Bukit Pemakan Manusia 38
Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Bagian 38
Bukit Pemakan Manusia Karya dari Khu Lung Tukas Mao Tin hong cepat. Dengan perasaan keheranan Ceng Bun keng segera bertanya. "Kalau toh demikian, apa yang majikan takuti..." "Aku takut kalau aku dikhianati oleh anak buahku!" Ceng Bun keng segera menghembuskan napas panjang. "Aaai... pepatah kuno mengatakan: Cuaca tahu kalau cemara tahan salju, sobat sejati tahu akan susahnya teman, Apalagi manusia-manusia yang tak tahu malu itu toh sudah pergi dari majikan sekarang..." "Sekalipun demikian tapi pengalaman di masa lampau masih selalu terbayang-bayang didepan mataku" Tukas Mao Tin hong lagi. Ceng Bun-keng segera berkerut kening. "Untung saja saat ini majikan telah menjauhi kawanan manusia rendah tersebut." "Sudahlah" Mao Tin hong tertawa getir. "yang sudah lewat tak usah dibicarakan lagi." Setelah berhenti sejenak dan memperhatikan Ceng Bun-keng beberapa saat, dia berkata lagi. "Bun keng, ada satu masalah aku merasa perlu untuk merundingkannya denganmu." "Silahkan majikan memberi perintah" Mao Tin-hong menggelengkan kepalanya berulang kali, kemudian berkata. "Manusia yang hidup didunia ini haruslah tahu diri, Bun-keng, sekarang aku telah memasuki wilayah Biau, aku pun mempunyai pelindung di gua Pek hoa tong, atau dengan perkataan lain aku tak usah menguatirkan serangan yang datang dari musuh tangguh." "Tapi kedatanganku ke wilayah Biau sekarang penting sekali artinya, aku kuatir kalau berita kedatanganku bocor dan diketahui lawan, untung hanya kau seorang yang mengetahui tentang persoalan ini, sebab itu bila ada orang yang menanyakan persoalan ini, kau harus menutup mulut rapat-rapat." "Majikan tak usah kuatir, masa hamba akan membocorkan rahasia ini kepada orang lain!" Mao Tin hong menundukkan kepalanya lalu menghela napas panjang. "Aah, aku sudah tidak berani mengharapkan orang lain agar tetap berpegang janji kepadaku lagi." Mendengar ucapan mana, tergerak hati Cang Bun keng, dia segera bertanya. "Apakah majikan merasa kuatir terhadap diri hamba ?" Mao Tin hong tertawa getir. "Kau tak usah memikirkan yang bukan-bukan, sekali dipagut ular, sepuluh tahun takut dengan tali rami, bukan aku tak percaya kepadamu, sesungguhnya aku takut kalau sampai ditipu orang lagi. oleh sebab itu..." "Apa yang majikan harapkan sehingga dapat berlega hati !" "Percuma." Mao Tin-hong tertawa getir lagi. "sekalipun diutarakan juga sama sekali tidai berguna !" "Belum tentu, mengapa majikan tidak mengutarakan dulu kepadaku ?" Ceng Bun-keng berkata serius. Cepat-cepat Mao Tin hong menggelengkan kepalanya. "Kecuali kalau...! Sudahlah, kalau diutarakan malah akan menyedihkan hati orang saja." "Majikan tak usah sungkan, utarakan saja dengan berterus terang, hamba pasti akan turut perintah !" "Kau akan menurut ?" "Yaa pasti, biar pun harus terjun ke lautan api pun aku tak akan menampik !" Mao Tin hong menjadi girang sekali, serunya dengan cepat. "Bun keng, benarkah ucapanmu itu diutarakan dari lubuk hatimu sendiri ?" "Bila hamba Iain di mulut lain dihati, biar Thian memunahkan diriku." Mendadak Mao Tin hong melompat bangun. kemudian sambil menepuk bahu Ceng Bun keng dengan tangan kanannya dia berseru. "Bagus, bagus, bagus ! Bila kau benar-benar begitu, makaaaa..." Dia sengaja menarik kata terakhir itu hingga panjang sekali, kemudian telapak tangannya dijotoskan keras-keras ke atas ulu hati Cang Bun keng. Jeritan ngeri yang menyayatkan hati segera berkumandang memecahkan keheningan, tak ampun lagi Ceng Bun keng jatuh terjengkang ke atas tanah. Sekujur tubuhnya segera gemetar keras, paras mukanya pucat pias seperti mayat, sepasang matanya merah membara dan peluh sebesar kacang kedelai jatuh bercucuran keluar, keadaannya mengenaskan sekali... Dengan susah payah akhirnya dia berkata. "Maaa... maaajikan, menga... mengapa kauu... kau..." "Kau belum mengerti apa sebabnya?" Jengek Mao Tin hong sambil tertawa seram. Waktu Ceng Bun keng sudah tak dapat bergerak lagi, paras mukanya pun turut berubah menjadi amat tak sedap dipandang. Meskipun tak mampu berkutik, namun mulutnya masih sempat mengucapkan lagi beberapa patah kata. "Mee... mengapa..." Mao Tin nong tertawa seram. "Heeeh... heeh... heehh... dalam setahun belakangan ini lohu sudah belajar lebih cerdik, pengalaman pahit dimasa lampau tak boleh sampai terulang kembali, oleh sebab itu aku pun tak sudi terperangkap lagi seperti masa masa lalu, nah mengertikah kau sekarang ?" ^oodeoo^ "SUUU... sudah dua... dua... puluh tahun haamm... hamba beree... berbakti ke.. padamu, see... selama ini aaa... akupun sudah baaanyakkk... bee... berjasa, menga... mengapa kau berr... bersikap..." "Terhadap diriku, aku merasa tak pernah merugikan" Jengek Mao Tin hong sambil tertawa dingin. "bukankah sudah kutanyakan kepadamu tadi dan kau menjawab terjun ke lautan apipun bersedia ? Sekarang, mengapa kau menyesal?" Dengan sekuat tenaga Ceng Bun keng berusaha mengendalikan hawa amarahnya, kemudian berseru. "Itu kan tertuju terhadap musuh dari luar, sekarang... sekarang..." "Sama saja Bun keng." Kata Mao Tin hong dingin. "Nabi berkata, Kaisar menyuruh patih nya mati, patihnya tak berani membangkang, apalagi meski kau mati sekarang, aku justru akan peroleh ketenangan jadi kematian mu sesungguhnya tidak sia-sia belaka. "Tentu saja kau merasa kematianmu kelewat penasaran bahkan menganggap aku tak berperasaan, padahal kaupun tak bisa menyalahkanku." "Coba bayangkan, misalnya waktu dulu, seandainya aku tak menyelamatkan dirimu, sejak dua puluh tahun berselang kau sudah tewas, sekarang kau baru mati bahkan mati pula ditanganku, seharusnya kaupun harus dapat berlega hati." "Kalau kita berbicara mundur selangkah, perbuatanku sekarang tak bisa dibilang terlampau keji, sebab kenyataanlah yang mengajarku untuk berbuat demikian, asal kau sudah mati maka akupun tak usah menguatirkan persoalan lain lagi, bukankah haI ini bagus sekali ?" Ceng Bun-keng menghela napas sedih. "Kau... tindakanmu membunuh aku, sama artinya dengan menghancurkan kesempatan untuk bangkit kembali." - ooo0dw0ooo- Jilid 41 "HAAA... HAA... HAA... kau tidak usah merisaukan hal ini." Kata Mao Tin bong sambiI tertawa seram. "tanpa kau sekalipun aku masih dapat bangkit kembali didalam dunia persilatan!" "Baik, baik." Kata Ceng Bun keng selanjutnya sambil menghela napas sedih. "sekarang apapun yang kuucapkan sudah terlalu lambat,orang dulu mengajarkan kepada kita agar jangan berkomplot dengan harimau bila tidak ingin dirinya dilahap akhirnya, tapi aku telah menganggap serigala sebagai sahabat, memang kesalahanku sendiri..." Dia tak berkemampuan untuk banyak bicara lagi, sesudah terengah-engah sejenak sadarlah dia kalau ajalnya sudah dekat. Semua perasaan dendam, benci, penasaran, gusar dan sedih segera bercampur aduk dan menciptakan sisa kekuatan yang terakhir, teriaknya dengan keras. "Mao Tin hong, saat pembalasanmu sudah hampir tiba." Mao Tin hong tertawa terbahak-bahak. "Haaah... haahh... haah... Bun keng wahai Bun keng, Seorang kuncu tak akan mengeluarkan suara yang jahat, sekalipun cepat atau lambat pembalasan akan kuterima juga, toh sekarang masih belum tiba saatnya, padahal kau amat menuruti perkataanku selama ini, nyatanya sekarang kau sudah menyumpahi aku, benar-benar suatu kejadian yang membuat hati pedih." Berbicara sampai disitu, kembali dia menyeringai sehingga nampak amat mengerikan. Di tengah gelak tertawa yang nyaring, manusia she Mao itu kembali berkata. "Oh, rupanya budak suku Biau tua itu, hm!" Mencorong sinar benci penuh perasaan dendam dari balik mata Cang Bun-keng, serunya lagi. "Bun-keng, apakah kau sudah tiada pesan lain ?" Ceng Bun keng ingin menangis namun tiada air mata yang meleleh keluar, serunya kemudian dengan gemas dan benci. "Menyesal aku tidak menuruti perkataan dari Lo-hoa-biau" Tergerak hati Mao Tin-hong sesudah mendengar perkataan tersebut, dengan cepat dia bertanya. "Siapakah lo hoa-biau itu ? Apa yang dia katakan ?" Sambil menarik napas panjang-panjang Ceng Bun-keng berseru. "Dari sorot matamu yang liar, Lo hoa biau tahu kalau hatimu keji tidak berperasaan, dia telah memperingatkan kepadaku agar was was selalu bila bekerja untukmu, sayang sekali aku tidak menuruti perkataannya !" Katanya. "Mao Tin-hong, kudoakan semoga..." "Apa yang ingin kau doakan sudah kupahami." Tukas Mao Tin hong sambil tertawa seram "bukankah kau berharap agar Sun Tiong-lo sekalian jangan terjebak dan berhasil membongkar rencana ini ? bukankah kau berharap mereka menantiku didepan sana." "Benar." Tukas Ceng Bun-keng cepat. "kau tak akan memperoleh mati secara tenang" "Sayang apa yang kau harapkan semuanya tak dapat terkabulkan." Mao Tin hong mengangkat sepasang bahunya. Kemudian setelah berhenti sejenak dan mendongakkan kepalanya memandang keadaan cuaca, dia berkata lebih jauh. "Wahai Ceng Bun keng, waktu sudah makin siang dan aku harus segera berangkat, jika kau tidak ingin menyampaikan kata-kata yang bermanfaat dan menguntungkan diriku lagi, maaf kalau aku terpaksa harus mengirimmu untuk berangkat lebih dulu !" Ceng Bun-keng menundukkan kepalanya rendah-rendah, beberapa tetes air matanya jatuh berlinang membasahi pipinya. Mao Tin hong memang seorang manusia yang tidak berperasaan, jari tangan kanannya segera disodok kedepan tanpa perasaan kasihan. Sodokan tersebut persis menghajar jalan darah Ki bun-hiat ditubuh Ceng Bun keng... Kontan saja sekujur badan Ceng Bun keng gemetar keras, diiringi jeritan ngeri menyayatkan hati, ia muntah darah segar lalu mati seketika itu juga. Mao Tin hong memang seorang manusia yg berhati keji, setelah menghabisi nyawa orang kepercayaannya, dia sama sekali tidak nampak sedih, seakan-akan baru saja membunuh seekor semut saja. Sambil membersihkan pakaiannya dari debu, dia mendongakkan kepalanya memandang angkasa, berpikir sejenak, lalu ujarnya sambil tertawa. "Beres sekarang, aku pun tak usah menguatirkan ada orang yang bakal membocorkan rahasia ku lagi" Tapi kemudian dengan kening berkerut dia menggelengkan kepalanya lagi sambil berkata. "Tidak betul, masih ada perempuan rendah itu, tempo hari andaikata bukan dia yang berhasrat mencelakaiku sehingga merampas tenaga goan-yang ku, hingga kini tenaga dalamku tak bisa memperoleh kemajuan lagi, mana mungkin akan muncul persoalan yang memusingkan kepala seperti ini ?" "Hmmm ! Dendam sakit hati ini harus dibalas, perempuan rendah ! Tentunya kau tak pernah menyangka bukan kalau sekarang aku telah mengetahui tempat penyimpanan kitab pusakamu, aku juga sudah menguasai cara masuk dan keluar dari ilmu barisanmu itu, hmm, hmmm !" Tak salah lagi kalau semua perkataan itu ditujukan kepada pemilik kebun raya Pek hoa wan. Dasar Mao Tin-hong memang Iicik dan berhati kejam, tampaknya dia ingin memusuhi semua manusia yang berada di dunia ini. Setelah menyelesaikan perkataan tadi, kembali ia tertawa tergelak penuh kebanggaan, menyusul kemudian tubuhnya melejit keudara, dalam waktu singkat bayangan tubuhnya sudah lenyap dikejauhan sana. Orang kuno sering bilang: Belalang menubruk comboret, si burung nuri mengincar dari belakang." Ada pula yang mengatakan. "Bila tak ingin diketahui orang, makanya janganlah sekali-kali melakukan." Belum jauh Mio Tinhong pergi, tiba-tiba saja dari depan situ muncul kembali tiga sosok bayangan hitam. Gerakan tubuh bayangan bayangan hitam itu cepat bukan kepalang, tak selang berapa saat saja mereka sudah sampai disamping jenasah Ceng Bun keng. Ternyata mereka adalah seorang suku Biau tua yang diikuti dua orang lelaki kekar berdarah campuran bangsa Han dari suku Biau. Kedua orang lelaki kekar itu tak lain adalah anak buah Ceng Bun keng, yakni lelaki yang dihina Mao Tin hong sebagai "anak jadah" Tadi. Mimpi pun Mao Tin hong tak pernah menyangka kalau mereka bakal muncul di situ. Tak dapat disangsikan lagi, suku Biau tua itu tak lain adalah "Ko Hoa-biau" Yang disebut-sebut Ceng Bun keng tadi. Terdengar suku Biau tua itu segera berkata. "Mari, sesuai adat suku Biau, kita bikin usungan kayu dan menggotongnya ke gua Pek hoa tong?!" Tak selang berapa saat kemudian dua lelaki kekar itu telah selesai membuat sebuah usungan kayu yang kuat dan membujurkan jenasah Ceng Bun keng diatas usungan tadi, kemudian setelah diikat kencang-kencang, mereka tuangi jenasah tersebut dengan minyak hitam (minyak tanah). Tak selang berapa saat kemudian api telah berkobar membakar jenasah tersebut, sedang ketiga orang suku Biau tersebut segera berlutut sambil berkomat kamit ke angkasa. Jenasah telah hangus menjadi debu, mereka bertiga pun turut bangkit berdiri. "Tarsi, bagaimana pendapatmu sekarang ?" Tanya Lo hoa biau atau si suku Biau tua kemudian. Tarsi dan Saila adalah nama dari dua orang lelaki berdarah campuran antara bangsa Han dan suku Biau itu. "Aku hendak memasuki gua Tiok hoa toa untuk menemukan tamu-tamu bangsa Han itu !" Seru Tarsi. Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Akan ku susul orang she Mao itu langsung ke gua Pek hoa tong!" Sambung Saila. "Lebih baik aku saja" Kata Lo hoa-biau kemudian dengan wajah serius. "kalian toh tahu, majikan (yang dimaksudkan adalah Ceng Bun keng) telah melepaskan banyak budi kepadaku, sedangkan kepandaian silat yang dimiliki orang she Mao itupun sangat lihay, sedemikian lihaynya sehingga mustahil bagi kita untuk menandinginya." "Tidak, kamipun sudah banyak menerima budi kebaikan dari majikan !" Bantah Saila cepat. Kembali Lo hoa biau menggelengkan kepalanya berulang kali. "Dengarkan dulu perkataanku." Bujuknya. "aku sudah tua, biar harus matipun tak menjadi masalah, sedangkan kalian masih muda, pada musim semi mendatang masih ada kesempatan untuk "melompat rembuIan". siapa tahu waktu itu akan ketemu "jodoh" ? jangan lewatkan kesempatan baik semacam itu !" "Tidak !" Tampik Tarsi tegas-tegas. "bila ingin mengerjakan, kita bertiga harus kerjakan bersama, kalau tidak, siapa pun tidak punya liangsim..." "Aku pingin tanya, sekalipun kalian bisa melewati gua Tiok hoa tong dengan selamat, bagaimana pula cara kalian untuk menyeberangi lembah ular beracun ? Apalagi keganasan suku berleher panjang amat mengerikan." "Bukankah keadaan ini berlaku juga untukmu ? Toh kau sudah tua, lari mu tak bisa cepat!" Kembali Saila membantah. "Begini saja" Akhirnya Lo hoa biau berkata. "biar Toa sia (Malaikat agung) menjadi saksi, siapa berhasil melampaui gua Pek hoa tong dengan keadaan selamat, dialah yang berhak pergi, Nah sekarang kalian berdua harus mengutarakan dahulu rencana kalian !" Tarsi termenung sambil berpikir sebentar, lalu katanya. "Aku tak mempunyai rencana yang bagus, pokoknya asal berhati-hati sepanjang jalan, itu sudah lebih dari cukup!" "Begitu juga dengan diriku." Sambung Saila. "asal tidak sampai mati, semua masalah dapat diselesaikan secara baik-baik !" Lo-hoa-biau segera mendengus dingin. "Tahukah kalian berdua, rencana busuk apakah yang sesungguhnya diatur orang she Mao itu?" Tegurnya. "Bukankah kau terangkan kepada kami ?" Lo hoa biau segera tertawa. "Seandainya aku tidak memberitahukan hal ini kepada kalian ?" Ia balik bertanya. Tarsi melirik sekejap kearah Saila, kemudian katanya. "Kau toh bukan MaIaikat agung, bagaimana mungkin bisa tahu ?" "Nah, itulah dia ! Kalau begitu dengarkan baik-baik rencanaku ini, aku hendak menggunakan "darah" Memberi makanan macan tutul bambu di gua Tiok hoa tong, kemudian memberi makan "ular" Dalam selat ular beracun..." Paras muka Saila dan Tarsi segera berubah hebat, teriakannya hampir bersama. "Aah! Masakah kau hendak melanggar "pantangan terbesar" Dari suku kami?" "Kalau tidak berbuat demikian, bagaimana mungkin aku bisa melampaui orang she Mao itu secara aman lagi cepat sehingga dapat menjumpai rombongan tamu bangsa Han itu dan sampai digua Pek hoa tong? Atau mungkin kalian masih mempunyai cara lain yang jauh lebih baik?" "Tapi... tapi setelah kejidian tubuhmu akan dicincang menjadi empat bagian untuk disajikan kepada Tiok pa (macan tutul bambu), Tok coa (ular beracun) serta Toa oh sin (dewa bertelinga besar) dari suku berleher panjang..." Bisik Saila agak memucat. "Tentu saja, aku telah bersumpah darah, sudah barang tentu aku harus menepatinya!" Tarsi berpikir sejenak, lalu serunya. "Baik, kalau kau dapat berbakti kamipun dapat, mari kita pergi benama-sama!" "Betul !" Seru Saila pula sambil menepuk ke pala sendiri. "yang tak berani pergi berarti manusia jahat. dia pasti akan ditarik oleh iblis hijau dari lembah selaksa racun untuk dijadikan budaknya sepanjang masa, tiada bunga su ci Leng hoa, yang tak akan menjelma lagi di alam semesta!" Setelah Saila mengangkat sumpah paling berat bagi suku Biau, Lo hoa biau sendiripun tak dapat berbuat apa-apa lagi. Tarsi tak mau ketinggalan dia berseru pula keras-keras. "Dewa agung, dengarkanlah seruanku, akupun akan berbuat sama...!" Menyaksikan keteguhan hati serta kebulatan tekad kedua orang itu, dengan sangat terharu Lo hoa biau berseru. "Dalam suku kita berlaku peraturan barang siapa melakukan "persembahsn darah" Maka dia ijinkan membawa serta dua orang pembantu itu, sekarang kalian beleb menjadi pembantuku untuk melaksanakan tugas-tugas yang diperlukan, aah, tidak, lebih baik lagi kita melakukan perjalanan secara terpisah." Tarsi dan Saila saling berpandangan sekejap kemudian berkata. "BoIeh, cuma kau sudah mendengar sumpah kami, seusai membalas dendam" Kau tak dapat menghalangi kami untuk melakukan "persembahan darah" Kalau tidak maka kau adalah antek setan!" Lo hoa biau segera manggut-manggut "Tentu saja, akupun tak akan berani menghalangi niat kalian itu?" Ujarnya. Maka mereka meneruskan perjalanannya dengan langkah cepat langsung menuju kearah gua Tiok hoa tong. ^ooo0dw0ooo^ AWAN HITAM menyelimuti angkasa dengan tebal, membuat perasaan orang seakan-akan tertekan. Cahaya matahari hampir punah, udara pun turut berubah menjadi sangat dingin. Segenap anggota suku dari selat ular beracun, sejak dari kepala sukunya yang tinggi besar dan kekar, hampir semuanya berkumpul di depan selat ular, ditengah tanah lapang berpasir yang sangat luas. Walaupun langit sudah terang tanah, namun berhubung awan hitam menyelimuti angkasa, maka suasana tetap terasa remang- remang. Tak heran kalau beribu batang obor dipasang turut menyemarakkan suasana disana, di bawah perintah "Patoko" Kepala suku Biau tersebut, obor diangkat tinggi-tinggi sehingga suasana disekitar tanah lapang "Selat ular" Berubah menjadi terang benderang. Sun Tiong-lo dengan pakaian ringkas senjata terhunus berdiri di depan selat ular tersebut. Di belakangnya mengikuti anggota rombongan lainnya, masingmasing telah meloloskan pula senjata tajam andalannya. Selama beberapa hari terakhir ini. "Dewa ular" Dari selat ular yakni seekor ular besar telah meramjukkan kegarangannya dengan melukai banyak orang. Kebetulan sekali, Sun Tiong-lo sekalian tiba pada saat tersebut, dan lebih kebetulan lagi, Mao Tin-hong menyusul sampai pula di tempat tersebut. Sebenarnya "Patoko" Menyambung kedatangan Sun Tiong-lo sekalian dengan ramah dan sungkan, berhubung Sun Tiong-lo sekalian telah menghadiahkan sepuluh potong garam dan alat alat pembuat api. Tatkala pesta gembira diadakan, seorang anak buah Patoko datang melapor bahwa dari pihak Pek hoa tongcu telah mengirim seorang utusan rahasia berkunjung ke situ, utusan rahasia tersebut membawa lencana pengenal Tong-sum hu dari gua Pek hoa tong. Yang muncul sesungguhnya tak lain adalah Mao Tin hong, sesungguhnya dia hendak melakukan pebuatan busuknya di gua Tiok hoa tong dengan mencelakai Sun Tiong-lo sekalian, sayang sekali kedatangannya terlambat selangkah, sehingga Sun Tiong lo sekalian berhasil melalui tempat tersebut dalam keadaan selamat. Tapi sekarang, ketika rombongan Sun Tiong lo baru tiba di selat ular beracun, dia berhasil menyusul mereka kemari. Tentu saja dia memiliki lencana Tong sio bun dari gua Pek hou tong, karena benda tersebut pemberian dari si "iblis wanita", sebenarnya benda itu dimaksudkan untuk dipakai sewaktu melalui tempat-tempat tinggal suku Biau tersebut. Tapi hari ini, dia mengaku sebagai utusan rahasia untuk melaksanakan tugas rahasia. Patoko menyambut kedatangan Mio Tin Hong di dalam kamar pribadinya, dia menanyakan maksud kedatangannya. Pertama-tama Mao Tin hong meminta kepada Patoko untuk mengundurkan anak buahnya lebih dulu, kemudian baru berkata. "Kepala suku, apakah selamanya beberapa hari ini Dewa agung dari suku kalian melakukan suatu gejala aneh ?" "Yaa benar, ada apa?" Tanya Patoko dengan kening berkerut. "Berapa hari berselang, oleh karena Dewa bunga dari tongci kami memberikan peringatan maka beliau telah menyuruh dukun untuk membuatkan ramalannya, kemudian baru diketahui ada sejumlah bangsa Han yang jahat-jahat sekali hendak berkunjung ke wilayah Biau!" "Apakah tamu-tamu bangsa Han yang sedang berada ditempat kami sekarang..." Tanya Patoto blak-blakan. "Aaaah, belum tentu" Jawab Mao Tin hong secara licik. "cuma didalam ramalan menunjukkan gejala tersebut!" "Ooooh, gejala apakah itu?" "Gejalanya aneh sekali, dikatakan. "Bila benda yang dipakai untuk asin bisa berubah menjadi getir, maka orang itulah manusia yang akan mendatangkan bencana api seluruh suku Biau"- konon orang-orang itu mempunyai ilmu sesat dan tak bisa dilawan dengan Dewa agung!" Patoko segera berkerut kening. "Yang asin dapat merubah menjadi getir ? Apa perkataan tersebut ?" Serunya cepat. Mao Tin hong berlagak termenung sambil berpikir beberapa saat lamanya, kemudian jawabnya. "Aah, benar! Kepala suku, apakah rombongan tamu bangsa Han tersebut telah mempersembahkan sesuatu benda untukmu ?" "Yaa benar !" Dengan cepat Patoko menjawab. "tamu-tamu bangsa Han itu berbaik hati ia telah menyerahkan sepuluh garam yang terbaik !" Begitu mendengar kata "garam", Mao Tin-hong sengaja menunjukkan perubahan paras mukanya, dengan cepat dia berbisik. "Nah itu dia, apakah garam tersebut asin !" "Yaa, telah kucicipi, garam itu memang asin tak bakal salah lagi..." Kembali Patoko menggelengkan kepalanya. "Apakah kepala suku telah mengundang datang dukun serta menyuruhnya meneliti garam Itu?" Kembali Mao Tin-hong berkata sambil turut menggelengkan kepalanya. Patoko menganggap usul ini tak ada ruginya maka dia segera melaksanakan apa yang diminta. Siapa tahu Mao Tin hong telah menyuap dukun tersebut sebelumnya, sedangkan didalam garam tersebut pun Ceng Ban keng telah merubahnya dengan permainan busuk, sehingga garam-garam mana sesungguhnya hanya barang palsu. Setelah dukun datang, garam di ambil diundang pula kedatangan lima orang sesepuh suku Pek hu tiang tak bertindak sebagai saksi. Mao Tin hong memang terlalu pintar, dia tak ingin turun tangan sendiri. Oleh karena sudah disuap, dukun itu sudah mengetahui apa yang harus di perbuat olehnya dengan cepat diperintahkan orang untuk mengambil mangkuk, air mendidih dan pisau, kemudian dengan menggunakan pisau dia mengelupas lapisan depan dari garam itu, kupasan tadi segera dileburkan kedalam air mendidih. Menyusul kemudian, dia mengelupas pula lapisan dalam dari garam tadi dan dimasukkan ke dalam mangkuk lain yang berisi air mendidih. Air didalam dua mangkuk yang telah diberi campuran tadi, segera dipersembahkan kepada Patoko untuk dicicipi. Dengan cepat Patoko meneguk air garam tersebut setegukan, kemudian serunyanya dengan gembira. "Garam, garam.... yang betul garam, coba kalian cicipi !" Maka kelima orang sesepuh tersebut turut mencicipi seorang setegukan unnu membuktikan memang garam. Kemudian Dukun itu mempersembahkan mangkuk yang lain kepada Patoko, dengan cepat Tatoko meneguk setegukan, namun dengan cepat ia merasa tertipu dan buru-buru muntahkan keluarkan keluar air tersebut, paras muka nya berubah hebat. Ke lima orang sesepuh kampung ikut mencicipi air mana, ternyata hasilnya sama saja. Ternyata air yang mereka cicipi dari mangkuk kedua ini tidak terasa asin, sebaliknya malah terasa getir sekali. Patoko menjadi naik darah, dia menurunkan perintah untuk membekuk tamu-tamu bangsa Han itu lalu dibakar mati. Namun Mao Tin-hong mempunyai perhitungan sendiri, dia tahu, dengan kepandaian silat yang dimiliki Sun Tiong-lo sekalian, tak nanti orang-orang Tok-hoa-biau bisa membelenggu mereka secara mudah. Bahkan diapun tahu, bila tindakannya kurang berhati-hati sehingga Sun Tiong-lo berhasil mengetahui jejaknya, hal ini bisa membuatnya semakin berabe. Oleh sebab itu usulnya kemudian. "Kepala suku kau tak boleh berbuat demikian karena ini sangat berbahaya !" "Bahaya apanya ?" Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Mereka mempunyai ilmu sihir yang sangat hebat, bila dalam malunya menjadi marah, bisa jadi dia akan membunuh kita semua !" "Lantas bagaimana baiknya ?" Sambil tertawa Mao Tin hong menempelkan bibirnya disisi telinga kepala suku itu dan membisikkan sesuatu. Sekulum senyuman segera menghiasi raut wajah Patoko, buru- buru pujinya berulang kali. "Bagus bagus sekali, sebuah cara yang amat bagus, suatu idee yang sangat tepat!" Maka Mao Tin bong memohon diri lebih dulu, alasannya dia masih harus melaksanakan tugas lain. Padahal ia tidak pergi jauh, melainkan bersembunyi dibalik tempat kegelapan untuk mengikuti perubahan selanjutnya. Ternyata rencana yang disusun berlangsung seperti apa yang dia harapkan. Di bawab pengawasan yang ketat dari Patoko, juga untuk menghindari pertempuran berdarah yang akan berlangsung, karena bila pertarungan benar-benar terjadi, suku Biauw berjumlah begitu banyak, serangan tulup mereka pun berbahaya maka Sun Tiong lo sekalian menerima syarat yang diajukan Patoko untuk melalui selat ular tersebut. Hanya saja, Sun Tiong lo sekalian para jago tidak habis mengerti apa sebabnya Patoko bisa merubah sikap secara tiba-tiba terhadap diri mereka. Hou-ji pandai sekali menangkap ular, diapun menguasai sifat ular ular beracun, dalam keadaan yang terdesak untuk menerima syarat dari Patoko, dia bersikeras meminta untuk berangkat melewati selat ular sesudah fajar menyingsing besok. Patoko menerima usul itu, sedangkan Mao Tin hong yang mengikuti kejadian mana secara diam-diam, tidak menunggu lebih jauh, dia segera berangkat selangkah leoih dahulu menuju ke suku leher panjang untuk mempersiapkan rencana lain yang jauh lebih keji. Kalau menurut keadaan pada umumnya, dia tidak seharusnya berangkat sebelum menyaksikan penyelesaian dari persoalan tersebut, akan tetapi dia kelewat licik, dia tahu terlepas apakah Sun Tiong lo sekalian dipat menembusi selat ular atau tidak yang pasti mereka telah mengikat tali permusuhan dengan suku Biau yang berdiam di selat ular beracun. Sebab apabila Sun Tiong lo dapat melewati selat tersebut berarti mereka harus membunuh ular besar yang dianggap kramat oleh suku Biau dari selat ular beracun, padahal ular itu merupakan "Dewa agung" Bagi orang-orang tersebut bagaimana mungkin dendam kesumat tersebut dapat berakhir dengan begitu saja? Sebaliknya bila tak mampu untuk menembusinya berarti mereka akan terluka atau tewas, Patoko sendiripun tak akan menyudahi persoalan sampai disitu saja, bila pertarungan berdarah terjadi, saat itu Sun Tiong lo sekalian pasti akan mengalami kesulitan yang semakin besar. Itulah sebabnya Mao Tin hong tak ingin berada dalam situasi berbahaya semacam itu, dia memutuskan untuk berangkat selangkah lebih duluan. Bila orang berhati baik, biasanya selalu dilindungi Thian. Ke esokan harinya, disaat Sun Tiong lo sekalian bersiap sedia memasuki selat ular dibawah pengawasan yang ketat dari segenap anggota suku Biau, tiba-tiba saja datang bintang penolong yang sama sekali di luar dugaan. Patoko yang menyaksikan saatnya telah tiba, sedang mendesak Sun Tiong lo sekalian untuk melakukan perjalanan memasuki selat tersebut. Sambil menggigit bibir, Sun Tiong lo segera mempersiapkan pedangnya untuk meneruskan perjalanan Mendadak. "Toooong! Tooong ! Tooong !" Bunyi tambur bergema datang secara bertalu-talu. Mendengar suara tambur tersebut, berubah hebat paras muka Patoka, cepat-cepat teriaknya kepada Sun Tiong lo sekalian. "Tamu bangsa Han, harap tunggu dulu!" Sun Tiong lo segera berhenti sambil berpaling kepada Patoko katanya. "Kepala suku ada perintah apa?" Dengan suara lantang Patoko berteriak. "Suara tambur terlarang dari suku kami telah dibunyikan, berarti telah terjadi suatu peristiwa besar, harap tamu bangsa Han menunggu sebentar, setelah memperoleh laporan dari anak buah kami, belum terlambat untuk melanjutkan perjalanan!" Tentu saja Sun Tiong lo menyanggupi permintaan tersebut, bahkan terus memperhatikan keadaan sekeliling sana. Pada saat itulah, para busu dari suku ular beracun, dengan terbagi menjadi dua barisan bersikap seperti melindungi dan menyambut tamu agung saja, mereka datang mendekati mengiringi seorang lelaki tua dan dua orang lelaki bertubuh kekar. Siapakah ketiga orang itu? Mereka tak lain adalnh Lo hoa biau serta Tarsi dan Saila. Kini, dandanan dari Lo hoa biau berubah sama sekali. Dia bertelanjang tubuh. hanya sebuah koteka menutupi bagian alat kelaminnya, sepasang tangan dirangkap didepan dada seperti seorang pendeta, sementara dalam genggaman tersebut terdapat sebilah pisau belati. Diatas tubuh Lo hoa biau pun penuh coreng moreng gambar gambar aneh yang berwarna warni. Di antara gambar-gambar tersebut nampak seekor ular aneh yang sedang menjulurkan lidahnya, seekor macan tutul yang garang, wajah siluman aneh bertelinga besar serta seorang gadis cantik yang menarik. Tarsi serta Saila bertelanjang dada pula, hanya mereka mengenakan celana dalam. Kedua orang itu mengikuti di belakang Lo-hoa Biau langkah mereka tegap dan gagah. Paras ketiga orang itu amat serius, sorot matanya tidak memandang kearah mana-mana, selangkah demi selangkah mereka maju terus kedepan. Begitu banyak anggota suku Biau ular beracun yang kumpul disana, namun suasana begitu hening, sepi, tak kedengaran suara. Setiap kali Lo hoa biau berjalan melewati hadapan mereka, serentak orang-orang itu menundukkan kepalanya dan menyambut dengan wajah amat serius. Sementara itu, Patoko telah maju menyambut dengan langkah lebar, sembari mengangkat tinggi-tinggi tongkat ularnya ke atas, seru nya dengan bahasa Biau. "Pengikut dewa agung, silahkan diutarakan, kalian minta Patoko untuk berbuat apa saja !" Sementara kejadian tersebut berlangsung Sun Tiong-lo sekalian hanya berdiri dengan mata terbelalak dan mulut melongo, mereka tidak mengetahui apa gerangan yang telah terjadi. Mo Kiau-jiu pernah berdiam diwilayah Biau, dia cukup mengetahui akan peristiwa semacam ini, segera katanya memberi penjelasan. "Patoko sedang bertanya kepada ke tiga orang itu, mereka ada perintah apa ?" "Bukankah ke tiga orang itu adalah pelayan suku Biau yang bekerja di rumah penginapan oangsa Han dalam kota Kim-sah-cay ?" Tanya Sun Tiong-lo keheranan. Mo Kiau jiu segera manggut-manggut. "Benar, tapi sekarang mereka tampil sebagai Dewa pengorbanan darah dari suku Biau, atau sama artinya sebagai utusan khusus dari Dewa agung, oleh sebab itu Patoko menyebut mereka sebagai pengikut dewa agung !" "Apa sih yg dimaksud dengan Dewa pengorbanan darah ?" Tanya nona Kim tiba-tiba, Mo Kiau-jiu segera menjelaskan. "Barang siapa mengangkat sumpah semacam ini berarti dia bakal mati, apabila tiada penderitaan atau permusuhan yang amat besar, biasanya mereka tidak akan berbuat demikian" "Penderitaan apakah yang mereka derita ?" Tanya Sun Tiong-lo. Mo Kiu-jiu segera menggeleng. "Sekarang masih belum tahu, agaknya Patoko hendak bertanya, sebentar pun kita akan menjadi jelas." Betul juga, Lo hoa biau segera menjawab. "Aku mempunyai dendam sakit hati, atas nama semua dewa agung dari suku Biau kami telah bersumpah, tujuan kami adalah gua Pek hoa tong, entah berhasil atau tidak, sampai waktunya kami bersumpah akan mencincang tubuh kami sendiri untuk dipersembahkan kepada dewa" Patoko segera mengangkat tongkat ularnya tinggi-tinggi sembari berteriak keras. "Dewa agung akan melindungi utusan dewa, usaha kali ini pasti akan berhasil dengan sukses!" Mo Kiao jiu sebagai juru penterjemah segera menyampaikan apa yang didengar kepada para jago. Seusai menuturkan tanya jawab antara Lo-hoa biau dengan Patoko, Mo Kiau jiu berkata lagi. "Sun sauhiap- aku lihat kejadian ini agak aneh, kita tak perlu menyeberangi selat ular lagi, ternyata Lo hoa biau memilih kita untuk mengiringi perjalanannya sampai di gua Pek hoa tong!" Benar juga, ditengah sorak sorai segenap anggota suku Biau, Lo boa biau berjalan menghampiri Sun Tiong Lo. kemudian sambil me narik tangan pemuda itu bisiknya dengan bahasa Han. "Jangan melawan, aku datang untuk menolong kalian, ikuti saja diriku untuk berlalu dari sini." Sudah barang tentu Sun Tiong lo tidak akan menampik mereka berdua segera berjalan mendekati selat ular. Dengan amat hikmat Lo hoa biau bersujud didepan selat tersebut, kemudian menggunakan pisau belati yang di bawanya merobek lengan kirinya sehingga darah meleleh didepan selat Kemudian dia menarik tangan Soen Tiong lo dan dibawah cahaya obor berangkatlah menuju kearah jalanan ke suku leher panjang. Tarsi dan Saila mengikuti dibelakang Lo hoa biau, sedangkan Hou ji sekalian mengikuti dibelakang Tarsi, lambat laun mereka telah jauh meninggalkan wilayah Selat Ular Beracun. Hingga bayangan tubuh dari orang-orang suku Biau selat ular beracun tak nampak lagi Lo hoa biau baru menghentikan langkahnya, setelah menengok sekejap ke sekeliling tempat itu, ujarnya kepada Sun Tiong lo dengan wajah serius. "Aku masih ingat tuan she Sun bukan?" Sun Tiong lo segera mengangguk. "Ya, benar aku pernah memanggilmu sebagai sobat lama sewaktu berada dirumah penginapan Kim sah cay. masih ingat?" "Tentu saja masih iigat" Lo hoa biau tertawa. Sun Tiong lo segera mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, katanya lagi. "Siapa sih musuh besarmu? Mengapa tak segan-segan mengangkat sumpah seberat ini, bahkan datang menyelamatkan kami?" Agak tertegun Lo hoa biau sesudah agar perkataan tersebut, dia balik bertanya. "Han kek (tuan bangsa Han), kaupun mengetahui akan hal ini?" Sun Tiong lo lalu tertawa. "Baru saja kudengar dari sahabatku, sesungguhnya apa sih yang telah terjadi?" Lo hoa biau seperti merasa tak tentram, dia berpaling dan memandang sekejap lagi kesekeliling tempat itu. kemudian baru berkata. "Sekarang jangan banyak bertanya dulu, mari kita lanjutkan perjalanan meunju kedepan, apakah Han kek sudah melihat batu besar di depan sana? Nah kita berjalan dulu hingga ke belakang batu besar itu, disana baru akan ku terangkan semua persoalannya" Sun Tiong lo tidak bertanya lagi, dengan langkah lebar dia berjalan dengan menuju ke depan. Sesampainya di belakang batu besar tersebut, Lo hoa biau baru berkata kepada Tarsi. "Tarsi, bagaimana kalau kau yang menjaga." "Tak usah kuatir, serahkan saja padaku!" Loa hoa biau manggut-manggut, kepada Sun Tiong-lo ujarnya kemudian. "Han kek, kemana pergi kelima kuli kasar dari rumah penginapan kami itu?" "Setibanya di Tiok hoa tong mereka telah balik sendiri." Lo hoa biau manggut-manggut, katanya. "Han kek, tahukah kau baru saja kalian lolos dari ancaman kematian yang mengerikan?" "Ooooh, apakah sobat tua maksudkan perjalanan kami menembusi selat ular?" Lo-hoa biau membelalakkan matanya lebar-lebar, kemudian menjawab. "Tentu saja, dewa ular yang berdiam dalam selat ular tersebut telah berusia beberapa ratus tahun, kekuatannya luar biasa, belum pernah ada manusia atau binatang yang berhasil meloloskan diri dan selat tersebut dalam keadaan selamat!" Sun Tiong lo enggan untuk banyak berdebat dengan Lo hoa biau, segera serunya. "Sobat lama, kalau begitu aku harus mengucapkan banyak terima kasih atas bantuanmu." Sesudah menghela napas panjang, Lo hoa biau menyambung. "Aku tahu kalau Han kek belum mengerti mari biar kujelaskan kepadamu, sekarang coba kalian buka buntalan kalian dan ambillah untaian mutiara kaca serta kain berkembang-kembang itu !" Sebelum Sun Tiong lo menjawab, Kang Tat dan Thio Yok sim telah membuka buntalan tersebut. Kembali Lo hoa biau itu berkata. "Mana buntalan yang berisi lentera?" "Disini!" Ban Cuan membawa buntalan Ientera sambil berjalan mendekat. "Sekarang, ambillah untaian mutiara kristal dan kain tersebut!" Kang Tat dan Tbio Yok sim mengeluarkan buntalan berisi kain serta kantong kulit berisi untaian mutiara kristal, begitu dibuka para jago sama-sama menjerit kaget dan berdiri tertegun ditempat, untuk beberapa saat lamanya mereka tak sanggup mengucapkan sepatah kata-pun. Bungkusan kain yang pernah mereka periksa berisikan kain warna-wami, sekarang telah berubah menjadi potongan-potongan kain putih yang diatasnya dilukisi dengan manusia aneh berleher panjang berwarna hitam yang sangat tak sedap dipandang. Dengan cepat Sun Tiong lo menyadari apa gerangan yang telah terjadi, ujarnya kemudian. "Sobat lama, apakah Ceng Bun keng yang sengaja bermain gila dengan kami?" Dengan wajah pilu dan sedih Lo hoa biau menggelengkan kepalanya berulang-ulang. "Bukan, majikkanku telah mati terbunuh !" "Aaaai !" Sun Tiong lo menjerit kaget sesudah mendengar ucapan tersebut. "Apa yang terjadi ? Mengapa bisa begini ? Kapan peristiwa tersebut berlangsung ?" Lo hoa biau menghela napas sedih. "Aaaai, aku enggan membicarakan peristiwa yang amat tragis itu, lebih baik membicarakan persoalan yang menyangkut Han-kek saja." Sesudah berhenti sejenak, tiba-tiba serunya. "Ambil kemari garam-garam bata tersebut." Waktu itu, Sun Tiong-lo sekalian sudah menyadari kalau seluruh barang hadiah yang mereka persiapkan sudah timbul masalah. Sangkoan Ki mengambil garam bata tersebut dari buntalan dan segera diangsurkan kedepan. Lo hoa biau menerima garam bata itu, kemudian ujarnya kepada semua orang. "Sekarang, garam ini akan kuedarkan kepada kalian, setiap orang boleh menjilat sekali!" "Mengapa harus begini ? Aku ogah !" Nona Kim yang jijik segera memprotes. Sun Tiong lo segera menyambut garam bata itu seraya berkata. "Adik Kim tak usah mencoba, sedang yang lain lebih baik menuruti perkataan dari sobat lama ini untuk mencicipinya, siapa tahu akan mencicipi suatu rasa yang aneh !" Maka setiap orang menjilat sekali pada garam bata tersebut. Aah, semua orang mengatakan bahwa itu garam bata asli. ^ooODWOoo^ TIBA-TIBA Lo hoa-biau mengambil pisau belatinya dan memotong garam bata tersebut persis dari tengahnya, garam bata itu segera terpotong menjadi dua bagian. Kembali Lo hoa biau berkata. "Sekarang, silahkan setiap orang menjilat garam ini, cuma yang dijilat harus pada bagian yang kupotong barusan." Semua orang menurut dan menjilat pada bagian yang terpotong, dengan cepat semua orang merasakan kegetiran yang luar biasa. Saat itulah Lo hoa biau baru membeberkan semua kejadian seperti apa yang dia ketahui. Akhirnya dia menunjuk ke arah ke dua puluhan batang lentera berlilin putih itu, ujarnya. "Han-kek sekalian, seandainya kalian mempercayai kalau lentera berlilin putih ini merupakan lentera asli, maka kalian benar-benar akan tertipu mentah-mentah dan mati secara penasaran !" Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Nona Kim mengambil sebatang lilin kemudian diperhatikannya beberapa saat, kemudian serunya. "Sudah jelas kalau lilin ini berkwalitet tinggi !" "Yaa, seperti juga garam bata tersebut, yang benar adalah barang setengah tulen setengah palsu !" Kata Lo hoa piau sembari menuding ke arah garam bata itu. Betapapun lihaynya Sangkoan Ki, ternyata diapun tidak berhasil menemukan penyakit dari lilin tersebut, katanya kemudian. "Aku rasa tiada kemungkinan untuk memalsukan lilin ini !" Lo hoa-biau segera menggelengkan kepala nya berulang kali, katanya. "Lilin ini mempunyai ketinggian lima inci dengan besar yang lumayan, pada lapisan satu inci bagian atas, sekeliling lilin ini serta setengah inci bagian bawah memang dilapisi lilin dan kwalitet paling baik, tapi tiga inci setengah yeng berada dibagian tengah, justeru diisi dengan obat peledak yang berkuatan dahsyat!" Lohoa-biau menerangkan. "Oh, mengerti aku sekarang." Seru Sangkoan Ki sok pintar. "bila lilin ini disulut maka dalam seperminum teh pertama tak akan terjadi perubahan apa apa tapi bila bagian satu inci diatas sudah habis. maka lilin itu akan segera meledak." Besar benar sok ngerti pemuda itu. "Salah." Lo hoa-biau menggelengkan kepalanya. "tidak sampai sehembusan napas setelah lilin itu disulut, obat peledaknya akan segera meledak." Lo-boa-biau menjelaskan. "Bukankah bagian atasnya masih terdapat lilin asli sepanjang satu inci ?" Bantah Sangkoan Ki sembari berkerut kening. "Benar, tapi sumbu lilin justeru dihubungkan langsung dengan pusat obat peledak, sehingga begitu bertemu api, sumbu itu akan terbakar langsung kebawah. Apakah tidak meledak lilin itu bila sudah bertemu dengan api?" Mo Kiau jiu mengerdipkan matanya berulang kali, ucapnya kemudian. "Ah, tidak benar, bukankah Ceng Bun keng telah mencoba sebatang dihadapan kami ? Kenyataannya tidak meledek ?" "Benar, karena lilin yang dicobakan dihadapan kalian tidak berisi obat peledak, melainkan sumbu biasa !" Mendadak Sun Tiong-lo berhenti, mengambil lilin dari tangan nona Kim kemudian berjalan menjauh langkah lebar, setelah meletakkan lilin itu diatas tanah. ia berjalan balik. Kemudian digunakan kertas yang dibungkus dengan batu, kemudian di sulut dengan api dan disentilkan ke ujung sumbu lilin tersebut tampaknya ia hendak membuktikan kebenaran cari ucapan mana. Disaat gerakan bunga api dari kertas tersebut jatuh diatas sumbu lilin itu terpancar sekilas cahaya aneh pada ujung lilin tadi menyusul kemudian terjadilah suatu ledakan dahsyat yang menggetarkan seluruh jagad. Padahal jarak antara mereka dengan lilin tersebut masih sepuluh kaki lebih, namun hempasan pasir dan batu yang memancar ke empat penjuru toh terasa menyayat badan. Bayangkan saja, seandainya puluhan lilin di sulut bersama, apa yang bakal terjadi dengan kawanan jago tersebut? Mungkinkah tubuh mereka turut hancur musnah. Setelah meledak lewat Sun Tiong lo memeriksa kembali bekas ledakan tersebut, ternyata permukaan tanah itu melesak kedalam tiga depa dengan lebar satu kaki akibat ledakan mana, betapa dahsyatnya tenaga ledakan tersebut bisa dilihat dari sini. Berubah hebat paras muka Sun Tiong lo setelah menyaksikan kesemuanya itu, seandainya Lo hoa-biau tidak memperingatkan mereka, sudah pasti dia bersama para jago lainnya akan mati tanpa tempat kubur. Dari sini, para jago pun semakin memahami betapa mengerikan dan kejamnya rencana dari Mao Tin hong tersebut. Dalam kobaran api dendam yang menyala-nyala, para jago segera menyatakan solidaritas nya terhadap perjuangan Lo hoa biau sekalian bertiga dalam usahanya mencari balas. Dengan kehadiran Lo hoa biau dalam rombongan, maka mereka pun dapat terlepas dari keadaan orang buta menunggang kuda, menjelang saat beristirahat maka bersama-sama merundingkan suatu siasat bagus untuk menghadapi siasat busuk Mao Tin hong selanjutnya. "Orang she Mao itu terlalu jahat" Demikian Lo hoa biau berkata. "siapa tahu dia sedang bersembunyi dalam kegelapan barusan dan melihat jelas semua persoalan yang terjadi dalam selat ular beracun. akan tetapi dia bukan dewa, dengan mudah kita dapat menyelidiki hal tersebut." "Tolong tanya bagaimana cara untuk menyelidikinya ?" Lo hoa biau menuding bukit lm san didepan sana, kemudian ujarnya. "Tak jauh setelah memasuki mulut bukit itu merupakan wilayah kekuasaan suku biau berleher panjang, bila orang she Mao itu tidak mengetahui kejadian malam tadi, aku percaya dia pasti bermain setan lagi dihadapan kepala suku Biau berleher panjang l" "Ehmmm..." Sun Tiong lo manggut-manggut. "Setelah bermain setan, apa pula yang bisa dilakukan ?" "Dengan kedudukanku sebagai seorang anggota suku Biau, sembilan puluh persen bisa kuduga kalau dia akan mengatakan garam yang dibawa Han kek sekalian palsu, dengan begitu bila kepala suku Biau berleher panjang membuktikan kepalsuan garam tersebut, sudah pasti mereka akan menyerang kita !" "Untung kita sudah mengetahui tentang penyakit kain warna- warni tersebut, tentu saja kita tak akan mencari kesulitan buat diri sendiri asalkan kita kupas lapisan luar dari garam tersebut dan dihadiahkan kepada suku Biau berleher panjang, aku rasa hal ini sudah lebih dari cukup !" Suatu akal bagus tiba-tiba melintas didalam benak Sun Tiong lo, sambil tertawa segera ujarnya. "Tidak usah, aku mempunyai sebuah cara yang dapat membuat Mao Tin hong mencari mampus buat diri sendiri, bisa membuat kepala suku Biau membencinya hingga merasuk ke tulang sumsum !" Mendengar ucapan mana, Lo-hoa-biau menggelengkan kepalanya dengan wajah tidak percaya. Nona Kim juga segera bertanya. "Engkoh Lo, cara bagus apakah yang kau miliki ?" Sun Tionglo hanya tertawa tanpa menjawab sebaliknya malah berkata kepada Lo hoa biau. "Aku hanya ingin bertanya kepadamu, apakah rakyat suku Biau gemar dengan kain putih?" "AsaI ada kain, mereka pasti senang, tapi lukisan manusia aneh dengan tinta hitam ini merupakan pantangan paling besar bagi anggota suku Biau berleher panjang, bila kau tak dapat mengemukakan alasannya dengan tepat-terpaksa bersiap siaplah untuk melangsungkan pertempuran berdarah..." Sun Tiong-lo segera tertawa. "Kalau masalahnya hanya tinta hitam itu mah gampang untuk diselesaikan, aku jamin tak bakal terjadi persoalan lagi" "Oooo... apakah Han kek bersedia menerangkan lebih jelas lagi ?" Pinta Lo hoa biau. Sun Tiong lo segera menggeleng. "Sekarang, lebih baik jangan ditanyakan dulu, sampai waktunya apa yang kukatakan kepada kepala suku Biau berleher panjang tolong sobat tua sudi menterjemahkan ke dalam bahasa suku Biau, tanggung tak bakal terjadi persoalan lagi!" Namun Lo hoa biau masih tidak tenang, kembali serunya. "Han kek. persoalan ini menyangkut soal mati hidup!" "Tak usah kuatir, harap kau tak usah kuatir" Kata Sun Tiong lo dengan suara tegas. "aku tak akan menggunakan nyawaku sebagai bahan gurauan saja..!" Lo hoa biau kehabisan daya, terpaksa dia manggut-manggut. Sementara semua orang beristirahat Sun Tiong lo mengeluarkan dua batang lilin berobat peledak itu kemudian dengan ujung jarinya secara berhati-hati sekali mengorek keluar sumbu peledak itu dan menuang keluar isi obat peledak yang masih tersisa didalamnya Semua orang memperhatikan tingkah lakunya, namun mereka hanya bisa melongo dan tak tahu apa gerangan yang sebenarnya terjadi. Ketika selesai bekerja, Sun Tiong lo memasukkan kedua batang lilin tersebut kedalam sakunya. Kemudian dia berpesan kepada Hoa ji agar menyimpan sisa lilin kedalam buntalan dan di gembol diatas punggung. ^ooo^dw^ooo^ MENDEKATI LOHOR, salah seorang panglima perang andalan suku Biau berleher panjang yang bersama "Caa-Ki" Dengan memimpin enam puluh orang prajurit tempurnya setengah menyambut setengah menggusur membawa Sun Tiong lo sekalian beserta Lo hoa biau dan Tarsi Saila memasuki daerah mereka... Berhubung Lo hoa biau telah mengangkat sumpah berat, oleh kepala suku dianggap sebagai "sahabat dewa", sambutan yang diberikan arnat hormat dan berlebihan. Tarsi serta SaiIa jadi turut kecipratan sambutan yang berlebihan tersebut. Tapi berbeda sekali terhadap Sun Tiong-lo sekalian, mereka dicurigai sebagai musuh. Terutama sekali sang dukun yang tak pernah berpisah dari sisi kepala sukunya, dengan sorot mata yang buas dia mengamati terus gerak-gerik Sun Tionglo Mula pertama, Lo hoa-biau melakukan upacara persembahan lebih dulu terhadap dewa bertelinga besar dengan menggunakan darah segarnya, seusai upacara, Lo hoa-biau diterima sebagai tamu agung, dan saat itulah kepala suku baru menanyakan maksud kedatangan Sun Tiong lo. Dengan alasan hendak mencari bahan obat-obatan Sun Tiong lo mengatakan minta izin untuk lewat tempat tersebut, bahkan mengatakan ada hadiah hendak dipersembahkan. Menyusul kemudian, Sun Tiong lo mengeluarkan tiga puluh batang garam bata serta kain putih tersebut. Ketika menyaksikan lukisan diatas kain putih tersebut, paras muka kepala suku segera berubah hebat, ditatapnya Sun Tiong-Io dengan penuh kegusaran serentak dia melompat bangun agaknya bersiap sedia hendak menurunkan perintah penyerangan. Tapi Sun Tiong-Io lewat penterjemahannya Lo-hoa-biau segera memberi penjelasan. "Aku tahu kalau hal ini merupakan pantangan bagi suku kalian, sesungguhnya semuanya ini hasil perbuatan dari seorang Han kek she Mao, dia sengaja membuat rusak kain putih yang hendak kupersembahkan kepada kepala suku, agar kepala suku marah kepadanya. Tapi kepala suku tak usah kuatir, aku mempunyai cara yang bagus untuk menghilangkan semua noda lukisan diatas kain itu, bahkan hilang lenyap tak membekas, bila kurang percaya, silahkan kepala suku menitahkan seseorang untuk mengambil sebaskom air, asal telah kubuktikan pasti kepala suku akan percaya." "Hmm, Han kek penipu !" Dengus kepala suku. Sun Tionglo tertawa, dia mengeluarkan sebatang garam bata, kemudian ujarnya. "Kepala suku sudah tahu kalau benda itu palsu." Sengaja katanya. "Benda apakah itu ?" "Garam aneh !" "Kepala suku." Segera berkerut kening, sambil memandang wajah Lo hoa biau yang baru saja menerjemahkan ucapan itu ke bahasa Biau dia berseru. "Apa itu garam aneh? Belum pernah kudengar." Ketika Lo hoa biau menanyakan hal ini kepada Sun Tiong-lo, tentu saja dia mengetahui maksud hati pemuda itu, bahkan sangat mengagumi kelihayan siasatnya. Maka sambil berlagak rahasia, ujarnya kepada kepala suku. "Harap kepala suku mengambil dua buah kantung, sekalian persiapkan air sebaskom, sebentar segala sesuatunya akan menjadi jelas." Kepala suku berpaling ke arah sang dukun dengan itu segera mengangguk sambil mengulap kan tangmnya. Dua buah kantung kulit dan sebaskom air segera dipersiapkan orang dalam waktu singkat. Sun Tiong lo meminjam pisau miliki Lo hoa biau, kemudian tanpa mengucapkan sepatah katapun dia memotong lapisan garam yang asli menjadi tiga puluh potong dan disimpan kedalam sebuah kantung. Sedangkan bagian yang terasa getir, sebangsa bahan pemutih itu kedalam baskom berisi air. Dengan cepat bahan pemutih yang terasa getir itu larut kedalam air dan merata, maka Sun Tiong lo segera turun tangan menceburkan kain-kain yang kotor tadi kedalam air yang telah dicampur dengan bahan pemutih tersebut. Suatu kejadian yang mungkin dianggap ajaib pun segera berlangsung dihadapan segenap suku Biau berleher panjang yang hadir disana. Setelah direndam dan dicuci didalam air baskom tersebut, lukisan hitam yang mengotori kain putih tadi menjadi bilang lenyap-sebagai gantinya kain itu putih bersih kembali. Maka Sun Tiong lo segera memberi tanda kepada Hou ji, mereka bersama sama membentangkan kain putih itu. Kain putih itu nampaknya bertambah putih, sedang noda hitam tadi lenyap tak berbekas. Bagi kita, mungkin kejadian tersebut merupakan sesuatu yang wajar karena bekerjanya bahan kimia, lain halnya dimata suku Biau- berleher panjang yang mesih terpencil hidupnya dan belum berkembang pengetahuannya itu, peristiwa mana segera dianggap oleh semua orang sebagai suatu peristiwa yang sangat ajaib. Maka sedari kepala sukunya sampai ke anak buahnya, mereka bersama sama menjerit kaget. Terutama sekali sang dukun tersebut, untuk beberapa saat lamanya dia sampai tidak mampu untuk mengucapkan sepatah katapun. Menggunakan kesempatan inilah, La hoa biau segera berkata kepada kepala suku. "Harap menitahkan orang untuk mengeluarkan kain itu dan dijemur diatas teriknya matahari !" Setelah kepala suku menurunkan perintah, Lo hoa biau menuding lagi isi kantung yang lain sembari berkata. "Apakah kepala suku dan dukun tidak mencoba dulu isi kantung tersebut ? Coba dirasakan besarkah garam atau bukan ?" Dukun yang licik segera menitahkan beberapa orang rakyatnya untuk mencoba. Ketika selesai mencoba, orang-orang itu segera bersorak sorai dengan girangnya. Tak menunggu pertanyaan dari kepala suku Lo-hoa biau segera berkata lagi kepada para rakyat suku Biau tersebut. "lnilah hadiah yang dibawa para Han-kek ini untuk kepala suku serta semua orang, nama nya garam aneh, pada lapisan luar berisi garam dan bisa dimakan, sedangkan bagian yang dalam bisa digunakan untuk membersihkan semua noda kotor." "Oleh karena Han-kek kuatir semua orang itu mengerti cara memakai benda bagus ini, lagipula tahu kalau ada orang jahat she Mao yang ingin mengacau secara diam-diam, maka kami sengaja membagi dulu benda benda tersebut agar kalau jangan salah pakai. "Sejak kini, apalagi kalian ingin menggunakan garam, maka ambillah dari dalam kantung ini, sebaliknya bila ingin mencuci kain yang kotor maka gunakanlah lapisan yang di dalamnya, nah sekarang ambillah benda-benda tersebut." Lo hoa biau menjelaskan hal ini itu dengan menggunakan bahasa suku Biau, apalagi diapun berada dalam status "Utusan dewa" Yang sedang melakukan sumpah berat, tentu saja perkataannya dipercayai setiap orang. Dengan begitu rencana busuk dari Mao Tin hong pun lagi-lagi mengalami kegagalan total. Pagi tadi, Sun Tiong lo telah melangsungkan perundingan yang cukup mendalam dengan Lo hoa biau, kini Sun Tiong lo memberi tanda kepadanya dan Lo hoa biau segera manggut-manggut tanda mengerti. Ketika para suku Biau tersebut telah menggotong pergi garam dan bahan pemutih tersebut Lo hoa biau berkata lagi kepada kepala suku. "Kepala suku, aku dengar orang berkata di tempat Dewa Agung berdiam terdapat sebuah batu besar yang menghalangi jalanan sehingga perjalanan menuju kesitu agak terganggu, benarkah demikian?" "Benar, batu itu menjengkelkan!" Kepalanya suku mengangguk. "Mengapa tidak disingkirkan saja?" Kepalanya suku memandang sekejap kearah Lo hoa biau, kemudian sahutnya cepat. "Disingkirkan? Utusan dewa, kau tidak tahu batu itu tingginya dua kaki dengan lebar satu kaki, beratnya bukan kepalang, tenaga lelaki sebanyak dua tiga puluh orang pun belum tentu sanggup untuk menyingkirkannya!" Ratna Wulan Karya Kho Ping Hoo Leak Dari Gua Gajah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bego Karya Can