Mustika Gaib 3
Mustika Gaib Karya Buyung Hok Bagian 3
Mustika Gaib Karya dari Buyung Hok Silahkan nona ...... seru pelayan berjenggot. Siong In memandang pelayan itu, kemudian berkata sambil menunjuk ke arah tamu tamu lain yang duduk menundukkan kepala. Mereka itu bagaimana, mengapa hanya terpekur di depan meja menghadapi hidangan, tidak segera melahap makanannya yang sudah tersedia. Pelayan tua berjenggot kaget, mendengar pertanyaan si nona, matanya yang sipit memperhatikan ke arah meja-meja tamu lainnya, dengan suara gugup ia berkata, 49 Siong In jadi tertawa geli, melihat sikap pelayan! tadi seperti ketakutan setengah mati. Dia orang itu bagaimana? tanya Siong In, Mengapa begitu? Setelah berkata demikian, Siong In bangun berdiri, lalu ia berteriak kepada para tamu, Hai, kalian makanlah, jangan terpekur seperti itu! Tamu-tamu tadi seperti tersentak bangun dari lamunannya, dengan rupa pucat, mereka memandan Siong In. Ayo makan! Mau tunggu apa? Makanan kalian nanti keburu dingin. kata Siong In. Setelah berkata begitu Siong In kembali duduk di bangkunya, lalu ia melahap makanan yang ada di depannya. Sekali-sekali mata si nona melirik ke meja para tamu, kini mereka sudah mulai berani mengangkat sumpit menjejal makanan ke dalam mulut, tapi mata mereka sering-sering juga memandang si nona baju merah. Bilamana kalau kebetulan pandargan mereka kebentrok dengan sinar mata si nona, orang itu segera menundukkan wajahnya dalam-dalam sambil mengunyah makanannya perlahan-lahan. Si pelayan berwajah kurus berjenggot masih berdiri di pinggir meja Siong In ia belum berani berlalu sebelum sinoua baju merah memerintahkannya. Eh, duduk! kata Siong In pada pelayan tadi. Si pelayan kurus membungkuk, Terima kasih ucapnya. Siong In menarik bangku, menyuruh pelayan itu duduk. Ayo duduk. Aku mau bicara! Dengan sedikit gemetar pelayan kurus tadi duduk di bangku di samping depan Siong In, ia menundukkan kepala. Kedai ini milik siapa? tanya Siong In. Ini ... ini ... kata pelayan tadi gugup, Pemiliknya ...... biar hamba panggil dulu. Ia ada di dalam. Tidak perlu. kata Siong In, sambil menuang teh ke dalam cawan. Setelah menenggak isinya, ia memandang wajah kurus pelayan tadi, katanya, Mengapa orang-orang di sini, tidak suka kehadiranku? Mengapa mereka menyingkir, kalau melihat aku memasuki perkampungan? 50 Ah, .... eh .... kata si pelayan gugup. dengan orang-orang itu? Golongan apa? tanya Siong In mengkerutkan kening. Menahan sumpit di depan mulutnya. Mendapat pertanyaan demikian, pelayan menyipitkan matanya, memandang ke arah meja-meja di depan Siong In, ia memperhatikan para tamu yang sudah kehilangan napsu makan. Siong In mengikuti arah pandangan si pelayan tadi, ia mengkerutkan kening, tanyanya, Ayo golongan apa? Mengapa kalian sampai ketakutan tidak keruan? Apa nona sudah lihat di depan pintu kedai? kata pelayan rumah makan itu. Hmmm, ada apa di sana? tanya Siong In heran. Nona lihat sendiri di atas pintu itu. Nanti nona tahu. Jawab si pelayan perlahan Siong In menganggukkan kepala, meletakkan sumpit di atas meja, kemudian ia bangkit dan berjalan keluar. Di luar rumah makan itu suasana masih sepi, belum ada orang yang berani lalu lalang. Siong In memeriksa pada pintu kedai itu. Tapi di sana tak terdapat sesuatu yang aneh. Hanya di atas kusen pintu ia dapat melihat sebuah lukisan. Itulah lukisan seekor kalong yang mementangkan sayapnya terlukis putih, tampak jelas ukiran urat-urat kalong putih itu. Menampak lukisan itu Siong In menggeleng kepala. Pikirnya, Apakah rumah makan ini memasang merek Kalong Putih? Aih, pelayan itu terlalu tolol, tokh aku tidak menanyakan nama kedai ini. Ternyata Siong In sudah salah tentang tentang lukisan Kalong Putih yang terpancang di atas kusen pintu itu. Ia telah menyangka kalau kedai itu bermerek Kalong Putih , sesuai dengan gambar lukisan. Ia tidak tahu kalau lukisan itulah yang merupakan setan dari penduduk kampung Sip-lie-ho, dan mereka telah menyangka kalau Siong In ini adalah salah seorang komplotan dari golongan Kalong Putih. Setelah memperhatikan lukisan di atas pintu itu, Siong In kembali masuk, ia duduk di kursinya. Pelayan rumah makan masih duduk di sana. Ia memperhatikan langkah kaki si nona baju merah yang cantik itu. Hatinya diliputi rasa takut yang luar biasa. Hmmn, apa kedai ini bermerek Kalong Putih? tanya Siong In. 51 Pelayan tadi tampak kebingungan, ia menggeleng-geleng kepala. Jadi bagaimana ini? seru Siong In mulai jengkel. Ayo bicara yang terang! Pelayan tadi tambah gemetaran, ia bukan menjawab pertanyaan Siong In, malah saking takutnya mulainya jadi bungkam. Heh, kampung aneh, gerutu Siong In menyaksikan sikap pelayan tadi. Ia bangkit berdiri, mengeluarkan uang recehan diletakkan di atas meja. Katanya, Apa cukup. Pelayan tadi melirik uang di atas meja, kemudian uang itu diraupnya, lalu disodorkan ke depan Siong In. Siong In jadi bingung, tanyanya, Apa kurang banyak? Pelayan tadi men geleng kepala. Ia menyodorkan uang itu ketangan Siong In, kalanya gemetaran, Jangan bayar! Eh, manusia ajaib............. pikir Siong In. Ia tidak menerima angsuran uang itu melangkah keluar. Baru tiga tindak Siong In maju, mendadak di luar rumah makan terdengar suara tertawa dingin. Tak lama kemudian masuk dua orang berseragam hitam, muka mereka terbungkus oleh selubung hitam, di dada kiri setiap orang terpeta itu lukisan Kalong Putih. Melihat munculnya dua orarg itu, Siong In merandek, ia mundur kembali ke mejanya menarik bangku duduk di sana. Eh, apa mereka ini pemilik rumah makan? tanya Siong In pada pelayan kurus tadi. Tapi ketika Siong In menoleh ke arah pelayan tadi, ternyata pelawan sudah tidak ada di sana. Dan para tamu dalam rumah makan itu sudah bangkit berdiri dengan badan gemetaran. Dua orang seragam hitam berselubung hitam itu masuk ke dalam rumah makan, mereka melempar-lempar kursi dan meja, hingga di dalam kedai itu terjadi keributan, Beberapa orang tamu lari keluar. Dan beberapa lagi mendapat luka-luka akibat terkena lemparan kursi dan bangku. dua orang itu tertawa terkekeh, begitu mereka tiba di depan Siong In, salah seorang di sebelah kiri berkata, Nona manis baju merah. Kau orang asing di sini. Eh, apa agamamu? 52 Aiyaaaaaaa .......ia bawa pedang di punggungnya, seru orang seragam hitam di samping kanannya. Melihat tingkah laku kasar kedua orang seragam hitam itu, Siong In jadi sengit, lebih-lebih keadaan si nona waktu itu tidak beda seperti anak kerbau yang baru lahir, tidak takut macan. Maka sambil menarik pedang di punggungnya ia berkata, Nonamu memang bawa pedang. Berbarengan dengan ucapannya pedang si nona dibantingkan di atas meja hingga mengeluarkan suara berisik. Sedang Siong In sendiri lalu berdiri, kakinya sebelah kiri diangkat ditaruh di atas bangku menghadapi kedua orang seragam hitam itu. Melihat sikap Siong lu yang tidak memandang mata pada mereka, kedua orang itu saling pandang. Kemudian mereka mendengus, Hei sundel! bentak salah seorang seragam hitam di sebelah kiri. Jawab kau agama apa? Apa urusanmu dengan agamaku. Inilah anak cucunya dewi Kwan In, kau sudah lihat belum. Seru Siong In menepuk dada. Nggg. dengus si seragam hitam, di sebelah kanan. Kalau begitu, nyawamu masih bisa diselamatkan, tapi, kau sudah berlaku begitu sombong di depan kami maka kau harus menghibur kami. Bagus, kata Siong In. Aku akan segera menghibur kalian. Nah dekatlah ke mari. Siong In masih berdiri dengan posisi kaki diletakkan di atas bangku. Kedua orang itu mendengar kalau si nona menyuruh mereka datang mendekat, mereka sudah jadi girang, dengan cepat mereka berlomba mendekati si nona manis baju merah. Satu dari sebelah kanan, dan satu dari sebelah kiri. Hingga keadaan mereka dipisahkan oleh kaki Siong In yang berada di atas bangku. Begitu menampak kedua laki-laki tadi berebutan mendekat, kedua tangan Siong In di pentang lebar, sikapnya seperti orang yang hendak merangkul kedua orang tadi. Kedua orang seragam hitam itu melihat kalau tangan si nona terbuka lebar menyambut kedatangan mereka, mereka sangatlah girangnya, semangat mereka seperti sudah terbang ke langit yang ketujuh. Siong In tersenyum, senyum itu amatlah manisnya, hingga kedua orang yang menubruk datang itu, menyedot napas menikmat senyumnya si nona. 53 Selagi kedua orang seragam hitam itu menyedot napas menikmati senyum manisnya si nona, mendadak kedua tangan si nona yang dipentang lebar bergerak laksana kilat, membentur kepala kedua orang itu. Dua orang itu sudah mabok kepayang, begitu kedua tapak tangan si nona masing-masing membentur kepalanya, mereka baru kaget tapi kekagetan mereka sudah terlambat, karena sang kepala sudah membentur kepala kawan sendiri. Terasa ruangan di dalam kedai itu berputar di dalam rongga otak kepala mereka yang baru saja dibentur tangan halusnya si nona. Tubuh mereka berputaran kemudian sempoyongan jatuh di lantai Begitu kedua orang seragam hitam itu roboh terjengkang di lantai, mendadak saja salah seorang dari tamu rumah makan berteriak keras. Sejak munculnya kedua orang seragam hitam itu, ia duduk bersandar di dinding, kini kening mengucurkan darah akibat terkena lemparan meja yang dilakukan oleh kedua orang seragam hitam ketika mereka baru memasuki kedai tadi, orang itu dengan sinar mata buas bangkit berdiri. Ia mengambil sebuah bangku diangkatnya tinggi-tinggi lalu mendatangi ke arah meja Siong In. Siong In kaget menyaksikan kelakuan orang itu, pikirnya, Kalau kau berani main gila di hadapanku, kau akan merasakan bagian seperti mereka. Siong In siap-siap menghadapi serangan orang tadi. Tapi rupanya arah sasaran kemarahan orang itu bukan pada Siong In, karena laki-laki berdarah di kening tadi begitu tiba ia segera mengayun bangku menghajar kepala kedua orang seragam hitam bergantian. Hingga kepala mereka bocor mengeluarkan darah. Dua orang seragam hitam itu yang jatuh terjengkang akibat beradunya kepala mereka rupanya sudah jadi semaput, hingga ketika pukulan kursi mampir di kepala mereka, mereka hanya bisa mengeluarkan suara keluhan. Orang tadi memukul kepala kedua orang seragam hitam itu sampai bocor, terus menerus menggebuki badan kedua orang itu. Siong In yang menyaksikan perbuatan nekad orang itu, mendadak saja berkata, Tahan! Orang tadi jadi kaget, ia menahan ayunan bangku di atas kepalanya, kemudian memandang ke arah Siong In. Mundur! Lihat, tubuh mereka berubah biru, seru Siong Ia menunjuk ke arah ke dua orang seragam hitam tadi. 54 Dengan masih memegangi bangku, orang itu mundur dua tindak, ia memperhatikan keadaan dua orang seragam hitam yang menggeletak di lantai, dari bagian wajah yang tak tertutup kain selubung hitamnya tampak muka orang itu membiru, kemudian kaki dan tangannya berubah biru matang. Dan tak lama kemudian, daging-daging biru itu mulai mengeluarkan cairan biru. Siong In baru pertama kali itu melihat kejadian aneh, matanya terbelalak lebar, ia heran bagaimana mayat ini bisa berubah mencair jadi biru. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, daging-daging orang itu mulai mencair. Cairan biru menggenangi lantai rumah makan tadi. Orang terluka pada kening menyaksikan kejadian itu, mendadak saja ia tertawa berkakakan, bangku yang dipegangnya dilempar ke samping, kemudian ia berteriak- teriak, Saudara-saudara lihatlah manusia kejam ini mampus menerima kutukan dewa. Ayo saksikan ramai- Orang-orang dalam kedai itu menyaksikan ke dua orang seragam bitam tadi mati dengan mencair, mereka melongokkan kepala memandang dari jauh. Mereka tidak berani mendekat, sedang itu cairan biru dari daging dan tulang kedua orang seragam biru sudah menggenangi lantai. Sementara itu orang berkening terluka dengan masih tertawa-tawa ia berteriak jalan mondar mandi, Entah dendam apa yang tertanam atas diri orang kening terluka itu, hingga ia berteriak-teriak demikian seperti merasa puas melihat cara kematian kedua orang seragam hitam tadi. Karena gerakkannya yang mondar mandir di dekat mayat tadi, maka tanpa disadarinya cairan biru dari mayat kedua orang seragam hitam itu, terinjak oleh kakinya. Kaki orang tadi mengenakan sepatu butut, begitu ia merasakan menginjak cairan biru mayat tadi, mendadak saja ia tertawa berkakakan, kaki bersepatu itu diinjak-injakkannya pada lantai yang sudah digenangi cairan biru. Sambil tertawa puas. Siong In menyaksikan kelakuan orang tua itu mundur lagi setindak keningnya berkerut. Dan tiba-tiba saja hati si nona baju merah jadi kaget, karena mendadak orang tua yang tertawa berkakakan sambil menginjak-injak cairan biru dari mayat kedua orang seragam hitam itu, mendadak saja tubuhnya jadi kaku mengejang, suara tawanya sirap seketika, lalu tubuhnya jatuh ambruk di lantai. 55 Siong In kembali lompat mundur. Eh. Mustika Gaib Karya Buyung Hok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Aneh, pikir si nona. Badan orang itu kejang di atas lantai, matanya mendelik keluar, sedang mulutnya yang tadi tertawa berkakakan terbuka lebar. Dari kaki bersepatu butut tadi, mulai menjalar warna biru. Menjalar terus ke seluruh tubuhnya. Kemudian perlahan-lahan tubuh tua itu mencair biru. Siong In terheran-heran kini di depannya, tampak tiga gumpalan benda hitam, itulah tiga gumpalan rambut dari tiga orang korban kematian misterius. EJAK hari itu kedai nasi tadi tak digunakan orang lagi, tak seorangpun berani masuk dan menggunakan kedai tersebut. Mereka takut terkena kutukan dewa, mati mendadak mencair membiru. Siong In pun pernah mendapat didikan ilmu silat dari suhu anehnya di atas puncak gunung Hong-san ia juga diherankan atas kematian orang itu yang demikian rupa anehnya, sete!ah terjadinya peristiwa itu, si nona kembali dibuat jadi kebingungan karena mendadak saja penduduk kampung yang sejak pertama kali ia muncul di sana pada lari menjauh, kini mereka berubah memberi pujian-pujian dan mengucapkan perasaan kagum mereka atas kelihaiannya si nona baiu merah yang gagah berani telah membunuh dua orang seragam hitam yang selama belakangan ini menjadi momok bagi penduduk desa. Siang itu Siong In hendak meneruskan perjalanannya, tapi seluruh penduduk kampung mengharapkan agar si nona bisa tetap tinggal dalam kampung halamannya. Agar dapat setiap waktu menjaga keamanan kampung dari gangguan orang misterius tadi. Tapi Siong In mengelak, mana bisa mesti berdiam di sana terus menerus, tugasnya mencari sang ayah yang lenyap sejak sepuluh tahun tiada kabar berita juga belum didapatkan, ia juga menanyakan kepada para penduduk kampung itu apakah pernah bertemu dengan seorang tua she Lo nama Siauw Houw asal dari Hong-san. Tapi semua penduduk kampung mengatakan belum pernah mendengar nama itu. 56 Liehiap, seru salah seorang laki-laki pertengahan umur, ketika Siong In akan meninggalkan pintu perkampungan. Turun tangan jangan kepalang tanggung. Kalau Liehiap bertindak kepalang tanggung, maka yang akan jadi korban adalah kami penduduk kampong yang lemah ini. Mereka akan mengganas membabi buta membunuh kami semua. Hmmm. Siong In mengerutkan kening pikirnya. Jejak ayah memang belum diketahui, pikirnya. Tapi, dalam perjalanan ini tidak salahnya aku membuang sedikit tempo untuk membasmi golongan seragam berselubung hitam yang ternyata bukan orang baik? Suhu pernah berkata, dalam hidup aku mesti menyumbangkan tenaga berbuat kebaikan, menghancurkan kejahatan. Apa salahnya kalau aku sekalian menyatroni sarang mereka. Setelah berpikir demikian Siong In berta nya pada si orang setengah umur di hadapan pintu perkampungan, Dimana sarang mereka? Mereka selalu membawa gadis-gadis yang akan dijadikan korban perkosaan ke seberang sungai. Dan diwaktu malam hari dari gerombolan pohon di seberang sungai sana, sering tertampak sinar merah yang terang benderang, aku kira itulah sarang mereka, karena sejak mereka muncul di kampung ini. Sinar merah itu sering tampak di seberang sungai, dan tak seorangpun yang berani pergi ke sana, barang siapa yang coba-coba mendekati tempat itu pastilah, ia tidak akan pulang ke rumah. Bagus, siapa sanggup menyeberangkan aku, tanya Siong In. Hamba dulu tukang perahu. Sela salah teorang di belakang si nona. Siong In membalikkan badan, menengok pada orang di belakangnya. Orang itu seorang muda, usianya baru ditaksir dua puluhan tahun. Begitu ia melihat wajah Siong In yang cantik. Ia jadi gugup. Kau tukang perahu? Tanya si nona baju merah. Ya, ya, jawab si pemuda. Tapi sejak munculnya orang jahat itu, aku tak berani menyeberang ke sana. Karena.....Karena ......, . Di seberang sana sudah menjadi daerah terlarang. Kau berani bawa aku ke seberang? ' Tanya Siong In. Berani! Jawab si tukang perahu muda. Tapi hanya sampai di tepi sungai, selanjutnya..... Siong In tersenyum, katanya, 57 Kau tak perlu mengantar sampai ke tepi, cukup dalam jarak lompatan, kau boleh balik kembali kemari. Si tukang perahu muda itu jadi kegirangan, tanyanya, Kapan nona mau berangkat? Sekarang. Mau tunggu apa? Kata Siong In. Ah ...... Bagusnya tunggu sampai petang dan akupun harus mencari seorang kawan untuk membantu mendayung agar cepat sampai. Matahari sudah doyong ke barat, hari mulai sore, sebentar lagi senja mendatang. Di dalam perahu yang diombang ambingkan ombak sungai Hoangho, sinar mata si nona baju merah memandang jauh ke seberang sana. Dua orang tukang perahu muda, mendayung perahu itu dengan penuh semangat, menerjang gelombang-gelombang sungai! Angin sore bertiup, menambah goyangnya perahu. Beberapa ekor ikan berlarian menjauhi perahu yang laksana membelah sungai. Begitu terdengar deburan air rungai Hoang ho mcndampar pantai, Siong In, memerintahkan tukang perahu balik kembali ke kampung mereka. Kedua tukang perahu itu saling pandang salah seorang berkata, Lie hiap, jara pantai dengan perahu ini masih jauh, bagaimana mesti kembali ke kampung? Kalian balik saja ke kampung, beri aku satu dayung. Jawab Siong In. Tukang perahu tidak mengerti, salah seorang memberi satu dayung persediaan, dan si nona segera menerima dayung itu kemudian dayung tadi dilemparnya ke depan lalu jatukan ke atas gelombang sungai. Berbarengan dengan jatuhnya dayung tali di atas air, tubuh Siong In melejit ke udara ia lompat ke arah dayung yang mengambang dimainkan ombak. Begitu kaki si nona menotol dayung, dayung itu kembali meluncur ke muka dan badan si nona baju merah kembali melambung ke udara melompati gelombang air, lalu menotol lagi dayung itu yang timbul tenggelam di atas air. Di atas perahunya kedua tukang psrahu itu melompongkan mulut memandang kepandaian Siong In yang luar biasa, mereka tak menyangka kalau si nona baju merah bisa berlompat-lompatan di atas air. Dan salah seorang berkata, 58 Lihiap itu sungguh aneh, kalau ia bisa berbuat demikian di atas air mengapa mesti menggunakan perahu? Seorang lain menggeleng kepala, lalu katanya, Kini aku tahu, gerakan orang-orang seragam hitam itu berlompatan di atas air, bukan karena mereka memiliki ilmu setan, atau ilmu gaib, tapi mereka menggunakan bantuan sepotong papan, seperti apa yang dilakukan lie hiap baju merah tadi. Aih, selama ini kita orang-orang kampung, telah dibuat ketakutan demikian rupa oleh mereka, kita menyangka mereka memiliki ilmu gaib bisa berjalan di atas air, ternyata itu semua hasil dari latihan yang luar biasa! Hmmm. Ayo kita balik ke kampung, beritahukan ini pada kawan-kawan, kata salah seorang pendayung, setelah mereka tak tampak bayangan Siong In. DI TEPI SUNGAI Siong In menerobos lebatnya rumput alang-alang setinggi badan, haripun mulai gelap. Suara binatang malam mulai berdendang jangkrik ramai memecahkan kesunyian malam. Dimana langkah kaki si nona menerobos semak-semak, di situ suara jangkrik- jangkrik sirap seketika. Jalan terus mendaki ke atas perbukitan, suasana di sekitar itu gelap pekat, bintang satu-satu mulai berkelap kelip. Mendadak saja dari kegelapan malam dari dalam gerombolan rumput alang- alang tampak meluncur keluar segumpalan cahaya merah, memecah angkasa naik ke udara, gumpalan merah tadi begitu berada di atas udara buyar menjadi percikan api, Medan di tepi sungai terang benderang. Sejenak si nona baju merah Siong In kaget ia mendekamkan badannya ke dalam rumput alang-alang. Begitu sinar terang itu sirip, keadaan jadi gelap kembali, ia berdiri lagi hatinya berkata, Huh, kembang api seperti itukah yang membuat takut orang-orang kampung? Sambil berkata dalam hatinya, Siong In menerobos maju menyelusup ke dalam rumput, tujuan kakinya diarahkan dari mana keluarnya itu gumpalan sinar merah. Benar saja, tidak jauh di depannya terdapat sebuah bangunan hitam, sekitar bangunan tadi dikelilingi rumput alang-alang tinggi, hingga dari jauh tak tampak bangunan tersebut. Dari sela-sela ketinggian rumput alang-alang Siong In 59 memperhatikan bangunan tadi, mata si nona dapat melihat menyorotnya sinar pelita dari salah satu lubang jendela. Dengan hati-hati, Siong In melangkah maju. Rupanya bangunan tadi adalah sebuah rumah terbuat dari kayu, terdiri dari dua wuwungan. Diantara kedua wuwungan bangunan rumah itu dipisahkan oleh sebuah jalan berbatu putih. Sinar pelita menyorot dari sela-sela lubang jendela rumah bagian belakang. Mendengar suara percakapan orang di dalam kamar dari wuwungan belakang. Ia mendekati jendela dimana menyorot sinar pelita, dari kertas lubang jendela ia mengintip ke dalam. Ternyata itu adalah sebuah kamar tidur. Di dalam kamar terdapat empat pembaringan. Selain itu tak tampak benda lainnya, ia heran. Bukankah tadi ia mendengar suara percakapan di dalam kamar ini? Selagi Siong In terheran-heran memperhatikan keadaan kamar itu, mendadak pintu kamar dibuka orang, dari sana masuk seorang seragam berselubung muka hitam, memayang seorang perempuan muda, usia perempuan itu tidak lebih dari dua puluh tahunan, wajahnya tampak cantik, rambutnya ikal terurai, hanya malam itu wajah cantik perempuan tadi kelihatan memucat, sinar matanya redup. Orang seragam hitam tadi membawa sang perempuan itu ke salah satu tempat tidur di bagian ujung, lalu didudukkan di atas pembaringan. Perempuan cantik itu seperti mayat hidup, ia menurut saja diperlakukan demikian rupa. Baru saja seragam hitam tadi mendudukkan perempuan itu, dari pintu kamar kembali masuk berturut-turut tiga orang, juga mengenakan pakaian seragam hitam, masing-masing memayang seorang perempuan muda cantik, wajah perempuan itu keadaannya sama seperti wanita yang pertama dibawa masuk ke dalam kamar, wajahnya pucat, sinar matanya redup. Perempuan itu, mereka dudukkan di atas pembaringan. Dan saat ini empat pembaringan telah diduduki oleh empat perempuan. Siong In menyaksikan orang-orang aneh itu, hatinya heran, pertama cara bagaimana mereka selalu mengenakan seragam dan selubung mukanya sampaipun di dalam kamar bersama orang perempuan. Keheranan kedua, bagaimana pula perempuan-perempuan ini seperti mayat hidup, mereka duduk mematung, dengan mata mendelong sayu. Empat orang seragam hitam tadi mendudukkan perempuan bawaan mereka masing-masing, kemudian saling tersenyum, seperti sudah sepakat, dengan perlahan-lahan mereka merebahkan keempat perempuan itu di atas pembaringan. 60 Berbarengan pula mereka mempereteli pakaian perempuan bawaan masing- masing. Heheeee ...... Kita bikin perlombaan, kata seorang seragam hitam di ujung, Siapa yang lebih tahan lama. Heeeh, aku baru makan obat Jinsom, mana bisa kalian menandingi kekuatanku. Song In yang mengintip dari lubang kertas jendela, ia heran, perlombaan apakah yang segera akan berlangsung dalam kamar ini? Karena rasa ingin tahunya Siong In terus mengintip kelakuan keempat orang seragam hitam berselubung muka itu. Sementara mereka sambil berbicara terus mempereteli seluruh pakaian sang korban. Keempat perempuan tadi seperti mayat hidup, mereka mandah diperlakukan demikian rupa. Sebenarnya waktu itu Siong In sudah siap menerjang masuk, tapi ia masih menunggu. Menunggu sampai keempat orang itu membuka selubung muka warna hitamnya, si nona baju merah ingin melihat bagaimana wajah mereka. Menyaksikan keadaan empat perempuan yang tertelentang terbaring sudah tak berpakaian, bagi Siong In bukan merupakan hal yang aneh, karena ia sendiri seorang perempuan, hanya ia sedikit malu menyaksikan bentuk tubuh sejenisnya dalam keadaan sedemikian rupa dipandangi oleh empat orang seragam hitam. Maka dari rusa malu itu timbul marahnya. Tangan Siong In meraba saku bajunya, ia sudah siap dengan senjata Kim chi- hui-piauw, tapi mendadak saja ia ingat, bukankah keadaan orang-orang ini sangat aneh dan saat ini mereka berada di pinggir ranjang, kalau saja, ia menggunakan piauw menyerang dan mereka roboh jatuh di atas ranjang, tentulah mereka segera mampus mencair, dan cairan daging itu mungkin bisa mengenai pada perempuan- perempuan yang tak berdosa. Maka mengingat hal itu, ia memasukkan kembali piauw ke dalam saku. Begitu Siong In memasukkan kembali piauw-piauwnya ke dalam saku, keempat orang seragam hitam tadi telah pada meloloskan pakaiannya. Tapi aneh, mereka hanya meloloskan pakaian bawah, sedang selubung dan mantel hitamnya tetap melekat pada badan mereka. Berbarengan celana-celana hitam orang-orang itu pada merosot turun, hati Siong In bergidik, ia sudah tidak bisa menahan sabar lagi, mendadak saja hawa amarahnya meluap, bukankah perempuan-perempuan yang akan jadi korban perlombaan gila itu kawan sejenisnya, dan melihat dari keadaan perempuan- 61 perempuan tadi mereka seperti terkena pengaruh obat pelupa diri. Dan sebagai gadis suci mana kesudian ia memandang bagian badan laki di bawah pusar itu. Sambil menggeram pedang dicabut dari serangka kemudian diputar mendobrak daun jendela, berbarengan mana tubuh Siong In melompat masuk ke dalam kamar. Suara dobrakan daun jendela terdengar oleh para seragam hitam yang baru saja melorotkan celana, mereka tersentak kaget, memandang ke arah jendela, di sana tampak berkelebat ujung pedang menghancurkan jendela, disusul menerobosnya bayangan merah. Tahu-tahu seorang sudah berada di dalam kamar. Keempat setagam hitam berselubung hitam itu jadi kebingungan, dengan memegangi celana hitamnya yang kedodoran, mereka pada lompat membuat posisi mengurung. Mengurung Siong In di tengah-tengah. Menyaksikan kejadian itu, Siong In tertawa, pedangnya di ayun-ayunkannya di depan ke empat orang seragam hitam itu, katanya, Ayo, kalian mau bikin perlombaan, nah, mari, berlomba dengan aku, siapa yang lebih dulu mampus di tempat ini. Berbarengan dengin akhir ucapannya Siong In menyabetkan pedang ke kanan, dimana berdiri seorang seragam hitam yang masih memegangi celananya yang kedodoran. Begitu ujung pedang si nona menyambar muka orang tadi, dengan memegangi celananya ia lompat mundur mengelakkan sabetan ujung pedang. Tapi gerakan pedang si nona sangat cepat, sedangkan orang tadi dalam mundur mengelak ia masih memegangi celananya hingga gerakannya tidak leluasa, dan ujung pedang tadi berhasil merobek selubung muka orang tadi, darah mengucur keluar. Siong In memang sengaja melakukan serangan demikian, ia ingin melihat bagaimana wajah muka orang di balik selubung hitam ini, begitu ujung pedangnya berhasil menyentuh tutup kerudung muka itu. Ia sudah jadi girang, pedangnya diayun lagi menyabet ke arah muka orang tadi. Mendapat serangan demikian rupa, orang tadi menundukkan kepala, kemudian tubuhnya berputar dan ambruk jatuh di lantai. Siong In heran, bagaimana lawan tiba-tiba bisa ambruk demikian rupa. Apakah itu gerak dari jurus silat mereka. Tapi keheranan itu tidak lama, karena sinar mata si nona dapat melihat kalau daging daging orang itu sudah mulai berubah biru. 62 Hmmm. Manusia-manusia aneh! Seru Siong In. Ia tahu kalau orang tadi telah binasa. Kini ujung pedang si nona bergerak menyabet ke arah tiga orang seragam hitam yang masih berdiri memegangi celananya, mereka seperti kesima memandang si nona baju merah yang cantik itu bisa muncul di sana dengan tiba- tiba, dan dengan sekali gebrak saja berhasil membuat luka sang kawan. Begitu pedang si nona menyambar ke arah mereka, tiga orang tadi mengeluh kaget, dan berbarengan dengan suara keluhannya, tubuh mereka melambung ke atas, menerobos langit-langit rumah tadi. Kemudian bayangannya lenyap. Suara berisik dari atap rumah yang bobol dan suara bergedubrakannya potongan-potongan kayu jatuh ke dalam kamar. Mustika Gaib Karya Buyung Hok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Siong In memang sengaja tidak membunuh mereka, dengan berbuat demikian ia bisa menguntit dan menyelidiki mereka itu dari golongan mana, karena kalau melihat dari ilmu kepaniaian yang dimiliki oleh orang-orang seragam hitam ini, mereka tidak memiliki kepandaian silat tinggi, ilmu silat mereka hanyalah ilmu silat pasaran. Tentu di balik semua itu masih ada tokoh aneh yang mempergunakan orang-orang ini untuk mengacau rimba persilatan. Bagi orang-orang kampung yang lemah, tentulah mereka itu dianggap komplotan iblis yang menakutkan, tapi bagi jago betina baju merah Siong In, mereka itu tidak lain dari pada gentong-gentong nasi. Siong In mendongakkan kepala memandang lubang atap rumah yang sudah bobol, di atas sana hanya tampak kegelapan malam, beberapa bintang tampak berkelak-kelik. Setelah memperhatikan lubang atap rumah, ia menghampiri keempat perempuan di atas pembaringan, satu persatu didudukkannya. Sambil menggeleng kepala Siong In berkata, Semua telah dicekok oleh obat pemunah ingatan. Setetah berkata demikian, ia berjalan keluar, meninggalkan keempat perempuan tadi, tak lama si nona baju merah sudah kembali membawa seember air dingin, dengan itu, ia membasahi muka setiap perempuan tadi. Empat perempuan tadi begitu, mukanya tersiram air dingin, mendadak mereka pada tersentak kaget, kemudian mereka pada memandang diri sendiri yang telah tak mengenakan pakaian, lalu memandang si nona baju merah. Aaaaa..... Teriak berbareng empat orang perempuan itu, mereka cepat mengenakan pakaian masing-masing. Kalian cepatlah keluar! seru Siong In, Rumah ini akan kubakar. 63 Empat gadis tadi telah disadarkan, cepat-cepat mengenakan pakaian mereka lalu pada lari keluar rumah. Siong In membawa pelita di atas meja, diluar ia melempar pelita tadi ke atas atap rumah itu, dan sebentar saja di sana terjadi kebakaran. Api melanda rumah itu, keadaan malam menjadi terang benderang. Lie-enghiong, tiba-tiba salah seorang perempuan bertanya. Mereka masih berada di sini, bagaimana kami bisa pulang? Hmmm, Kalian jangan kuatir, aku akan usir tiga orang itu dari sini. Kalian boleh kembali ke rumah masing-masing! Belum lagi ucapan Siong In selesai, ia telah melejit ke arah utara, dimana ketiga seragam hitam tadi masih pada berdiri memandang markas mereka yang dimakan api. Tiga orang seragam hitam itu menampak berkelebatnya sinar merah ke arah mereka, mereka pada lari kabur. Siong In yang sengaja hendak menguntit jejak mereka, memperlambat gerakannya, ia tidak mengejar terus. Tapi matanya selalu memperhatikan gerak gerik keempat bayangan hitam itu. Mulai dari tempat itulah si nona baju merah Siong In mengikuti jejak mereka, dan ketika tiba di kota Kun-san, ia memesan pada tukang besi untuk dibuatkan beberapa piauw besi yang bentuknya serupa dengan piauw yang dimilikinya, piauw-piauw tersebut dipesannya agar dibuat berwarna hitam. Tindakan Siong In itu berdasar dua pertimbangan. Pertama, karena ia merasa sayang menggunakan piauw pemberian suhunya yang terbuat dari emas, untuk menyerang orang-orang seperti mereka, bukankah bilamana piauw tadi telah menembusi badan orang maka piauw tersebut akan terkena cairan biru dari mayat mereka. Hal itu tidak diharapkan Siong In. Pertimbangan kedua dengan menggunakan piauw besi berwarna hitam, ia bisa melakukan serangan tanpa diketahui lawan. Meskipun pertimbangan kedua ini sedikit curang. Boleh dikata si nona ingin menggunakan senjata gelap untuk menyerang lawan. Empat hari telah dilewatinya, ia masih terus menguntit, gerak-gerik keempat orang seragam hitam itu dan akhirnya pada malam bulan sabit, di dalam rimba Siong In menampak lagi sinar merah, yang pecah di udara bagaikan kembang api. Melihat itu si nona cepat lari mengejar, lalu ia lompat ke atas dahan pohon memperhatikan kelakuan orang-orang seragam hitam. 64 Begitu pula tiga orang seragam hitam, mereka menampak tanda api di udara telah pada berkumpul. Waktu itu, kawanan seragam hitam berselubung yang melepas tanda api ke udara mereka sedang mengurung si pemuda Kang Hoo, saat-saat kematian Kang Hoo telah di ambang pintu. Dan ketika Kang Hoo berteriak menyebutkan kebesaran nama Tuhannya, Siong In di atas dahan mendengar suara itu, ia tidak mengerti apa arti ucapan pemuda tadi tapi mengingat pihak pengurung terdiri dari orang-orang seragam hitam yang ia tahu adalah komplotan jahat, maka mendadak saja ia lompat turun dan berteriak menyebut nama Budha. Lalu berdiri di pihak Kang Hoo. Walaupun baru pertama kali ini Siong In melihat Kang Hoo, tapi keadaan si pemuda yang sudah mandi darah tahulah ia kalau pemuda tadi dalam keadaan berbahaya di bawah pengeroyokan orang-orang berseragam hitam, yang ia ketahui mereka adalah orang-orang jahat. Selanjutnya Siong In telah menolong Kang Hoo melarikan diri ketika rembulan sabit tertutup awan. Dengan menggunakan senjata piauwnya, ia berhasil merobohkan beberapa orang seragam hitam. Dan begitu rembulan kembali memancarkan sinarnya bayangan Kang Hoo sudah lenyap. Sebagaimana kita telah ikuti di bagian depan, begitu awan beriring kembali menutupi rembulan sabit, orang-orang seragam hitam yang takut menghadapi senjata gelap si nona baju merah pada lompat bersembunyi di balik batang pohon. Dan ketika itu digunakan oleh si nona baju merah Siong In kabur meninggalkan mereka. Kaburnya Siong In dari dalam kurungan orang-orang itu, bukanlah dikarenakan ia takut menghadapi keroyokan mereka, tapi ia merasa kuatir atas diri pemuda yang telah terluka parah, mana mungkin pemuda itu bisa lari jauh. Sementara itu para seragam hitam yang menyaksikan si nona gagah Siong In melesat kabur, mereka pada bernapas lega. Dan secara diam-diam mereka melakukan gerakan penguntitan. Kemanakah kaburnya Kang Hoo, maka mari kita ikuti kejadian-pada bab berikut KANG HOO mengucap Bismillah........... lari kabur menerobos semak-semak belukar dalam rimba itu di bawah sinarnya rembulan sabit. Meskipun ia melarikan diri dari kepungan orang-orang seragam berselubung muka hitam itu, bukanlah berarti ia seorang pemuda pengecut, sebenarnya sebelum 65 munculnya si nona baju merah dari aliran Budha itu, ia telah nekad untuk adu jiwa dengan musuh-musuhnya, tapi entah bagaimana mendengar suara halus nyaring bernada bambu pecah dari bibir mungilnya si nona baju merah, hati Kang Hoo jadi lemah, dan seperti ia kena hipnotis menurut saja apa yang diucapkan nona baju merah tadi. Ia lari kabur meninggalkan mereka. Dalam melarikan diri di dalam semak belukar itu, hati kecil Kang Hoo yakin kalau nona baju merah dari aliran Budha itu dapat mengatasi keroyokan orang- orang seragam hitam, mengingat kalau ilmu silat nona itu memang lebih tinggi beberapa kali lipat dari dirinya sendiri, dengan matanya sendiri ia menyaksikan hanya dalam beberapa gerakan tangan saja nona itu berhasil merobohkan lawan. Kang Hoo tidak mengerti, dengan senjata apakah nona itu merobohkan lawan. Dalam hatinya juga menuji kecerdikan otak nona baju merah. Sambil lari itu otak Kang Hoo, berputar terus mengenang peristiwa-peristiwa yang menimpa diri dan keluarganya. Di samping itu ia juga merasakan betapa seluruh tubuhnya dirasa sakit. Dan napasnya juga mulai tersengal sengal. Akhirnya, ketika ia memasuki gerombolan rumput alang-alang, langkah larinya tak secepat semula, ia sudah seperti orang mabuk, sempoyongan diantara tingginya rumput alang-alang. Kemudian dirinya ambruk di tanah. Meskipun keadaan jasmaniahnya sudah begitu lemah, tapi otak si pemuda masih bisa berpikir, ia harus bisa menyembunyikan dirinya dari kejaran lawan. Dengan menggulingkan dirinya, ia berusaha menyesapkan badannya di bawah alang-alang yang tumbuh lebat di tengah hutan itu. Dan tak lama kemudian Kang Hoo pingsan karena lelahnya. Haripun berganti pagi, sinarnya sang surya menguning keemas-emasan di ufuk timur, siliran angin basah berembun menyegarkan badan. Embun-embun masih terotolan di atas batang-batang rumput alang-alang digoyang angin. Tubuh Kang Hoo menggeletak di dalam semak-semak alang-alang. Sinar matahari pagi dan angin basah sejuk berbareng menerpa wajah si pemuda dalam timbunan batang alang-alang. Mendapat siraman sinarnya matahari pagi dan hembusan angin basah pada wajahnya mendadak Kang Hoo membuka matanya, ia sadar dari pingsannya, tapi keadaan tubuh itu masih lemah. Belum bisa digerakkan. Begitu sepasang mata si pemuda terbuka, ia belum bisa melihat apa-apa, karena keadaan sekelilingnya tertutup oleh rumput alang-alang yang tinggi, tapi sepasang telinganya mendadak mendengar suara gerengan-gerengan bina-tang 66 buas, dan suara mendesisnya binatang berbisa, mengurung tempat dimana ia menggeletak rebah. Ya Allah, mati aku.... keluh Kang Hoo. Rupanya nasib sial selalu membawa diri Kang Hoo, baru saja malam tadi ia berhasil lari dari kepungan orang-orang seragam hitam, kini mendadak di sekitar hutan itu sudah dipenuhi oleh suara gerengan binatang buas dan binatang-binatang berbisa. Meskipun keadaan dirinya masih sangat lemah, ia berusaha bangkit duduk, untuk melihat dari arah mana munculnya suara gerengan binatang buas itu. Begitu ia berhasil duduk di dalam timbunan rumput alang-alang itu, matanya melihat tetesan darah beku berceceran di tanah itulah darah beku yang semalam keluar dari luka-luka di badannya. Melihat darah tadi, kembali ia merasakan betapa perihnya bekas luka-luka bacokan pedang lawan, bahkan pundak tangan kanan tampak mulai membengkak, tangan itu sudah tak bisa digerakkan. Setelah memperhatikan di sekitar rimba alang-alang itu, ternyata di sana tak tampak seekorpun binatang buas. Tapi suara binatang itu masih terdengar menggereng-gereng di telinganya. Kang Hoo menengadahkan kepala ke atas, di sana tampak lima ekor burung besar, sayapnya selebar beberapa tombak terpentang-lebar, burung-burung itu terbang berputaran, seekor tampak kecil bagaikan tilik hitam di atas langit. Melihat pemandangan itu hatinya tambah heran. Selagi ia terheran-heran, mendadak Kang Hoo mendengar suara bentakan- bentakan diantara suara gerengan binatang buas itu. Suara tadi ternyata datangnya dari arah belakang. Maka cepat ia menoleh ke belakang, dan di belakang sana merupakan bukit pegunungan. Di lereng bukit itu tampak bergerak beberapa bayangan berseragam hitam, bayangan-bayangan tadi laksana berlompatan, mereka rupanya sedang melakukan pertempuran. Entah mereka sedang bertempur dengan siapa? Gila ...... pikir Kang Hoo Dimana-mana selalu ada itu manusia-manusia berseragam dan berselubung hitam. Apakah isi dunia ini sudah dihuni oleh manusia-manusia biadab? Kang Hoo berusaha bangkit bangun ia ingin melihat apa yang sedang dikerjakan oleh orang-orang seragam hitam berselubung muka itu. Tapi begitu badan Kang Hoo berhasil berdiri dengan lemahnya, mendadak ia jatuh kembali duduk di atas semak belukar. Matanya terbelalak lebar, badannya jadi gemeteran. 67 Aneh mengapa hutan ini mendadak penuh binatang buas dan binatang berbisa? pikir Kang Hoo, Bukankah malam tadi aku datang ke tempat ini tak tampak seekorpun binatang buas. Tapi bagaimana pagi ini di sekitar gerombolan rumput alang-alang penuh dengan binatang buas? Dan itu gadis baju merah, yang semalam menolong diriku juga sedang menghadapi tiga orang seragam hitam berselubung muka. Melihat gerakan ilmu silat tiga orang seragam hitam tadi, mereka rupanya memiliki kepandaian lebih tinggi dari kawan-awan mereka semalam. Dan aneh, mengapa di dada kiri mereka mengenakan lukisan Kalong Kuning, mengapa tidak mengenakan lukisan Ka-long Putih? Apakah di sini telah muncul lain golongan. Ternyata begitu Kang Hoo berdiri, ia menampak sekeliling gerombolan rumput alang-alang dimana ia mendekam, sudah dikurung oleh binatang-binatang buas, dan diluar kurungan binatang-binatang buas, di sana terjadi satu pertempuran antara si nona baju merah dengan tiga orang seragam hitam berlambang Kalong Kuning. Rupanya ketika malam tadi Kang Hoo lari menerobos hutan, ia tidak sempat memperhatikan medan sekelilingnya lebih-lebih keadaan badannya yang sudah penuh luka, hingga ketika ia memasuki gerombolan rumput alang-alang, ia tidak mengetahui kalau rumput alang-alang itu, hanya seluas beberapa tombak saja, karena diluar gerombolan rumput alang-alang itu merupakan dataran rumput hijau. Di sana tumbuh beberapa batang pohon kayu. Sedang di sebelah utara terdapat itu bukit pegunungan, dimana beberapa orang seragam hitam berlompatan melakukan gerak-gerak serangan. Sedang di bawah bukit, si nona baju merah menghadapi keroyokan tiga orang Kalong Kuning. Lama Kang Hoo duduk terpekur, kemudian ia kembali menengadahkan kepala memandang ke atas, di atas udara sana, lima ekor burung-burung besar masih berputar melayang layang. Mata Kang Hoo yang sayu itu terus memandang burung- burung yang berputaran di atas kepalanya, saat itu mendadak saja dari arah atas bukit dimana orang orang berseragam hitam berlompatan, terdengar suara halus merdu, Ui-jie, kau bawa orang itu! Kang Hoo mendengar jelas suara tadi, lagi-lagi suara seorang perempuan, tapi nada suara itu berbeda dengan suara gadis baju merah yang sedang bertempur dengan tiga orang seragam hitam. Entah kini jago perempuan dari mana lagi yang muncul? Kang Hoo membalik badan memandang ke arah bukit lereng gunung dari mana suara perempuan tadi datang. Di sana tampak orang-orang berseragam hitam sedang mengeroyok seorang gadis. Itulah seorang gadis berkulit hitam manis. 68 Selagi Kang Hoo memandang heran atas munculnya gadis yang sedang menempur orang-orang berselubung hitam itu, mendadak terdengar suara bentakan dari salah seorang Kalong Putih yang membentak si gadis hitam manis tadi, Perempuan Biauw, jangan kau turut campur urusan ini! Hmmm. Kalian minggirlah, aku ingin membawa anak itu, ia telah mengganggu usahaku. Akan kubawa dirinya ke perkampungan suku bangsa Biauw. Seru si gadis hitam manis yang rupanya gadis dari suku bangsa Biauw. Terdengar lagi suara teriakan si gadis Biauw, Ui-jie, cepat bawa anak itu! Kang Hoo bisa melihat dan mendengar pembicaraan tadi, tapi tidak mengarti apa yang dimaksud dengan kata Ui-jie, (kuning). Ia jadi heran. Selagi Kang Hoo terheran-heran, mendadak saja, dari sebelah kirinya mendatangi seekor orang hutan berbulu kuning, tubuh orang hutan itu hampir setinggi dirinya, penuh bulu, matanya bersinar kuning, dengan lenggang lenggok menghampirinya. Kang Hoo kebingungan, ia menyelusup mundur masuk ke dalam rumput alang- alang, tapi di belakangnya terdengar suara ular mendesis. Dalam keadaan demikian rupa, maju menghadapi binatang hutan, di belakang bertemu ular berbisa, Kang Hoo jadi timbul nekadnya, beberapa hari ini ia selalu mengalami penderitaan dan gangguan-gangguan dari manusia, kini binatang- binatang ini hendak berbuat apa terhadap dirinya. Maka dengan nekat, ia mengempos seluruh sisa tenaganya bangkit menerjang si orang hutan. Orang hutan bulu kuning tadi mengetahui kalau orang di depannya datang menyerbu, ia merentangkan kedua kaki depannya, dan sekali pukul saja tubuh Kang Hoo yang sudah kehilangan tenaga itu, roboh terguling, dan jatuh pingsan. Setelah orang hutan merobohkan Kang Hoo dengan tangannya yang penuh bulu mengangkat tubuh si pemuda, lalu dipanggulnya pergi. Binatang-binatang buas yang mengurung gerombolan rumput alang-alang, sejak tadi mengerang-erang, begitu mereka melihat si orang hutan berbulu kuning memondong Kang Hoo, mereka pada seliweran meninggalkan tempat itu, lari ke arah orang hutan bulu kuning, dengan sikap melindungi orang hutan bulu kuning, mereka pada berlalu dari tempat itu. Berbarengan mana lima burung-burung besar yang terbang di atas udara melayang meninggalkan udara dimana tadi Kang Hoo bersembunyi, burung-burung itu melayang ke arah lereng gunung. Dan salah seekor 69 menukik ke bawah, menghampiri si perempuan Biauw. Sedang yang lainnya dengan cekatan melakukan serangan udara pada orang-orang berseragam hitam berselubung muka tadi. Si perempuan Biauw menunggu burung besar itu menukik ke arahnya, ia mengenjot badannya dan lompat ke atas, kemudian duduk di atas punggung burung besar itu, lalu sang burung kembali terbang naik ke atas, melayang terbang ke arah rombongan binatang-binatang buas yang mengurung melindungi orang hutan bulu kuning. SIONG IN sedang menghadapi keroyokan tiga orang seragam hitam, orang- orang itu berselubung muka dan berlambang Kalong Kuning di dada, merasa kewalahan menghadapi mereka, kenyataan orang-orang ini memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari mereka yang mengenakan lambang Kalong Patih. Ketika Siong In mendengar suara teriakan dari perempuan Biauw memerintahkan orang hutan bulu kuningnya untuk membawa Kang Hoo, hati si nona lebih bingung lagi, ia coba lompat untuk menerjang barisan binatang-binatang buas yang mengurung Kang Hoo, tapi gerakan Siong In tidak leluasa, karena di depannya ia mesti menghadapi keroyokan tiga orang berlambang Kalong kuning dan juga ia mesti menghadapi barisan kurungan binatang-binatang buas. Waktu itu dilain bagian pertempuran antara si perempuan Biauw dengan enam orang seragam hitam berselubung muka masih berlangsung, perempuan Biauw itu mendapat keroyokan dari mereka yang mengenakan lukisan kalong Hitam dan Kalong Kuning, Dan ketika seekor burung raksasa meluncur datang mengangkat terbang perempuan Biauw tadi. Mereka pada melempar pedang ke atas untuk membunuh burung tadi, tapi senjata-senjata pedang itu tak dapat mendekati sang burung, karena angin kipasan sayap burung yang besar itu berhasil membuat pedang-pedang tadi kembali jatuh ke tanah. Di atas punggung burung raksasanya di tengah udara, gadis Biauw bersiul panjang. Berbarengan dengan suara siulannya dari atas udara, melayang satu titik hitam mendatangi, ternyata itulah seekor burung aneh yang turun meluncur ke bawah, burung tadi turun mendapatkan oraug hutan bulu kuning yang sedang memondong Kang Hoo. Menampk seekor burung aneh mendatangi, si orang hutan mendongakkan kepala ke atas, kemudian mengeluarkan suara jeritan. Burung aneh itu memiliki bulu berwana hijau biru, berbuntut panjang, lebar sayapnya beberapa tombak, kedua sinar matanya memancarkan warna kuning emas meluncur terus merendah. 70 Begitu terkena sambaran angin dari bulu burung aneh itu, rumput alang-alang bergoyang-goyang keras, sedang itu binatang orang hutan bulu kuning yang membawa Kang Hoo merundukkan kepala, seperti tak tahan menerima sambaran angin bulu burung tadi. Begitu burung aneh tadi tiba di atas kepala si orang hutan bulu kuning, sepasang kakinya bagaikan capitan besi, diluruskan kebawah, ke arah kepala si orang hutan bulu kuning, sambil mengeluarkan suara pekikan. Orang hutan bulu kunng terus menunduk ke bawah, sepasang tangannya yang penuh bulu mengangkat tubuh Kang Hoo ke atas. Rupanya ia mengerti kalau gadis Biauw, memerintahkan burung tadi mengambil tubuh Kang Hoo, kini tangannya berbulu itu ia menyerahkan Kang Hoo pada sang burung. Mustika Gaib Karya Buyung Hok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Burung tadi melongok ke bawah, matanya bermain memperhatikan keadaan Kang Hoo, kemudian sepasang kakinya mencapit tubuh Kang Hoo, lalu meluncur ke atas. Setelah sang burung aneh warna hijau biru meluncur ke atas, baru orang hutan bulu kuning berani berdiri tegak, ia mendongakkan kepala. Saat itu kembali terdengar suara siulan dari atas udara, maka seluruh binatang buas mundur dan meninggalkan tempat tadi. Orang-orang seragam hitam berselubung muka, berdiri melongo, memandang berlalunya si gadis Biauw yang telah membawa kabur Kang Hoo. Sementara itu Siong In yang menghadapi serangan tiga orang berlambang Kalong Kuning, ia masih berkutet. Menggerakkan pedangnya. Diiringi berkelebatnya sinar-sinar hitam menyerang jalan darah orang-orang seragam hitam tadi. Tapi mereka ternyata dengan mudah dapat mengelakkan serangangan senjata piauw si nona. Siong In semakin penasaran, ia mempergencar serangannya, sekali-sekali mata si nona juga mendongak ke atas, melihat lenyapnya bayangan burung yang membawa Kang Hoo. Pertempuran telah berlangsung empat puluh jurus, belum ada tanda-tanda siapa yang akan kalah dan menang. Waktu itu, orang-orang seragam hitam yang tadi bertempur di atas bukit menghadapi si gadis Biauw, sudah pada berlari ke arah pertempuran antara Siong In, dan tiga kawan mereka yang mengenakan lukisan Kalong Kuning, tapi mereka tidak berani turun tangan, dengan sikap mengurung memperhatikan jalannya pertempuran tersebut. 71 Sampai matahari naik tinggi pertempuran belum juga berakhir. Bagaimanapun tingginya ilmu silat si nona baju merah, tapi ia masih kurang pengalaman tempur. Saat itu napasnya sudah tersengal- sengal, sedang senjata piauw besinya sudah habis terbuang tanpa mengenai sasaran, kini masih tinggal piauw-piauw pemberian suhunya itulah piauw emas Kim chi-hui-piauw, tapi ia merasa sayang untuk menggunakan piauw itu. Kalao tidak terpaksa si nona tidak akan menggunakan senjata tadi. Selagi Siong In kewalahan menghadapi keroyokan tiga orang tadi, mendadak di tengah udara terdengar suara batuk-batuk serak. Tiga orang seragam hitam yang berlambang Kalong Kuning masih menempur Siong In, begitu mereka mendengar suara batuk-batuk, mereka lompat mundur menarik serangan, memandang ke arah datangnya suara batuk tadi. Begitu pula orang-orang seragam hitam berlambang Kalong Putih mereka juga pada lompat mundur mengikuti gerakkan kawan-kawan mereka, memandang pada orang yang datang. Siong In mulai kewalahan, begitu serangan tiga orang lawannya mengendur dan mereka lalu pada lompat mundur ia juga memperhatikan ke arah datangnya suara batuk-batuk tadi. Dan begitu ia melihat orang yang mengeluarkan suara batuk-batuk serak itu, ia berdiri melengak mulutnya menganga, lalu Siong In lari memburu dan berteriak, Ayah ...... Ayah ....! Orang tadi masih terus terbatuk-batuk, usianya empat puluh lima tahunan, rambutnya sudah banyak yang putih. Wajahnya klimis tak selembar rambutpun tumbuh di sana. Siong In terus berlari ke arah orang tua itu, sedang si orang tua dengan langkah kalem menyambut datangnya Siong In. Oh...... Ayah ..... Ayah.....! Seru Siong In menubruk sang ayah. Orang tua tadi dipeluknya erat-erat, ia menangis sesenggukan. Ayah.....! Kemana saja kau selama ini ...... Ibu ...... Ibu ..... Menunggu di rumah ...... Orang tua itu terbatuk-batuk kemudian katanya serak, Anak ... Aiii..... Hanya itulah yang keluar dari mulut si orang tua. Tangan orang tua itu terus mengelus-elus rambut Siong In. 72 Ayah, mari pulang .... Ibu menunggu di rumah, ia kesunyian ...... Kata Siong In sedih. Anak...... Anak ...... seru si orang tua tadi. Air mata si nona meleleh membasahi kedua pipinya, ia menangis sedih, perpisahan sepuluh tahun itu membuat hati si nona begitu sedihnya. Keadaan orang tua itupun tak ubahnya seperti keadaan Siong In, tampak kedua matanya menggenang air mata. Tapi ia berusaha menahan jatuhnya air mata itu, katanya, Anak ...... Kau sudah besar ...... Waktu ayah meninggalkan rumah kau masih kecil, itu waktu kau masih ingusan ...... Hari ini sepuluh tahun sudah lewat, kau sudah menjadi seorang gadis cantik jelita lagi gagah, eh, kau sudah mewarisi ilmu silat ibumu, tak kusangka kau sanggup menghadapi mereka. Begitu mendengar ucapan sang ayah yang terakhir itu, hati si nona jadi kaget, ia melepaskan pelukannya, kemudian membalik badan, pedangnya siap di depan dada. Tapi begitu ia melihat ke tempat mana tadi terjadi pertempuran, di sana sudah tak tampak lagi seorangpun seragam hitam. Mata Siong In masih basah digenangi air mata, pipinya licin mengkilap digenangi lelehan air mata itu, biji mata si nona membelalak, ia jadi heran, kemana perginya orang-orang seragam hitam tadi? Setelah menggosok wajahnya dengan lengan baju, Siong In bertanya pada sang ayah, Ayah, apakah melihat mereka tadi? Sang ayah mengangguk, katanya, Bukan saja aku lihat, tapi juga sudah menyaksikan bagaimana tadi kau menempur keroyokan mereka! Eh, aneh, bagaimana mereka takut kepadamu? Seru Siong In. Anak .... Seru si orang tua menghela napas. Kau jangan campuri urusan mereka. Lebih-lebih tentang anak muda itu. Jangan sekali-kali kau mau tahu urusannya, dan ingat jangan sampai kau jatuh cinta padanya...! Ayah!'' potong Siong In. Mengapa? Pemuda itu tokh tidak berbuat jahat padaku, juga itu orang-orang seragam hitam bukan orang baik. Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Sekarsih Dara Segara Kidul Karya Kho Ping Hoo