Ceritasilat Novel Online

Pedang Karat Pena Beraksara 10


Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan ID Bagian 10


Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya dari Tjan I D   "Ting toako, bagaimana keadaannya?"   Wi Tiong-hong segera berbisik lirih. "Agaknya jalan darah telah ditotok orang."   Sambil berkata, dia turun tangan untuk membebaskan jalan darah Heng-san Gisu yang tertotok itu.   Heng-san Gisu memandang sekejap dua orang yang berada di hadapannya, kemudian setelah menggeliat sebentar, pelan-pelan dia bangun dan duduk di pembaringan.   Wi Tiong-hong menyaksikan orang itu mengenakan satu stel pakaian yang sempit dengan orang yang menyaru sebagai tabib sakti tadi, orang itu-pun mengenakan jubah panjang yang kedodoran.   Sudah jelas pakaian tersebut dilucuti dari badan orang ini dan dikenakan secara tergesa-gesa, tak heran kalau sampai kancing-pun lupa dikenakan lagi.   Ting Ci-kang-pun terlihat agak tertegun, dan hati kecilnya dia berpikir.   "Ternyata Hengsan Gisu yang amat termashur namanya dalam dunia persilatan itu adalah seorang yang tak pandai bersilat."   Heng-san Gisu melompat turun dari pembaringannya, lalu sambil menjura ke arah kedua orang tersebut, dia berkata.   "Lohu ucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari kalian berdua, tentunya kalian adalah Ting tayhiap dan Wi sauhiap bukan?" "Ooo, nampaknya lotiang telah mendengar semua pembicaraan kami?"   Kata Ting Ci- kang sambil balas memberi hormat.   "Walau-pun jalan darah lohu tertotok.   mulutku tak bisa berbicara dan tubuhku tak dapat berkutik, namun semua pembicaraan kalian dapat aku dengar dengan jelas." "Lotiang, apakah kau tahu orang itu berasal dari mana?"   Tanya Ting Ci-kang.   "Mereka mengatakan datang kemari untuk melaksanakan perintah, lohu diminta untuk pergi bersama mereka, lohu keberatan dan kebetulan Ting tayhiap tiba di sini, mungkin mereka kuatir lohu bersuara, maka jalan darahku ditotok lohu sendiri-pun tidak tahu asal usul mereka?"   Didengar dari pembicaraan tersebut, Ting Ci-kang tahu kalau orang itu enggan banyak berbicara, maka dia lantas menjura seraya berkata.   "Kalau begitu, mari kita berbincang-bincang di luar saja?"   Setelah itu dia melangkah ke luar lebih dulu dari dalam ruangan.   Sementara mereka bertiga berbincang-bincang, bayangan tubuh si nona bermuka jelek itu sudah lenyap tak berbekas.   Sedang mayat yang tergelepar di atas tanah itu sudah berubah menjadi hitam pekat, seluruh tubuhnya seperti telah digeledah orang, bahkan senjata rahasia yang menancap di badannya juga telah diambil, yang tersisa hanya sebuah mulut luka kecil yang masih mengucurkan darah berwarna hitam.   Diam-diam Ting Ci-kang mendengus dingin, pikirnya.   "Sungguh cepat gerakan tubuh dari budak berwajah jelek itu, entah dia berasal darimana."   Sementara itu, Heng-san Gisu telah berjongkok sambil memeriksa mulut luka pada mayat tersebut, kemudian dengan perasaan terperanjat serunya.   "Oooh, sungguh ganas racun yang dipoleskan di ujung senjata rahasia tersebut."   Ketika Wi Tiong-hong berpaling ke sekitar tempat itu, tiba-tiba dia menyaksikan di atas meja telah bertambah dengan sebuah botol kecil, ketika diamati lebih seksama, dijumpainya beberapa huruf tertera di atas meja, tulisan itu berbunyi demikian.   "Obat pemunah dalam botol, dihadiahkan untuk kalian berdua."   Tulisannya indah dan tampaknya ditulis dengan menggunakan ilmu Kim-kong-ci atau sebangsanya, tulisan itu melesak sedalam tiga inci dalam permukaan meja dan kelihatan nyata sekali, jelas si gadis bermuka jelek itu yang meninggalkan pesan ini.   Heng-san Gisu juga telah mengambil botol porselen tersebut, sesudah memandangnya sekejap dia berkata.   "Botol ini ditinggalkan nona tersebut, apakah kalian berdua kena dipecundangi orang?"   Ting Ci-kang segera ingat bagaimana Heng-san Gisu gadungan tadi itu pernah memeriksa lidah Wi Tiong-hong dengant jari tangannya dan membalik kelopak matanya, diam-diam ia berpikir dihati. Berpikir sampai di situ, dia-pun lantas berkata.   "Saudara Wi, coba mintalah tolong kepada lotiang untuk memeriksakan apakah dalam tubuhmu mengidap racun Sip-jit-san?" "Lohu belum pernah mendengar hal nama Sip-jit-san, apakah keracunan atau tidak, aku harus bisa mengetahui setelah memeriksa denyutan nadimu,"   Jawab Heng-san Gisu.   Maka dia lantas memeriksakan denyutan nadi pada pergelangan tangan kiri dan kanan dari Wi Tiong-hong, kalau dilihat dari tindak tanduknya, hal mana sama sekali tak berbeda dengan apa yang dilakukan si manusia gadungan tadi, malah dia turut memejamkan mata pula sambil termenung lama sekali.   Lewat seperminum teh kemudian dia baru membuka matanya dan berbisik dengan suara lirih.   "Aneh ... sungguh aneh ..."   Mendengar orang itu mengucap "aneh"   Sampai berulang kali, Wi Tiong-hong merasa keheranan sekali, baru saja dia hendak bertanya. Mendadak Heng-san Gisu menatap wajah Wi Tiong-hong lekat-lekat, kemudian dengan wajah terkejut bercampur keheranan katanya.   "Tadi, tanpa sengaja Wi siauhiap memang telah menelan semacam obat beracun, tapi oleh semacam tenaga yang terpancar oleh sejenis obat penawar yang kuat dalam tubuhmu, racun tersebut telah berhasil dipunahkan semua tak berbekas."   Wi Tiong-hong segera membuka mulutnya seperti hendak bertanya sesuatu. Tapi dengan cepat Heng-san Gisu menyambung kembali kata-katanya.   "Menurut hasil pemeriksaan lohu, selama dua hari ini secara berturut-turut Wi sauhiap telah keracunan dua kali, pertama sekitar dua hari berselang, melalui telapak tangan kiri melewatij alan darah Lau-Kiong-hiat dan menyusup ke dalam badan, dan racun itu merupakan sejenis racun yang sangat keji dan bersifat agak lamban." "Kalau begitu, racun tersebut sudah pasti adalah racun Sip-jit-san tersebut,"   Sela Ting Ci-kang. "Sedangkan racun yang lain, masuk melalui telapak tangan kanan, menembusi jalan darah Sin-bun-hiat dan menyelusuri lengan bergerak naik ke atas ...   "   Lanjut Heng-san Gisu.   Mendengar sampai di situ, tak kuasa lagi Ting Ci-kang segera tertawa terbahak-bahak.   "Ha-ha-ha-ha ...   kecermatan lotiang dalam melakukan pemeriksaan atas nadi sungguh membuat aku merasa kagum, semalam saudara Wi memang terkena tusukan jarum beracun keluarga Lan pada telapak tangan kanannya." "Jarum beracun dan keluarga Lan?"   Agaknya Heng-san Gisu merasa agak terperanjat setelah mendengar nama jarum beracun dari keluarga Lan itu, tapi dengan cepat dia manggut-manggut katanya.   "Ya, kalau begitu tak salah lagi, kecuali jarum beracun dari keluarga Lan, rasanya memang tak akan bisa ditemukan lagi benda yang lebih beracun lagi."   Setelah berhenti sejenak, dia berkata lebih jauh.   "Dua macam racun jahat yang menyerang Wi sauhiap boleh dibilang merupakan racun yang benar-benar luar biasa dahsyatnya, cukup sejenis saja sudah dapat membunuh orang, tapi tampaknya Wi sauhiap telah menelan sebutir pil mestika yang dapat memunahkan racun keji itu." "Aaaai ... sepanjang hidup lohu mencurahkan segenap pikiranku untuk memperdalam ilmu pertabiban dan memunahkan pelbagai macam racun, sungguh tak disangka menjelang usia tuaku, aku masih sempat untuk berjumpa dengan obat pemunah yang begitu hebat kasiatnya." "Bukan saja seluruh racun keji yang bersarang dalam tubuh Wi sauhiap berhasil dipunahkan, bahkan sari obat pemunah racun itu masih tertinggal di dalam peredaran darahmu, paling tidak masih bisa bertahan selama satu jangka waktu tertentu, dalam waku-waktu itu jangan harap ada racun yang bisa menyerang tubuhmu." "Ha-ha-ha-ha ... Wi sauhiap, tentang racun terakhir yang kau telan tanpa sengaja, dibandingkan dengan dua macam racun sebelumnya, boleh dibilang jauh sekali selisihnya, entah Wi sauhiap berhasil mendapatkan obat pemunah semujarab itu dari mana?"   Ting Ci-kang segera berpaling ke arah Wi Tiong-hong dan berkata sambil tersenyum. "Mungkin yang lotiang maksudkan adalah obat pemunah hadiah dari si nona berbaju hijau itu." "Nona berbaju hijau? Siapakah nona berbaju hijau?"   Heng-san Gisu segera bertanya. Merah padam selembar wajah Wi Tiong-hong mendengar ucapan itu, buru-buru dia menjawab.   "Aku sendiri-pun tidak tahu siapakah dia, semalam aku terkena jarum beracun dari keluarga Lan, berkat tiga butir pil pemunah hadiah nona berbaju hijau itulah lukaku berhasil disembuhkan." "Sayang, sayang ...   "   Kata Heng-san Gisu dengan wajah kecewa bercampur sayang, "entah siapakah si nona itu?"   Sementara pembicaraan berlangsung, mendadak Ting Ci-kang menjadi sempoyongan hampir saja dia tak mampu untuk berdiri tegak. Buru-buru Wi Tiong-hong memayangnya dan berseru dengan terperanjat.   "Ting toako, kenapa?" "Aku, merasa kepalaku agak pusing." "Aaah, tampaknya Ting tayhiap-pun sudah diracuni orang tanpa kau sadari."   Seru Heng-san Gisu dengan cepat.   "aai, lohu hanya ribut berbicara terus, sudah seharusnya aku duga akan hal ini."   Sambil berkata dia lantas memegang pergelangan tangan kiri Ting Ci-kang dan memeriksanya sebentar, lalu berkata.   "Masih untung sari racunnya baru saja bekerja, tidak terlampau serius keadaannya."   Diambilnya botol porselen di meja dan dibuka penutupnya, kemudian setelah diendusnya sebentar dia manggut-manggut.   "Tak salah lagi, memang ini obat penawarnya."   Dia mengambil sedikit obat penawar itu, lalu dihembuskan ke dalam lubang hidung Ting Ci-kang.   Secara beruntun Ting Ci-kang bersin dua kali, benar juga, dia segera merasakan semangatnya menjadi segar kembali.   Heng-san Gisu segera menyerahkan botol porselen itu ke tangan Ting Ci-kang dan berkata sambil tertawa.   "Obat penawar yang berada dalam botol ini agaknya khusus merupakan obat penawar untuk memunahkan racun yang biasanya disentilkan ke dalam mulut atau lubang hidung lewat sentilan kuku. Ting tayhiap, dalam melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, mungkin obat penawar tersebut akan sangat bermanfaat bagimu."   Ting Ci-kang segera menerimanya dan di masukkan ke dalam saku, kemudian sambil menjura katanya.   "Terima kasih banyak lotiang atas bantuan tuan, kami berdoa ingin mohon lebih dulu." "Kebetulan lohu sendiri-pun masih ada urusan harus buru-buru diselesaikan, maaf aku tak akan mengantar kalian berdua lagi."   Kata Heng-san Gisu cepat dengan nada minta maaf.   Setelah meninggalkan rumah kediaman Heng-san Gisu, Ting Ci-kang dan Wi Tiong- hong segera berangkat menuju ke kota, tiba di kota hari sudah senja.   Buru-buru mereka kembali ke rumah penginapan, Ting Ci-kang yang berjalan di depan, sewaktu lewat di serambi di sebelah timur, mendadak di atas salah sebuah pintu kamar dia saksikan ada sekuntum bunga mawar hitam terbuat dari kertas yang ditancapkan di situ, ia nampak agak tertegun, tapi kemudian sekulum senyuman segera menghiasi wajahnya.   Setelah berada dalam kamar, pelayan datang membawakan air untuk membasuh muka, lalu bertanya.   "Kek-koan berdua masih membutuhkan apa lagi?"   Tanya si pelayan kemudian. Selesai membersihkan muka, Ting Ci-kang baru berpaling seraya menjawab.   "Kami belum bersantap, tolong pesankan dua porsi masakan dan arak untuk kami berdua."   Setelah pelayan itu mengundurkan diri, Ting Ci-kang baru berkata lebih jauh.   "Saudara Wi, beristirahatlah dahulu di kamar, aku akan pergi sebentar saja."   Wi Tiong-hong tidak tahu dia ada urusan apa, baru saja hendak bertanya Ting Ci-kang dengan cepatnya telah menyelinap ke luar meninggalkan tempat itu. Menyusul kemudian pelayan datang mengantar air teh, sambil tertawa paksa dia berkata.   "Tadi hamba lupa untuk memberitahukan sesuatu kepada kalian berdua,"   Kata si pelayan. "Urusan apa?"   Wi Tiong-hong menyahut.   "Sore tadi ada seorang tamu perempuan yang menanyakan diri Ting kek-koan, hamba lantas teringat akan pesanmu pagi tadi dan tahu kalau kek-koan yang satunya she Ting, maka hamba-pun bertanya kepadanya, ada urusan apa dia mencari Ting kek-koan, perempuan itu mengatakan tak ada apa-apa, hanya bertanya sambil lalu saja,"   Si pelayan menjelaskan. "Macam apakah tamu perempuan itu? Kemudian apakah ia pergi meninggaikan tempat ini?" +++ Bab 21 PELAYAN ITU BERPALING, LALU SAHUTNYA dengan suara rendah.   "Tidak, dia berdiam di kamar nomor lima di serambi timur, oya ... tamu wanita itu berparas lumayan, berbaju hitam dan berusianya dua puluh empat tahunan, mukanya berpotongan kwaci, beralis mata panjang dan matanya jeli, bibir kecil, hidungnya mancung dengan potongan badan tinggi semampai ..."   Dia seperti belum habis berbicara ketika dari kamar sebelah terdengar ada orang memanggil pelayan, terpaksa dia ke luar dengan langkah tergesa-gesa.   Wi Tiong-hong mengira tamu perempuan itu adalah teman akrab Ting toako, maka dia-pun tidak bertanya lebih lanjut, setelah mengambil secawan air teh, dia kembali kekursinya dan pelan-pelan meneguknya.   Tak selang beberapa saat kemudian, pelayan datang menghidangkan sayur dan arak, kebetulan Ting Ci-kang juga telah balik kembali ke dalam kamar.   Pelayan itu segera tertawa ke arah Wi Tiong-hong dan mengundurkan diri sambil menutup pintu.   Kedua orang itu-pun bersantap di dalam kamar, selesai bersantap.   Wi Tiong-hong mendongakkan kepalanya seraya berkata.   "Ting Toako, menurut pelayan, katanya sore tadi ada orang datang mencarimu." "Apakah kau telah bertanya kepadanya, manusia macam apakah itu? "   Tanya Ting Cikang dengan gelisah. "Konon dia adalah seorang tamu perempuan yang berdiam di kamar nomor lima bilik sebelah timur."   Sekujur tubuh Ting Ci-kang bergetar keras, wajahnya menunjukkan perasaan heran, kemudian sambil tertawa hambar dia berseru.   "Tamu perempuan? Aaah, mana mungkin ada tamu perempuan yang datang mencari siau heng? Selain itu, banyak ragam manusia yang tinggal di dalam rumah penginapan, yang she Ting juga bukan hanya aku seorang, mungkin dia salah mencari orang."   Ketika Wi Tiong-hong menyaksikan cara berbicaranya agak terbata-bata dan sangsi, timbul perasaan curiga di dalam hati kecilnya, cuma dia merasa segan untuk banyak bicara. Selesai bersantap malam, tiba-tiba Ting Ci-kang berbisik dengan suara lirih.   "Saudara Wi, mari kita beristirahat dulu, sebentar malam masih ada urusan lagi." "Urusan apa?"   Tanya Wi Tiong-hong heran. "Sekarang masih terlampau awal, selewatnya kentongan kedua nanti, kita akan berangkat ke An-wan piaukiok." "Apakah dalam perusahaan An-wan piaukiok bakal terjadi suatu peristiwa."   Tanya Wi Tiong-hong terperanjat. "Bukan begitu, perusahaan An-wan piaukiok milik Beng loko sudah dibubarkan, sedang gedungnya juga telah berganti pemilik."   Makin didengar Wi Tiong-hong merasa semakin keheranan, dengan cepat ia bertanya: "Kalau memang begitu, buat apa kita mesti kesana?" "Barusan aku ke luar tak lain disebabkan persoalan itu, cuma sampai sekarang keadaannya masih kurang jelas, jadi kita harus sampai ke situ dulu barulah duduknya persoalan menjadi terang."   Wi Tiong-hong tidak tahu keadaan macam apakah yang hendak dilihat olehnya? Cuma dia yakin Ting toakonya ini pasti sudah mengetahui akan sesuatu, hanya saja enggan untuk menerangkan kepadanya. Tanpa terasa dia lantas berpikir.   "Aku toh akan pergi bersamamu, sekali-pun tidak kau ucapkan sekarang, akhirnya aku toh akan tahu dengan sendirinya."   Berpikir sampai disitu, dia lantas manggut-manggut.   "Kalau memang demikian, siaute akan mengikuti toako untuk melihat-lihat keadaan."   Ting Ci-kang tersenyum dan tidak berbicara lagi, dia segera memadamkan lentera dan kembali ke pembaringan masing-masing untuk bersemedi mengatur pernapasan.   Ketika kentongan kedua sudah makin dekat.   Ting Ci-kang segera melompat turun dari atas pembaringan dan berkata dengan suara lirih.   "Saudara Wi, waktunya sudah tiba."   Wi Tiong-hong mengiakan dan segera melompat turun dari atas pembaringan.   Pelan- pelan Ting Ci-kang membuka jendela belakang dan melompat ke luar dengan cekatan, menanti Wi Tiong-hong sudah ke luar dari jendela, dia baru menutup kembali daun jendela itu dan melompat menuju ke arah sebelah timur.   Waktu itu kentongan kedua belum lewat, suasana di jalan raya masih ramai dengan aneka lentera yang menerangi seluruh kota.   Kedua orang itu melompati beberapa buah atap rumah dan diam-diam melompat turun ke jalan raya dan bergerak menuju ke jalan raya sebelah timur.   Jalan raya itu jauh dari jalan yang ramai, selain jauh dari keramaian kota juga jarang dilalui manusia, di sekeliling tempat itu-pun hanya ada beberapa cahaya lentera yang menerangi jalan.   Dengan langkah yang sangat berhati-hati ke dua orang itu berjalan mendekati pintu gerbang An-wan piaukiok, ketika Wi Tiong-hong mendongakkan kepalanya, tampak sepasang singa batu di depan pintu masih berada disitu, hanya papan nama An-wan piaukiok telah lenyap tak berbekas.   Sepasang pintu gerbangnya yang berwarna hitam gelap tertutup rapat, tak setitik cahaya lentera-pun yang kelihatan.   Gedung bangunan yang amat besar itu berada dalam keadaan gelap gulita, rupanya penghuni gedung itu sudah pada tidur semua.   Melihat kesemuanya itu, diam-diam Wi Tiong-hong merasa amat curiga, dia tidak habis mengerti permainan apakah yang sedang dilakukan oleh Ting toakonya itu? Tiba-tiba Ting Ci-kang menarik ujung bajunya mengajak pemuda itu menjauhi pintu gerbang, kemudian melingkar ke dinding pekarangan sebelah kanan dan bersembunyi di balik kegelapan.   Setelah itu dia mengeluarkan dua lembar sapu tangan berwarna hitam dan menyerahkan sehelai diantaranya untuk Wi Tiong-hong, bisiknya dengan suara lirih.   "Saudara Wi, cepat tutupi wajahmu dengan sapu tangan ini,"   Sembari berkata, dengan cepat dia membungkus separuh bagian dari wajahnya hingga tinggal sepasang matanya yang nampak.   Wi Tiong-hong tahu kalau Ting toakonya adalah seorang yang jujur dan berjiwa terbuka, dia agak heran juga menyaksikan tingkah lakunya yang mencurigakan pada malam ini.   Akan tetapi karena dia sudah terlanjur ikut datang, terpaksa diterimanya saputangan itu dan menutupi pula wajahnya dengan saputangan tersebut.   Ting Ci-kang segera memandang sekejap ke sekeliling arena, setelah itu bisiknya dengan lirih.   "Saudara Wi.   mari ikut aku."   Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan ID di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Dengan cepat dia menjejakkan kakinya ke atas tanah dan melompat ketengah udara bagaikan seekor burung elang, kemudian setelah melewati dinding pekarangan, bayangan tubuhnya lenyap daripandangan.   Wi Tiong-hong ragu sejenak, akhirnya dia-pun mengerahkan tenaga dalamnya dan ikut melompati dinding pekarangan dan masuk keruangan sebelah dalam.   Ketika memandang ke depan, tampak olehnya Ting Ci-kang sudah berdiri di depan undak-undakan batu sambil menggape ke arahnya.   Suasana di sekeliling tempat itu sunyi senyap tak kedengaran sedikit suara-pun, dengan lang kah lebar dia segera maju ke depan-Dengan mengikuti di belakang Ting Ci-kang ia masuk ke ruang tengah, tapi ruangan tersebut kosong melompong, jangankan manusia, sebuah perabot-pun tidak nampak.   Melihat itu, diam diam ia berpikir lagi.   "Aah, rupanya tuan rumah yang baru belum lagi pindah kemari,."   Sementara dia masih termenung, Ting Ci-kang yang berada disisinya telah berbisik lirih.   "Saudara Wi, waktu masih pagi, mari kita mencari tempat untuk bersembunyi lebih dulu, sebentar apa saja yang kau saksikan, bilamana keadaan tidak terlalu mendesak, lebih baik janganlah bersuara dulu." "Sebentar, apakah ada orang yang bakal datang lagi kemari?"   Tanya Wi Tiong-hong heran. "Aku pikir kemungkinan besar ada orang yang bakal datang kemari, oleh karena itu kita harus mencari suatu tempat untuk menyembunyikan diri lebih dahulu."   Wi Tiong-hong mencoba untuk memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, dia merasa ruangan tengah yang amat luas itu kosong melongong danpada hakekatnya tiada tempat untuk menyembunyikan diri.   Mendadak ia mendongakkan kepalanya memandang tiang penglari di atas ruangan yang tingginya hampir dua kaki daripermukaantanah itu, bisiknya kemudian-"Ting toako, bagaimana kalau kita menyembunyikan diri di atas tiang penglari itu saja?"   Ting Ci-kang segera tertawa. "Asal tempat itu bisa kau bayangkan, orang lainpasti dapat membayangkannya pula."   Berpikir sampai disitu, dia menjadi agak tertegun, kemudian serunya cepat. "Waah, kalau begitu tak ada tempat lagi untuk digunakan sebagai tempat persembunyian." "Baiklah,"   Kata Ting Ci-kang kemudian, mari kita bersembunyi di atas tiang penglari tersebut, cuma terdapat dibagian atasnya terlalu sempit, terutama bagi orang yang selalu melakukan perjalanan malam, bila hendak bersembunyi di atas tiang penglari, sudah pasti mereka bereda bersembunyi dibagian tengah-nya.   Oleh karena itu kita harus bersembunyi di samping kiri atau kanannya yang menempel dengan dinding, dengan demikian barujejak kita tidak mudah ketahuan."   Mendengar itu, diam diam Wi Tiong-hong berpikir. "Ya, benar, tempo hari Tok Hay-ji memang bersembunyi di atas tiang penglari tersebut."   Mendengar perkataan itu, diam-diam Wi Tiong-hong mengangguk sambil memuji, katanya.   "Siaute akan mengingatnya selalu."   Ting Ci-kang tersenyum.   "Aku akan bersembunyi disebelah barat, mari kita cepat naik ke atas ..."   Wi Tiong-hong tidak berbicara lagi, dia segera menghim-pun tenaga, sepasang lengannya didayung dan melompat setinggi dua kaki lebih, tangan yang sebelah menyambar tiang, kemudian melenting dan berjumpalitan ke atas.   Dia menurut dengan duduk menempel pada dinding, kemudian memasang telinga baik-baik untuk memperhatikan keadaan di sekeliling itu.   Mendadak ia mendengar suara Ting Ci-kang dengan ilmu menyampaikan suaranya sedang berbisik dari seberang sana.   "Saudara Wi, kau sudah duduk dengan baik? sekarang kita boleh beristirahat dulu, oya ...   dapatkah kau pergunakan ilmu menyampaikan suara? Kalau tak bisa, lebih baik jangan bersuara."   Wi Tiong-hong tidak bersuara, dia hanya berjongkok di atas tiang penglari dengan tenang, lewat sesaat kemudian, mendadak dari serambi sebelah kiri di luar ruangan dekat dinding secara la mat-la mat ia mendengar suara langkah kaki manusia yang amat lirih.   Kalau didengar suaranya, paling tidak ada tujuh delapan orang banyaknya, diam-diam ia merasa terkejut bercampur keheranan, segera pikirnya dengan cepat.   "Aaah, ternyata benar benar ada orang yang datang."   Kalau didengar dari suara langkah orang-orang tersebut, dapat diketahui kalau ilmu silat yang mereka miliki rata-rata amat tangguh, tapi ketika diamati lagi dengan lebih seksama, tiba-tiba saja suara langkah kaki manusia itu lenyap dengan begitu saja, seakan-akan setibanya di luar ruangan, mendadak mereka berhenti.   Berada di atas tiang penglari rumah yang tinggi, sudah barang tentu dia tak bisa melihat gerak gerik di luar ruangan sana Kurang lebih seperminum teh kemudian, suasana masih tetap hening tanpa terdengar suara apa apa, akhirnya tak tahan dia segera berbisik kepada Ting Ci-kang dengan ilmu menyampaikan suaranya.   "Ting toako, di luar ruangan telah muncul serombongan manusia."   Agak terkejut Ting Ci-kang setelah mendengar perkataan itu, dengan ilmu menyampaikan suara kembali dia bertinya.   "Apakah kau dapat melihat kehadirannya?" "Bukan begitu, tadi siaute mendengar di serambi luar sana seperti ada orang yang sedang berjalan, jumlah mereka paling tidak mencapai tujuh delapan orang, hanya anehnya sebentar kemudian suara tersebut hilang lenyap. seakan-akan mereka semua berhenti di luar sana. Ting Ci-kang yang mendengar perkataan itu menjadi semakin terkesiap. sebagaimana diketahui antara ruangan tengah dengan serambi samping dipisahkan oleh sebuah dinding yang amat tebal, bagaimana mungkin Wi Tiong-hong bisa menangkap suara tersebut? Kalau ditinjau dari ketajaman pendengarannya, bukankah hal ini menunjukkan kalau tenaga dalamnya telah mencapai puncak kesempurnaan? Padahal berbicara soal usia, jelas dia masih jauh lebih muda daripada usia sendiri, tetapi mengapa dia bisa memiliki kemampuan yang melampaui batas kebiasaan? Bersamaan itu juga , dia-pun teringat akan lencana Siulo cinleng yang dimiliki pemuda itu, asal usulnya terasa semakin mengherankan hati, tapi kalau di dengar dari nada ucapannya dia seperti seorang yang baru terjun kedunia persilatan dan sama sekali tak berpengalaman. Berpikir demikian, terpaksa ujarnya sambil tersenyum.   "Mungkin saudara Wi telah salah dengar." "Tak bakal salah, siaute dapat mendengar dengan jelas sekali, mungkin mereka bersembunyi di atas serambi samping, coba kalau tidak dihalangi oleh dinding yang tebal, dalam jarak beberapa kaki saja, dengusan napas mereka dapat kudengar pula dengan jelas."   Mendengar perkataan itu tanpa terasa Ting Ci-kang meningkatkan kewaspadaannya menjadi beberapa kali lipat, kemudian setelah menghela napas panjang katanya: "Saudara Wi, ketajaman pendengaranmu sungguh membuat siauheng merasa kagum sekali."   Berbincang sampai disitu, mereka segera menghentikan pembicaraan tersebut.   Wi Tiong-hong mencoba untuk memperhatikan lagi gerak gerik diserambi samping, tapi kecuali suara langkah kaki yang tadi, tidak terdengar lagi suara yang lain-Angin malam berhembus lewat menggoyangkan daun pintu danj endela serta menimbulkan suara yang bsrisik, tapi suasana di gedung ini masih tetap hening, sepi dan tak ada suara apa-apa.   Dalam suasana seperti inilah satu kentongan lewat tanpa terasa, kini tengah malam sudah tiba, namun belum juga terlihat ada sesuatu gerakan yang mencurigakan.   Wi Tiong-hong berjongkok di atas tiang penglari rumah dengan perasaan tak sabar, mendadak.   "Sreeet, sreeet "   Terdengar beberapa kali desingan suara pelan bergema memecahkan keheningan.   Kemudian tampak bayangan manusia berkelebat lewat dan di depan undak-undakan rumah lelah muncul empat sosok bayangan manusia yang kecil dan kurus.   Dengan perasaan terperanjat Wi Tiong-hong segera berpikir.   "Sungguh cepat gerakan tubuh mereka "   Belum lagi dia bersuara, Ting Ci-kang dengan ilmu menyampaikan suaranya telah berbisik.   "Saudara Wi, ada orang datang."   Dalam waktu singkat, Wi Tiong-hong dengan meminjam sinar rembulan yang redup sudah dapat melihat raut wajah keempat sosok bayangan kurus kecil itu dengan jelas, ternyata mereka adalah empat orang bocah berbaju hitam yang berusia hampir sebaya.   Kalau di lihat dari wajah mereka, tampaknya usia mereka baru empat lima belasan- Maka kepada Ting Ci-kang dia menjawab.   "Benar, yang datang adalah empat orang bocah lelaki yang berusia antara empat lima belas tahunan."   Ting Ci-kang semakin terperanjat lagi, dengan cepat dia bertanya.   "Dalam suasana yang begini gelap gulita, apakah saudara Wi bisa melihat raut wajah mereka dengan jelas?" "Siaute meminjam cahaya bintang dan rembulan untuk mengamati wajah mereka, aku pikir tak bakal salah lagi, cuma tak sejelas kalau melihat ditengah hari belong."   Ting Ci-kang semakin terkesiap lagi setelah mendengar ucapan itu, buru-buru dia berseru. "sekarang mereka sudah berjalan masuk. coba lihat tindakan apa yang mereka lakukan?"   Ke empat orang bocah lelaki berbaju hitam itu nampak agak sangsi sebentar setelah dilihatnya gedung yang begitu besar berada dalam keadaan hening, tidak nampak ada yang menghalangi juga tak kedengaran sedikit suara-pun tapi akhirnya mereka melangkah masuk juga ke dalam ruangan tengah.   Secepat kilat keempat orang itu menyebarkan diri, dua menuju ke sebelah kiri dan dua lagi menuju kesebelah kanan, setelah berdiri pada posisi segi empat, masing masing lantas berdiri tak berkutik di tempat semula ...   Wi Tiong-hong mengamati sekejap orang-orang itu, kemudian baru berkata dengan ilmu menyampaikan suara.   "Mereka berdiri dibawa h sana dalam posisi segi empat, tubuh mereka tidak bergerak." "Dalam posisi segi empat? "   Mungkin karena suasana dalam ruangan itu terlampau gelap hingga Ting Ci-kang tak sempat melihat jelas keadaan di sekeliling tempat itu, maka setelah mendengar ucapan mana dia termenung beberapa Saat, setelah itu baru katanya.   "Mungkin mereka sedang menunggu orang." "Sreeeet "   Segulung bayangan manusia di ringi suara ujung baju yang terhembus angin segera berkelebat lewat dan melayang turun diantara ke empat orang tersebut.   Gerakan tubuh orang itu sedemikian cepatnya hingga boleh dibilang dalam sekejap saja telah tiba disasaran.   Bahkan Wi Tiong-hong sendiri-pun tak sempat melihat jelas bentuk tubuhnya, ditengah kegelapan hanya terdengar seseorang dengan suara yang rendah, berat dan parau sedang menegur.   "Tidak berjumpa dengan seseorang?" "Benar"   Jawab keempat orang bocah berbaju hitam sambil membungkukkan badan memberi hormat. Buru-buru Ting Ci-kang bertanya lagi.   "Saudara Wi, apakah kau dapat melihat jelas macam apakah orang yang baru datang itu?"   Sorot mata Wi Tiong-hong segera dialihkan ke arah bayangan manusia diantara ke empat orang bocah berbaju hitam itu, ternyata dia adalah seorang tojin tua yang kurus dan kecil, tapi lantaran dia berada di tempat yang tinggi, maka sukar untuk melihat jelas raut wajahnya.   Maka setelah mendongakkan kepalanya dia berkata.   "Tampaknya seperti seorang tosu yang kurus dan kecil."   Belum habis dia berkata, mendadak terdengar tosu kurus itu sudah membentak keras: "Siapa disitu?"   Ting Ci-kang amat terperanjat segera pikirnya.   "Padahal aku dan Wi Tiong-hong bercakap cakap dengan ilmu menyampaikan suara, tak mungkin pembicaraan kami bisa didengar orang lain, jikalau ia dapat mendengar suarai berarti suara itu berasal dari dengusan napas-kami berdua ..."   Teringat sampai di sana, dengan ilmu menyampaikan suara segera bisiknya lagi: "Saudara Wi, cepat tutup napasmu rapat-rapat jangan berbicara lagi untuk sementara."   Dalam pada itu, keempat bocah berbaju hitam tersebut telah berkata setelah menjura. "Tecu sekalian telah melakukan pemeriksaan diseluruh ruangan tak nampak sesosok manusia."   Benar-benar lihay sekali, ternyata ketika mereka baru masuk ke dalam ruangan dan berputar sekali dengan kecepatan tinggi sekali tadi seluruh ruangan telah diperiksa dengan seksama.   Tosu yang kurus kecil itu segera mendengus dingin "Hmm, dengan jelas lohu mendengar ada orang berganti napas di balik kegelapan, ehm, agaknya suara itu berasal dari sebelah barat sana."   Diam-diam Ting Ci-kang merasa malu sendiri karena orang yang berganti nafas tadi memang dia.   Sambil bergendong tangan tosu kurus kecil itu berdiri ditengah kegelapan, sementara sorot matanya yang tajam pelan-pelan menyapu seluruh ruangan itu, bentaknya kemudian-"Turun."   Baru selesai dia berkata, tiba-tiba dari arah belakang ruangan kedengaran seseorang menegur dengan suara dalam. "Siapa disitu? Ditengah malam buta begini ada urusan apa berkaok-kaok disini?"   Suara itu berasal dari suara seorang kakek tua yang parau, bahkan diantara pembicaraan tersebut diselingi pula suara batuk. Tosu tua yang kurus kecil itu mendengus dingin-"Hmmm. siapakah kau? Mengapa tidak segera munculkan diri?"   Suara tua dari belakang ruangan itu berkata.   "Apakah kalian hendak mencari orang- orang dari An-wanpiaukiok? Sejak berapa hari berselang perusahaan itu telah dibubarkan, tempat ini sudah berganti pemilik, kami hanya rakyat biasa yang tak pernah berhubungan dengan orang persilatan, kalian telah salah sasaran-." "Soal dibubarkannya An-wanpiaukiok. mengapa lohu mesti bertanya kepadamu?" "Lantas kau datang kemari mencari siapa?" "Mencari siapa? "   Tosu kecil kurus itu mendengus gusar.   "apakah lohu tak boleh kemari?" "Majikan kami belum pindah kemari, apakah tidak kau saksikan gedung ini masih kosong melompong?"   Tosu kurus kecil itu menatap ke belakang ruangan lekat-lekat, mendadak ia menegur. "Siapakah kau?"   Orang di belakang ruangan itu terbatuk-batuk kemudian berkata.   "Bagaimana? Apakah kau hendak mencari aku?"   Tosu kurus kecil itu semakin naik darah, serunya dengan suara menahan geram.   "Lohu tidak punya waktu bergurau dengan dirimu"   Suara yang serak dan tua itu kembali tertawa ringan-"Aku toh tidak mengundang kalian datang, bukan aku yang bergurau dengan dirimu, adalah kau yang mengajak aku berbincang-bincang."   Tosu kurus kecil itu tertawa seram, mendadak tampak cahaya tajam berkelebat lewat ditengah kegelapan, kemudian meluncur ke belakang ruangan di mana suara pembicaraan tadi berasal.   "Tri ing ..."   Suara dentingan lirih berkumandang dari arah belakang ruangan, kalau di dengar dari suara tersebut, dapat diketahui kalau sitosu kurus kecil itu telah melepaskan senjata rahasia yang kecil dan lembut ke arah lawannya.   Diam-diam Wi Tiong-hong agak tertegun, pikirnya.   "Oooh, rupanya orang yang bersembunyi di belakang ruangan-pun seorang yang liehay, tadi aku masih mengira dia hanya penghuni gedung ini saja ..."   Dalam pada itu, suara yang tua tadi telah berseru lagi dengan perasaan terkejut. "Keparat, hampir saja aku si orang tua menghantarkan selembar jiwaku ditanganmu."   Tiba-tiba tosu kecil tertawa tergelak.   "Haahhh ...   haaahh ...   haaahh ...   sobat kau punya kemampuan sedemikian hebatnya, hal ini membuktikan kalau kau bukan manusia sembarangan, lebih baik tak usah bersembunyi di tempat kegelapan lagi, meng apa tidak segera munculkan diri agar lohu bisa melihat tampang wajahmu itu..?" "Aku adalah pengurus rumah tangga ini, tapi jika kau bersikeras hendak meminta diriku untuk munculkan diri, tampaknya sekali-pun tidak ke luar juga tak mungkin ...   "   Selesai berkata, dari belakang ruangan tampak cahaya lentera berkilat tajam, lalu seorang kakek berjubah biru dengan rambutnya penuh dengan kucir kecil melangkah ke luar dari balik penyekat.   Wi Tiong-hong memperhatikan pula wajah orang itu lekat-lekat, ternyata wajah kakek tersebut ditutup oleh selembar kain hitam sehingga kelihatan hanya sepasang matanya saja, teringat akan kain hitam yang membungkus wajah sendiri, satu ingatan segera melintas dalam benaknya.   Ketika dia memandang lagi kewajah tosu kurus kecil itu, dibawah cahaya lilin, tampak wajahnya kelihatan semakin kentara.   "Tosu toa itu berwajah kurus dan sempit dengan alis mata yang panjang, mata kecil, sepasang kening menonjol, mata seperti alang dan berjenggot panjang, dia memakai jubah berwarna abu-abu dengan sebuah senjata kebutan terselip dipinggangnya."   Waktu itu, dengan sepasang matanya yang tajam dia sedang mengawasi kakek berbaju biru itu lekat-lekat, kemudian berkata dingin.   "Sobat, kalau toh sudah munculkan diri, rasanya tak ada gunanya kau bungkus wajah asli mu lagi."   Kakek berbaju biru itu segera tertawa. "Aku berbuat demikian karena kuatir kalau kurang berhati-hati sehingga keracunan." "Kau kenal dengan lohu?"   Kakek berbaju biru itu segera tertawa terbahak-bahak.   "Haahh ...   haahh ...   haahh ...   walau-pun aku belum pernah berjumpa dengan Sutok thian Liong (empat raja racun), sedikit banyak pernah juga kudengar orang membicarakannya, saudara Seh, sekali-pun kau sudah berdandan sebagai seorang tosu, suara dan wajah tak mungkin bisa berubah, siapakah didunia ini yang tidak kenal dengan dirimu?" "Tosu she Seh? "   Satu ingatan kembali melintas dalam benak Wi Tiong-hong.   "Lo hong tiang dari kuil Pau-in-si mengatakan dia telah kedatangan seorang Seh tosu, jangan-jangan orang inilah yang dimaksudkan ... ?"   Sementara dia masih termenung, terdengar tosu yang kurus kecil itu sudah tertawa terbahak-bahak dengan suara parau.   "Haahh ... haaahhh ... haaahh ... saudara Chin terlalu memuji, siaute-pun sudah lama mengagumi nama congkoan dari perkumpulan Ban kiam-hwee .."   Sekali lagi Wi Tiong merasakan hatinya terkesiap.   "ternyata si kakek berbaju biru itu adalah Chin congkoan dari perkumpulan Ban Kiam-hwee ..." "Mana, mana ...   "   Terdengar Chin congkoan berseru sambil menjura.   "Nama siaute kalau dibandingkan dengan nama saudara Seh, apalah arti nama kami itu?" Bab 21 Tapi lantaran ilmu silat lawan kelewat hebat apalagi pandai mempergunakan racun, mau tak mau dia merasa agak keder juga . setelah berhenti sejenak. sambungnya lebih lanjut. "Malam-malam begini saudara Seh berkunjung kemari, entah ada petunjuk apakah yang hendak disampaikan?"   Seh tosu memandang sekejap sekeliling tempat itu, lalu pelan-pelan menjawab: "Menurut laporan yang siaute dapatkan, konon muridku Tok Hay-ji telah melanggar persatuan perkumpulan kalian sehingga entah bagaimana ceritanya sampai kena ditangkap oleh pihak kalian, Sebab itu aku sengaja berkunjung kekota Sang-siau dengan maksud memohon maaf kepada saudara chin." "Sungguh kebetulan perusahaan An-wan piau kiok telah menjadi sebuah gedung kosong, maksud siaute yang sebetulnya adalah ingin menggunakan tempat ini sebagai tempat untuk berteduh tak nyana malah berjumpa dengan saudara chin."   Ketika mendengar sampai disitu, Wi Tiong-hong manggut-manggut secara pelan sembari berpikir. "Ternyata .. dia adalah gurunya Tok Hay-ji, kalau didengar dari nada bicaranya, seperti dia sudah menerima berita yang kubawa?"   Sementara itu Chin congkoan telah berlagak seakan menyadari akan sesuatu, cepat- cepat ia menjura seraya berkata.   "Oooh ... siaute tidak tahu kalau Tok Hay-ji adalah anak murid saudara Seh, maaf . , maaf itu mah soal kecil, asal saudara Seh telah memohonnya, masa siaute berani membantahnya?" "Haaa haa haa saudara Seh telah datang dari tempat kejauhan, sudah sepantasnya jika siaute menjadi seorang tuan rumah yang baik, yaa apa daya kalau di tempat ini tidak terdapat apa apa untuk menjamu diriku ..." "Saudara Seh, bagaimana kalau siaute menghantar dirimu untuk beristirahat di rumah penginapan saja? Segata sesuatunya biar siaute yang mentraktir."   Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan ID di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Seakan-akan telah berjumpa dengan sahabat karib saja, orang-orang persilatan memang selalu berjiwa terbuka dan gampang bersahabat dengan orang yang dijumpainya. "Soal ini tak perlu saudara Chin risaukan."   Tampik Seh tosu Cepat.   "Selamanya siaute sudah terbiasa hidup seadanya, disini-pun cukup baik saudara chin, siaute merasa berterima kasih sekali kepadamu atas kesudianmu membebaskan muridku, sekarang silahkan saudara Chin berlalu."   Chin congkoan agak tertegun setelah mendengar perkataan itu, setelah mendeham sebentar, dia lantas menjura seraya berkata.   "Soal muridmu timbul karena kesalahan paham, tentu saja siaute akan segera membebaskannya, cuma andaikata saudara Seh ingin tinggal disini, aku rasa hal ini malah kurang leluasa."   Sambil menarik muka, Seh tosu segera membantah.   "Tempat ini tak lebih hanya sebuah gedung kosong, apa salahnya jika siaute menumpang semalam saja di sini?" "Saudara Seh, kau belum tahu, sejak An-wan piaukiok gulung tikar, gedung ini telah dibeli oleh pihak perkumpulan kami."   Seh tosu segera tertawa seram.   "Heeeh, heeeh, heeeh, aku mengira karena apa, rupanya gedung An-wan piaukiok ini telah dibeli oleh pihak perkumpulan kalian, bukankah hal ini lebih baik lagi? Tadi, saudara Chin malah bilang hendak menjamu siaute sebagai seorang tuan rumah yang baik? Haaah haaah, kalau begitu siaute akan menginap semalam saja disini, sebagai tuan rumah tentunya saudara Chin tak akan merasa keberatan bukan?"   Sekali-pun Chin congkoan seorang jago kawakan yang sudah termasyur selama banyak tahun, tak urung dia dibikin terbungkam perkataan tersebut.   Pada saat itulah mendadak terdengar seseorang tertawa merdu, suaranya enak didengar hanya sayang nadanya dingin menggidikkan kemudian seseorang telah berseru.   "Tidak bisa, kau tak bisa menginap disini, karena malam ini juga kami akan pindah ke mari."   Berbareng dengan selesainya ucapan tersebut dari balik penyekat muncul seorang gadis berbaju hitam.   Wi Tiong hiong mencoba untuk memperhatikan wajah gadis itu, ternyata dia mengenakan baju hitam gelap.   berusia dua puluh tiga-empat tahunan, berwajah potongan kwaci, beralis mata lengkung, bermata jeli, bibir kecil dan potongan badan langsing ...   Tanpa terasa tergerak hati anak muda itu, dia menjadi teringat kembali dengan perkataan sang pelayan rumah penginapan kepadanya menjelang bersantap malam tadi, bukankah tamu perempuan yang mencari Ting toakonya juga berpotongan badan semacam ini? Dalam pada itu, Seh tocu telah berubah wajahnya setelah mendengar perkataan itu, dengan suara dingin dia lantas menegur.   "Siapakah nona ini? Maaf Kalau aku orang she oey bermata, tetapi tak dapat melihat."   Buru-buru Chin congkoan memperkenalkan.   "Dia adalah salah seorang di antara empat pelayan utama dari hwecu perkumpulan kami Hek-bun-kun (Bun kun hitam) Cho Kiu may, nona Cho adanya." "Oooh ... dia adalah pelayan dari Ban Kiam-hweecu, siaute belum pernah mendengar orang membicarakannya,"   Kata Seh tosu dengan suara yang dingin dan kaku. "Sekarang, bukankah kau telah mendengarkannya? "   Ucapnya Hek-bun-kun Cho Kiumoay dengan Cepat. Berbicara sampai disitu, mendadak dia mengalihkan sorot matanya ke arah Chin congkoan sembari berkata.   "Chin congkoan, kau boleh menyuruhnya pergi sekarang."   Belum sempat Chin congkoan buka suara, Seh tosu dengan wajah penuh kegusaran telah tertawa dingin tiada hentinya. "Heehh ... heeh .. hee , .. mengapa lohu harus pergi lagi?"   Dengan suara dingin dan kaku Hek bun kan Cho Kiu-moay menjawab.   "perkumpulan dalam dunia persilatan mempunyai rahasia dari perkumpulan sendiri, malam ini juga kami akan pindah kemari kami tak ingin membiarkan orang luar menyusup di dalam tubuh perkumpulan kami."   Seh tosu segera menengadah dan tertawa ter bahak-bahak.. "Haaan, haaah, haaah, kalian bukan majikan gedung ini, siaute berhak untuk pindah kemari lebih dulu." "Saudara Seh, apa maksudmu berkata begitu?"   Seh tosu mengelus jenggot dibawah dagunya lalu berkata sambil tertawa.   "Siaute dengar, An-wan piaukiok hanya mengembalikan gedung ini kepada pemilik rumahnya, belum pernah kudengar kalau gedung ini telah dijual kepada Ban Kiam-hwee kalian." "Gedung ini justeru telah kami beli dari pemilik rumah tersebut."   Bantah Cho Kiu-moay. "Kau tahu siapakah pemilik rumah ini? "   Kata Seh tosu sambil tertawa licik.   "Haaah, haaah. haaah, hampir separuh bagian gedung yang berada di kota Sang-siau ini menjadi milik Tang poan sia (pemilik separuh kota) Tang Pek ban, mana mungkin gedung ini dijual kepada kalian? Ketahuilah, lohu terus terang beritahu kepadamu, lohu telah menyewa gedung ini dari tangan Tang Pek ban, maka orang yang seharusnya mengundurkan diri dari sini bukan lohu melainkan pihak kalian, mengerti?"   Wi Tiong-hong yang mendengar mereka hanya memperebutkan hak menempati gedung tersebut, diam-diam merasa kegelian, hampir saja dia tertawa bergelak. Terdengar Hek-bun-kun Cho Kiu moay berkata lagi dengan suara dingin seperti es.   "Kalau begitu kau menolak untuk pergi dari sini?" "Lohu telah menyewa gedung ini dari pemiliknya, aku rasa tak mungkin gedung ini akan kuserahkan kepada orang lain-"   Jawab Seh tosu dengan suara berkilat. Hek-bun-kun cha Kiu-moay segera tertawa terkekeh-kekeh, kemudian dengan kening berkerut katanya lagi.   "Bagus sekali, kalau begitu silahkan kalian tetap tinggal disini,"   Tiba-tiba dia berpaling ke arah Chin congkoan dan berkata lagi.   "Chin congkoan, suruhlah mereka ke luar semua."   Chin congkoan tertawa kering, dia lantas bertepuk tangan sebanyak tiga kali.   Mendadak tampak cahaya api memancar ke mana-mana, dari luar ruangan tersebut telah muncul puluhan batang obor yang membuat seluruh ruangan itu terang benderang.   Bersamaan itu pula, dari empat penjuru sekeliling tempat itu bermunculan dua puluhan orang berpakaian ringkas warna hitam, rata rata mereka menutupi sebagian wajahnya dengan kain hitam, sementara sebilah pedang berbulu hitam tersoren dipinggang masing-masing.   Wi Tiong-hong yang menyaksikan kejadian itu merasa amat terkesiap, pikirnya.   "Aaah, rupanya di sekeliling serambi gedung ini telah di persiapkan kawanan jago yang begini banyaknya."   Seh tosu sendiri seakan-akan tak merasa kejadian itu sebagai sesuatu yang di luar dugaan, sekulum senyuman licik segera menghiasi wajahnya yang menyeramkan, sambil manggut-manggut katanya.   "Delapan belas orang jago pedang berbulu hitam, hanya mengandalkan jagoan sebanyak ini saja?"   Dia lantas mengangkat tangannya dan menuding ke arah Hek-bun-kun Cho Kiu-moay.   Empat orang bocah berbaju hitam yang berdiri di belakang Seh tosu itu serentak mencabut ke luar sebatang senjata kebutan dari sisi pinggangnya, kemudian dengan suatu gerakan tubuh yang amat cepat bagaikan sambaran kilat mengurung di sekeliling gadis tersebut.   Chin congkoan yang menyaksikan kejadian itu segera berteriak keras memberi peringatan.   "Nona cho, hati-hati dengan senjata kebutan mereka, hud tim tersebut amat beracun."   Sementara itu Hek-bun-kun Cho Kiu-moay telah mengeluarkan secarik kain berwarna hitam dan digunakan untuk menutupi mulut dan hidungnya, kemudian katanya sambil tertawa.   "Masa aku bakal tertipu oleh perbuatan mereka?"   Nona Cho Kiu-moay ini memang tak malu disebut salah seorang dayang dari ketua perkumpulan Ban Kiam-hwee, gerak geriknya dilakukan dengan kecepatan yang amat mengagumkan.   Sejak dia mengeluarkan kain hitam untuk menutupi mukanya, kemudian mencabut ke luar pedang berbulu kuning tersoren dipinggangnya, semuanya telah selesai dilakukan sebelum ke empat orang bocah berbaju hitam itu mengepung dirinya dan melancarkan serangan ke depan.   Cho Kiu-moay segera mengayunkan pedangnya menciptakan serentetan cahaya pelangi berwarna perak yang mengitari sekeliling tubuhnya, kemudian sambil menciptakan selapis cahaya berkialuan dia melancarkan serangan terpisah ke arah empat bocah berbaju hitam itu.   Tindakan serangan yang dilancarkan olehnya ini benar benar luar biasa sekali.   Sebenarnya ke empat orang bocah berbaju hitam itu sedang melancarkan serangan ke arahnya dari empat penjuru, namun setelah Cho Kiu-moay melancarkan serangan balasan, mereka dipaksa untuk merubah kedudukan sebagai penyerang menjadi kedudukan bertahan, mereka mundur terus tiada hentinya.   Seh tosu memperhatikan sekejap pedang berbulu kuning yang berada ditangan gadis itu, dia merasa amat terperanjat.   Perlu diketahui, perkumpulan Ban Kiam-hwee selama ini termashyur karena keganasan serta kehebatan permainan pedang nya, setiap anggota perkumpulan mempunyai kelompoknya masing-masing sesuai dengan tingkatan ilmu pedang yang dimiliki, mengelompokkan tersebut ditandai dengan perbedaan warna bulu pedang masing-masing.   Pada kawanan jago pedang biasa, maka perbedaan itu terbagi menjadi warna hijau, merah, putih dan hitam empat macam, sedangkan untuk kedudukan yang paling tinggi, digunakan warna kuning emas.   Konon hanya Hwecu seorang yang menggunakan bulu pedang berwarna kuning emas, namun jarang sekali ada jago persilatan yang sempat berjumpa dengan ketua perkumpulan Ban Kiam-hwee ini.   Kini Hek-bun-kun Cho Kiu-moay mempergunakan bulu pedangnya berwarna kuning tawar, dari ini menunjukkan kalau tingkat kedudukannya di dalam perkumpulan Ban Kiam-hwee hanya setingkat dibawah sang ketua sendiri, sudah barang tentu ilmu pedang yang dimilikinya-pun luar biasa sekali.   Berpikir demikian, dia lantas berseru lantang.   "Mundur semua."   Mendengar seruan itu, empat bocah berbaju hitam itu segera mengundurkan diri. Sambil memutar senjata kebutan ditangan, Seh tosu segera tertawa seram, kemudian ujar nya.   "Lohu pernah mendengar orang berkata hanya Ban kiam bwee cu seorang yang mempergunakan pedang berbulu kuning emas, kini ku lihat nona menggunakan pedang berbulu kuning tawar, tampaknya kau memiliki suatu kemampuan yang amat hebat di dalam permainan pedangmu?"   Cho Kiu-moay segera menggetarkan pergelangan tangannya sehingga tubuh pedang itu memperdengarkan suara dengungan yang sangat nyaring, kemudian sorot matanya ditujukan ke ujung pedang, sementara tangan kirinya meraba tubuh pedang itu pelan- "Apakah kau ingin mencoba kelihayanku?"   Tantangnya dengan kening berkerut kencang.   Seh tosu menjadi panas hatinya melihat sikap jumawa dari gadis itu, meski pedangnya dipegang dalam suatu sikap yang seenak hatinya, namun dia tahu bahwa tenaga dalam yang dimiliki gadis itu cukup tangguh.   Tanpa terasa dia mendongakkan kepalanya dan tertawa seram.   "Haaahhh ...   haaahhh , ...   haaahhh ...   lohu memang bermaksud demikian." "Hmmm, kalau begitu perhatikan saja baik-baik"   Seru Cho Kiu-moay sambil mendengus dingin-Begitu selesai berkata, tanpa pembukaan tanpa memasang kuda- kuda, pedangnya langsung disodok ke depan melancarkan sebuah tusukan ke tubuh tosu itu.   Serangan pedangnya ini ternyata di lancarkan selain ganas juga amat cepat, begitu dahsyatnya hingga menggetarkan sukma setiap orang yang memandangnya.   cepat-cepat Seh tosu memutar senjata kebutan yang berada ditangan kanannya menciptakan selapis cahaya hitam yang amat tebal untuk mengunci datangnya ancaman pedang Hek-bun-kun, berbareng itu juga "Sreet "   Segulung desingan angin tajam diayunkan ke depan untuk membelenggu telapak tangan kanan lawan yang menggenggam pedang.   Dengan cekatan Cho Kiu-moay melejit ke samping untuk menghindarkan diri, seperti Seekor ular sakti ke luar dari sarangnya pedang itu berganti tiga jurus serangan secara beruntun, semuanya dilakukan dengan keCepatan luar biasa dan mengancam tiga buah jalan da rah penting di tubuh Seh tosu.   "Benar-benar ilmu pedang yang amat bagus."   Puji Seh tosu sambil tertawa seram.   Senjata kebutnya diputar membentuk satu lingkaran busur, kemudian dengan jurus Hong imsu hap (angin dan mega berkumpul diempatpenjuru) dia bendung ketiga serangan lawan yang tertuju ke arahnya itu.   Cho Kiu-moay mendengus dingin, permainan pedangnya semakin diperketat, tiba-tiba saja cahaya dingin memancar keempat penjuru dan menciptakan bayangan pedang yang berlapis-lapis, dalam waktu singkat dua kaki di-sekel ling tempat itu sudah diliputi oleh hawa pedang yang menggidikkan hati ..."   Wi Tiong-hong yang bersembunyi di atas tiang belandar menjadi terkejut sekali setelah menyaksikan kenyataan itu, diam-diam pikirnya "llmu pedang macam apaan ini? Tak kusangka begitu ganas, keji dan menggidikkan hati."   Ketika memandang pula ke arah Seh tosu, tampak seluruh tubuhnya telah diliputi oleh selapis kabut hitam yang amat tebal, diantara desingan angin tajam, permainan senjata kebutannya tetap sama cepatnya sehingga sulit dilihat jelas.   Wi Tiong-hong benar benar dibikin terkesima oleh pertarungan tersebut, tanpa terasa dia lantas bertopang dagu dengan tangannya menopang badannya, lalu seluruh perhatiannya dicurahkan kemedan pertarungan untuk mengawasi perubahan pedang dan senjata kebutan lawan.   Sementara dia sedang mencurahkan perhatiannya untuk memperhatikan jalannya pertarungan itu, mendadak jari tangan kirinya seperti lagi menekan di atas sebuah benda yang dingin dan keras.   Dalam pada itu, pertarungan yang berlangsung antara dua orang jago di bawah sana telah berlangsung dua tiga puluh gebrakan lebih, kini masing-masing pihak sedang mengerahkan segenap kemampuannya untuk menguasahi lawan, jurus serangan yang mematikan dike luarkan beruntun, perubahan jurusnya tak terlukiskan dengan kata- kata.   Dalam keadaan demikian, anak muda itu enggan untuk melepaskan pandangannya dari arena pertarungan.   perhatiannya juga masih dicurahkan ke arena, tentu saja tidak akan memperhatikan benda apakah yang dingin dan keras itu, namun jari tangannya tanpa disadari masih saja meraba, mengorek dan mendongkel benda tersebut.   Agaknya benda itu tertanam di dalam tiang belandar sedalam tiga hun lebih, ketika diraba terasa halus dan licin sehingga sukar untuk mengoreknya ke luar.   Sementara itu, Cho Kiu-moay yang sedang bertarung sengit tiba-tiba membentak nyaring, titik titik cahaya tajam memancar berbareng dengan munculnya bunga pedang, kemudian dengan menciptakan serentetan cahaya tajam yang menggidikkan hati langsung menembusi bayangan hitam yang tebal disekitar tubuh lawan.   Dengan cepat Seh tosu menyadari datangnya ancaman bahaya maut, untuk membendungnya jelas tak sempat lagi, buru-buru dia menarik hawa murninya dari dalam tan-tian, lalu sambil mengeraskan hati menyusup mundur sejauh satu depa lebih ke belakang.   Di mana cahaya tajam berkelebat lewat "Sret"   Jubah tosu yang dipakai Seh tosu telah robek dari atas dada hingga kebawah oleh goresan mata pedang, masih untung dia, berkelit cukup cepat, coba kalau terlambat selangkah saja, niscaya dadanya susah terbelah menjadi dua dan berakibat suatu kematian yang mengenaskan Wi Tiong-hong yang menyaksikan kejadian itu menjadi terperanjat tangan kirinya yang sementara itu masih mengorek ke luar benda dingin di atas tiang belandar, karena secara tiba-tiba hatinya menjadi tegang, tanpa terasa jari tangannya ikut mengerahkan tenaga lebih besar lagi, ternyata secara paksa dia berhasil mengorek ke luar benda itu, namun masih tidak diketahui olehnya benda apakah itu? Sebab pada saat itu dua orang yang sedang bertarung dibawah sana telah mengalami suatu perubahan besar.   Seh tosu telah bermandikan keringat dingin karena kaget, buru-buru dia melayang mundur sejauh dua kaki ke belakang, kemudian dengan suara yang parau tertawa terbahak-bahak sembari berkata.    Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Maling Budiman Pedang Perak Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini