Walet Besi 2
Walet Besi Karya Cu Yi Bagian 2
Walet Besi Karya dari Cu Yi "Mengapa?" "Karena dia masih mencari sebuah barang" Sekarang topik pembicaraan beralih. Tu Liong kemudian mulai mendaftar para pendekar yang bertugas menjaga rumah. Cu Siau-thian mendengarkan dengan seksama. Sebenarnya dia juga tidak sepenuhnya mempercayai mereka. Bahkan sampai saat ini, ketika bicara dengan Tu Liong yang dipercayanya, dia tidak mau mengutarakan semua informasi yang diketahuinya. Mungkin ini tidak sengaja dilakukannya, karena orang yang sudah berkecimpung di dunia persilatan terlalu lama, kebanyakan pasti akan membuat sebuah kebiasa-an untuk tidak percaya pada siapapun. Tu Liong masih sangat polos, dia sama sekali tidak berpikir seperti ini. Dia masih penasaran, dia terus mengajukan pertanyaan pada Cu Siau-thian. "Sebenarnya Thiat-yan ingin mendapatkan barang apa?" "Tu Liong, aku tidak mampu menjawab pertanyaanmu. Aku tidak tahu barang apa yang diinginkannya, atau Siapa yang memilikinya. Thiat-yan pasti menyangka kalau aku mengetahui semuanya, itulah alasan yang paling masuk akal mengapa aku masih hidup sampai sekarang." "Berarti Tuan tidak punya petunjuk apa pun mengenai kasus ini. Kalau memang begitu mengapa Tuan bisa tahu selain untuk membalas dendam, Thiat-yan juga sedang mencari sebuah barang?" "Aku tahu suatu saat kau pasti akan menanya-kan hal ini........dengan kesempatan ini, aku ingin memberitahu pandanganku. Di dunia persilatan tidak mungkin terdapat rahasia. Selalu ada kemungkinan, berita sekecil apapun bisa terdengar oleh orang lain sampai ribuan Li jauhnya. Bagaimana ini terjadi? Karena para pendekar di dunia persilatan selalu berkelana ke tempat-tempat yang jauh. Selain itu hubungan antar manusia pun dijaga dengan baik. Kalau menuruti hati nurani, sesama teman akan selalu menjaga rahasia mereka dari musuh. Namun orang itu mungkin tidak tahu bahwa temannya yang dipercaya itu juga adalah musuhnya. Kau mengerti?" "Aku mengerti, Thiat-yan mungkin menga-takan hal ini pada orang lain, namun akhirnya Tuan mendengar tentang berita ini dari gosip yang beredar." "Betul." Pada wajah Cu Siau-thian terbersit rasa senang yang dalam. "kau benar benar sangat pintar, kau dapat mengerti banyak masalah dengan cepat. Akutidak akan menghabiskan banyak tenaga untuk menjelaskan padamu" "Semenjak aku masih kecil, aku sudah meninggalkan kampung halamanku. Tentang adat istiadat di tempat yang baru, aku sama sekali tidak mengerti, dalam pembuluh darahku mengalir darah bangsa Mongolia, namun aku merasa bahwa diriku tidak berbeda dengan bangsa Han. Aku juga sangat menyukai festival yang diadakan tahunan disini. Yang paling aku sukai adalah perayaan festival Goan-siau. Cu Taiya! Apakah Tuan tahu mengapa aku menyukainya?" "Karena kau sangat menyukai teka-teki" "Betul! Cu Taiya sangat mengerti aku. Aku sangat menyukai teka-teki semakin rumit teka-teki dan semakin sulit dipecahkan, aku semakin bersemangat. Jika sedang berusaha memecahkannya, aku bahkan tidak ingat makan dan tidur. Sekarang ini didepanku sudah ada satu teka teki." "Sedangkan solusi teka-tekinya ada dalam diri Thiat-yan" "Kata kata anda ini kurang tepat, mungkin juga Thiat-yan sedang memikirkan cara untuk menebak teka teki yang sama. Kalau dia sudah memiliki jawabannya, situasinya mungkin tidak akan seperti ini." "Betul, mungkin juga Thiat-yan tidak dapat memecahkan teka teki ini ...." Cu Siau-thian lalu mengajukan pertanyaan dengan hati-hati. "apakah kau berencana untuk memecahkan misteri ini?" "Jika Tuan mengijinkan, aku ingin mencoba menebaknya." "Aku tidak mengijinkanmu" Jawab Cu Siau-thian singkat Walaupun merasa berat hati, Tu Liong menatap majikannya, setelah terdiam beberapa lama, dia lalu bertanya. "Tuan... tuan tidak mengijinkan?" "Betul. Aku tidak mengijinkanmu" "Mengapa?" "Kesatu, teka-teki tingkat tinggi pasti memiliki banyak jebakan. Ini akan menuntunmu berjalan ke tempat yang salah. Mungkin kau akan merasa gembira karena merasa sudah menemukan pintu masuk pemecahan teka teki, dan kau akan berusaha sekuat tenaga untuk mendalaminya. Akhirnya semakin kau berusaha, kau akan terlibat semakin jauh. Terakhir kau akan terjebak di dalamnya. Hanya beda sedikit saja kau mungkin akan merasa bahwa jawaban teka-teki sudah ada dalam genggamanmu. Sebenarnya itu adalah pemecahan yang salah, jawaban dari teka teki yang sebenarnya mungkin jauh berbeda dari jawabanmu." "Aku mengerti...." "Tu Liong, kau mungkin masih belum mengerti. Kalau kau sedang bermain tebak kata dan membuat kesalahan, kau dapat mengulang menebak-nya lagi, kalau salah, kau hanya membuang waktu dan tenaga. Namun misteri yang sekarang ada didepan matamu bukanlah sebuah tebakan seperti itu, kau hanya memiliki satu kesempatan menebak saja. Sekali salah tebak, kau tidak mungkin bisa mengulang lagi. Apakah kau tahu konsekuensinya kalau salah tebak?" Setelah Cu Siau-thian berkata sampai disini, tiba-tiba saja dia menggunakan seluruh emosinya untuk menjawab garang. "Kau akan MATI!" Tekanan suara, tatapan matanya, semuanya pasti sudah lebih dari cukup untuk membuat Tu Liong takut, namun diluar dugaan, Tu Liong hanya tertawa. "Kenapa kau tertawa?" Ternyata yang terkejut malah Cu Siau-thian. "Apakah kau pikir aku sedang bercanda? Apakah kau pikir aku sedang menakut-nakutimu untuk mencoba nyalimu?" "Aku mengerti setiap kata yang sudah Tuan ucapkan, aku juga mengerti apa maksud Tuan mengatakannya. Aku tertawa karena hal itu malah membuatku merasa semakin bersemangat. Siapa yang bisa bermain kucing-kucingan dengan dewa kematian?" Dalam sekejap, raut wajah Cu Siau-thian berubah-rubah tidak menentu. Sangat sulit diduga bagaimana perasaannya, dia sangat senang memiliki anak buah yang demikian tangguh. Namun dia juga mengkhawatirkan anak buah tangguh yang sangat pemberani ini. Tidak bisa disangkal, dia memiliki perasaan sayang yang dalam terhadap Tu Liong. "Tu Liong! sewaktu kau kecil, apakah kau pernah bermain kucing-kucingan?" "Ya, aku pernah" "Dalam permainan ini, sambil menghindari musuh, kau pun harus mencoba menangkapnya. Namun permainan sekarang ini kau bermain dengan dewa kematian, tidak sama seperti kau waktu kecil, kau hanya bisa menghindari dia....Tu Liong! Kau masih sangat muda, jalan yang membentang dihadapan mu masih sangat panjang.... kau harus melahirkan anak, mengurus cucu..." "Tuan sudah merawatku sampai aku besar, tuan pun sudah melatihku ilmu silat, bagaimana aku bisa membalas budi besar ini? Aku sudah mem-bulatkan tekatku. Namun demi menghormati dirimu, aku tetap mohon mengijinkanku." "Apakah kau benar-benar sudah membulatkan tekatmu?" "Tuan tentu tahu, aku bukanlah orang yang mudah berubah pikiran. Aku tidak akan mengganti keputusanku begitu saja" "Baiklah!" Cu Siau-thian menggangguk-angguk kan kepala dengan sangat terpaksa. Setelah itu dia berkata lagi. "tapi kau harus menepati sebuah janji, kau sangat senang memecahkan teka teki, Silahkan kau menebak sesuka hatimu. Aku hanya tidak ingin kau bertanya tentang apapun padaku. Apa kau dapat meluluskan permintaanku?" "Baiklah!" Tu Liong menyetujuinya. "aku tidak akan menanyakan apapun" Tu Liong segera bekerja dan menyusun siasat untuk bersiap, walaupun Cu Siau-thian merasa bahwa semua anak buahnya dapat dipercaya, Tu Liong tetap saja memilih para pendekar yang akan dipakainya. Dia sangat mengutamakan kesetiaan, ketinggian ilmu silat tidak terlalu penting. Terakhir, diantara semua pendekar tangguh tersebut, dia memilih sekitar dua puluh nama. Kedua puluh nama ini dibagi lagi menjadi tiga kelompok. Satu kelompok untuk berjaga jaga, kelompok berikutnya beristirahat, yang terakhir sebagai cadangan untuk menolong jika terjadi peristiwa yang tidak diinginkan. Kecuali keempat orang pende-kar dalam kelompok ini semuanya ingin memberontak, sepertinya pengaturan ini tidak akan menimbulkan masalah. Setelah selesai menyusun rencana, Tu Liong segera mengendarai kuda putihnya pergi ke empat blok rumah bertingkat didalam sepuluh gang kecil. Tujuan pertamanya menemui Wie Kie-hong. Melihat Tu Liong kembali datang kembali, Wie Kie-hong segera menyadari, tentu ada urusan penting. Dia cepat-cepat menyambut Tu Liong dan membawa-nya ke dalam kamar tidurnya. Mereka mulai bercakap-cakap. "Kie-hong... apakah kau ingat pada Gu Thian-beng? ketika suatu malam kau pernah mengajakku berburu babi hutan. Alangkah baiknya jika kita mendapat kesempatan keluar dari sini dan pergi ke atas Tiang-pek-san, bersenang-senang berburu disana. Bagaimana menurutmu?" "Tu Toako, kita hanya bisa membicarakan saja." Kata Wie Kie-hong sedikit murung. "kita berdua sama-sama tahu, kita tidak mungkin mendapatkan kesempatan itu lagi" "Sebenarnya aku ingin mengajakmu pergi berburu sekarang" "Sekarang?" Wie Kie-hong terlihat sangat kaget. "apakah kau sedang bergurau?" "Aku tidak bergurau, aku serius mengajakmu" "Mana mungkin kita bisa melakukan hal ini? sekarang...." "Kie-hong, aku tidak memintamu untuk pergi jauh. Tempat perburuannya ada di dalam kota Pakhia ini. Sasaran buruannya tidak lain perempuan muda yang dipanggil Thiatyan. Kalau berhasil, perburuan kali ini pasti sangat memuaskan" Wie Kie-hong hanya bisa terbengong-bengong melihat ke arahnya. Sepatah katapun tidak diucapkannya. Dalam hatinya dia pasti sedang berpikir, mengapa Tu Toakonya bisa memiliki pikiran seperti itu sementara dia sama sekali tidak memikirkannya. "Apakah kau tidak punya nyali menerima tantangan ini? "Seharusnya kau tahu, aku bukanlah seorang pengecut. Lagipula aku juga ingin menangkap Thiat-yan dan memberinya pelajaran. Namun aku tidak mengerti. Mengapa Tu Toako bisa berpikir mengguna-kan perumpamaan berburu babi hutan?" "Kau jangan menanyakan dulu maksudku. Sebelum aku menjelaskan semuanya, kau harus menjawab dulu pertanyaanku. Apakah kau bersedia ikut perburuan yang mendebarkan hati ini?" "Aku pasti ikut!" Wie Kie-hong cepat-cepat menjawab. Namun setelah itu dia masih menam-bahkan. "tapi sebelumnya aku harus bertanya dahulu pada ayah angkat, aku harus meminta persetujuannya dahulu...." "Kie-hong...! Leng Taiya sedang mendapat trauma yang parah dan shock yang berat. Apakah kau tega menceritakan urusan ini padanya? Kau sekarang sudah menjadi seorang pria dewasa. Laki-laki dewasa harus berani bertanggung jawab atas keputusan yang dibuatnya..." "Baiklah!" Akhirnya Wie Kie-hong berkata. "aku tidak akan minta persetujuannya, aku ikut!" "Janji?" "Janji!" "Tidak akan menyesal?" "Mengapa kau bertanya seperti ini?" "Perburuan babi hutan kali ini bukanlah perburuan babi hutan biasa. Oleh karena itu sebelumnya aku harus membuat aturan mainnya, diantara kita berdua, tidak masalah siapa yang lebih tua, tidak masalah siapa yang lebih hebat ilmu silatnya, kita berdua harus membuat sebuah keputusan. Menurutmu siapakah yang akan menjadi pemimpin?" "Tentu saja kau yang memimpin" "Kalau begitu kau akan selalu mendengar semua kata-kata dan perintahku?" "Tentu saja!" Wie Kie-hong mulai merasa sedikit tidak sabar. "Baiklah, sekarang aku akan menceritakan semuanya padamu...." Selanjutnya Tu Liong menceritakan kembali apa yang sudah terucap dari mulut Cu Siau-thian pada Wie Kie-hong. Terakhir dia berkata. "Sekarang, kita berdua harus mencari tahu barang apakah yang sedang dicari oleh Thiat-yan? Barang itu berada dimana? Siapa yang meme-gangnya?" Wie Kie-hong tidak berani berkata apa apa, karena tiba-tiba saja dia teringat janjinya pada ayah angkat. "Kie-hong, ketika aku datang tadi, kau sedang tidak berada dirumah" "Aku sedang pergi keluar" "Leng Taiya sudah mendapat musibah dan trauma berat, seluruh pemerintahan pun dibuat kacau. Kalau bukan urusan yang benar benar sangat penting, kau tidak mungkin pergi meninggalkan rumah. Betul tidak?" Wie Kie-hong tahu kalau rahasia ini tidak dapat terus disembunyikan, Akhirnya dia memutuskan sekaligus menceritakan semuanya. Tu Liong sebenarnya berpikir kalau dia harus bekerja keras membujuk Wie Kie-hong untuk bercerita. Tidak disangka dia sudah berhasil mencapai tujuannya dengan sangat mudah. Dengan pertimbangan seperti ini, sepertinya Wie Kie-hong mau bekerja sama dan membantunya memecahkan teka-teki ini. "Baiklah. Sekarang kita berdua sudah dapat membuat sebuah kesimpulan awal. Barang yang dicari oleh Thiat-yan adalah sebuah koper kecil." "Mungkin juga" Wie Kie-hong tidak berani memastikan. "Koper kecil ini dititipkan oleh Leng Taiya pada orang yang bernama Bu Tiat-cui. Sekarang Bu Tiat-cui sudah dibunuh, koper itu juga sudah hilang, tetapi koper itu belum jatuh kedalam tangan Thiat-yan." "Mengapa demikian?" "Kalau dia sudah berhasil mendapatkan koper itu, dia tidak perlu memberikan surat peringatan untukmu" "Surat peringatan itu sudah disiapkan olehnya jauh sebelum kejadian" "Tidak salah. Surat itu sudah dipersiapkan sebelum kejadian. Mungkin juga ada beberapa surat peringatan yang serupa. Semuanya itu digunakan untuk memperingatkan orang-orang yang tidak ingin dilukainya, yang tidak mau menyingkir walau sudah merintangi jalannya. Kalau dia sudah mendapatkan apa yang dia inginkan, surat peringatan itu sama sekali tidak berguna. Betul tidak?" "Orang suruhannya seharusnya bertanya padaku. Apa yang sedang aku lakukan di tempat Bu Tiat-cui? Atau setidaknya mencuri dengar" "Mereka sama sekali tidak bertanya sepatah katapun. Betul tidak?" "Betul" "Mereka tidak perlu bertanya, karena Thiat-yan sudah tahu barang apa yang ingin dicarinya. Terlebih lagi dia pasti sudah tahu bahwa kau tidak memiliki barang tersebut. Kalau begini kita berdua bisa membuat sebuah kesimpulan yang lain. Bu Tiat-cui tidak dibunuh oleh Thiat-yan." "Ada pembunuh lainnya?" "Kie-hong, perburuan babi hutan kita semakin lama menjadi semakin rumit. Sebelumnya kita berdua hanya mengincar sebuah target, tidak disangka sekarang sudah muncul target kedua." Tu Liong menceritakan semua kesimpulannya dengan sangat berapi api ketika tiba-tiba saja terdengar suara pintu kamar diketuk-ketuk dari luar. Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Wie Kie-hong benar-benar sangat terkejut. Biasanya jika dia sedang menerima tamu dan bercakap-cakap dalam kamar, orang-orang di dalam rumah tidak ada yang berani datang mengganggunya. "Siapa?" "Wie Siauya, ini aku" Ternyata yang sedang mengetuk pintu adalah Su-cie. Wie Kie-hong membuka pintu, dia berkata padanya dengan sedikit emosi. "Pengurus Su, apakah kau tidak tahu, aku sedang menerima tamu?" "Aku tahu, tapi...." Sebenarnya Wie Kie-hong sudah tahu apa yang ingin dikatakan Su-cie hanya dengan melihat raut mukanya. Dia cepat-cepat berkata. "Untung saja Tu Toako bukan orang luar, kalau ada urusan, cepat katakanlah" "Rumah keluarga Hui sudah mengutus seseorang datang untuk mengabarkan berita duka." "Rumah keluarga Hui?" Wie Kie-hong lang-sung merasa terkejut. Tu Liong juga merasa terkejut, namun dia tetap mempertahankan tata-kramanya sebagai seorang tamu. Dia tidak ikut campur mulut. "Betul sekali. Hui Taiya sudah meninggal dunia, aku tidak tahu apa aku harus melaporkan hal ini pada Leng Taiya, oleh karena itu aku menghadap Wie Siauya untuk membantu membuat keputusan" "Pengurus Su, Leng Taiya sudah menutup pintu, beristirahat merawat lukanya. Selain dirinya masih ada anak Leng Taiya, Toa-kongcu, dan Ji-kongcu mereka berdua bisa mengurus perkara ini. Aku sama sekali tidak memiliki wewenang membuat keputusan. "Tadi sebelum Leng Taiya menutup pintu, beristirahat, dia sudah menitipkan pesan padaku. Urusan apapun baik besar ataupun kecil, aku harus melapor pada Wie Siauya untuk membuat keputusan" "Tu Toako, seseorang yang sudah dicongkel kedua belah matanya, apakah mungkin luka itu bisa membuatnya meninggal?" "Seharusnya tidak mungkin, namun karena umur Hui Taiya yang sudah sangat tua dan sedang stress berat, jadi sepertinya sulit dipastikan." "Pengurus Su, apakah orang yang datang membawakan berita duka itu tidak menceritakan apa yang sudah menjadi penyebab kematiannya?" "Tidak. Namun aku telah mendengar kabar burung yang beredar di kalangan masyarakat sekitar, katanya Hui Taiya mati karena gantung diri" Tu Liong dan Wie Kie-hong cepat-cepat saling bertukar pandang. Didalam pandangan mereka berdua terlukiskan sebuah tanda tanya besar. Hui Ci-hong mati gantung diri. apakah dikarenakan dia tidak kuasa menahan derita lukanya? Ataukah dia tidak sanggup melarikan diri dari rasa takut? Ataukah karena dia merasa malu menemui teman-temannya? "Pengurus Su" Dengan sangat cepat Wie Kie-hong membuat sebuah keputusan. "hubungan kerabat antara Hui Taiya dengan Leng Taiya sangat dekat. Seharusnya berita ini segera dikabarkan padanya. Namun sekarang situasinya sangat berbeda. Sebaiknya kita tidak menambah rasa kaget yang sudah didapat-nya. untuk sementara waktu berita ini sebaiknya ditutupi, mengenai upacara melayat, kita lakukan sesuai dengan peraturan" "Baiklah. Aku akan melaksanakan keputusan yang sudah diberikan Wie Siauya." Su-cie mundur keluar, sekaligus menutup pintu kamar. "Tu Toako, kelima Taiya semuanya menyim-pan sebuah rahasia dalam hati masing-masing, rahasia yang tidak dapat diceritakan pada siapapun juga." "Betul. Namun kita juga tidak bisa bertanya" "Kita harus menebaknya. Kita harus memcoba menduga. Tu Toako, menebak sebuah misteri adalah keahlianmu. Menurutmu, apa yang harus kita perbuat?" "Yang paling sulit dalam memecahkan sebuah misteri adalah memutuskan harus mulai dari mana. Namun aku sudah membuat keputusan tentang apa yang harus kita lakukan. Pertama-tama, kita harus mencari jejak Thiat-yan. Dia adalah orang yang sangat aktif, lagipula dia memiliki banyak kaki tangan. Tidak mungkin dia datang dengan tiba-tiba dan pergi tanpa jejak. Sedikit banyak dia pasti meninggalkan bekas" "Betul! Kalau begitu aku akan mengurus masalah yang satu ini." "Tidak. Aku yang akan mengurusnya, aku punya tugas lain untukmu" "Oh..? Tugas apa?" Tu Liong mulai merendahkan nada suaranya dan berbicara pelan-pelan. Wie Kie-hong harus mengerahkan tenaga dalamnya untuk mendengar kata-katanya. "Apakah kau mengingatnya?" "Sudah ingat... hanya saja..." Kie-hong, kau hanya perlu melakukan apa yang sudah kuperintahkan padamu. Kau tidak usah banyak bertanya. Ingat semua harus mendengar kata-kataku." Wie Kie-hong sangat mengagumi Tu Liong. Tidak saja dia sangat berani, Tu Liong juga memiliki banyak siasat. Kebanyakan pendekar yang berilmu silat tinggi memiliki otak yang sangat sederhana. Namun Tu Liong tidak saja mahir silat, namun dia juga sangat cerdas. Siapapun yang mengenalnya pasti akan salut. Tu Liong mohon pamit dan segera pergi. Wie Kie-hong kembali masuk kedalam untuk mem-bereskan sedikit urusan, setelah itu dia pun berlari keluar. Thiat-yan sudah memotong sebelah tangan Leng Taiya, katanya ini adalah ganjaran setimpal yang pantas diterimanya atas perbuatannya di masa lalu. 0-0-0 Wie Kie-hong sangat menyukai perumpamaan yang dipakai oleh Tu Liong. Pada awalnya mereka berdua berencana berburu babi hutan. Namun tiba-tiba saja di daerah perburuan muncul seekor rusa. Ini tentu saja akan membuat pemburu manapun merasa gembira. Sekarang ini mereka berdua berbagi tugas melacak jejak buruan, namun Wie Kie-hong merasa sedikit ragu. Waktu sedang mengejar rusa, mungkin saja secara tidak sengaja mereka akan membuat kaget babi hutan. Dibandingkan bekerja sama memburu satu target, pasti tidak akan lebih baik daripada membagi tugas dan mengejar buruan masing masing........Wie Kie-hong bermaksud hendak mengungkapkan apa yang sudah dipikirkannya, namun Tu Liong memintanya untuk tidak mengata kan apa pun. Oleh karena itu Wie Kie-hong terpaksa menyimpan semuanya dalam hati. Wie Kie-hong kembali menyewa kereta kuda untuk pergi ke gang San-poa. Tiga buah pekarangan milik Bu Tiat-cui sangat sunyi. Sepertinya setelah dia mati, tempatnya tidak ada orang yang kembali mengunjunginya. Dia segera berjalan melalui pekarangan dan masuk melewati pintu utama. Dia masuk ke dalam aula rumah, tepat pada saat ini, tiba-tiba terdengar suara batuk-batuk dari ruang pinggir. Wie Kie-hong sangat terkejut. Setelah suara batuknya berhenti, menyusul terdengar suara seseorang menyapa. "Tamu yang terhormat, silahkan masuk" Walaupun Wie Kie-hong adalah seorang pendekar yang mahir ilmu silat, namun dia tidak menyukai kekerasan. Dia tidak pernah membiasakan diri pergi keluar rumah dengan membawa senjata tajam. Namun sekarang ini situasinya sangat berbeda. Dia mengeluarkan sebilah pedang pendek dari dalam tas yang dibawanya. Pedang pendek ini panjangnya tidak lebih dari setengah meter. Walaupun sangat pendek, namun pedang ini tetap memiliki sebuah kegunaan dalam menghadapi musuh. "Silahkan masuk, tamu yang ada diruang sebelah kiri...." Orang yang ada didalam kembali menyapanya, jelas dia sedang berbicara pada dirinya. Wie Kie-hong membulatkan tekad, dia menyibakkan tirai penutup pintu penghubung kedua ruangan. Setelah itu dia masuk ke ruang samping yang ada disebelah kanan. Sebelumnya sesosok mayat sudah terbujur kaku di atas meja besar yang ada didalam. Sekarang di tempat yang sama duduk seorang yang masih hidup dan sehat. Orang ini berumur sekitar empat puluh tahun, dia memelihara jenggot mirip kambing. Kedua pasang matanya bersinar penuh semangat. Dia melambaikan tangannya sambil berkata. "Apakah anda ingin diramal? Apakah anda ingin menebak karakter dari raut muka? Apakah anda ingin menanyakan nasib yang sedang berjalan? Silahkan duduk disebelah sini." Dalam sekejap saja Wie Kie-hong mencoba membandingkan dua buah kejadian yang sebelumnya sudah dilihatnya. Mayat yang dilihatnya kemarin tidak memiliki janggut, dan lagi tubuhnya pun sangat gemuk. Selain itu ruangannya sangat berantakan. Sekarang ruangannya sudah tertata sangat rapi. Sebelumnya dia melihat kuas untuk menulis sudah tergeletak dilantai, namun sekarang kuas tersebut sudah ditaruh dengan rapi di atas lemari buku. Ternyata di lantai pun tidak terlihat bekas tinta yang tercecer. Wie Kie-hong bingung. Apakah tadi dia sudah salah masuk ruangan? Ataukah ruang yang berantakan yang dilihatnya sebelumnya hanya khayalan dirinya saja? Wie Kie-hong lalu duduk dihadapan pria setengah baya dan lalu menyapanya. "Tuan adalah...." "Namaku Bu Tiat-cui, apakah anda tidak melihat spanduk nama yang sudah kupasang di pintu masuk? Apakah anda ingin diramal?" Apabila orang ini benar-benar Bu Tiat-cui, kalau begitu mayat yang sudah dilihatnya sebelumnya pastilah bukan dirinya. Tentu saja ada kemungkinan orang ini adalah Bu Tiatcui gadungan. Namun kemungkinan ini sangat kecil, ini adalah tindakan nekat, orang yang mengenalnya pasti langsung akan mengetahui kalau Bu Tiat-cui adalah Bu Tiat-cui gadungan. "Apakah tuan Bu tinggal disini?" "Betul" "Sebetulnya tadi pagi aku sudah datang kemari, namun tidak menjumpai tuan Bu" "Oh, aku selalu bangun pagi pagi, dan pergi keluar untuk berjalan-jalan. Sekali aku pergi berjalan-jalan, aku selalu menghabiskan waktu dua sampai tiga jam. Mohon maaf anda sudah repot datang kemari tanpa menemuiku." Sekarang Wie Kie-hong baru menyadari bahwa atap ruangan itu bergambar seekor naga. Sewaktu dia memasuki ruangan ini sebelumnya, dia tidak memperhatikannya. Pada waktu Bu Tiat-cui sedang pergi keluar untuk berjalanjalan ........sebelum dia kembali ke dalam ruangan........pastilah ada orang lain yang datang membersihkan ruangan sampai rapi. Bu Tiat-cui pasti tidak akan tahu apa yang sudah terjadi di dalam ruangan ini sebelumnya. Apakah ini mungkin? Wie Kie-hong bertanya dalam hatinya, walaupun kemungkinannya sangat besar, namun mengapa pelaku kejahatan harus memilih ruang yang dihuni oleh Bu Tiat-cui untuk membunuh orang lain?" "Tamu yang terhormat! Apakah anda ingin diramal?" Wie Kie-hong tidak menjawab pertanyaan yang sudah diajukan padanya. Dalam benaknya, dia sedang memikirkan jawaban dari pertanyaan yang lain.... namun sebelumnya dia harus memastikan apakah orang yang ada didepannya ini adalah Bu Tiat-cui yang asli. Cara membuktikannya hanya ada satu. Dia segera mengeluarkan ornamen yang terbuat dari giok yang sudah diberikan oleh Leng Souw-hiang padanya. Dia lalu menaruh ornamen tersebut diatas meja. Kalau orang ini benar-benar Bu Tiat-cui yang asli, dia seharusnya sudah tahu apa arti ornamen tersebut. Sekarang sepasang mata peramal tersebut sudah terpaku pada ornamen giok yang ada didepan-nya. Setelah itu dia mengambil ornamen giok dengan penuh rasa hormat, menutup matanya dan menghela nafas. Terakhir dia menyimpan ornamen giok itu kedalam saku bajunya dengan sangat hati hati. Wie Kie-hong terus meneliti gerak-gerik orang yang ada dihadapannya. Sekarang sepertinya dia bisa mendapat kepastian bahwa peramal yang sedang duduk didepan-nya adalah Bu Tiat-cui yang asli. "Apakah kau datang dari tempat yang jauh?" Tiba tiba saja peramal ini bertanya. "Tidak terlalu jauh" Jawab Wie Kie-hong. "Anda tinggal di kediaman keluarga yang mana?" "Untuk apa bertanya tentang hal ini?" "Bukankah anda datang kemari untuk mengambil sebuah barang? Anda tidak perlu menunggu disini. Silahkan tinggalkan alamat rumah anda. Nanti aku akan mengantarkan barang itu langsung ke tempat anda" Setelah melihat ornamen giok, peramal ini sepertinya langsung percaya dan memberikan barang yang diminta. Dia tidak mengetahui siapa yang saat ini sedang memegang koper yang harus dibawanya, juga tidak mengetahui siapa yang akan membawanya, dia hanya mewakilkan permintaan temannya saja. Kalau begitu peramal ini pastilah tidak akan tahu barang apa yang ada didalam koper. Kesimpulan ini dibuat oleh Wie Kie-hong dengan cepat. "Mengapa tidak kau berikan sekarang?" Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Karena barang itu tidak disimpan disini. Aku tidak memiliki sanak keluarga, dan aku punya kebiasaan untuk berjalan pagipagi sekali. Tidak aman menyimpannya disini" "Apakah barang bukti yang tadi kuserahkan padamu itu sudah betul?" "Betul" "Kalau begitu, aku harus memastikan dulu apakah barang yang akan kudapat itu barang yang tepat, barang apa yang akan kau berikan padaku?" "Sebuah koper kecil" Peramal itu masih menam bahkan penjelasan ... "koper ini terbuat dari kulit kerbau berwarna kuning. Diatasnya masih ditambah-kan kunci unik yang dibuat oleh orang luar negri. Barang ini adalah barang yang sangat istimewa. Barang ini keluaran Tian Jin dengan merk Hardman. Menurut kabar, kopornya saja sudah bernilai seratus uang kertas orang asing" "Apa kau menyimpan barang ini di temanmu?" "Betul" "Apakah dia bisa dipercaya?" "Mmm!" Peramal itu berpikir sebentar lalu katanya lagi. "orang yang masih hidup di bumi, tidak dapat dipungkiri pasti akan memiliki beberapa orang teman, meski memiliki teman, sebatang jarum dan seutas benang pun tidak dapat langsung minta tolong dijagakan oleh mereka. Ada sebagian teman yang dapat dipercaya mewakilkanku untuk menjaga barang tersebut, harap tenang saja. Temanku ini benar benar dapat diandalkan." "Kalau begitu, apakah aku bisa mengambil koper ini dari temanmu sekarang juga? Aku sudah menyerahkan ornamen giok sebagai bukti kalau aku adalah orang yang tepat, aku tidak mungkin pulang kerumah dengan tangan hampa. "Apakah kau tidak mempercayaiku?" "Bukan., bukan begitu... bukan itu maksudku." Wie Kiehong menjelaskan. "pemilik koper dapat menyimpan koper itu disini, dia tentu saja sangat mempercayai dirimu. Dia sudah mempercayaimu, mana mungkin aku tidak mempercayaimu?" "Kalau begitu, silahkan anda pulang ke tempat tinggal anda dan menunggu disana. kira kira tengah hari besok, aku pasti akan membawa-kan koper itu ketempat tinggalmu." "Tuan Bu, aku memanggilmu seperti ini, apakah panggilanku tepat?" "Margaku memang Bu" "Sewaktu aku masuk tadi aku sudah mengatakan, kalau tadi pagi aku sudah datang kemari" "Anda sudah datang sia-sia, aku benar benar ingin meminta maaf." "Bukan itu maksudku ........yang ingin kukatakan adalah sewaktu aku datang tadi, aku menemukan sebuah kejadian aneh. Berita ini sangat mengejutkan. Aku tidak tahu apakah tuan Bu juga sudah mendengarnya?" Selain sinar matanya yang sedikit terlihat berkilau sewaktu melihat ornamen dari giok, Bu Tiat-cui terus duduk diam. Emosinya tidak tergugah sedikitpun. Dia tetap tidak terlihat kaget, dia hanya bertanya dengan nada datar "apakah maksud perkataanmu, kejadian itu terjadi didalam ruanganku ini?" Wie Kie-hong menjawab singkat "Betul" "Apa yang tadi kau lihat?" "Seseorang duduk ditempat dimana kau sedang duduk sekarang. Sebatang jarum panjang sudah tertancap diantara kedua alisnya. Jarum itu panjangnya sekitar tiga atau empat puluh centimeter. sewaktu aku menemukannya dia sudah mati" "Oya?" Sekarang Bu Tiat-cui mulai tampak terkejut. "Ruangan ini tadi berantakan, jelas terlihat kalau seseorang telah mencari sesuatu" "Apakah kau sangat yakin kau tadi tidak salah masuk ruangan?" "Yakin! Aku masih mengingatnya dengan sangat jelas. Pada waktu aku meninggalkan tempat ini, seseorang mencegat ku di pekarangan luar. Orang itu memberiku sepucuk surat peringatan, agar aku tidak ikut campur urusan ini." "Tapi sewaktu aku pulang jalan-jalan, disini tidak ada yang berubah...." Wie Kie-hong menunjuk ke kuas yang tersimpan di atas rak buku dan berkata. "Tuan Bu, apakah aku boleh melihat kuas yang anda pakai untuk menulis?" "Silahkan!" Wie Kie-hong mengambil kuas dari atas lemari. Dia lalu membuka tutup kuas. Tiba-tiba saja dia memekik girang. Ternyata ujung kuas masih basah oleh tinta. Bahkan di ujung kuas masih terlihat debu lantai yang menempel. "Sebelum kau kembali ke dalam kamar ini, mereka sudah membereskan tempat ini sampai rapi. Silahkan lihat, kuas yang biasa kau pakai ini bahkan masih basah oleh tinta." Bu Tiat-cui dari awal terus curiga semua yang sudah dikatakan oleh Wie Kie-hong. Namun sekarang sepertinya dia sudah percaya. "Setiap malam aku selalu mencuci kuas itu sampai bersih. Hari ini aku belum sempat mengguna-kan kuas untuk menulis, namun ternyata....yang kau katakan tidak salah. Ternyata memang benar ada seseorang yang sudah masuk kedalam kamarku ini. katamu tadi mereka masuk kemari dan membunuh seseorang?" "Betul sekali! Sebenarnya aku mengira orang yang sudah dibunuh itu adalah dirimu, dan dirimu adalah seorang Bu Tiatcui palsu. Namun setelah aku mengeluarkan ornamen giok aku baru menyadari kalau kau bukanlah Bu Tiat-cui palsu. Orang lain seharusnya tidak tahu hal ini." "Betul sekali. Orang lain tidak mungkin tahu" "Dari tadi tuan Bu sama sekali belum menanyakan namaku...." "Dahulu aku pernah membuat janji, tidak perduli, siapapun yang akan datang menagih koper kecil itu, aku tidak akan bertanya apapun juga. Ini adalah janji." "Tuan Bu, marilah kita berdua pergi mengambil koper itu. mungkin juga sementara waktu kau harus berusaha menghindar, jika si pembunuh itu mempunyai niat yang tidak baik, mungkin dia akan turun tangan membunuhmu untuk menutup mulut." Bu Tiat-cui tidak mengatakan apa-apa lagi, Mendadak dia melompat berdiri, lalu menengok ke kiri dan kanan melihat seisi kamarnya dengan gugup seolah-olah mencari sesuatu yang tidak terlihat. Terakhir dia membuka laci meja, dari sebuah pojok yang sangat rahasia, dia mengeluarkan dompet. Di dalam dompet itu terdapat sejumlah uang kertas asing. "Marilah kita berangkat" Wie Kie-hong melihat semua ini, sepertinya Bu Tiat-cui merasa ketakutan sekali, mereka berdua segera pergi meninggalkan ruang pinggir Ketika keluar dari aula rumah dan memasuki pekarangan, tiba-tiba mereka melihat pintu besar terbuka lebar dengan cepat. Wie Kie-hong menarik Bu Tiat-cui dengan tangan kanannya. Bu Tiat-cui dengan cepat terlempar ke pinggir untuk menghindari serangan. Namun diluar pintu tidak terlihat siapapun. "Apa yang terjadi?" Tanya Bu Tiat-cui pelan. "Ada seseorang diluar pintu besar itu" "Kalau begitu, apakah kita berdua sudah terlambat?" "Jangan takut, kau sembunyi dulu di belakang pintu. Apapun yang terjadi nanti, kau jangan sampai keluar. Apa mengerti?" Kedua kaki Bu Tiat-cui gemetar hebat. Tampak dia langsung mengerjakan apa yang dikatakannya, segera bersembunyi di belakang pintu. Wie Kie-hong terus berdiri dengan gagah didepan pintu masuk. Sunyi senyap selama beberapa lama. Dari luar pintu masuk terlihat seseorang. Dia datang seorang diri. Wie Kiehong mengenali orang ini, orang yang tempo hari sudah memberinya surat peringatan dari Thiat-yan. Orang itu terus berjalan kedalam pekarangan. Setelah melihat Wie Kie-hong, dia berhenti, berkata dengan nada dingin. "Kau datang lagi?" "Aku sudah melupakan sebuah barang" Wie Kie-hong menggenggam pegangan pintu. "oleh karena itu aku kembali kesini untuk mengambilnya, tapi disini aku menemukan sebuah kejadian aneh." "Pesanmu sudah kusampaikan." Orang itu sama sekali tidak memperhatikan pernyataan Wie Kie-hong. Sepertinya dia tidak perduli kejadian aneh yang dikatakan Kie-hong. "Thiat-yan?" "Betul." "Kau sengaja datang kemari memberitahu?" "Majikanku ingin menemuimu" "Sekarang?" "Betul" "Dimana?" "Ikutlah denganku" "Seharusnya kau tahu, aku tidak sembarangan ikut orang lain" "Kau pasti pergi" Orang itu terdengar sangat yakin. Tangan kanannya segera terjulur ke arah Wie Kie-hong berusaha memegang bahunya. Secara reflek tangan kiri Wie Kie-hong menangkis tangannya. Dan pertarungan pun terjadi. Dengan pakaian yang rapi, orang itu berkali-kali menjulurkan tangan terus berusaha memegang Wie Kie-hong. Tapi setiap uluran tangan yang ditangkis selalu terdengar bentakan mereka.. "Hait!Hah!Shah...." Sambil mengelak, Wie Kie-hong terus bergerak mundur. Ilmu silat orang itu lumayan juga. Dia terus mendesak maju. "Hait!Hah!Shah...." Pertarungan ini tampak unik, karena kedua pihak tidak tampak seperti ingin melukai lawannya. Yang satu berusaha memegang, yang satu lain berusaha mencegah. Tangan orang yang berpakaian rapi terus melesat kesana kemari. Pertama-tama tangan kanannya berusaha memegang bahu kanan Wie Kie-hong, setelah ditangkis, tangan kirinya bergerak berusaha memegang tangan kiri... ... demikian seterusnya bersilang-silang. "Hait!Hah!Shah...." Jarak Wie Kie-hong menuju tembok semakin lama semakin dekat. Dari belakang pintu tiba-tiba Bu Tiat-cui berteriak memperingatkan... "Had hati! tembok!" Wie Kie-hong segera sadar... ketika ada kesempatan, dia mencuri pandang berapa jauh lagi dirinya dari tembok melalui sudut matanya. Ternyata dia sudah kehabisan jarak. Tembok hanya tinggal dua langkah lagi. Karena itu ketika orang yang berpakaian rapi berusaha meraih agak tinggi, Wie Kie-hong segera merunduk, melepaskan diri kesamping. Orang yang berpakaian rapi tampaknya hanya tersenyum melihatnya. Dengan gesit dia membalikkan tubuh dan terus memburu ke arah Wie Kie-hong. Wie Kie-hong sekarang sudah lebih siap. Dia tidak ingin dirinya didesak seperti sebelumnya, karena itu dia memaksa menerjang ke arahnya juga. Tangan kanan Wie Kie-hong terjulur dengan cepat, dia berhasil menggenggam baju sutra orang yang berpakaian rapi. Secepat kilat tangan kanan orang yang berbaju rapi mengkait pergelangan tangan Wie Kie-hong yang terjulur Genggaman tangannya sangat keras Mendadak tangan kiri orang yang berbaju rapi melesat hendak menampar pipi Wie Kie-hong. Terpaksa Wie Kie-hong melepaskan genggam-an tangannya dari baju orang itu dan segera mencondongkan kepalanya kebelakang untuk meng-hindari sabetan. Walaupun tidak mengenai pipinya, namun kerasnya sabetan tangan, menimbulkan angin yang cukup kuat. Angin ini terasa dingin pada hidung Wie Kie-hong. Tangan Wie Kie-hong masih belum terlepas dari genggaman keras orang yang berpakaian rapi. Pergelangan tangannya mulai terasa sakit. Wie Kie-hong sadar ini adalah kesempatan baik baginya untuk balas menyerang. Posisi tangan orang yang berbaju rapi sangat tidak menguntungkan, tangan kiri yang tidak berhasil menampar sudah menyilang didepan dadanya. Segera Wie Kie-hong memutar tubuhnya, dan menjulurkan tangan kiri yang masih bebas untuk menekan tangan kiri orang yang berbaju rapi. Sekarang posisi mereka berdua agak kikuk, tangan kedua orang ini tampak berbelit. Wie Kie-hong segera berteriak keras. "CIAAATTT!!!" Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sekuat tenaga dia mendorong orang yang berpakaian rapi, dia berusaha memojokkan orang itu pada dinding, seperti dirinya tadi. Kaki Wie Kie-hong berputar cepat diatas tanah. Orang itu hanya menjejakkan kedua kakinya dengan mantap di lantai untuk menahan laju dorongan. Pelan tapi pasti, orang itu terdorong mendekati dinding. "BAGUS!" Pikir Wie Kie-hong. Sekarang dia sudah berada diatas angin. Namun diluar dugaan, orang yang berbaju rapi tidak kehabisan akal saat terdesak ini. Ketika sudah benar-benar dekat, kaki kiri orang yang berbaju rapi ditendangkan kebelakang. "BRAAKK!!!" Kaki itu menjejak dinding dengan kuat. Orang yang berbaju rapi tidak membuang waktu lagi, serta merta kaki kanannya dilecutkan kebelakang tinggi melewati kepalanya. Masih dengan tangan yang saling berkait, orang yang berbaju rapi sudah bersalto meloncat keatas Wie Kie-hong. Wie Kie-hong tersentak kaget, dia benar benar tidak menyangka akan terjadi seperti ini. "HAAAAHHH !!!!" Mereka berdua menjerit bersamaan, masing-masing melepaskan cengkraman tangan lawannya. Orang yang berbaju rapi terus melayang menjauh karena lompatan salto nya yang keras. Dia mendarat agak jauh dari Wie Kie-hong dengan sangat anggun... Wie Kie-hong terpana, dia membungkuk mengatur nafas. "Ilmu silatmu tidak jelek" "Tentu saja" Wie Kie-hong terengah-engah. "Sekarang silahkan ikut denganku" Wie Kie-hong mengatur napas, lalu berkata. "Kenapa aku harus ikut denganmu?" "Karena tuanku memiliki sebuah kabar yang ingin diberitahukan padamu, kabar itu adalah kabar yang sedang kau cari selama ini" Wie Kie-hong mulai menyadari bahwa orang yang dihadapinya bukanlah orang yang gampang di atasi. Majikannya sudah jelas bukan orang yang lemah. Dia berusaha mengingatkan dirinya sendiri, jangan sampai terpengaruh oleh lawannya. "Bolehkah memberi sedikit bocoran kabar apa yang akan dikatakannya padaku?" "Mengenai bagaimana kematian ayahmu" Kalimat ini menggelegar bagaikan suara petir membelah langit. Kepala Wie Kie-hong serasa meledak menjadi seribu bagian. Setelah bertahun-tahun, dia selalu menyelidik mencari jawaban ini kesana kemari. Sekarang tiba-tiba jawabannya akan terwujud di diha-dapannya. Hanya saja jawabannya terhalang oleh selembar 'kertas', asal saja dia menjulurkan tangannya, dia sudah bisa menyibakkan 'kertas'nya dan melihat jawabannya. Mungkin juga dengan menyibakkan kertas ini dia akan menghadapi konsekuensi yang besar, mungkin juga 'kertas' ini adalah sebuah jebakan, namun dia tidak memperdulikan lagi. "Apakah kau mau pergi?" "Baiklah!" Wie Kie-hong menjawab tanpa berpikir lebih banyak lagi. "harap anda menunggu sebentar diluar pintu masuk, aku akan segera keluar." Orang itu mengangguk, dia berjalan keluar pintu, lalu membalikkan tubuh, menutup pintu taman. "Tuan Bu" Wie Kie-hong pelan berkata. "sekarang kita harus berbagi tugas. Kita akan bertemu lagi disuatu tempat nanti. Bagaimana menurutmu?" "Kalau begitu kau tentukanlah dahulu kapan dan dimana kita akan bertemu" "Bagaimana kalau kita bertemu disini lagi" "Tidak" Bu Tiat-cui menjawab dengan nada takut "untuk sementara waktu aku tidak ingin kembali ke tempat ini. bagaimana kalau bertemu ditempatmu saja?" "Repot. Tengah hari nanti apakah kau bisa mengambil koper tersebut?" "Waktunya lebih dari cukup" "Kalau begitu kita berdua akan bertemu di taman Bu Ling di kota Pek Hai. Bagaimana?" "Jangan. Kau menyuruhku membawa koper itu pergi ke tempat yang jauh, itu sangat berbahaya." Tiba-tiba Wie Kie-hong teringat pesan yang dititipkan oleh Leng Souw-hiang. Oleh karena itu dia segera berkata. "Kalau begitu kita berdua bertemu di stasiun kereta saja tepat pukul dua belas siang. Kita bertemu di pintu masuk, disana orang-orang yang membawa koper pasti sangat banyak" "Baiklah! Tepat jam 12 nanti kau harus datang." "Aku akan berusaha datang secepatnya. Namun jika terjadi sesuatu diluar dugaan dan aku terlambat datang, kita tidak boleh berpisah sebelum kita bertemu .......Tuan Bu! Harap berhati-hati jangan sampai diikuti orang" "Aku tahu" Wie Kie-hong segera berjalan melalui pekarangan, dia membuka pintu dan terus berjalan keluar. Di luar sebuah kereta kuda sudah menunggu-nya. Pria berpakaian rapi yang tadi melawannya sudah duduk di tempat kusir menunggunya. Sambil mempersiapkan cambuknya, dia turun kereta dan berdiri disamping pintu masuk kereta kuda. Dia menyambut Wie Kie-hong seperti tamu terhormat naik kereta. 0-0-0 BAB 3 Perburuan Kereta kuda terus melaju. Namun Wie Kie-hong tidak tahu kereta ini sedang melaju ke arah mana. Sebelum naik kereta, orang itu meminta Wie Kie-hong dengan hormat mengikat sebuah kain berwarna hitam menutupi matanya. Kie-hong sama sekali tidak bertanya. Tampaknya Thiat-yan tidak ingin bertindak gegabah ....lagipula bisa terlihat bahwa ini adalah undangan yang diberikan padanya dengan cara yang sopan. Wie Kie-hong menyetujui undangan ini. dia berharap nona Thiat-yan akan mengatakan dimana ayahnya berada. Setelah mulai berangkat, Wie Kie-hong terus mencoba berkonsentrasi mengingat kemana arah kereta kuda ini pergi. Dia ingin mengetahui dimana kira kira tempat tinggal Thiatyan. Namun akhirnya dia menyerah, karena sais kereta kuda rupanya sangat pintar. Setelah berangkat, dia sengaja mengemudikan kereta kudanya berputar-putar. Sebentar saja dia sudah membuat Wie Kie-hong kebingungan. Dari hal kecil ini sudah terlihat kemampuan yang dimiliki oleh Thiat-yan. bahkan seorang kusir kereta kuda pun berpakaian rapi dan memiliki ilmu silat tinggi. Dia pasti mendapat pengarahan yang ketat darinya. Sepanjang perjalanan Wie Kie-hong merasa kereta kuda selalu berjalan diatas jalanan yang rata. Ini menunjukkan bahwa kemanapun mereka pergi, mereka belum meninggalkan kota. Setidaknya Wie Kie-hong yakin tentang kesimpulannya. Setelah berkendaraan selama kurang lebih setengah jam, akhirnya kereta berhenti. Wie Kie-hong mendengar suara pintu mem-buka. Setelah itu kereta kembali bergerak maju. Bahkan pekarangan didalam rumah Thiat-yan memiliki jalan untuk dilalui oleh kereta kuda. Walau belum melihatnya, Wie Kie-hong sudah bisa membayangkan betapa besarnya rumah yang dikunjunginya ini. Akhirnya kain pembalut berwarna hitam dilepaskan. Wie Kie-hong dipersilahkan turun dari kereta. Yang pertama kali dilihatnya adalah sebuah pekarangan dengan taman bunga yang berwarna hijau segar. Pekarangan rumah besar ini tidak hanya luas, namun juga sangat nyaman, didalam benaknya berpikir, jika dibandingkan dengan kediaman Leng Taiya, tempat ini jauh lebih menyejukkan hati. Kesan pertama mengunjungi tempat ini benar-benar sangat menyenangkan. Sekarang dihadapannya sudah berdiri dua orang gadis pesuruh yang berusia sekitar lima-enam belas tahun. Mereka berdua berdiri sebelah menyebelah, merangkupkan tangan dan menyambut kedatangannya. Tingkah laku mereka sangat ramah dan sopan santun. Kesan kedua juga sangatbaik. Keadaan didalam ruangan tertata dengan sangat rapi dan megah. Syair literatur dan gambar-gambar yang tergantung di tembok juga sangat istimewa. Peralatan semuanya terbuat dari kayu merah. Jika dibandingkan dengan perabotan yang ada di kediaman keluarga Leng, semuanya tampak jauh lebih bagus. Tidak terasa Wie Kie-hong mendecak kagum. Kira-kira berapa banyak kekayaan Thiat-yan ini? Tentang Tiat Liongsan, sebelumnya dia sudah men-dengar sedikit. Biasanya orang yang sangat kaya atau memiliki kekuasaan, kebanyakan keluarganya tidak utuh. kesan ketiga membuat Wie Kie-hong diam-diam merasa aneh, dia merasa curiga. Peralatan minum teh yang disuguhkan semuanya terbuat dari porselen mahal dari daerah Kang Sie. Wie Kie-hong merasa seolah olah dia sedang berada di alam mimpi dan dijamu oleh para dewi. Wie Kie-hong sudah sering keluar masuk rumah orang-orang penting dan para pejabat kaya, namun dia belum pernah menjumpai rumah mewah seperti ini sebelumnya. Akhirnya tuan rumah keluar menyambutnya, menilai raut mukanya, sepertinya dia tidak ramah, namun tidak licik, postur tubuhnya kekar namun tetap langsing. Dinilai dari tubuhnya, tampak dia berusia kurang lebih baru sekitar dua puluh tahun saja. Namun berdasarkan raut mukanya, Wie Kie-hong merasa umurnya seperti tidak hanya dua puluh tahun saja. Orang inilah orang yang sudah membuat empat perkara yang sangat kejam. Perempuan ini adalah penjahat yang sedang diburu oleh Tu Liong dan dirinya. Wie Kie-hong benarbenar tidak percaya, dia merasa situasinya kurang baik. Ini karena dia tidak tahu bagaimana menghadapi nona yang cantik dan menarik sekaligus melampiaskan dendam kesumatnya. "Wie kongcu?" Ini adalah kalimat pertama yang diucapkan oleh tuan rumah. "Betul. Namaku adalah Wie Kie-hong. Anda adalah....?" "Thiat-yan" Jawabannya singkat, sederhana namun sangat bertenaga. Lawan bicaranya sudah memperkenalkan diri sebagai orang yang sudah memotong tangan Leng Souw-hiang. Namun tetap saja Wie Kie-hong tidak bisa menunjukkan niat bermusuhan. Dia diam-diam hanya mengatupkan rahangnya kuat kuat. "Wie Kongcu mungkin akan merasa bahwa undangan yang kuberikan pada anda sangat mendadak. Sebenarnya undangan ini sudah kurencana-kan semenjak setengah tahun yang lalu." "Aku tidak mengerti apa maksudmu" Wie Kie-hong kebingungan... "Maksudku adalah aku sudah mengetahui tentang penyebab kematian ayahmu sekitar setengah tahun yang lalu. Semenjak hari itu aku bertekat mencari kesempatan untuk memberitahukan sendiri padamu" Setelah menyinggung tentang penyebab kematian ayahnya, Wie Kie-hong merasakan emosi yang sulit dikendalikannya. Namun dia tidak ingin salah tingkah dihadapan Thiat-yan. Karena itu dia sekuat tenaga menahan diri. dengan tenang dia berkata. "Maaf aku berkata terus terang. Berdasarkan pendirianmu dan pendirianku, aku tidak mungkin akan datang kemari menjadi tamumu. Aku datang kemari karena ingin mencari tahu tentang sebuah masalah...." Thiat-yan memotong kalimatnya dan berkata. "Aku pasti akan memberitahu dirimu, namun aku punya sebuah syarat sebagai imbalannya." "Oh...? syarat?" Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Wie Kongcu jangan terkejut. Jadi manusia haruslah adil. Mengurus sebuah masalah pun tetap harus adil. Satu tael bisa membeli kue bakar, sepuluh tael barulah bisa membeli kue bakar ditambah dengan daging. Betul tidak?" Wie Kie-hong tumbuh besar di rumah kediaman keluarga Leng Souw-hiang. Dengan begitu secara otomatis dia tidak kampungan. Setelah men-dengar Thiat-yan mengucapkan kata 'syarat' hatinya langsung merasa waspada. "Sebelum kau mengatakan syarat yang harus kupenuhi, kau sebaiknya menilai baik-baik diriku. Persyaratan apapun yang akan kau berikan nanti, mungkin saja aku tidak dapat memenuhinya." "Wie kongcu terlalu sungkan." "Coba katakanlah dulu syaratmu, supaya kita tidak membuang-buang waktu" "Setelah Leng Souw-hiang terluka, kau cepat-cepat pergi ke gang San-poa dan menemui Bu Tiat-cui. Mengapa kau pergi kesana? Inilah syarat satu-satunya yang ingin kuketahui, kau harus menjawab dengan jujur." "Pergi meramal nasib" "Meramal nasib?" Thiat-yan tertawa dingin "meramal nasib siapa?" "Meramal nasib si pelaku kejahatan. Aku ingin melihat kapan dia akan terjerat jaring takdir yang jarang namun tetap tidak bisa tertembus, (kapan Thiat-yan akan kalah)" "Wie Kie-hong!" Panggilan ramahnya sudah berubah. Nada bicaranya juga berubah. "apakah kau tahu apa akibat dari kata-kata lelucon semacam ini?" "Aku tidak sedang bercanda" Rahang Thiat-yan mengatup sangat keras, dia sepertinya hendak segera berubah pikiran. Namun dia tetap saja tabah menahan semua emosinya, tetap dengan suara lembut dan ramah berkata. "Wie Kie-hong! Penyebab kematian ayahmu merupakan hal yang sangat penting bagimu. Apakah kau mengerti?" "Tentu saja aku mengerti" "Kalau begitu, mengapa kau bersikap begini semacam itu dihadapanku? Aku benar benar beritikad baik menceritakan padamu." "Aku juga beritikad baik" "Tapi yang kau katakan tadi adalah sebuah kebohongan. Aku tahu itu!" "Bagaimana kau tahu aku sedang berbohong?" "Wie Kie-hong! Karena relasi tertentu, aku harus tetap menjaga sopan santunku padamu. Aku tidak bisa menggunakan kekerasan, juga tidak bisa menghadapimu dengan cara kejam, terhadap orang lain aku tidak akan berbuat seperti ini. kalau kau tidak bicara, aku bisa bertanya pada orang lain." "Bertanya pada siapa?" "Aku bisa bertanya langsung pada Bu Tiat-cui. Tentu saja tidak akan bertanya baik-baik seperti ini. apakah kau ingin membuat dia menderita?" 'Untung Bu Tiat-cui sudah pergi menghindar,' pikir Wie Kiehong dalam hati. "Wie Kie-hong! Aku berharap kau ingat hal itu dengan baik" "Kau tadi mengatakan bahwa karena relasi tertentu, kau harus tetap menjaga sopan santun padaku. Apa maksud dari kata-katamu ini ??" "Sekarang aku tidak dapat mengatakan pada-mu. Waktunya belum tepat." "Nona Yan!" Wie Kie-hong mendadak berdiri lalu berkata. "aku merasa kabar yang kau miliki mengenai kematian ayahku adalah jebakan untuk menipuku. Dari awal kau sudah sengaja membuat urusan sederhana menjadi rumit. Aku tidak suka berurusan dengan orang yang berbelit-belit. Sekarang aku ingin pergi, bisakah kau menyuruh memper-siapkan kereta kuda dan mengantarkanku pulang?" "Wie Kie-hong! Sebelum kau meninggalkan tempat ini, sebaiknya kau mempertimbangkan keputusan itu matangmatang...." "Mengapa?" "Sekarang ini kita berdua masih terhitung sebagai teman. Sebenarnya aku tahu kau tidak ingin mengakui kalau kita berdua adalah teman. Setidaknya kau tidak kuanggap seorang musuh. Setelah kau meninggalkan tempat ini, kita berdua akan segera menjadi musuh bebuyutan." "Cepat atau lambat aku pasti akan meninggalkan tempat ini. betul tidak?" "Jika kau pergi setelah kita mendapat titik temu, bukankah lebih baik?" "Kata-katamu sungguh membuat orang sulit untuk tertawa ataupun bersedih. Kau sudah melukai ayah angkatku, setelah itu kau masih ingin menjalin hubungan yang baik denganku. Bagaimana bisa?" Kata-kata Wie Kie-hong ini sudah menggambarkan keputusan yang sudah dibuatnya. Tidak salah, semula dia ingin mengetahui penyebab kematian ayahnya, namun dia lebih menghargai jasa Leng Souw-hiang yang sudah merawatnya sampai dewasa. Thiat-yan sudah melukai Leng Souw-hiang, tentu saja dia tidak mungkin menjalin hubungan yang baik dengan Thiat-yan. "Nyalimu sangat besar!" "Apa maksudnya?" "Nyawamu saat ini sedang berada diujung tanduk, namun kau masih berani mengatakan semua itu. apakah kau tidak takut aku berubah pikiran dan mencelakaimu?" Badik Buntung Karya Gkh Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo