Bukit Pemakan Manusia 9
Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Bagian 9
Bukit Pemakan Manusia Karya dari Khu Lung Terdengar orang itu tertawa terbahak-bahak kemudian berkata. "Nona, aku yang muda mengundang kehadiran nona bukanlah disebabkan persoalan ini". Ternyata sikap nona Siu dengan cepat dapat berubah, dengan suara yang lemah lembut dia berkata. "Oooh, lantas maksudmu adalah, . ." "Apalah sudah tahu masih pura-pura bertanya, Nona Siu segera tertawa lebar. "Tampaknya kau memang hebat sekali!" Sudah berhenti sebentar, dia melanjutkannya. "Bolehkah aku bertanya, darimana kau bisa tahu kalau didalam air teh itu ada racunnya?" "Haaahh... haaahh..haaahh... lagi-lagi sudah tahu pura-pura bertanya, maaf kalau aku tak akan menjawab." Senyum manis masih menghiasi bibir nona Siu, katanya kemudian dengan lembut. "Baiklah akupun tak akan bertanya lagi, tolong jelaskan apa maksudmu mengundang kedatanganku kemari?" Sang tamu memandang sekejap wajah kedelapan orang kakek itu, kemudian sahutnya. "Sederhana sekali, aku minta kesediaan nona agar jangan membuat kedelapan orang kakek itu memperoleh noda karena ketidak setiaan kawan..." Nona Siu tidak segera menjawab, sebaliknya kedelapan orang kakek im segera merasakan hatinya amat terperanjat. Akhirnya kakek Hoo tak kuasa menahan diri, dia segera menibrung. "Sebetulnya apa yang kau maksudkan dengan perkataanmu itu?" "Kakek Hoo tak usah gugup, nona Siu segera akan memberikan jawabannya...!" Sahut tamu itu sambil menuding kebelakang tirai bambu tersebut ! Nona Siu yang berada dibalik tirai bambu itu segera tertawa dingin, ujarnya. "Hmm, kau hanya menuju.i suara hatimu saja, kenapa kau tidak tanyakan dulu bagaimana pendapatku?" Tamu itupun tertawa dingin. "Aku tidak percaya kalau nona tega untuk menampik maksudku dengan begitu saja" "Tiada yang bisa kukatakan lagi, maaf. ." Belum sempat nona itu menyelesaikan kata-katanya, mendadak dengan sinar mata memancarkan cahaya tajam orang itu sudah menukas dengan suara dalam. "Bila nona beranggapan bahwa kecepatanmu bisa melebihi diriku, silahkan saja!" Untuk sesaat lamanya nona Siu yang berada dibalik tirai bambu itu terbungkam dalam seribu bahasa, kenyataan ini membuat ke delapan orang kakek tersebut merasa terperanjat sekali. Sampai lama, lama kemudian nono Siu ber kata. "Mungkin anda lupa, dimanakah kau sekarang berada..." - ooo0dw0ooo- BAB TIGA BELAS "AKU tidak lupa." Tukas Tamu itu ketus. "tempat ini adalah istana Pat tek sin kiong dalam bukit pemakan manusia !" Nona Siu segera mendengus dingin. "Hmm, selama berada dalam istana sin kiong, aku tidak percaya kalau kau berani bertindak secara sembarangan?!" "Kalau kau tak percaya, kenapa tidak dicoba saja?" Jengek tamu itu sambil tertawa hambar. "lngat, bila kau berani bergerak secara sembarangan kedelapan orang kakek itu tak akan berpeluk tangan belaka!" "Heeeee...heeeh... heeehh... kedelapan orang kakek itu jauh berbeda bila dibandingkan dengan nona, meski selalu pegang janji, apalagi dalam pertaruhan tadi akulah yang menang, betul diriku hanya seorang tamu agung, namun aku sudah memiliki hak untuk masuk ke luar istana ini, apalagi..." Pada saat itulah, nona Siau yang berada di balik tirai telah berseru kepada kakek Tiong. "Kakek Tiong, sudah kau dengar perkataan orang ?" Sementara itu kakek Tiong sudah mulai menaruh rasa curiga, namun ia belum memahami duduk persoalan yang sesungguhnya, maka setelah mendengar perkataan itu, katanya. "Nona Siu, sebenarnya apa yang telah terjadi ?" "Apa yang terjadi ? Hmm ! Apalagi kalau bukan gara-gara "pertaruhan" Kalian dengan dirinya !" Kakek Tiong semakin tidak habis mengerti. "Tapi apa sangkut pautnya antara persoalan ini dengan peraturan tersebut ?" "Kenapa kau masih juga tidak mengerti ?" Bentak nona Siu. "tahukah kau, dia telah mengandalkan kemenangannya atas pertaruhan tersebut untuk mengancam keselamatanku ?" Kakek Tiong semakin tertegun, tanpa terasa ia berpaling kearah tamu itu sambil berseru. "Saudara, benarkah perkataanmu itu ?" Orang itu segera tertawa. "Kakek Tiong, inginkah kau temukan pembunuh yang telah meracuni minumanku tadi ?" Kakek Tiong segera mengangguk. "Tentu saja ingin, tapi apa sangkut pautnya..." "Kakek Tiong, bila kau ingin menyelesaikan persoalan apa saja yang ada didunia ini, aku rasa semuanya pasti ada pengorbanan nya bukan ?" "Sudah barang tentu !" Untuk sekian kalinya kakek Tiong manggut berulang kali. Orang itu segera tertawa. "Kalau memang begitu, aku mohon kakek berdelapan untuk menjadi penonton saja untuk sementara waktu ." "Perhitungan siepoa anda betul-betul bagus sekali" Ejek nona Siu dengan cepat. "cuma sayang kau telah lupa, siapakah tuan rumah istana Sin-kiong yang sesungguhnya !" "Ooh... masa tuan rumah istana ini bukan kedelapan kakek, melainkan nona ?" Selagi nona Siu mendengus dingin. "Hmm! Dihadapan orang yang bersangkutan kau ingin menjalankan siasat mengadu domba, menurut anggapanmu siasat macam itu akan mendatangkan hasil ?" Orang itu segera tertawa. "Justeru karena tak berguna, maka kakek berdelapan baru percaya kalau aku memang bukan lagi mempraktekan siasat mengadu domba !" Pada saat itulah kakek Tiong telah berkata lagi. "Saudara, sebenarnya apa yang telah terjadi ? Kenapa tidak kau katakan secara berterus terang...." Belum habis perkataan itu diucapkan, tiba-tiba tamu itu mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. Suara tertawanya itu sangat keras menggetarkan sukma, sekalipun Pat-lo memiliki tenaga dalam yang amat sempurna, tak urung harus menggerahkan juga tenaga dalamnya untuk melindungi pusar. Setelah berhenti tertawa, orang itu baru berseru kembali kearah balik tirai bambu itu dengan suara keren. "Nona Siu, apakah kau ingin pergi dengan begitu saja ?!" Nada suara nona Siu berubah hebat, agak gemetar dia berkata. "Anggap saja kau memang hebat,, tapi ingin kulihat kau bisa mengembangkan kehebatanmu itu sampai kapan !" Orang itu segera tersenyum. "Nona, aku sebagai tamu dari istana ini mana berani berbicara kasar ?" "Aku hanya ada dua permintaan yang mengharapkan kesediaan nona untuk memenuhinya, untuk itu aku merasa berterima kasih sekali. Nona Siu segera menghimpun tenaganya dan berseru. "Dapatkah aku menolak permintaanmu itu ? Coba kau katakan i" Sekali lagi orang itu tertawa. "Tampaknya nona memang cukup dapat memahami perasaan orang, terlebih dulu kuucapkan banyak terima kasih." Setelah berhenti sebentar, sambungnya lebih jauh. "PersoaIan yang pertama, adalah dipersilahkan nona keluar dari baik tirai untuk bertemu !" Nona Siu segera mendengus. "Bisa kululuskan, lantas apa permintaanmu yang kedua ?" Dengan cepat orang itu menggelengkan kepalanya berulang kali. "Lebih baik kita laksanakan persoalan ini gatu demi satu saja" Katanya cepat. "Silahkan kau laksanakan persoalan yang pertama !" Sementara itu nona Siu telah berpaling ke arah Pat-lo seraya berseru dengan suara nya yang lantang... "Pat-lo, harap ingat baik-baik setiap perbuatan yang terjadi pada malam ini !" "Nona tak usah menggertak Pat-lo dengan kata-kata," Dengus orang itu dingin, dan terlebih dahulu aku akan mengucapkan sesuatu kepada nona, yang ingin kujumpai adalah Sancu kalian, jadi sebelum dia pulang, tak nanti aku akan pergi dari sini!" Nona Siu tak bisa berkata apa-apa lagi, tampak tirai bambu digulung dan nona itupun munculkan diri. Nona itu mempunyai paras muka yang amat cantik, pipinya putih halus dengan bibir yang kecil, matanya jeli namun sikapnya keren dan amat serius.. Ketika orang itu bertemu dengan nona Siu, tiba tiba sepasang alis matanya berkenyit, lalu berpikir. "Aaah, tidak benar, tidak benar, rupanya dia bukan orang yang sedang kucari!" Namun perasaan tersebut tak sampai diungkapkan diatas wajahnya, malahan sekulum senyum segera disunggingkan diujung bibirnya. Sementara itu, ketika Pat-lo melihat kemunculan nona Siu, merekapun saling berpandangan sekejap, sikap mereka sukar untuk dilukiskan dengan kata-kata. Sudah barang tentu, keadaan tersebut tak lolos dari ketajaman mata orang itu, namun ia tidak memberi komentar ataupun reaksi apa apa. "Sekarang aku telah menampakkan diri, katakanlah persoalan yang kedua ... !"seru nona tiu kemudian. "Tolong nona jelaskan kepadaku, apa sebab nya dalam air teh ku bisa ada racunnya?!" Begitu pertanyaan ini diutarakan keluar, paras muka Pat-lo segera berubah hebat, mereka hanya bisa duduk tertegun dengan sinar mata keheranan. Nona Siu segera tertawa hambar. "Oooh... kau mengatakan aku yang telah mencampuri racun itu?" "Nona, harap jangan salah mendengar, aku hanya minta kepada nona untuk menerangkan apa sebabnya dalam cawanku bisa ada racun nya, aku toh tidak menuduh nona yang telah melepaskan racun itu!" "Hmm! Heran, kalau toh yang meracuni bukan aku, mana mungkin aku bisa menjelaskan persoalan tadi?!". "Haahh .haaha....haha...benar, benar, kalau memang begitu, terpaksa aku harus mengundang keluar seorang yang lain untuk memberi penjelasan." Sambil-berkata, mendadak orang itu merentangkan kelima jari tangan kanannya ke arah tirai bambu itu dan mencengkeramnya ke udara kosong. Gerak serangan dari orang itu cepat sekali, namun gerakan tubuh nona Siu pun tidak kalah cepatnya, apalagi dia memang sedang berdiri didepan orang itu, maka hanya sejangkauan tangannya yang lentik sudah dapat mencapai sepasang mata lawannya.. Mata, merupakan pusat dari semua indera manusia, sudah barang tentu, seorang itu tak berani bertindak gegabah, diapun tak mengira kalau nona Siu yang berada hanya tiga langkah dihadapannya itu bisa melepaskan serangan maut ke arahnya. Dalam keadaan demikian, tentu saja dia harus mengambil keputusan untuk melindungi keselamatan dirinya lebih dulu, mendadak ke lima jari tangan kanannya di tarik kembali, kemudian menyambar ke atas pergelangan tangan nona Siu, sedangkan tangan kirinya tetap melanjutkan cengkeraman udara kosongnya Angin menyambar tirai bambu yang rapat itu.. Tirai itu segera p ltus dan terjatuh kebawah, ternyata semuanya terdiri dari tiga lapis, tak heran kalau orang-itu hanya bisa melihat raut wajah orang-dibalik tirai itu secara lamat-lamat saja, kendatipun dia telah menghimpun tenaga dalamnya untuk melihat dengan ilmu "mata sakti" Nya. Jeritan tertahan segera berkumandang bersamaan dengan suara putusnya tirai bambu itu ke atas tanah, sedangkan pergelangan tangan nona Siu pun kena di totok sehingga terpental sejauh lima depa lebih dari tempat semula sambil mengaduh-aduh tiada hentinya. Dengan terlepasnya tirai bambu itur mereka-semua pemandangan dibalik tirai tersebut pun dapat terlihat dengan jelas, Semua orang dapat melihat jelas ada sesosok bayangan punggung dari seorang gadis yang cantik luar biasa sedang menyelinap masuk ke balik sebuah pintu rahasia dibawah tanah sana. sementara itu, sang tamu sudah berdiri mem belakangi Pat-lo, tapi saling berhadapan muka dengan nona Siu yang masih memegangi pergelangan tangannya sambil mengaduh. Sambil tertawa lembut, orang itu segera berkata. "Maaf seribu kali maaf nona, jika aku telah membuat nona kesakitan...!" Dengan gusar nona Siu melototi wajah orang itu, dia hanya mendengus dingin tanpa mengucapkan sepatah katapun. Kembali orang itu tersenyum, ujarnya. "Nona, sudah baik-baik memangku jabatanmu sebagai nona "sian", mengapa kau mesti menuruti perkataan orang lain dan menyaru sebagai nona Siu?!" Ketika mendengar perkataan itu, kakek Tiong memandang sekejap ke arah rekan-rekannya, namun wajahnya diliputi pula oleh perasaan heran bercampur curiga. Setelah berhenti sebentar, terdengar orang itu berkata lagi kepada kakek Tiong. "Bukannya aku hendak menegur Pat-lo, aku hanya heran, kalau toh Pat lo mengetahui akan hal ini, mengapa kalian tidak menjelaskannya kepadaku?" Dengan perasaan menyesal bercampur malu, kakek Tiong menundukkan kepalanya rendah-rendah. "Aaai, terus terang saja kukatakan, kedudukan nona Siu sesungguhnya luar biasa sekali....." "Jadi Tiong-lo (kakek Tiong) mengira aku masih belum tahu tentang kedudukan nona Siu?" Tukas orang itu dengan wajah serius. Kakek Tio-ng tertawa jengah. "Bila kau sudah tahu, hal ini lebih baik lagi.." "Siapa tahu, pada saat itulah orang tersebut telah mengucapkan kembali kata kata yang segera mengejutkan semua orang. "Kakek Tiong, bila dugaanku tidak salah, nona Siu yang sekarang sudan bukan nona Siu yang sesungguhnya lagi." Ketika mendengar perkataan itu, baik Pat-lo maupun nona Sian yang menyaru sebagai nona Siu sama-sama berubah hebat raut wajahnya. "Saudara, apa yang kau maksudkan dengan perkataanmu itu?", tegur kakek Tiong dengan kening berkerut. Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Terus terang kukatakan kakek Tiong, walaupun ilmu silat yang kumiliki biasa saja, tenaga dalamku juga belum mencapai puncak kesempurnaan akan tetapi semenjak kecil aku telah memperoleh warisan dari seorang tokoh silat yang melatih sepasang mataku untuk melihat dari kejauhan." "Oleh karena itu, ketika nona Siu dan nona Sian menemani minum arak tadi, kerdatipun teraling oleh tirai bambu, namun tak bisa mengelabui sepasang mataku, itulah sebab nya aku bisa mengatakan kepada kakek Tiong kalau dibalik tirai ada dua orang." "ltulah sebabnya ketika nona Siu dan nona Sian muncul sekali lagi, walaupun terhalang oleh tirai bambu, aku masih dapat mengenali kalau nona Sian tetap masih nona Sian, sebaliknya nona Siu mesti masih tetap merupakan nona Siu..." "Sudah barang tentu demikian-!" Tukas nona Sian dengan cepat. "buat apa kau mesti banyak berbicara lagi ?!" Orang itu tersenyum, katanya. "Jangan terburu nafsu nona, harap dengarkan dulu perkataanku hingga selesai. ." "Sayang aku tak punya waktu untuk berce-loceh terus dengan orang macam dirimu itu!" Kembali nona Sian menimbrung. Orang itu segera mendengus dingin. "Hm, nona Sian, mari kita berbicara sejujur nya, bukankah enci Siu mu itu telah berubah menjadi seseorang yang lain? Aku dapat melihat kalau diatas wajahnya telah mengenakan selembar topeng kulit manusia yang mirip sekali dengan nona Siu!" "Anak, apakah kau telah melihat jelas?" Kakek Tiong segera menjerit tertahan. Orang itu tidak menjawab pertanyaan tersebut, kepada nona Sian kembali katanya. "Aku yakin setelah nona Sian berbalik ke tempat tinggalmu sesudah berlalu dari sini, tentunya kau tak bertemu dengan nona Siu dalam suatu jangka waktu yang tidak terhitung pendek bukan?" Agaknya kakek Tiong dapat memahami arti kata dan ucapan orang itu, paras mukanya segera berubah, kepada nona Sian segera tanyanya. "Nona Sian, ketika itu kentongan ketiga sudah lewat, kenapa kalian tidak pergi tidur?" "Enci Siu bilang, dia teringat masih ada satu persoalan yang belum di selesaikan . .." Belum sampai nona Sian selesai berbicara, orang itu telah menukas kembali. "Tolong tanya nona Sian, setelah balik kembali ke kamarnya, bukankah mimik wajahnya menunjukkan sikap anak gugup dan agak gelagapan?" Nona Sian kembali berpikir sebentar, lalu sahutnya. "Be.... betul, dalam perjalanan pulang ke ruang belakang, sepanjang jalan dia tidak ber kata apa-apa, wajahnya tampak gelisah sekali, jauh berbeda dengan tabiatnya dimasa-masa yang lalu !" Sementara itu enam belas buah mata dari Pat-lo telah ditujukan ke wajah orang itu, agaknya mereka sedang menantikan jawabannya. Orang itu mendengus dingin, tiba-tiba ia berpaling kearah Pat-lo sembari berkata. "Pat-lo, dengan kunjunganku yang gegabah ke dalam istana Sin- kiong pada malam ini, semestinya harus di jatuhi dengan hukuman apa?" Kakek Tiong menjadi tertegun menghadapi penanyataan tersebut, katanya kemudian. "Apa maksudmu mengucapkan perkataan itu? Lohu bersaudara telah menjelaskan dengan seterang-terangnya, kau adalah tamu agung kami, sekarangpun kita sedang membicarakan urusan yang amat serius, kenapa kau malahan..." Sambil tertawa orang itu segera menukas. "Jangan gelisah kakek Tiong, aku bisa mengajukan pertanyaan ini, sudah barang tentu ada alasannya !" "Ooooh... apakah alasannya ?" "Kalau toh aku adalah tamu agung dari Pat lo, lagi pula dengan segenap anggota istana ini dari atas sampai kebawah tiada permusuhan ataupun dendam kesumat, tolong tanya kakek Tiong, kenapa orang itu hendak meracuni aku sampai mati ?" "Benar!" Seru kakek Tiong dengan mata terbelalak. "sampai sekarangpun lohu masih belum memanami sebab musababnya !" "Tapi aku mengetahui hal ini dengan jelas sekali !" Kata orang itu cepat sambil tertawa. "Ooh? Kalau begitu tolong berilah petunjuk kepada kami semua." "Yang meracuni diriku adalah nona Siu" Kata orang itu! Kemudian setelah berhenti sejenak, dia berkata lebih jauh. "Harap kalian dengarkan lebih seksama lagi, yang kumaksudkan sebagai orang yang telah meracuni diriku itu adalah nona Siu gadungan yang mengenakan topeng kulit manusia sehingga gerak geriknya mirip sekali dengan nona Siu yang asli." "Soal kenapa ia sampai meracuni diriku ? Alasannya hanya ada satu, yakni dia sudah tahu kalau penyaruannya itu tak nanti bisa mengelabuhi ketajaman matamu !" Kakek Tiong memandang sekejap ke arah kawanan kakek lainnya, kakek Ay segera manggut-manggut seraya berkata. "Toako tampaknya memang demikian." "Sobat-sobat tua sekalian, duduknya persoalan bukan hanya sampai disitu saja !" Kata orang itu lebih jauh. Kembali Pat-lo dibikin terkejut oleh perkataan itu. "Tolong utarakanlah dengan jeIas, apa lagi yang berhasil kau lihat didalam peristiwa ini." Pintanya hampir bersamaan Orang itu memandang sekejap ke arah delapan orang kakek itu, kemudian menjawab. "Sudah pasti nona Siu gadungan ini mempunyai tujuan yang jahat atau bahkan ada dendam kesumat dengan partai kalian, dendam tersebut pasti berat dalam bagaikan lautan, itulah sebabnya ia baru menyamar dikala Sancu sedang turun gunung." Tapi akupun dapat memastikan bahwa nona Siu yang asli pasti mempunyai hubungan yang luar biasa intimnya dengan Sancu kalian, itulah sebabnya ia menyamar sebagai nona Siu dengan tujuan untuk mengancam Sancu agar menuruti keinginannya!" Paras muka Pat lo serta si nona Siang segera berubah hebat, tanpa mengucapkan sepatah katapun kegelapan orang kakek itu segera membalikkan badan dan berlalu dari sana. "Mau kemana kalian berdelapan ?" Orang itu segera mencegah. "Saudara benar-bcnar cukup bersahabat, buat kebaikan ini tentu akan lohu bersaudara belas bila urusan telah selesai nanti, sebagaimana yang dikatakan anda tadi, lohu bersaudara harus segera membekuknya hidup-hidup." Belum habis perkataan itu diukapkan, sang tamu telah menukas. "Harap kakek Tiong jangan bertindak gegabah, bagaimana kalau dengarkan dulu sepatah dua patah kataku." "Baik, baik, lohu akan mendengarkan dengan seksama." Kakek Tiong benar-benar sudah takluk kepada orang itu sekarang, bahkan apa yang diucap kan segera dituruti tanpa membantah. Dengan sorot mata yang tajam orang itu menatap sekejap wajah Pat lo, kemudian katanya. "Setiap tindakan yang akan kalian lakukan harus disertai dengan suatu perencanaan yang matang, walaupun aku yakin kalau dugaanku ini delapan sembilan puluh persen pasti benar, tapi bagaimana pun juga kita harus berjaga-jaga terhadap "seandainya"!" "Masih ada seandainya apa lagi? Masa akan terjadi perubahan yang lainnya?" Kakek Tiong tidak habis mengerti. "Yaa, tentu saja, malah banyak sekali, misalnya saja andaikata dugaanku itu keliru, bagai mana jadinya?!" Kakek Tiong menjadi berdiri bodoh, ia hanya termangu-mangu tanpa bisa menjawab. Orang itu lantas tertawa seraya berkata lagi. "Apalagi sekalipun dugaanku tidak salah, nona Siu yang asli toh masih berada ditangan nona gadungan, sebelum kita berhasil membekuknya hidup-hidup, bagaimana jadinya bila ia mempergunakannya sebagai sandera untuk memaksa kalian? Urusankan bisa menjadi berabe?" Sekali lagi Kakek Tiong dibuat tertegun "Saudara, lohu benar benar mengagumi dirimu." Setelah berhenti sebentar, kembali berkata. "Katakanlah saudara, apa yang harus kita lakukan sekarang?" "Pertama-tama kita harus kerahkan dulu pat lo sekalian, tapi yang boleh menampakkan diri hanya kakek Tiong seorang bersama nona Sian, kakek Tiong mempunyai "giok pay " Jadi apa ia asli atau gadungan, tak mungkin kau bisa disalahkan." "Setelah itu, kakek Tiong harus bertanya kepadanya secara sungkan mengapa dia mencampuri air teh dengan racun kakek Tiong harap mengingatnya baik baik, pertanyaan tersebut tak lebih hanya suatu alasan yang penting adalah mengawasinya agar ia jangan meninggalkan tempat itu. "Pada saat itulah, para kakek yang lain boleh membagi tugas, ada diantaranya berjaga jaga disekitar situ agar dia tak sampai kabur, sedangkan lima orang lainnya segera manfaatkan kesempatan itu untuk mencari nona Siu yang asli!" "Hebat betul akalmu itu, baik kita lakukan begini saja!" Seru kakek Tiong sambil mengacungkan jempolnya. Kemudian kepada nona Sian serta kakek lain nya, dia berseru. "Hayo berangkat, persoalan ini harus segera diselesaikan ... !"" "Kakek Tiong, aku akan menantikan kabar baik darimu ditempat ini...." Seru orang itu lagi. "Tak usah kuatir saudara, maaf lohu sekalian akan mohon diri terlebih dahulu !" Dia lantas memberi tanda, kemudian bersama Jit-lo dan nona sian berangkat meninggalkan tempat itu, Dalam waktu singkat semua orang sudah berlalu, dalam istana Teng-hong sian pun tinggal orang itu seorang diri. Tampak dia tertawa geli sambil bergumam. "Namanya saja Pat tek sin kiong, huuh...! Pada hakekatnya tak lebih cuma istana gua orang-orang pikun, tidak sia sia perjalananku pada malam ini, sekarang aku harus segera pergi dari sini!" Walaupun ia berkata demikian, namun tubuhnya sama sekali tidak bergerak dari posisinya semula. Belum lama sehabis dia berguman, terasa ada angin lembut berhembus lewat, tahu tahu hadapannya telah bertambah dengan seseorang. Orang itu tak lain adalah peronda dari istana Sin-kiong, Sik Phu adanya. Tampak Sik Phu dengan sinar mata yang tajam bagaikan sembilu sedang berdiri lebih kurang delapan depa dihadapannya, dengan suara dingin ia lantas menegur. "Apakah kau hendak pergi?" Orang itu menatap sekejap wajah Sik Phu, lalu tersenyum. "Pergi sih belum pergi, aku lagi menantikan kedatanganmu !" "Hmm! Benarkah kau masih mempunyai keberanian untuk menunggu kedatanganku ?!" "Betul, aku memang memiliki keberanian ini !" "Huuh, apakah kau sudah menduga kalau aku pasti datang ?" Sambil mengangkat bahu orang itu tertawa. "Bukankah sekarang kau telah berdiri dihadapanku ?" Jawabnya. Sik Phu segera menggigit bibir menahan diri, katanya. "Tiada artinya hanya bersilat lidah belaka, aku orang she Sik ingin menanyakan maksud kedatanganmu yang sebenarnya !" Orang itu kembali tertawa. "Apakah sahabat Sik lupa kalau aku adalah tamu agung dari Pat lo kalian ini?" "Hmm ! Kalau mereka memang gampang di-tipu, tapi jangan harap kau bisa menipu aku orang she Sik." "Oooh... kalau begitu, baik kepandaian silat, kecerdasan maupun kedudukan seorang peronda dari istana Sin kiong agaknya jauh melebihi Pat tek pat lo?!" Sik Phu amat terperanjat setelah mendengar perkataan itu, serunya dengan cepat. "Soal soal semacam ini tak perlu kau risaukan." Terbahak bahaklah orang itu sehabis mendengar ucapan tersebut. "Haaahhh... haaahh... haaahh... sahabat Sik keliru besar" Bagaimanapun juga aku pasti akan merasa risau sekali." "Saudara, lebih baik kita buka jendela lebar lebar dan berbicara blak-blakan saja?" Seru Sik Phu dengan kening berkerut. "Memang inilah keinginanku, silahkan!" Dengan sorotan mata yang tajam dan keren Sik Phu menatap wajah orang itu lekat-lekat kemudian katanya. Orang itu tidak menjawab, sebaliknya malah bertanya. "Kenapa tidak memperbincangkan dulu tentang sahabat Sik sendiri?" Sekali lagi Sik Phu merasa terkesiap. "Apa yang bisa diperbincangkan tentang aku orang she Sik?" Dengan wajah serius orang itu berkata. "sahabat Sik, berada didepan orang lebih baik jangan berbohong, memangnya wajahmu yang sekarang ini adalah wajah aslimu ?" Paras muka Sik Phu berubal hebat, setelah mundur selangkah serunya. "Omong kosong, sejak dilahirkan aku orang she Sik telah berwajah demikian !" "Haaahh... haaahh... haaaaah... kalau begitu anggap saja sewaktu berada dalam perkampungan Jin-gi ceng tempo hari, aku telah salah melihat orang !" Selesai berkata orang itu tertawa dingin dan melanjutkan perjalanannya keluar dari istana tersebut. Dengan perasaan bergetar keras Sik Phu segera berseru. "Berhenti kau, aku orang she Sik belum selesai berbicara !" Orang itu sama sekali tidak berhenti, berpalingpun tidak, katanya dengan lantang. "Sahabat Sik, seandainya aku tidak berhasrat untuk menantikan kedatanganmu buat apa aku musti berguman untuk memancing kedatanganmu? Kau tidak berterima kasih malahan." Sik Phu segera menyelinap ke depan dan menghadang dihadapan orang itu, ujarnya dengan suara rendah. "Saudara, tempat ini bukan tempat untuk ber-bincang, silahkan mengikuti aku !" Tapi dengan cepat orang itu menggeleng. "Sahabat Sik, tahukah kau akan ketiga buah gua dipinggang bukit bagian belakang sana ?" Mendengar ucapan itu, Sik Phu terperanjat lalu sahutnya. Tahu, tahu... tempat itu adalah... tapi apa maksudmu menyinggung tentang ke tiga buah gua tersebut ?!" "Sahabat Sik, berada di tempat ini kau lakukan saja tugasmu, tapi hati-hati, waIau Pat lo jujur dan baik, nona Siu lihaynya luar biasa dan lagi amat cerdik, kau harus perhatikan dengan serius!" "Seandainya kau benar benar ada persoalan yang hendak diperbincangkan malam ini sudah tak sempat lagi, besok pada kentongan pertama sampai kentongan ke dua, silahkan datang kedalam gua tengah dari ketiga buah gua tersebut, akan kunantikan kedatanganmu di situ!" Selesai berkata, si orang itu segera berkelebat ke udara dan menerobos keluar lewat jendela di sudut kiri. "Tunggu sebentar saudara, aku orang she Sik masih ada persoalan yang hendak di bicarakan." Bisik Sik Phu. Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Seraya berkata dia ikut menyusul keluar, namun suasana di sekeling istana itu sunyi sepi, tak kelihatan sesosok bayangan manusiapun, cepat cepat dia melompat naik keatas atap rumah, apa yang terlihatnya membuat orang ini merasakan hatinya bergetar keras. Dalam waktu yang teramat singkat, orang itu sudah berada beberapa li jauhnya dari tempat semula. Sik Phu menggelengkan kepalanya berulang kali, mendadak ia seperti merasakan sesuatu, cepat kakinya menjejak permukaan atap dan menyelinap ke bawah. Belum lama dia meninggalkan atap rumah, serombongan bayangan hitam telah meluncur datang dari dalam istana, kemudian langsung menuju keruang tengah. Yang baru saja menampakkan diri itu ternyata tak lain adalah Pat lo, nona Sian serta seorang nona lain yang bermata tajam. Dengan sorot mata yang tajam kakek Tiong memandang sekejap sekeliling ruangan itu, kemudian bentaknya keluar istana dengan suara yang dalam dan berat. "Mana pengawal ? Cepat ke mari !" Menyusul seruan itu, dari kejauhan sana terdengar seseorang berkata. "Kalian sudah mendengar belum? Kakek Tiong sedang memanggil kalian semua?" Berbareng dengan teriakan itu, sesosok bayangan manusia meluncur masuk ke dalam ruang istana dengan kecepatan tinggi, orang itu tak lain adalah Sik Phu. Sambil memberi hormat kepada kakek Tiong, dia lantas berseru: Hamba sedang menyelidiki siapa yang melepaskan racun ..." Tiba-tiba kakek Tiong mengulapkan tangannya mencegah Sik Phu melanjutkan kata-kata-nya, lalu menegur. "Apakah kau melihat orang itu?" Walaupun Sik Phu tahu kalau yang di maksudkan adalah tamu tadi, namun ia tetap berlagak pilon. "Orang itu? Orang yang mana?" Kakek Tiong menjadi gemas sekali, sambil mendepak-depakan kakinya dia berseru. "Siapa lagi, tentu saja bocah keparat yang berada di sini tadi!" "Bukankah dia adalah tamu agung Pat lo?!" Seru Sik Phu dengan mata terbelalak. Merah padam selembar wajah kakek Tiong karena jengah. "Tamu agung kentut!" Dampratnya. Tetapi begitu ucapan tersebut di ucapkan, dia baru tahu salah, cepat-cepat lanjutnya. "Lohu bertanya, sudah kau lihatkah dirinya atau tidak?" "Hamba sedang mendapat tugas untuk menyelidiki soal keracunan tadi dan baru saja kembali . ." Kakek Tiong segera mendengus, kepada nona berwajah keren itu katanya kemudian dengan wajah tersipu-sipu. "Nona Siu, ternyata dugaanmu memang tepat, dia telah kabur!" Ternyata nona yang bermata tajam dan berwajah keren itu tak lain adalah nona Siu. Dan sementara itu noa Siu telah mendengus dingin sambil mendamprat. "Kakek Tiong, bukannya aku berani mencaci maki dirimu, tetapi kali ini kau betul seorang manusia pikun yang amat bodoh!" Api amarah terpancar keluar dari balik mata kakek Tiong, kepada rekan rekannya dia segera berseru dengan suara dalam. "Hayo berangkat, kita segera mencari bocah keparat itu sampai sampai dapat. .. !" "Kalian hendak mencarinya di mana?" Cegah nona Siu. "Bukankah bocah kerarat itu menjadi tamu dalam perkampungannya? Masa ia dapat kabur." "Sekalipun tak bisa kabur, kau bisa apa ?" Tukas nona Siu. "Tangkap dia !" Nona Siu segera tertawa dingin. "Mampukah kalian untuk menangkapnya?!" Asal bocah keparat itu masih berada diatas bukit, tentu saja dapat menangkapnya kembali !" Sahut kakek Tiong sambil mengamuk. Nona Siu memutar biji matanya sebentar, kemudian sebelum senyuman segera tersungging di ujung bibirnya, ia berkata kemudian. "Betul, kalau tidak, bila Sancu sampai pulang bagaimana cara kalian untuk mempertanggung jawabkan diri ?" Kakek Tiong segera menghela nafas panjang, kepada ke tujuh orang rekannya dia berseru. "Saudara sekalian, hayo berangkat !" Kali ini nona Siu tidak menghalangi lagi, begitu selesai berkata, Pat-lo segera berangkat menuju ke perkampungan. Nona Sian hendak menyusul dari belakang, tetapi nona Siu segera menarik tangannya sambil berkata. "Mau apa kau ?" "Tentu saja pergi membekuk bocah keparat itu ?!" Sahut nona Sian agak tertegun. Nona Siu segera tertawa cekikikan. "Cukup adikku, biarkan saja delapan orang tua bangka itu menerima sedikikit pelajaran, hayo, kitapun harus pulang !" Kembali nona Sian tertegun, baru saja dia akan buka suara, Nona Siu telah melanjutkan. "Adikku, kau anggap bocah keparat itu seorang musuh yang sederhana..." "Masa dia sudah kabur?" "Kabur sih ... mungkin tidak" Kata nona Siu menggeleng kepala. Nona Sian tidak habis mengerti. "Kalau toh dia masih ada di perkampungan ini, memangnya tidak mungkin bila kita bekuk batang lehernya?" "Hmm! Bila ia tidak sampai kabur, itu berarti dia sudah mempunyai pegangan yang kuat dan tidak kuat dan tak kuatir kalau sampai ketangkap Pat lo!" Nona Sian mengerdipkan sepasang matanya berulang kali, tapi dia masih tetap saja tidak habis mengerti. Dengan sepasang matanya yang jeli itu nona Siu mengerling sekejap matanya ke arah nona Sian, kemudian kembali ia berkata. "Bodoh amat kau adikku, memangnya dia itu bisa mengaku berterus terang bahwasanya perbuatan itu adalah merupakan hasil karya nya sendiri?!" "Banyak saksi mata yang menyaksikan hal ini, kalau ada sepuluh orang menuduhnya demikian, masa ia tidak mengaku?!" Nona Siu segera tertawa dingin tiada henti nya. "Heeh heh heh jangan lupa adikku, tadi kakek Tiong telah berkata, ia sendiri telah mengaku kalau datang dengan wajah menyaru?!" Nona Sian barulah mengerti, iapun menggelengkan kepalanya berulang kali sambil ber-gumam. "Licik dan hebat sekali orang ini!" Selintas senyuman dingin yang menyeramkan itu segera menyungging di bibirnya si-nona Siu, katanya. "Hmm ! Sekarang, biarkan saja dia bermain setan, yang bagaimanapun juga, . .." Belum habis perkataan itu diucapkan dia sudah menarik nona Sian untuk diajak pergi. X X X SEMANGAT Nona Kim hari ini sangat baik, selewatnya kentongan ke empat ia baru meninggalkan ruangan tengah. Bau-ji sudah dua kali berusaha mohon diri ditengah jalan, tapi selalu ditahan kembali oleh nona Kim, padahal Bau ji sendiripun tidak sungguh-sungguh ingin kembali keloteng, dia memang sengaja berlagak demikian saja. Dan kini semua persoalan yang hendak di bicarakan telah selesai dibicarakan nona Kim pun bermaksud hendak pergi, tentu saja Bau- ji tiada alasan untuk tetap tinggal disana. Sesudah keluar dari ruangan, Bau-ji lantas menjura kepada nona Kim sambil katanya. "Nona, maaf kalau aku tak akan menghantar nona..." Belum habis ia berkata, sambil tertawa nona Kim telah berkata. "Kongcu adalah tamu, sudah sepantasnya kalau kuhantar dirimu pulang keloteng, silahkan ?" Tertegun Bau-ji menghadapi keadaan ini, dengan gelagapan dia lantas berseru lagi. "Aaaaah... mana aku berani merepotkan nona ? Harap nona sudi menghentikan langkah...." "Kongcu tak usah sungkan-sungkan" Nona Kim menggeleng "toh tak jauh letaknya dari sini, mari kita berangkat !" Bauji kuatir kalau Sun Tiong lo belum pulang ke loteng, tentu saja dia enggan dihantar oleh nona itu, maka diapun mengalihkan perkataannya kesoal lain. "Aku adalah seorang laki laki sejati, mari mrri, biar aku yang menghantar nona." "Kongcu benar-benar seorang yang jujur," Nona Kim tertawa. "baiklah, terus terang aku akan mengatakan sejujurnya, sesungguhnya aku bukan berniat untuk menghantar Kongcu, tapi yang penting adalah untuk menengok keadaan nya adikmu!" Setelah si nona berterus terang, tentu saja Bauji tak dapat menampik lagi, terpaksa dia harus mencari alasan lain. "Kini malam telah larut, aku rasa apa tidak kurang leluasa?l" "Aaah, omong kosong, buat anggota persilatan peraturan macam itu tidak berlaku lagi. Selain itu, akupun tahu kalau adikmu sengaja hendak menghindari aku pada malam ini, aku harus menanyakan persoalan ini sampai jelas!" Selesai berkata, dia lantas membalikkan badannya dan berjalan menuju kearah loteng Bong lo. "Nona !" Seru Bau ji kemudian dengan kening berkerut. "kau telah salah paham adikku..." Nona Kim segera tertawa, tukasnya. "Aku tidak salah paham, juga aku dengar kau mengatakan bahwa kepalanya tiba tiba menjadi pening..." "Benar" Segera Bau ji menyambung. "oleh sebab itu, lebih baik kalau nona..." Kembali nona Kim tertawa, tukasnya. "Oleh sebab itu lebih baik kalau aku pergi menengoknya sebentar bukan...?!" Bau-ji menjadi mendongkol sekali, tanpa banyak berbicara lagi dia lantas berjalan lebih duhulu dengan langkah lebar. Nona Kim tersenyum, diapun segera menyusul dari belakang dengan langkah cepat. Loteng impian telah berada di depan mata. sambil menggigit bibir Bau-ji segera berhenti, kemudian kepada si nona katanya. "Nona, walaupun kita adalah anggota dunia persilatan yang tidak terikat oleh adat dan segala tetek bengek peraturan, namun adikku sudah beristirahat sekarang, orang lelaki yang lagi tidur pasti tak sedap dipandang, aku kuatir..." "Tak usah kuatir Kongcu" Tukas nona Kim dengan cerdik. "aku tak usah masuk ke dalam, tapi cukup memanggilnya beberapa kali didepan loteng, bila ia benar-benar sudah tertidur, aku segera pulang, kalau dia masih sadar atau belum tidur, aku baru masuk ke dalam." Setelah lawannya berkata demikian, sudah barang tentu Bau ji tak bisa berkata apa apa lagi, sambil melangkah naik ke atas loteng, diam-diam ia berdoa dalam hatinya, kalau bisa saudaranya telah kembali ke dalam loteng impian. Bagaimanapun Bau ji memperlambat langkahnya, namun undakundakan yang begitu pendek itu tak mungkin bisa dipertahankan terlalu lama, akhirnya sampai juga mereka diatas Loteng. Dalam keadaan begini, ia sudah kehilangan akal sama sekali. Diam-diam ia berpikir lagi. "Lebih baik aku jangan membuka pintu lebih dahulu, tapi memanggil dari luar, bila ia sudah pulang niscaya panggilanku akan mendapat sahutan, bila tiada yang menyahut berarti dia belum pulang." Maka waktu itu aku mesti menutupi pandangan mata si nona itu. kemudian membuka pintu sedikit dan melongok ke dalam, setelah itu akan kukatakan kepadanya sambil tertawa. "Ooh maaf, adikku sudah tidur..." Makin membayangkan ia merasakan makin gembira, sehingga tanpa terasa dia mulai memanggil. "Jite... Jite... Jite..." Tiada jawaban dari dalam loteng itu, Bau ji segera membuka pintu sedikit dan menengok lewat celah-celah pintu, kemudian sambil berpaling katanya. "Aaaah, maaf, dia benar-benar telah tidur!" "Oooh, benarkah dia sudah tertidur ?!" Seru nona Kim tiba-tiba sambil tertawa cekikikan. "Masa aku membohongimu ?!" Jawab Bau-ji pura-pura berlagak amat serius. Belum habis dia berkata, nona Kim telah berkata lagi sambil tertawa merdu. "Pembaringan itu berada disebeiah kiri pintu, sedang pintu yang dibuka kongcu pun yang berada disebeiah kiri, bila ingin melongok lewat celah pintu, tak mungkin kau bisa melihat pembaringan tersebut, apalagi dalam ruangan loteng tiada cahaya lampu, kecuali bila kongcu memiliki mata yang jauh berbeda dengan orang lain". "Celaka, rupanya Bau-ji tak pernah berpikir kesitu, kontan saja merah padam selembar wajahnya karena jengah. Nona-Kim sedikitpun tidak bermaksud untuk mengampuni lawannya, sambil tersenyum dia lantas berkata. "Menurut penglihatanku, adikku hanya pura-pura tidur, tapi betul betul berpenyakit..." "Yaa, dia memang sedang sakit !" Sambung Bauji dengan cepat. Nona Kim segera mengerling sekejap wajah Bau ji, setelah itu katanya lagi. "Dia pasti sudah mengidap penyakit tak berani bertemu denganku, tapi aku akan tetap memaksanya untuk berjumpa denganku !" Dalam pembicaraan tersebut, tiba-tiba nona itu menyentilkan jari tangannya ke depan, pintu loteng tersebut seketika itu juga terpentang lebar. Bau ji menjadi amat gelisah, baru saja dia siar menegurnya dengan paras muka berubah, nona Kim telah menjerit kaget. Menyusul teriakan itu, Bau ji segera mengalihkan pula sorot matanya ke atas pembaringan dalam ruangan tersebut yang kemudian terlihat seketika itu juga membuat hatinya sedang tenggelam. Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sun Tiong lo sedang berbaring di atas ranjangnya, waktu itu ia tampak tersentak bangun dari tidurnya. Dengan adanya kenyataan tersebut, Bau ji menjadi punya alasan untuk berbicara lagi, sambil menarik muka dia berseru. "Nona, apa apaan ini ?" Sebenarnya nona Kim menyangka kalau Sun Tiong lo tidak berada diatas loteng, itulah sebabnya dia membuka pintu dan memaksa melakukan pemeriksaan, siapa tahu orangnya ada di tempat ini membuat mukanya menjadi merah padam dan segera menundukkan kepalanya rendah-rendah. "Apakah toako dan nona?" Terdengar Sun Tiong lo segera menegur. Bau ji mengiakan dan maju dengan langkah lebar, pertama-tama dia memasang lampu lebih dulu, kemudian baru, ujarnya. "Jite, bagaimana dengan kepalamu? Masih sakit tidak ?" Sudah jelas ia sedang memberi bisikan kepada Sun Tiong-lo, sehingga tak sampai salah berbicara nanti. "Setelah tidur sebentar, badanku terasa menjadi segar kembali" Sahut Sun Tiong-lo. Setelah berhenti sejenak, segera lanjutnya. "Nona, maafkan kalau aku tidak keluar untuk menyambut kedatanganmu soalnya..." Waktu itu wajah nona Kim masih berwarna semu merah karena jengah, ia segera menyingkir ke samping sambil ujarnya. "Kalau memang kongcu tidak terganggu kesehatannya yaa sudahlah, kini malam sudah melarut, maaf kalau aku tak akan mengganggu lebih lanjut". Selesai berkata, si nona sudah bersiap-siap akan turun dari loteng itu. Tiba-tiba Sun Tiong-lo berkata lagi. "Kedatangan nona sungguh kebetulan sekali, setelah tertidur sebentar, mustahil aku bisa tertidur lebih lanjut, mengapa tidak masuk dulu untuk berbincang bincang ?" Baru saja nona Kim masih termenung dan belum sempat menjawab, Bau-ji kembali telah menimbrung. "Tadi kukatakan kepada nona kalau adikku sudah tidur, tapi kau tidak percaya dan sangat menaruh perhatian untuk datang menjenguk nya, kini nona telah berada disini, mengapa tidak masuk dulu untuk berbincang-bincang sebentar ?" Nona Kim merasa gemas sekali, akhirnya dia masuk juga kedalam ruangan loteng impian dan sekalian menutup pintunya. Sambil mempersilahkan tamunya duduk, Sun Tiong lo segera berkata lagi. "Nona, maafkan daku, aku tak dapat turun dari pembaringan..." "Bagaimana dengan keadaan penyakit kongcu, sudahkah sembuh kembali?" Terpaksa nona Kim harus berlagak menaruh perhatian. Sun Tiong lo sesungguhnya memang cuma berlagak sakit belaka, dengan kening berkerut segera sahutnya: - ooo0dw0ooo- Jilid 11 AKU RASA KEADAANKU sudah tidak apa apa lagi !" "Bagaimana kalau aku panggilkan tabib untuk memeriksa keadaan penyakitmu itu?" Sambil tertawa getir kembali Sun Tiong lo berkata. "Nona sedang bergurau saja, di tengah pegunungan yang sepi dan terpencil seperti ini, dari mana datangnya seorang tabib ?" - ooo0dw0ooo- BAB EMPAT BELAS MENDENGAR perkataan itu, nona Kim baru sadar kalau telah salah berbicara, biji matanya segera berputar, kemudian katanya lagi. "Beng cengcu mempunyai ilmu pertabiban yang lumayan juga..." "Sudahlah, aku rasa dia tak akan bersedia untuk melakukan tugasnya itu dengan baik !" "Apa maksudmu berkata demikian?" Tanya nona Kim dengan wajah agak tertegun. "Sewaktu nona sedang marah marah di luar ruangan tadi, tiba tiba aku merasakan kepalaku pusing sekali, waktu itu Beng cengcu juga hadir di hadapanku seandainya ia bersedia menolongku, bukankah waktu itu dia tak akan berdiam diri belaka ?" Paras muka nona Kim kembali berubah menjadi merah padam karena jengah, tapi dia masih tetap berusaha mempertahankan pendiriannya, katanya kemudian. "Waah, aneh benar kejadian ini, besok akan kutanyakan hal ini kepadanya !" Sun Tiong lo segera menggelengkan kepalannya berulang kali. "Kini aku sudah merasa sehat kembali, dari pada banyak urusan mengapa nona tidak mengurangi urusan?" Setelah diberi kesempatan untuk mengundurkan diri secara terhormat, buru buru Kim mengangguk. "Ya, kalau memang begitu, ya sudahlah" Kemudian setelah berhenti sejenak, dia mengalihkan kembali pokok pembicaraannya kesoal lain, katanya. "Apakah Kongcu telah mendengar semua pembicaraanku sewaktu berada diruang tengah tadi?" Sun Tiong lo segera mengangguk "Suara nona seperti geledek, masa suara se keras itu tidak kudengar? Lucu bukan?" "Bila Kongcu dapat mendengarnya sih tak menjadi soal, tapi aku harap kau jangan membicarakannya lagi kepada orang lain" Kata nona Kim dengan wajah serius. Baru saja Sun Tiong lo hendak membuka suara, tiba tiba dari luar loteng kedengaran ada orang sedang berseru! "Coba lihat, disitu ada lampu, delapan puluh persen bocah keparat itu pasti berada disana" Mendengar suara itu, nona Kim menjadi tertegun sehingga tanpa terasa dia membuka jendela dan melongo keluar. Pada saat itulah, Sun Tiong lo telah berbisik kepada Bau ji dengan ilmu menyampaikan suaranya. "Toako, bila sebentar ada orang datang ke mari, harap Toako jangan berkata apa apa, ingatlah, dan ingatlah !" Baru selesai dia memberikan peringatannya, kedengaran nona Kim telah menjerit kaget. "Haaahh, mengapa bisa mereka?!" Begitu selesai berseru keheranan, dia segera meninggalkan daun jendela dan menuju ke pintu loteng. Walaupun ia tidak bergerak pelan, namun orang yang berada diiuar sana jauh lebih cepat dari padanya, secara kebetulan mereka menjadi saling berpapasan muka. Mendadak nona Kim mundur ke belakang sementara orang orang itupun segera menghentikan langkahnya, untung saja mereka tak sampai bertumbukan satu sama lainnya. Ketika pihak lawan mengetahui kalan orang itu adalah nona Kim, langsung saja mereka menjerit kaget. "Aaaah... nona, rupanya kau!" Ditengah seruan tersebut, tampak bayangan manusia berkelebatan lewat, tahu-tahu Pat tek pat lo telah berjalan masuk kedalam loteng impian tersebut. Dengan wajah dingin seperti es, nona Kim segera menegur dengan suara dingin. "Lonceng emas belum dibunyikan, mengapa Pat lo sudah keluar dari istana Sin kiong?!" Orang yang hampir saja saling bertumbukan dengao nona Kim tadi tak lain adalah kakek Tiong, segera sahutnya setelah mendengar perkataan itu. "Nona, maafkanlah kami, duduk persoalan yang sebenarnya akan lohu utarakan nanti!" Dalam pada itu, sepasang matanya yang tajam bagaikan sembilu itu telah dialihkan ke-wajah Bau ji serta Sun Tiong lo. Begitu memandang kedua orang tersebut, segera dia berseru tertahan lagi. "Aneh, kenapa bisa berubah." Nona Kim segera berkerut kening, kembali tegurnya. "Kakek Tiong, sebetulnya apa yang terjadi?" Untuk kesekian kalinya kakek Tiong memandang sekejap wajah Bau ji dan Sun Tiong lo kemudian sambil menggelengkan kepalanya berulang kali, ia berseru. "Betul betul aneh sekali, sungguh aneh sekali... sungguh aneh sekali . .!" Sun Tiong lo segera berkerut kening pula, kepada nona Kim diapun bertanya. "Tolong tanya nona, apakah kedelapan orang tua inipun khusus datang untuk menjenguk penyakitku?" Nona Kim mendengus, kepada kakek Tiong tegurnya. "Kakek Tiong, jawab semua pertanyaan yang kuajukan!" "Jangan terburu nafsu nona, sebentar lohu pasti akan memberi keterangan dengan sejelas-jelasnya !" Sesuai bsrkata, dengan langkah lebar ia lantas berjalan mendekati Bau-ji. Dengan cepat nona Kim merentangkan tangannya ke depan, serunya. "Kakek Tiong, apakah kau sudah melupakan peraturan dari bukit kita ini...?" Kakek Tiong tidak menjawab pertanyaan itu, sambil menuding kearah Bau-ji bersaudara, katanya. "Nona, apakah kedua orang ini adalah dua bersaudara she Sun?" "Benar!" Jawab Bau ji tidak tahan. "siapa namamu, dan siapa pula dirimu itu?" Kakek Tiong tidak memperdulikan dirinya, tapi kepada tujuh orang kakek lainnya dia berseru. "Miripkah yang ini?" Kakek Jin segera menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya. "Toako, bocah keparat itu dua inci lebih pendek daripada dirinya, bukan dia!" Tlba-tiba kakek Tiong menghadap ke arah Sun Tiong lo, setelah itu bentaknya. "Hei, berdiri kau, coba berdiri diatas lantai!" Sun Tiong lo sengaja berlagak tertegun, serunya dengan cepat. "Hei orang tua, apa-apaan kau ini?" "Tak usah banyak bicara" Bentak kakek Tiong. "lohu menyuruh kau berdiri, lebih baik kau berdiri!" Nona Kim yang menyaksikan kejadian itu segera berubah wajah, dengan cepat ia menegur. "Kakek Tiong, kau harus tahu bahwa Sun kongcu adalah tamuku?!" "Nona, sudah lohu katakan tadi, selesai persoalan disini pasti akan kuungkapkan duduknya persoalan.." Kata kakek Tiong serunya. Melihat kesemuanya itu, nona Kim menjadi naik pitam, katanya. "Kakek Tiong, apakah aku tidak berhak untuk mengetahui dubuknya perkara sebelum kalian melakukan sesuatu tindakan?" Kakek itu juga kakek Jin merasakan gelagat yang tidak baik dengan cepat katanya. "Nona, kau tidak tahu, seorang diantara mereka berdua telah berkunjung kedalam istana Sin kiong, bahwa mempermainkan semua istana Sin kiong dari yang atas sampai paling bawah.." ""Aaaah, sungguhkah itu ?" Nona Kim menjerit kaget. "Memangnya kami akan sembarangan berbicara dalam hal ini?" Nona Kim segara berpaling dan memandang sekejap kearah Sun Tiong lo, diam-diam ia dapat meraba juga apa gerangan yang terjadi. Tapi entah mengapa, ternyata ia mendengus lagi dengan dingin. "Darimana kakek Tiong bisa tahu kalau orang itu adalah salah seorang diantara mereka?" "Dalam bukit ini tiada tamu lain, kecuali mereka berdua..." Belum habis ucapan tersebut diutarakan, mendadak dari luar jendela sana telah bergema suara tertawa yang amat nyaring. Pat lo, nona Kim serta Bau ji bersaudara menjadi tertegun di buatnya. Dengan suara lantang kakek Jin segera menegur. "Siapa yang berada diluar?!" Orang yang berada diluar jendela itu besar amat nyalinya, dia segera menyahut. "Diatas bukit ini tiada tamu lain, aku adalah orang sendiri" Setelah berhenti sejenak dan tertawa sinis, lanjutnya sambil tertawa mengejek. "Pat tek pat lo apaan itu? Pada hakekatnya tak lebih cuma delapan orang kakek pikun yang ketolol-tololan!" Pat tek pat-lo yang mendengar ejekan itu merasa malu, gemas, marah, enam belas ujung baju dikebaskan berbareng dan meluncur keluar dari ruang loteng sambil bergerak ke arah mana asalnya suara tadi. Setelah kepergian mereka, Sun Tiong lo segera menggelengkan kepalanya berulang kali sambil menghela napas panjang, gumannya. "Apa maksud dari kesemuanya ini?" Nona Kim hanya terdiri termangu-mangu saja ditempat itu, tak sepatah katapun yang di ucapkan. Sewaktu Pat-lo menerangkan bahwa ada orang telah melakukan pengacauan dalam istana Sin-kiong, nona Kim segera menyadari kalau alasan Sun Tiong lo yang mengatakan sakit kepala hanya merupakan alasan untuk menutupi kepergiannya ke istana Sin- kiong. Siapa tahu pada saat yang bersamaan, dari luar ruangan telah berkumandang lagi suara lain, hal ini membuktikan kalau apa yang diduganya itu keliru besar. Kalau hanya salah menduga sih bukan urusan penting, yang paling penting sekarang adalah mengapa kedatangan orang asing tersebut sama sekali tidak diketahui mereka ? Bukankah dengan begitu rahasia dari bukit mereka akan ketahui orang.... Pat-lo telah kembali, ternyata orang itu tidak berhasil disusul mereka. Nona Xim segera menegur. "Bagaimana? Mana orangnya ?" Merah padam selembar wajah kakek Tiong karena jengah, dengan kepala tertunduk sahutnya. "Nona pada malam ini kami bersaudara benar-benar jatuh kecundang ditangan orang !" Menyusul kemudian diapun lantas mengisahkan kedatangan sang tamu tak diundang dalam istana Sin kiong, lalu bagaimana Pat lo tertipu untuk pergi menangkap nona Siu, Sebagai akhir kata dia menambahkan "Barusan nona telah mendengarkan dengan telinga sendiri, betapa jumawa dan takabumya orang diluar jendela itu, namun sewaktu lohu bersaudara menyusul keluar, ternyata tak sesosok bayangan manusiapun yang berhasil kutemukan." Nona Kim segera berkerut kening, setelah berpikir sejenak, katanya. "Aku dengan mempergunakan "Kim Ieng" Menitahkan kakek Peng segera pulang ke istana sin-kiong untuk mengundang nona Siu dalam loteng Hian ki lo untuk berbicara, sedang lainnya harap mengikuti diriku..." Begitu selesai berkata, kakek Peng telah beranjak pergi, sementara si nonapun sudah bersiap siap meninggalkan tempat itu. Sun Tiong lo yang sedang berbaring sakit di atas pembaringan tiba tiba berkata. "Tunggu sebentar nona, saudara yang lainnya juga harap tunggu sebentar. .." Nona Kim segera berhenti sambil bertanya. "Ada urusan apa Kongcu?" Dengan wajah dingin bagaikan salju, Sun Tiong lo menuding ke arah kakek Tiong sekalian, kemudian katanya. "Bukan aku yang ada urusan, seharusnya mereka yang ada persoalan untuk disampaikan kepadaku !" Tentu saja nona Kim memahami apa yang dimaksudkan, katanya kemudian dengan cepat. "Kongcu, dalam bukit kami secara tiba tiba telah teijadi suatu peristiwa besar...." Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Nona, maaf jika aku akan berterus terang" Tukas Sun Tiong-lo dengan dingin. "walaupun aku telah salah masuk ke bukit anda dan harus mentaati peraturan disini, asal saatku menjadi tamu itu telah habis, tak urung aku pun tak akan lolos dari kematian." "ltulah sebabnya terhadap peristiwa besar yang telah terjadi dibukit kalian atau tidak, aku sama sekali tidak tertarik, akan tetapi terhadap orang-orang kalian yang telah merusak peraturan sancu kalian, mau tak mau aku harus menegurnya!" Nona Kim segera berkerut kening, katanya. "Kongcu, setiap manusia pasti ada kesalahan, kuda pun kadang kala bisa salah melangkah..." Sua Tiong lo menggelengkan kepalanya berulang kali, ujarnya dengan wajah serius. "Nona, terus terang saja persoalan ini sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan diriku!" "Kongcu, kami telah mengakui kesalahan ini, harap kau sudi bermurah hati." Kembali Sun Tiong-lo mendengus dingin seraya menukas. "Nona, soal keadilan tak bisa dibiarkan berlalu dengan begitu saja, sewaktu aku salah memasuki bukit ini, bagaimanapun kujelaskan dan kumohon, yang diperoleh hanya jawaban yang sama, peraturan tetap tinggal peraturan, apapun yang kuminta, peraturan tetap berjalan sebagaimana mestinya." "Sekarang, kejadian yang sama telah menimpa saudara saudara kalian sendiri, tapi kalian turut aku jangan mempersoalkan peraturan nona, bukan saja semacam ini tidak tahu aturan, juga sangat tidak adil sekali..." Pat lo tak kuasa menahan rasa mangkel di dalam hatinya lagi, dengan suara dalam kakek Gi segera berseru. "Sahabai muda, lantas apa yang kau kehendaki ?" "Sobat tua, kau keliru, bukan aku menginginkan bagaimanabagaimana, melainkan peraturan yang telah ditetapkan oleh Sancu kalian tetap merupakan peraturan yang berlaku, sebab itu apa yang diharuskan oleh peraturan, harus di lakukan pula oleh kalian semua !" Kakek Gi menjadi tertegun, setelah memandang sekejap kearah Sun Tiong lo, katanya. "Maaf, kebetulan sekali diantara peraturan yang di tetapkan Sancu, tak sebuahpun yang memuat tentang hal ini !" Baru selesai dia berkata, Sun Tiong lo telah merogoh ke bawah bantahnya dan mengeluarkan selembar kertas, lalu sambil dilemparkan ke depan, katanya sambil tertawa dingin. "Masih untung saja aku menyimpan bukti ini, kertas tersebut aku dapatkan dari atas dinding diruang depan sana, kini dipersilahkan kau untuk memeriksanya, coba kau lihat adakah peraturan yang mencantumkan tentang hal itu?!" Pat lo menjadi berdiri bodoh, sedangkan nona Kim juga berdiri tertegun disisinya tanga sanggup mengucapkan sepatah katapun. Sun Tiong lo tertawa dingin, katanya lagi. "Bila pada malam ini Pat lo tidak di beri hukuman seperti apa yang tercantum dalam peraturan bukit ini, jangan salahkan kepadaku bila persoalan ini akan kuadukan kepada Sancu bila ia telah kembali nanti !" Nona Kim sama sekali tidak mengira kalau Sun Tiong lo yang kelihatannya lemah lembut itu ternyata memiliki watak yang begitu keras. Lebih-lebih ke delapan orang kakek itu, mereka merasa malu, menyesal, dan untuk sesaat tak tahu apa apa yang mesti dilakukan. Nona Kim memegang lencana Kim leng yang merupakan benda paling berkuasa diatas bukit pemakan manusia itu, dia cukup memahami jalan pemikiran dari Sun Tiong-lo, maka setelah berpikir sebentar, katanya. "Kongcu, katakanlah, sebenarnya apa yang kau inginkan ?" "Harap nona memaklumi apakah mereka tak berani meminta maaf saja kepadaku?!" Setelah mendengar perkataan ini, si nona baru merasa hatinya lega, kepada delapan orang kakek itu ujarnya. Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Merdeka Atau Mati Karya Kho Ping Hoo Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo