Ceritasilat Novel Online

Bukit Pemakan Manusia 40


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Bagian 40


Bukit Pemakan Manusia Karya dari Khu Lung   Tukas Mao Tin hong. Im Kiok tidak menggubris, dia melanjutkan kembali kata-katanya.   "Oleh karena itu, bila kau ingin mengetahui kemana perginya majikan dan congkoan, silahkan saja bertanya kepadaku seorang, namun sebelum melaksanakan syarat yang kuajukan, jangan harap aku akan menjawab pertanyaanmu !"   "Apa syaratmu ?"   "Persoalan iui tiada sangkut pautnya dengan para cici dan adik semua, kau harus membukakan mereka dan memerintahkan mereka pergi lebih dulu !"   Mao Tim hong menganggap kawanan dayang tersebut sudah ibaratnya domba didepan mulut harimau, sekalipun dilepaskan sekarang, toh akhirnya akan berhasil dikumpulkan kembali secara mudah bila dia menginginkan. Maka Mao Tin hong segera mengangguk.   "Boleh, lohu akan segera menurunkan perintah !"   Setelah berhenti sejenak, ia lantas berseru kepada kawanan dayang itu.   "Disini sudah tak ada urusan kalian lagi, cepat kembali ketempat masing-masing !"   Mendengar seruan tersebut, tanpa terasa para dayang mendongakkan kepalanya dan bersama-sama menatap wajah Im Kiok. Dengan wajah serius Im Kiok segera berseru kepada kawanan dayang tersebut.   "Cici dan adik sekalian, silahkan kembali ke tempat masing- masing, bila kalian belum melupakan pesan dari majikan tua dan subo seharusnya kalian tahu bahwa bencana besar telah melanda Pek-hoa-wan kita hari ini.   "Didalam surat wasiat majikan tua telah di perintahkan jika hari semacam ini telah tiba, maka cici dan adik sekalian diharuskan menuju ke Lak-toan-Sin-koan untuk menembus dosa, sekarang kumohon kepada kalian untuk segera menuju kesana."   Mendengar perkataan tersebut para dayang itu segera menunjukkan perasaan gembira.   Ketika keadaan tersebut terlihat oleh Mao Tin hong, kecurigaannya segera timbul.   Ia berpikir sejenak, kemudian mengulapkan tangannya mencegah kawanan dayang itu mengundurkan diri, teriaknya.   "Tunggu sebentar !"   Kawanan dayang itu segera berhenti, sedang Im Kiok langsung menegur.   "Apa maksudmu berbuat demikian ?"   Mao Tin hong mendengus dingin.   "Hmm ! Dimanakah letak Lak-toan sin koan yang kau maksudkan barusan ?"   Serunya.   "Oooh soal ini ?"   Im Kiong tertawa.   "disetiap ruangan bangunan ini pasti terdapat meja altar yang memelihara patung dewa Lak-toan kua-sin, dan kemudian yang dimaksudkan sebagai Lak-toan adalah enam lukisan garis pendek dalam pat-kwa, bagaimana? kau tidak mengerti tentang hal ini..."   "Ooooh, rupanya begitu..."   Mao Tin hong mengangguk. Belum habis dia berkata, Im Kiok telah menyela kembali.   "Apakah mereka sudah boleh pergi sekarang?"   Sekali lagi Mao Tin hong mengangguk.   Dengan suara lantang Im Kiok segera berseru.   -oo0dw0oo- SIAU-MOAY mohon kepada cici dan adik sekalian agar jangan lupa mewakili siau-moay untuk memasang hio dan bersembahyang setiba di istana Lak toan seng kiong nanti, mohonkan keselamatan bagi siau-moay...   nah, kalian boleh pergi sekarang !"   Serentak para dayang itu membalikkan bada ndan berlalu dari sana, dalam waktu singkat bayangan tubuh mereka telah lenyap dari pandangan mata... Hingga kawanan dayang tersebut telah pergi jauh, Mao Tin hong baru berkata lagi dengan kening berkerut.   "Aneh, mengapa mereka menuju ke suatu tempat yang sama ?"   Im Kiok mendongakkan kepalanya dan memandang sekejap ke arah Mao Tin hong, kemudian ia menjawab.   "Apa sih yang aneh ?"   "Bukankah kau bilang, mereka diharuskan kembali ke tempatnya masing-masing."   "Tahukah kau dimana aku berdiam ?"   "Kau tinggal di pesanggrahan In sui-siu-cu bukan ?"   Im Kiok mengangguk.   "BetuI, sekarang mereka menuju ke tempat kediamanku lebih dulu untuk membacakan doa bagiku, ini dilakukan sebagai pernyataan rasa terima kasih mereka kepadaku, apakah berbuat demikianpun tidak boleh...?"   "Boleh, tentu saja boleh."   Jawab Mao Tin hong sambil mengawasi terus kawanan dayang yang telah menjauh itu.   "cuma, apa sebabnya mereka berlalu dengan cepat, seolah-olah tergesa-gesa sekali ?"   "Kalau soal ini mah harus ditanyakan kepadamu sendiri !"   "Tanya kepadaku ?"   Mao Tin hong agak tertegun.   "apa yang ditanyakan kepadaku ?"   "Hmmm.! Kau kejam seperti ular beracun, hatimu jahat seperti racun kala jengking, hatimu hitam, buas seperti binatang liar, kekejaman dan kebengisanmu tiada duanya di dunia ini, tentu saja mereka menganggap lebih aman untuk berlalu secepatnya meninggalkan dirimu."   Ucapan mana kontan mengobarkan hawa amarah Mao Tin hong, agak sewot dia membentak "lm Kiok, lohu peringatkan kepadamu untuk berbicara lebih berhati-hati Iagi!"   Namun Im Kiok sedikitpun tidak gentar, dia malah menantang dengan garang.   "Kalau tidak berhati-hati kenapa? Memangnya kau hendak membunuhku?"   Mao Tin hong semakin gusar.   "Jangan kau anggap lohu tak berani membunuhmu karena aku masih membutuhkan kau? Hm, jika kau lanjutkan ulahmu itu. hati-hati kalau kusiksa dirimu lebih dulu!"   Im Kiok kembali tertawa.   "Sudah hampir, aku toh sudah hampir tak berguna lagi, sampai waktunya kau boleh berbuat sesuka hatimu atas diriku ini!"   "Hmmmm, tak usah banyak ngebacot lagi, ayo jawab, Jin Jin dan Bi Kui bersembunyi di mana ?"   Dengus Mao Tin-hong.   "Kalau aku harus menjelaskan, mungkin kau tak akan jelas. lebih baik aku menghantarmu ke sana saja."   Kata Im Kiok kemudian.   "Bagus, mari kita berangkat sekarang!"   Im Kiok pun menganggukkan kepalanya.   "Betul, kita memang harus berangkat sekarang juga, ikutilah aku..."   Katanya.   "Tunggu dulu !"   Mendadak Mao Tin-hong berseru kembali, agaknya ia teringat akan sesuatu, bila kita harus berjalan demikian, lohu tetap merasa kuatir !"   "Terserah, mau menotok jalan darahku juga boleh,"   Kata Im Kiok pasrah.   "tetapi aku hendak menjelaskan dahulu, di tempat itu terdapat sebuah daerah yang tak mungkin dapat dilalui tanpa tenaga dalam, bila sampai waktunya aku tak mampu lewat, jangan kau salah kan diriku."   Kata Im Kiok menjelaskan. Mao Tin hong segera berkerut kening.   "Kalau begitu lohu harus memperingatkan dirimu lagi "   Dan akhirnya dia berkata.   "bila kau berani main setan, jangan salahkan bila lohu akan menghajar dirimu habis-habisan!"   Im Kiok tidak ambil perduli dia segera berjalan. Mao Tin hong tak mau ketinggalan, dia pun menyusul dibelakangnyii secara ketat. Berapa saat kemudian, tiba-tiba Mio Tin-hong berseru.   "Hei mengapa kita mengambil jalan yang searah dengan tempat yang dituju budak-budak tadi?"   "Tentu saja"   Dengus Im Kiok.   "majikan melalui pesanggrahan Insut siu-cu sebelum melarikan diri, bila kita hendak menyusulnya tentu saja harus melalui pula tempat itu, apalagi para cici dan adik sedang memasang hio untukku disitu, aku seharusnya pula melalui tempat mana...!"   Mao Tin hong segera terbungkam dalam seribu bahasa, tapi entah mengapa dia selalu merasa kalau hal ini ada yang kurang beres.   Sedapat mungkin Mao Tin-hong berusaha untuk mengendalikan perasaan gusarnya, namun dalam hati kecilnya ia telah memutuskan bila persoalan telah selesai, dia akan menyiksa In Kiok habis-habisan sebelum akhirnya di hukum mati.   Hanya saja dia tak dapat menemukan di manakah letak ketidak beresan tersebut, maka disamping meningkatkan kewaspadaannya, dia membungkam dalam seribu bahasa.   Perjalanan yang ditempuh Im Kiok tidak terlalu cepat, dengan tak sabar Mao Tin hong segera berseru.   "Apakah kau tak bisa berjalan lebih cepat lagi ?"   "Tentu saja dapat"   Jengek Im Kiok.   "justru aku kuatir kalau terlalu cepat malah menimbulkan kecurigaanmu, kalau sampai mengira aku ingin kabur bukankah aku bakal mati penasaran?"   "Hmmm, tajam amat selembar bibirmu !"   Mao Tin hong mendengus dingin.   "Kau juga mempunyai hati yang hitam dan busuk !"   Sambung Im Kiok cepat.   Maka diapun tak banyak bertanya lagi, diikutinya Im kiok dengan mulut membungkam.   Kini Im kiok melanjutkan perjalanannya dengan lebih cepat lagi mau tidak mau Mao-Tin hong harus meningkatkan kewaspadaannya untu menghadapi segala kemungkinan.   Akhirnya tibalah mereka tak jauh dari pesanggrahan In sui sian cu...   Pertama-tama Im Kiok melompati jembatan Jit khong tay kiau lebih dulu, kemudian baru masuk ke dalam pesangrahan In sui siau cu.   Mao Tin hong menitahkan kepada Im kiok agar berjalan tak lebih tiga kaki lebih jauh darinya, agar setiap saat dia dapat melancarkan serangannya.   Im Kiok tidak memasuki ruang tengah pesanggrahan ln sui siau cu, melainkan berbelok kesebelah kiri terus menuju kebelakang.   Mao Tin hong juga tidak banyak bertanya, sepanjang jalan dia hanya memperhatikan keadaan disekitar situ dengan seksama.   Di sebelah kiri terdapat sebuah bangunam loteng kecil, di belakang loteng adalah kolam yang besarnya berapa bau.   Saat inilah Im Kiok membalikkan badannya sembari berkata.   "Majikan dan congkoan pernah melewati loteng ini!"   Mao Tin hong mencoba untuk mengawasi sekejap bangunan loteng itu, lalu bertanya.   "Mengapa tak nampak seorang dayang pun?"   "Mungkin mereka telah kembali."   "Tapi sepanjang jalan tidak aku jumpai seorang manusiapun?"   Seru Mao Tin bong semakin keheranan. Dengan cepat Im Kiok menggeleng.   "Waah, soal ini mah aku kurang jelas, untung saja yang kita cari sekarang adalah majikan dan Bi Kui!"   Mao Tin hong berpikir sejenak, lalu katanya.   "Apakah mereka berdua berada diatas loteng?"   Sekali lagi Im Kiok menggeleng.   "Aku tak berani memastikan, mungkin berada disitu, mungkin juga tidak ada."   Mao Tin hong segera berkerut kening, ia makin memperhatikan gerak gerik Im Kiok dengan lebih seksama.   Sementara itu Im Kiok telah membuka pintu loteng namun dia tidak masuk kedalam melainkan berpaling memandang kearah Mao Tin hong.   Mao Tin hong memahami arti dari tindakan tersebut, lm Kiok sedang menantikan perintahnya.   Sejak tadi Mao Tin hong memperhatikan bangunan loteng itu dengan seksama, loteng itu berdiri sendiri dari lingkungan bangunan lainnya.   Berdiri sendiri disitu sama artinya tiada jalan mundur lainnya, diapun tak usah kuatir Im Kiok akan melarikan diri, maka setelah berputar satu lingkaran mengitari bangunan loteng itu, ujarnya kemudian kepada Im Kiok.   "Masuklah lebih dulu untuk melihat-lihat!"   "Jika tidak berada di bangunan loteng ini, sudah pasti majikan berada di Thian gwa thian (langit diluar langit) !"   "Oooh, dimanakah letaknya Thian gwa thian itu ?"   Sambil melangkah masuk ke dalam bangunan loteng itu, Im Kiok menjawab.   "Tak jauh letaknya dari sini, tempat itu merupakan sebuah tempat yang sangat menarik."   Sembari berkata dia lantas berjalan menuju ke dalam loteng.   Tempat ini merupakan bawah loteng bukan diatas loteng, suasana didalamnya amat gelap gulita sehingga sukar untuk melihat jelas keadaan didalam ruangan tersebut.   Waktu itu Mao Tin hong sedang ikut beranjak masuk ke dalam ruangan.   Mendadak...   "Aduuuh..."   Im Kiok menjerit kesakitan. Serta merta Mao Tin hong menyelinap mundur sejauh beberapa kaki dengan cekatan.   "Blaaaammm....!"   Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Pintu bangunan loteng itu tertutup dari bagian dalam, kemudian tidak kedengaran suara apa apa lagi. Sambil berkerut kening Mao Tin-hong membentak dengan suara dalam dan berat.   "Bi Kui, keluar kau !"   Suasana didalam bangunan loteng itu sunyi senyap tak kedengaran sedikit suarapun, tiada orang yang menjawab.   Anehnya In Kiok pun tidak menimbulkan suara iagi, mungkin ia sudah dibekuk Bi Kui.   ^oooOdwOooo^ MAO TIN HONG mendengus dingin, kembali dia berseru.   "Jin Jin, walaupun kau ditolong Bi Kui dan berhasil kabur kemari, namun ilmu menotok jalan darah lohu tak akan bisa dibebaskan siapa pun jua, selama hidup kau akan tersiksa terus, mengapa tidak munculkan diri saja untuk bersua dengan lohu ?"   Suasana didalam loteng itu masih tetap hening, seakan-akan sebuah bangunan kosong belaka. Kembali Mao Tin-hong membentak.   "Kau harus tahu, kesabaran lohu ada batasnya, kalian mau menjawab tidak pertanyaanku?"   "Kau sedang berbicara dengan siap? ?"   Saat itulah seseorang menegur dari dalam loteng. Mendengar suara itu Mao Tin hong tertegun serunya kemudian.   "Kau Im Kiok ?"   "Kau anggap nama nonamu juga bisa disebut oleh tua bangka celaka yang tidak mengenal budi macam kau ?"   Dengan cepat Mao Tin-hong menyadari apa gerangan yang telah terjadi, segera bentaknya dengan suara menggeledek.   "Budak anjing, kau berani membohongi aku?"   Ternyata orang yang berada di dalam bangunan itu memang In Kiok, terdengar dia tertawa terkekeh-kekeh.   "Mengapa tidak berani ? Untuk membohongi tua baka celaka macam kau, pada hakekatnya lebih gampang daripada membohongi seekor anjing budukan !"   Kemarahan Mao Tin hong menjadi meledak, dia segera mengayunkan telapak tangannya menghajar pintu loteng tersebut.   Dengan tenaga dalamnya yang telah mencapai puncak kesempurnaan, dimana angin pukulannya menyambar lewat, pintu loteng segera tergetar hancur berantakan, bahkan bangunan loteng itupun turut bergoncang sangat keras, keadaannya sungguh menggidikan hati orang.   Tapi Im Kiok justru tidak gentar, malah sambungnya.   "Kepandaian bagus, bila punya nyali ayolah ikut nonamu masuk ke bangunan ini !"   Sewaktu mengucapkan perkataan itu, gadis tersebut masih tetap bersembunyi dibalik kegelapan, tak nampak bayangan manusianya menampakkan diri.   Selesai mengucapkan perkataan tersebut, tak kedengaran suara apa-apa lagi disitu.   Dengan cepat Mao Tin hong melancarkan sebuah pukulan dahsyat ketengah udara, kemudian tubuhnya ikut menerobos pula ke dalam bangunan itu...   Setelah berada dalam bangunan, sorot matanya mengawasi sekeliling tempat itu dengan seksama, akan tetapi dia tidak menemukan bayangan tubuh dari Im Kiok.   Setelah diamati lagi dengan lebih seksama, dia segera menemukan sesuatu...   Lantai disudut dinding sebelah kiri baru saja merapat, rupanya di tempat itu terdapat sebuah lorong bawah tanah.   Mao Tin hong mendengus dingin, dia maju ke depan dan segera membuka lantai tersebut.   Dibawah lorong sana amat gelap gulita tapi nampaknya terdapat undak-undakan batu.   Sementara Mao Tin-hong masih termenung dan tak tahu bagaimara harus menghadapi kejadian tersebut, dari bawah sana berkumandang suara tanya jawab.   "Bagaimana? Apakah tua bangka itu berada di atas?"   Suara pembicara jelas merupakan si Bi kui. Seorang yang lain ternyata adalah Im Kiok segera menjawab dengan nyaring.   "Ya, dia berada disitu, bahkan bisa jadi dia telah berubah menjadi si ikan bluntak yang mempunyai perut gede, maklum karena mendongkoInya.   "Menurut pendapatmu, mungkinkah dia akan sampai kemari ?"   "Mau apa dia kemari ? menghantar kematiannya ? Hmm !"   "Kau mesti tahu tua bangka tersebut licik tapi pintar, aku rasa dia tak akan berani turun kemarin ayo kita pergi saja."   "Pada majikan, apa di dalam ?"   "Yaa, semuanya berada disini, sebab hanya tempat ini saja yang aman, majikan bilang tua bangka itu memiliki kepandaian silat yang terlampau tinggi sedangkan jalan darah majikan pun belum terbebas dari pengaruh totokan sehingga tak mampu bergerak ! ia menitahkan kepada kita agar bersabar diri dan jangan sembarangan bergerak !"   "Ooooh, tadi si tua bangka itu bilang kalau memang sampai jalan darah majikan tak bakal bisa dibebaskan jadi dia bersungguh- sungguh ?"   Seru Im Kiok kemudian. Bi Kui menghela napas panjang.   "Hai, siapa bilang bukan sungguhan ? Kami sudah hampir mati saking gelisahnya !"   "Coba kau lihat, datas sana terdapat sinar terarg, delapan puluh persen tua bangka itu pasti berhasil menemukan mulut lorong rahasia ini dan lagi sedang menyadap pembicaraan kita, bagaimana kalau kubikin panas hati si tua bangka tersebut agar turun kemari dan menghantar kematiannya."   "Sudahlah"   Sahut Bi Kui setelah termenung sejenak.   "bagaimanapun juga, toh tua bangka tersebut tak akan bisa lolos, cepat atau lambat memberesi dia aku pikir sama saja !"   "Hingga kini aku masih keheranan, bagaimana sih ceritanya majikan sampai mengetahui kalau tua bangka itu sedang mengacau ?"   Kembali Bi Kui menghela napas panjang.   "Aaaai... sesungguhnya majikan tidak menuruti perkataannya dengan pulang ke wilayah Biau terlebih dulu, sebaliknya secara diam-diam kita ikuti gerak-geriknya, sudah barang tentu segala perbuatan dan tingkah lakunya dapat kami saksikan dan kita ikuti semuanya dengan jelas dan terang !"   Im kiok segera mendengus dingin.   "Hmmm ! Lantas mau apa dia memasuki kebun Pek-hoa wan ini...?"   "Soal ini pernah kutanyakan kepada majikan, menurut majikan mereka pernah menjadi suami istri, lagi pula majikan selalu berharap agar dia mau meninggalkan jalan sesat untuk kembali ke jalan yang benar. siapa tahu gara-gara niatnya tersebut, dia harus mengalami kerugian besar ditangan tua bangka tersebut."   Mendengar perkataan mana, Im Kiok menjadi gusar sekali, serunya kemudian.   "Kalau kupikir kembali persoalan ini, semakin kupikir semakin panas hatiku, kasihan kepada enci Li hoa, dia telah dibakar hiduphidup sampai mati, hingga kinipun pekikan kesakitan yang memilukan hati seakan-akan masih mendengung disisi telingaku, aku harus mencaci-maki dan menyumpahi bangsat tua itu."   Berbicara sampai disini, Mao Tin hong segera mendengar suara umpatan dari lm Kiok.   "Orang she Mao, bajingan tua she Mao, kau tua bangka celaka, telur busuk bangkotan, kalau memang lelaki sejati ayo cepat menggelinding turun kebawah. Huuuh, aku lihat kau si anak jadah tak akan bernyali.."   Belum habis umpatannya itu, Bi kui sudah membujuknya.   "Sudahlah, ayo kita cepat pergi, majikan sedang menunggu kedatangan kita, sudah kubilang kebun Pek hoa wan tak punya jalan mundur, jalan keluarpun sudah dihadang oleh Sun sauhiap dan kawan-kawannya, cepat atau lambat dia akan mampus."   "Aku justru sangat berharap dia bisa turun kemari, biar mampus ditangan kita saja."   Sela lm Kiok cepat.   Suara pembicaraan tersebut makin lama semakin menjauh, dan akhirnya sudah tak kedengaran suaranya lagi.   Mao Tin hong berdiri bodoh didalam loteng, pelbagai pikiran berkecamuk di benaknya.   Turun ke bawah ? Dia kuatir terperangkap oleh siasat busuk orang-orang itu.   Tidak turun ? Dangan kehadiran Bi kui disana, berarti Jin jin pasti berada pula disana, berarti pula kitab pusaka tersebut berada pula dibawah sana, bila dia berani turun kebawah, niscaya semua benda tersebut akan jatuh ke tangannya.   Lama sekali dia berpikir sebelum akhirnya mengambil satu keputusan, dia harus turun ke bawah ! Yaa, harus turun ke bawah ! Dia yakin dengan kepandaian silat yang dimilikinya, tak mungkin ada orang yang mampu menandingi kemampuannya, bila dia mau berhati-hati, kenapa mesti takut terhadap sekelompok kaum perempuan ?"   Berpikir sarnpai disini, dia lantas atap beranjak menuruni anak tangga tersebut.   "Tunggu sebentar !"   Kembali satu ingatan melintas didalam benaknya dan menghalangi niatnya. Sambil menggelengkan kepalanya berulang kali, Mao Tin hong bergumam seorang diri.   "Jangan, jangan bertindak gegabah, lebih baik kupikirkan lebih dulu tindakan ini masak-masak sebelum melangkah lebih jauh."   Dengan cepat dia mencopot papan di atas lantai tersebut dan menghancurkannya sehingga remuk berkeping-keping, dengan begitu muncullah sebuah lubang gua yang gelap.   Apa isi dibawah lorong rahasia tersebut? ...   Tak terpikirkan oleh pikirannya.   Diambilnya sebuah kursi lalu duduk disisi lorong rahasia tersebut sambil termenung.   Apa maksud yang sebenarnya dari tanya jawab Im Kiok serta Bi Kui tadi? Aku tidak percaya kalau mereka tidak tahu bahwa pembicaraannya kudengar, tapi mereka mengapa sengaja? Kalau toh sudah tahu kalau aku turut mendengarkan pembicaraan tersebut, mengapa mereka tiu masih berbicara terus tanpa berusaha untuk merahasiakan? Hmm! Kalau begitu, ucapan mereka bukan suatu pembicaraan yang jujur dan sesungguhnya, siapa tahu kalau mereka sedang mengatur siasat untuk menjebaknya nanti? Yaaa, betul! Jadi tanya jawab mereka memang sengaja dilakukan agar dia turut mendengarkannya.   Jikalau betul begini, berarti persoalannya tak dapat dianggap main-main, aku harus berpikir lebih mendalam lagi sebelum mengambil tindakkan selanjutnya.   Bila mereka persiapkan jebakan yang berlapis-lapis dibawah sana, jikalau dia nekad turun ke bawah, niscaya dirinya akan celaka, siapa tahu kalau mereka kuatir diriku tak berani turun, maka sengaja menggunakan tipu muslihat untuk menjebakku ? Sekarang mereka sudah sengaja memperdengarkan tanya jawab ini kepadanya, ini membuktikan kalau dibawah sana mesti ada jebakan namun tak akan mampu membelenggu dirinya, maka itulah mereka memakai siasat licik ini.   Aku mengerti, mereka takut aku benar-benar turun ke bawah maka sengaja mereka katakan begini begitu hmmm...   hmmm...   budak sekalian bila ingin beradu permainan busuk denganku, kalian masih ketinggalan jauh sekali.   Berpikir sampai disitu, mendadak Mao Tin hong melompat bangun dan bertekad untuk mencobanya.   Turun sih pasti turun, cuma dia enggan untuk turun ke bawah dengan begitu saja.   Mula-mula dia mencari dulu sebuah lentera didalam ruang loteng itu dan menyulutnya.   Kemudian dengan menggunakan tenaga dalamnya dia menekan meja kursi dan peralatan lainnya sehingga hancur berkeping-keping dengan hancuran kayu tersebut dibuatnya sebuah api unggun yang diletakkan dibawah Iorong rahasia dengan demikian keadaan dibawah lorong sana menjadi terang benderang.   Rupanya bawah lorong itu merupakan undak-undakan batu yang semuanya terdiri dari dua puluh dua buah undakan.   Dibawah undak-undakan merupakan suatu lorong yang berdinding batu, tiada benda lain yang nampak.   Ia menunggu hingga kobaran api pada kayu-kayu tersebut hingga habis terbakar, kemudian baru melayang turun dengan kecepatan luar biasa.   Siapa tahu, baru saja tubuhnya melayang turun ke dalam lorong rahasia tersebut, segera berkumandanglah suara gemuruh yang memekikkan telinga, menanti dia mendongakkan kepaIanya, ternyata mulut lorong rahasia tersebut sudah tertutup rapat.   Dengan lentera ditangan, terpaksa Mao Tin hong menaiki kembali undak-undakan tersebut dan meraba pintu lorong dengan tangan, dengan cepat hatinya terkesiap.   Ternyata pintu rahasia itu terbuat dari baja yang tebalnya beberapa inci, kuat dan lagi keras.   Sekarang Mao Tin hong mulai gugup dan gelisah, dengan tertutupnya pintu rahasia tersebut berarti jalan mundurnya tersumbat...   "Aah, jangan-jangan kawanan budak tersebut sengaja bertanya jawab, agar dia mencari penyakit buat diri sendiri dengan memasuki lorong rahasia ini ?"   Demikian dia mulai berpikir.   Makin dipikir dia merasa jalan pemikirannya makin benar, sayang nasi sudah menjadi bubur, segala sesuatunya telah terlambat, dalam keadaan demikian terpaksa dia hanya dapat meneruskan perjalanannya menuju kedepan.   Maka dengan berhati-hati sekali dia maju ke depan, langkahnya amat lambat.   Tapi tiba-tiba saja dia mendongakan kepalanya sambil menjerit tertahan.   Rupanya diatas dinding batu disebelah depan sana, tertera beberapa huruf besar yang berwarna merah darah.   "Kau berani datang? Silahkan maju terus kedepan."   Berbicara yang sejujurnya, kalau bisa mundur Mao Tin hong pasti akan memilih mundur saja, tapi sayang jalan baginya sekarang tinggaI satu.   Dengan perasaan apa boleh buat terpaksa ia harus berhati-hati dan sambil menahan debaran hatinya yang makin menjadi, selangkah demi selangkah dia terus maju ke muka.   Kembali dia sampai disebuah tikungan lorong, kemudian setelah berbelok dia maju lagi kedepan.   Ternyata didepan sana tiada jebakan apa-apa, maka dengan perasaan lega dia maju lagi ke-depan.   Baru saja maju beberapa langkah diatas dinding batu kembali muncul beberapa buah huruf besar berwarna merah darah yang berbunyi demikian.   "Mao Tin hong, didepan sana adalah tempat untuk mengubur tulang belulangmu"   Selain gugup dan cemas, Mao Tin hong mulai mendongkol bercampur gusar. Dia maju lagi ke depan, maju terus ke muka, akhirnya dia menangkap cahaya terang. Sambil tertawa Mao Tin hong segera bergumam.   "Oooh, rupanya hanya tipu muslihat saja, hampir saja aku tertipu oleh permainan busuk semacam ini!"   Sambil bergumam dia melanjutkan perjalanannya dengan langkah lebar dan langsung menuju ke tempat yang terang dan terbuka itu. Pada jarak berapa kaki dari tempat yang terbuka itu, sekali lagi dia berhenti secara tiba-tiba.   "Keningnya berkerut semakin kencang, kemudian dengan gemas dia mendengus dingin. Ternyata diatas dinding batu itu muncul kembali serangkaian huruf besar dari warna merah yang berbunyi.   "Mengingat hubungan suami istri, kau boleh melihat sinar dulu sebelum mampus."   Mao Tin hong segera tertawa seram, gumamnya.   "Heeeh... heehh.. perempuan jalang, kalau toh kau berhasrat membunuhku, masa kau mempunyai kebaikan hati seperti ini? sekarang aku baru mengerti, rupanya kau sengaja memancing aku untuk kemari, baik- apa yang mesti kutakuti?"   Seraya berkata dia segera menerjang keluar dari lorong rahasia tersebut menuju ketempat yang terbuka itu.   Begitu keluar dari lorong rahasia itu, Mao Tin hong segera menyaksikan suatu pemandangan yang sama sekali berbeda.   Dulu Mao Tin-hong pernah berdiam selama dua tahun di dalam kebun Pek hoa-wan dan sekalipun amat singkat namun terhadap suasana kebun maupun daerah di sekitarnya boleh dibilang sudah hapal sekali, bahkan hampir semua tempat pernah dijelajahi olehnya.   Tapi apa yang terlihat didepan mata sekarang, ternyata masih begitu asing dan belum pernah terlihat olehnya selama ini.   Dengan ketajaman matanya dia dapat memeriksa keadaan sejauh berapa li di hadapannya, hal mana bukan sesuatu yang aneh karena bisa dilakukan semua orang, yang cukup mengejutkan adalah pemandangan yang terlihat olehnya sekarang.   Pertama tama yang terlihat olehnya sebuah gardu kecil yang sangat indah, dulu belum pernah tempat ini di jumpai, lebih lebih tidak terlihat lagi dimanakah tempat itu terletak Gardu kecil itu tingginya tiga kaki dengan atap yang berwarna hijau dan bercahaya terang.   Di dalam gardu tiada meja ataupun kursi, tapi ada perabot lainnya.   Sebuah kursi beroda berada ditengah gardu, Jin jin duduk disitu dengan wajah sedingin es.   Di belakang kursi sebelah kiri berdiri Bi-kui, sedang disebelah kanannya berdiri Im-kiok mereka berdiri dengan wajah angker dan penuh kegusaran.   Pada bagian belakang berdiri lah berderet-deret dayang dari Pek hoa wan, semua dayang memancarkan sinar tajam dan mengawasi wajah Mao Tin hong tanpa berkedip, agaknya mereka sangat tidak terima dengan musibah yang menimpa rekan-rekannya.   Jin jin bukan duduk berhadapan dengannya, dia duduk dengan setengah miring kedepan.   Di mukanya terdapat banyak sekali benda-benda yang aneh, benda-benda tersebut kebanyakan tertutup oleh sebuah pilar besar berwarna merah sehingga sukar dilihat dengan jelas.   Namun Mao Tin hong dapat mengenali kalau diantara benda benda tersebut terdapat hiolo dan benda benda untuk sembahyang lainnya, ditambah pula dengan sebilah pedang.   Mao Tin hong berpaling lagi ke sekeliling tempat tersebut ia kembali dibikin keheranan.   Disekeliling gardu terdapat banyak ranting kayu, kebanyakan ranting-ranting itu ditancap dibelakang bata besar atau kecil, dau dibelakang ranting ranting kayu itu tampak banyak sekali rumah rumah mungil.   Dibilang rumah mungil memang tepat, sebab rumah-rumah tersebut kecil seperti rumah-rumahan mainan kanak kanak? hanya saja mainan ini dibuat lebih bagus.   Ketika diamati lebih jauh, haaahahaha...   Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Bukan saja ada rumah-rumahan kecil, bahkan ada jembatan kecil, gunung-gunungan, air mancur, selokan...   Mao Tin hong menggelengkan kepalanya berulang kali, seandainya bukan disiang hari bolong, pada hakekatnya dia akan menyangka bila dirinya sedang berada dinegeri liliput.   Pokoknya kecuali gardu yang dipakai Jin-Jin sekalian saat ini, semua benda yang terdapat disitu berada dalam ukuran yang kecil sekali.   Kecuali benda-benda tadi, ternyata di sana tidak nampak benda lainnya.   Mao Tin hong agak tertegun dan dibuat berdiri bodoh untuk beberapa saat lamanya.   Dia termenung dan termenung terus, untuk beberapa saat tidak diketahui apa yang mesti dilakukan.   Pada saat itulah, Im kiok yang berada di dalam gardu itu membentak keras.   "Orang she Mao, Wancu kami ada perintah menyuruhmu untuk merangkak dan menerima kematian !"   Mao Tin-hong gusar sekali, setelah mendengus dia siap maju lebih ke depan, tapi ingatan lain segera melintas membuatnya kembali berhenti. Sesudah menggeleng, diam-diam dia memutar biji matanya sambil berpikir.   "Tunggu dulu, aku tak boleh bertindak gegabah, seandainya sampai tertipu, bisa mampus aku ?"   Baru berpikir sampai disitu, disisi telinganya kembali bergema suara dari Bi-kui.   "Mao Tin hong, masih ingat dengan perkataan aku Bi-kui sewaktu berada di perahu besar ditengah telaga Tong-ting ou ? sekarang kau berani berniat keji terhadap majikanku, baik, Aku..."   Belum habis dia berbicara, Mao Tin-hong sudah membentak dengan suara dalam.   "Tutup mulutmu budak ingusan, suruh Jin jin berbicara denganku..!"   "Kau jangan keblinger duIu, kau anggap majikan kami itu siapa ? Memangnya kau pantas untuk bercakap-cakap dengan majikan kami ? Terus terang saja kukatakan. saat inilah ajalmu sudah tiba !"   Mao Tin hoag tertawa terbahak-bahak.   "Haaahh... haaah... haaah... sudah belasan tahun aku hidup berkelana dalam dunia persilatan, pengalaman macam apapun sudah kualami, aku tak percaya kalau perahuku bakal karam dalam selokan macam pecomberan kalian ini. Budak bangsat, kau jangan sombong dulu, masih terlalu awal bagimu untuk ngebacot yang bukan-bukan !"   Dalam keadaan seperti ini, bagaimana mungkin Mao Tin hong masih mempunyai waktu untuk banyak berbicara lagi, apa pula dia memang bukan seorang manusia yang suka banyak berbicara, dia berbuat demikian justru karena ada tujuan tertentu.   Siapa tahu Bi kui jauh lebih lihay daripada Im kiok, segera ujarnya.   "Mao Tin-hong, tipu muslihatmu itu mungkin saja dapat membohongi Wancu kami yang poIos, tapi buat nyonya mudamu ? Huuuh, tak bakat ada gunanya, lebih baik simpan saja akal bulusmu itu !"   "Kini jalan mundurmu sudah buntu, hanya ada dua jalan saja yang dapat kau tempuh, ke satu menerima kematian dan ke dua berada untuk selamanya ditempat ini sebelum pelan-pelan mampus karena kelaparan dan kehausan.   "Dengan berterus terang nyonya mudamu ingin memberitahukan beberapa patah kata kepadamu, tiga kaki disekitar tempatmu berpijak sekarang adalah daerah aman, tapi jangan mencoba melewati wilayah tiga kaki, kalau tidak maka kau akan segera terjerumus ke dalam barisan majikan kami."   Lebib baik kau jangan mengandalkan cara masuk keluar dari barisan yang pernah kau pelajari, sebab sama sekali tak ada gunanya, barisan ini yang hidup dan tergantung dari gerak-gerik manusianya, jika kau berani melewati daerah seluas tiga kaki yakin kau tentu akan mampus.   "Kau ketakutan bukan? Nyonya muda dapat melihatnya, masuk ke barisan pasti mampus lebih baik tinggal saja disana sambil merasakan bagaimana enaknya kelaparan dan kehausan sebelum akhirnya mampus, anggap saja hal ini sebagai pembalasan untuk perbuatan-perbuatan busukmu!"   Mao Tin hong sangat marah, dia membentak keras-keras.   "Budak sialan, bila aku takut dengan barisan busuk kalian itu, tak nanti aku berani turun tangan terhadap anjing perempuan cabul tersebut, cuma sayang aku masih ada urusan penting saat ini."   Belum habis dia berkata.   "Bi Kui sudah menukas dengan setengah mengejek.   "Tak usah mimpi, coba berpalinglah kau lihat apakah disini masih tersedia jalan ketiga yang dapat menghantar kau pergi dengan selamat?"   Mendengar ucapan tersebut Mao Tin hong segera berpaling, seketika itu juga paras muka nya berubah hebat.   MuIut gua yang terbuka dan bersinar cerah tadi ternyata sudah lenyap tak berbekas di saat dia berbincang-bincang dengan Bi Kui barusan.   Di belakang tubuhnya terbentang padang pasir yang lamat-lamat diselimuti kabut tebal, dalam sekilas pandangan saja dapat di duga kalau di balik kesemuanya itu terdapat banyak jebakan dan hawa pembunuhan yang mematikan atau dengan perkataan lain jalan mundurnya benar-benar buntu.   TimbuI niatnya untuk mencoba, maka diambilnya sebutir bata sebesar kepalan dan segera dilontarkan ke arah belakang tubuhnya.   Bersamaan dengan tindakannya tersebut, dia memusatkan semua perhatiannya untuk memperhatikan batu tadi.   Tampak batu yang terjatuh diatas pasir itu tiba tiba tergulung oleh kabut yang tebal sehingga menimbulkan gumpalan asap yang menutupi pandangan mata, dalam waktu singkat kabut telah menyelimuti seluruh jagad membuat batu tadi lenyap tak berbekas.   Menyaksikan kejadian tersebut, Mao Tin hong menjadi tertegun dan melongo untuk beberapa saat.   Bi Kui yang berada dalam gardu tiba tiba mengejek lagi.   "Yaaa, betul, dicoba lagi, ambillah batu dan timpuklah sejauh tiga kaki, coba dilihat apa yang bakal terjadi !"   Mao Tin hong tak perlu mencoba lagi, sekarang dia sudah sadar kalau Bi Kui tidak bohong, daerah seluas tiga kaki disekeliling tempat itu memang tak aman, kecuali itu setiap jengkal tanah disekitar sana benar-benar berbahaya sekali.   Setelah berhenti sejenak, kembali Bi Kui berkata.   "Aku hendak memberitahukan sebuah kabar lagi kepadamu, budak-budak suku Biau dari Ceng Bun keng tak segan-segan melakukan sumpah darah untuk membuat pembalasan denganmu, kini orangnya sudah sampai disini.   "Sebagai mana kau ketahui, Wancu sudah mengetahui perbuatan busuk mu sepaujang jalan, ditambah lagi si Lo hoa biao telah datang ke Biau tiok hiat hu melaporkan semua perbuatan busukmu kepada Wan cu.   "Dan untuk menghadapi keadaan tersebut Wancu telah mengundang Sun sauhiap sekalian masuk kedalam kebun ini. sekalipun kau bersedia untuk tetap tinggal disini sambil menunggu ajal dengan menahan lapar, aku kuatir hal mana tak mungkin dapat kau lakukan..."   Mao Tin hong berkerut kenlng, baru saja dia akan berbicara, satu ingatan lain telah melintas kembali dalam benaknya.   "Goblok aku!"   Demikian ia berpikir.   "mengapa aku mesti bersilat lidah dengan kawanan budak busuk itu ? Mengapa tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk mencari jalan ke luar !"   Berpendapat demikian, maka dia tidak menggubris lagi ejekan dari Bi-kui, kembali dia membungkukkan badannya mengambil tiga biji batu, sebutir dilemparkan ke arah tiga kaki belakang tubuhnya dan satu lagi disambitkan ke arah dua kaki tujuh delapan depa di depan tubuhnya.   Begitu batuan terjatuh ke tanah, sama sekali tidak nampak sesuatu perubahan pun.   Mao Tin hong merasakan hatinya semakin berat dan tercekam dalam kemurungan, ternyata apa yang diucapkan Bi Kui memang tepat sekali.   Menyaksikan kejadian tersebut, tentu saja Bi Kui tidak berdiam diri saja, kembali dia mengejek.   "Nah, bagaimana hasilnya ? Nonamu tidak berbohong bukan ? Hmmm ! Saat pembalasan mu telah tiba."   Rasa benci, dendam dan muak tiba-tiba muncul dari dalam hati Mao Tin-hong, dia ingin sekali mencincang budak tersebut sampai hancur berkeping keping, tapi ingatan lain kembali melintas dalam benaknya, dia lantas berusaha keras untuk menahan gejolak perasaannya dan menarik napas panjang-panjang untuk menenangkan pernapasan.   Menyusul kemudian dia putar otak lagi untuk mencari suatu cara untuk menghadapi keadaan serta berusaha untuk melarikan diri dari situ.   Akhirnya dia sudah memahami, apa yang dikatakan Bi Kui memang tidak bohong, sebentar lagi Sun Tiong lo dan Sangkoan Ki sekalian pasti akan munculkan diri disana.   Berpikir sampai disitu, mendadak ia seperti mendapat satu akal bagus, tiba-tiba saja ia tertawa seram.   Dalam pada itu Jin Jin dan sekalian dayangnya yang berada dalam gardu mulai berbisik-bisik pula merundingkan persoalan tersebut...   Pertama-tama Bi Kui yang berkata lebih dahulu.   "Wancu, menurut pendapatmu, mungkinkah dia hendak melakukan permainan busuk lagi?"   "Aku cukup memahami jalan pikirannya!"   Kata Jin Jin dengan suara dingin. Bi Kui tertegun setelah mendngar ucapan tersebut, cepat dia berseru.   "Apakah dia hendak melarikan diri..."   Dengan cepat Jin Jin menggeleng, tukasnya.   "Tidak, dia hendak mengambil tindakan dengan racun melawan racun..!"   Agaknya Bi Kui belum juga mengerti, dia masih saja berdiri termangu-mangu sambil mengawasi wajah Jin Jin. Pelan-pelan Jin Jin mengalihkan sorot matanya memandang Mao Tin hong yang berada di kejauhan, kemudian katanya lagi.   "Dia licik dan berakal busuk, dari perkataan "tiga kaki di muka dan di belakang aman"   Kamu tadi ia seperti berhasil menemukan titik kelemahan dan menganggap dirinya itu sudah memperoleh akal untuk menghadapi keadaan."   "Kalau toh daerah di muka dan belakang tiga kaki adalah tempat yang aman, maka jikalau dia tak berkutik, tentu saja tak akan terjerumus pula dalam mara bahaya.   "Sebaliknya jika kita hendak membekuknya jelas kemampuan kita bukan tandingannya. tentu saja dia tak akan takuti. Sedangkan Sun sau hiap sekalian meski dapat membunuhnya, tapi mereka harus melewati barisan itu lebih duIu."   "Aku mengerti!"   Tukas Bi Kui.   "dia menganggap Sun Sauhiap sekalian tak mungkin bisa mendekati dirinya?"   "Yaaa, demikianlah keadaannya."   Bi Kui segera tertawa terkekeh-kekeh.   "Manusia goblok!"   Serunya kemudian.   "masa kita tak bisa menghentikan barisan ini untuk sementara waktu sampai Sun sauhiap sekalian sudah memasuki barisan tersebut baru menggerakkan lagi barisan mana?"   Jin jin segera menggeleng.   "Tak mungkin, dia tidak tahu tak mungkin"   "Tidak mungkin ?"   Bi Kui tertegun.   "mengapa tidak mungkin ?"   Jin Jin menghembuskan napas panjang.   "Mao Tin hong pernah menyaksikan jalan hidup, jalan mati serta cara masuk keluar dari ilmu barisan ini, begitu barisan berhenti maka dia akan segera menemukan jalan hidup untuk melarikan diri, dan besar kemungkinannya da akan menerjang keluar dari kepungan barisan ini !"   Bi Kui berpikir sebentar, lalu katanya.   "Sekalipun dia bisa melepaskan diri dari kurungan ilmu barisan ini. masa dapat kabur dari tempat ini dengan selamat ?"   "Tentu saja, dibawah pengejaran Sun sauhiap yang ketat, cepat atau lambat dia akan tertawan juga, namun hasil seperti itu bukan kehendak hatiku, maka aku tak bisa menghentikan gerakan dari ilmu barisan ini..."   "Kehendak hati Wancu adalah..."   Bi kui merasa bingung dan tidak habis mengerti. Paras muka Jin Jin berubah menjadi amat serius, pelan-pelan dia berkata.   "Semenjak lo wancu mendirikan kebun ini belum pernah ada umat persilatan yang begitu berani masuk keluar dari kebun ini sekehendak hati sendiri, bila Sun sauhiap sekalian juga menyerbu masuk dengan kekerasan, maka aku..."   "   J i k a Sun sauhiap mohon ber t emu dengan t at a cara adat i s t iadat y ang ber laku ? "   Sela Bi Kui . J in j in memandang sek ejap k earah Bi Kui , lalu ber k at a.   "Sejak kemarin malam dia sudah menyebarkan kekuatannya untuk mengawasi gerak-gerik kebun ini, lama sekali mereka belum juga pergi, beginikah cara bertemu menurut tata cara adat istiadat orang persilatan ?"   Bi Kui tak mampu menjawab, terpaksa dia menundukan kepalanya rendah-rendah. Pada saat itulah Im kiok buka suara .   "Wan cu, budak handuk melaporkan sesuatu!"   Jin-Jin mengalihkan pandangannya memperhatikan Mao Tin hong dikejauhan sana, lalu menyahut.   "Katakanlah, ada urusan apa?"   "Maaf bila budak berterus terang, bukankah Sun sauhiap sekalian tahu kalau Wancu hendak bertemu dengan manusia yang lupa budi itu ditelaga Tong ting ou? Bahkan Sun tayhiap pun merasakan bagaimana perahu itu dimuati obat peledak..."   "Bicara yang penting-penting saja, yang sudah lewat tak perlu disinggung Iagi!"   Tukas Jin Jin setengah membentak. Im Kiok mengiakan, diapun berkata lagi.   "Wancu, maksud budak oleh karena berbagai peristiwa tersebut membuat Sun sauhiap meningkatkan kewaspadaannya dalam menghadapi setiap masalah, bagaimana mungkin mereka bisa tahu kalau peristiwa ini tidak melibatkan Wancu secara langsung?"   Perkataan ini segera menyadarkan Bi Kui maka dengan cepat dia menyela.   "Betul Wancu, sebelum Sun sauhiap sekalian memahami keadaan Wancu yang sebenarnya, tentu saja dia akan menganggap hingga kini Wancu masih membelai bajingan she Mao itu, maka..."   Jin jin segera mengulapkan tangannya sambil menukas.   "Perduli bagaimanakah jalan pemikirannya sudah sepantasnya jika mohon bertemu dengan menggunakan peraturan dunia parsilatan."   Bi Kui memandang sekejap kearah Im Kiok kemudian tidak banyak berbicara lagi, Im Kiok masih saja bertanya lagi.   "Lohoa biau bersama Tarsi dan Saila..."   Jin jin mendengus sambil menukas.   "Kau benar-benar pikun, mereka adalah mereka, Sun Tiong lo adalah Sun Tiong lo, mereka datang bertemu dengan menggunakan sumpah darah dari adat Biau, sudah barang tentu kejadian tersebut sama sekali berbeda..."   "Tapi menurut lo hoa biau, Sun sauhiap sekalian adalah sahabat sahabat yang dia undang datang ?"   Tukas Bi kui. Kembali Jin Jin tertawa dingin.   "Heh... heeh... heeh... aku hanya bekerja menurut peraturan dan adat bangsa Biau, jadi aku hanya mengijinkan Lo hoa biau mempunyai dua orang pembantu, yakni Tarsi dan Saila, sedangkan Sun Tiong lo sekalian adalah bukan."   Setiap patah katanya diucapkan dengan tegas, memaksa Im kiok dan Bi kui hanya bisa membungkam dalam seribu bahasa.   Sementara itu, Mao Tin hong yang terkurung didalam barisan selain tenang dan santai bahkan duduk diatas tanah.   Sekarang dia sudah mengerti bahwa pemandangan yang disaksikan olehnya hanya pandangan semu, maka dia bersikap lebih hati-hati, orang mengira dia sedang duduk bersantai padahal otaknya tak pernah berhenti untuk mencari bagaimana bisa menemukan akal guna melarikan diri.   Mula-mula dia berpikir setelah memasuki lorong rahasia tadi, dia bukan berjalan ke arah tenggara melainkan lurus ke depan sejauh beberapa kaki, dalam hal ini dia percaya tak bakal saIah.   kalau toh hal ini tak keliru, berarti beberapa kaki di belakang tubuhnya merupakan mulut gua lorong dimana dia munculkan diri tadi, sedang tempat yang berbahaya berarti terletak hanya tiga kaki dibelakang tubuhnya.   Berpikir demikian, Mao Tin hong sangat gembira, sedemikian girangnya sampai tak terlukiskan dengan kata-kata.   Namun dia mengerti gardu yang nampaknya amat jauh itu bisa jadi hanya berjarak sampai lima kaki saja dihadapannya, maka walaupun hatinya gembira namun tak sampai di-perlihatkan keluar.   Seandainya berganti orang lain, saat ini mereka pasti sudah mulai bertindak.   Namun Mao Tin hong memang manusia luar biasa, dia lain daripada yang lain, hingga kini tubuhnya masih tetap tak berkutik ditempat semula.   Menyusul kemudian ia mulai memikirkan langkah yang kedua, dia percaya setelah gua itu ditemukan maka dia pasti dapat kabur melalui jalanan semula.   Tapi, bukankah pintu masuk diluar sana sudah tersumbat ? Apakah hal ini bukan berarti jalanannya sudah buntu? Berpikir sampai di situ, mendadak muncul setitik harapan didalam hatinya.   BetuI! Yaa betul! Tak usah melalui pintu masuk yang semula...   Tapi, tanpa melalui jalan semula, bagaimana mungkin dia bisa meloloskan diri? Sambil bertopang dagu, dia tetap duduk bersantai, siapapun yang melihat sikapnya sekarang pasti akan mengira dia akan bertahan lebih jauh.   Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Padahal siapa yang menduga kalau otaknya justru sedang diputar tiada habisnya untuk mencari seribu macam akal.   Kurang lebih sepertanak nasi kemudian, dia mulai menggeliat dan merogoh ke sakunya.   Psau belati sakti yang tak pernah berpisah dari pinggangnya masid berada ditempat, senjata mustika yang tajamnya luar biasa itu memberikan harapan baginya, membuat rasa percayanya pada kemampuan sendiri makin meningkat.   Dia sudah bersiap-siap melakukan tindakan maka pelan-pelan dia bangkit berdiri.   Untuk menutupi gerakan yang hendak di lakukan, dia harus berusaha mengelabuhi orang lain lebih dulu.   Tiba-tiba ia menuding ke arah Jin jin sambil berseru.   "Jin jin aku hendak berbicara denganmu !"   Jin jin segera memberi tanda kepada Bi Kui untuk mewakilinya menjawab, sebab dia sudah tak sudi lagi berbicara dengan Mao Tin hong.   "Bila ingin berbicara, katakan saja dengan cepat!"   Seru Bi Kui kemudian.   "Aku menghendaki Jin-jin yang menjawab!"   Bi Kui mendengus.   "Hmmm! Wancu sudah bilang, sejak sekarang dia taa akan sudi berbicara lagi dengan bajingan macam kau !"   Mao Tin hong menyeringai seram.   "Bi Kui, biIa aku dapat lolos dari barisan ini kau mesti berhati-hati !"   Ancamannya.   "Lolos dari kepungan ini ?"   Jengek Bi Kui sambil tertawa.   "nampaknya kau sedang bermimpi disiang hari bolong !"   Tujuan yang sebenarnya dari Mao Tin hong adalah untuk memancing perhatian orang banyak, maka perkataan apa pun harus dia utarakan seperti ini agar lebih menarik perhatian orang. Setelah tertawa seram katanya lagi.   "Coba saksikan sendiri nanti, jangan kau anggap hanya dengan pemandangan semu yang berjarak beberapa kaki saja, maka kalian dapat menipu lohu habis-habisan, sekarang juga akan kubuktikan kelihayanku untuk kalian semua !"   Selesai berkata, dia lantas menyentilkan jari tangannya ke arah gardu.   Padahal gardu itu nampaknya berada amat jauh sekali, mustahil tempat sejauh itu bisa tercapai oleh sentilan jari tangannya...   Tapi manusia memang makhluk yang aneh, seperti orang dewasa membohongi anak kecil saja, pura-pura melemparkan cawan ke arah lawan, meski orang tahu kalau hanya di tipu toh tanpa disadari tangannya digerakkan juga untuk menyambut.   Oleh sebab itu Jin Jin yang berada dalam gardu itu selain mendengus dingin dan sama sekali tidak melakukan tindakan apapun, toh tanpa disadari badannya bergerak juga seolah-olah hendak menghindari sesuatu.   Pada dasarnya Mao Tin hong memang bertujuan menggertak orang, sedikit kekuatanpun tidak disertakan dalam gerakan mana, melihat Bi Kui, Im Kiok dan sekalian dayang menunjukkan wajah terperanjat, kontan saja dia tertawa terbahak-bahak.   Ditengah gelak tertawa tersebut, serunya lantang.   "Jangan takut, jangan takut, laho hanya menggoda kalian saja !"   Im Kiok sangat marah, segera bentaknya.   "Mao Tin hong, kematian sudah berada di depan mata, kau masih saja..."   Belum selesai dia berkata Mio Tin-hong sudah menyentil lagi ke arah gardu sambil membentak.   "Kita buktikan saja siapa yang bakal mampus lebih dulu... !"   Kali ini para dayang ini tidak takut lagi, sebab mereka tahu kalau gerakan mana hanya tipu muslihat belaka.   Siapa tahu kali ini berbeda sekali dengan yang semula gerakan menyentil itu bukan hanya gertak sambal belaka.   Menyusul sentilan jari tangan dari Mao Tin hong itu, nampak serentetan cahaya tajam melesat ke tengah udara dan persis meledak dekat tiang pilar dalam gardu tersebut.   Diiringi ledakan dahsyat yang menggelegar, tampak api dan asap membumbung tinggi ke-angkasa.   Menyusul kemudian kembali meluncur datang serentetan cahaya tajam, sekali Iagi terdengar ledakan keras, seluruh gardu itu tahu- tahu sudah terselimut oleh asap yang tebal.   Jin Jin tahu kalau peluru yang dibawa Mao Tin hong tidak banyak jumlahnya, kepada para dayang dia cepat berseru: Jangan takut, peluru tersebut tak mungkin dapat memasuki gardu kita!"   Benar.   ke dua peluru itu hanya meledak di pilar bagian luar dari gardu tersebut, sekalipun asap amat tebal namun tak berhasil menembusi gardu.   Dari sini dapat disimpulkan kalau gardu itu mempunyai pelindung lain.   Setelah asap menipis dan api mengecil, pandangan disekeliling tempat itu pun dapat terlihat kembali.   Api sudah padam, asap telah membuyar, segala sesuatunya sudah berubah seperti seperti sedia kala.   Tapi aneh ditengah lapisan kabut yang tebal itulah Mao Tin hong sudah hilang lenyap secara aneh.   Kenyataan tersebut kontan saja mengejutkan kawanan wanita yang berada disana.   B i K u i y a a g p e r t a m a t a m u b e r s e r u t e r t a h a n l e b i h d u l u .   "   W a n c u , d i a ... d i a t e l a h k a b u r ! "   "   L a b i s a k a b u r k e m a n a ? A n e h ! "   S e r u I m K i o k p u l a s a m b i l mengawasi keadaan disekeliling tempat itu, Jin-jin tidak menjawab, hanya sorot mata nya dialihkan ke tempat dimana Mao Tin bong semula berdiri.   Selang berapa saat kemudian.   Jin-jin baru mendengus dingin sambil berseru.   "Benar-benar manusia yang licik dan berakal busuk, kau terlalu memandang rendah aku!"   Mendengar ucapan tersebut, Bi Kui segera bertanya.   "Apakah Wancu tahu ke manakah dia telah melarikan diri ?"   Jin-Jin manggut-manggut.   "Dia sudah kabur kembali kedalam lorong rahasia tersebut !"   Sahutnya. Im Kiok berkerut kening.   "Seluruh angkasa sudah tertutup rapat, lorong rahasia itu tak mungkin bisa dipakai untuk melarikan diri, sekalipun dia dapat balik kesitu, masakah dapat kabur dengan selamat?"   "Dalam hal ini dia sendiripun tidak begitu yakin, mungkin dia beranggapan dengan kembalinya ke lorong rahasia, berarti kesempatan buat hidup jauh lebih besar daripada tetap berada disini"   "Wancu, dalam lorong bawah tanah itu meski terdapat berbagai jebakan namun belum cukup untuk membekuk bajingan busuk itu, sekarang dia sudah kabur kedalam lorong tersebut terpaksa kita hnrus membiarkan dia mati kelaparan disitu !"   Jin jin tertawa.   "Kalian anggap aku tak mampu membekuknya. Buru-buru Bi Kui menyahut.   "Sebelum Wancu terkena sergapannya, tentu saja mampu untuk membekuknya tapi sekarang..."   "Aku tetap punya akal, cuma harus menggunakan tenaga lebih banyak..."   Kata Jin jin sambil mengulapkan tangannya. Kemudian setelah berhenti sejenak, dia menyambung lebih jauh.   "Disini sudah tak ada urusan Iagi, sekalipun dia muncul kembali dari mulut gua dan ingin menyerbu barisan inipun hal tersebut tak mungkin bisa terjadi, sekarang kita perlu menuju kedepan sana dan coba lihat apa yang hendak dilakukan oleh Sun Tiong lo..."   Bi Kui dan Im Kiok saling bertukar pandangan sekejap, kemudian dengan lm Kiok yang mendorong kereta dorong Jin jin, pelan-pelan mereka menuruni gardu tersebut dan bergerak menuju kesisi kiri barisan tersebut.   Yang tersisa kini hanyalah kobaran api yang berkedip di tengah barisan, segala sesuatunya telah pulih kembali seperti sedia kala, bayangan tubuh Jin-jin dan kawanan perempuan itupun sudah lenyap tak berbekas.   Dalam ruang tamu Pek hoa wan yang megah, Jin jin duduk ditengah ruangan dengan para pelayan berderet di kedua belah sisi ruangan, mereka sedang menyambut kedatangan para pendekar dengan tata cara yang hikmat.   Sun Tiong-lo duduk disamping tuan rumah, dia sedang menunggu jawaban dari Jin-jin.   Disisi kiri Jin-jin berdiri Bi Kui.   di kanan ada Im kiok, dua orang dayang muncul menghidangkan air teh.   Beberapa saat kemudian Jin jin baru berkata.   "Sayang sekali kami tak sempat bersua dengan sauhiap sekalian sewaktu berada di telaga Tong ting-ou tempo hari!"   Dengan hormat sekali Sun Tiong lo membungkukkan badannya lalu menjawab.   "Aku pun berpendapat sama, sudah lama mengagumi nama besar Wancu."   Jin-jin tersenyum.   "Ji sauhiap, kedatangan kalian sudah terlambat beberapa hari !"   Katanya kemudian.   "Oooh bolehkah aku tahu apa yang Wancu maksudkan ?"   Sun Tiong lo bertanya.   "Sekarang Mao Tin hong sudah terjurumus dalam keadaan yang amat bahaya!"   "Boleh aku tanya Wancu, apakah dia bisa mampus setiap saat ?"   Sun Tiong-lo berkerut kening. Jin jin mengangguk.   "Yaa, begitulah yang kumaksudkan !"   Sun Tiong lo termenung lagi beberapa saat, kemudian dia berkata lebih jauh.   "Aku siap mendengar penjelasan dari wancu!"   "Mao Tin hong berambisi besar dan berhati buas, setelah menyergap dan mencelakai diriku, dia ingin menguasai Pek hoa wan ku ini, maksudnya dia hendak mempergunakan barisan dari kebun kami untuk menghadapi sauhiap sekalian! "Kalau toh dia begitu tak berperasaan dan tak mengenal budi, tentu saja aku tak dapat membiarkan dia bebas merdeka dengan begitu saja maka kupancing dia memasuki barisan tersebut, walaupun ditengah jalan dia menyadari bahaya dan menghindar..."   Belum habis perkataan tersebut diutarakan? Bau ji sudah tak tahan, dia segera menukas.   "Kalau toh sudah menghindar itu berarti dia belum masuk perangkap bukan?"   Jin-jin mengerling sekejap kearah Bau ji, kemudian menjawab kembali.   "Benar, sekarang dia sudah terkurung dalam suatu lorong bawah tanah, ujung yang satu sudah tersumbat sama sekali sehingga malaikat pun jangan harap bisa lewat, sedangkan bagi yang lain berhadapan dergan barisan, bila berani menyerbu keluar berarti jiwanya akan melayang!"   Bau ji segera melompat bangun sambil berkata.   "Tolong Wancu suka memberi petunjuk kepada kami dimanakah lorong bawah itu terletak..."   "Mau apa kau ?"   Tegur Jin jin sambil berkerut kening.   "Tentu saja hendak membalas dendam!"   Bau ji nampak agak terpengaruh emosi. Jin jin berkerut kening makin kencang, katanya lebih jauh.   "Jadi maksud Sun sauhiap, kau hendak turun tangan di dalam Pek hoa wan kami ini?"   "Di mana dia berada, disitulah aku akan turun tangan!"   Jawab Bau ji dengan cepat. Jin-jin segera mengalihkan sorot matanya ke wajah Sun Tiong lo, kemudian ujarnya lebih jauh.   "Ji siuhiap dan kakakmu sungguh berbeda...."   "Harap wancu tak usah kuatir"   Cepat cepat Sun Tiong lo berkata.   "betapa pun dalamnya rasa benci dan dendam kami dengan saudara Mao Tin hong, selama kami masih berada di tempat ini dan belum memperoleh ijin dari Wancu, tak mungkin kami akan turun tangan secara sembarangan...!"   Pelan-pelan paras muka Jin Jin berubah jadi tenang kembali sesudah tersenyum dia berkata.   "Aaah, tak berani ilmu silat sauhiap berdua amat liehay, sedang para pendekar yang lainpun merupakan jago kelas satu dalam dunia persilatan, aku tidak lebih hanya seorang wanita lemah, aku tak berani..." -oo0dw0ooo-   Jilid 44 "BUKAN BEGITU maksud perkataan kami tadi."   Sun Tiong lo berkata serius.   "Wancu berhak atas segala sesuatu yang berlangsung dalam wilayah kekuasaannya, jadi kami merasa wajib untuk meminta ijin kepadamu."   Kembali Jin jin tertawa.   "Mana, mana, sekalipun aku benar-benar menampik, mungkin saja sauhiap sekalian akan memaksa dengan kekerasan !"   Sun Tiong lo segera menggelengkan kepalanya berulang kali.   "Aah, tidak mungkin, kami pasti akan mohon persetujuan dan pengertian lebih dulu dari Wancu"   Jin jin menghembuskan napas panjang.   "Padahal dergan tenaga dalam yang dimiliki sauhiap, hal ini tak perlu dilakukan !"   Bau ji berkerut kening, mendadak dia menyela dari samping dengan suara keras.    Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Goda Remaja Karya Kho Ping Hoo Sekarsih Dara Segara Kidul Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini