Bintang Bintang Jadi Saksi 2
Bintang Bintang Jadi Saksi Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
Pangkat maupun hartanya. Kebetulan sekali saat becak yang dia tumpangi melewati depan rumah tersebut, terlihat sebuah sedan warna hitam masuk di halaman rumah gedung itu.
"Sudah, pak, di sini saja"
Ucap Harlan pada si tukang becak sembari mengangsurkan ongkos kemudian turun dan berjalan pelan kembali menuju rumah itu. Dari kejauhan dilihatnya seorang pemuda tampan membuka pintu mobil. Dari dalam mobil bagian belakang keluar seorang laki-laki dan seorang perempuan setengah tua sambil tertawa-tawa. Tak lama kemudian si pemuda lalu membuka pintu bagian depan mobil. Harlan memandang terus...tergetarlah hatinya manakala melihat Sunarti keluar dari mobil itu sambil tersenyum, bahkan si pemuda mengulurkan sebelah lengannya yang kemudian dipegang Sunarti saat tadi hendak turun.
Harlan mengucek matanya barangkali dia salah melihat. Benarkah itu Sunarti? Bukan gadis lain yang wajahnya mirip? Ah, tidak mungkin. Itu benar Sunarti. Jelaslah, karena ada tahi lalat kecil dekat dagunya. Tapi kenapa sekarang sangat berbeda. Tatanan rambutnya, roknya, sepatunya, kerudungnya berbahan sutera, semua serba indah dan serba mahal. Harlan merasa terlalu jauh perbedaan antara dirinya dengan mereka. Datangnya saja hanya dengan menumpang becak, pakaian yang dikenakan bukanlah pakaian baru seperti yang mereka pakai. Tubuhnya pun cacat. Sudah pasti tidak ada apa-apanya jika dibanding dengan pemuda yang menggandeng tangan Sunarti! Perlahan dia berjalan dengan menundukkan kepalanya, melewati depan halaman rumah itu. Tanpa menoleh, dia mendengar suara Sunarti yang berbicara dengan jelas,
"Pakde, Bude, Narti mau ikut mas Tono ke kebun binatang, boleh ya?"
Suaranya masih seperti Sunarti yang dulu, bening renyah dan agak manja, begitu bisik hati Harlan. Jawaban dari kedua orang tua tersebut tidak dapat terdengar lagi olehnya karena dia sudah berjalan cukup jauh. Namun ketika mendengar suara mesin mobil,
Dia menengok dan... betapa hati tak akan sakit saat melihat mobil itu keluar pekarangan, dikendarai oleh si pemuda dan Sunarti duduk di sampingnya pemuda itu. Keduanya terlihat sedang tertawa dengan gembira. Harlan berdiri di tepi jalan. Pakde dan Budenya Sunarti sudah tidak kelihatan, agaknya mereka sudah masuk ke dalam rumah besar itu. Harlan mengepalkan tangannya kencang-kencang. Mau menyusul ke kebun binatang di Wonokromo? Mau apa menyusul ke sana? Jangan-jangan nanti malah dihina orang seperti kera yang dikurung di sana! Apa lebih baik pulang lagi saja ke Solo? Ah, seperti bukan laki-laki saja! Sambil menggertakkan gigi, menabahkan hati, dia mantap melangkahkan kakinya masuk ke halaman rumah besar tersebut. Tangannya sedikitpun tak ragu-rugu saat diangkat untuk menekan bel yang terpasang di samping pintu.
"Kriiiing!"
Suara bel di dalam rumah lamat-lamat terdengar sampai di luar pintu. Tak terdengar suara langkah, tiba-tiba ada seseorang membuka pintu. Yang membukakan pintu seorang perempuan, pembantu rumah tangga di situ.
"Kamu siapa? Ada perlu apa ya?"
Tanya perempuan itu.
"Saya ingin bertemu dengan Bapak Kartika Wijaya."
"Oh ya, sebentar nanti saya sampaikan."
Sembari berkata demikian, perempuan tersebut memandangi leher Harlan, lalu dengan agak keras pintu pun ditutup kembali! Harlan menghirup nafas. Dia sudah merasa tidak enak saat lehernya dipandangi. Tidak berapa lama, terdengar suara sandal diseret,
"Srek-srek-srek...!"
Pintu terbuka kembali. Yang muncul sekarang adalah laki-laki tua yang tadi turun dari mobil.
"Pasti ini pakdenya Sunarti yang bernama Kartika Wijaya,"
Batin Harlan. Lantas Harlan membungkuk hormat sambil berucap,
"Permisi...!"
Ada kurang lebih sepuluh detik orang tua itu memandangi Harlan dari mulai rambut, berhenti sebentar memandangi pipi dan lehernya, terus merayap turun sampai sepatu yang penuh debu.
"O silahkan, silahkan duduk."
Orang tua itu mempersilahkan Harlan sambil membuka pintu lebar-lebar. Setelah tamunya duduk dan diapun duduk pula di depan si tamu, orang tua tersebut lantas bertanya,
"Anak ini siapa ya?"
Sambil matanya sekali lagi melihat leher dan pipi Harlan. Karuan saja tidak kenal karena memang belum pernah bertemu, pikir Harlan. Tapi kalau aku sebutkan nama, dia pasti kenal.
"Saya Harlan..."
Ucapnya dengan tubuh membungkuk-bungkuk sambil melihat reaksi dari si tuan rumah, pasti kaget dan senang, begitulah perkiraannya. Namun perkiraannya meleset jauh saat orang tua itu terlihat berpikir dengan alis berkerut lalu menukas,
"Harlan siapa ya? Dari mana dan ada perlu apa?"
Harlan jadi bingung. Aneh sekali, masak orang tua ini tidak mengenal namanya. Apa dia bukan Pak Kartika Wijaya?
"Mohon maaf, bukankah Bapak ini Bapak Kartika Wijaya?"
"Oh iya, iya betul."
Jawaban tersebut bagaikan ujung keris yang menempel di hati Harlan. Jelas sudah kalau dirinya telah dilupakan. Sedikitpun dia tidak mengharap dipuji dan disembah-sembah atas pertolongannya terhadap ibunya Sunarti dulu. Namun sama sekali dia tidak menduga akan disepelekan seperti ini. Selagi si tuan rumah masih menatapnya bingung, Harlan lantas melanjutkan,
"Saya harlan dari Solo... saya... saya... eh, temannya Sunarti..."
"Aaahh, sampai lupa aku!"
Sambung Pak Kartika Wijaya sambil menepuk-nepuk dahinya dan tertawa.
"Maafkan bapak ya, nak. Ah, jadi kamu yang namanya Harlan to?! Sehat-sehatkah, nak?"
"Berkat doa bapak, saya sehat-sehat saja."
"Sudah lama nak Sunarti mengharap-harap kedatanganmu, kok tidak ada kabarnya sama sekali ini gimana? Sudah sembuh betul kan sekarang?"
Berucap demikian sambil matanya kembali menatap, yang ditatap adalah leher dan pipi Harlan lagi. Hingga Harlan merasa risih terus-terusan ditatap, kalau saja bisa ingin rasanya dia menutup luka-luka yang ada di leher dan pipinya.
"Sudah sembuh, pak. Keluar dari rumah sakit, saya langsung pulang ke kampung sendiri. Jeng Narti juga sehat-sehat saja kan, pak?"
Alis pak Kartika semakin berkerut dalam dan hatinya kaget saat mendengar Harlan menyebut kata "Jeng"
Terhadap Sunarti. Saat ditunggu orang tua itu tak juga menjawab pertanyaannya, Harlan lantas menyambung ucapannya,
"Saya tadi melihat Jeng Narti pergi naik mobil."
Pak Kartika tersentak kaget dengan pandangan mata seperti orang yang baru mendapat wahyu.
"Oh ya, ya tadi Narti ee... mau pergi jalan-jalan dengan...ehm... ya maklumlah anak muda, dengan... kekasihnya!"
Mata Harlan serasa berputar-putar, pelipisnya berdenyut-denyut, tenggorokannya serasa kering, tubuhnya lemas, kakinya pun gemetar. Dia hanya mampu melihat Pak Kartika dengan pandangan yang didalamnya mengandung banyak pertanyaan. Pak Kartika agaknya tahu apa yang sedang dirasakan hati Harlan hingga diapun lantas berkata,
"Ya mau bilang apa lagi, nak Harlan. Lebih baik kepada saya saja. Saya tahu semua keadaan saat di Solo, dan juga dapat mengetahui isi hati Sunarti mengenai hubungan asmaranya denganmu. Saya pun tahu kalau kamu mencintai Narti."
Pak Kartika berhenti sebentar. Harlan segera berucap,
"Diapun mencintai saya, pak..."
Pak Kartika menggeleng pelan.
"Sudah tentu dia tidak dapat menolak perasaan cintamu yang sudah menolong ibunya. Tapi... nak Harlan, terus terang saja, apakah rasa cintamu terhadap keponakanku itu terlahir dari batin yang terdalam?"
Harlan menegakkan tubuh dengan sorot mata yang tajam berucap,
"Tentu saja, pak."
"Baguslah kalau begitu. Nak Harlan yang cukup terpelajar tentunya tahu belaka tentang masalah kasih asmara yang sejati. Tiada namanya cinta sejati tanpa dibuktikan dengan pengorbanan, jikapun ada cinta sejati itu mengharapkan pamrih, tak lain pamrih tersebut hanya berupa keinginan agar orang yang dicintainya hidup mulia dan bahagia. Bukankah demikian, nak Harlan?"
Biarpun Harlan sudah bertitel Sarjana, atau sekalipun dia bersekolah sampai setinggi-tingginya, namun mengenai masalah hubungan kasih asmara, dia masihlah hijau dan mentah dibanding pengertian yang terkandung dalam ucapan Pak Kartika tadi. Maka Harlan hanya dapat mengangguk membenarkan saja apa yang orang tua itu katakan. Tak menyangka sama sekali bahwa justru dia sedang dituntun menuju jurang perangkap.
"Lha, kalau memang benar begitu, nak Harlan. Sekarang, terkait dengan persoalan perasaan cintamu terhadap Sunarti. Sebelumnya saya meminta maaf bila ucapan saya nanti tidak enak didengar, hanya satu tujuan saya yaitu berusaha membela keponakan juga anak saya, Sunarti. Kamu bisa lihat sendiri, nak. Sekarang kamu sudah menjadi orang cacat. Kalaupun Narti mengaku masih mencintaimu, itu semata hanya pengakuan yang dilandasi karena merasa berhutang budi. Tapi kalau memang nanti terjadi kalian hidup bersama, sudah pasti kelak Sunarti akan selalu dihina, ditertawakan, menjadi gunjingan rekan-rekannya dan dibilang cantik-cantik kok hanya dapat seorang yang cacat... maaf lho, nak..."
Harlan tak mampu lagi mendengarkan kelanjutan kata-kata yang diucapkan. Kepalanya bagai terpukul sesuatu, perih, dadanya seperti akan amblas melesak ke dalam, mukanya pucat laksana orang mati. Bibirnya hanya mampu mengeluarkan ucapan yang lirih bergetar,
"Ya... ya....."
Tak terasa lagi air matanya bercucuran menetes menggenangi pipinya yang belang berkeriput. Dia masih sadar dan mengerti, kalau tidak berusaha menguatkan hatinya, dia sudah pasti akan pingsan. Maka dia mencoba kuatkan hati, tangannya yang menggigil terjulur untuk mengambil cangkir minuman yang tadi dikeluarkan oleh pembantu rumah itu. Gemetaran mengambil cangkir, namun tangannya seakan terlalu lemas hingga minumannya tumpah separuh.
"Silahkan, silahkan diminum, nak Harlan..."
Ucap Pak Kartika merasa agak iba. Ceguk-ceguk air diminum. Cangkir diletakkan di meja, lupa tidak diletakkan di atas tatakannya. Air mata yang bercucuran di pipi diusapnya dengan lengan yang juga berbelang-belang.
"Saya... saya mohon diri...."
Ucapnya sambil berdiri dari duduknya.
"Oh ya, silahkan. Emm, nak Harlan. Ini ada tambahan sedikit untuk... ee..., untuk keperluan apa saja..."
Orang tua itu bicara sambil menyodorkan amplop. Harlan terlonjak kaget. Semangat yang tadinya sempat melemah bangkit kembali. Amplop diterimanya, dibuka dan uang segepok dari dalam amplop dia keluarkan. Matanya sekarang memandang dengan melotot dan menakutkan ke arah Pak Kartika. Tangan kiri merogoh kantong celananya, mengeluarkan gepokan uang ribuan yang dulu diterimanya dari rumah sakit yang juga uang dari Pak Kartika.
"Bapak Kartika Wijaya! Janganlah terlalu menghina orang yang tidak punya. Bagi bapak anggapnya semua bisa dibeli dengan uang! Orang seperti bapak ini tahunya hanya uang saja. Cinta saya tidak bisa diukur seperti uang bapak yang kotor ini. Cinta saya tidak dapat dibeli, kalaupun seandainya bapak menyerahkan semua harta yang bapak punya kepada saya, saya sama sekali tidak akan tergiur, tidak mau menerimanya. Rasa cinta saya terhadap Sunarti hanya bisa ditebus dengan kebahagiaan hidup Sunarti. Saya menerima mundur, saya menerima kalah, tapi saya peringatkan, pak, siapa saja orangnya yang membuat hidup Narti celaka, siapapun orangnya yang kelak membikin sengsara Narti, saya yang akan menghajar orang tersebut! Silahkan terima kembali uang kotor bapak ini!"
Harlan mengakhiri ucapannya sambil menaburkan dua gepok uang yang berada di tangannya hingga tersebar disekeliling ruang tamu. Pak Kartika hanya mampu berdiri tertegun. Setelah melihat Harlan sudah tidak ada lagi di situ, dia tersenyum-senyum sambil mengumpulkan uang yang berserakan di lantai. Sungguh panas hati Harlan. Panas juga pedih. Dia sama sekali tidak tahu bahwa Pak Kartika tadi memang sengaja membikin panas hati Harlan dengan memberinya uang.
Pak Kartika yang sudah tua, sudah banyak sekali pengalaman hidupnya, sudah hafal akan gelora perubahan hati muda, memang sudah tahu bahwa salah satu obat untuk membangkitkan semangat seorang pemuda yang dilanda putus cinta adalah dengan cara membangkitkan keangkuhannya, menggelitik sifat kesatrianya. Memang kenyataannya demikian. Andai saja Harlan tidak dibakar hatinya saat akan meninggalkan rumah gedung milik Pak Kartika hingga dadanya seakan mau meledak, hatinya menjadi sangat panas dan kemungkinan bisa pingsan karena sakitnya hati diputuskan tali cintanya. Kemungkinan juga lalu ambruk, lalu akan merasa bosan hidup, atau juga bisa kemudian menjadi gila. Namun sekarang, hatinya terasa sangat panas.
Akan dia buktikan kepada Sunarti, kepada pak Kartika, kepada calon suami Sunarti, kepada seluruh dunia bahwa Harlan, orang yang cacat, orang yang bermuka buruk, tidak akan kalah dengan pemuda-pemuda yang berparas tampan, yang gagah bagai Arjuna. Yang ke dua, dia ingin memperlihatkan seberapa besar rasa cintanya terhadap Sunarti dan memastikan sang pujaan benar-benar hidup senang dan bahagia. Siapa saja orangnya yang membikin Narti hidup susah dan sengsara, dialah yang akan menjadi musuhnya! Panasnya hati yang demikianlah yang justru membangkitkan semangat hidup Harlan. Harlan tidak kembali pulang ke Ketandan, tapi langsung menuju Solo, kembali bekerja lagi seperti biasanya. Di masa itu, Dwikora sedang hebat-hebatnya dilaksanakan oleh rakyat. Tanpa pikir panjang, Harlan masuk menjadi suakrelawan yang sangat aktif, hingga tak lama kemudian dia dikirim dan ditempatkan di garis depan!
Dari Solo, Harlan langsung berangkat tanpa terlebih dahulu singgah di rumahnya. Dia hanya mengirimkan sepucuk surat untuk orang tuanya, meminta maaf dan memohon izin. Masalah Sunarti tidak disinggung sama sekali dalam suratnya itu. Bapaknya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala setelah membaca surat dari anaknya tersebut, setengah bisa menebak apa yang menyebabkan puteranya bersikap demikian. Sedang ibunya hanya bisa menangis, menangisi anak satu-satunya. Namun tangisnya bukan karena kepergian Harlan menuju medan perjuangan, karena sang Ibu Lurah ini tahu belaka akan kewajiban rakyat terhadap bangsa dan negaranya. Yang membuat sengsara hatinya adalah karena sebab perginya Harlan itu tanpa tatap muka dan berpamitan, dan juga tanpa dia tahu bagaimana hasil akhir dari permasalahan antara Harlan dan Sunarti.
Deru mesin sepeda motor Honda keluaran baru berhenti di depan sebuah rumah kecil berdinding pagar. Seorang pemuda tampan berpakaian rapi turun dari atas motor Honda tersebut lalu berjalan menuju pintu rumah kecil tadi.
"Permisi...!"
Tiada sahutan. Setelah ucapan "permisi"
Diulang tiga kali, barulah terdengar sahutan dari dalam rumah.
"Ya, silahkan denmas Burham, silahkan masuk saja."
Pemuda itu lantas memasuki rumah. Tetangga kanan-kiri rumah Pak Dukun Dullah tidak lagi merasa aneh mengetahui tamu-tamu kaya masuk ke rumah sang dukun tersebut. Memangnya sudah sering terlihat mobil-mobil bagus berhenti di depan rumah Pak Dukun Dullah. Bagi orang Gresik, nama Pak Dukun Dullah sudah terkenal sekali. Pemuda tadi telah duduk bersila di lantai beralas tikar. Pak Dukun Dullah juga bersila di situ, menghadapi sesaji dan kemenyan yang berluruhan karena dibakar.
"Sudah saya kerjakan, denmas Burham. Jangan khawatir, tidak akan meleset."
Sang Dukun berkata sambil mengeluarkan botol kecil berisi air yang diambil dari belakang tubuhnya.
"Air ini bukan air sembarangan, ini adalah air "tirta asmara" (Air Asmara) yang ampuh dan mengandung daya kekuatan pemikat. Saputangan denmas harus dibasahi tirta asmara ini jika denmas ingin bisa dekat dengan dia."
Raden mas Burham mengangguk-angguk, terlihat sangat senang menerima botol kecil berisi air tersebut.
"Lalu selanjutnya bagaimana, eyang?"
Pak Dukun Dullah berdehem sambil tangan kirinya memelintir-melintir jenggotnya yang cuma ada tiga helai. Lalu menjawab pelan,
"Anak yang denmas harapkan itu masih perawan murni, bagai bunga yang penuh madu manis, tidak gampang dan jangan sampai diremehkan. Saya rasa, kalau hanya memakai tirta asmara saja kiranya masih kurang kuat."
"Lha, terus bagaimana baiknya ini, eyang?"
Si pemuda terlihat kecewa. Pak Dukun tertawa.
"Jangan khawatir, nak. Selama masih ada Eyang Dulah, urusan itu pasti gampang. Alatnya harus menggunakan mantera. Mari saya bisikkan manteranya, tapi... denmas harus sanggup memenuhi apa yang menjadi syarat-syaratnya."
"Apa syaratnya, eyang?"
Coba eyang terangkan, saya sanggup melaksanakannya."
"Syarat pertama, denmas harus puasa mutih selama tujuh hari tujuh malam. Bagaimana, sanggup?"
Anak muda tadi berpikir. Mutih itu artinya hanya makan nasi putih saja selama tujuh hari tujuh malam. Wah, ya berat dikerjakannya. Tapi mau bagaimana lagi, pengorbanan seperti itu pantas-pantas saja, memang berat kalau ingin mendapatkan bidadari!
"Ya siap. Saya sanggup!"
"Yang ke dua, sudah menjadi syarat umum kalau rapalan atau mantera tersebut harus ditebus dengan uang, banyaknya dua ratus rejal, pas tidak boleh kurang."
"Dua ratus rejal itu berapa sih, eyang?"
Hati pemuda itu agak mencelos mendengar kata "dua ratus"
Tadi.
(Lanjut ke Bagian 02 - Tamat)
Bintang-Bintang Menjadi Saksi (Cerpen)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bagian 02 (Tamat)
"Rejal itu hitungan mata uang jaman dulu, kalau sekarang ya rupiah." "Deg"
Rasa hati Raden mas Burham saat mendengar bahwa uang tebusannya sebesar dua ratus rupiah. Tidak main-main! Dua ratus rupiah itu sama dengan dua ratus ribu jaman nanti. Wah, agak berat juga.
"Jangan ragu-ragu, nak. Uang dua ratus rupiah itu untuk tebusan mantera yang amat sangat ampuh dan bisa dipakai selamanya. Karena ini adalah mantera milik Begawan Abiyasa dulu."
"Ya sudah, saya sanggup."
"Syukurlah kalau begitu. Saya persilahkan denmas keluarkan uang tebusan itu supaya bisa segera saya bisikkan manteranya."
Agak gemetar tangan si pemuda saat mengeluarkan uang kertas lima rupiah dari saku dan menghitungnya hingga berjumlah empatpuluh lembar, diangsurkan ke Pak Dukun. Pak Dukun menerima uang tersebut dan diletakkannya di tempat sesajen, lalu menambahi kemenyan di atas tempat pedupaan. Asap kemenyan bertambah banyak melingkupi seluruh ruangan hingga suasana ruangan yang gelap karena asap itu seakan bertambah menyeramkan.
"Mari saya persilahkan denmas untuk mendengarkan dengan cermat."
Demikian ucap pak Dukun. Suara Pak Dukun Dullah bertambah dalam dan menyeramkan saat merapalkan mantera yang bunyinya demikian,
"Hong wilaheng sun mateg aji pangasihan. Siya-siya waliya, sihe gustiku dak tepungake pucuke idepku, dak tepungake pucuke alisku, dak tepungake pucuke rambutku, sumurupa marang guwagarbane ... den roro Sunarti, manut mituruta apa saciptaku, manut mituruta apa sasedyaku, manut mituruta apa sakarepku, manut mituruta apa sakandaku, teka welas, teka asih, asih marang badan sariraku."
"Saya persilahkan untuk menghapalnya sampai benar-benar hapal, denmas Burham. Kalau denmas memakai mantera ini setelah puasa mutih tujuh hari tujuh malam, lalu memakai tirta asmara, ooo.. saya tanggung pasti den roro Sunarti bakalan cinta sama denmas."
Tak terkira senangnya hati Burham. Lalu menghapal mantera sampai benar-benar hapal, mengucapkan terima kasih dan juga meninggalkan uang duapuluh lima rupiah untuk Pak dukun. Botol air dimasukkannya ke dalam kantong celana, sepeda motor Hondanya segera dinaiki dan kemudian dijalankan kencang menuju jurusan Surabaya. Anak muda ini merasa amat senang dan besar hati, sama sekali dia tidak tahu kalau sepeninggalnya dia Pak Dukun Dullah tersenyum-senyum sambil menghitung uang sebanyak dua ratus duapuluh lima.
Juga sama sekali tidak Burham duga bahwa tiga hari setelah dia pergi dari Gresik, dari rumah dukun tersebut, si dukun Dullah ditahan polisi dengan tuduhan penipuan terhadap orang banyak dan membuka praktek ilmu-klenik yang dilarang oleh Pemerintah! Siapakah sebenarnya pemuda yang bernama Raden mas Burham itu? Tidak lain adalah seorang pemuda Surabaya, pemuda putera dari seorang saudagar yang kaya-raya, yang tergila-gila pada pesona Sunarti, si gadis Solo yang menawan hati. Anak laki-laki inilah yang menjadi pilihan Pak Kartika Wijaya, akan dijodohkan dengan Sunarti. Menurut pengamatan Pak kartika, Raden mas Burham inilah yang cocok untuk menjadi pendamping hidup keponakannya. Kurang apa lagi? putera dari saudagar kaya-raya, juga masih keturunan priyayi (bangsawan tinggi jaman dulu) agung di Madura yang kabarnya masih keturunan dari Pangeran Cakraningrat.
Anaknya tampan sekolahnya tinggi sudah tamat S.M.A. sekarang Sunarti sudah menjadi yatim-piatu, dialah yang menjadi pengganti orang tuanya, maka dialah yang berhak memilihkan jodoh untuk keponakannya tersebut. Bagi Pak Kartika, kalau dia bisa berbesanan dengan orang tua Raden mas Burham, itu berarti sebuah kenaikan derajat sosial baginya! Burham sendiri memanglah sangat mencintai Sunarti bahkan bisa dibilang tergila-gila. Hingga sudah tidak punya rasa malu dan sungkan, tiap hari selalu saja kesibukannya hanya disekitar tempat kediaman Sunarti. Walaupun ditilik dari sikap lakunya, Sunarti sendiri tidak suka dengan Burham. Tidak suka dengan adatnya yang kasar, kurang punya tata krama, bahkan sampai pernah terucap kata-kata kotor dari mulutnya, kata-kata yang biasanya hanya diucapkan oleh para pemuda berandalan.
Memangnya Sunarti tidak menyukai Burham. Jangankan hanya seorang anak seperti Burham, jika pun ada pemuda yang mempunyai kelebihan berlipat-lipat dari Burham, pun hatinya tak akan terpikat, tidak akan terpesona sebab hatinya sudah penuh bayangan sosok Harlan! Narti tidak pernah bisa melupakan Harlan, laki-laki tambatan hati, pujaan jiwa. Narti memang sudah merasa betah tinggal di rumah pakdenya. Siapakah orangnya yang tidak akan betah? Rumahnya gedung besar dan megah, mau ke mana-mana naik mobil dengan sopir pribadi yang selalu siap sedia. Dan kebetulan si sopir tersebut masih kerabat sendiri, namanya Martono, keponakan dari budenya. Martono juga masih bujangan, pemuda yang berwajah tampan, tubuhnya tegap gagah. Yang membuat hati Sunarti sangat senang terhadap Martono karena tingkah laku dan sikapnya yang rendah hati juga sopan dan simpatik.
Memang seorang pemuda pilihan. Belum lama Sunarti menetap di Surabaya, Martono lah satu-satunya teman yang sangat dia percaya, malahan sering diajak bertukar pikiran, diajak berdiskusi seperti layaknya dengan kakak sendiri. Jadi, dulu Pak Kartika hanya berbohong saat mengatakan pada Harlan bahwa Martono itu adalah kekasihnya Sunarti. Harlan pun juga pantas percaya dengan kata-kata orang tua itu karena memang terlihat Narti begitu akrab, begitu bergaul dekat dengan Martono. Namun sudah pasti dari pihak Pak Kartika tidak akan setuju andai Martono benar-benar menjadi kekasih Sunarti sebab Martono juga anak orang miskin, anak seorang janda yang masih kerabat jauh Bu kartika, merupakan keponakan jauh.
Dengan maksud menolong kehidupan Martono dan ibunya, maka Pak Kartika memberi Martono pekerjaan sebagai sopir. Sudah hampir satu tahun Sunarti menetap di Surabaya. Walapun di luarnya terlihat hidup senang dan kecukupan, namun sebenarnya batin Sunarti selalu dirundung kecewa dan susah hati karena selama ini tiada kabar apapun dari Harlan. Sudah banyak dia berkirim surat ke Solo, namun tiada satupun balasan dari Harlan. Hingga rasa hati Sunarti makin tidak karuan. Sebab apakah hingga Harlan seakan mendiamkannya. Jangankan menengoknya di Surabaya, sedang suratpun tak kunjung dia balas. Ada apakah? Agaknya sangatlah tidak mungkin kalau Harlan telah melupakan dirinya ataupun rasa cintanya telah mulai memudar.
Dalam hati Narti mendapat sebuah firasat yang tidak enak. Rasa susah hati dan nelangsa Sunarti semakin bertambah manakala suatu malam dia dipanggil pakde dan budenya, dia diberi tahu bahwa pakde dan budenya sudah terikat kesepakatan dengan orang tua Burham yang mengajak berbesanan! Seberapa besar kaget dan nelangsanya hati Sunarti, hanya dia sendiri yang tahu dan merasakan. Dia yang sudah merasa berhutang kebaikan terhadap pakdenya, tidak mampu menolak ataupun memprotes. Baru setelah pamit mundur, dia berani menumpahkan segala kesusahan hatinya lewat tangis tersedu-sedu di kamarnya. Disebabkan tiada orang lain lagi yang bisa dia ajak tukar pikiran, yang bisa dipercaya untuk mengetahui isi hatinya, maka saat Sunarti bertemu dengan Martono, tak tertahankan lagi mengucurlah air matanya. Martono begitu kagetnya.
"Lho, ada apa ini, dik Narti?"
Tanyanya dengan termangu bingung. Tak pernah dia melihat anak gadis yang biasanya terlihat selalu senang gembira ini tiba-tiba menangis dan merintih seperti itu. Mendapatkan pertanyaan dari orang yang dipercaya, tangis Sunarti malah makin menjadi-jadi. Dengan tersedu-sedu, Sunarti menceritakan hal perjodohannya dengan Burham seperti yang disampaikan oleh pakde dan budenya semalam. Sama sekali Sunarti tidak tahu betapa Martono seketika berwajah kuyu dan pucat manakala mendengar ceritanya. Sunarti terlalu sibuk menangisi nasibnya sendiri. Namun hanya sebentar Martono bersikap demikian, lalu dengan menarik nafas, dia berkata menghibur,
"Begitu saja kok nangis sih, dik? Urusan seperti itu kan tergantung kamunya sendiri. Tinggal kamu pertimbangkan, kamu mau ataukah tidak, kalau mau ya tidak perlu ditangisi, kalau tidak mau ya tinggal bilang terus terang saja."
"Mas Tono... bagaimana aku bisa menolak? Kalau menuruti keinginanku sendiri sudah tentu aku tidak mau jadi.... pendamping hidupnya, tapi... pembicaraan mengenai hal tersebut sudah disepakati sama pakde dan bude. Aku sudah banyak berhutang budi, selain pakde dan bude aku sudah tidak punya siapa-siapa sebagai pengganti orang tuaku..."
Sunarti terisak.
".... Aku memang tidak suka, tapi aku tidak bisa menolak, mas Tono... ah, bagaimana ini...?
"Wah, aku juga ikut bingung, dik. Menerima dan menjalani tidak suka, mau menolak pun tidak berani dan tidak tega. Ah, susahnya. Sebentar, dik Narti, sejujurnya apa sebab kamu tidak senang dijodohkan dengan Burham? Apa karena belum mau berrumah tangga? Apa ada sebab... eh, barangkali kamu sudah punya pilihan hati sendiri?"
Meski di luaran terlihat tenang dan disertai senyuman, namun dalam hati Martono berdebaran saat mengajukan pertanyaan seperti itu.
Sudah lama dia bergaul dengan Sunarti dan hatinya pun juga sudah terpikat, sudah jatuh hati terhadap si gadis. Hanya saja ini memang dia rahasiakan. Memang sangat sulit untuk mengetahui isi hati Sunarti. Gadis ini ramah dan sangat akrab dengan dirinya, tapi apakah sikap seperti itu bisa jadi pertanda kalau Sunarti pun juga sudah menerima cinta kasihnya? Apa hanya karena masih ada pertalian saudara? Maka sekarang mumpung ada kesempatan, diapun bertanya demikian sekalian untuk menjajagi hati Sunarti. Sunarti mengusap air matanya dengan saputangannya sendiri yang sudah basah kuyup., lalu menarik napas dan memandang ke arah Martono dengan mata yang kemerahan sebab semalam terlalu banyak menangis.
"Ya mau bilang apa, mas Tono. Tidak ada lagi orang yang bisa aku percaya kecuali mas Tono. Sejujurnya saja, memang sebelum aku ke Surabaya ini, aku sudah mengikat janji dengan.... ah, mas tahu juga kan orang yang dulu menolong almarhumah ibuku?"
Bintang Bintang Jadi Saksi Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ucap Sunarti sambil menundukkan kepala agak malu,
Hingga dia tidak melihat kalau Martono memejamkan mata dengan alis yang berkerut, hatinya berantakan saat mendengar ucapan Sunarti. Pengakuan Sunarti bagai ujung keris tajam menghujam di palung hatinya. Jadi selama ini sikap baik Sunarti terhadapnya hanya semata karena menganggapnya sebagai seorang kerabat, cintanya bagai terjatuh di tanah tandus, tak mampu tumbuh bersemi. Namun Martono termasuk pemuda yang berbudi luhur, juga sudah sering dan terbiasa menyandang kesengsaraan menjadi anak orang miskin, hingga diapun mampu bertahan menghadapi pergolakan batin bagaimanapun beratnya. Hanya sebentar dia meringis pedih, lantas segera berkata,
"Ooo... jadi dia itu orangnya, yang namanya... hemmm, kalau tidak salah, Harlan, benar kan, dik?"
Sunarti hanya mengangguk, tanpa menjawab.
"Tapi apa sebabnya sampai sekarang Harlan tidak pernah berkunjung ke sini? Dan lagi, kalau memang dia mencintai kamu dan kamupun menerima cintanya, kenapa dia tidak segera mengirimkan seseorang untuk melamarmu kepada pakde?"
Sunarti terlihat sangat bingung dan susah hati mendengar pertanyaan tersebut. Pertanyaan yang juga sama persis dengan suara hatinya.
"Justru itulah yang menjadi ganjalan hatiku selama ini, mas. Makanya aku ingin minta tolong sama mas, karena siapa lagi yang bisa menolongku kecuali mas Tono."
Hati Martono tersentuh. O Allah dik, sebegitu percayanya kamu kepadaku, untuk menolongmu, andai nyawaku ini kamu minta, pasti akan aku berikan, dik! Namun kata-kata ini tidak mampu terucapkan melalui bibirnya, yang keluar hanya kesanggupannya untuk menolong,
"Minta tolong apa, dik? Coba bilang saja terus terang, aku pasti mau membantumu."
"Begini, mas. Aku minta tolong mas Tono untuk pergi ke Solo, cari mas Harlan. Kalau sudah ketemu, berikan suratku dan ceritakan semua keadaanku di sini. Bagaimana mas? Mau atau tidak?"
Martono mengangguk-angguk. Hatinya serasa ditusuki jarum. Siapa orangnya tidak sakit hati mendapat tugas seperti itu. Dirinya sendiri mencintai Sunarti, namun justru sekarang dirinya disuruh mencari pemuda yang Sunarti cintai. Tidakkah itu membuat sakit hatinya?
"Sudah pasti aku mau, dik. Aku akan minta izin libur satu minggu sama pakde. Entah nanti apa yang aku buat sebagai alasan, itu perkara mudah. Tapi untuk sekarang aku minta alamatnya mas Har dulu."
Sunarti meraih tangan Martono, dicekalnya kencang-kencang sambil matanya berkaca-kaca.
"Mas Tono, mas memberikan terang hatiku yang sedang dilanda kegelapan ini. Aku ucapkan terima kasih sebelumnya, mas."
Keesokan paginya, Martono jadi berangkat ke Solo dengan menaiki kereta Express Gayabaru. Sedang Sunarti senantiasa berdebar, mengharapkan kepulangannya dengan membawa sebuah kabar yang dia harapkan.
Namun setelah kemudian Martono pulang kembali, kabar yang dia bawa justru menghancurkan segala pengharapan Sunarti. Hati Sunarti hancur berkeping-keping bagai gelas kaca yang dibanting, ratapannya amat mengharukan. Martono mengabarkan bahwa Harlan sudah tidak ada lagi di Solo. Sudah beberapa bulan pergi berjuang menjadi sukarelawan di garis depan melawan Malaysia. Hal ini tidaklah membuat hati Sunarti terharu. Yang membuat terharu dan hancur hatinya adalah ketika mendengar bahwa Harlan sekarang telah menjadi orang yang cacat, wajahnya menjadi amat buruk akibat luka-luka yang dia derita saat terbakar dulu.
Penyelidikan yang dilakukan Martono terhadap keadaan Harlan memang amat teliti. Dia menanyakan informasi tentang keadaan Harlan kepada siapa saja yang mengenal atau pernah bertemu dengannya sehingga kabar yang dia bawa dan sampaikan sangatlah jelas. Seminggu lamanya Sunarti tak juga berhenti menangis, menangisi Harlan. Dia bisa meraba apa yang menjadi sebab Harlan sampai nekat masuk menjadi sukarelawan dan berjuang dengan tanpa meminta izin atau memberi kabar pada dirinya. Bisa menjajagi hati Harlan yang agaknya memang sengaja memutuskan tali asmara disebabkan dirinya sekarang telah menjadi orang yang buruk rupa karena cacat tersebut. Sunarti sampai menderita sakit. Setelah sembuh, dia tak mampu lagi untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Pengharapannya terhadap Harlan sudah mati.
Berulang kali mengeluh pada Tuhan kenapa Harlan kurang percaya akan rasa cintanya. Apakah Harlan menganggapnya sebagai seorang yang mempunyai watak tidak tidak setia? Apakah rasa cinta yang dia ungkapkan terhadap Harlan dianggap hanya sebagai pemanis bibir saja, hanya berdasar terpikat pada wujud yang sempurna? Oo.. Harlan... Harlan... begitu luhur budimu. Menerima untuk mengalah, menjauh dengan pengorbanan yang begitu besar, menyangka bahwa aku tidak akan suka dan cinta lagi saat memandangmu. Harlan... Harlan...! Meski seandainya ditangisi dengan tangis darah sekalipun, Harlan telah jauh, entah di mana dia berada. Di sisi lain, pakdenya selalu membujuk agar dia mau untuk berrumah tangga, dijodohkan dengan Burham. Narti beralasan untuk meminta waktu hingga kini dua tahun sudah terlewati.
Itu semua hanya sebagai alasan, mengulur waktu dengan harapan barangkali Harlan akan datang ke Surabaya ini. Tapi setelah dua tahun tiada kabar apapun dari Harlan, Narti tak berani lagi beralasan meminta waktu. Pakdenya sudah marah-marah karena menganggap Narti sudah mempermainkannya. Hingga akhirnya dia pasrahkan nasibnya pada Gusti Allah Ta"ala. Pesta perkawinan dirayakan secara besar-besaran. Banyak sekali tamu yang datang. Mobil-mobil sampai berderet panjang di pelataran rumah Pak Kartika. Pesta itu dimeriahkan dengan rombongan gamelan dari Solo. Sayangnya, si pengantin perempuan terlihat selalu menundukkan kepala dan berwajah kuyu. Lain halnya dengan si pengantin laki-laki yang selalu tersenyum-senyum senang dan berbahagia hatinya. Inilah hasil dari mantera dan tirta asmara, begitu pikir Burham.
Semestinya hal perjodohan bukanlah hal yang remeh, bukan suatu peristiwa yang cukup hanya dimeriahkan dengan pesta saja, atau diucapkan dengan kata selamat berbahagia saja. Syarat utama untuk mengayuh biduk rumah tangga yang harmonis adalah rasa rukun dan menerima diantara keduanya, seperti halnya kisah Mimi lan Mintuna, selain harus saling mencintai diantara keduanya, juga harus bisa saling membimbing, saling ajur-ajer, saling bisa menjaga dan menyamakan persepsi dan kepribadian keduanya. Itu semua bisa terwujud dengan mudah dan lancar jika keduanya memiliki dasar rasa cinta yang suci murni, yang bersih dan sejati. Akan halnya Sunarti, perjodohannya dengan Burham tidak dengan didasari rasa cinta, hanya terpaksa karena takut terhadap pakde dan budenya, terpaksa karena tiada pilihan lain lagi.
Dan juga, dia merasa sudah banyak berhutang budi pada pakde dan budenya hingga dia patuh dengan apa yang dikehendaki kedua orang tua itu, sebagai balasannya. Sebaliknya, Burham senang dan merasa sangat lega. Merasa bahwa keinginannya telah tercapai, terlaksana apa yang menjadi impian hatinya. Namun sesungguhnya keinginan Burham memperisteri Sunarti tidaklah berdasar cinta murni. Hanya karena tertarik akan kecantikan dan keindahan Sunarti saja. Rasa cinta yang dipaksakan hingga melalui pertolongan dukun dan sebagainya, jelas bukan cinta kasih yang agung, melainkan cinta yang berdasarkan nafsu hewani semata, yang berpamrih hanya untuk menyenangkan diri sendiri, menuruti kehendak hatinya sendiri. Perjodohan yang berdasar demikian pastilah mudah untuk diramalkan masa depannya, tak akan langgeng atau berlangsung lama.
Malam itu Burham seakan kejatuhan bintang, begitu senang berbunga-bunga hatinya karena cintanya yang begitu besar terhadap Sunarti dapat terwujud dalam sebuah pernikahan. Sebaliknya, si isteri merasa hatinya sakit bagai diiris-iris. Keduanya sama sekali tidak menyangka kalau tidak jauh dari rumah baru hadiah bapaknya Burham untuk ditempati kedua pengantin, di bawah sebuah pohon asem, berdiri seorang laki-laki sambil sesenggukan. Malam itu hujan agak lebat, suasana amat gelap. Tapi laki-laki yang berdiri di bawah pohon asem itu tidak memperdulikan air hujan yang seakan ditumpahkan ke tubuh dan mukanya. Kedua matanya yang basah karena hujan bercampur air mata selalu ditujukan ke arah rumah baru. Dalam hujan, terdengar lirih suara yang mengandung jeritan hatinya,
"Duh Gusti, semoga Narti selalu mendapatkan keselamatan, kenyamanan, kemuliaan dan kebahagiaan..."
Begitulah isi doa yang diulang-ulang keluar dari bibirnya. Entah air hujan atau juga air mata yang semakin banyak bercucuran di atas pipi yang berkeriput dan belang-belang itu. Saat tengah malam tiba, hujan pun berhenti, langit terlihat bersih bertabur bintang- gemintang. Terlihat asri jika dilihat dari bumi.
Langitnya berwarna biru kehitaman dan bersih tanpa awan, bertabur bintang-bintang berkerlip bagai intan berlian yang ditempelkan di atas beludru biru kehitaman. Siapa saja yang kebetulan keluar rumah di saat itu, pastilah akan melihat sebuah keadaan dan panorama yang indah menawan yang bisa menimbulkan perasaan tenang, senang, dan tenteram hati. Namun sebaliknya yang terjadi dengan laki-laki yang masih berdiri di bawah poho asem tadi. Manakala dia mendongak ke atas, melihat keindahan alam malam itu hingga tertegun lama, seakan diingatkan akan kejadian masa lalu. Tiba-tiba dia menjatuhkan diri tengkurap dengan kedua tangan menutupi wajahnya, di atas tanah basah dan menangis. Di kejauhan terdengar suara nyanyian laki-laki, suara anak muda yang serak. Sepertinya suara nyanyian itulah yang membuat hancurnya hati laki-laki tadi, suara nyanyian "Yen ing tawang..."
"Yen ing tawang ana lintang, cah ayu,
Aku ngenteni tekamu.
Marang mega ing angkasa, ni-mas,
Sun takokke pawartamu.
Janji-janji aku eling, cah ayu,
Sumedot rasaning ati.
Lintang-lintang ngiwi-iwi, ni-mas,
Tresnaku sundul wijati.
Dek semana janjimu disekseni,
Mega kartika, yen ta kowe tresna marang aku.
Yen ing tawang ana lintang, cah ayu,
Rungokna tangising ati,
Binarung swaraning ratri, ni-mas,
Ngenteni bulan ndadari."
Sampai lama setelah suara nyanyian itu hilang, laki-laki itu masih tengkurap di atas tanah basah. Bahunya yang bergerak-gerak menandakan kalau dia sedang menangis sesenggukan tanpa suara.
"Ahh, Harlan..., Harlan... laki-laki kok begini! Memalukan! Demikian ucap laki-laki itu lirih lalu kemudian berdiri dan mengambil nafas dalam-dalam. Sekali lagi dia memandang rumah baru yang sekarang terlihat telah sepi itu.
"Jeng Narti sudah terlaksana berumah tangga, laki-lakinya tampan dan kaya, pastinya dia hidup senang dan enak. Kalau aku menuruti hati yang trenyuh dan sengsara seperti ini, berarti aku akan menjadi orang yang ingin merusak kebahagiaan hati jeng Narti? Duh Gusti, hamba mohon ampun... jeng Narti tetaplah selamat, jeng... aku akan selalu melihatmu dari jauh, semoga hidupmu senantiasa mulia..."
Laki-laki tadi lantas berjalan dengan kaki diseret tersaruk-saruk, berhenti-tertegun sambil menoleh ke arah rumah baru itu. Tak berapa lama tubuhnya menghilang ditelan bayangan rumah-rumah dan pepohonan di pinggir jalan. Sebuah benda yang palsu, lama-kelamaan pasti akan terlihat ke-tidak aslian-nya. Bagaimanapun mengkilapnya tembaga yang disepuh emas, tidak akan lama lagi pasti akan terlihat wujud asli tembaganya yang berwarna kecoklatan dan berkarat. Begitu pula sikap dan perilaku Burham terhadap Sunarti. Di awal-awal pernikahan, sikapnya terlihat amat mencinta, begitu besar rasa cintanya hingga seakan bintangpun niscaya akan ia petik dan dipersembahkan hanya untuk menyenangkan hati Sunarti.
Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo Geger Solo Karya Kho Ping Hoo