Pedang Darah Bunga Iblis 9
Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH Bagian 9
Pedang Darah Bunga Iblis Karya dari G K H Dalam gebrak adu kekuatan tenaga dalam ini jelas bahwa kekuatan dan latihan Lwekang Suma Bing masih kalah seurat dari lawan. Maka terjadilah pertempuran sengit yang mengadu jiwa ini. Mengandalkan kesaktian Kiu-yang-sin-kang Suma Bing masih dapat bertahan sementara waktu, namun tiga puluh jurus kemudian, keadaannya sudah semakin keripuhan terdesak dibawah angin. Lima puluh jurus kemudian Suma Bing sudah kehilangan inisiatif untuk balas menyerang, terpaksa dia main bertahan mengurung diri dengan rapat. Se-konyong2 terdengar sebuah bentakan nyaring disusul Suma Bing berseru tertahan, ujung mulutnya meleleh darah segar, tubuhpun terhuyung hampir roboh. Dalam keadaan gawat itulah, tahu2 tubuh Phoa Kin-sian sudah berkelebat tiba ditengah gelanggang. Suma Bing lintangkan tangan serta berkata. "Nona Phoa, silakan mundur, aku tidak perlu bantuanmu!" Berobah wajah Phoa Kin-sian, katanya. "Kau bukan tandingan siluman jadah ini!" Ucapan "siluman jadah" Itu membuat wajah Tok-bi-kui berobah bengis mengancam, mulutnyapun segera memaki. "Budak sundel, siapa yang kau maksudkan dengan siluman jadah itu?" "Kau sangka siapa lagi yang berada disini selain kau?" "Agaknya kau ingin segera mampus, biar aku sempurnakan kau juga..." "Apa kau mampu?" Maju selangkah Suma Bing menghadang dihadapan Phoa Kin-sian serunya. "Nona Phoa, silakan mundur!" Tanpa menanti reaksi Phoa Kin-sian segera ia menyerang kearah Ma Siok-tjeng. Serangan ini dilancarkan dengan penuh kebencian yang ber-limpah2 maka kekuatannyapun bagai guntur menggeledek, kontan Tok-bi-kui kena terdesak mundur beberapa langkah. Mendadak Phoa Kin-sian mendengus ejek sambil membanting kaki terus melesat tinggi bayangannya menghilang diluar tembok. T o k - b i - k u i M a S i o k - t j e n g t e r p a k s a m e n d e l o n g s a j a m e n g a w a s i P h o a K i n - s i a n p e r g i , t a p i d i a s e n d i r i j u g a m a k l u m d e n g a n k e p a n d a i a n o r a n g t a k m u n g k i n d i r i n y a k u a t m e r i n t a n g i . A p a l a g i h a n y a S u m a B i n g s e o r a n g s a j a c u k u p m e m b u a t d i a b e k e r j a b e r a t m e m e r a s k e r i n g a t . J i k a l a u S u m a B i n g d a n P h o a K i n - s i a n b e r p a d u m e n g e r o y o k n y a , t a k m u n g k i n d i r i n y a d a p a t m e l o l o s k a n d i r i d e n g a n s e l a m a t . M a k a d e n g a n b e r k u r a n g n y a s e o r a n g l a w a n l e b i h m a n t a p l a h h a t i n y a u n t u k s e p e n u h t e n a g a m e n g h a d a p i S u m a B i n g . Dalam sekejap duapuluh jurus telah berlalu. Tubuh Suma Bing sudah mandi keringat keadaannya sudah payah dan berbahaya diancam maut. Se-konyong2 Tok-bi-kui merobah permainannya, bayangan pukulannya berkelebatan seperti kupu menari2, beruntun dia lancarkan enambelas kali pukulan, pada pukulan keenambelas terdengar Suma Bing berpekik kesakitan, tubuhnya sempoyongan setombak lebih. Bagai bayangan yang selalu mengikuti bentuknya tubuh Ma Siok- tjeng melejit memburu tiba sekali jambak jalan darah Hoan- meh-hiat sudah dicengkramnya keras. Suma Bing coba meronta namun sia2. Sepasang mata Tok-bi-kui Ma Siok-tjeng jelalatan menatap wajah Suma Bing yang cakap ganteng, lama kelamaan matanya memancarkan sinar gairah yang melemaskan hati orang, kedua pipinyapun per-lahan2 bersemu merah. Rasa malu gusar dan gugup bergejolak dalam benak Suma Bing, matanya melotot besar dan merah membara. Tiba2 Tok-bi-kui ulurkan tangan menutuk jalan darah lemas ditubuh Suma Bing terus dikempit dibawah ketiak dan dibawa lari kedalam hutan dibelakang biara bobrok itu. Tak lama sesudah Tok-bi-kui mengempit tubuh Suma Bing berlalu pergi, sebuah bayangan kecil langsing berkelebat memasuki biara itu. Dia tak lain adalah Siang Siau-hun. Dalam biara sekarang ketambahan lima mayat lagi, namun bayangan kekasihnya tidak kelihatan. Keruan gugup dan cemas hati Siang Siau-hun, dengan suara hampir berteriak ia mengeluh. "O, engkoh Bing, dimana kau? Apa kau sudah datang? Mengapa kau tidak tunggu aku?" Hanya kesunyian dan keseraman suasana yang menjawab keluhannya. "Aku harus menemukan dia." Demikian keluh Siang Sian- hun, terus belari secepat terbang keluar biara. Kini kita ikuti jejak Si mawar beracun Ma Siok-tjeng yang membawa lari Suma Bing kedalam hutan dibelakang biara, setelah mendapatkan sebuah tempat yang tersembunyi dia letakkan tubuh Suma Bing diatas tanah, lalu dengan mesranya dia duduk berhimpit disampingnya. Kata Ma Siok-tjeng. "Suma Bing, ketahuilah bahwa Ketua kami belum lega sebelum dapat meringkus dirimu?" Suma Bing menyesal karena dirinya tertutuk jalan darahnya hingga tak dapat bergerak, dasar sifatnya memang keras matanya melotot ber-api2 dan memaki garang. "Aku pun belum lega sebelum dapat membunuh kurcaci itu." "Tapi sekarang kau tiada kesempatan lagi. Untuk membereskan kau sekarang segampang membalikkan tanganku." "Boleh silahkan kau turun tangan." Ma Siok-tjeng malah unjuk tertawa genit, ujarnya. "Tapi aku sayang untuk membunuh kau!" "Lalu apa kehendakmu?" Dengan tangannya Ma Siok-tjeng meng-elus2 wajah Suma Bing, suaranya halus dan merayu. "Adikku yang baik, asal kau berlaku baik, tentu cicimu akan segera melepaskan kau" "Cis, tidak tahu malu..." Tok bi-kui malah perdengarkan suara ngakak yang menggiurkan, serunya. "Tidak tahu malu, sebentar lagi kalau tidak kubikin kau menyembah2 kepadaku, kuhapus namaku si mawar beracun." Hampir meledak dada Suma Bing saking menahan gusar namun apa yang dapat diperbuat. Dia insaf perempuan jalang tidak tahu malu ini pasti dapat melaksanakan apa yang telah dikatakannya. Bagi seorang laki2 jantan seperti dirinya, masa harus mandah saja dihina dan dipermainkan oleh sundel cabul ini? Saat mana selebar muka Tok-bi-kui sudah merah padam napasnya empas empis memburu cepat, kedua matanyapun memancarkan sinar berapi, tubuhnya bergetar penuh birahi. Tiba2 Suma Bing merasakan jalan darah Kiu-bwe-hiat kesemutan, lalu disusul jalan darah Gi-tjiat dan Kui-lan dibawah perutnya terasa suatu hawa hangat mengalir cepat merembes keseluruh tubuh. Maka dalam sekejap saja sejalur hawa hangat timbul pula dari dalam pusarnya terus meresap kesegala sendi2 dan urat nadinya menyusuri seluruh jalan darah ditubuhnya, darah mengalir semakin cepat, jantungnya berdetak semakin keras, napasnya juga semakin berat. Sekuat tenaga ia bertahan dan berkutet dan mencegah timbulnya nafsu berahi, supaya dirinya tetap dalam keadaan sadar... Dengan penuh harapan sepasang mata Tok-bi-kui pelerak- pelerok, wajahnya penuh mengandung gairah menanti perkembangan selanjutnya. Kesadaran Suma Bing semakin amblas, pandangannya mulai remang2, suatu arus keinginan yang keras membuatnya tenggelam dalam langkah kearah pelepas rakus yang menggila. Seluruh tubuh panas membara, jalan darah se- olah2 hendak meledak. Saat mana dalam tubuhnya sudah mulai dirasuki oleh setan nafsu birahi yang sedang mengembara dalam tubuhnya. Selain keinginan liar yang buas itu otaknya kosong melompong tanpa sepercik kesadaran. Per-lahan2 Tok-bi-kui melepaskan baju luarnya, lalu mengendorkan baju dalamnya terbentanglah kulitnya yang halus putih, buah dadanya yang montok menggiurkan setengah terbuka. Pandangan yang memincuk hati ini betapa keraspun hati manusia akan luluh juga akhirnya bagi orang semuda Suma Bing yang mulai nanjak usia kedewasaan, pula Ma Siok-tjeng gunakan juga cara sesat untuk membangkitkan nafsu birahinya, keruan Suma Bing seperti kuda liar yang lama kehausan napasnya memburu ngos2an. "Bagaimana Suma Bing?" "Aku... aku... ingin..." "Kau mau apa? Hahahahahihihihehehe!" "Aku... ingin kau." "Kau mau panggil aku cici?" "Ci... ci" "Ai, adikku yang baik!" Girang si mawar beracun Ma Siok-tjeng bukan kepalang, segera ia bebaskan jalan darah pelemas Suma Bing yang tertutuk tadi. Kontan Suma Bing melompat bangun, kedua matanya merah marong seperti serigala yang haus darah terus menubruk maju hendak memeluk... Pada detik yang menentukan itulah tahu2 sebuah arus hantaman angin keras menerpa tiba menerjang kearah mereka berdua, kontan Suma Bing terpental mundur dan jatuh duduk diatas tanah. Sedang si mawar beracunpun terguling sungsang sumbel. Sungguh mimpipun Ma Siok-tjeng tidak menduga pada saat2 nafsu birahinya sudah memuncak pada titik tertinggi hingga perhatiannya peka pada diri Suma Bing itu dirinya bakal dibokong orang tanpa siaga sebelumnya. Tidak malu kiranya si wanita cabul ini diangkat sebagai pelindung Bwe-hwa-hwe karena memang kenyataan kepandaiannya tidak lemah. Reaksinya sangat cekatan setelah kena dibokong, begitu melejit bangun dan berdiri tegak segera ia tutupi dadanya dengan baju luar yang masih utuh terus memandang kedepan dengan berapi2. Kiranya orang yang membokong dirinya itu adalah Phoa Kin-sian adanya. Suma Bing sudah hilang kesadarannya, bagai binatang binal yang sudah kehausan darah mana dapat dia membedakan baik atau buruk, sambil berpekik beringas ia menubruk maju. Sambil mengertak gigi terpaksa Phoa Kin-sian menyelentikkan sebuah jarinya. "Buk," Kontan Suma Bing kena tertutuk roboh. Bahwa rasa nikmat yang bakal dikecapnya digagalkan oleh orang membuat si mawar beracun Ma Siok-tjeng gusar hingga kepalanya beruap, desisnya dingin. "Budak busuk, kau cari mampus". Sebaliknya Phoa Kin-sian sendiri juga bukan kepalang geram dan malunya, sambil menuding ia memaki. "Sundel yang tidak tahu malu, hari ini nonamu pasti akan membunuhmu." Membarengi ancamannya ia kirim sebuah sodokan keras kearah musuhnya. Tok-bi-kui ganda mendengus gusar, sebelah tangannya juga diangkat untuk menangkis. "Dar..." Benturan menggelegar membuat tubuh Ma Siok- tjeng tersurut mundur tiga tindak, sungguh kejutnya bagai disengat kala bahwa Lwekang gadis muda ini kiranya sangat tinggi diluar perkiraannya. Saking gusar ingin rasanya Phoa Kin-sian segera menamatkan jiwa wanita cabul ini, sekaligus ia lancarkan lagi tiga gelombang pukulannya yang disertai himpunan seluruh kekuatannya, maka betapa dahsyat akibat pukulannya ini dapatlah dibayangkan. Arwah Ma Siok-tjeng seolah2 terbang dari badan kasarnya, lenyaplah nafsu birahinya yang berapi2 tadi, tubuhnya berkelebat sebat luar biasa menyingkir. Tapi sayang ia agak sedikit terlambat, dua pukulan yang terdahulu memang dapat dihindari, namun pukulan ketiga dengan telak mengenai sasarannya. Kontan si mawar beracun berpekik ngeri sambil muntah darah, tubuhnya terguling2 jauh. Wajah Phoa Kin-sian semakin kelam penuh nafsu membunuh, desisnya bengis. "Mawar beracun, disinilah tempat liang kuburmu." "Wut" Lagi2 ia lancarkan sebuah pukulan jarak jauh. Keruan Ma Siok-tjeng ketakutan setengah mati, sebat sekali tubuhnya melejit menyingkir jauh, lantas dengan penuh kebencian ia berkata. "Budak busuk, kucatat perhitungan ini. Akan tetapi ada satu hal yang perlu kuberitahukan. Dia sudah tertutuk oleh Hian-to-tjui-yang-tji, dalam waktu setengah jam ini, jikalau tidak... hehehe, urat nadinya akan meledak dan hancur berkeping2.". Habis ucapannya bayangannyapun menghilang. Sekarang Phoa Kin-sian melongo dan tertegun ditempatnya tanpa mampu mengeluarkan suara. Sementara itu meskipun jalan darah Suma Bing tertutuk, namun nafsu birahinya masih bertegang sampai puncaknya, napasnya memburu wajahnya merah padam. Sungguh kacau dan gelisah benar hati Phoa Kin-sian, apa yang harus diperbuatnya. Kalau dalam setengah jam ini Suma Bing tidak dapat melampiaskan keinginannya, urat nadinya akan pecah dan putuslah jiwanya. Apakah dirinya harus mengawasi orang menderita sampai mati? Atau menolongnya! O, tak tahu dia apa yang harus diperbuatnya. Coba pikirkan sebagai seorang gadis yang masih perawan suci bersih bagaimana cara menolong jiwanya. Kalau menolongnya itu berarti dia harus mengorbankan kesuciannya. Keadaan Suma Bing sudah menunjukkan bahwa jiwanya sudah diambang diantara mati atau hidup. "Itu tidak mungkin!" Pekik Phoa Kin-sian keras sambil memutar tubuh hendak tinggal pergi, namun baru beberapa langkah tanpa merasa langkahnya berhenti lagi, hatinya gundah dan berperang dalam batinnya, dia harus mengambil kepastian yang ganjil, menolong dia? atau membiarkan dia mati? Akhirnya luluhlah hatinya, dia harus berkorban untuk menolong jiwa orang, dua titik air mata meleleh membasahi pipinya. Sebenarnya betapapun dia tidak rela berbuat begitu, tapi tidak bisa tidak dia harus melakukannya. Suaranya tergetar menggumam. "Suhu, kaulah yang menjerumuskan aku, demi melaksanakan perintahmu, terpaksa aku harus mengorbankan tubuhku!" Maka bagai perwira yang menuju kemedan bhakti dengan langkah lebar ia mendekati kehadapan Suma Bing, katanya sambil mengertak gigi. "Suma Bing, sekarang aku menolong kau, kelak kalau kau menelantarkan aku, aku pasti akan membunuhmu." Napas Suma Bing kempas kempis, ingatan dan pandangannya remang2 tidak dapat membedakan apa yang dilihatnya, sudah tentu dia tidak dengar ucapan Phoa Kin-sian itu. Lantas dikempitnya Suma Bing dibawah ketiaknya dibawa masuk kedalam hutan yang lebih dalam dan tersembunyi, dimana ia buka jalan darah Suma Bing yang tertutuk, maka terjadilah sebuah tragedi yang tengah dipanggungkan dalam sebuah hutan lebat tanpa seorang penonton jua. Kesadaran Suma Bing sudah hilang, bagai serigala buas yang haus darah begitulah dia tengah merangsang dengan menggila. Bagai sekuntum bunga yang tengah mekar diterpa hujan badai, bunga yang lemah itu sedang mengeluh kesakitan, begitulah keadaan Phoa Kin-sian... Setelah hujan badai mereda terasalah suatu keheningan yang mencekam sekelilingnya. Ber-angsur2 ingatan Suma Bing mulai sadar dan ia merayap bangun, pandangan pertama yang dilihat matanya adalah tubuh yang separo telanjang disampingnya. Suatu perasaan terhina menjalar dalam benaknya membuat ia melonjak bangun seperti disengat kala, sambil mengayun tangannya ia membentak. "Kubunuh kau sundel jalang!" Mendadak matanya menatap kearah noktah darah yang berceceran ditanah sekitarnya, tanpa terasa tergetar hatinya. Apa mungkin Tok-bi-kui masih merupakan seorang gadis perawan tingting? Waktu ia menegasi, seketika tubuhnya tergetar bagai tersetrom aliran listrik. Hampir dia tidak percaya akan apa yang dilihat itu adalah kenyataan. Dikucek2nya matanya dan menegasi lagi. Ya, memang benar tidak salah, dialah Phoa Kin-sian adanya. "Apakah yang telah terjadi? Mengapa Tok-bi-kui berobah menjadi Phoa Kin-sian." Demikian ia ber-tanya2 dalam hati. Entah karena malu atau tersiksa terlalu berat, keadaan Phoa Kin-sian seperti tidur nyenyak tanpa bergerak. Suma Bing merenggut rambutnya sekuat2nya, ia mencoba mengenang kembali dan berharap dapat menemukan sepercik penemuan dalam pikirannya yang kabur dan mulai terang itu. Samar-samar teringat olehnya bahwa dirinya telah tertawan oleh Tok-bi-kui Ma Siok-tjeng dan ditutuk dengan cara aneh dari aliran sesat hingga dirinya dirasuk oleh nafsu setan birahi, dalam saat2 genting itulah ia teringat ada seseorang menyerbu tiba lantas terdengar suara bertempur... Ya begitulah, Phoa Kin-sian telah mengorbankan dirinya demi menolong dirinya. Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Karena pikirannya ini tubuhnya terhuyung hampir roboh. Dia insaf bahwa dirinya telah membuat suatu noda hitam yang berdosa selama hidupnya. Bagian tubuh Phoa Kin-sian yang masih tersingkap itu membuat hatinya berguncang lagi, darah panas merangsang kepalanya. Per-lahan2 ia maju mendekat dengan hati2 membetulkan bajunya yang tak karuan itu, menutupi bagian yang membuat hatinya bergejolak keras. Pada saat itulah, sepasang mata Phoa Kin-sian yang bundar jeli terbuka lebar dan mendadak bergegas bangun berdiri. "Plak, plok" Kontan Suma Bing rasakan pandangannya berkunang2, darah meleleh dari sudut mulutnya ia tersurut dua langkah. Dengan terbelalak heran dan kaget ia mengawasi Phoa Kin-sian, entah mengapa dia tidak tahu mendadak Phoa Kin-sian bisa menggampar mukanya dua kali. Setelah persen dua kali tamparan dimuka Suma Bing, tiba2 Phoa Kin-sian memutar tubuh memeluk sebatang pohon dan menangis ter-gerung2. Sedungu Suma Bing juga maklum dan ikut merasakan betapa pedih dan kecut perasaan hatinya itu. Sampai pada detik itu tidak lebih dua jam mereka bertemu dan berkenalan, tapi demi jiwanya ia rela mempersembahkan kesuciannya yang tak ternilai. Betapa besar pengorbanannya itu, bagaimana pula dia takkan menangis. Saking sesal Suma Bing terbungkam mulutnya, tak tahu dia bagaimana dia harus mengeluarkan kata2 untuk menghiburnya. Lama dan lama sekali baru dia tergagap membuka kata. "Nona Phoa, sungguh menyesal aku telah berbuat salah terhadap kau!" Phoa Kin-sian menghentikan tangisnya dan berpaling, katanya dengan nada pedih penuh kemarahan. "Suma Bing, menyesal berbuat salah itulah tanggung jawabmu?" "Maksud nona..." "Kau sudah menghina dan menyiksa aku sedemikian rupa, akan kubunuh kau!" Berobah tegang air muka Suma Bing, katanya. "Aku bukan sengaja hendak berbuat begitu." "Lalu dengan minta ma'af saja lantas beres?" "Ini... tidak, selama hayat masih dikandung badan, Suma Bing pasti tidak akan membuatmu kecewa, tapi..." "Bagaimana?" "Saat ini aku kurang bebas." "Bagaimana artinya itu?" "Aku pernah dikurung oleh Setan Barat didalam barisan jeritan setan menyedot sukma. Untuk menepati janjiku dengan Siang Siau-hun, Setan barat meluluskan kedatanganku kemari, tapi dalam tempo tujuh hari aku harus kembali ketempat kediamannya itu!" Phoa Kin-sian menunjuk rasa kejut, tanyanya. "Mengapa Setan barat hendak mengurung kau?" Suma Bing tertawa ewa, sahutnya. "Sampai sekarang aku masih belum jelas persoalannya. Ada kemungkinan mengenai suka-duka perguruanku." "Apa kau hendak kembali?" "Tentu, seorang laki2 harus menepati ucapannya, mana boleh aku ingkar janji?" "Setan barat terkenal kejam dan telengas, sepergimu ini..." "Aku tidak perduli dengan akibatnya." "Tapi menurut apa yang aku tahu, dendam kesumat dan sakit hatimu masih belum terbalas, mana boleh kau pandang jiwamu semurah itu?" "Akan tetapi, aku tidak bisa menelan ludahku lagi? O, nona Phoa..." "Huh, nona? kau..." Mendengar Suma Bing masih memanggilnya nona wajah Phoa Kin-sian berobah gusar. Merah wajah Suma Bing, cepat2 ia ganti mulut. "Adik Sian, kemana Tok-bi-kui si perempuan jalang itu?" "Sudah kugebah pergi!" "Sebenarnya apakah yang telah diperbuatnya diatas tubuhku, bagaimana bisa..." Kontan merah jengah selebar muka Phoa Kin-sian, berselang agak lama baru dia menyahut. "Dia menggunakan tutukan jari dari aliran sesat yang paling rendah. Kalau sudah tertutuk kepandaian macam itu, seumpama dewapun takkan kuat menahan gelora hatinya, apalagi tiada jalan lain..." Sampai disini ia merandek, lalu berkata lagi. "Aku tidak tega melihatmu meregang nyawa dalam waktu setengah jam ini. Bersama itu aku juga menerima perintah suhu untuk membantu kau secara diam-diam..." Kaget dan heran Suma Bing dibuatnya, tanyanya. "Suhumu menyuruh kau membantu aku?" Phoa Kin-sian mengiakan. "Siapakah suhumu itu?" "Ong Fong-jui!" Sungguh kejut Suma Bing bukan kepalang, kiranya Phoa Kin-sian adalah murid bibinya Ong Fong-jui, ini benar2 diluar dugaannya. "Adik Sian, kau... kau adalah murid bibi Jui?" "Bagaimana, kau merasa diluar dugaan bukan?" Suma Bing bersorak girang, katanya. "Benar diluar dugaan. Adik Sian, selama hidup ini pasti kau takkan aku lupakan." "Lalu bagaimana kau hendak bertanggung jawab terhadap Siang Siau-hun?" Sungguh Suma Bing tidak menduga akan mendapat pertanyaan ini, seketika merah dan merongkol otot dijidatnya, ia bungkam seribu basa. Ya, betapa besar rasa cinta Siang Siau-hun, kejadian mati hidup dibiara bobrok itu masa dapat terlupakan olehnya. Phoa Kin-sian tersenyum manis, katanya. "Engkoh Bing, kau lebih siang berkenalan dengan dia, tak dapat aku melukai hati suci seorang gadis bersih. Hanya kau harus ingat, aku sekarang sudah menjadi milikmu, dan aku sudah puas." "Adik Sian, pasti aku takkan lupa" Sahut Suma Bing tegas. "Apa kau benar2 harus kembali kecengkeraman Setan barat?" "Tidak bisa tidak aku harus kembali!" "Baik, kau berangkatlah" "Adik Sian, aku..." "Bagaimana?" "Aku selalu akan merasa telah berbuat salah terhadap kau." "Hal itu sudah lewat, soalnya terletak pada masa yang akan datang, sekarang pergilah tepati janjimu kepada Setan barat itu!" "Adik Sian, kuharap kau baik2 menjaga dirimu, kuharap kelak kita dapat bertemu lagi dengan selamat." "Pasti dapat." Suma Bing maju memeluk Phoa Kin-sian dan memberinya sebuah ciuman panjang, ciuman yang mengandung penyesalan dan haru, bersama pula pengantar perpisahan yang berat. Dia harus segera berangkat untuk menepati janjinya supaya tidak terlambat dalam jangka tempo tujuh hari. Dipandangnya Phoa Kin-sian lekat2 dan katanya. "Adik Sian, maafkanlah aku, waktu sangat mendesak, aku hendak berangkat!" Phoa Kin sian manggut2, mengiring keberangkatan Suma Bing dengan senyum pilu. Dengan langkah berat segera Suma Bing melejit tinggi berlari keluar rimba. Bertepatan dengan hilang bayangan Suma Bing, dua titik air mata meleleh keluar membasahi pipi Phoa Kin-sian. Betapa dia takkan kepincut dan memuja pemuda ganteng yang meluluhkan hatinya ini. Akan tetapi persentuhan tubuh dalam keadaan yang mengenaskan itu benar2 membuat hatinya hancur luluh. Memang pengorbanannya terlalu besar. Segera ia membetulkan pakaiannya yang tidak karuan, setelah menghela napas panjang pendek, iapun berlari keluar rimba. Dalam pada itu dengan rasa berat dan hampa Suma Bing tengah berlari kencang untuk menepati janji Setan barat. Tak tahu dia bagaimana Setan barat hendak menghadapi dirinya? Sepanjang jalan bayangan Ting Hoan, Siang Siau hun, dan Phoa Kin-Sian bergantian terbayang didepan matanya, membuat otaknya pepat hampir meledak rasanya. Tujuh hari kemudian waktu matahari hampir tenggelam diujung barat sana akhirnya tiba juga dia dibawah bukit Te- tjui-hong. Benar juga wanita serba hitam bernama Sim Giok- sia itu sudah menantinya dengan sebuah sampan. Tanpa banyak cakap Suma Bing langsung melompat naik keatas sampan. Segera Sim Giok-sia melajukan sampannya ketengah danau dengan cepat. Dalam kesunyian sekian lamanya, akhirnya Sim Giok-sia membuka kata. Tiraik asih Websi tehttp.// kangz usi.co m/ "Suma Bing, kiranya janjimu dapat dipercaya dari matahari terbit aku menanti sampai sekarang, kusangka kau tidak akan datang lagi?" "Sebagai seorang laki2 sejati aku pasti menepati janjiku, dan itulah modalku." "Apa kau tahu bagaimana suhu hendak menghadapi kau?" "Bagaimana apa kau tahu?" "Mengurungmu seumur hidup!" Melonjak keras hati Suma Bing. "Mengapa suhumu berbuat begitu kejam terhadap diriku?" -oo0dw0oo Jilid 5 17 SUM A BIN G MEN OLO NG RAC UN DI RAC UN "Sebagai pembalasan!" "Pembalasan?" "Benar, pembalasan terhadap Kho-lo-sia, gurumu itu sekarang sudah mati, maka kaulah yang harus menebus dosanya." "Tapi, kenapakah sebenarnya?" "Karena benci!" Seru Sim Giok-sia berang. "Aku masih belum jelas!" "Belum jelas ya sudah" Pada saat itulah dari kejauhan ditengah danau sana mend atang i sebua h samp ditengah alunan ombak danau bagai seekor burung pinis melaju dengan cepat. Sim Giok-sia berseru kejut dan menghentikan sampannya, tak lama kemudian sampan itu sudah tiba dihadapan mereka, terlihat diatas sampan kecil itu berduduk seorang wanita bersolek yang berpakaian sangat mewah dengan sanggul kepalanya penuh dihiasi mutiara. Sejenak Suma Bing tertegun, lantas berseru kegirangan. "Jui-ih!" Memang wanita setengah umur yang duduk dalam sampan kecil itu adalah bibinya Ong Fong-jui. Ong Fong-jui manggut2, lalu berkata kepada Sim Giok-sia. "Putar haluan!" Selintas Sim Giok-sia melengak, lantas tanyanya. "Siapa kau?" "Ong Fong-jui!" "Mengandal apa kau minta aku putar haluan!" "Atas perintah Suhumu!" "Mengandal ucapan mulutmu itu?" Semprot Sim Giok-sia. Kata Ong Fong-jui dengan nada berat. "Setelah tiba didaratan akan kujelaskan, sekarang putarlah dulu haluan!" Sambil berkata sebelah tangannya diayun sejalur angin kencang berputar tiba membuat sampan yang dinaiki Sim Giok-sia dan Suma Bing berputar arah terus melesat jauh balik kearah Te-tjui-hong. "Kau berani!" Bentak Sim Giok-sia gusar. Beruntun kedua tangannya memukul kepermukaan air untuk menghentikan luncuran perahunya, namun bagaimanapun usahanya sia2, sampannya itu tetap meluncur lempang kedepan. Seperti permainan anak2 saja tanpa mengeluarkan tenaga besar, kedua tangan Ong Fong-jui bergerak bergantian mendera kedua sampan mereka. Dalam waktu singkat mereka sudah tiba dibawah Te-tjui-hong. Tanpa perdulikan apa yang bakal terjadi Suma Bing mendahului melompat kedarat. Segera Ong Fong-juipun mengikuti jejaknya. Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sungguh dongkol dan gusar Sim Giok-sia bukan olah2, begitu kakinya menginjak tanah langsung ia kirim tiga kali pukulan hebat kearah Ong Fong-jui. Ringan dan seenaknya saja Ong Fong-jui mengebutkan lengan bajunya, maka tiga kali serangan Sim Giok-sia itu sirna hilang bagai tenggelam dalam lautan. Diam2 Suma Bing melelet lidah, sungguh diluar tahunya bahwa Lwekang bibinya ternjata sedemikian tinggi. Naga2nya masih berada diatas Lam-sia dan Setan barat. Saking gusar dan kewalahan Sim Giok-sia gemetar dan menghentikan serangannya. Dia insaf bahwa kepandaian lawan berlipat ganda lebih tinggi dari kemampuannya, akan sia2lah tindakannya yang tanpa perhitungan. Hanya dia heran bagaimana bisa lawan datang dari arah pulau ditengah danau sana. Lagipula bukan saja melihat mendengar nama Ong Fong-jui saja dia belum pernah. Pandangan Ong Fong-jui menyapu dua orang didepannya lalu berkata. "Sim Giok-sia, dihitung usia kau lebih tua dari aku. Kalau menurut tingkatan aku lebih tinggi dari kau! Maka aku langsung memanggil namamu. Apa kau tahu apa hubunganmu dengan Suma Bing?" Mendengar pertanyaan terakhir ini bukan saja Sim Giok-sia melengak heran, Suma Bing juga melonjak kaget. "Hubungan apa?" Tanya Sim Giok-sia gemetar. "Kakak beradik seperguruan!" Saking kaget Suma Bing mundur selangkah, pandangannya menyapu Sim Giok-sia, serunya heran dan tak mengerti. "Kakak beradik seperguruan?" "Benar, kakak beradik seperguruan." Sahut Ong Fong-jui serius. "Bagaimana jelasnya ucapanmu ini?" Tanya Sim Giok-sia penuh haru. "Kau tahu apa hubunganmu dengan Setan barat?" "Dia Suhuku." "Kau salah, dia adalah ibumu." Sim Giok-sia terhuyung tiga langkah, tubuhnya menggigil, kepala diabitkan menyingkap rambut panjang kebelakang, maka terlihatlah wajahnya yang pucat pias setengah tua, wajah itu penuh keheranan dan bertanya gemetar. "Dia adalah Bundaku?" "Benar, dan Sia sin Kho Jiang adalah ayah kandungmu!" Sim Giok-sia terkulai hampir roboh, ini benar2 suatu berita yang susah dipercaya dan dapat diterima olehnya. "Apakah itu benar?" Gumam Suma Bing penuh haru. "Tentu, kalau tidak dikatakan langsung oleh Setan barat sendiri pada sejam yang lalu, aku sendiripun tidak tahu. Hati Sim Giok-sia terasa sangat pilu dan perih penuh haru, dia terlongong mematung seperti orang linglung, mulutnya menggumam. "Aku tidak mengerti!" "Sudah tentu," Ujar Ong Fong-jui menghela napas. "Inilah kisah terpendam dalam sanubari orang, siapapun takkan tahu. Lam-sia dan Se-kui sudah bermain asmara pada lima puluh tahun yang lalu. Yang satu sesat sedang yang lain aneh, akhirnya mereka, berpisah karena suatu salah paham. Sejak mereka berpisah Se-kui lantas melahirkan seorang anak perempuan yaitu kau..." Matanya menatap Sim Giok-sia. Tubuh Sim Giok-sia tergetar. Tutur Ong Fong-jui lagi. "Karena patah hati Se-kui membenci seluruh lelaki diseluruh jagad ini. Maka setelah mengetahui hubunganmu dengan Wi-thian-tjhiu Poh Jiang dia mengurungmu, dan melarang kau bertemu dengan dia..." Tiba2 Suma Bing menyelak. "Wi-thian-tjhiu Poh Jiang mengapa berganti julukan jadi Tiang-un Suseng?" Airmuka, Sim Giok-sia semakin pucat, sebenarnya dia menaruh dendam dan benci terhadap suhunya, sungguh diluar tahunya bahwa suhunya ternyata adalah ibu kandungnya sendiri, luluhlah segala kekerasan hatinya, katanya lemah. "Aku tidak dapat salahkan dia, dia tidak sengaja hendak menyiksa aku, adalah karena pukulan batinnya yang berat membuat jiwanya berobah, dalam pengertiannya dia takut aku kena tipu." "Pikiranmu ini benar, tiada seorang ibu yang tidak mencintai anaknya, hal ini tidak dapat menyalahkan ibumu." Baru sekarang Suma Bing jelas dan paham, sebab apa gurunya melarang dia berkelahi lawan orang yang pandai ilmu Pek-pian-kui-jiau. Setelah berhenti sekian lamanya, Ong Fong-jui melanjutkan ceritanya. "Delapanbelas tahun yang lalu, sepasang kekasih tua ini mendapat kata sepakat dan pengertian, sayang Sia-sin Kho Djiang mengalami bencana. Setan barat mencurigainya berobah hati. Sampai tak lama kemudian baru dari kau..." Matanya menatap Suma Bing. "... dari mulutmu ia tahu mengapa pada delapanbelas tahun yang lalu ayahmu ingkar janji, kiranya karena, mengalami bencana itu. Hal ini tambah membuat hatinya hancur luluh ia bersumpah selama hidup ini tidak akan muncul lagi didunia Kangouw!" Kedua mata Sim Giok-sia merah dan meneteskan airmata dikedua pipinya yang pias pucat, suaranya seperti orang mengigau. "Semua peristiwa sudah lalu, bagai sebuah mimpi, tapi justru meninggalkan bekas. Semua ini seperti terjadi kemaren, adalah sekarang aku mendadak merasakan usiaku, aku sudah tua... tapi aku masih ingin bertemu dengan Poh Jiang sekali lagi." Suaranya ini benar2 sangat berkesan dan memilukan hati. Mendadak sinar mata Sim Giok-sia ber-kilat2 menatap wajah Suma Bing, tanyanya. "Sute apa kau benar2 hendak membunuh Tiang-un Suseng?" Sejenak Suma Bing tertegun dan ragu2 lalu sahutnya hampa. "Suci, perintah guru susah dibangkang." "Bing-tit," Sela Ong Fong-jui. "Peristiwa yang lalu kesalahan bukan dipihak Bu-lim-sip-yu. Adalah suhengmu Loh Tju-gi itu biangkeladinya. Betapa erat hubungan Bu-lim-sip-yu maka tiada salahnya kalau mereka menuntut balas. Lagi pula bila suhumu tahu hubungan sucimu dengan Tiang-un Suseng, mungkin dia tidak akan menyuruhmu berbuat demikian." "Ya, mungkin juga begitu," Ujar Suma Bing sambil manggut2. "Namun dia orang tua sudah dialam baka, aku sebagai muridnya harus melaksanakan pesannya." "Tapi subomu juga berpendapat supaya kau tidak menuntut balas lagi kepada salah seorang dari Bu-lim-sip-yu yang masih ketinggalan hidup itu?" "Ini..." Sesaat lamanya Suma Bing menjadi gagu tak dapat menjawab. Ong Fong-jui berputar dan berkata kepada Sim Giok-sia. "Sekarang kau boleh pulang, bujuklah beberapa kata patah pada ibumu. Kelak dikalangan Kangouw kau harus mencuci bersih nama perguruan bersama sutemu, carilah jejak Loh Tju gi." Sim Giok-sia mengangguk tanpa membuka suara, terus naik kesampannya langsung kembali ketengah danau. Ong Fong-jui menghela napas dan berkata. "Seorang wanita yang harus dikasihani, sang ibu telah mengubur masa remajanya." "Benar," Ujar Suma Bing menyanggah. "betul2 seorang wanita yang bernasib jelek, rasanya aku ingin berbuat sesuatu apa untuk dia..." "Bing-tit, walaupun suhu dan subomu berpisah karena salah paham, namun cita2 mereka adalah sedemikian murni dan dalam, hanya sifat jelek masing2 merintangi mereka rujuk kembali. Jikalau kau dapat menemukan Tiang-un Suseng, mempersembahkan kembali bahagia sucimu yang sudah terlambat, tentu kau dapat menghibur arwah suhumu dialam baka." Suma Bing mengiakan sembarangan, saat ini dia tidak ingin memperbincangkan soal itu, segera ia memutar bahan pembicaraan. "Jui-ih, bagaimana kau dapat datang kemari?" Wajah Ong Fong-jui agak berobah, katanya. "Bing-tit, aku mendapat berita dari Phoa Kin-sian, lantas secepat terbang aku menyusul kemari, untung masih sempat kutolong kau dari renggutan Setan barat." Menyinggung nama Phoa Kin-sian, kontan merah jengah selebar muka Suma Bing jantungnya berdetak keras, adegan didalam rimba itu terbayang pula dalam benaknya, tak tahu dia apakah Phoa Kin-sian telah menuturkan sejelasnya kepada suhunya ini. Kata Ong Fong-jui lagi sungguh2. "Kin-sian sudah melapor segala kejadian sejelasnya kepadaku, memang kesalahan bukan dipihakmu, tapi hakekatnya sekarang dia sudah menjadi istrimu, bagaimana rasa tanggung jawabmu?" Sikap Suma Bing sangat kikuk dan risi, sahutnya. "Kuakui dia sebagai istriku, aku tidak akan menelantarkan dia." "Begitupun baik, kalau tidak akupun tidak akan mengampuni kau." Sejenak merandek lalu katanya lagi. "Subomu minta aku memberitahu kepadamu, dikalangan Kangouw kau jangan merendahkan derajat dan nama Sia-sin Kho Jiang?" "Aku paham!" "O, ya, dia masih ada sebuah barang hadiah untuk kau" Suma Bing melengak, tanyanya. "Hadiah apa?" "Kiu-tjoan-hoan-yang-tjau-ko!" "Kiu-tjoan-hoan-yang-tjau-ko, dia juga punya?" "Ya, semua ada dua butir, subo dan suhumu masing2 menyimpan sebutir..." "Milik suhu itu sudah dicuri dan mungkin sudah ditelan oleh Loh Tju-gi." "Hal itu aku sudah tahu, setelah menelan Kiu-tjoan-hoanyang- tjau-ko ini dapat menambah Lwekangmu maju satu kali lipat." "Aku... haruskah menerima?" "Pemberian dari angkatan tua tidak boleh ditolak. Sekarang juga boleh kau telan, biar kubantu kau membaurkan kedalam tenaga murnimu." Lalu dikeluarkannya sebuah peles kecil terbuat dari porselin lalu dituangnya sebutir buah sebesar kacang yang berbau harum yang aneh langsung diangsurkan kepada Suma Bing. Segera Suma Bing menerima dengan kedua tangannya terus dimasukkan kedalam mulut. "Duduklah dan mulai semedi, pusatkan pikiran dan hilangkan segala perasaan." Suma Bing menurut apa yang diperintahkan. Segera terasa segulung hawa panas timbul dari pusarnya, lalu disusul sejalur hawa panas yang kuat menembus masuk melalui jalan darah Bing-bun-hiat, ditambah hawa murni dalam tubuhnya, tiga macam hawa murni terbaur menjadi satu terus berputar dan mengalir deras keseluruh tubuh. Tidak lama kemudian hilanglah segala perasaan jasmaniah. Entah sudah berselang berapa lamanya, mendadak terdengar sebuah bentakan nyaring. "Tarik tenaga." Sigap sekali Suma Bing melompat bangun, terasa semangatnya me-nyala2 tenaganya bergairah padat memenuhi seluruh tubuh, hingga terasa nyaman dan ringan sekali. Saat mana Bintang2 dilangit sudah berkelap-kelip kiranya hari sudah gelap. "Bing-tit, sekarang juga lebih baik kau menuju ke Bu-kong- san mencoba keberuntunganmu..." "Maksud Jui-ih tentang Bunga-iblis itu?" "Benar, kalau kau bisa mendapatkan Bunga iblis, dengan mudah Pedang darah dapat kau rebut." Rasa heran dan curiga membuat Suma Bing nanap mengawasi Ong Fong-jui, entah apa yang dimaksud tentang Pedang darah yang agaknya sangat disepelekan itu? Pedang darah sudah terjatuh ditangan Racun diracun, masa dengan mudah dia bisa meminta kembali? "Bing-tit, mengapa tubuhmu kebal akan racun, apa kau..." "Dari Si-gwa-sian-jin aku diberi sebatang rumput ular serta sebutir buahnya." "O, begitu kiranya, sungguh besar rejekimu." "Jui-ih, ada satu berita hendak kuberitahu kepadamu." "Coba katakan" "Menurut kata Tou-sing-to-gwat Si Ban-tjwan si maling bintang, bahwa ibu masih hidup didunia fana ini." "Apa betul?" Seru Ong Fong-jui kaget, wajahnyapun berobah. Lantas secara singkat Suma Bing menutur pertemuannya dengan si maling bintang Si Ban-tjwan dan mengisahkan lagi cerita yang didengarnya itu dengan haru. "Bing-tit," Seru Ong Fong-jui berlinang air mata girang. "Benar2 suatu hal yang tak terduga. Kalau dapat menemukan ibumu, pasti seluruh musuh besarmu dapat dibereskan. Tapi aku masih curiga, sudah selama puluhan tahun, mengapa tiada sesuatu reaksi dikalangan Kangouw." "Benar, akupun berpikir begitu. Tapi ucapan si maling bintang pasti dapat dipercaya mungkin masih ada sesuatu sebab lain yang belum kita ketahui!" "Lebih baik kau segera menuju ke Bu-kong-san, meskipun harapan itu sangat kecil belum tentu tercapai. Tapi inilah cita2 ayahmu semasa hidup, sudah seharusnya kau melaksanakan keinginannya terakhir." "Baiklah." "Tentang jejak ibumu, aku juga harus ikut mencari sekuat tenaga" Sebentar Suma Bing berpikir2, lalu memberi hormat serta katanya. "Jui-ih, baiklah Tit-ji minta diri." "Baik, kudoakan kau berhasil, tapi semua kejadian didunia ini tergantung jodoh, jangan kau terlalu paksakan diri, kuharap kau selalu ingat perkataanku ini." "Tit-ji akan selalu ingat." Hilang suaranya tubuhnya sudah berkelebat hilang. Waktu terang tanah, Suma Bing sudah berlarian sejauh ratusan li. Seperti kata bibinya bahwa perjalanannya ini belum tentu bisa mendapat sukses karena harapan itu adalah sangat kecil. Coba pikir, Bu siang-sin-li adalah tokoh aneh yang sudah berusia seabad lebih, apakah masih hidup didunia fana ini, masih merupakan persoalan baginya. Dan lagi sedemikian besar gunung Bu-kong-san itu, siapa tahu dimana Bu-siang- sin-li bersemayam? Diumpamakan saja secara kebetulan dapat diketemukan, apakah orang mau memberikan Bunga-iblis itu yang dipandang sebagai benda keramat dan paling berharga malah di-kejar2 oleh kaum persilatan? Ya, meskipun sepercik harapan saja, namun dia harus mencoba sekuat tenaganya, perintah guru dan cita2 orang tua harus dilaksanakan dan diselesaikan secara menyeluruh. Bahwa Pedang berdarah dan Bunga iblis mengandung rahasia ilmu silat mujijat yang paling digdaya dan merupakan raja dari seluruh ilmu silat adalah menjadi incaran dan impian seluruh kaum Kangouw. Begitulah tengah Suma Bing berlangkah ringan, mendadak sebuah suara yang sangat dikenal tengah memanggil dibelakangnya. Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Suma-hiante!" Segera Suma Bing menghentikan langkah dan berputar tubuh, tanpa terasa ia terlongo kaget, karena orang yang berseru memanggil dirinya kiranya adalah si orang berkedok yang telah terjungkal kedalam jurang yang juga disangkanya sudah meninggal itu. "Bong-bian-heng, kau... kau belum meninggal?" Si orang berkedok maju mendekat kehadapan Suma Bing dan tertawa gelak2, katanya. "Berkat rahmat Tuhan, aku masih hidup didunia fana ini!" "Tidak heran aku tidak menemukan jenazahmu dalam jurang itu. Tapi sudah jelas bahwa kau telah terjungkal masuk jurang oleh pukulan ketua Bwe-hwa-hwe itu..." "Ya, memang, tapi ditengah jalan aku dapat menjangkau sebuah batu yang menonjol keluar, terhindarlah aku dari terbanting mampus hancur lebur didasar jurang itu." "Heng-tai (saudara tua) dari mana?" "Sungguh sangat kebetulan, aku tengah mencari kau." "Mencari aku?" "Ya, begitulah!" "Ada urusan apakah?" "Racun diracun kini terkurung dalam sebuah barisan kira2 beberapa li dari sini..." Suma Bing melonjak kaget, serunya. "Terkurung oleh siapa Racun diracun itu?" "Oleh Racun utara!" Suma Bing lebih kaget dan heran tak mengerti, tanyanya. "Agaknya tidak mungkin..." "Kenapa?" "Aku menyaksikan sendiri waktu Racun utara dan Racun diracun beradu kepandaian minum racun. Akhirnya Racun utara kalah berbisa dari Racun diracun, dia terluka oleh bisa Ban-lian-tok-bo dari Racun diracun, dalam sepuluh tahun baru dapat memunahkan seluruh racun berbisa dalam tubuhnya itu. Mana mungkin dia mengurung..." Tanpa menanti orang selesai bicara si orang berkedok segera menukas. "Tapi kejadian inipun kusaksikan sendiri, malah sekarang masih dalam kenyataan, karena Racun diracun saat ini masih terkurung dalam barisan itu." "Racun utara yang membentuk barisan itu?" "Bukan, ada lima puluh jagoan silat dari Bwe-hwa-hwe turut hadir disana, naga2nya mereka berkomplot saling bantumembantu..." "Selamanya Racun utara paling menjaga gengsi dan tingkat kedudukan, sungguh tak terduga akhirnya ia minta bantuan orang lain juga." "Benar, mungkin dia diperalat oleh Bwe-hwa-hwe khusus untuk menghadapi Racun diracun. Bukankah kau mengatakan bahwa Racun utara pernah dikalahkan oleh Racun diracun. Mungkin karena tamak hendak menebus kekalahannya, dan lagi sehari sebelum Racun diracun lenyap dari bumi ini, dia takkan dapat merajai menggunakan racun berbisanya lagi. Sebaliknya Bwe-hwa-hwe tengah mengincar Pedang berdarah itu. Bukankah bakal terlaksana tujuan mereka masing- masing?" Suma Bing manggut, katanya. "Pendapat Heng-tai memang tepat!" Kata si orang berkedok lagi. "Tujuanku mencari kau adalah untuk mencari kesempatan merebut pulang Pedang darah itu." Sejenak Suma Bing merenung dan berpikir, lalu ujarnya. "Tidak, sekali ini aku hendak menolong Racun diracun!" "Apa kau hendak menolong Racun diracun?" "Benar?" "Tanpa syarat?" "Ya, menolongnya tanpa syarat!" "Mengapa?" "Aku pernah terluka parah oleh pukulan Racun utara, untung dia memberiku sebutir obat dan merintangi Racun utara waktu dia hendak turunkan tangan kejinya kepadaku, ini terhitung dia ada budi kepadaku, maka akupun harus menolongnya sekali." "Lalu bagaimana dengan Pedang darah itu?" "Seorang laki2 harus tegas membedakan antara dendam dan budi, kelak masih ada kesempatan." "Apa boleh buat, mari segera kita kesana!" Sebat luar biasa tubuh mereka melenting tinggi terus menghilang dikejauhan. Tidak lama kemudian tibalah mereka disebuah rimba raya, dimana terlihat puluhan jago2 silat Bwe Tiraikasih Websitehttp.//kangzusi.com / hwa-hwe tengah mengepung puluhan pohon besar seluas lima enam tombak, ditengah diantara puluhan pohon2 besar itu ber-tumpuk2 batu2 dan dahan2 pohon yang sudah kering! Didalam lingkungan bundaran batu dan dahan pohon itu terlihat berduduk sila seorang berkedok serba hitam. Sedang disebelah sana terlihat Racun utara tengah duduk diatas sebuah dahan pohon besar. Gesit dan lincah luar biasa mereka sembunyi diantara dahan2 pohon yang lebat itu, Suma Bing bertanya heran. "Tumpukan batu dan dahan pohon itulah barisan yang kau katakan?" "Benar!" Sahut si orang berkedok lirih! "Hanya seluas lima tombak lantas dapat mengurung Racun diracun?" "Justru disitulah kehebatan dan keanehan barisan itu. Dilihat dari luar memang biasa saja, tapi sekali kau berada didalam lain lagi keadaannya, kalau kau tidak mengetahui duduk barisan ini, meskipun kepandaianmu setinggi langitpun mandah saja terima binasa." "Masa begitu lihay?" "Benar!" "Apakah Heng-tai mengenal bentuk barisan macam apakah itu?" "Kebetulan barisan ini adalah lawan kebalikannya dari Ngo heng-tin (lima unsur). Asal kau dapat masuk dari lobang tengah diantara kedua pohon itu, lantas kekiri tiga langkah dan maju setindak, menggeser kekanan lima langkah kau sisihkan dahan pohon yang melintang itu lalu kau pukul roboh dua gundukan batu dihadapanmu terus maju lempang kedepan delapan langkah, kau sapu lagi gundukan batu terbesar itu, barisan ini terhitung sudah kau pecahkan. Asal kau dapat menolong keluar Racun diracun, Racun utara dan para kerabat dari Bwe-hwa-hwe itu sangat gampang digebah pergi. Karena aku kuatir Racun utara menggunakan bisanya, maka lebih baik kau saja yang menerjang kedalam barisan itu." Suma Bing mengangguk paham, ujarnya. "Baik, tapi aku hendak tempur Racun utara dulu." "Kau hendak tempur Racun utara?" Suma Bing mengiakan sambil merogoh keluar Cincin iblis terus dipakai dijarinya. Cincin iblis adalah benda pertanda dari Lam-sia, dia ingin secara resmi sebagai murid Lam-sia berhadapan dimuka Bu-lim. Pesan Setan barat yang disampaikan Ong Fong-jui sudah meresap dalam sanubarinya, tidak boleh dia melemahkan gengsi dan nama serta kedudukan suhunya yang ditakuti dan tenar itu. Dia pernah menelan seluruh batang rumput ular, badannya kebal akan segala racun, subonya memberikan sebutir Kiutjoan- hwan-yang-tjau-ko hingga tenaga dalamnya bertambah lipat ganda, dia ada pegangan dan mantep betul untuk menghadapi Racun utara salah satu dari Bu-lim-su-ih yang sejajar dengan tingkat gurunya. Si orang berkedok mengunjuk rasa kurang tentram, ujarnya. "Hian-te, Racun utara sejajar dengan gurumu, jangan pula kau pandang rendah para jagoan Bwe-hwa-hwe itu..." Suma Bing menjawab dengan angkuhnya. "Aku tahu." Begitu bergerak tubuhnya berkelebat maju dengan langkah lebar ia memasuki rimba lebat itu. "Siapa itu?" Diiring suara bentakan ini dua jagoan Bwe-hwahwe memburu keluar mencegat ditengah jalan. Waktu Suma Bing angkat kepala, dua jalur sinar matanya yang dingin membeku bagai tajam pedang melesat menatap dua orang dihadapannya. Tanpa kuasa kedua jagoan Bwe-hwa-hwe itu bergidik seram dan menyedot hawa dingin, salah seorang diantaranya segera membuka kata memaki. "Siautju, kalau masih ingin hidup lekas menggelundung pergi!" Acuh tak acuh Suma Bing mendengus hina, tangan kanan per-lahan2 diangkat, selarik sinar merah tajam segera memancar keluar dari tengah jarinya. "Cincin iblis!" "Kau... Suma Bing murid Lam-sia?" "Benar, jiwa kalian tidak akan penasaran dan boleh mati meram!" Seketika kedua jagoan Bwe-hwa-hwe itu undur ketakutan, serasa arwah mereka sudah mendahului terbang keluar badan. Begitu putar tubuh segera mereka hendak lari... Dimana terlihat sinar merah menyamber disusul dua jeritan ngeri lantas darahpun berhamburan, badan kedua orang itu seketika terbanting keras dan melayang jiwanya. Jeritan mereka yang menyayat hati membuat gempar dan gaduh situasi dalam hutan yang sunyi senyap itu. Kontan empat orang tua berseragam hitam berloncatan keluar, satu diantaranya segera berseru kejut dan ketakutan. "Dialah Suma Bing, awas lawan berat, serang!" Serentak empat jalur angin pukulan dahsyat bergelombang menimpa kearah Suma Bing. Terhadap setiap insan dari Bwe-hwa-hwe boleh dikata Suma Bing sudah membenci sampai ketulang sumsum dan tujuh turunan. Besar niatnya hendak menumpas habis para durjana dari serikat laknat ini. Dimana kedua tangannya terayun gelombang panas dari angin pukulannya segera menerjang maju memapak gabungan tenaga empat musuhnya itu. Pukulan Suma Bing ini mengandung sepuluh bagian kekuatan Kiu-yang sin-kang. Kontan terdengar dentuman keras bagai bom atom meledak. Seketika orang tua seragam hitam yang menerjang tiba lebih dulu terbang balik kedalam rimba dan menghamburkan hujan darah, sedang dua yang lain terhuyung jatuh duduk diatas tanah, mulut dan hidungnya bernoda darah kental. Gerak gerik Suma Bing tidak berhenti begitu saja, tangkas luar biasa tubuhnya berkelebat mendesak maju kearah luar barisan dimana Racun diracun tengah terkurung. Sampai pada detik itu baru Suma Bing melihat tegas akan situasi sekeliling barisan ini. Dahan dan daon pohon kering tertumpuk dimana2 ditaburi belirang dan bahan bakar lain yang gampang terjilat api, naga2nya mereka hendak hidup2 membakar mati Racun diracun dalam barisan. Sebaliknya Racun diracun masih duduk sila dengan tenang, se-akan2 tidak mendengar keributan yang terjadi diluar barisan. Begitu melihat Suma Bing muncul disitu, kontan Racun utara segera mengunjuk sikap mengancam gusar, serunya. "Tuan2, silahkan mundur ketempat masing2." Benar juga para jagoan Bwe-hwa-hwe itu segera mundur teratur tanpa komentar. Maka terdengar Racun utara berkata dingin. "Suma Bing, sungguh tak duga kau datang mengantar kematian." Suma Bing tertawa sinis katanya. "Jadah tua berbisa, ingat perkataanku beberapa waktu yang lalu. Hari ini akan kubikin kau muntah darah juga." Dihadapan sekian banyak orang luar dimaki sebagai jadah tua, sungguh murka Racun utara bukan olah2, wajahnya menyeringai bengis dan berkata. "Tapi Lohu segera akan cabut jiwamu." "Hm, takabur benar, mari kau coba2." Ejek Suma Bing. Tidak menanti kata2 Suma Bing habis diucapkan, Racun utara sudah membentak menggeledek sambil kirim sebuah hantaman, sedemikian dahsyat pukulannya ini seakan ingin sekali pukul ia bikin hancur tubuh Suma Bing menjadi perkedel. 18 MAU MENOLONG MALAH DITOLONG Sudah tentu Suma Bing tidak berani memandang enteng serangan musuh ini, bercekat hatinya, serentak dikerahkan seluruh tenaganya untuk balas menyerang. Dentuman dahsyat memekak telinga memecah kesunyian begitu dua angin pukulan saling tumbuk ditengah udara. Ke- dua2nya terpelanting mundur selangkah. Sungguh kejut Racun utara bukan kepalang, bahwa hanya terpaut beberapa hari saja darimana datangnya Lwekang si bocah ini sedemikian hebat? Hal ini benar2 membikin jatuh pamor dan gengsinya, bahwa seorang angkatan muda dapat mengimbangi kepandaian dan tenaga dalamnya. Maka lebih besar lagi tekadnya untuk melenyapkan jiwa Suma Bing, setelah terlongo sebentar, serangan kedua sudah dilancarkan lagi. Pukulan kali ini mengerahkan seluruh kekuatan Hian-in- kang yang terlatih puluhan tahun, badai angin dingin yang menyesakkan napas membuat tiga tombak sekelilingnya terasa dingin membeku. Sementara itu, Suma Bingpun sudah bersiap kerahkan seluruh kekuatan Kiu yang sin kang untuk menangkis. Taufan panas ber-gulung2 melanda kedepan dengan dahsyatnya. Seketika Racun utara mendehem sekali, tubuhpun ber- goyang2. Sebaliknya Suma Bing menggigil kedinginan, tubuh terasa hampir membeku, tanpa kuasa tubuhnya terhuyung mundur selangkah. Semua penonton termasuk para kerabat dari Bwe-hwa-hwe berobah tegang. Dalam pada itu, dimana kedua tangan Racun utara diulurodotkan, ilmu Hian in kang nya lagi2 sudah merangsang tiba. Si orang berkedok yang sembunyi diluar rimba sana berkeringat dingin dan kuatir akan keselamatan Suma Bing. Disamping itu diapun merasa heran dan terkejut akan Lwekang Suma Bing yang mendadak bertambah berlipat ganda sangat lihay lagi. Apa mungkin dia mendapat sesuatu rejeki yang aneh? 'Bum' ditengah suara dentuman ini, kedua pihak tersurut lagi masing2 selangkah. Jelaslah bahwa Lwekang atau kekuatan mereka berimbang. Sungguh gusar dan malu Racun utara bukan olah2, segera ia mendesak maju dan beruntun kirim tiga kali serangan berantai, jurus demi jurus lebih lihay dan lebih ampuh, apalagi sekaligus dilancarkan maka bukan olah2 hebat dan dahsyat perbawanya. Dalam gebrak terakhir ini mau tak mau Suma Bing harus mengakui bahwa dirinya kalah latihan, seketika dia terdesak mundur tiga tindak. Mendapat peluang yang menguntungkan ini Racun utara tidak me-nyia2kan, gaya silat yang aneh dan lihay beruntun diberondong keluar bagai air bah melanda, se- akan2 sekali serang dia ingin mengkeremus musuh kecilnya ini yang dianggapnya masih berbau bawang, tapi berani unjuk gigi. Suma Bing kertak gigi, ajaran suhunya yang paling lihay dan ampuh juga tidak kalah perbawanya diboyong keluar untuk berhantam secara keras lawan keras, sedikitpun dia tidak sudi unjuk kelemahan dihadapan musuh bebuyutan perguruannya ini. Gegap gempitalah sekitar gelanggang pertempuran, tigapuluh jurus kemudian kebandelan Suma Bing yang bersilat secara tidak mengenal kompromi ini kiranya membawa hasil juga, lama kelamaan Racun utara semakin payah terdesak dibawah angin dari menyerang terbalik diserang. Kiranya setelah keracunan Ban-lian-tok-bo atau bisa diantara raja bisa dari Racun diracun, meskipun Racun utara paling membanggakan akan permainan serta kemahirannya menggunakan racun, toh dalam waktu singkat tidak mungkin dia mampu membersihkan atau mencuci bersih racun berbisa yang mengeram dalam tubuhnya. Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Maka begitu saling hantam dan kelewat besar menggunakan tenaga racun yang mengeram dalam tubuhnya mulai bekerja semakin cepat mengikuti aliran jalan darah. Maka semakin lama dia harus memeras keringat dan terdesak terus dibawah angin. Masih untung kalau dia berlaku tenang, tapi semakin dia gugup dan malu menjaga gengsi apa segala semakin payah dan ricuhlah keadaannya. Adalah sebaliknya semakin bertempur semangat Suma Bing semakin berkobar, tenaga dalam semakin lancar dan bergairah penuh, nyata bahwa Kiu-tjoan-hoan-yang-tjau-ko mulai menunjukkan kemustajabannya. Terdengar sebuah geraman keras disertai pekik nyaring kesakitan. Kontan terlihat Racun utara Tangbun Lu tergusur tiga langkah, menyemprot darah segar, tubuhnya lemas terkulai hampir roboh. "Tua jadah berbisa, bagaimana?" Jengek Suma Bing temberang. Muka Racun utara merah membara, wajahnya mengunjuk rasa kebencian yang ber-limpah2. Sungguh mimpipun dia tidak menduga bahwa dirinya bakal terjungkal ditangan seorang angkatan muda. Memang kekalahannya ini sangat menggenaskan. Se-konyong2 empat orang tua berwajah pucat ke-hijau2an bermunculan dihadapan Suma Bing. Diam2 terperanjat Suma Bing, senjata keempat orang tua didepannya ini boleh dikata sangat aneh jarang terlihat dikalangan Bulim. Itulah sebuah tongkat panjang tiga kaki yang ujungnya berbentuk persis dengan jari2 tangan manusia yang tergenggam, seluruh tangkai dari ujung penuh ditaburi duri2 kecil yang tajam berkilau ke-biru2an. Terang kalau senjata mereka ini dilumuri racun berbisa yang membahayakan jiwa manusia. "Saudara kecil, hati2 kau, mereka adalah Kangouw-su-ok yang sudah kenamaan kekejaman dan kekejiannya. Mereka adalah pelaksana atau algojo dari seksi hukum dalam Bwe- hwa-hwe.", itulah bisikan si orang berkedok yang telah menggeremet maju dibelakang Suma Bing. Suma Bing manggut2 sebagai jawaban bahwa dia sudah maklum. Salah seorang Kangouw-su-ok (empat durjana dari Kangouw) berpaling dan berkata kepada Racun utara. "Biar bocah ingusan ini kita berempat yang melayani. Ada lebih penting Tjianpwe segera membereskan Racun diracun!" Dengan sikap rikuh dan risi Racun utara membesut noda darah dimulutnya lalu berjalan cepat kearah barisan yang telah diaturnya. Pada saat itulah se-konyong2 Kangouw-su-ok mendadak perdengarkan suara tawa melengking berbareng, lalu bersamaan pula menggerakkan senjata tongkat kepelannya yang beracun mengurung seluruh tubuh Suma Bing. Dalam waktu yang bersamaan, dari sebelah sana tiga lelaki seragam hitam lainnya segera menubruk kearah si orang berkedok. Terjadilah pertempuran sengit, bahwa kepandaian Kangouw-su-ok sudah kenamaan ditambah gabungan senjata mereka benar2 hebat perbawanya. Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Pendekar Tongkat Liongsan Karya Kho Ping Hoo