Ceritasilat Novel Online

Walet Besi 4


Walet Besi Karya Cu Yi Bagian 4


Walet Besi Karya dari Cu Yi   "Kalau tidak berhasil menggunakan cara yang halus, kita harus menggunakan kekerasan"   "Saudara berdua!"   Tu Liong berkata dengan nada dingin. Tentu saja dia tidak menganggap enteng kedua orang ini.   "kupikir kalian berdua pun tentu sudah mendengar kabar. Kalau kalian menggunakan cara kekerasan, kalian berdua belum tentu bisa men-dapatkan apa yang kalian inginkan dengan mudah.... kemana kalian ingin membawaku? Untuk menemui siapa? Kalau kalian bisa menjelaskan semuanya, mungkin aku bersedia pergi bersama kalian menemui orang ini...."   "Menemui siapa, bertemu dimana... pada waktunya nanti kau akan tahu sendiri."   "Huh! Apakah kalian berpikir ingin menutup mataku, menggiringku seperti kambing bodoh ke rumah pejagalan?"   Dengan cepat kedua orang pemuda itu saling bertukar pandang. Akhirnya mereka membuat sebuah rencana lain. Sekarang Tu Liong sudah tahu bahwa mereka adalah anak buah Thiat-yan yang sudah diutus untuk menjemputnya.   "Kalian pulanglah dan beritahu pada Thiat-yan, aku tidak ingin menjumpai dirinya. Kalau dia ingin menjumpai aku, aku yang akan menentukan, tempat dan waktu harus kalian ingat dengan baik. Sore jam empat tepat, di kedai teh Tong-ceng"   Setelah berkata seperti itu, Tu Liong segera berjalan keluar.   Kedua orang pemuda tadi tidak mencegat kepergiannya.   Ternyata di pekarangan rumah masih ada orang lain.   Mereka juga berdua.   Tu Liong menghirup nafas dalam-dalam.   Kalau dia harus bertarung melawan empat orang sekaligus, belum tentu dia bisa memenangkan pertarungan.   Kedua orang yang ada di dalam pun segera menyusul keluar.   Pertama-tama pemuda yang memegang mistar tembaga yang membuka pembicaraan.   "Tu Liong! Apakah kau pikir kita pasti akan mendengarkan kata-katamu?"   "Kalian datang dari tempat lain. Naga yang kuat akan kalah oleh ular setempat. Tentu saja kalian pasti akan mendengarkan semua yang akan kuucap-kan"   "Kecuali perintah majikan, kami semua tidak akan mendengarkan kata-kata orang lain. Sekarang majikan kami sudah memberi perintah, kau harus mengikuti kami pergi, tidak bisa tidak, kalau kau tidak mau pergi, kami pasti akan menyeretmu."   "Apakah kalian akan mengeroyokku?"   "Untuk menghadapi orang jahat sepertimu, kami semua terpaksa menggunakan cara ini, kau adalah orang yang sangat ternama, kami tidak lebih dari serdadu kecil yang tidak memiliki nama!"   "Kalau kalian benar-benar ingin mencoba, silahkan! Aku khawatir yang akan keluar dari tempat ini dengan dipapah bukanlah diriku, tapi kalian."   Pemuda yang membawa mistar tembaga segera memberi isyarat dengan matanya.   Kedua orang pemuda yang tadi menunggu di dalam pekarangan segera menyerbu kedepan.   Masing-masing menggunakan tinju kosong.   Bersama sama menyerang ke arah Tu Liong.   Tu Liong segera memperagakan kemahiran ilmu silatnya.   Dia menggunakan sedikit tenaga untuk melawan serangan bertenaga kuat....meminjam tenaga orang lain untuk menyerang.   Tinju salah seorang pemuda sudah meluncur menuju dadanya.   Tubuh Tu Long dengan cepat bergerak ke samping, jari tangannya menyambar maju bagai kilat, langsung pergelangan tangan pemuda itu sudah dicengkram dengan erat.   Tinju pemuda yang kedua menyusul cepat.   Tu Liong kembali bergerak menghindari serangan, dengan tangannya yang masih bebas, dia kembali menangkap lengan pemuda ini.   Kedua pemuda ini masih terus mendesak.   Dengan segera Tu Liong menarik kedua tangan nya ke bawah, dan tubuh kedua pemuda itu ikut tertarik ke bawah.   Karena kecepatan larinya, mereka kedua orang itu berputar dan mereka terhempas keras ke lantai.   Itulah jurus bantingan yang menjadi salah satu keahlian Tu Liong.   Kedua pemuda tadi tergeletak di sebelah kiri dan kanannya.   Mereka tampak sulit menarik nafas.   Dari sini jelas terlihat, hanya mengandalkan tangan kosong, walaupun ke empat pemuda ini menyerang bersama-sama pun tidak akan menang melawan Tu Liong..   Mereka segera memikirkan cara lain untuk melawan Tu Liong, terpaksa mereka harus meng-gunakan senjata, tidak bisa tidak....   Benar saja, mereka semua masing-masing mencabut sebuah pedang pendek.   Kalau diban-dingkan, tentu saja empat buah pedang pendek lebih memiliki kemungkinan untuk melawan daripada empat buah kepalan tangan kosong.   Tampaknya mereka berempat sudah tahu posisinya masing masing.   Mereka melangkah perlahan-lahan mulai mengurung Tu Long.   Tu Liong merasa seolah-olah dirinya seekor kambing yang sedang terjebak ditengah laut dikelilingi ikan hiu lapar yang siap menyantapnya.   Pandangan mata keempat orang itu sangat tajam.   Tu Liong dapat merasakan keinginan bertarung mereka, dia bahkan dapat mendengar sayup-sayup empat suara tarikan dan hembusan nafas yang berat Kilau empat buah sinar pedang terlihat bergerak-gerak.   Tu Liong hanya bisa memasang kuda-kuda dan bersiap menerima serangan.   Pada akhirnya acara berjalan keliling pembuka pertarungan selesai dilakukan.   Keempat orang ini sudah menempati posisi masing-masing, Satu orang menempati sebuah penjuru mata angin.   Tu Liong berada ditengah-tengah.   Begitu waktunya sudah tiba.   "SERANG!!!"   Pemuda yang tadi memegang mistar besi memberi perintah.   Tentu saja mistar besinya sekarang sudah berganti dengan pedang besi.   Walaupun dia seperti dia pemimpin penye-rangan kelompok ini, tapi dia juga ikut turun tangan menyerang.   Sesuai dengan yang diduga oleh Tu Liong, ke empat orang ini menyerang berbarengan.   Kalau Tu Liong tetap berdiam ditengah menerima empat serangan, dia sama seperti tikus yang sudah pasrah dikeroyok oleh empat ekor kucing.   Apa lagi saat ini Tu Liong tidak membawa senjata apa-apa, dengan tangan kosong melawan empat pedang.   Mana mungkin Tu Liong bisa memenangkan pertarungan ini? Tapi Tu Liong cerdik, dia segera bergerak ke sebelah kiri, dia bergerak bersamaan dengan keempat pemuda ini.   Tampaknya ke empat orang ini tidak mengantisipasi hal ini.   Orang yang menyerang dari kiri tampak terkejut, raut mukanya yang bengis mendadak berubah, dia jadi tertegun.   Matanya membelalak lebar melihat Tu Liong yang melompat ke arahnya.   Tu Liong melompat ke arahnya bagaikan singa yang menerkam mangsanya.   Pedang yang sudah dijulurkan tegak lurus dihadapannya segera ditariknya.   Dia bermaksud mengambil ancang-ancang untuk menebas Tu Liong yang sekarang sedang melayang ditengah udara.   Sayang gerakannya kalah cepat.   Dengan satu tubrukan saja, Tu Liong sudah membuatnya terpental ke belakang.   Inilah tubrukan gaya pegulat sumo yang terkenal.   Tu Liong hanya menggunakan tolakan kaki yang kuat dan bahu untuk menyundul pemuda tadi menjauh.   Dia sama sekali tidak menggunakan kepalan tangannya.   Pemuda malang itu jatuh berguling-guling.   Tu Liong tahu beberapa lama lawannya bisa berhasil berdiri diatas kedua kakinya.   Karena itu dia segera membalikkan tubuh untuk menghadapi dua serangan lagi.   Tampaknya walaupun para pemuda ini ber-tubuh besar dan kekar, mereka belum memiliki pengalaman bertarung terlalu banyak.   Ketika Tu Liong membalikkan tubuh, kedua orang ini sudah berada sangat dekat dengannya.   Mereka berdua masih berlari ke arahnya dan mereka berdua melakukan kesalahan yang sama.   Mereka menebaskan pedangnya sebelah menyebelah dari atas ke bawah ke arah Tu Liong secara bersamaan.   Dengan sangat mudah Tu Liong luput dari serangan bersamaan ini.   Dia merunduk sambil memasang ancang-ancang.   Kembali dia melancarkan tubrukannya.   Kaki kiri yang berada didepan segera menghentak lantai dengan sangat keras.   "HIAAAHHH!!!!"   Tu Liong berseru sekuat tenaga.   Telapak tangan yang sudah siap di pinggang segera meluncur dengan cepat menghantam dada kedua pemuda tadi.   Biasanya seorang pegulat berbadan gendut dengan lemak yang berlapis-lapis, tapi tubuh Tu Liong kekar dan berotot, dari hal ini saja sudah terlihat perbedaannya.   Ditambah dengan keadaan mereka berlari, dampak kekuatan pukulan yang diterima terasa jadi berlipat ganda.   Dorongan telapak yang mendarat keras kedada kedua pemuda itu membuat mereka berdua terlempar jauh kebelakang.   Masing-masing pemuda itu berteriak kesakitan.   Pemuda terakhir yang tersisa adalah sang pemimpin rombongan.   Walaupun ke dua pemuda itu sudah jatuh dikiri kanannya, emosinya tampak tidak goyah.   Pemuda yang tersisa terus menerjang ke arah Tu Liong dengan pedang yang teracung tinggi diatas kepala.   Tu Liong menunggu serangan pemuda yang menjadi pemimpin, tapi dia tetap waspada dengan keadaan disekelilingnya.   Dia menyadari, pemuda yang jatuh dibela-kangnya sedang mengendap-endap berusaha menu suknya dari belakang.   Karena itu ketika pedang sang pemimpin mengayun kearahnya, Tu Liong segera menangkap pergelangan tangannya dan berkelit ke arah kanan Dengan cerdik Tu Liong menggunakan pedang sang pemimpin untuk menangkis serangan pemuda yang berusaha menyerangnya dari belakang.   Tu Liong menempatkan kaki kanannya dibelakang kaki kiri sang pemimpin, dia lalu menjatuhkan berat tubuhnya pada kaki sang pemimpin.   Dia melakukan ini agar sang pemimpin jatuh berlutut pada satu kaki.   Tu Liong sudah menggunakan pemimpin ini sebagai tamengnya.   Si pemuda yang menyerang secara diam-diam tidak bisa berbuat banyak.   Dia takut kalau menyerang, dia akan melukai pemimpinnya.   Pada saat ini, dua pemuda lain yang tadi sudah melayang karena serangan Tu Liong sudah kembali berlari mendekat dan menebaskan kembali pedangnya.   Tu Liong kembali menghindar dengan indah diantara kedua serangan itu.   Tapi situasinya bertambah terjepit.   Sekarang dia berada dekat dengan ke empat orang pemuda, mereka bisa membacoknya setiap saat.   Terpaksa dia berusaha menjauh.   Keempat pemuda itu berusaha kembali berdiri diatas kedua kaki masing-masing.   Setelah semua pemuda kembali bersiap, mereka berdiri bersebelahan membentuk pagar betis.   Tatapan mereka kembali terlihat bengis.   Kilau pedang kembali terlihat.   Tu Liong tahu kali ini mereka lebih siap untuk bertarung.   Pertempuran kali ini tidak akan berlangsung mudah seperti tadi.   Tu Liong kembali memasang kuda-kuda.   Tiba-tiba saja dari kejauhan terdengar suara siulan seseorang, mungkin juga ini adalah siulan orang yang sembarang lewat di jalan raya, tapi untuk telinga keempat orang pemuda ini, suara itu terdengar berbeda.   Setelah suara siulan itu menghilang, mereka semua mundur teratur.   Mereka pun masing-masing memasukan kembali pedang pendek ke dalam sarungnya.   Tu Liong jadi tahu, masih ada orang lain yang diam-diam menyaksikan pertarungan ini.   Siapakah orang itu? Apakah dia adalah Thiat-yan sendiri? Ataukah masih ada orang lain lagi yang mendalangi keempat pemuda tadi? Dia lalu menegadahkan kepalanya dan melihat kesekeliling.   Dibelakang rumah kediaman sang peramal terdapat sebuah bangunan bertingkat.   Di loteng bertingkat terdapat sebuah jendela yang sedang ditutup rapat.   Apakah Thiat-yan sedang menyaksikan semua kejadian yang baru saja terjadi? Pemuda yang membawa mistar tembaga berkata.   "Baiklah! Sore ini jam empat tepat, di kedai teh Tong-ceng, majikan kita pasti akan datang tepat waktu!"   Sekarang Tu Liong jadi lebih waspada menghadapi semua tindakan yang dibuat oleh Thiat-yan.   Setelah kejadian ini, terlihat bahwa dia bahkan bisa mengontrol anak buahnya dari tempat yang jauh.   Terbukti pada hari biasa, para anak buahnya sudah terlatih baik.   Thiat-yan bahkan sudah mempersiapkan rencana cadangan yang tidak terduga.   Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Hanya dengan sebuah siulan, mereka semua bisa berubah dan mengganti strategi dengan cepat.   Musuh yang sudah siap menyerang, mana mungkin bisa dianggap enteng.   0-0-0 Tu Liong pulang kerumahnya, baru saja ingin beristirahat memulihkan stamina.   Tiba tiba Cu Siau-thian datang padanya.   "Tu Liong, kulihat kau sangat sibuk seharian ini."   "Mmm.."   "Apakah ada kemajuan?"   "Aku sudah menemukan Thiat-yan"   "Oh! Tindakanmu sangat cepat"   "Walaupun aku sudah menemukan dirinya, apakah yang bisa aku lakukan? Aku tidak bisa mewakili orang-orang yang sudah dilukainya membalas dendam. Walaupun aku bisa membalaskan dendam, juga mungkin tidak bisa langsung turun tangan mengadilinya. Cu Taiya, walau aku katakan, kau mungkin tidak akan percaya. Kekuasaan Thiat-yan terhadap anak buahnya sangat besar, dia datang kemari membawa persiapan."   "Aku tahu."   Suara Cu Siau-thian terdengar berat,"   Seumur hidup aku sudah bertemu dengan banyak musuh-musuh. Aku mengakui nona muda yang dipanggil Thiat-yan ini adalah musuh yang paling lihai yang pernah aku temui. Aku mempunyai sebuah firasat buruk."   "Oh...?"   "Aku merasa bahwa pedang yang dia bawa sudah menempel di leherku"   "Tuan tidak perlu khawatir. Aku sudah mengatur pendekar yang sangat tangguh untuk berjaga dalam kediaman ini. semuanya sudah kuatur dengan baik"   "Aku tidak takut. Hanya saja..."   "Cu Taiya, sebentar lagi aku akan bertemu dengan Thiatyan."   "Ah...? kenapa begitu cepat kau bisa beradu kemahiran dengannya?"   "Pertemuan kali ini untuk berdiskusi, bukan untuk mengadu ilmu silat. Jika ada urusan yang tersimpan di hatinya, dia bisa membicarakannya denganku."   "Aku tahu dia ingin membicarakan apa dengan mu"   "Ah? Tuan sudah tahu?"   "Dia ingin memberitahu, kau jangan ikut campur urusan ini, hingga dia bisa leluasa bertindak"   "Bagaimanapun aku tidak akan setuju dengan permintaannya."   "Kau harus bisa beralasan. Saat terpaksa kau harus menyetujuinya...."   "Apa tuan menyuruhku untuk pasrah saja?"   "Aku mengerti sifatmu, lagi pula kau selalu terus terang, namun menghadapi lawan ini, kau tidak bisa menggunakan siasat ini. Dalam siasat berperang. Prajurit tidak takut dibohongi. Membohongi musuh pun sebuah siasat perang. Tu Liong terdiam tidak berkata apa-apa. Walaupun dia tidak setuju usul yang diajukan Cu Siau-thian, namun dia pun tidak terang-terangan menentang nya. Setelah beberapa saat, dia lalu membuka mulutnya membicarakan tentang suatu hal yang lain.   "Cu Taiya, aku sudah pergi melihat Tan Taiya. Berdasarkan kata katanya, pada waktu itu kalian melukai Tiat Liong-san, tuan sama sekali tidak keluar menampakkan diri. Orang luar tidak mungkin akan mengetahui rahasia ini, oleh karena itu Thiat-yan tidak turun tangan mencarimu".   "itu hanyalah siasatnya saja. sebenarnya semua sudah tahu. Surat yang sudah ditinggalkan untukku, surat itu sudah menjelaskannya?"   Tu Liong tidak berkata apa apa lagi.   Cu Siau-thian melihat Tu Long seperti ingin beristirahat, maka tidak lama kemudian dia pergi meninggalkannya.   Dia datang kesana hanya untuk melihat emosi Tu Liong saja.   Tu Liong berbaring di atas ranjangnya.   Dia benar-benar berusaha memulihkan tenaganya.   Seperti-nya dia memiliki sebuah firasat, bahwa pertemuannya dengan Thiat-yan sore ini bukanlah sebuah hal yang mudah dihadapi.   Dia merasa Thiat-yan bukan orang yang mudah dihadapi.   Setelah berpikir kesana kemari, pada akhirnya dia tertidur.   Namun tiba-tiba saja dia terbangun dari tidurnya, dia tahu bahwa dia tersadarkan bukan tanpa alasan, betul saja disamping bantalnya sudah tergeletak sebuah surat, diatas surat ini sudah ditaruh sebuah hiasan yang terbuat dari besi yang berbentuk seekor burung walet...   Thiat-yan! Tu Liong segera meloncat turun dari ranjang, emosinya mendadak meluap.   Di siang bolong seperti ini Thiat-yan bisa menerobos masuk kedalam kediaman tuan besar yang sudah dijaga ketat, dia bahkan bisa datang ke sisi tempat tidurnya dan meninggalkan surat peringatan, ini hal yang benar benar tidak disangka.   Tu Liong sama sekali tidak meluangkan waktu untuk melihat isi surat tersebut.   Dia segera berlari keluar kamar dan melihat ke empat penjuru, tapi dia sama sekali tidak menemui kejanggalan apapun.   Di teras rumah terlihat para penjaga berlalu lalang, begitu pula di pekarangan rumah, jadi bagaimana cara Thiat-yan menembus penjagaan yang sedemikian ketat sampai masuk ke dalam kamarnya? Untuk apa dia datang kemari? Lagipula tidak lama lagi mereka berdua pasti akan bertemu....Ugh! Nona Thiat-yan benar-benar sedang unjuk gigi, beraksi untuk menakuti orang, supaya nanti kalau dia ingin membicarakan tentang sesuatu syarat, posisinya pasti akan lebih unggul...   'Jangan berharap terlalu banyak.' Tu Liong diam-diam tertawa dalam hati.   Dia lalu kembali ke dalam kamarnya dan membuka surat.   Isinya hanya selembar kertas putih bertuliskan enam huruf yang berarti "hormat pada dewa dan setan, tapi tetap menjaga jarak"   Apa artinya ini? Tu Liong menimbang-nimbang, tiba-tiba saja dia mendapat pencerahan.   Thiat-yan ingin agar dirinya menjauhi Cu Taiya....pada saat ini Tu Liong kembali mendapat sebuah firasat.   Didalam mata Thiat-yan, dirinya adalah sebuah rintangan, tentu saja dia harus merasa bangga.   Lalu dia berbaring lagi diatas ranjang, namun dia tidak bisa kembali tidur.   Oleh karena itu dia berpikir., tanggung tidak bisa tidur lagi, lebih baik datang lebih pagi ke tempat pertemuan.   Sebelum berangkat dia masih memeriksa dan memperketat penjagaan.   Tim penjaga yang sudah dipilihnya sendiri, yang menurutnya tidak mungkin akan diterobos dengan mudah malah sudah dilewati Thiat-yan dengan sedemikian mudahnya.   Baginya hal ini sebuah penghinaan yang besar.   0-0-0 Kedai teh Tong-ceng sudah sering dikunjunginya.   Pemilik kedai otomatis mengenal dirinya.   Dia segera menyambut kedatangannya, bahkan dia sengaja melayaninya sendiri.   Tu Liong berkata bahwa dia datang menunggu beberapa temannya, ini untuk menghindari kecurigaan pemilik kedai.   Saatnya masih lama.   Tu Liong duduk di bangku dan menutup matanya.   Secangkir teh panas tampak masih mengepulkan asap.   Menunggu sampai waktu yang ditentukan bukanlah suatu hal yang mudah dikerjakan.   Namun yang ditunggu-tunggu akhirnya datang sesuai janjinya.   Ternyata yang datang bukan beberapa orang, tapi hanya seorang diri.   Dan orang ini pun bukan Thiat-yan, orang itu adalah Boh Tanping.   "Siapa kau?"   "Namaku Boh Tan-ping"   "Boh Tan-ping?"   Tu Liong tidak pernah mendengar nama ini sebelumnya.   "Apakah anda datang kemari mewakili seseorang bertemu denganku?"   "Betul"   Boh Tan-ping menjawab dengan nada dingin.   "siapa yang aku wakilkan, kau pasti sudah tahu... ....marilah kita mulai bicara."   "Mohon maaf, kalau ingin bicara, aku ingin berbicara langsung dengan orangnya. Aku tidak akan berbicara padamu."   "Tuan muda Tu!"   Sikap yang ditunjukkan oleh Boh Tan-ping sangat dingin, namun tetap ramah.   "sebenarnya kami sudah bermaksud mengundangmu datang ke rumah dan bicara baik baik, namun kau berkeras tidak mau pergi. Kau malah mengundang kami datang kemari, dan sekarang kami sudah datang kesini. Apa lagi yang kau inginkan?"   "Mohon maaf Tuan Boh, aku tidak ingin mengatakan tentang apapun denganmu"   "Berkata ataupun tidak, tidak menjadi masalah. Nona Thiatyan majikan kami hanya ingin memberitahu sepatah kata. Kau sudah tahu apa yang ingin dikatakannya"   "Hormat pada dewa dan setan, tapi tetap menjaga jarak?"   "Tidak salah"   "Siapa dewa dan setannya?"   "Kau pikirlah sendiri...."   Boh Tan-ping segera berdiri.   "Tunggu!"   "Dia hanya menyampaikan sepatah kata itu. Kau pikirkanlah sendiri"   Bagaimana pun Tu Liong tidak ingin semudah itu diperdaya.   Baru saja Boh Tan-ping membalikkan tubuh berjalan menjauh, Tu Liong segera menjulurkan tangan dan mencengkram pergelangan tangan kiri Boh Tan-ping dengan sangat erat Seharusnya Boh Tan-ping merasa terkejut, namun dia sama sekali tidak tampak kaget, seharusnya merasa sangat marah, namun emosi nya tampak masih sangat stabil.   Dia terus mempertahankan sikapnya yang ramah seperti semula.   Dia berkata dengan nada dingin.   "Tuan muda Tu! disini bukan tempat yang cocok bertarung"   "Kalau memang ingin bertarung, untuk apa harus memilih tempat?"   Tiba-tiba Boh Tan-ping menyentakkan pergelangan tangannya.   Dengan sangat mudah dia sudah melepaskan diri dari genggaman Tu Liong yang kuat.   Tu Liong terkejut, hal ini benar benar tidak diduga oleh nya.   Umurnya masih muda, sifatnya masih sangat bergejolak.   Kalau tiba-tiba emosinya keluar, akibatnya sulit dihindari.   Tu Liong segera mengulurkan lagi tangannya.   Dia tahu disini bukan tempat yang cocok, juga saatnya tidak tepat.   Namun bagaimanapun dia tidak mau peduli.   Kali ini Boh Tan-ping mengelak dengan mudah, tidak hanya mengelak, dia pun sempat menepis tangan Tu Liong dengan keras.   Lalu dia meneruskan langkahnya menuju pintu keluar.   Tu Liong semakin emosi, dia tahu kalau dia bertarung disini, pasti akan membuat keributan yang menarik perhatian orang.   Dia lalu melihat ke sekeliling, tatapan matanya jatuh pada cangkir teh panas yang masih mengepulkan asap Tanpa berpikir panjang, tangannya segera terjulur mengangkat cangkir teh, karena gerakan yang cepat, dia tidak sempat merasakan betapa panasnya cangkir itu.   Dengan satu gerakan tangan, dia melemparkan cangkir teh panas ke arah Boh Tan-ping.   Sebelum terlepas, dia masih sempat memutar cangkir teh panas itu.   Cangkir itu sekarang berputar-putar cepat seperti gasing, tapi air teh yang terdapat di cangkir tidak tumpah keluar barang setetespun.   Cangkir teh melayang dengan cepat ke arah kepala Boh Tan-ping.   Walaupun Boh Tan-ping sedang membela-kangi Tu Liong, dia tetap waspada.   Entah bagaimana caranya, dia tahu persis dimana arahnya cangkir.   Dia mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah kiri.   Cangkir segera terbang melewati kepalanya.   Sebelum menabrak pintu keluar, Boh Tan-ping menjulurkan tangannya dengan cepat Dengan dua jarinya, dia sudah berhasil menangkap cangkir teh panas.   Dia segera membalikkan tubuh dan kembali melemparkan cangkir yang sama balik ke arah Tu Liong.   Tu Liong benar-benar terkejut.   Boh Tan-ping ternyata memiliki kepandaian yang tinggi.   Cangkir teh melayang semakin dekat.   Tu Liong tidak dapat berbuat apa apa.   Kalau dia mengelak, cangkir itu akan hancur menabrak dinding, orangpasti akanberdatangan juga.   Akhirnya dia menggunakan tangan menepis cangkir dari arah bawah.   Cangkir ini terlempar ke arah langit-langit ruangan.   Cangkir berputar tidak menentu, air tehnya tumpah kemana-mana.   Dengan gesit Tu Liong menghindari siraman air.   Tapi beberapa tetes air masih mengenainya.   Selagi gelas masih melayang di udara, Tu Liong menatap Boh Tan-ping dengan geram.   Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Cangkir teh kembali jatuh kebawah.   Setelah melewati wajahnya, Tu Liong sedikit bergeser kebelakang.   Ketika cangkir nyaris menyentuh tanah, Tu Liong segera menendangnya.   Cangkir ini kembali melesat cepat ke arah Boh Tan-ping, jauh lebih cepat dari pada lemparan yang pertama kali.   Namun tampaknya Boh Tan-ping tidak gentar.   Dia hanya menjulurkan kaki kanannya.   Cangkir yang melayang cepat segera terhenti setelah menghantam telapak sepatunya.   Dengan lincah, Boh Tan-ping menggerakkan kakinya sehingga sekarang cangkir itu sudah berdiri dengan tegak diatas jari kakinya.   Boh Tan-ping berdiri dengan kaki kiri.   Kaki kanannya ditekuk untuk menjaga keseimbangan cangkir, kedua tangannya terentang lebar untuk menjaga keseimbangan tubuhnya.   Kemudian Boh Tan-ping mengayunkan kaki kanannya.   Cangkir teh kembali berayun ke arah Tu Liong dengan lembut, cangkir melayang membentuk sebuah lengkungan cantik, dan lalu mendarat tertelungkup diatas meja tanpa mengeluarkan banyak suara.   Tampaknya Boh Tan-ping tidak ingin balas menyerang Tu Liong.   Dia hanya mengembalikan cangkir ke atas meja.   Setelah itu dia membalikkan tubuh dan meneruskan perjalanannya ke luar.   Tu Liong segera berusaha mengejarnya.   Sebentar saja Boh Tan-ping sudah berjalan sampai ke pintu keluar.   Ketika Tu Liong berhasil mengejarnya, tiba-tiba ada empat orang pemuda yang bertubuh besar menghalangi jalannya.   Kalau dia berkeras melawan keempat orang ini, dia akan membuat keributan besar, dia pasti akan membuat nama baiknya tercemar.   Dari pertarungan kecil tadi, terbukti Boh Tan-ping memiliki ilmu silat yang tangguh.   Dari awal ke empat pemuda tidak turun tangan menyerangnya.   Ini menunjukkan bahwa mereka tidak menganggap Tu Liong sebagai lawan hebat.   Ini benarbenar sebuah penghinaan yang aneh.   Namun Tu Liong pun semen-tara waktu hanya bisa bersabar hati menerimanya.   Setelah beberapa lama, ke empat orang pemuda itu pun pergi meninggalkannya.   Masih dengan perasaan marah, Tu Liong kembali duduk ditempatnya semula.   Pertama tama dia berusaha memulihkan diri agar hatinya kembali tenang.   Setelah itu dia mengoreksi diri dan menimbang-nimbang.   Dia menyadari bahwa posisinya sangat bergantung keadaan, dia tidak bisa berinisiatif sendiri.   Tapi kalau tidak berusaha untuk merubah keadaan, selamanya dia tidak akan berhasil.   Dia membuat keputusan....memikirkan sebuah cara menyelidiki kediaman Thiat-yan, dan memberinya sedikit balasan padanya.   Dia lalu berdiri dan berjalan keluar.   Tidak disangka di pintu keluar sudah berdiri seseorang.   Orang ini berdiri tegak dan menghalangi jalannya...   Orang ini adalah seorang pemuda yang penampilannya sangat aneh.   Kedua alisnya berwarna putih, namun bola matanya berwarna merah.   Seolah-olah dia sudah tidak tidur selama tiga malam.   Satu-satunya yang terlihat menarik padanya adalah postur tubuhnya yang kekar dan ramping.   "Kau mau apa?"   Tu Liong mendelik padanya dengan tatapan marah.   "Berunding denganmu"   Kata pemuda aneh ini sambil melangkah masuk kedalam. Suaranya terdengar serak "Berunding apa?"   "Jual beli"   "Aku bukan pedagang"   "Aku pedagang"   Dengan gaya sangat angkuh orang muda itu duduk tanpa dipersilahkan.   Dia langsung mengambil cawan teh milik Tu Liong dan langsung minum.   Dia sama sekali tidak perduli gelas itu bekas dipakai orang lain.   Dia juga tidak perduli orang lain akan marah padanya.   "Apa yang akan kau jual?"   "Aku menjual nyawa!"   "Kau punya berapa banyak nyawa?"   "Satu nyawa"   "Kalau begitu kau bisa jual berapa kali?"   "Nyawaku ini tidak akan pernah habis dijual. Tu Siauya, saat ini kau sedang membutuhkan orang semacam aku. Asalkan kau membayar dengan uang yang tepat, aku pasti akan menjual nyawaku padamu."   "Keahlian apa yang kau punya?"   "Aku spesialis menghadapi orang yang tidak dapat dihadapi oleh orang lain"   "Bicaramu sangatbesar"   "Kau boleh mencobanya"   Setelah ditantang seperti itu bicaranya malah semakin besar.   Tu Liong mendadak menyerang dengan sangat cepat dan sangat brutal.   Kalau orang itu tidak waspada, dia pasti akan segera terluka dan mati.   Pemuda beralis putih itu tidak menghindar ataupun bergerak.   Dia hanya mengangkat tangan menahan pukulan.   Semenjak lahir, baru kali itu Tu Liong membuat serangan mendadak.   Sebentar kemudian pembunuh beralis putih balik menyerang tiga kali, Tu Long mundur tiga langkah menangkis serangan dengan tangan kosong tanpa bisa berkata apa apa.   Tangannya jadi gemetar dan kaku, hingga dia tidak bisa mengangkatnya "Lumayan, nyawamu itu tangguh juga"   "Apakah sekarang kita bisa bicara?"   "Siapa namamu?"   "Aku tidak memiliki marga ataupun nama. Orang orang memanggilku pembunuh beralis putih" 0-0-0 BAB 5 Pembunuh Seorang pembunuh bayaran lihai tidak mungkin membiarkan dirinya dikenali oleh orang lain. Pembunuh beralis putih memiliki sepasang alis yang sangat jelas berbeda dan sepasang bola mata berwarna merah pekat seperti darah. Tidak masalah betapapun beraninya, betapapun kejamnya dia membunuh orang lain, siapapun yang sudah melihat dirinya pasti akan selalu waspada dan memperketat penjagaan. Dengan demikian dia pasti akan lebih sulit membunuh targetnya. Dengan demikian kehebatannya membunuh pun akan tampak lemah. Oleh karena itu, pembunuh beralis putih tidak dapat terhitung sebagai seorang pembunuh yang benar-benar jagoan. Semua alasan tersebut sudah diketahui oleh Tu Liong. Dia pun tidak ragu ragu untuk mengatakan semua yang ada didalam pikirannya.   "Salah!"   Dengan sangat angkuh, pembunuh beralis putih berkata padanya.   "justru karena sepasang alis mata yang putih dan sepasang bola mata berwarna merah, aku bahkan lebih hebat dari pembunuh paling lihai manapun."   "Mengapa demikian?"   "Aku tidak ingin menjelaskannya padamu. Tapi aku akan memperlihatkannya langsung padamu"   Setelah selesai mengatakan demikian, dia langsung pergi ke kamar mandi.   Pada awalnya Tu Liong bermaksud ingin menarik tangan pembunuh beralis putih untuk terus bicara, namun rasa harga diri membuatnya menahan keinginannya untuk sementara waktu.   Pada saat yang bersamaan didalam hatinya terdapat sebuah firasat.   Dia merasa dirinya telah mencapai tingkat kemahiran ilmu silat yang lumayan tinggi dan mendalam, namun orang yang lebih hebat dari dirinya masih terlalu banyak.   Dia berdiri meninggalkan tempat duduknya, dia bermaksud akan langsung pergi meninggalkan kedai teh.   Namun sebelum keluar, dia sempat melihat pembunuh beralis putih sedang berjalan mendekat....bukan! Kali ini sudah tidak bisa disebut pembunuh beralis putih lagi, sekarang dia memiliki sepasang alis yang berwarna hitam dan sebuah bola mata putih bening dan memancarkan sinar mata yang sangat terang.   Kalau bukan pakaian yang dikenakannya masih sama dan masih diingat, dia tidak akan berani mengatakan kedua orang itu adalah orang yang sama.   "Apakah kau masih mengenali aku, sebagai pembunuh beralis putih?"   Tu Liong memang tidak mengenalinya lagi.   Sepasang alisnya yang berwarna putih sudah dicat sampai berwarna hitam legam.   Sebenarnya dia bisa saja dengan mudah memalsukan alisnya yang putih dan dicat agar berwarna hitam, namun sepasang bola matanya yang berwarna merah? Bagaimana mungkin sekarang bisa menjadi putih? bukankah ini mengherankan? Pembunuh beralis putih tidak peduli rasa penasaran yang dimiliki Tu Liong, dia berkata seolah olah pada dirinya sendiri.   "Ada seseorang melihat pembunuh beralis putih di kedai teh bertemu dengan dirimu. Setelah itu, tiba-tiba jalan hidup pembunuh beralis putih menjadi lebar. Tidak lama pembunuh beralis putih tampak sedang mondar mandir di dalam rumah kediaman seseroang. Hati orang lain pasti akan berpikir bahwa kau sudah mengeluarkan sejumlah uang dan menyuruh pembunuh beralis putih membunuhnya. Karena itu dia sepenuh hatinya memperhatikan semua gerak gerik pembunuh beralis putih, tetapi sekarang mendadak penampilanku berubah seperti ini. menurutmu apakah aku lebih lihai dibandingkan dengan pembunuh manapun yang kau tahu?"   Sebenarnya menilai dari pandangan dan caranya berbicaranya, dia akan mudah menambah kecurigaan orang lain.   Seorang pembunuh belum tentu memiliki kepandaian paling tinggi di kolong langit.   Mereka hanya pandai menghindari rasa curiga orang lain.   Target yang dimiliki Seorang pembunuh adalah berhasil membunuh korbannya, tidak menunjukkan jati yang sesungguhnya pada orang lain.   Tapi orang ini tampaknya meragukan.   "Apa syaratmu?"   Akhirnya Tu Liong meng-ajukan pertanyaan padanya.   "Aku hanya akan membantumu mengerjakan satu tugas, ataukah aku akan mengabdi padamu dan membantumu mengerjakan beberapa tugas untuk waktu yang lama?"   "Untuk waktu yang lama"   "Biayanya untuk bayaran sebulan adalah tiga ratus uang kertas asing (barat)"   "Murah sekali?"   "Dengarkan dulu sampai habis.... setelah membunuh seseorang harus menambahkan seribu mata uang kertas asing. Melukai kaki tangan orang yang pantas menjadi targetku, membantumu melarikan diri dari suatu masalah, membantumu mengerjakan sebuah tugas, tidak masalah apakah susah atau gampang, kau harus membayarku seratus lagi..."   "Baiklah! Kalau begitu kau saat ini tinggal dimana?"   "Kau menyuruhku tinggal dimana, aku akan tinggal ditempat yang kau tunjuk"   "Kalau begitu apakah kau tahu dimana tempatku tinggal saat ini?"   "Didalam rumah Cu Siau-thian"   "Lalu dimana kediaman tuan Cu?"   "Tentu saja tahu"   "Baiklah kalau begitu. Sekarang aku akan pulang. Kau boleh ikut aku pulang. Aku akan memberimu sedikit uang. Tapi aku ada sedikit pekerjaan yang harus kujelaskan padamu sebelumnya. Kalau kau tidak bisa melalui pintu masuk kediaman tuan Cu, perjanjian kita batal."   "Apa? Kau mau menguji diriku?"   "Tentu saja, karena sebentar lagi aku akan memberimu sebuah tugas"   "Kau tenang saja, dalam mataku tidak ada tembok dan tidak ada pintu"   "Kalau kau benar-benar memiliki kemampuan seperti itu, mengapa kau masih kekurangan uang?"   "Aku tidak ingin mencuri, aku bukan maling rendahan. Setiap sen uang yang kuhasilkan harus berdasarkan kerja keras sesuai kemampuanku. Apakah kau mengerti?"   Ini hanya sebuah alasan.   Di dunia ini banyak sekali orang yang menggunakan alasan yang serupa.   Namun bagaimanapun juga Tu Liong sudah menaruh sedikit kekaguman pada pembunuh beralis putih ini, tidak lama kedua orang ini berjalan keluar dari kedai minum teh.   Tu Liong segera naik kudanya, sementara pembunuh beralis putih ditinggalkan sendirian didepan kedai teh...   Tu Liong memacu kudanya dengan kecepatan penuh, pulang ke kediamannya.   Setelah sampai, pertama-tama dia masuk ke dalam kamar Cu Siau-thian untuk memastikan bahwa semua keadaannya masih aman.   Setelah itu dia pergi berpatroli mengawasi keadaan rumahnya.   Dia memeriksa semua penjagaan dengan sangat teliti, jangan sampai penjagaan itu memiliki celah yang dapat diselusupi dengan mudah.   Namun dia tetap merasa bahwa pembunuh beralis putih pasti masih bisa menerobos masuk kedalam rumahnya.   Karena ketika pembunuh beralis putih mengatakan didalam matanya 'Tidak ada tembok...   tidak terdapat pintu'...   dia mengatakan semua itu dengan penuh rasa percaya diri.   Dia lalu kembali ke kamarnya sendiri, dia bermaksud menunggu pembunuh beralis putih menunjukkan batang hidungnya.   Ternyata yang terjadi bukan dirinya yang harus menunggu kehadiran pembunuh beralis putih, sebaliknya pembunuh beralis putih yang sedang menunggu kehadiran dirinya, pembunuh beralis putih sudah lebih dahulu sampai ke kediaman Cu, sudah memasuki kamarnya, dan bahkan sekarang dengan sangat tenangnya dia duduk diatas bangku yang biasa diduduki olehTu Liong.   Sekarang, dia sekali lagi tampil sebagai pembunuh beralis putih.   Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Entah bagaimana caranya, alisnya sudah kembali berwarna putih dan kedua bola matanya juga sudah kembali berwarna merah.   Namun sinar mata yang berkilau tajam tampaknya masih terlihat jelas di dalam kedua mata aslinya.   Sepatah kata pun tidak diucapkan oleh Tu Liong, dia terus berjalan mendekati sebuah lemari dan membuka sebuah laci penyimpanan rahasia.   Dari dalam laci tersebut dia mengambil empat lembar uang kertas orang asing.   Cu Siau-thian tidak terlalu ketat mengawasi keuangan dirinya, membuat dia masih sanggup menyimpan sedikit uang untuk digunakan.   "Empat ratus uang kertas asing?"   Tanya pembunuh beralis putih dingin "Tiga ratus uang kertas asing setiap bulan pasti akan kubayar, seratus lagi akan dibayar setelah kau membantuku menyelesaikan sebuah tugas."   "Kau belum mau menyuruhku untuk mem-bunuh seseorang?"   "Saat ini aku belum membutuhkannya"   "Kau ingin aku membereskan urusan apa?"   "Aku ingin kau membantuku mengirim sebuah surat. Surat ini harus diam-diam kau selipkan di samping bantal tempat penerima surat yang biasa tidur. Namun ketika menaruh surat ini sama sekali tidak boleh dilihat orang lain."   "Tenang saja!"   Sekali lagi pembunuh beralis putih berkata dengan nada angkuh dan terkesan membanggakan diri.   "Disini kau memiliki empat penjaga yang jelas terlihat dan empat orang yang bersembunyi ditempat rahasia, aku sudah mempersiapkan semua dengan teliti. Mereka semua tidak mungkin akan mengetahui bagaimana aku bisa masuk kedalam rumah ini...."   Saat ini entah apa yang dirasakan oleh Tu Liong.   Entah perasaan kagum, atau rasa khawatir dan was was.   Kalau pembunuh beralis putih ini seorang musuh, apakah dia masih bisa berharap hidup? Mengapa dirinya tertimpa rejeki seperti ini? bertemu dengan pembunuh beralis putih, datang ke depan pintu rumahnya dan menjadi pembantunya? Sedikit banyak pasti akan menimbulkan kectirigaan orang lain.   Hanya saja Tu Liong tidak ingin mempermasalahkan urusan ini lebih jauh.   Dia lalu duduk didepan meja dan mulai menulis diatas kertas dengan penuh konsentrasi.   Karena dia sangat pintar dan lagi sangat terpelajar, walaupun belum pernah benarbenar mempelajari tentang kesusastraan Tionggoan atau mempelajari buku, namun dia masih mampu menulis tulisan mandarin yang sangat bagus.   Alur kata-kata yang dituliskan pun sangat baik.   Surat yang ditulisnya ini sangat sederhana, namun memiliki penekanan yang sangat keras.   Dia hanya menuliskan sepuluh huruf sederhana....hutang mata harus dibalas mata, hutang gigi harus dibalas gigi.   Setelah selesai menulis surat, dia menaruh kuas dan mulai melipatnya.   Setelah itu dia menyerahkannya pada pembunuh beralis putih, dia juga menjelaskan tempat tinggal Thiat-yan pada pembunuh beralis putih dengan sangat jelas, pembunuh beralis putih mengambil surat itu dan langsung pergi.   Tu Liong mengikutinya pergi keluar kamar.   Diluar tampak para penjaga yang masih sibuk berpatroli, mereka tampak kaget.   Mereka semua tidak menyangka bisa ada orang lain didalam rumah, jelas menunjukkan bahwa mereka sama sekali tidak mengetahui pembunuh beralis putih sudah berhasil masuk.   Bukankah ini adalah hal yang sangat tidak masuk akal? "Tu Liong!"   Tiba-tiba ada orang yang menyapa dirinya dari belakang. Orang itu adalah Cu Siau-thian. Tampaknya Cu Siau-thian tidak mengetahui kalau pembunuh beralis putih baru saja melenggang keluar dari rumahnya.   "Cu Taiya"   "Apa yang sedang kau pikirkan saat ini?"   "Emm!!"   Dia menjawab dengan bergumam, seperti sedang memikirkan sebuah masalah yang selamanya pun tidak akan memiliki jawaban.   "Aku ingin berunding dengan Thiat-yan."   "Berunding? Aku tidak mengerti...."   "Mungkin nanti bisa terpikir jalan penyele-saian yang lain...."   "Apakah Tuan sudah gentar menghadapi Thiat-yan?"   "Tu Liong, Urusan yang sudah aku kerjakan harus aku selesaikan sendiri, aku tidak mau melibatkan dirimu"   Walaupun Tu Liong sama sekali tidak mengerti perasaan orang-orang generasi diatasnya, namun dia sangat mengerti majikannya Cu Siau-thian.   Didalam hatinya, dia pasti menyimpan rahasia besar yang tidak dapat diberitahukan pada orang lain.   Di dalam hatinya diam-diam Tu Liong membuat sebuah rencana., dia berencana untuk membujuk Cu Siauthian membeber-kan semua rahasia yang sudah disimpannya selama ini.   "Budi yang sudah Tuan berikan padaku sangat besar bagaikan sebuah gunung, dalam sedalam lautan. Mengapa aku mengatakan kata-kata ini? aku hanya memiliki sebuah permintaan."   Tu Liong tidak langsung mengungkapkan apa yang diinginkan. Dia membelokkan kata katanya dengan sangat manis.   "Permintaan apa? Katakanlah"   "Pada waktu kalian mencelakai Tiat Liong-san, bagaimanakah kejadian sebenarnya? Tuan tidak menceritakannya dengan jelas, membuat apa yang ku tahu sangat kabur. Apakah Cu Taiya bisa menceritakannya dengan lebih terperinci?"   "Dari permulaan pun aku sudah memberitahu padamu. Mengenai hal ini kau sama sekali tidak boleh menanyakan tentang apapun, apakah kau sudah lupa pada perjanjian kita pada waktu itu?"   "Betul....Betul...."   Belum apa-apa Tu Liong sudah terbentur janjinya, terpaksa dia mengurungkan niatnya.   "Bagaimana rencanamu nanti menghadapi Thiat-yan?"   Tanya Cu Taiya.   "Mengenai hal ini aku harus memikirkan apa yang tuan inginkan dulu"   "Oh...? kau harus memikirkan keinginanku dulu?"   Emosi yang dipancarkan diraut muka Cu Siau-thian tampak sangat rumit.   "Jujur saja, setelah mencelakai Tiat Liong-san, tidak sehari pun aku tidak menyesali perbuatanku itu. Sedangkan Thiatyan adalah anak perempuan satu-satunya, bagaimana aku harus memperlakukan diri-nya?"   "Bila dia bermaksud mencelakai dirimu?"   "Tentu saja siapapun tidak ingin dirinya dicelakai oleh orang lain. Tapi aku harus tahu dia ingin berbuat bagaimana dulu padaku. Kalau tidak terlalu serius, aku bersedia menanggungnya."   "Cu Taiya, kadang-kadang rasa sakit datang tiba-tiba. Kita tidak mungkin membuat persiapan terlebih dahulu, oleh karena itu aku punya sebuah rencana. Kalau Thiat-yan benar benar ingin mendapat-kan sebuah barang, aku tidak hanya tidak akan menghalangi keinginannya, malah sebaliknya akan diam-diam membantu dirinya. Tapi kalau dia ber-maksud untuk melukai tuan, aku tidak mungkin berdiam diri."   "Tu Liong!"   Cu Siau-thian menggeleng-gelengkan kepalanya "aku tahu kau adalah seorang anak yang berhati mulia.   Kau sangat pemberani, kuat dan gagah.   Kau pun sangat pintar, hanya saja kau juga memiliki sebuah kekurangan.   Dari kecil kau tumbuh besar di Pakhia, kau belum pernah pergi berkelana keluar Pakhia, belum mengetahui kejamnya dunia diluar sana.   Kau belum tahu kejahatan apa yang bisa dilakukan seseorang....   "T u Li Ong, yang selalu aku khawatirkan selama ini, kau bisa saja kalah dibawah tangan Thiat-yan."   "Apakah tuan tidak percaya padaku?"   "Aku bukan tidak percaya kemampuanmu, aku hanya khawatir....kalau aku menerima pembalasan dari Thiat-yan, itu adalah hukuman yang setimpal. Tapi kalau kau yang menerima penderitaan, itu tidak tepat."   "Tuan tenang saja. Aku tidak mungkin mengecewakanmu!"   Setelah berkata demikian, Tu Liong segera berjalan keluar.   Tiba-tiba dia menyadari, Cu Taiya sengaja berkata yang kesana-kemari, tujuannya hanya satu....untuk mengusik dirinya bertindak lebih jauh.   Dia tidak ingin dirinya kalah di tangan Thiat-yan.   dia adalah seorang pemuda jantan yang sangat lurus, dia tidak senang pada masalah yang berbelitbelit.   Tapi dia tidak merasa jenuh terhadap tingkah laku Cu Taiya.   Dia tahu, generasi tua senang sekali memperhitungkan keadaan, siasatnya banyak, sekarang sepertinya hal itu sudah menjadi sebuah kebiasaan.   Dia terus berjalan keluar, Cu Taiya tidak memanggil lagi.   ini menandakan bahwa semua perkiraan Tu Liong tidaklah salah.   Cu Taiya memang tidak bermaksud mencegah dia maju, namun juga dia diam-diam memberi semangat padanya untuk bertindak lebih cepat.   Dia ingin Tu Liong segera mengurus Thiat-yan sampai tuntas.   Kalau saja hal ini terjadi pada orang lain, Tu Liong pasti akan membongkar rahasia tuannya.   Namun rasa hutang budi pada Cu Taiya sudah mencegahnya.   Dia terpaksa mengikuti semua perintah majikan dan melaksanakannya, lagipula dia tidak merasa bahwa melakukan hal itu adalah sebuah kesalahan.   0-0-0 Ketika Thiat-yan mengirimkan kereta kuda untuk menjemput Wie Kie-hong, Tu Liong sudah mengikutinya diamdiam.   karena itu dia tidak membuang banyak tenaga ataupun waktu untuk mengetahui dimana rumah kediaman Thiat-yan.   Diatas daun pintu masuk terdapat sebuah papan nama besar terbuat dari kayu, yang terukirkan kata-kata "Kediaman Boh"   Dua patah kata sederhana.   Tu Liong berdiri ditempatnya menimbang nimbang sebentar, akhirnya dia berjalan kedepan pintu dan mulai menggunakan pegangan pintu mengetuk.   Yang menjawab ketukan pintunya adalah pembantu perempuannya yang bertanya dengan suara yang mirip suara anak kecil.   "Mencari siapa?"   "Aku datang mencari nona Thiat-yan"   "Apakah kau tidak salah rumah? Disini kediaman keluarga yang bermarga Boh"   "Aku tidak perduli tuan kalian bermarga apa, bagaimanapun aku tahu nona Thiat-yan tinggal disini. Maaf merepotkan, tolong kau laporkan kedatanganku padanya"   Pembantu perempuan itu tampak berpikir, setelah itu ada seseorang lain yang muncul di ambang pintu.   Dia adalah Boh Tan-ping.   Tu Liong tampak sangat tenang, tapi dia tahu kalau Boh Tan-ping adalah seorang lawan yang sangat tangguh.   Boh Tan-ping berkata dengan dingin.   "Rupanya kita bertemu lagi..."   "Sayang sekali orang yang aku cari kali ini bukanlah dirimu"   Balas Tu Liong.   "Ini rumah kediamanku, kau mengeruk pintu kalau bukan mencariku, kau ingin mencari siapa?"   "Aku mencari nona Thiat-yan"   "Nona Thiat-yan?"   Boh Tan-ping tampak sedikit terkejut.   "Nona Thiat-yan, anak satu-satunya Tiat Liong-san. Saat ini dia orang yang sangat populer di kota Pakhia. Apakah katakataku kurang jelas?"   "Mohon maaf, kau sudah mengunjungi rumah yang salah...."   Setelah berkata demikian, Boh Tan-ping segera bermaksud menutup pintu rumahnya.   Dengan sebelah tangannya Tu Liong segera menahan pintu, dan dengan tangan yang satunya dia bermaksud mendorong dada Boh Tan-ping.   Dia sepertinya sudah bermaksud nekat, menggunakan tenaga kasar untuk menyerangnya, tidak memberi kesempatan bagi lawan untuk bergerak.   Betul saja, dengan cepat tangan kanan Boh Tan-ping terangkat keatas, dan segera menangkap pergelangan tangan Tu Liong yang terjulur ke arahnya.   Tu Liong tidak tinggal diam.   Dia melecutkan tangan yang dipegang dengan cara yang sama ketika dia menangkap tangan Boh Tan-ping ketika di kedai teh.   Tapi sayang Boh Tan-ping lebih lihai.   Tu Liong tidak dapat membebaskan tangannya dengan mudah.   Terpaksa dia melangkah masuk kedalam agar bisa melawan Boh Tan-ping dengan lebih leluasa.   Di dalam ada beberapa orang pembantu yang hanya tertegun menonton pertarungan.   Salah seorang diantaranya ada yang berlari masuk ke dalam.   Tu Liong tidak sempat menghiraukan pem-bantu ini.   Tu Liong kembali mencoba menarik tangannya.   Boh Tanping sengaja melepaskan tangannya secara mendadak.   Tapi selain itu dia juga melontarkan tangan Tu Liong dengan kuat.   "HAH!"   Tu Liong terlonjak kebelakang dan mundur beberapa langkah.   Boh Tan-ping segera melangkah kembali ke arahnya.   Tangan kanannya sudah terjulur kembali ke arahnya berusaha menggenggam baju Tu Liong.   Tu Liong menghindar dan menepis dengan tangan kirinya.   Tangan kiri Boh Tan-ping tidak tinggal diam.   Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Tangan ini pun segera terjulur berusaha mencengkram bahunya.   Tangan kanan Tu Liong bergerak tidak kalah cepat.   Dia berhasil menggenggam pergelangan tangan Boh Tan-ping.   Ini adalah kesempatan satu satunya untuk menyerang dengan sungguh-sungguh.   Dia menarik tangan kanannya dengan kuat.   Tubuh Boh Tan-ping segera tertarik mendekat Tu Liong.   Ketika sudah dekat, kaki Tu Liong segera terangkat untuk menendang Boh Tan-ping.   Boh Tan-ping tampak sangat tenang.   Tangan kirinya yang bebas segera menepis kakinya.   Berbarengan dengan itu, dia berkelit dan berputar ke arah kiri.   Tu Liong jadi menendang udara kosong.   'Gawat,' pikir Tu Liong.   Sekarang posisinya sedikit tidak menguntungkan.   Sekarang Boh Tan-ping balik menyerangnya.   Karena sedang berdiri menyamping, dia tidak dapat mengelak serangan dengan mudah.   Betul saja, tangan Boh Tan-ping sudah terjulur kembali ke arahnya.   Segera tangan kiri Tu Liong menyambut.   Akhirnya kedua orang ini saling bergenggaman tangan.   Boh Tan-ping segera mendorongnya keluar.   Tu Liong melompat menghindari palang pintu masuk yang ada di lantai.   Kali ini Boh Tan-ping masuk dalam perangkap.   Tampaknya Tu Liong sudah bersiap membalas perbuatannya ketika di kedai teh waktu itu.   Sekarang posisi mereka berada berseberangan.   Tu Liong diluar pintu masuk, Boh Tan-ping didalam.   Setelah Tu Liong meloncat keluar, dia segera melepaskan genggaman tangan kanannya.   Tangan ini menjulur ke sebelah kanan, segera dia menggenggam gelang baja yang digunakan untuk mengetuk.   Pada waktu ini dia segera menarik Boh Tan-ping keluar, dan berbarengan menarik gelang baja yang menempel di pintu.   Daun pintu yang tebal dan berat itu menabrak bahu kanan Boh Tan-ping dengan keras.   Kini bahunya jadi terjepit.   Asalkan Tu Liong menggunakan siasat apapun, tangan kanan Boh Tan-ping pasti akan cacat.   "Hentikan!"   Tiba-tiba dari dalam pintu ter-dengar suara seseorang menyahut.   Tu Liong segera melonggarkan pegangan tangannya pada gelang besi yang menempel di pintu.   Dihadapannya kini sudah berdiri seorang nona yang tegap dan perkasa.   Tidak usah dikatakan lagi, orang ini adalah orang yang sedang dicari oleh Tu Liong.   Boh Tan-ping benar-benar merasa marah, sepertinya mulutnya sudah siap menyemburkan api saja.   namun dihadapan Thiat-yan, dia hanya bisa menelan emosinya dan mundur.   "Datang ke rumah orang lain dan mencari perkara, bukankah ini sangat keterlaluan?"   Dengan satu langkah besar saja, Thiat-yan sudah berada dihadapan Tu Liong.   "Nona juga sudah datang ke rumah orang lain dan mencelakai mereka, apakah ini tidak keterlaluan?"   "Baiklah, tadi aku sudah membaca pesanmu yang kau selipkan di pinggir bantalku. Mata sudah dibalas mata. sekarang untuk apa kau datang kemari?"   Dalam hatinya, diam-diam Tu Liong merasa senang, sepertinya pembunuh beralis putih sudah melakukan tugasnya dengan sangat baik.   Selain itu dia juga merasa senang dirinya memiliki seseorang yang demikian mahir yang ada disisinya membantu dia.   Dia juga senang karena saat ini dia berdiri didepan Thiat-yan dan berhasil mengangkat sedikit harga dirinya.   "Nona, aku ada sedikit urusan yang harus dijelaskan padamu. Huruf yang dituliskan diatas kertas saja tidak akan mampu menggambarkan apa yang ingin aku ceritakan. Oleh karena itu aku harus datang kemari dan menjelaskan langsung padamu."   "Urusan apa itu?"   "Nona, kau punya kepintaran, orang lain juga masingmasing punya kepintaran. Kalau kau berpikir ingin datang ke Pakhia dan langsung menjadi jagoan besar disini, kalau begitu kau sudah salah besar."   "Kau jauh-jauh datang kemari, apa hanya demi mengatakan hal ini?"   "Tentu saja masih ada satu urusan yang paling penting"   "Katakanlah! Aku pasti akan mendengarkan penjelasanmu dengan baik..."   "Nona sudah melukai empat orang, dendam yang besar sudah terbalaskan, kau tidak perlu lagi tinggal di dalam kota, kalau dalam waktu tiga hari ini kau tidak pergi, kau akan merusak hubungan baik dengan seseorang."   "Merusak hubungan baik dengan siapa?"   "Merusak hubungan baik diantara kau dan aku"   "Aku tidak begitu mengenal dirimu. Aku juga tidak punya hubungan yang baik, begitu pula hubungan yang buruk dengan dirimu."   "Sebenarnya tidak begitu, budinya Cu Taiya padaku seperti sebuah gunung. Kau. diam-diam meninggalkan surat didalam kediamannya dan menakut-nakuti dirinya, aku sama sekali tidak bisa masa bodoh."   "Oh!"   Thiat-yan tertawa dingin dan berkata ...   "baik sekali, asal saja Cu Siau-thian menyerahkan barang yang sedang kucari selama ini, aku pasti akan segera pergi."   "Barang apakah itu?"   "Ketika ayahku dicelakai, dia membawa sebuah kopor kulit berwarna kuning. Kopor itu tidak digunakan sebagai barang bukti, juga tidak diumum-kan pada keluarga yang ditinggalkan untuk diambil. Jelas barang ini sudah diambil oleh orang lain."   "Apakah barang yang diinginkan oleh nona adalah kopor kulit berwarna kuning?"   "Betul"   "Kopor kulit berwarna kuning, jumlahnya pasti sangat banyak sekali, apalagi yang ukurannya, warnanya, atau bentuknya sama pasti jumlahnya sangat banyak. Walaupun nona mencari kopor ini sampai puluhan tahun, aku khawatir bukanlah sebuah hal yang mudah. Paling baik nona bisa mengatakan padaku, apakah barang yang tersimpan dalam kopor tersebut. Aku yakin sebenarnya barang yang diinginkan oleh nona adalah barang yang berada didalam kopor tersebut, apa benar?"   Thiat-yan hanya bisa termenung saja.   Tu Liong terus menatap dirinya lekat-lekat.   Seolah-olah jawaban semua rahasia yang dicarinya selama ini tertulis dengan jelas pada wajah nona Thiat-yan.   Setelah beberapa lama, Thiat-yan mulai membuka mulut dan berkata.    Pendekar Tongkat Liongsan Karya Kho Ping Hoo Banjir Darah Di Borobudur Karya Kho Ping Hoo Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini