaga yang menjerit atau merintih juga sudah tiada lagi. Keadaannya sudah tidak segagah, setampan serta selincah setengah bulan yang lalu, Pakkiong Yau-Liong yang sudah menggetarkan Kangouw sejak tahun yang lalu, kini tinggal kulit membungkus tulang saja lagi, keadaannya yang mengenaskan, meski setanpun merasa kasihan bila melihatnya, apalagi manusia, kecuali merinding siapapun tak akan tega menyaksikan keadaannya. Padahal keadaannya sudah kempas-kempis, jangan kata ingin mempertahankan hidup tenaga untuk mencari kematian juga tidak ada lagi. Dalam kegelapan, ditengah bau amis dan anyirnya darah sendiri, tanpa terasa dia menghela napas panjang, rintihan kembali keluar dari mulutnya. Tiba-tiba bunyi berkerit yang menusuk pendengaran menyentak lamunannya, dibawah penerangan redup, tampak sesosok bayangan semampai memasuki kamar batu ini, dengan langkah enteng langsung dia mendekati dinding, secara gopoh dia menekan tombol sehingga Pakkiong Yau-Liong yang tergantung diatas dinding dikerek turun. Pakkiong Yau Liong kaget dan heran, dengan terlongong dia mengawasi perempuan di depannya. Nyonya mudayang cantik berusia tiga puluhan, wajahnya menampilkan senyum manis, rasa tegang terbayang di wajahnya, sekilas dia melirik kepada Pakkiong Yau-Liong sambil tersenyum. Demi melampiaskan kebencian, karena tidak tega menyaksikan Pakkiong Yau-llorg yang tersiksa, akhirnya dia nekad dan berkeputusan, tanpa memperdulikan segala akibatnya nanti, dia berusaha hendak menolong dan membebaskan Pakkiong Yau-Liong. Lekas dia membebaskan rantai yang membelenggu kaki, tangan dan pundak Pakkiong Yau Liong, tidak perduli perbedaan laki perempuan, pelan-pelan dia angkat tubuh Pakkiong Yau-liong dan terus menggendongnya, dengan langkah enteng dia beranjak keluar dan ditelan kegelapan- Dalam keadaan sadar setengah sadar, Pakkiong Yau Liong tahu dirinya digendong orang. Tiba-tiba hembusan angin dingin yang menusuk tulang, membuat tubuh Pakkiong Yau-Liong menggigil, seketika dia sadar dari pingsannya. Segera dia menarik napas dalam, menghirup napas segar, syukurlah bahwa Thian Yang Maha Kuasa telah memberi kesempatan kepadanya untuk melihat kebesaran alam semesta ini, meski keadaan jagat raya diselimuti tabir gelap. Harapan hidup kembali bersemi didalam sanubarinya. Setelah sadar apa yang terjadi, sayang dia tidak kuasa bersuara untuk menyampaikan rasa terima kasih, tiada tenaga menolak kebaikan orang lagi, namun setulus hati diaamat berterima kasih, haru dan senang. Pedang Kayu Cendana Karya Gan KH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Perempuan yang menggendongnya msih terus berlari secepat angin, akhirnya mereka tiba didataran yang banyak batunya, agaknya perempuan itu bersyukur bahwa usahanya berhasil maka dia mengendorkan langkahnya. Dia bersyukur bahwa rencananya selama beberapa hari ini ternyata berhasil dengan baik. Setelah istirahat sejenak kembali dia tancap gas pula lari sekuat tenaganya, agaknya besar tekadnya untuk membawa Pakkiong Yau Liong kesuatu tempat yang aman- Sayang napasnya semakin memburu, langkahnya juga semakin berat dan perlahan- Dia betul-betul letih dan kehabisan tenaga, didepan sebuah hutan akhirnya dia berhenti, pelan-pelan dia sudah berjongkok hendak menurunkan Pakkiong Yau-Liong, ingin beristirahat. Tiba-tiba gelak tawa dingin yang keras berkumandang dari dalam hutan, seketika perempuan itu berjingkat mundur dengan tubuh gemetar, bergegas dia angkat Pakkiong Yau-Liong terus dibawa lari pula sekencang memburu angin, padahal dia insyaf harapan untuk menyelamatkan diri sudah tidak mungkin lagi. Sambil menggendong Pakkiong Yau- Liong dia lari terus diantara batu batu gunung yang berserakan, namun setelah gelak tawa tadi, sekelilingnya sunyi senyap. tak terdengar suara apapun dibelakangnya. Akhirnya langkahnya makin lambat lagi, dengan lengan bajunya dia menyeka keringat dijidatnya, kegelapan membentang tidak berujung pangkal didepannya. setelah dia menerobos lewat diantara celah-celah dua batu besar, dia maju lagi beberapa langkah, akhirnya dia bersuara kaget dan mengeluh dalam hati, ternyata lari tanpa arah ini telah membawa dirinya tiba dipinggir jurang, keadaan segelap ini, maka sukar diketahui berapa dalamnya jurang dibawah sana Setelah menarik napas, pelanpelan dia membalik tubuh, seketika dia memekik kaget dengan muka berobah, entah kapan Ni Ping-ji yang berwajah kurus tepos, dingin kaku dan buas telah berdiri dibelakangnya sejauh dua tombak. Sambil tetap menggendong Pakkiong Yau-Liong dia berdiri melenggong, Ni Ping-ji menatapnya lekat-lekat, begitu benci dan sadis, sorotnya seperti hendak menelan bulat-bulat. Selangkah demi selangkah dia maju menghampiri. Perempuan itu seperti mendengar detak jantungnya sendiri, keringat membasahi sekujur tubuhnya. Dia melihat betapa buas sorot mata Ni Ping ji, terbayang betapa mengerikan siksa derita yang dialami Pakkiong Yau Liong umpama harus mati juga harus mati secara wajar. "Biarlah aku mengadujiwa dengan kau." Demikian perempuan ini berkeputusan dalam hati, pelan-pelan dia menurunkan Pakkiong Yau-Liong. Meskipun tegang, namun dia masih tersenyum dengan perasaan yang melegakan, sekejap dia menatap Pakkiong Yau-Liong sepenuh perasaannya. Betapa sedih dan harunya hati Pakkiong Yau Liong, penasaran dan gegeran pula, sayang keadaan diri sendiri begini payah, dia tidak mampu berbuat apa-apa. Dikala Pakkiong Yau-Liong terlongong, tiba-tiba perempuan itu menghardik dengan suara penuh kebencian, terus menubruk kearah Ni Ping-ji. Ni Ping-ji menggerung gusar, sambil menyeringai dia sambut terjangan si perempuan dengan tamparan kedua tangannya, dimana segulung angin melandai. "Blang." Tubuh perempuan itu seperti menumbuk dinding kaca tubuhnya yang meluncur itu berhenti sekejap di tengah udara, tahu-tahu tubuhnya mencelat balik jungkir balik dan jatuh terbanting menumbuk batu pula, kepalanya pecah membentur batu,jiwanya melayang seketika. Dengan seringai dingin NiPing-Ji memandang kearah mayat perempuan yang dibunuhnya, tanpa berperasaan pelan-pelan dia memutar tubuh dan menoleh, sorot matanya yang dingin beralih kearah Pakkiong Yau-Liong yang duduk dipinggir jurang dan tak mampu bergerak itu. Lolong tawa keluar dari mulut Ni Ping-ji pula, suaranya seperti menembus mega menyusup lembah, siapa tidak merinding mendengar tawanya yang tajam memekak telinga. Gelak tawa itu terus berkumandang di udara dan bergema di dasar lembah, sungguh tidak terperikan sedih hati Pakkiong Yau-Liong. Menyaksikan kepala yang pecah, mayat yang.menggeletak tidak bernyawa, orang yang lagi bertolak pinggang dan mengakak kesenangan serta menggila, muka yang kurus tepos, telinga yang tinggal satu, manusia laknat macam Tok-ni-kau-hun Ni Ping-ji. Mendengar gelak tawa lawannya yang masih bergema ditengah udara, perasaan Pakkiong Yau-Liong seperti diiris-iris, sedih nya bukan main, apalagi melihat kepala perempuan yang mumur, perempuan yang berusaha menolong dirinya, dia tidak kenal siapa dla, siapa namanya dimana tempat tinggalnya, bagaimana bisa berada disamping Ni Ping-ji, namun sekarang sudah ajal dalam keadaan yang begitu mengenaskan. Diam-diam Pakkiong Yau-Liong menyesali nasibnya sendiri, kenapa takdir seperti sengaja mempermainkan nasibnya sehingga dia mengalami siksa derita sekejam ini ? Kenapa pula dalam keadaan yang sudah serba mengenaskan itu perempuan asing yang berusaha menolong dirinya harus ikut berkorban, malah jiwanya mangkat lebih dulu, bagaimana dia harus membalas kebaikannya ? Gelak tawa aneh yang bergelombang di udara itu lebih memekak telinga lagi, siapa-pun akan mengkirik dan merinding mendengar nada tawa yang mengerikan itu. Dengan sorot matanya yang dingin Ni Ping-ji menatap Pakkiong Yau-Liong yang duduk tidak jauh di bibir jurang, Pakkiong Yau-Liong yang sudah tidak menyerupai manusia lagi, bukan saja tidak mampu melawan, tenaga untuk bergerak pun sudah ludes, tubuhnya lunglai, maka seringai Ni Ping-ji lebih lebar, lebih sadis. Dalam hati dia mengumpat. "Pandai juga kau menghasut orang untuk menolong jiwamu. IHm, sekali terjatuh ketanganku lagi, coba saja rasakan siksaanku yang akan datang" Demikian batin Ni Ping ji sambil melangkah mendekati Pakkiong Yau-Liong. Jangankan membela diri, Pakkiong Yau-Liong yang sudah tersiksa begitu rupa betul-betul mati kutu, tenaga menggerakkan kaki tanganpun sudah tiada, bagaimana dia bisa melawan atau melarikan diri. Dalam keadaan demikian terpaksa Pakkiong Yau-Liong hanya memejamkan mata saja membiarkan musuh laknat ini menyeret dirinya pulang serta disiksa setengah mati, siksaan yang dikat batas peri kemanusiaan- Langkah Ni Ping-ji yang berat semakin dekat, suasana terasa semakin tegang, berat seberat tambur yang ditabuh dengan suaranya yang gaduh, serasa semakin sesak napas Pakkiong Yau-Liong mendengar derap langkah orang. Melihat betapa lucu dan kasihannya pak kiong Yau-Liong yang sudah mirip domba kecil tinggal dicaplok harimau, seringai Ni Ping-ji semakin telengas, mulutnya terbuka lebar, menampilkan tawa puas dan terhibur. Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo Pendekar Tongkat Liongsan Karya Kho Ping Hoo