Ceritasilat Novel Online

Bukit Pemakan Manusia 2


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Bagian 2


Bukit Pemakan Manusia Karya dari Khu Lung   "Bila sama sekali tidak sulit, bagaimana mungkin bisa disebut sebagai suatu usaha pelarian ?"   Perkataan ini kontan saja membuat Chin Hui-hou tertawa tergelak, tapi membuat Beng Liau huan amat mendongkol. Chin Hui hou berhenti tertawa, lalu ujarnya.   "Malam ini tidak masuk hitungan, mulai besok pagi kongcu akan menjadi tamu agung kami selama lima hari, padahal rekan rekan lainnya tidak semujur kau, mereka hanya mempunyai hak untuk menjadi tamu agung selama tiga hari!"   Sun Tiong io bukannya berterima kasih, sebaliknya malah berseru.   "sekalipun lebih banyak dua hari, tapi berarti pula menambah kemurungan orang selama dua hari lagi."   "Benar, tapi dalam keadaan pasti mati berarti hidup dua hari lebih lama!"   "Congkoan, apakah kau tidak merasa perkataanmu itu kelewat merasa yakin..."   Kata Sun Tiong lo dengan kening berkerut.   "aku yang muda percaya dalam kesempatan yang amat adil ini pasti ada orang yang berhasil melarikan diri dan sini !"   Menggunakan kesempatan tersebut, kembali Beng Liau huan memberikan petunjuknya.   "Mungkin dikemudian hari masih ada yang akan berhasil untuk melarikan diri, tapi sebelum ini tak pernah ada yang berhasil !"   Mendengar perkataan itu, Sun Tiong lo baru tertegun dibuatnya.   "Cengcu, apakah belum pernah ada yang berhasil melarikan diri dari sini ?"   Dengan gusar Chin Hui hou melotot sekejap kearah Beng Liau huan, tapi Beng Liau huan berpura pura tidak melihat, kembali sahutnya.   "Benar setiap orang yang berusaha melarikan diri dalam kesempatan yang adil ini, mereka justru mati semua !"   Sun Tiong lo duduk dibangkunya dengan wajah termangu- mangu, sampai setengah harian lamanya ia tak sanggup mengucapkan sepatah katapun, Chin Hui hou telah selesai menyampaikan semua keterangannya diapun lantas bertanya.   "Kongcu, apakah kau masih ada persoalan yang ingin kau tanyakan lagi kepadaku ?"   Sun Tiong lo menghembuskan nafas panjang untuk melegakan kesesakan nafasnya, lalu menjawab.   "Tolong tanya Cong koan, apakah masih bisa dirundingkan lagi persoalan ini?"   Dengan ketus Chin Hui hou menggelengkan kepalanya berulang kali.   "Tiada kesempatan bagimu untuk mengadakan perundingan lagi didalam persoalan ini!"   Dengan perasaan apa boleh buat Su tiong lo menghela napas panjang-panjang.   "Aaaai.... tampaknya aku yang muda juga tak bisa terkecualikan dari peraturan ini"   "Heeehh .. .. heeehh tentu saja pengecualian!"   Sun Tiong lo mengerdipkan sepasang matanya tiba tiba dia berkata kembali.   "Bagaimana kalau seandainya minta pengampunan dari Sancu pribadi?"   "Dengan demikian, kau akan mampus lebih cepat lagi!"   Sahut Chin hui hou sinis. Sun Tiong-lo kehabisan daya lagi, setelah tertegun beberapa saat lamanya, tiba tiba ia berkata.   "Tadi aku yang muda mendengar congkoan berkata bahwa semenjak besok pagi, aku yang muda adalah tamu agung..."   Sambil tertawa Chin Hui hou gelengkan kepalanya berulang kali, Semenjak masuk keatas bukit ini dan sebelum suatu pelarian secara adil dilakukan, kau sudah menjadi tamu agung kami."   "Kalau begitu sekarangpun aku sudah terhitung sebagai tamu agung ditempat ini ?"   "Tentu saja ?"   Jawab Chin Hui hou sambil manggut-manggut. Sun Tiong lo berpikir sejenak, lalu katanya lagi.   "Barusan congkoan berkata, selama aku yang muda menjadi tamu agung dari bukit ini, selain memohon pengampunan, permintaan apa pun yang kuajukan pasti dapat terpenuhi benarkah itu ?"   Chin Hui hou mendengus dingin.   "Hmm ! peraturan ini ditetapkan sendiri oleh San cu, sudah barang tentu tidak bakal salah lagi, cuma lohu akan memperingatkan kong cu lagi dengan sepatah kata, andaikata selama menjadi tamu agung, kau berusaha untuk melarikan diri, maka itu sama arti dengan mencari kematian lebih cepat !"   "Oooo..! jelas aku tak akan melakukan tindakan sebodoh itu"   Ujar Sun Tiong lo sambil menggelengkan kepalanya berulang kali.   "aku yang muda hanya akan memohon suatu permintaan yang tidak terlampau berat daripada hal hal yang muluk."   "Kongcu berhak untuk mengajukan permintaan, apa yang sudah kau pikirkan sekarang boleh diajukan!"   Sambil tertawa Sun Tiong lo berkata.   "Kalau memang Sancu menetapkan dalam kata-kata.   "pelayanan dalam permintaan apa- pun,"   Tentu saja aku yang muda hanya bisa mengajukan permintaan terbatas dalam lingkungan "pelayanan dalam permintaan apapun"   Itu pula !"   Chin Hui hou terkekeh-kekeh seram.   "Aku tahu kongcu adalah seorang yang cerdas, memang seharusnya menjadi seorang yang tahu diri."   "Ooo...! pertama-tama aku ingin bertanya pada Congkoan, pada malam ini aku yang muda akan menginap dimana ?"   "Ditempat yang paling bagus dari bukit ini, tempat itu dinamakan loteng Bong-lo (loteng impian)!? "Bagus sekali, sekarang harap congkoan su ka mendengarkan lagi suatu permintaan dari aku yang muda !"   Chin Hui hou memandang sekejap ke arah Sun Tiong lo, kemudian katanya cepat.   "Tampaknya perasaan kongcu pada saat ini sudah jauh lebih tenang ! Heh.. hehh.. hehh... katakan saja, lonu sedang mendengarkan !"   Benar juga, ketika itu Sun Tiong lo sama sekali tak nampak gugup atau ketakutan, dia berkata.   "Congkoan, kau harus tahu, seandainya persoalan sudah dihadapkan pada keadaan yang tak bisa dipikirkan lagi, kalau tidak menenangkan perasaan, apa pula yang bisa kulakukan ? itulah sebabnya perasaan dan pikiranku sekarang malah tidak menjadi panik lagi."   "ltupun benar juga"   Sindir Chin Hui-hou.   "paling baik kalau menggunakan kesempatan selama lima hari ini untuk banyak makan dan banyak minum, sehingga setelah mati nanti kau tak bakal menjadi setan yang kelaparan."   "Congkoan memang pandai sekali menyelami perasaan orang, aku yang muda memang ingin sesali mengajak Beng cengcu untuk minum beberapa cawan arak, sayang cawan sudah pecah mangkuk juga sudah pecah, kalau begitu harap congkoan suka mengambil satu setel perlengkapan lagi untukku!"   "Apa ? Kau suruh lohu mengambilkan mangkuk dan cawan bagimu ? Hemm"   Dengan bengis Chin Hui hou melotot sekejap kedepan. Sun Tiong lo tersenyum malah katanya lagi.   "Bahkan akupun hendak mohon kepada Congkoan, agar melayani aku sendiri untuk setiap memenuhi setiap kali cawanku yang sudah kosong."   Mendengar ucapan itu, Chin Hui-hou naik pitam, sambil menuding kearah Sun Tiong lo teriaknya.   "Sungguh besar nyalimu... anjing cilik ! Rupanya kau sudah bosan hidup lagi didunia ini."   Dengan cepat Sun Tiong lo menarik muka, katanya.   "Chin congkoan, ini peraturan Sancu kalian sendiri untuk melayani tamu agungnya, aku berhak untuk memohon pelayanan dalam bentuk apapun atas dirimu, kini aku yang muda telah mengajukan permohonan, mau dikerjakan atau tidak terserah padamu sendiri, aku toh tidak akan terlampau memaksa dirimu."   Chin Hui hou menjadi termangu seperti seorang bodoh, sampai waktu itu, Sun Tiong lo telah berpaling kearah Beng Liau huan seraya berkata.   "Beng ceng cu, kini aku yang muda barulah tahu mengapa dalam pengejaran yang adil dimasa lampau, tak ada seorang manusiapun yang berhasil melarikan diri!"   Oleh peristiwa yang barusan saja terjadi itu Beng Liau huan di buat terperanjat termangu-mangu, tetapi dalam hati kecilnya dia merasa kagum pada kecerdasan Sun tiong lo, hingga tak terasa dia mempunyai penilaian yang berbeda lagi atas diri sianak muda tersebut.   Itulah sebabnya dia lantas bertanya cepat.   "Oooooh.... mengapa bisa demikian?"   Sambil menuding Chin hui hou, pemuda itu menjawab "Ambil contoh saja ini, jelaslah ada orang yang berusaha untuk memutar balikkan peraturan yang telah di terapkan oleh San cu...!"   Perkataan ini terlampaulah berat, ternyata Beng Liau huan tidak berani untuk menanggapi. Pelbagai ingatan ketika itu sudah berkecamuk dalam benak Chin Hui hou, rupanya ia telah mengambil keputusan dihatinya, dengan suara dalam bentaknya.   "Anjing cilik dengaikan baik baik, peraturan yang diterapkan Sancu untuk melayani tamunya sama sekali tak mencakup lohu yang kedudukan sebagai seorang congkoan beserta rekan-rekan setingkat denganku bila kau berani mengaco boleh lagi, jangan salahkan kalau lohu..."   Belum selesai perkataan itu di ucapkan, tiba-tiba dari dalam ruangan bergema suara keras yang menggetarkan telinga.   "Ucapan kongcu tepat sekali, memang banyak anak buah lohu yang berusaha melanggar peraturan yang ada, untuk itu lohu mohon maaf pada kongcu, tapi aku pinta agar kongcu bersedia percaya kewibawaan lohu serta tidak menyelidiki lagi...!"   Setelah berhenti sejenak, tiba tiba dengan nada ucapan yang berubah keras, lanjutnya.   "Chin Hui hou! Mengapa kau tidak segera melaksanakan permintaan dari kongcu itu? Ingat, selesai melayani kongcu minum arak, kau boleh pergi sendiri ke ruangan Cap pwe sin tian untuk menerima hukuman sesuai dengan peraturan, hayo cepat!"   Begitu suara keras yang hanya kedengaran suaranya tanpa menjumpai manusianya itu berkumandang dalam ruangan, paras muka Chin Hui hou yang berwarna merah padam kontan saja berubah menjadi pucat pias seperti mayat, bahkan dibalik warna pucat tersebut masih tampak warna hijau membesi, keadaannya mengenaskan sekali.   Menanti perkataan tersebut selesai diucapkan, Chin Hui hou baru mengiakan dengan hormat dan memutar badannya untuk beranjak ke depan, Sun Tionglo mana mau menyia nyiakan kesempatan sebaik ini, segera teriaknya dengan cepat.   "Bila kudengar dari suaranya, sudah dapat diduga pastilah Sancu yang telah berkunjung sendiri kemari, apakah aku yang muda boleh memberi hormat kepadamu ?"   "Sekarang lohu masih ada urusan untuk turun gunung, dalam lima hari kemudian pasti kembali, waktu itu aku pasti akan bertemu dengan kongcu dan menemani sendiri untuk melihat keadaan dibukit ini, semoga saja kongcu bisa sukses dalam pelarian nanti."   Setelah ucapan tersebut diutarakan ternyata Sun Tiong-lo tidak mengajukan permintaan apa-apa lagi.   Beng Liau huan yang menyaksikan keadaan itu, dalam hatinya semakin mengenal lagi akan diri anak muda tersebut.   Ketika Chin Hui hou muncul lagi dalam ruangan, dia muncul dengan membawa perlengkapan baru yang di minta, bahkan melayani arak untuk Sun Tionglo hingga anak muda iiu selesai bersantap, akhirnya dengan membawa perasaan dendam dan marah dia mengundurkan diri dari ruangan tersebut.   Tak lama kemudian, lelaki kekar yang tinggi besar Kim Poo cu muncullah di sana, sebelah memberi hormat kepada Sun Tiong lo, katanya.   "Aku mendapat perintah dari San cu untuk menemani kong cu kembali keloteng impian guna beristirahat."   "Oh .... di manakah Chin congkoan?"   Kimpocu segera mencibirkan bibirnya yang tebal dan besar seraya menjawab.   "Kong cu tak usah banyak bertanya, sekarang ia sedang menjalankan siksaannya!"   Ia suruh Sun tiong lo tak usah banyak pikir tapi dia sendiri telah menerangkan kenyataan tersebut.   Sun Tiong-lo tak banyak bicara lagi, setelah mohon diri kepada Beng Liau huan, bersama Kim poocu segera mengundurkan diri dari ruangan tersebut.   Sepanjang jalan Sun Tiong lo tidak mengucapan sepatah katapun, hingga tiba dibawah loteng impian, pemuda itu baru berterima kasih pada Kim poo cu dan naik keatas loteng.   Sambil melangkah naik ke atas loteng, diam-diam Sun Tiong lo mengingat-ingat semua keadaan didalam loteng itu dengan jelas, ketika tiba diatas ia lantas mendorong pintu kamar dan melangkah masuk dengan tindakan lebar.   Namun ketika melewati pintu kamar, mendadak bau harum semerbak yang amat tipis.   Keningnya lantas berkerut, dia cepat menutup pintu dan menguncinya dari dalam.   Anehnya ternyata ia tidak memasang lampu, melainkan berdiri kaku disana sambil mengamati belakang pembaringan sana, dan berjalan ketepi ranjang dan sambil duduk di tepi pembaringan melepaskan sepatunya.   Menurut kebiasaan ia melepaskan jubah panjang kemudian melepaskan kaos baru jubah panjang itu diletakkannya diujung pembaringan, kemudian setelah menguap dia baru melepaskan baju dalam.   Setelah melepaskan baju dalam, kini bagian dadanya menjadi setengah telanjang.   Sekali lagi dia menguap, kemudian membaringkan diri diatas ranjang.   Tak lama setelah berbaring, tiba-tiba dia melompat bangun lagi sambil gelengkan kepalanya berulang kali.   "Aku benar benar dibuat kaget sampai menjadi bodoh, tadi hanya minum arak melulu, sekarang rasanya haus sekali". Ia melirik sekejap kearah meja, lalu ber jalan menuju kesana, ketika dirasakan air teh masih panas, ia meneguk dua tegukan dan meletakkan kembali cawannya kemeja. Sesudah itu sambil merentangkan badan melemaskan otot, sekali lagi dia menguap, katanya .   "Sejak meninggalkan rumah sampai sekarang aku belum pernah tidur nyenyak sambil melepaskan semua pakaianku, sekarang toh mati hidup sudah tak ketahuan lagi, kenapa aku tak tidur dalam keadaan polos ?"   Tapi sebentar kemudian ia berseru tertahan kenidian katanya lagi dengan lirih.   "Baju lamaku tertinggal dalam kamar mandi, bajuku yang baru inipun tanpa celana dalam. waaah... bagaimana aku harus membuka celana luar?"   Sambil menggelengkan kepalanya, diapun menghirup kembali setegukan dan...   "Oh, panas amat! Aaai., ... bagaimanapun dalam kamar itu cuma aku seorang, kalau pintu sudah terkunci, mau tidur telanjang apa pula salahnya? Bila ada orang datang kemari, memakainya kembali toh belum terlambat!"   Semakin berguman ia berbicara makin serius, akhirnya dia mulai melepaskan ikat pinggangnya. Siapa tahu pada saat itulah mendadak dari atas kursi lemas disudut ruangan sebelah kiri berkumandang suara bentakan nyaring.   "Kau berani melepas ?"   Sun Tiong-lo segera terperanjat sambil menjerit kaget dia segera lari ke pembaringan. Suara merdu tadi kembali berkumandang.   "Tak usah berlagak bodoh lagi, kau anggap aku tidak mengetahui lagakmu itu? Cepat kenakan pakaian, memasang lampu dan kita berbicara secara baik-baik, ada persoalan yang ingin kutanyakan kepadamu, hayo cepat !"   Sun Tiong-lo menggunakan kain selimut untuk menutupi kepala sendiri, kemudian dengan badan gemetar tanyanya.   "Kau... kau adalah manusia atau setan ?!"   Kursi diujung ruangan ilu bergoyang pelan, lalu tampak sesosok bayangan tubuh yang ramping bergeser kesisi meja, terdengar orang itu berkata.   "Sudah kukatakan agar kau tak usah berlagak pilon lagi... apakah gunanya kau bersikap demikian? Aku adalah manusia, kalau setan mana mungkin bisa berbicara sebagai manusia ?"   Sun Tiong-lo masih ketakutan setengah mati, katanya lagi dengan suara menggigil.   "Kau jangan menipu aku, sewaktu masih kecil dulu ibuku sering bercerita katanya Rase yang bertapa lama bisa menjadi dewi, ia sudah menampakkan diri dengan wujud seorang gadis cantik, tapi kerjanya khusus memikat laki-laki yang tampan."   "Tutup mulut!"   Bentak bayangan ramping itu sambil mendengus dingin, Menyusul kemudian tampak cahaya api memercik diatas meja, dan lentera dalam kamarnya disulut.   Setelah ada lampu, ruangan pun menjadi terang benderang, saat itulah Sun Tiong-lo baru berani menampakkan diri dari balik selimutnya dan turun dari atas pembaringan.   Entah sedari kapan, tahu-tahu diatas Loteng impian telah bertambah dengan seorang nona cilik yang cantik jelita..   bak bidadari dari kayangan.   Sekalipun gadis itu berparas muka cantik jelita, tapi amat dingin sikapnya, dengan sepasang biji mata yang jeli dia melotot sekejap kepada Sun Tiong-lo, seakan-akan ia hendak menembusi hatinya.   Paras muka Sun Tiong-lo masih diliputi perasaan kaget bercampur tercengang, tapi dengan sopan dia memberi hormat juga kepada nona itu seraya berkata.   "Nona, sejak kapan kau disini..."   Berbicara sampai disitu, tanpa terasa mata Sun Tiong lo di alihkan kembali ke arah pintu kamarnya yang masih di kunci dari dalam, ternyata kunci itu masih tetap utuh dan sama sekali tidak berubah, kontan saja perkataannya terhenti sampai di tengah jalan dan menjerit kaget...Nona itu melirik sekejap kearahnya dengan dingin, lalu ujarnya.   "Pandai amat kau bermain sandiwara, akan kulihat sampai kapan permainan gila gilaanmu itu baru akan berhenti !"   Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Sun Tiong lo mengerdipkan matanya, gelengkan kepala, berpikir sejenak dan akhirnya dengan memberanikan diri dia berkata.   "Nona benar benar adalah manusia?"   Nona itu menjadi amat mendongkol serunya "Aku tidak memberitahukan kepadamu, jika kau berani bicara secara sembarangan lagi jangan salahkan kalau kuhajar dirimu!"   Sun Tiong lo menatap nona itu tajam tajam kemudian berkata lagi"   "Tapi.. tapi, pintu kamar aku yang muda kan terkunci dari dalam, kenyataannya nona bisa masuk dengan semaunya..."   Tampaknya nona itu kewalahan juga dibuat nya, dengan perasaan apa boleh terpaksa katanya sambil mencibir bibir.   "Memangnya aku tak bisa datang ke loteng impian ini selangkah lagi lebih dulu darimu ?"   Sun Tiong lo kembali tertegun.   "Datang lebih duluan? Mau apa nona datang lebih duluan keatas loteng impian ini?"   Nona itu mengerling sekejap kearahnya, kemudian menjawab.   "Terus terang kuberitahu kepadamu, loteng impian ini sesungguhnya adalah tempat tidur siang ku bila di musim panas."   Seperti baru sadar dari impian, dengan serius Sun Tiong lo berseru.   "Kalau begitu, nona seharusnya juga tahu bahwa bukan-aku sendiri yang minta kemari, akupun bukan tuan rumah dari loteng ini, jika nona ada dendam sakit hati, tidak seharusnya mencari aku..."   Temyata dia masih menganggap nona itu sebagai sukma penasaran yang mencari balas. Dengan perasaan mendongkol terpaksa nona itu harus berbicara dengan jujur.   "Dengarkan baik baik, aku manusia bukan setan, Sancu bukit ini adalah ayahku, sedang loteng impian ini adalah tempat tinggalku bila dimusim panas, sekarang mengerti ?"   Sun Tiong lo mengerti, sambil tersenyum dia lantas memberi hormat, katanya.   "Oooh ....rupanya nona adalah putri Sancu, maaf jika aku yang muda kurang hormat !"   Nona itu mendengus dingin, sambil duduk dikursi katanya.   "Kau juga boleh duduk, aku ada persoalan ingin di tanyakan kepadamu..."   Sun Tiong-lo menyahut dengan hormat, tapi ia melirik dulu sekejap kearah nona itu kemudian baru duduk. Dengan sikap yang amat terbuka nona itu memperhatikannya beberapa saat, setelah itu katanya.   "Pertama tama aku hendak bertanya kepada mu, setelah masuk keatas loteng impian, mengapa kau tidak memasang lampu?"   "Sebenarnya aku yang muda mempunyai korek api, sayang ketika membersihkan badan tadi lupa mengambil, sekarang aku tidak mempunyai korek api lagi, dengan cara apa aku musti menyulut lampu?"   Mendengar itu, sinona menjadi terbungkam, Lewat beberapa saat kemudian ia berkata lagi.   "Anggap saja perkataan ini telah kau jawab secara benar,sekarang aku ingin bertanya lagi kau minum teh seorang diri, mengapa dua cawan teh yang kau sediakan di meja?"   "Sewaktu berada diruangan tengah tadi, aku yang muda sudah minum beberapa cawan arak lebih banyak, ditambah lagi hidangan dari bukit ini amat lezat sehingga makan lebih banyak karena itu aku merasa haus sekali dan ingin cepat-cepat minum teh.   "Apa mau dikata air tehnya masih panas, sedang cawannya kecil, maka aku menyiapkan dua cawan dengan harapan mumpung secawan yang lain sudah habis terminum, cawan yang lainpun keburu sudah dingin !!"   Padahal nona itu tahu kalau Sun Tiong lo berbicara sebenarnya, tapi ia toh dibuat tertawa geli juga sehingga tertawa cekikikan.   "Baik, anggap saja akupun berhasil lolos dari pemeriksaan ini.. ."   Belum habis dia berkata, Sun Tiong lo telah menukas.   "Nona, tolong aku yang muda harus melewati berapa banyak pemeriksaan lagi ?"   Tampaknya nona itu mempunyai watak mau mencari menangnya sendiri, kalau bilang berwajah dingin, maka wajahnya benar benar menjadi dingin, kalau bilang tidak berperasaan maka ia benar benar tak berperasaan mendadak saja dia menarik muka, lalu sahutnya dingin.   "Nonamu suka menyuruh kau melewati beberapa pemeriksaan kau harus pula melewati beberapa pemeriksaan !"   Sun Tiong lo memang cukup aneh, tiba-tiba diapun mengumbar wataknya, dengan serius katanya.   "Nona, kau sebagai putri kesayangan Sancu tentunya tak bisa tahu kalau bukan aku yang muda sudah termasuk sebagai orang yang sudah setengah mati, selama lima hari mendatang ini aku terhitung sebagai seorang tamu kehormatan disini ?"   Mendengar perkataan itu nona tertegun "Tentu saja tahu"   Sahutnya.   "kenapa ?"   "Kalau sudah tahu itu lebih baik lagi, mulai sekarang sampai batas waktu lima hari nanti aku tak ingin melewati sebuah pemeriksaanmu lagi, jika nona merasa keberatan, silahkan saja untuk membunuhku sekarang juga."   Kali ini si nona benar benar dibikin bodoh, setengah harian lamanya ia tertegun kemudian sambil mendepakkan kakinya ditanah ia baru melompat bangun, katanya.   "Anggap saja kau yang menang kali ini, tapi mengapa tidak kau pikirkan mengapa orang lain hanya mendapat batas waktu selama tiga hari sedangkan kau bisa memperoleh tambahan dua hari lagi ? Hmmmmmmm !"   "Selain itu, sekalipun menjadi tamu agung juga jangan harap bisa tinggal di loteng impian, mengapa pula kau tidak bertanya mengapa bisa menjadi begini, Kenapa malam malam begini aku datang kemari....!"   Ternyata jawaban dari Sun Tiong lo juga cukup cepat.   "Aku yang muda memang ingin bertanya kepada nona, mengapa malam malam begini nona datang kemari? sebenarnya ada urusan apakah dirimu ini....?"   Nona itu mendongkol yaa gemas yaa jengkel, sambil mendepakdepakkan kakinya kelantai serunya.   "Aku datang untuk menengokmu apakah kau sudah mampus atau belum !"   Selesai berkata dia lantas membalikkan badan dan menuju Ke depan pintu, kemudian setelah membuka kunci dan keluar, ia membanting pintu itu keras-keras.   Menunggu Sun Tiong lo menyusul kedepan pintu, bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata.   Sun Tiong lo segera menunjukkan sikap seolah-olah kehilangan sesuatu, sambil menghela nafas gumamnya.   "Sungguh seorang nona yang cantik dan lincah!"   Sekembali Kedalam ruangan loteng impian, dia mengunci kembali pintu ruangan. Baru saja akan berjalan ke meja, tiba tiba terdengar suara dari San cu berkumandang lagi.   "Kongcu, silahkan duduk, lohu hendak mengajakmu untuk bercakap-cakap !"   Walaupun Sun liong lo sudah tahu siapa yang mengajaknya berbicara, tapi ia tetap berlagak pilon.   "Siapa yang berbicara? Siapa kau? Berada dimanakah dirimu sekarang...?"   Sancu tersebut tidak menampakkan diri, tapi sahutnya.   "Lohu adalah Sancu dari bukit ini..."   Dengan cepat Sun Tiong lo mendengus dingin, tukasnya.   "Kau tak usah berbohong, Sancu sudah berkata sendiri kepada aku yang muda kalau dia akan meninggalkan bukit ini karena masih ada urusan lain ..."   "Benar!"   Sahut Sancu.   "sebenamya aku hendak turun gunung, tapi berhubung lohu menyaksikan siau li naik ke loteng ini, maka sengaja aku menunggu beberapa saat disini. Dan kini aku mempunyai beberapa persoalan ingin ditanyakan kecada Kongcu, aku harap kongcu bersedia menjawab dengan sejujurnya.   "Pertama tama lohu ingin bertanya apakah nama kongcu yang sebenarnya, berasal dari mana? Dan berapa umurmu? Tolong kongcu bisa menjelaskan pula berapa orang yang berada di rumahmu ?"   "Sancu, ada urusan apa kau menanyakan soal keluarga ku dengan sejelas ini ?"   "Kongcu tak usah kuatir, lohu jamin setelah kongcu memberikan jawaban yang sebenar nya, hal ini hanya akan bermanfaat bagi kongcu dan sama sekali tidak merugikan !"   Sun Tiong lo berpikir sebentar, lalu jawab nya.   "Bila batas waktuku sebagai tamu agung sudah habis, sampai aku juga tak akan lolos dengan selamat dari sini, paling paling nyawaku juga akan mampus, apalah gunanya membicarakan soal keluarga? Aku yang muda bernama Sun Tiong lo, penduduk ibu kota tapi sekarang adalah seorang anak yatim piatu."   "Ooooh,... bukankah kongcu masih mempunyai seorang empek ?"   "Benar."   Baru saja Sun Tiong lo akan menjawab lebih jauh, tiba- tiba Sancu berkata lebih jauh.   "Kongcu, harap kau dengarkan baik baik, anak buah lohu telah mengirim berita penting yang mengatakan ada orang menerjang naik keatas gunung, orang itu berilmu tinggi sekali karenanya aku tak bisa bertanya jawab lagi dengan kongcu, bila urusan lohu selesai dan kembali kegunung, sudah pasti tak akan lewat dari lima hari, waktu itu aku pasti akan mengajakmu untuk berbicara lebih lanjut, nah sekarang aku hendak mohon diri lebih dulu!"   Sesuai berkata suara itupun segera sirap.   Perlahan Sun Tiong lo memadamkan lentera dan mengulumkan sekulum senyuman ringan.   Setelah itu dengan langkah cepat ia berjalan kedepan jendela dan melongok keluar.   Benar juga, dilangit sebelah barat sana, tampak segumpal cahaya bintang sedang memancarkan sinarnya ke empat penjuru.   - ooo0dw0ooo- BAB TIGA DENGAN kening berkerut Sun Tiong-lo memandang termangu sejenak keluar jendela kemudian setelah meneguk secawan air teh, ia menjatuhkan diri di atas pembaringan pelbagai ingatan berkecamuk dalam benaknya membuat pemuda itu tak bisa membuat pemuda itu tak bisa memejamkan matanya.   Tiba-tiba senyuman ayah ibunya terlintas kembali dalam benaknya, ia menjadi teringat dengan kenangan masa lalu.   Ketika itu dia baru berusia lima tahun, nakal sekali.   Ayahnya tak pernah memanggil nama padanya, tapi langsung panggil dengan sebutan "Si Binal"   Begitu hangat panggilan itu dan juga mesra.   Sesungguhnya mereka sekeluarga hidup dengan penuh kebahagiaan dan gembira, siapa tahu kebahagiaan selamanya tidak berlangsung langgeng, akhirnya pada suatu tengah malam terjadilah suatu peristiwa yang amat menyedihkan itu.   Malam itu teramat sepi dan hening, semua orang sudah terlelap dalam impian indah.   Tiba-tiba suara pekikan yang amat nyaring berkumandang datang dari kejauhan dan membelah keheningan malam.   Menyusul kemudian, tampaklah sesosok bayangan hitam melayang keluar dari kamar baca di loteng sebelah selatan dan meluncur kearah mana asal suara itu.   "Diaaam..."   Sesosok bayangan hitam segera menerjang masuk ke dalam. Pada saat itulah dari dalam kamar terdengar seseorang menegur.   "Pek gi kah di situ?"   Ketika mendengar suara teguran tersebut bayangan hitam tadi kelihatan merasa amat lega, segera sahutnya.   "Adik, In aku disini! Apakah kau lagi mendapat impian buruk..."   Sambil berkata dia memasang lampu kamar.   Dibawah cahaya lilin, tampak orang itu seorang lelaki tampan berusia empat puluhan, waktu itu dengan dada telanjang dan membawa sebilah pedang berdiri kekar dekat pembaringan.   Di atas pembaringan berbaring perempuan cantik yang menyelimuti sampai dada, rupanya baru bangun dari lmpian.   Dengan matanya yang bening dia melirik pada Pek gi sekejap, lalu wajahnya menunjukkan rasa haru dan terima kasih.   Ia tidak menjawab, hanya menuding ketubuh Pek gi dengan jari tangannya.   Pek gi agak tertegun, kemudian tertawa jengah setelah dia menundukkan kepalanya.   "Yaa, aku memang terlalu terbura buru!"   Katanya cepat. Perempuan itu menggigit bibirnya dan dengan kemalu-maluan berkata lagi.   "Jangan melihat aku terus menerus, udara sangat dingin, jangan lupa menutup pintu"   Pek gi segera mengiakan dan menutup pin tu kamar, perempuan itu menepuk pelan sisi pembaringannya, Pek gi mengangguk dan menghampirinya sambil tersenyum.   "Letakkan pedangmu itu!"   Bisik perempuan itu lagi dengan kening berkerut. Pek gi berseru tertahan dan segera meletakkan pedangnya dimeja, kemudian tegurnya lagi.   "ln, kau bermimpi apa lagi?"   Sinar matanya memandang sekejap kepembaringan sebelah dalam, kemudian sambil berseru tertahan serunya lagi.   "Dimana sibinal"   Sambil menunjuk kekamar sebelah perempuan itu menjawab "Aku khawatir bocah itu terbangun oleh impian ku, maka kusuruh inang nya mengajak tidur dikamar sebelah!"   Mendengar jawaban tersebut, Pek gi baru kelihatannya agak lega. Terdengar perempuan cantik itu berkata.   "Cobalah kau lihat, sekalipun terburu buru juga tak seharusnya macam kau sekarang, masa baju arakpun tidak kamu kenakan? Kini sudah musim gugur, kau anggap badanmu lebih keras dari baja!"   Merdu suaranya tapi wibawa.   "Tentu saja"   Sahut Pek gi sambil tertawa, di tepuknya dada seraya berkata.   "Coba kau lihat, lebih kekar dari pada sebatang baja"   Perempuan cantik itu mengerling sekejap ke arahnya, dan berkata lagi.   "Lepaskan sepatu mu dan padamkan lampu! Pek gi sangat penurut, sebuah sentilan jari-jari tangan segera memadamkan lampu Ientera. Kemudian ia lepaskan sepatu dan duduk di sisi pembaringan istrinya. Beberapa saat kemudian, tak tahan perempuan cantik itu bertanya.   "Jadi kau sudah nekad ?"   "Nekad apa ? Apa yang kau maksudkan?"   Pek-gi balik bertanya dengan wajah tertegun.   "Tidak kedinginan ?"   Pek-gi segera mengerti maksud istrinya, dengan cepat bagaikan seekor ikan belut dia lantas menyusup ke dalam selimut, kalau tadi dadanya yang kedinginan tidak merasakan apa-apa, maka begitu masuk ke balik selimut dia malah kelihatan agak gemetar.   Di tengan kegelapan terdengar perempuan cantik im berbisik.   "Lain kali, jika kau mendengar aku berteriak-teriak lagi di tengah malam, jangan gubris diriku?"   "Tak ada lain kali lagi !"   Tukas Pek-gi.   "Pasti ada"   Sahut perempuan itu dengan sedih.   "aku benar-benar amat membenci sekali diriku!"   Pek-gi tertawa lapar.   "Aku bilang tak mungkin ada lain kali yaa tak ada lain kali, kalau aku tahu si binal tidur dengan mak inangnya, malam inipun mungkin tak akan pernah terjadi!"   Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "ldiih tak tahu malu, perkataan macam begitu juga bisa kau ucapkan ?"   Bisik istrinya dengan malu.   "Aaah kenapa musti malu untuk mengucapkan kata-kata seperti ini ? Suami istri yaa suami istri..."   Dengan perasaan setengah malu, setengah mendongkol dan setengah menegur perempuan itu segera menukas.   "Apa yang kau jeritkan? Memangnya ingin membuat semua anak buahmu kedengaran ?"   "Sejak dulu kala, sedari dunia ini ada thian menciptakan laki dan perempuan untuk saling bercinta didunia, kemudian menjadi suami isteri, arti dari pada suami isteri adalah...!"   Tiba-tiba perempuan itu mencubit paha Pek gi bisiknya.   "berani bicara terus?"   "Baik aku tak akan bicara lagi....!"   Suana menjadi hening, untuk sekian waktu lamanya kedua belah sama-sama tidak bersuara. Tiba- tiba perempuan cantik itu menghela napas, katanya lagi.   "Pek gi bukankah besok adalah tanggal delapan?"   Pek gi sebenarnya mengerti apa yang dimaksudkan isterinya, tapi ia berpura-pura tenang.   "Benar, lusa adalah tanggal sembilan!"   Perempuan itu menggelengkan kepalanya berulang kali, lalu gumannya seorang diri.   "Berarti delapan hari lagi itulah hari Tiong ciu !"   Pek gi tidak menjawab, hanya diam diam berkerut kening, Tentu saja perempuan itu juga mengerti apa yang membuat suaminya berkerut kening, dengan cepat ia berkata.   "Kau tak usah berkerut kening, aku tak akan menganjurkan kepadamu untuk pergi !"   Pak gi berusaha keras untuk menekan pergolakan perasaan dalam hatinya, dengan nada tenang ia berkata.   "Adik In, bukannya aku enggan mendengarkan nasehatmu, sesungguhnya kaburpun tak ada gunanya, selama dua puluh tahun ini Liuk hun pay (lencana perontok sukma) itu sudah malang melintang dalam dunia persilatan!"   "Aku mengerti!"   Tukas sang istri.   "hingga kini tak seorangpun jago silat pun yang tahu siapa gerangan pemilik lencana tersebut, sehingga mau bersembunyi sampai diujung langitpun tak ada gunanya"   "Aai...! Tapi hal ini merupakan kenyataan, lagi pula sejak tahun berselang kita sudah mempersiapkan pertemuan yang meriah dihari Tiong ciu tahun ini bahkan bersiap siap untuk mengumumkan seluruh dunia persilatan bahwa kita akan mengundurkan diri dan tidak mencampuri urusan persilatan lagi.   "Tanggal satu hari itu, aku baru menyuruh saudara Cu peng untuk mengirim orang menyebar undangan, tetapi malam harinya kita telah menerima Lok hun pay tersebut, di atas lencana jelas kita tercantum akan mati secara mengerikan di malam Tiong ciu tersebut"   "Adik In, tahukan kau bahwa perisriwa ini bukan suatu kebetulan, tetapi pemilik lencana terseout telan merencanakannya secara rapi membuat kita tak mungkin meloloskan diri lagi, dari kenyataan seperti ini!"   Sesudah berhenti sebentar, dengan agak emosi dia melanjutkan pembicaraannya itu.   "Adik In, semenjak kita terjun ke dunia persilatan, siapakah yang pernah mendengar bahwa bernama Giok bin siam kiam soh liong jiu (Dewa pedang tangan sakti penakluk naga yang berwajah kemala)Sun pek gi serta hui thian giok li (gadis cantik langit terbang) Wan Pek in adalah manusia-manusia yang takut urusan? kabur dari kenyataan?"   "Dua tahun berselang, ketika Gak hu (ayah mertua) tewas secara mengenaskan di daerah Kang see, kata-kata wasiatnya membuat terharu hatiku, apalagi setelah mendengar bujukanmu maka aku bertekad akan mengundurkan diri dari dunia persilatan dan hidup penuh kegembiraan dengan adik In.   "Demi adik In aku rela meninggalkan segala sesuatu yang ada di dunia ini termasuk nama dan kedudukanku, demi adik In akupun bersedia menerima caci maki dari semua orang didunia ini."   Dengan cepat Wan Pek in menutup bibir Pek gi dengan jari tangannya yang lembut katanya.   "Pek gi, kau tak boleh berbicara lagi, kau sangat baik kepadaku"   Pak gi menghela nafas panjang, di belai-nya tangan serta pergelangan tangan istrinya dengan penuh kasih sayang, kembali ia berkata.   "Pemiliknya Lok hun pay telah mewartakan berita elmautnya pada saat ini, kita toh tidak tahu siapakah dia, sekalipun kabur ke ujung langit belum tentu bisa terhindar dari pengejarannya..."   "Aku mengerti"   Tukas Pek in.   "aku hanya membenci pada diriku sendiri, sepuluh tahun kita berkelana dalam dunia persilatan, tidak pernah aku merasa takut terhadap apapun, kali ini aku justru merasa gundah, tak tenang dan demikian ketakutan? Ai, aku benar benar seorang pengecut !"   "Aaai..! Ya, kita kuatir, karena kita menguatirkan keselamatan si binal !"   "Pak gi, konon setiap orang yang mendapat Lok hun pay, segenap isi keluarganya dibasmi sampai tuntas, tapi orang yang tidak menyangkut hubungan keluarga dengannya dibiarkan hidup, benarkah itu?"   Pak gi berpikir sebentar, lalu jawabnya.   "Hanya ada suatu pengecualian !"   "Peristiwa yang mana!"   Tanya Pek in gelisah.   "Ketika keluarga Pian tayhiap mendapat musibah !"   "Bukankah waktu itu tak seorangpun berhasil meloloskan diri dari dalam keadaan hidup?"   Tanya Pek in tercengang.   "Enmmmmmm . .. .!"   Lantas mengapa kau katakan kali itu terjadi kekecualian ?"   "Yaaa, sebab empat sobat karib dari Pian tayhiap juga turut tewas ditempat kejadian."   Pek in lantas memahami yang dimaksudkan bisiknya.   "Kalau begitu cerita orang tentang ia tidak membunuh marga lainpun tak bisa dipercaya ?"   Pak gi mendengus dingin.   "Hemmmm menurut pendapatku waktu itu keempat sobatnya pasti bertugas untuk melindungi sanak keluarga tayhiap, bila Lok hun pay tidak membunuh keempat orang itu terlebih dahulu, tentunya tujuannya tak akan tercapai."   Pek in seperti baru memahami akan sesuatu, dia lantas berseru tertahan.   "Ooooh, tak heran kalau kau tak bercerita pada Cu peng bahwa kau telah terima Lok hun pay, rupanya kau juga khawatir bila teman temanmu ikut tewas dalam peristiwa ini!"   "Persoalan ini adalah persoalan keluarga Sun, kami tidak berhak untuk menyeret teman-teman karib kita masuk keliang api, apa lagi aku masih berkeyakinan sanggup untuk menghadapi Lok hun pay!"   Pek in termenung beberapa waktu lamanya, mendadak sambil merendahkan suaranya dia berbisik.   "Pek gi apakah kamu sudah mempunyai rencana untuk anak kita?"   Menyinggung soal anak, pikirannya Pek gi menjadi kacau sekali.   Selama beberapa hari belakangan ini ia tinggal sendirian didalam kamar bukunya di loteng sebelah selatan, tak lain ia sedang memikirkan cara yang baik untuk menyelamatkan anaknya yang baru berusia lima tahun itu, tapi sayang, sekalipun ia sudah memeras otak ternyata tak sebuah carapun yang didapatkan.   Tadinya dia paling kuatir bila istrinya menyinggung soal itu, apa mau dibilang justru masalah itu tak bisa dihindari lagi.   Ketika ia tidak membuka suara, Pek in segera mengerti maksudnya, maka ujarnya kemudian "Aku selama ini merasa takut lantaran memikirkan soal anak kita, Pek gi kalau toh bocah itu mau mengikuti mak inang dan lagi mak inang bukan orang persilatan maka aku pikir."   Belum habis ucapan itu diutarakan mendadak dari luar ruangan sudah terdengar suara tawa menyeramkan menyusul seorang berkata.   "Kalian suami istri tidak usah berkhayal yang bukan bukan, apalagi mengantar anakmu keluar dari sini, aku akan memberi kabar pula kepadamu, sobat karib kalian itu sudah tahu akan persoalan ini !"   Sambil menyambar pedangnya Sun pak gi melompat bangun. Tapi orang diluar ruangan itu sudah berkata lagi sambil tertawa seram.   "Orang she Sun, lohu menganjurkan kepadamu lebih baik gunakanlah kesempatan selama beberapa hari ini untuk bersenang senang, sampai waktunya lohu akan datang lagi, selamat tinggal !"   Dengan geram Pak gi menancapkan kembali pedangnya ke tanah, kemudian tidur lagi.   Kiranya setelah mengucapkan selamat tinggal tadi, orang itu sudah berada sepuluh kaki jauhnya, Pak gi tahu dikejarpun percuma maka dia tidak memperdulikan orang itu lagi.   Sementara itu Pek-In sudah bangun dan berduduk, tanyanya kemudian.   "Pak gi, apakah Lok hun pay pribadi yang datang ?"   Pek gi termenung sebentar lalu menggeleng.   "Sulit dikatakan, pokoknya orang itu sudah pasti adalah manusia cecunguk yang takut bertemu orang !"   "la bilang sobat kita sudah mengetahui kejadian ini...."   "Yang dimaksudkan pastilah saudara Ngo-kian !"   Sela Pek-gi, Pek-in tak dapat membendung rasa gembiranya lagi, cepat dia berseru.   "Jika kita bisa memperoleh bantuan dari saudara Ngo-kian, mungkin saja..."   Pek gi menghela nafas panjang, tukasnya.   "Semoga saudara saudaraku itu amat cerdik, dan tidak datang kali ini...!"   Pek in mengerti kalau dibalik ucapan tersebut Pek gi menaruh maksud lain, katanya kemudian..   "Saudara saudara kita tak mungkin tidak datang !"   Aaai... tahu begini, aku tak akan menyebar undangan untuk mengundang mereka semua kemari."   Pek in segera menghibur.   "Kau toh sudah tahu kalau Lok hun pay melaksanakan rencananya dengan matang, sekalipun kau tidak mengadakan perayaan ini, dia pun pasti mempunyai akal lain untuk mengumpulkan mereka semua, apalagi tanggal enam belas nanti adalah ulang tahunmu yang keempat pulun lima, saudara Ngo kian dan teman teman sehidup sematimu masa tak akan berdatangan? Pak gi kau tak usah banyak berpikir lagi!"   Pak gi segera menghela nafas panjang.   "Aaaai... adik In, teman sehidup sematiku bukan cuma saudara Ngo Kian seorang.."   "Pak gi, jangan membicarakat soal ini lagi"   Tukas Pek in.   "sekarang hari sudah malam, hayo kita pergi tidur !"   Maka suami istri berduapun tidak berbicara lagi, mereka terbungkam dalam seribu bahasa. Suara kentongan keempat berkumandang dari kejauhan sana, tiba tiba Pak gi berbisik lagi.   "ln, kau apakah sudah tidur ?"   Pek in tertawa getir.   "Aku ingin tidur, tapi mataku tak terpejam."   Pak gi tertawa pula, tiba-tiba ia berkata riang.   "In, kita benarbenar merasa kuatir yang berlebihan, kita masih harus dihadapkan dengan beberapa masalah besar, buat apa mesti membayangkan yang bukan-bukan? Yang penting sekarang adalah menghimpun tenaga untuk menghadapi musuh.   "Tadi, dari saudara Ngo kian aku menjadi teringat dengan Mo toako, sudah tujuh tahun aku tak pernah berhubungan dengannya, kejadian ini membuat aku sangat tidak tenang !"   Berbicara sampai disini, Pak gi lantas tertawa lebar, katanya lebih jauh.   "Cuma beginipun ada baiknya juga, kalau tidak seperti kejadian tempo hari, bila dia tahu, mungkin sedari tadi tadi sudah berangkat kemari, bukankah hal mana malahan akan menambah risaunya hatiku !"   "Seandainya Mo toako ada disini, mungkin keadaannya akan sedikit berubah !"   Bisik Pek in. Pak gi berpikir sejenak, lalu menjawab.   "Mungkin, aku tahu ilmu silat dan tenaga dalam yang dimiliki Mo toako memang tiada tandingannya didunia ini!"   Pek In kembali menghela nafas sedih.   "Aku tebak dia tak akan datang menjenguk diri kita lagi !"   Mendengar itu, Pek gi menjadi tertegun.   "Darimana kau bisa berkata demikian ?"   Pek In menghela nafas, sambil gelengkan kepalanya berulangkali ujarnya.   "Tidak apa apa, aku hanya merasa selama tujuh tahun belakangan ini dia sama sekali tak ada kabar beritanya, kini kita sedang berada diambang pintu antara mati dan hidup, mana mungkin dia bisa datang untuk berjumpa lagi dengan kita ?"   Pek gi sama sekali tidak menangkap arti lain dibalik ucapan istrinya itu, sambil tertawa katanya.   "ln, aku tak mau menyerah dengan begitu saja atas pertarungan yang bakal berlangsung malam Tiong-ciu nanti, setelah fajar nanti, aku akan melakukan persiapan yang matang, aku bertekad akan melangsungkan pertarungan terbuka melawan Lok hun pay tersebut !"   "Benar, aku percaya dengan kerja sama kita berdua, belum tentu ia bisa memenangkan diri kita berdua...."   Belum habis berkata, tiba tiba Pek gi melompat turun dari ranjang, cepat cepat mengenakan sepatu mencabut pedangnya dan berbisik.   "Adik In, diluar ada orang yang datang, apakah kau sudah siap dengan Hui im seng sik (Batu bintang awan bertebangan)mu itu ?"   Pek in mengangguk, dari balik bantalnya dia mengeluarkan tiga biji Hui im seng sik yang paling diandalkan selama ini, kemudian sahut nya kepada Pek gi.   "Serahkan saja bagian depan kepadaku !"   "Hati hati adik In !"   Berbicara sampai disitu, Pak gi lantas menyelinap ke jendela belakang.   Pada waktu itulah terdengar hembusan angin tajam dari luar jendela, tampaknya bukan cuma seorang saja yang datang mendekati pintu depan, sambil menggigit bibir, Pek in segera menggetarkan tangannya kedepan, sambil melontarkan Hui im seng siknya, dia membentak gusar.   "Kawanan tikus yang bernyali besar, makan batu ini..."   Belum habis dia berkata, orang diluar ruang an sudah berseru.   "Serangan yang hebat, enso, beginikah cara menyambut kedatangan tamu ?"   Mendengar seruan itu, merah padam selembar wajah Pek in karena jengah, sebaliknya Pak gi bersorak gembira, dia melompat ke depan pintu dan siap membuka pintu.   "Setan gegabah !"   Pek in segera mengomel dengan gelisah.   "tutup baik baik pintu itu, berpakaian dulu sebelum keluar !"   Pak gi tertawa, dari almari mereka mengeluarkan pakaian, sambil dikenakan ia berjalan keluar. Belum lagi buka suara, orang yang berjalan malam diluar kamar itu sudah berkata lagi.   "Bagus sekali toako, Cupeng bilang kau berada dikamar kecil diloteng sebelah selatan, kami lima bersaudara tidak sabar menunggu dia memberi laporan dan langsung menuju keloreng sebelah selatan, siapa tahu ditempat itu tidak kami jumpai toako."   Dalam cemasnya longo mengira telah terjadi sesuatu, dia mengajak Lo su dan Cupeng melakukan pencarian ke empat penjuru, sedang kami bertiga menguatirkan keselamatan enso dan keponakan, maka buru buru menyusul kemari.   "Sekalipun kedatangan kami ini terhitung gegabah sehingga mengejutkan nyenyaknya tidur toako dan toa so, semestinya tak sampai membuat kemarahan enso sehingga mau mencabut nyawa kami dengan batu saktinya bukan !"   Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Pek gi tidak memberi komentar apa apa, dia hanya tertawa belaka.   Pek in yang berada dalam ruangan dapat menangkap arti Iain dari perkataan itu, malu nya bukan kepalang, meski begitu dia cukup mengetahui watak orang itu, dia tahu semakin kau merasa jengah makin runyamlah keadaannya.   Untung saja mereka terpisah oleh dinding kamar dan tak saling berhadapan muka, maka meski dihati jengah diluar dia berkata.   "Tong losam, kuberitahu kepadamu, apabila beberapa butir batu dari ensomu saja tak sanggup kau sambut, maka ada baiknya sedari malam ini jangan menguping lagi pembicaraan orang !"   Tong losam membuat muka setan ke arah Pak gi, kemudian tertawa terbahak bahak. - ooo0dw0ooo-   Jilid 3 "HAAH ..,..haaaah....tak heran kalau toako tidak berani !"   Ucapan yang tiada ujung pangkalnya ini segera membuat Pek-gi menjadi tertegun. Pek-in tahu kalau Tong losam bermaksud menjebak, dengan cepat dia berseru.   "Pek-gi jangan sampai tertipu, tak usah perdulikan ucapan Tong losam, cepat undang saudara Ngo-kian menuju ke ruang depan, aku sebentar akan menyusul ke sana."   Sayang perkataan itu agak terlambat, Pek gi sudah keburu bertanya kepada Tong losam.   "Samte, kau bilang aku takut apa ?"   Tonglosam tertawa tsrbahak-bahak.   "Haah... haa... aku tahu, kau pasti tak berani untuk tidur seorang diri lagi di loteng selatan."   Pak gi cuma tertawa masam.   "Sam-te, kau benar benar jahil mulutnya, hayo jalan, kita menuju ke ruangan depan."   "Benar, kalau enso sudah ada perintah, yang menjadi toaka mana berani membangkang ? cuma..."   Setelah berhenti sejenak, dia lantas menarik baju Pak gi seraya berkata.   "Cuma dalam gugupnya tadi, rupanya toaka sudah salah memakai pakaian, perlu tidak untuk berganci pakaian dulu baru ke ruang depan ?"   Pak gi menundukkan kepalanya dan memeriksa pakaiannya, kemudian sambil tertawa tergelak serunya.   "Baiklah, aku akan tukar pakaian dulu, kalian berangkat sana ke ruang depan, sekalian beri kabar kepada Su te, ngo te dan Cu peng,kebetulan aku ada urusan..."   "Benar !"   Tukas Tong losam "kita akan berangkat duluan, toako dan enso berpakaian dulu kemudian baru berangkat bersama."   Sehabis berkata, sambil tertawa terbahak bahak dia menarik Kim lotoa dan Gin loji untuk berangkat meninggalkan tempat itu, sedangkan Pak gi sambil gelengkan kepalanya kembali kekamarnya.   Setelah Ngokian bersaudara berkumpul pada malam itu juga diadakan perundingan rahasia, mereka bertekad untuk berusaha keras mendesak Lok hun pay sehingga menampakkan wajah asIinya.   Sampai waktunya, Kim lotoa, Gin loji dan Tong losam akan di tugaskan untuk menjaga pintu yang menghubungkan depan dan belakang gedung, sedangkan Thi losu dan eik longo bertugas menjaga ruang dalam.   Congkoan bangunanan itu Lu Cu peng ditugasi untuk melindungi Sun Tiong lo, bocah berusia lima tahun yang merupakan satu satunya keturunan dan Pak gi.   Sedangkan Sun Pak gi suami istri akan bekerja sama untuk menghadapi Lok hun pay.   Bahkan Pakgi berpesan kepada Lu Cu-peng kurang lebih kentongan kedua pada malam Tiong ciu itu, dia harus berusaha untuk mengajak kawan-kawan persilatan guna berpindah ke Tay peng-tay di atap loteng sebelah selatan untuk menikmati rembulan.   Dengan demikian, seandainya Lok hun pay turun tangan kepada mereka sekeluarga, kejadian ini tak akan sempat mengejutkan sahabat-sahabat persilatan lainnya, dengan demikian akan terhindar banyak korban yang berjatuhan.   - ooo0dw0ooo- BULAN DELAPAN TANGGAL LIMA BELAS, setelah matahari terbenam dan malam hari menjelang tiba, perjamuan diruang tengah telah di mulai, suana diliputi riang gembira.   Sekalipun hari belum sangat gelap, namun cahaya lampu telah menerangi seluruh ruangan.   Lu Cu peng dengan kedudukannya sebagai seorang congkoan bertugas mengurusi berbagai upacara.   Kentongan kedua baru lewat, pesta telah usai, tapi suasana tetap tenang tak terjadi apa apa.   Lu Cu peng segera mengerling ke wajah Sun pak gi untuk memastikan petunjuknya.   Sun Pak gi manggut-manggut, maka Lu Cu peng segera menitahkan anak buahnya untuk menyiapkan segala sesuatunya, tak lama kemudian dari atas loteng sebelah selatan telah berkumandang suara irama musik yang merdu merayu.   Sun pak gi segera bangkit berdiri, setelah menjura keseluruh ruangan, katanya sambil tertawa.   "Aku merasa berterima kasih sekali kepada saudara sekalian atas kesudian kalian untuk menghadiri perjamuan ini, sudah banyak tahun kami berkelana dalam dunia persilatan, selama ini berkat bantuan dari kalian membuat kami berhasil mencapai kedudukan seperti saat ini, untuk itulah kami sengaja mengadakak perjamuan ini sebagai rasa terima kasih kami kepada bantuan saudara sekalian.   "Selain daripada itu, kamipun ingin menggunakan kesempatan ini untuk menyampaikan suatu kabar, atas persetujuan kami suami istri berdua, maka sejak malam ini kami akan mengundurkan diri dan keramaian dunia persilatan.   "Semua masalah yang menyangkut budi dendam dalam dunia persilatan mulai detik ini akan kami lepas dan tidak mencampurinya lagi, kami mohon bila dimasa lalu ada kesalahan yang telah kami lakukan, harap kalianpun sudi memaaafkan."   Berbicara sampai di situ, Sun Pak gi suami istri segera menjura dalam-dalam kepada semua jago yang berada dalam ruangan. Selesai memberi hormat, Sun pak gi berkata kembali.   "Hari ini adalah malam Tiong ciu, selagi bulan purnama kitapun bisa berkumpul-kumpul, sengaja kami sediakan irama musik di loteng selatan, harap saudara sekali bersedia untuk beranjak kesana untuk menikmati keindahan rembulan bersama sama !"   Setelah berhenti sejenak, kepada Lu Cu peng katanya.   "Saudara Cupeng, tolong temanilah para tamu untuk naik dulu ke loteng selatan, siaute akan berganti pakaian dulu kemudian baru menyusul ke sana."   Lu Cu peng segera mengiakan, dia lantas mempersilahkan para tamunya menuju keloteng selatan.   Sepanjang jalan tampak para tamu berbisik-bisik membicarakan masalah pengunduran diri Sun pak gi suami istri, rupanya mereka tidak habis mengerti kenapa suami istri berdua itu mengundurkan diri dari keramaian dunia persilatan.   Dalam ruang tengah sudah tak ada orang lain Tidak ! Ternyata masih ada tiga orang, dua wanita dan seorang lelaki.   Baru saja Sun pak gi akan mempersilahkan ketiga orang itu, tiba-tiba mereka beranjak dan menghampiri ke hadapan mereka berdua.   Waktu itu dalam ruangan tersebut selain dua orang pelayan, hanya tinggal ketiga orang itu dan Sun pak gi suami istri, lima bersaudara Ngo kian telah mengundurkan diri untuk menjaga pintu pintu utama.   Dari tiga perempuan seorang pria itu, seorang adalan nenek yang telah berambut uban, seorang perempuan setengah baya yang cantik dan seorang lelaki yang ternyata masih bocah, usianya antara tujuh tahun, rupanya mereka berasal dari satu keluarga.   Ketika itu, si nenek memandang sekejap ke arah Pak gi suami istri, kemudian tegurnya.   "Sun tayhiap, tentunya kau tahu bukan siapakah diriku ini ?"   Sun Pak gi memandang sekejap kearah mereka, kemudian jawabnya.   "Ketika tiba tadi, aku mendapat laporan dari pelayan yang mengatakan orang tua adalah Yan sian po dari Han san, oleh karena aku dengar Sian po telah mengasingkan diri untuk melatih suatu ilmu, maka aku tak berani mengganggu..."   Yan sian po tertawa dingin, katanya.   "Sungguh tajam pendengaranmu seandainya aku bukan lagi melatih ilmu, sendiri dulu dulu aku sudah datang mencarimu !"   Berbicara sampai disitu, dengan wajah dingin bagaikan salju dia menuding kearah bocah cilik dan perempuan setengah baya itu, kemudian katanya lagi.   "Dia adalah putriku Yan Tan hong, sedang dia adalah cucu luarku pauji, tentunya kau kenal mereka bukan?"   Pak gi menjadi tertegun, sesungguhnya ia sudah tidak teringat lagi dimanakah pernah berjumpa dengan Yan lihiap ini, cuma lantaran Yan sian po bertanya demikian, mungkin saja mereka juga pernah berjumpa, cuma sementara itu Yan Tan-hong telah melirik sekejap Vearah pak gi dengan sinar mata sedih, kemudian tegurnya.   "Jangan jangan Sun tayhiap sudah lupa ?"   Buru buru Pak gi tertawa paksa.   "Maaf lihiap, kalau aku sudah lupa..."   Yan Tan-hong segera menghela nafas panjang, katanya.   "Tujuh tahun berselang, ketika keluarga Mo dari Ang liu ceng sedang merayakan ulang tahun Mo tayhiap yang ke empat puluh, kau telah minum arak sampai mabuk sehingga..."   Pak gi segera teringat kembali dengan kisah tersebut, buru buru dia menjura kepada perempuan itu seraya berkata.   "Seandainya lihiap tidak menyinggung soal ini, hampir saja aku melupakan kejadian tersebut, setelah kejadian aku memang dengar Mo toako bercerita, katanya malam itu dalam mabuknya aku bukan kembali ke ruangan penerima tamu sebaliknya telah salah masuk ke loteng bagian belakang."   "Untung saja lihiap tidak menjadi marah akibat kelancangan itu bahkan memberi pertolongan, Menanti aku mengetahui duduknya persoalan, ternyata lihiap sudah meninggalkan keluarga Mo, sehingga aku tak bisa menyampaikan rasa terima kasinku."   Yan Sian po yang msndengar perkataan itu menjadi naik pitam, segera bentaknya.   "Kau... kau.... apa kau bilang?"   Walaupun paras muka Yan Tan hong juga berubah sedingin es, tapi ia mencegah ibunya berbicara.   "lbu, bukankah kita telah berjanji, persoalan ini akan kuselesaikan sendiri? Baru saja dimulai, ibu sudah marah..."   Yan sian po mendengus dingin, sambil memandang kearah Sun pak gi serunya.   "Budak bodoh, apa kau tak bisa mendengar perkataannya itu?Sungguh jengkelkan !"   "Ini !"   Kata Yan Tan liong lagi dengan kening berkerut.   "entah apapun yang dia katakan, dapatkah kau jangan mengurusi dulu!"   Yan sian po menggigit bibirnya menahan emosi, kemudian sambil menghentakkan tongkat bambunya ke tanah berkata.   "Baik, baik, akan kulihat dengan cara apakah kau hendak menyelesaikan persoalan ini!"   Selama perbedaan itu berlangsung, Pek in cuma berdiri disamping tanpa mengucapkan sepatah katapun, tapi ia bisa menduga apa yang sesungguhnya telah terjadi, cuma dia tak ingin banyak berbicara pada saat ini, maka perempuan ini hanya mengawasi jalannya peristiwa itu saja.   Ketika sorot matanya dialihkan ke wajah bocah lelaki itu, hatinya segera tergetar, parasnya bocah itu terlalu mirip, sangat mirip sekali dengan wajah Sun Pak gi.   Tapi dalam kenyataannya dia tak dapat menerima kenyataan tersebut bukan lantaran cemburu, tapi dia percaya suaminya tak mungkin bisa melakukan perbuatan semacam ini.   Akan tetapi ketika melihat wajah sang bocah dan mendengarkan ucapan perempuan itu, banyak sekali titik kecurigaan yang ditemukan olehnya, hal mana membuat Pek In mau tidak mau harus berpikir.   "Aaah! Masa ada kejadian yang begini kebetulan ? Tidak, aku harus menyelidiki persoalan ini sampai jelas, kalau seandainya tidak benar, aku ingin tahu mengapa, seandainya benar, aku harus mengambilkan keputusan untuk ibu dan anak berdua !"   Baru saja dia berpikir sampai disitu, terdengar olehnya Yan Tan liong sedang memohon kepada ibunya.   "lbu, puteri mu ingin memohon satu hal kepadamu..."   Siapa tahu Yan siap po tidak menggubris perkataan itu, malahan sambil menggelengkan kepalanya dia berkata.   "Tungguhlah sampai urusan itu beres, kita baru bicarakan lagi!"    Tiga Dara Pendekar Siauwlim Karya Kho Ping Hoo Nona Berbaju Hijau Karya Kho Ping Hoo Bintang Bintang Jadi Saksi Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini