Bukit Pemakan Manusia 23
Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Bagian 23
Bukit Pemakan Manusia Karya dari Khu Lung "Itulah sebabnya kita harus cepat-cepat menyingkir dari sini, makin jauh semakin baik!" Tukas Cu San poo dengan cepat. Kembali Wong Pengci menggelengkan kepalanya berulang kali. "Soal pergi tentu saja kita akan pergi, tapi sebelum berangkat kita harus berunding dulu dengan sebaik-baiknya!" "Soal apa lagi yang perlu dirundingkan ?" Sambil tertawa Wong Pengci berkata kepada Gui Sam tong. "Duduklah lebih dulu saudara Gui, mari kita duduk sambil berbincang-bincang." Dengan perasaan apa boleh buat, terpaksa Gui Sam tong harus duduk kembali ke atas tanah. Dengan merendahkan nada suaranya, Wong Pengci segera berkata. "Menurut dugaanku, orang yang menguntit kita sekarang kemungkinan benar adalah si bocah keparat berbaju putih itu..." "Perduli siapakah dia, yang pasti dia bakal merenggut nyawa kita bertiga..." Tukas Cti San poo dengan kening berkerut. Wong Pengci memandang sekejap ke arah Cu San poo, kemudian berkata lagi. "Saudara Cu tak usah gelisah, maksud siaute orang yang menguntit perjalanan kita sekarang cuma satu orang!" Gui Sam tong masih saja belum memahami apa arti dari pembicaraan itu, katanya pula. "Berbicara menurut keadaan yang sedang kita hadapi sekarang hanya seorang saja sudah cukup untuk merenggut nyawa kita semua!" "Saudara Gui" Kata Wong Peng-ci sambil menggelengkan kepalanya berulang kali. "Siau-te bukannya tidak mengerti akan teori tersebut, maksud siaute adalah ingin memberitahukan kepada kalian berdua bahwa orang yang menguntit kita sekarang cuma sorang, padahal kita sekarang bertiga..." Setelah mendengarkan pembicaraan tersebut sampai disitu, dengan cepat Cu San poo dapat memahami maksudnya, dengan cepat dia menukas. "Jadi maksudmu, kita akan memisahkan diri untuk melarikan diri ketiga penjuru yang berbeda ?" Dengan cepat Wong Peng ci mengangguk. "Benar, benar, sebentar bila rasa lelah kita sudah hilang kita masing-masing naik kuda dan menempuh perjalanan yang berbeda, Aku percaya bocah keparat berbaju putih itu pasti akan dibikin tertegun ditempat persembunyiannya dan tak tahu apa yang mesti dilakukan!" Gui Sam-tong berpikir sebentar, kemudian mengangguk. "Yaa, cara ini memang sebuah cara yang bagus sekali." Katanya. Kemudian setelah berhenti sejenak, katanya lagi. "Tapi, kita harus berjumpa lagi dimana ?" Sebelum Cu San poo sempat menjawab, Wong Peng-ci telah berkata lebih dahulu. "Bagaimana kalau kita bersua lagi kota Kim leng?" "Kurang cocok." Tukas Cu San poo cepat. "menurut apa yang kuketahui loji mempunyai tempat persembunyian didalam kota Kim leng, Iebih baik jangan kesitu!" Gui Sam tong berpikir pula sejenak, kemudian katanya. "Kalau bisa tempat itu bukan suatu tempat yang terlalu diperhatikan orang, tapi tempat itupun jangan kelewat terpencil dari keramaian." "Ehmm,,." Wong Peng ci mengangguk. "sekarang Sun Tiong lo sekalian sedang pergi ke selat Wu shia, itu berarti loji sekalian pasti melewati pula jalanan tersebut, kita harus mengambil arah yang berlawanan bagaimana kalau kota Si ciu saja?" Dengan cepat Cu San poo dan Gui Sam tong menyatakan persetujuannya dengan cepat. "Apakah kalian berdua mengenal daerah kota si ciu?" Tanya Wong Peng ci lagi. Gui Sam tong segera menggeleng, sedangkan Cu San poo juga tidak mengucapkan apa-apa. Sambil berkata Wong Peng ci kembali ber-kata. "Dijalan raya sebelah selatan kota Si ciu terdapat sebuah rumah penginapan yang memakai merek Ki bok, kita bersua lagi ditempat itu saja, siapa yang sampai duluan harus menunggu sampai yang lain datang, setuju..." Dengan cepat Cu San poo menggeleng. "Bagaimanapun kita harus meninggalkan suatu batas waktu tertentu, jadi kitapun tak usah saling menunggu terus menerus." "Betul" Sambung Gui Sam poo pula. "bagaimanapun juga kita toh tak bisa menunggu sepanjang masa disitu?" Wong Peng ci termenung dan berpikir sejenak, kemudian katanya. "Kalau begitu begini saja, terhitung mulai besok, seratus hari kemudian merupakan hari yang terakhir kalinya, setelah lewat seratus hari maka orang yang sampai duluan tak usah menunggu lebih jauh!" Cu San poo serta Gui Sam tong segera menyetujui dan memutuskannya seperti apa yang dikatakan. Menyusul kemudian Wong Peng ci berkata lagi dengan suara setengah berbisik. "Kita harus naik kuda dan keluar dari hutan bersama-sama, kemudian berpisah secara tiba-tiba tanpa menghentikan kuda barang sedetik pun nah saudara Gui, jangan lupa kau berikan perintah untuk menyebutkan batas waktu dan tempat pertemuan buat kami berdua, agar bocah keparat itu bisa dikelabuhi!" "Tapi apakah bocah keparat berbaju putih itu bisa terkecoh?" Tanya Gui Sam tong sambil tertawa. "Tentu saja, agar keparat itu salah wesel dan harus melakukan perjalanan dengan sia sia..." "Baiklah, aku sudah mempunyai perhitungan kalian tak usah kuatir." Kata Gui Sam tong tertawa. Begitu persoalan telah diputuskan dan waktu istirahat sudah dirasakan cukup, mereka bertiga segera naik kuda dan melanjutkan perjalanan lebih jauh. Setelah keluar dari hutan, Gui Sam tong segera menurunkan perintahnya dengan lantang. "Saudara berdua bila urusan selesai, jangan lupa untuk segera berkumpul ke kota Seng tok karena masih ada urusan penting lainnya yang harus segera diselesaikan jangan melanggar batas waktu yang telah ditetapkan. Nah aku akan berangkat lebih dulu, kita bersua kembali di kota Seng tok !" Wong Peng ci dan Cu San poo mengiakan dengan hormat, kemudian mereka bertiga segera berpisah untuk melakukan perjalanan dengan melalui arah yang berbeda. - ooo0dw0ooo- Jilid 26 TAK LAMA setelah mereka berpisah, seekor kuda putih dengan seorang manusia berkerudung putih munculkan diri dari tempat persembunyian memandang bayangan tubuh Wong Peng ci, Cu San poo dan Gui Sam tong yang berpisah menuju ketiga sasaran yang berbeda, dia menggelengkan kepalanya berulang kali. Tak selang berapa saat kemudian, orang berbaju putih itu segera bergumam. "Perduli amat, asal aku menguntil orang yang memegang lencana naga tersebut, rasanya tak mungkin bisa salah lagi!" Bergumam sampai disitu, orang berbaju putih tersebut segera mencemplak kudanya dan mengejar di belakang Gui Sam tong. Belum lama setelah bayangan tubuh manusia berbaju putih itu lenyap dari pandangan raata, dari tempat kejauhan nampak Wong Pengci telah memutar kuda dan berjalan balik. Memandang ke arah jalanan yang ditempuh oleh Gui Sam-tong, dia menghela napas panjang. Menyusul kemudian, dengan nada menyesal bercampur minta maaf dia bergumam lagi. "Saudara Gui, jangan salahkan aku, siapa suruh kau adaiah orang yang membawa lencana perintah ?" Bergumam sampai disitu, Wong Peng ci segera melarikan kudanya berganti haluan, kali ini dia mengambil jalan kecil menuju ke arah lima propinsi di utara sungai besar. Cu San poo sendiripun dapat memahami persoalan tersebut setelah menempuh perjalanan sekian waktu, selain merasa terperanjat akan siasat busuk dari Wong Peng ci, diam-diam dia bersyukur atas nasibnya yang terhitung masih mujur. Oleh karena itu dia lantas menduga kalau janji Wong peng ci untuk bersua lagi di kota Si ciu tak lebih hanya janji kosong belaka, oleh karena itu Cu San poo pun segera berganti haluan pula, bukannya berangkat ke kota Si ciu, kali ini dia membalikkan kudanya menuju ke arah So khong. - ooo0dw0ooo- DALAM rumah penginapan kecil, mereka yang keluar rumah untuk mencari jejak Beng Liau huan dan pelayannya telah balik semua dan berkumpul kembali. Mereka semua hanya menggelengkan kepalanya sambil menghela nafas, karena usaha pencarian mereka hanya sia-sia belaka. Dalam keadaan apa boleh buat, kecuali diam-diam berdoa untuk keselamatan Beng Liau huan dan pelayannya, mereka tak berdaya apa-apa lagi. Maka tanpa sangsi mereka segera melanjutkan perjalanan semula. Tujuan mereka adalah selat Wu shia, karena Sun Tiong lo bertekad hendak menemukan Su Nio. Berbicara tentang Su Nio, siapapun tidak mengetahui dia telah bersembunyi di mana, jangan dibilang Sun Tiong lo sekalian, sekali pun Mou Tin hong sendiripun tak berhasil menemukan kabar berita tentang dirinya. Dia dan Kong It hong yang telah kehilangan ilmu silatnya telah lenyap tidak berbekas semenjak meninggalkan bukit pemakan manusia, dia pernah mengatakan tempat persembunyiannya tak mungkin bisa ditemukan orang. Nyatanya siapapun tak berhasil menemukan kemanakah dia telah pergi. - ooo0dw0ooo- RUMAH penginapan Kui peng dijalan raya sebelah barat kota Seng tok merupakan tempat berkumpulnya Sun Tiong lo sekalian Mereka memborong lima buah kamar kelas satu dihalaman sebelah timur. Sun Tiong lo menghela napas panjang, dia merasa kecewa sekali. Nona Kim yang berada di sampingnya cepat menghibur. "Engkoh Lo, kita tidak usah cemas, marilah kita memikirkan cara yang lain." "Aku tidak gelisah atau cemas" Sahut Sun-Tiong lo sambil tertawa getir. "cuma kecewa saja." "Kalau dilihat keadaan perkampungan yang porak poranda dan tinggal puing-puing yang berserakan, tampaknya paling tidak sudah ada berapa tahun tak berpenghuni lagi." Sun Tiong lo manggut-manggut. "Bukan cuma beberapa tahun saja, mungkin sudah mencapai belasan tahun lamanya." Nona Kim segera tersenyum. "Walaupun perkampungan itu sudah hancur lama sekali, akan tetapi tidak sia-sia juga perjalanan kita kali ini." Katanya. Hou ji dan Bau ji tidak habis mengerti dengan maksud ucapannya itu, dengan hampir berbareng mereka berseru. "Sepotong berita saja tak ada, mengapa kau mengatakan kalau perjalan kali ini tidak sia-sia belaka?" "Kalau berbicara soal Su Nio, tentu saja perjalanan kita kali ini adalah suatu perjalanan sia-sia belaka, tapi kalau berbicara soal berpesiar ke selat Wu shia serta menikmati keindahan alam yang ada disekelilingnya, maka kita perjalanan kita kali ini tak bisa dibilang suatu perjalanan yang sia-sia belaka." Sun Tiong lo yang berada disisinya segera memandang sekejap wajah nona Kim, lalu berkata. "Adik Kim, siapa sih yang berniat lagi untuk menikmati keindahan alam disana?" Nona Kim sama sekali tidak menanggapi ucapan mana, kembali dia berkata. "Harus diperhatikan kemurungan dan kekesalan apalagi keresahan tak ada manfaatnya terhadap persoalan yang dihadapi!" Sun Tiong lo tidak menanggapi ucapan itu, sebaliknya Bau ji segera menimbrung. "Nona, kami tak punya kegembiraan sebesar itu untuk turut mendengarkan obrolanmu itu!" "Baik!" Seru nona Kim kemudian dengan dingin. "kalau begitu silahkan kalian menikmati keresahan tersebut siapa tahu dari resah akan menjumpai suatu cara yang bagus untuk mengatasi persoalan yang sedang dihadapi..." Ucapan mana kontan saja memancing gelak tertawa dari semua orang yang hadir. Selesai tertawa, Hou ji lantas berseru lebih duluan. "Siau liong, aku rasa apa yang di ucapkan nona ini memang masuk akal juga, sekarang kita sedang berada di propinsi Szchuan, dengan Cing shia dan Go bi sudah tak jauh lagi, bila dapat menikmati pemandangan alam, sesungguhnya hal itupun merupakan suatu kegembiraan manusia yang tak bisa dibayar dengan uang berapa banyakpun !" Bau ji hanya tertawa belaka, dia tidak turut memberikan komentar apa-apa. Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Sun Tiong lo, segera sahutnya. "Benar, ada kalanya Thian bisa memberi bantuan yang besar bagi orang yang tidak berniat, hayo berangkat, mumpung hari masih pagi mari kita berangkat sekarang juga, mula-mula menengok ke Wu lalu mencari Siu." "Ya, Cingshia merupakan bukit yang memedihkan hati di dunia ini. Indah bukit Gobi merupakan bukit yang paiing indah di kolong langit. Jangan dilihat berbicara soal usia maka kecuali Nona Kim maka usia Sun Tiong lo paling muda, tapi bila sudah menghadapi persoalan entah persoalan apa saja, asalkan Sun Tiong lo telah berbicara maka delapan sampai sembilan puluh persen keputusan segera diambil. Begitulah, keputusan setelah diambil berangkatlah mereka menuju ke bukit Cing shia lebih dulu. - ooo0dw0ooo- GUI SAM TONG mencemplak kudanya dengan kencang menuju ke kota Seng tok di propinsi Szuchuan. Dia sudah tahu kalau manusia berkerudung putih itu masih saja menguntil dibelakangnya bagaikan sukma gentayangan saja. Setelah itu diapun menjadi paham apa sebab nya Wong Peng ci mengusulkan agar perjalanan dilanjutkan dengan berpisah saja. Tentu saja Gui Sam tong juga mengerti apa sebab Cu San poo menyetujui usul tersebut. Kali ini dialah yang menyaru sebagai pemegang lencana naga, sedangkan Wong Peng ci dan Cu San poo tak lebih hanya mengiringi belaka, bila perjalanan dilanjutkan dengan memisahkan diri, otomatis manusia berkerudung putih itu akan menguntil dia seorang. Walaupun Cu San poo telah memahami maksud tujuan dari Wong Peng ci ketika mengajukan usul tersebut akan tetapi berhubung dia bisa menggunakan kesempatan tersebut untuk menghindarkan diri pula dari pengejaran dan lolos dengan selamat, sudah barang tentu usul yang sangat baik itu tidak ditolaknya mentah-mentah. Mereka itu, sekarang tinggal dia seorang yang terjebak dalam keadaan yang sangat berbahaya, cepat atau lambat kemungkinan besar dia bakal di tangkap lawan. Berpikir dari sini, teringat mula akan janji Wong peng ci untuk bersua lagi dikota Si ciu, dia yakin seyakin yakinnya kalau apa yang diucapkan orang she Wong itu cuma tipu muslihat belaka. Tiba-tiba saja Gui Sam tong merasakan dirinya sangat menggelikan tapi diapun segera merasakan dirinya merupakan seorang manusia yang patut dikasihani. Lencana naga tersebut sebetulnya sengaja dia persiapkan dimasa lalu dengan maksud akan dipergunakan bila ia menghadapi ancaman bahaya maut, sekarang lencana itu telah di pergunakan, tapi hal itu justru membahayakan keselamatan jiwa sendiri, apakah hal ini tak mengenaskan bila dipikirkan kembali ? Dalam perjalanan yang ditempuh amat cepat, tanpa terasa Gui Sam tong telah berhasil memahami banyak persoalan. Setelah memahami persoalan persoalan tersebut, walaupun dia merasa agak gemas dan benci terhadap Wong Peng-ci dan Cu San poo, tapi nasi telah menjadi bubur, apa gunanya merasa gemas dan menyesal? Oleh karena itu, jalan pemikirannya segera dialihkan kembali ke masalah lain. Kuda dilarikan kencang-kencang, sementara itu pikiran Gui Sam tong pun berputar tak hentinya. Pelbagai kemungkinan melintas satu persatu didalam benaknya, diam-diam ia tertawa. Sejak berjalan seorang diri keributan, ia menyadari kalau dirinya tertipu sampai dia berhasil menemukan cara yang baik untuk mengatasi masalah itu, kudanya dibiarkan berlarian terus tiada hentinya. Menjelang malam tiba, sampailah dia disebuah kota kecil yang tak seberapa besar. Diapun mencari tempat penginapan turun dari kuda, membersihkan badan, beristirahat dan bersantap. Orang berkerudung putih itupun berbuat seperti dia, mencari penginapan turun dari kuda, membersihkan badan, beristirahat dan bersantap. Rumah penginapannya sama, cuma saja Gui Sam tong tinggal di halaman ruangan sebelah barat, sedangkan manusia berkerudung putih itu tinggal di sebuah kamar yang kecil dibagian depan. Setelah masuk ke halaman barat, minta air teh, arak dan nasi, Gui Sam tong tak terasa muncul kembali. Sedangkan manusia berkerudung putih memeriksa dahulu jalan mundur di sekitar rumah penginapan itu, kemudian baru mencari kamar. Rumah penginapan itu tidak mempunyai pintu belakang, manusia berkerudung putih tidak kuatir Gui Sam-tong melarikan diri dengan meninggalkan kudanya, atau paling tidak hal ini akan dilakukan bila sudah lewat tengah malam nanti. Sekarang, hari baru saja menjadi gelap, merasa tak perlu menguatirkan hal itu, sebaliknya Gui Sam tong ketika itu juga dia menyusun rencananya untuk berusaha meloloskan diri dari pengejaran lawan. Dengan cepat dia selesai bersantap, kemudian memanggil si pelayan untuk merundingkan persoalan ini. Satu dua tahil emas murni sudah cukup membuat seorang pelayan berganti nama marga, apalagi uang emas murni yang berada didalam peti besi Gui Sam-tong rata-rata sebesar sepuluh tahil tiap kepingnya, dengan sepuluh tahil uang emas sudah cukup membuat pelayan itu untuk menganggap Gui Sam-tong sebagai bapaknya, tentu saja apa yang diminta Gui Sam tong segera dipenuhi tanpa berpikir panjang. Tak lama kemudian pelayan itu telah kembali, sementara manusia berkerudung putih itu hendak menuju kebilik barat untuk melakukan pemeriksaan tiba tiba dia mendengar Gui Sam tong sedang berteriak keras. "Pelayan, cepat siapkan kudaku !" Begitu mendengar kata "menyiapkan kuda", manusia berkerudung putih itupun meminta kepada pelayan untuk menyiapkan kudanya pula. Tapi kuda milik Gui Sam tong telah dipersiapkan lebih dulu, tahu- tahu dia sudah melompat naik ke atas kuda dan melarikannya kencang-kencang... Walaupun kuda tersebut telah melakukan perjalanan seharian penuh, kalau diperhitungkan waktu beristirahat dan makan rumput hanya sebentar saja, namun lari kudanya sekarang ternyata masih tetap tangguh dan perkasa. Sementara itu kuda putih milik manusia berkerudung putih itupun telah dipersiapkan pula. Selesai membayar rekening, dia melompat naik ke atas kuda dan melarikannya kencang-kencang. Kuda putih itu boleh dibilang terhitung kuda pilihan yang jempolan, bila dibandingkan dengan kuda milik Gui sam tong maka kehebatannya satu kali lipat, sebab itu dia sama sekali tidak mempersoalkan apakah kudanya lelah atau tidak. Setelah melarikannya beberapa saat, dia telah berhasil menyaksikan kuda dan manusia yang sedang bergerak cepat di depan sana. Dalam waktu singkat belasan li sudah dilewatkan tanpa terasa. Mendadak peristiwa yang sama sekali tak terduga telah berlangsung, kuda putih yang ditungganginya itu mendadak meringkis tiada hentinya. Kemudian kuda itu berhenti berlari sekali pun dipecuti keras keras, ternyata kuda itu tak mau melangkah maju barang selangkahpun. Dalam pada itu orang yang berada di depannya lenyap tak berbekas dibalik kegelapan sana. Dalam keadaan seperti ini, manusia berkerudung putih itu segera menduga, apa gerangan yang telah terjadi. Cepat dia melompat turun dari kudanya dan memeriksa keempat kaki kuda tersebut. Begitu diperiksa, manusia berkerudung putih itu hampir saja semaput saking gusarnya. Ternyata terdapat dua batang bambu tajam yang telah menancap kedalam telapak kaki kuda tersebut. Tak heran kalau kuda tersebut bisa lari cepat pada mulanya, tapi lama kelamaan larinya makin pelan sebelum akhirnya sama sekali terhenti, rupanya ada bambu yang telah menancap sampai begitu dalam, Dengan perasaan mendongkol manusia berkerudung putih itu segera mencabut keluar bambu tersebut, tapi kuda putihnya telah berubah menjadi kuda pincang, jangankan suruh dia berlari kencang, sekalipun dituntun balikpun jalannya pincang dan sempoyongan. Dengan begitu manusia berkerudung putih tersebut tak bisa melanjutkan perjalanan lagi, untuk kembali ke kota semula percuma, setelah berpikir sebentar akhirnya dia meneruskan perjalanannya kedepan dengan selangkah demi selangkah, puluhan li kemudian ia baru sampai di kota kecil terdepan. Kalau dia berjalan kedepan, maka mimpipun dia tak menyangka kalau Gui Sam tong justru berjalan kearah yang berlawanan. Bukan cuma melakukan perjalanan yang berlawanan saja, bahkan waktu itu dia sudah berada dua puluh li lebih dari tempat semuIa. Ternyata "Gui Sam tong" Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Yang memancing kepergian si manusia berkerudung putih untuk mengejarnya itu tak lain adalah hasil penyaruan dari si pelayan. Setelah pelayan itu mengenakan pakaian, sepatu dan menunggang kuda milik Gui Sam tong, dia segera kabur meninggalkan rumah penginapan itu dan melarikan kudanya cepat cepat menjauhi kota tersebut. Sebelum bertindak, tak lupa secara diam diam ia membuat suatu "kejutan" Dengan mengerjai kuda milik manusia berkerudung putih itu. Kemudian dikala manusia berkerudung putih itu melompat naik ke atas kudanya untuk melakukan pengejaran, Gui Sam-tong dengan mengenakan pakaian milik si pelayan dan menunggang kuda lain yang telah dipersiapkan dengan tenangnya meninggalkan rumah penginapan itu untuk menyelamatkan diri. Perjalanan yang ditempuh Gui Sam tong adalah jalan kecil yang menuju kearah berlawanan, tak heran kalau kabar beritanya segera terputus dan lenyap tak berbekas. Menanti si orang berkerudung putih itu berganti kuda di dusun terdepan dan melanjutkan pengejarannya, dia menjadi bodoh. Bagaikan uap yang naik ke angkasa saja, kabar berita Gui Sam- tong lenyap tak berbekas. Bagaimanapun si manusia berkerudung putih itu mencari berita, ternyata tak seorang manusiapun yang melihat ada seorang manusia berbaju emas melalui jalanan itu. Berada dalam keadaan begini, dia lantas menyadari apa gerangan yang telah terjadi, buru-buru dia mencemplak kudanya dan kembali ke rumah penginapan semula. Waktu itu, si pelayan telah pulang kembali, dia hafal dengan jalanan disekitar situ, setelah berputar satu lingkaran dia telah balik kembali ke rumah penginapan. Kuda dan segala pakaian milik Gui Sam tong telah dilenyapkan jejaknya oleh si pelayan atas petunjuk dari Gui Sam tong, dalam keadaan begitu mana mungkin ia bisa menemukan jejaknya ? Apalagi kuda telah disimpan ke tempat lain, pakaian telah dibakar dan peti besi kosong ditanam kedalam tanah, bayangkan saja mana mungkin benda-benda itu dapat ditemukan lagi? Tak heran kalau manusia berkerudung putih itu sama sekali tidak berhasil menemukan berita apa-apa, meski dia telah berusaha untuk mengorek berita dari pelayan rumah penginapan itu. Atas petunjuk dari Gui Sam tong, pelayan itu menjawab begini. "Ooh, kedua orang teman tamu itu sudah sampai duluan disini, merekapun berdiam dibilik sebelah barat." Setelah mendengar ucapan tersebut, mau tak mau manusia berbaju putih itu harus mempercayai juga. Ia tak menyangka bakal mengalami nasib sial, ibaratnya "perahu yang karam di pecomberan" Rasa gemasnya benar-benar telah merasuk sampai ketulang sumsum. Kalau hanya soal itu saja masih mendingan yang lebih runyam lagi adalah ia begitu yakin dengan kemampuannya, sehingga belum apa-apa dia telah mengirim kabar itu ketangan Lok hun pay melalui burung merpati, sekarang bagaimanakah pertanggungan jawabnya? Sejelek-jeleknya menantu, akhirnya akan bersua juga dengan sang mertua, bagaimana pun runyamnya keadaan akhirnya harus diatasi juga, masih untung dia mempunyai tulang punggung, sehingga tidak akan sampai terjadi peristiwa yang akan menimbulkan kerugian besar baginya. - ooo0dw0ooo- SAMBIL menuding ke arah puncak tebing dikejauhan sana, Sun Tiong lo berkata. "Mirip tidak adik Kim?" "Yaa... mirip sekali, sungguh aneh sekali!" Kata nona Kim sambil menghela napas. Sun Tiong lo tertawa. "Apakah ingin naik keatas? Konon di atas tebing Kim pian gay terdapat dewanya." "Seandainya benar benar ada dewanya, dan lagi bersedia membantumu apakah kau ingin naik kesitu?" Tiba-tiba nona Kim bertanya: Tanpa berpikir panjang lagi Sun Tiong lo menggelengkan kepala. "Tidak, aku tak ingin pergi!" "Kenapa tak ingin pergi?" Nona Kim tertawa manis. "apakah tak pernah kau dengar, bila seorang bisa belajar ilmu gaib hingga tingkat ke sembilan, maka dia bisa naik ke langit?" Sun Tiong lo segera tertawa tergelak. "Haahh, .haaahh....haaahh..." Ucapan itu hanya merupakan suatu sindiran terhadap orang yang kelewat kemaruk harta sehingga mementingkan diri sendiri, masa kau bisa menganggapnya serius?" Nona Kim segera mengerling sekejap kearahnya, kemudian ujarnya lebih jauh. "Aku tidak ambil peduli terhadap persoalan-persoalan semacam itu, aku cuma ingin bertanya kepadamu, mau ikut ke situ atau tidak?" "Selama dendam sakit hati belum terbalas, apa gunanya bertapa menjadi dewa ?" Kata Sun Tiong lo kemudian dengan wajah serius. Nona Kim segera menundukkan kepalanya rendah-rendah, dia terbungkam dalam seribu bahasa. Mereka yang terlibat akan keblinger, mereka yang menonton akan lebih jelas, tiba tiba Hou ji berkata. "Nona aku berani menjamin bila Siau Liong berhasil menuntut balas, dan bila nona mengajukan lagi pertanyaan yang sama, maka jawaban yang diberikan olehnya pasti akan sangat mencocoki hati nona !" Ucapan mana kontan saja membuat Sun Tiong lo menjadi memahami sesuatu, dengan cepat dia menundukkan kepalanya. Semuanya berjumlah empat orang yang berada di situ, diantara mereka Houji paling jarang berbicara, tapi sekarang ada dua orang yang sedang termenung. Houji merasa tanggung jawab mereka sangat berat, maka sesudah berhenti sejenak kembali sambungnya lebih jauh. "Kalau ingin naik ke atas tebing Kimnian gay lebih baik baik besok pagi saja, sekarang hari sudah malam, udara diatas pegunungan amat dingin, berbicara sebenarnya, kita harus mencari tempat pemondokan lebih dulu, seusai bersantap barulah melanjutkan perjalanan lagi" Walaupun nona Kim berjiwa sempit, tapi dia tahu tadi Sun Tiong lo masih belum memahami pertanyaannya dan tak bisa disalahkan. Oleh karena itu, untuk memecahkan keheningan yang mencekam tempat itu, katanya kepada Houji sambil tertawa. "Kalau engkou Hou mah yang diurusi melulu makanan, memangnya kau kuatir tak mendapat makanan ?" "Omong cosong, kalau harimau berada di bukit terpencil mana dia pernah kuatir kekurangan makanan ?" Seru Hou ji sambil menirukan gaya seekor harimau. "Masa kau ingin makan orang ?" Nona Kim tertawa. Houji segera tertawa terbahak-bahak. "Haaahh... haaahh... haaahh... haaah... sekarang andaikata hadir Lok hun pay di depan mata, masa kau hendak mencegah aku untuk melahapnya?" Nona Kim segera tertawa cekikikan, Sun-Tiong lo ikut tersenyum, cuma Bau ji seorang yang tidak tertawa maupun bicara. Hou ji memandang sekejap wajah Bau ji lalu katanya. "Toate, menurut pendapatku kita akan mencari tempat pemondokan dimana?" Setelah ditanya, mau tak mau Bau ji harus menjawab. "Lebih baik mencari toan atau kuil..." "Jangan... jangan, lebih baik kita mencari rumah penduduk biasa saja,"seru Hou jie sambil menggelengkan kepalanya berulang kali. Bau ji berpaling dan memandang sekejap kearah Hou ji, tanyanya. "Ada alasannya?" Hou ji mengangguk. "Tentu saja, kuil pendeta atau tokoan cuma dihuni kaum beragama saja, hidangan yang tersedia pun cuma sawi putih dan tahu, padahal kalau harimau naik gunung, dia enggan makan sayur- sayuran, masa sepanjang hidup aku mesti berpantang makanan berjiwa terus? Hayo berangkat." Begitu mengatakan berangkat, dia segera berjalan lebih dahulu di paling depan. Bukit Cing shia, bagi Hou ji boleh dibilang merupakan jalanan yang sering kali dilewatinya dan hapal sekali." Dulu, dia pernah mengikuti Ku Gwat cong berkunjung ke situ, bahkan kunjungan itu berlangsung berulang-ulang. Di bawah tebing Kim pian gay terdapat beberapa rumah pemburu, diantara mereka hampir sebagian besar merupakan teman karib Ku Gwat cong, tentu saja dengan Hou ji pun boleh dibilang kenalan lama. Setelah membeloki tikungan bukit, lembah Cui kok telah berada didepan mata, pemandangan alam disitu amat indah dan mempesonakan hati setiap orang yang memandangnya. Di situ berdiri tiga-lima buah rumah gubuk. diantaranya tumbuh pepohonan cui pak yang tinggi dan lebat, betul-betul suatu tempat tinggal yang menawan hati. Ketika tiba didepan sebuah rumah yang berpagar bambu, Hou ji berhenti secara mendadak. Kemudian kepada rekan-rekannya dia berkata. "Majikan dari rumah ini she Si, sudah berapa generasi berdiam disini, menurut keterangan dari guruku si pengemis tua, banyak- banyak tahun berselang keluarga Si adalah suatu keluarga persilatan yang amat termasyur." "Mungkin disuatu saat telah terjadi peristiwa hingga akhirnya mengundurkan diri dari keramaian dunia dan hidup mengasingkan diri diatas bukit ini, Tak usah kuatir, kujamin kalian bakal mendapat hidangan dan arak yang lezat, cuma kalau berbicara haraplah sedikit berhati-hati." "Apa yang harus diperhatikan ?" Tanya nona Kim cepat. "Jangan membicarakan soal budi dan dendam didalam dunia persilatan." Kata Hou-ji serius Nona Kim segera mengiakan. sedangkan Sun Tiong lo serta Bau ji tidak mengatakan sepatah katapun. Selamanya, Bau ji jarang berbicara, sedang Sun Tiong lo cukup mengetahui keadaan, karena itu Hou ji merasa amat berlega hati. Maka diapun mendekati pagar bambu dan mengetuk pelan, dia seperti kuatir menganggu tuan rumah disitu. Tak lama kemudian, muncul seorang kakek berambut putih yang muncul dan balik rumah pelan-pelan dia berjalan ke depan dan membukakan pintu pagar. Houji segera menjura kearah kakek berambut putih itu sembari berkata. "Aku datang dari rimba bambu merah, dulu pernah mengikuti guruku Ku..." Belum habis dia berkata, kakek berambut putih itu sudah menuding ke ruangan dalam, kemudian membalikkan badan dan masuk kembali kedalam ruangan. HOU-JI memandang sekejap ke arah Sun Tiong lo, kemudian. "Begitu tuan rumahnya, begitu pula pelayannya, masa untuk mendehem saja seperti enggan." Sun Tiong lo hanya tersenyum belaka, sedang kan Bau-ji sama sekali tidak memperlihatkan perubahan apa apa. Hanya nona Kim yang berkerut kening, dalam perjalanan perdananya dalam dunia persilatan, dia menjumpai banyak peristiwa yang dirasakan amat menarik hati, tapi banyak pula yang dianggapnya sebagai suatu peristiwa yang membingungkan hati. Dalam pada itu Hou-ji telah berjalan masuk ke dalam ruangan rumah gubuk itu. Sun Tiong lo segera membalikkan badan dan merapatkan kembali pintu pagar bambu. Kali ini Hou ji tidak mengetuk pintu, dia mendorong pintu depan dan pintu itu segera terbuka. Walaupun pintunya sudah terbuka, namun didalam ruangan tidak nampak sesosok bayangan manusia pun. Hou ji berhenti diatas undak-undakan batu, kemudian serunya kearah dalam ruangan. "Apakah Si loya-cu berada di dalam ?" Tiada orang yang menyahut. Hou-ji segera memperkeras suaranya dan berteriak sekali lagi. Namun, belum juga kedengaran suara jawaban. Hou-ji berpikir sebentar, kemudian dia pun berjalan masuk ke dalam ruangan. Baru masuk kedalam ruangan, mendadak ia seperti mengendus suatu bau khas yang sangat aneh, bau tersebut seperti amat tak sedap. Biasanya kaum wanita memang berdaya pencium lebih tajam, begitu melangkah ke dalam ruangan, nona Kim segera menutupi hidung dan mulutnya dengan sapu tangan, keningnya segera berkerut dan wajahnya menunjukkan perasaan muak. Bau-ji masih saja berdiri dengan wajah sedingin es, dia membungkam dan tak mengucap kan sepatah katapun. Sun Tiong lo segera berkerut kening, dia maju ke ruangan sebelah kiri dan menyingkap horden yang menutupi pintu itu. Begitu horden disingkap, bau busuk yang berhembus keluar kembali serasa menusuk hidung. Tapi ruangan itu kosong melompong tak nampak sesosok bayangan manusia pun. Hou ji segera berlarian menuju ke ruangan sebelah kanan, ternyata di dalam ruangan sebelah kanan pun tak nampak sesosok bayangan manusia pun, Hou ji segera mencoba untuk menghirup udara, ternyata bau busuk itu paling ringan dari sebelah kanan. Dengan cepat Sun Tiong lo berbisik kepada Hou ji. "Cepat pergi ke belakang untuk melakukan pemeriksaan berhatihatilah..." Hou ji mengangguk, dia segera berjalan ke luar dari ruangan menuju ke belakang, sambil berjalan diam-diam hawa murninya dihimpun untuk bersiap siaga menjaga segala kemungkinan yang tak di inginkan. Aneh, ternyata dihalaman belakang pun tak nampak sesosok bayangan manusiapun. "Aaah, ada yang kurang bores!" Demikian ia berpikir setelah memandang sekejap suasana dihalaman belakang. Orang yang lain tak usah dibicarakan, yang pasti kakek berambut putih itu baru saja menuju kehalaman belakang padahal dihalaman belakang sana selain dapur tidak nampak bangunan rumah yang lain, kemana perginya si kakek berambut putih itu? Sementara itu Sun Tiong lo dan nona Kim serta Bau ji telah menuju kehalaman belakang sana menyaksikan kejadian itu, dia merasa tak habis mengerti sehingga untuk sesaat agak tertegun. Nona Kim memeriksa sebentar sekitar tempat itu, kemudian sambil menuding bangunan dapur dihalaman belakang katanya. "Coba kita periksa keadaan didalam sana!" Hou ji mengangguk dengan langkah lebar ia berjalan menuju kearah dapur. Sun Tiong lo sekalian segera mengikuti dari belakangnya. Di dalam dapur pun tidak nampak sesosok bayangan manusia pun, tetapi kukusan di atas tungku mungepulkan hawa panas, sekilas pandangan di ketahui kalau dalam kukusan itu sedang menanak atau memasak suatu makanan. Sambil menggelengkan kepalanya Hou ji segera berkata kepada Sun Tiong lo. "Mungkin Si Lo ya cu tidak berada dirumah sedangkan si kakek berambut putih itu hanya kebetulan saja memasuki ruangan, lalu ada urusan dan keluar lewat pintu depan, cuma kita tak sempat melihatnya saja. "Mustahil" Kata Sun Tiong lo dengan wajah serius. "depan pintu sudah aku tutup, tak akan mungkin ada orang yang keluar!" "Oooh... lantas kakek tua itu..." "Sewaktu enghou Hou dan suhu datang kemarin pernahkah kau melihat kakek itu?" Kembali Sun Tiong lo menukas. Hou ji segera menggelengkan kepalanya berulang kali. "Belum pernah ku jumpai." "Kalau begitu, pasti ada persoalan yang tak beres dibalik peristiwa ini" Dengan cepat Sun Tiong lo berseru. Sementara pembicaraan berlangsung, Sun Tiong lo telah berjalan kesisi kukusan tersebut dan membuka penutupnya. Bau ji hanya berdiri diluar dapur tak masuk, Nona Kim berdiri disamping Sun Tiong lo, tapi begitu penutup kukusan itu terbuka, kebetulan penutup itu menutupi pandangan mata Nona Kim. Sebab itu si nona segera bertanya. "Apakah ada makanan yang enak?" Sambil berkata gadis itu siap mengintip kedalam kukusan. Siapa tahu dengan cepat Sun Tiong lo telah menutup kembali penutup kukusan itu sambil berseru. "Aaaah....isinya bukan makanan yang enak!" Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Hou ji kebetulan berdiri disamping tunggul sewaktu Sun Tiong lo membuka penutup kukusan tersebut, ia dapat melihat dengan jelas isi kukusan itu, paras mukanya kontan berubah hebat, seperti tersambar geledek disiang hari bolong, paras mukanya kontan saia berubah hebat. Nona Kim menjadi curiga setelah melihat hal itu, mendadak dia menyambar penutup ku kusan tersebut dan menyingkapnya. Sun Tiong lo menjadi kaget, sewaktu hendak menghalangi perbuatan itu, sayang keadaan ter lambat, dia segera tahu keadaan bakal runyam. Betul juga... nona Kim segera menjerit lengking, penutup kukusan tersebut segera di buang ke atas tanah. Sementara paras mukanya berubah menjadi pucat pias seperti mayat, kemudian roboh tak sadarkan diri ke atas tanah. Untung saja Sun Tiong lo berdiri disampingnya, buru-baru dia menyambar tubuh gadis itu dan membopongnya keluar dari dalam dapur. Teriakan aneh itu kontan saja membuat Bau ji yang selama ini jarang berbicara turut masuk ke dalam dapur dan melongok ke dalam kukusan itu, apa yang kemudian terlihat kontan membuat paras mukanya berubah hebat. Sementara itu, Sun Tiong lo telah membangunkan nona Kim memayangnya untuk duduk diatas sebuah kursi, wajahnya amat serius dan keren, kepada Hou ji dia bertanya. "Apakah tuan rumah?" Setelah menutup kembali kukusan tersebut, Hou ji ikut Sun Tiong lo melangkah keluar dari ruangan dapur, ketika mendengar perkataan itu segera sahutnya. "Dia adalah tuan rumah dari rumah ini!" Sambil menggeretakan gigi Sun Tiong lo segera berkata. "Engkoh Hou dan toako melindungi adik Kim aku akan pergi untuk melihat keadaan!" "Aku juga ikut!" Kata Bau ji dengan kening berkerut. "Jangan" Cegah Sun Tiong lo sambil menghaIangi jalan perginya. "biasanya menyerang persilatan yang membunuh orang dengan cara yang keji semacam ini adalah manusia-manusia dari golongan sesat yang tak bisa diampuni lagi dosanya, siaute harap toako dan engkoh Hou bisa bersatu, jangan berpisah-pisah untuk menghindari segala perubahan yang tidak diinginkan" Bau ji tak membantah, pun tidak mengucap kan sepatah katapun,sementara itu Hou ji telah berkata lagi. "Kau tidak kenal dengan tuan rumah tempat ini, seandainya.." Belum habis dia berkata, Sun Tionglo telah menukas dengan cepat. "Berbicara menurut kenyataan, tuan rumah tempat ini hanya bakal berakibat dua macam, satu sudah melarikan diri dan musuh sedang mengejar dengan ketat, kedua adalah sudah di sekap dan dipaksa untuk berbicara." "Dari mana kau bisa tahu?" Tukas Hou ji. "Bila antara pihak lawan dengan tuan rumah tempat ini tidak menurut dendam yang kelewat dalam atau ingin mencari semacam barang? atau mengetahui suatu persoalan, tak mungkin dia bisa mempergunakan cara yang begini keji untuk menyiksa putra dari tuan rumah!" Hou ji berpikir sebentar, lalu berkara. "Perkataanmu memang benar juga, tapi urusan dalam dunia persilatan..." Untuk kedua kalinya Sun Tiong lo menukas. "Yang dimaksudkan sebagai dua kemungkinan kalau dibicarakan sesungguhnya hanya satu, yaitu tuan rumah tempat ini mungkin sudah mendapatkan peringatan atau kabar berita, sehingga saat ini dia sudah berada disuatu tempat yang aman!" Bau ji memandang saudaranya sekejap, ke mudian ikut berkata. "Benar!" Setelah berhenti sejak, sambungnya lebih jauh. "Tapi kau tidak kenal paras muka tuan rumah yang sebenarnya, hal ini...." Sun Tiong lo segera lersenyum. rToako, putra tuan rumah telah terbunuh, diapun mati dalam keadaan yang begini menge naskan, bila dia tak tahu, saat inipun tak akan muncul, bila tahu, tapi belum juga munculkan diri untuk membalas dendam, mungkin sekali pun kau pergunakan cara apapun jangan harap bisa memancingnya keluar..." "Benar" Seru Hou ji sambil bertepuk tangan "kalau begitu pergilah tapi harus segera kembali kemari." Sun Tiong lo mengiakan, dia membalikkan badan dan berlalu dari situ... "Tunggu sebentar, kita pergi bersama-sama saja!" Tiba tiba Nona Kim menukas. Sun Tiong lo segera berkerut kening. "Adik Kim, kau baru saja dibikin terkejut" "Yaa... kejadian itu memang kelewat mendadak dan sama sekali diluar dugaan" Kata Nona Kim setelah mengerling sekejap ke arah si anak muda itu. "Tapi sekarang, adik Kim sudah tidak ketakuan lagi bukan?" Kata sang pemuda tertawa. Nona Kim menundukkan kepalanya. "Kalau dibiarkan tinggal disini, aku malah merasa semakin tidak tenang.." "Betul, tempat ini memang suatu tempat yang baik" Timbrung Hou ji pula. "sudah sepantasnya kita mencari tempat yang lain" Sun Tiong lo segera tersenyum. "Engkoh Hou, apakah kau masih ingin makan daging?" Cepat Hou ji menggelengkan kepalanya berulang kali. "Setelah melihat makhluk dalam sangkar, selanjutnya aku malah tidak tertarik untuk makan daging!" "Baiklah" Ucap Sun Tiong lo setelah memandang sekejap sekeliling tempat itu. "mari kita mencari tempat yang lain saja, aku enggan mencampuri begitu banyak pcrsoalan!" Nona Kim dan Houji menjadi tertegun setelah mendengar perkataan itu," Mereka memandang ke arah Sun Tiong lo sambil bersiap-siap membuka suara. Buru buru Sun Tiong lo memberi tanda kepada mereka, dua orang itu mengerti maksudnya dan tidak berbicara lagi. Bau ji seperti lagi memikirkan sesuatu, dia tidak bertanya, juga tidak memperdulikan perkataan dari Sun Tiong lo. Begitulah, ke empat orang itu segera berangkat meninggalkan tempat itu untuk mencari tempat pemondokan lain. Sekeliling keluarga Si tidak nampak rumah penduduk lain, mereka harus berjalan setengah tombak jauhnya sebelum menjumpai tetangga terdekat, mereka berempat pun segera berjalan mendekati. Hou ji maju kedepan dan mengetuk piutu, dari dalam kedengaran orang menyahut. Rumah orang itu tidak terbuat dari gubuk dengan pagar bambu, melainkan dinding batu dan rumah kayu. Begitu pintu dibuka, seorang lelaki kekar segera menampakkan diri dari balik ruangan. Lelaki itu hidup sebagai seorang pemburu, dan nampaknya memang cocok sekali dengan perawakan tubuhnya. Hou ji segera menjura kepada lelaki kekar itu, kemudian ujarnya. "Kami berempat begitu kesemsem dengan pemandangan alam dibukit Cing shia sehingga lupa membawa rangsum dan air, kini kami sudah tersesat di tengah bukit Cing shia, mau maju tak bisa, mau mundurpun tak dapat..." "Kalian hendak mencari tempat pondokan?" Lelaki itu menukas langsung. Hou ji segera tertawa. "Benar, benar, bilamana mungkin kami memang berharap untuk mencari tempat pondokan" Tiba-tiba lelaki kekar itu menarik muka sambil berseru. "Maaf..." Begitu selesai berkata... "Blammm!" Dia menutup kembali pintu rumahnya rapat-rapat. Hou ji menjadi amat tertegun, diapun merasa amat mendongkol sebetulnya dia bermaksud untuk mengetuk pintu lagi. Sun Tiong lo yang berada disampingnya segera menghibur. "Sudah, sudahlah, kebanyakan rakyat disekitar tempat ini memang kekurangan makanan, untuk mengisi perut sendiri saja sudah sukar, apalagi menjamu orang lain, engkoh Hou coba kau lihat, dikejauhan sana nampak ada dinding merah, bukankah tempat itu lebih cocok untuk pemondokan?" Sembari berkata, dia lantas memberi tanda kepada Hou ji. Hou ji mengerti maksudnya, tapi dia berlagak sangat mendongkol kembali omelnya. "Huuh... kita toh minta secara baik-baik, bersedia atau tidak terserah dia, tapi caranya tidak begitu kasar seperti memandang hina orang saja.... moga moga suatu hari diapun mengalami nasib yang sama seperti apa yang kualami sekarang ini!" Selesai berkata mereka lantas meninggalkan rumah itu dan berangkat menuju kedinding merah yang nampak dikejauhan tersebut. Setelah mereka pergi jauh, pintu gerbang rumah itu dibuka untuk kedua kalinya. Ada sepasang mata yang mengintip keluar dan mengawasi bayang punggung orang-orang itu sampai lama kemudian ia baru menutup kembali pintu rumahnya. - ooo0dw0ooo- "BAGAlMANA, semuanya telah beres?" "Tak usah kuatir loya cu, tak bakal salah!" Orang yang bertanya adalah sikakek tua berambut putih yang pernah munculkan diri di gedung rumah milik keluarga si tadi. Sedangkan yang menjawab adalah lelaki kekar yang menutup piatu sambil mengucapkan kata Maaf tadi, tempatnya tak lain adalah rumah kayu berdinding batu itu. Kakek berambut putih itu sudah tidak menunjukkan gerak gerik ketuaannya lagi, diantara kerdipan matanya tampak cahaya tajam memancarkan keluar, sedangkan lelaki kekar itu pun bukan seorang pemburu, gerak-geriknya enteng dan cekatan, jelas memiliki kepandaian silat yang luar biasa. Kakek itu berdiri luar pintu rumah sambil memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian ujarnya. "Aku selalu beranggapan kalau keempat orang ini sangat mencurigakan sekali" Waktu itu, lelaki kekar tadi sedang mendorong pintu berjalan keluar, segera sahutnya. "Loya cu, mengapa kau mesti banyak curiga, bocah keparat yang bernama engkoh Hou bukankah pernah bilang datang dari Ci tiok lim? Padahal hutan bambu merah adalah..." "Hutan bambu merah adalah markas besarnya kaum pengemis, masa aku tidak tahu?" Tukas sikakek. Lelaki kekar itu kembali tertawa. "Betul, orang itu seharusnya memiliki sedikit kepandaian silat!" Katanya kemudian. "Hmm, kentut busuk, pernahkah kau menyaksikan ada anggota Kay pang yang berbadan seperti itu?" Agak tertegun lelaki kekar itu, lalu sahutnya. "Hmm, betul .. memang tidak mirip!" "Apalagi kecuali Ban tieng gan, dari perkumpulau lain tak pernah ada pengemis perempuan, apalagi keempat muda mudi itu gagah dan perkasa, mereka amat mencurigakan sekali, benar-benar amat mencurigakan sekali!" Kata kakek berambut putih itu lagi. Lelaki kekar tadi berpikir sebentar, kemudian lebih lanjut. "Tapi perempuan itu jatuh semaput setelah menyaksikan batok kepala yang dikukus tadi." "Hm, itu kan karena kejadiannya diluar dugaan" Dengus si kakek. "bagaimana coba bila kau yang menghadapi kejadian itu?" Si lelaki kekar itu tidak berbicara lagi, ia hanya melirik sekejap kearah kakek tersebut. Sungguh lihay tenaga dalam yang dimiliki kakek berambut putih itu, kembali dia mendengus dingin. "Hmm, tak usah melirik kepadaku lagi, cepat pergi menyambut orang...!" Lelaki kekar iiu mengiakan. "Tapi Loya cu... sekarang masih pagi...." "Aaah... kau tahu apa?" Tukas si kakek sambit membentak. "kalau aku menyuruh kau pergi, lebih baik pergi saja dengan cepat, kalau sampai terlambat dan orang sudah datang lebih duluan, bisa berabe jadinya, cepat pergi dan pulang sebelum kentongan ketiga, aku harus berganti dandanan lagi !" "Baik" Lelaki kekar itn tertawa cekikikan. "sebelum tengah malam, tanggung aku dan ji-siok sudah pulang kemari !" "Ehmm, bawa serta garpu pemburu itu, buli-buli arak dan sepanjang jalan jangan menunjukkan sikap yang berlebihan, bila berjumpa dengan orang yang mencurigakan, jangan lupa kalau kau adalah seorang pemburu, tanggung kau bisa mengelabuhi dia untuk sementara." Kembali lelaki kekar itu mengiakan, dia segera kembali ke dalam kamar dan sewaktu ke luar benar benar membawa garpu pemburu dan buli-buli arak, kemudian sambil membuka pintu dan melangkah pergi, dia membawakan lagu gunung dengan lantang. Dengan cepat kakek berambut putih itu menutup pintu kamarnya lagi dan masuk kedalam sementara itu kentongan pertama sudah tiba, langit sangat gelap, sampai lama kemudian kakek berambut putih itu baru memasang lampu penerangan. Waktu itu, Sun Tiong lo sekalian tidak mencari tempat pemondokan di dalam kuil tersebut. Mereka hanya berpesiar dalam kuil itu kemudian berangkat meninggalkan tempat itu. Ketika kentongan pertama tiba, mereka sudah sampai kembali dirumahnya keluarga Si dengan berjalan memutar. Tindakan tersebut pada hakekatnya sama sekali diluar dugaan siapa saja... Nona Kim telah berganti dengan pakaian ringkas dan menggembol pedang, ia tak dapat melupakan kejadian yang dialaminya dalam dapur siang harinya tadi, oleh karena itu dia selalu menghindari dapur dengan memilih berjaga di halaman depan. Bau ji dan Hou ji berada dihalaman belakang, satu disudut sebelah kiri, yang lain dibalik dinding sebelah kanan. Sun Tiong lo duduk seorang diri di ruangan tengah, menutup pintu dan menunggu orang datang. Kentongan kedua sudah lewat, suasana di empat penjuru sekeliling tempat itu masih sepi. Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Menjelang kentongan ketiga, suasaaa masih tetap sunyi senyap tak kedengaran sedikit suarapun. Sewaktu berunding tentang tugas mereka pada malam ini, kecuali Sun Tiong lo yang bersikeras mengatakan kalau malam nanti pasti ada orang datang, tiga orang lainnya tidak setuju dengan cara penantian semacam ini." Tapi Sun Tiong lo memiliki alasan yang cukup kuat, diapun mempunyai alasan untuk menyelidiki persoalan itu sampai jelas sehingga tidak menyia-nyiakan perjalanan mereka kali ini, karenanya mereka pun akhirnya datang juga kesitu. Nona Kim yang bersembunyi disudut dinding halaman muka sudah tidak sabar lagi menanti, baru dia akan bergerak, mendadak dari sisi telinganya berkumandang suara bisikan dari Sun Tiong lo yang disampaikan dengan ilmu menyampaikan suara. "Ada orang datang, adik Kim, cepat ke belakang dan beri kabar kepada toako!" Nona Kim tidak berpikir panjang lagi, diam-diam ia menyelinap ke belakang halaman. Padahal, Sun Tiong lo bisa memberi kabar kepada nona Kim, sudah barang tentu diapun dapat memberi kabar kepada Hau-ji dan Bau ji, mengapa pula dia mesti menyuruh nona Kim pergi kebelakang? Alasannya dia tak ingin nona Kim menghadapi musuh paling dulu. Baru saja nona Kim menyampaikan kabar ke belakang, tiga sosok bayangan manusia telah melompat masuk ke halaman tengah. Salah seorang diantaranya melompat naik ke atas atap rumah dan memeriksa sekeliling tempat itu. Sayang sekali tindakannya kelewat lambat, waktu itu nona Kim, Hou-jt dan Bau ji telah menyembunyikan diri disuatu sudut tempat kegelapan, gerombolan hitam tidak mirip manusia, bukan bunga pun tidak mirip semak belukar. Oleh sebab itu setelah memeriksa sekejap sekeliling tempat itu, orang tadi melayang turun kembali ke halaman tengah dan bergabung dengan dua orang lainnya. Tiga orang itu tidak menuju ke halaman belakang, juge tidak masuk kedalam ruangan, mereka hanya duduk-duduk di undak- undakan batu di halaman depan, suatu kejadian yang aneh sekali. Setelah duduk, salah seorang diantaranya baru berkata. "Yu toako, menurut dugaanmu apakah Si lo ji bakal pulang pada malam ini ?" Yu toako termenung sebentar, kemudian mengangguk. "Ehm, tak salah lagi Chin jite, konon hidup di rumahnya Him loji cukup bahagia." "Oh, nampaknya Him loji pun turut datang" Yu toako segera tertawa terkekeh-kekeh. "Tentu saja, tanpa Him loji, apakah Si loji dapat menemukan pembunuh sebenarnya dimasa lalu !" "Ooh, kalau begitu, anjing cilik dari keluarga Si sudah kau bereskan hidupnya ?" Seru Chin jite terkekeh-kekeh. Yu toako pun tertawa terkekeh kekeh juga. "Siapa suruh mereka mencari kematian buat diri sendiri, kalau bukan lantaran dia, mana mungkin Si loji bisa tahu kalau Him loji tinggaI di bukit Go bi ? iapun mustahil akan pergi mencari Him loji untuk melihat surat lama tersebut !" "Apakah toako tidak berhasil merampas surat itu ?" "Hm, hampir semua bilik dan ruangan ini telah kubongkar, namun tidak kutemukan bayangannya!" Seru Yu toako gemas. "Sepantasnya kau siksa anjing cilik dari keluarga Si itu agar mengaku !" Bisik Chin jite. "Hah. binatang cilik ini jauh lebih atos tulangnya daripada si tua bangka itu sendiri." Chin jite tidak berbicara lagi, sebab waktu itu orang yang lain telah berkata. "Ji siok, kau tidak tahu, benda kecil itu luar biasa sekali, Toa nian dan Ji nian telah mampus semua ditangannya, Siau Chin cu pun membawa luka, itulah sebabnya loya cu menjadi naik pitam sehingga..." Belum habis dia berkata, mendadak Yu toako berbisik lirih. "Ssar, jangan keras-keras ada orang datang, mari kita segera mengundurkan diri ke dalam ruangan." Sambil berkata ketiga sosok bayangan hitam itu sudah mengundurkan diri ke dalam ruangan, Sewaktu masuk mereka hanya berpikir untuk cepat-cepat menutup pintu, lalu mengintip lewat celah celah pintu dan jendela, mereka sama sekali tidak melihat akan Sun Tiong lo yang duduk di kursi besar ditengah ruangan tersebut. Saat itulah terdengar angin berhembus lewat dihadapan depan telah bertambah dengan dua sosok bayangan manusia. Mereka adalah dua orang kakek yang semuanya mengenakan jubah panjang. Salah seorang diantaranya terdengar berkata. "Hiante, pandai amat kau mencari tempat yang begini baik, bukit Cing shia memang jauh lebih indah daripada bukit Gobi!" Tak usah dibilang lagi, kakek yang disebut sebagai hiante itu adalah tuan rumah tempat itu Si Bong-im. Sambil tertawa Si Bong-im menjawab. "Aah, rumah gubuk pagar bambu, mana bisa dibandingkan dengan rumah gedung yang di tempati toako ?" Sang toako, Him Bun jui adalah seorang jagoan lihay yang amat termasyur namanya dalam dunia persilaian dimasa lalu. Sambil tertawa kepada Si Bong-im, katanya waktu itu. "lh-heng sudah terbiasa dimanjakan oleh anak cucuku, tidak seperti hiante yang hidup senang ditempat yang terpencil seperti ini." Si Bong im tertawa. "Toako harap tunggu sebentar, biar siaute memasang lampu lebih dulu sebelum masuk." "Hiante, bukankah kau pernah bilang jika Phu ji ada di rumah ?" Kata Hioa Bun hui sambil mengulapkan tangannya. "Ah, bocah cilik tidak biasa hidup di bukit, mungkin saja dia sedang turun gunung." "Ooh... kalau tak ada orang yang menjaga rumah, masa dia akan tega meninggalkan rumah dengan begitu saja ?" Si Bong im segera tertawa. "Kebaikan dari orang yang berdiam di bukit adalah disini tiada pencoleng dan perampok, sekalipun rumah ditinggalkan kosong juga tak menjadi soal." "Oooh, kalau begitu mari bersama-sama masuk kedalam ruangan." Kata Him Buo hui. Dalam pada itu, tiga orang yang bersembunyi didalam ruangan telah mengeluarkan sesuatu benda secara diam-diam. Seorang berjalan kearah pintu, sedangkan dua orang lainnya berdiri disisi kanan dan kiri pintu. Benda yang berada ditangan mereka ditujukan kearah pintu ruangan, tampaknya asal pintu tersebut dibuka orang, maka mereka akan turun tangan bersama-sama untuk membunuh Si Bong im dan Him Bun hui. Dalam pada itu, dua orang kakek yang berada diluar ruangan telah menaiki anak tangga sambil berbincang-bincang... Mendadak dari dalam ruangan bergema suara bentakan nyaring. "Saudara berdua, harap cepat mundur!" Begiru bentakan tersebut diutarakan, dua orang kakek yang ada diluar, saking kagetnya mereka sampai bergetar keras. Tiba-tiba Chin Jite membalikan badannya sambil mengayunkan benda yang berada dalam genggamannya itu ke arah orang yang memberi peringatan. Tentu saja orang yang memberi peringatan itu adalah Sun Tiong Io... Benda yang berada ditangan Chin Ji itu teramat bahaya. "Klik!" Diiringi suara nyaring menyemburlah segulung air kearah depan. Waktu itu, bukan saja Sun Tiong lo sudah memperhitungkan jalan mundurnya secara tepat, bahkan diapun ada maksud uituk mempergunakan senjata lawan untuk melukai musuhnya itu. Maka sewaktu air tadi menyembur keluar, Sun Tiong lo segera mendengus dingin, kemudian mengayunkan telapak tangannya melancarkan sebuah pukulan dahsyat. Berbicara soal tenaga dalam, kemampuan yang dimiliki orang ini memang luar biasa sekali. Mendadak pancuran air itu membalik ke belakang dan senjata makan tuan, mengenaskan sekali keadaan dan Chin ji-te. Bukan cuma Chin ji, termasuk juga pemuda yang berada ditengah ruanganpun turut tersemprot air tersebut. Terdengar kedua orang itu menjerit lengking seperti babi yang disembelih, sepasang tangan mereka memegangi wajah dan tubuh masing-masing sambil berlarian keluar ruangan, kemudian roboh tergeletak di atas tanah. Yu lotoa cukup licik, menggunakan kesempatan itu dia menyelinap kesamping dan menyembunyikan diri ke tempat kegelapan disebelah kiri ruangan... Baru saja dia hendak menyingkap tirai untuk kabur ke dalam, Sun Tionglo telah meng ayunkan jari tangannya menotok jalan darahnya, lalu setelah menyandarkan tubuh Yu lotoa disisi pintu, pelan pelan dia melangkah keluar dari ruangan. Sementara itu Hou ji, Bau ji dan nona Kim juga sudah memburu kedalam ruangan setelah mendengar suara kegaduhan disana. Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo