Ceritasilat Novel Online

Bintang Bintang Jadi Saksi 3


Bintang Bintang Jadi Saksi Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



Sebulan, dua bulan setelah pernikahan cintanya masih terlihat bergelora. Namun setelah menginjak bulan ke tiga, semakin lama terlihatlah rasa cinta itu mulai memudar, bagai sebuah kain murah yang luntur warnanya ditelan waktu. Rasa cintanya terhadap Sunarti hanya berdasar nafsu ingin memiliki, kalau keinginan itu telah terwujud maka akan melunturlah rasa cinta itu, bahkan akan menghilang. Itulah keadaan dan perjalanan dari sebuah rasa cinta yang tidak suci. Sangat disayangkan sekali, karena kenyataannya tidak sedikit laki-laki yang bersikap sama seperti Burham. Mereka menilai sebuah ikatan perjodohan hanya sebatas seperti orang yang senang dengan pakaian baru, dirawat-dibanggakan saat masih baru, namun setelah lama akan bosan dan ingin mencari yang baru lagi.

   Semakin lama semakin jarang Burham terlihat berada di rumah. Pergaulannya di luar kembali seperti dulu, seperti saat belum menikah. Bergabung kembali dengan geng mobilnya dulu, kebut-kebutan bersama teman-teman berandalannya. Awalnya hanya dia lakukan saat siang hari saja, namun lama kelamaan sampai malam dan malam berikutnya hingga pagi lagi dia baru pulang! Semakin rusak-sengsara hati Sunarti melihat kelakuan suaminya seperti itu. Mulanya Sunarti tidak memiliki rasa cinta terhadap Burham. Namun setelah Burham menjadi suaminya dan melihat begitu besar rasa cinta Burham terhadapnya, kesedihan pun sedikit terobati. Timbul harapannya terhadap suami yang begitu mencinta dapatlah kiranya sebagai pengobat hatinya.

   Sedikit demi sedikit dia mulai mencoba menata hatinya supaya bisa pasrah dan menerima, mengimbangi rasa cinta Burham lumrahnya wanita yang telah menjadi seorang isteri. Dia berusaha memupuskan harapan hatinya untuk menjadi jodoh Harlan dengan memupuk keyakinan bahwa inilah kiranya jalan hidup yang memang sudah digariskan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Namun kenyataan yang terjadi, baru saja menginjak tiga bulan usia perkawinan mereka, semua harapan yang berusaha dipupuk kandaslah sudah disebabkan tingkah laku Burham, suaminya sendiri. Dalam kesengsaraan hatinya, dia sudah berusaha mengingatkan secara halus, karena merasa itulah kewajiban seorang isteri terhadap suaminya. Bahkan peringatan yang agak keras pun pernah dia sampaikan perihal tingkah suami yang semakin menjadi tersebut.

   "Mas, mas, sadarlah, mas. Kamu kan sudah berkeluarga, sudah menjadi orang tua. Janganlah berlaku seperti itu lagi, mondar-mandir bersama teman-teman gengmu. Masakan kamu mau mengulang kelakuan masa mudamu yang seperti itu?"

   Tapi penerimaan Burham terhadap ucapan Sunarti yang disampaikan dengan nada sedikit bercanda itu justru amat buruk. Ucapnya kasar,

   "Kenapa kamu melarangku melakukan sesuatu yang aku senangi? Kamu kira kakiku ini bisa kamu belenggu, setelah aku mengawinimu, begitu kah? Aku tidak mau! Aku ini laki-laki, bebas keluar rumah sekehendak hatiku, dan wanita harus tetap berada di dalam rumah!"

   Tersinggung rasa hati Sunarti hingga air mata tak tertahankan lagi menetes keluar. Kalau tadinya ada punya keinginan untuk berusaha mengimbangi rasa cinta sang suami, sekarang keinginan tersebut telah sirna pergi entah ke mana.

   "O, jadi begitu ya, mas? Ya sudah, mulai detik ini, aku tidak akan perduli lagi dengan apa yang kamu lakukan. Mau mberandal lagi, mau berjungkir-balik sekalipun, aku tidak perduli. Jangan ge-er dulu, sama sekali aku tidak ada keinginan membelenggu kakimu. Kamu tidak pulang selamanya pun aku tidak akan susah hati!"

   Demikian ucap Sunarti seraya menelungkupkan kepalanya di atas meja. Burham meringis menyeringai,

   "Eh, eh, kamu nantang ya?! Aku tahu, dari dulu kamu itu sebenarnya sudah benci sama aku, tapi kenapa kamu mau aku jadikan isteri?!"

   Semakin lama ucapan Burham semakin kasar, memerahkan telinga yang mendengarkannya. Tidak kuat mendengar kelanjutan ucapan Burham, Sunarti seketika berdiri dan berlari masuk ke kamar, menangis dan berkeluh kesah meratapi nasibnya. Dalam hati dia meratapi Harlan, merasa menyesal sekali kenapa dia tidak berani melawan keinginan pakde dan budenya saat akan dijodohkan dengan Burham. Martono, sahabat baik satu-satunya yang bisa diajak tukar pikiran dan dimintai pertolongan sekarang telah pergi dari Surabaya karena merasa sudah tidak suka dengan sikap Pak Kartika. Perginya Martono dari Surabaya bertepatan waktunya dengan saat Sunarti selesai melangsungkan pesta pernikahan. Sunarti juga menduga bahwa kepergian Martono disebabkan sakit hati karena Sunarti sudah bersanding dengan orang lain.

   "Oo, hidupku dipenuhi dosa. Merusak hati mas Martono, seorang laki-laki yang begitu baik, berpisah dengan mas Harlan hanya untuk menjadi isteri dari seorang yang buruk budi seperti mas Burham..."

   Begitulah ratapan Sunarti.

   Namun harus bagaimana lagi, semua sudah terjadi. Dia hanya bisa menangis, hari-harinya dilalui dengan kesedihan hingga badannya menjadi kurus. Tingkah Burham semakin menjadi, jarang pulang, kerjanya hanya menuruti keinginan dan kesenangan nafsunya sendiri, membahayakan nyawanya dengan kebut-kebutan mobil, berfoya-foya, berjudi, dan keluar-masuk gang kotor tempat pelacuran. Bukan hanya Sunarti yang merasakan penyesalan, Pak Kartika dan isterinya pun juga merasakannya. Kedua orang tua itu merasa telah tertipu. Sudah tidak sedikit uang mereka yang dihabiskan oleh Burham, bahkan berani membawa berkodi-kodi baju batik, barang dagangan pak Kartika, dengan janji akan dia jual di Semarang namun kenyataannya semua habis ludes di atas meja judi!

   Begitu juga harta orang tuanya sendiri sudah banyak dia habiskan hingga akhirnya diusir dari rumah orang tuanya sendiri dan tidak diakui lagi sebagai anak mereka. Setelah kehabisan modal untuk berjudi dan kesenangan lainnya, dia mulai berani mengusik Sunarti, perhiasan kepunyaan isterinya dia ambil secara paksa untuk modal berjudi lagi, saat judinya kalah kekesalan hatinya dia tumpahkan semua kepada sang isteri. Sulit digambarkan bagaimana sengsaranya kehidupan yang dijalani Sunarti. Kehidupan rumah tangganya bagai neraka dunia. Surga-nerakanya sebuah kehidupan berumah tangga memang bergantung dengan rukun-tidaknya pasangan suami isteri. Kalau sudah sampai batas seperti yang dialami oleh Sunarti, hidup wanita bagaikan di neraka.

   Hingga Sunarti menderita sakit demam karena menyandang beban sakit hati yang demikian, Burham tetap saja tidak perduli. Pakde dan budenya merasa sangat kasihan melihat kondisi Sunarti sehingga diajaknya pulang ke rumah kedua orang tua itu untuk beberapa hari, beristirahat sampai sakitnya sembuh. Burham tidak keberatan dengan dibawanya Sunarti oleh pakde dan budenya, bahkan dia sangat senang karena merasa akan lebih bebas berbuat sesuka hati di rumahnya sendiri. Baru saja sehari Sunarti tetirah di rumah pakdenya, Burham mengundang teman-temannya datang ke rumahnya untuk berjudi di sana selama sehari semalam! Hujan tangis mengguyur rumah Pak kartika. Rasa sangat berdosa menjalari batin pak Kartika saat melihat keadaan Sunarti hingga akhirnya dia berbicara terus terang tentang halnya Harlan yang pernah datang ke Surabaya, ke rumahnya.

   "Semua itu salah pakdemu ini, nak...."

   Demikian ucap Pak Kartika dengan perasaan sedih dan sesal yang dalam.

   "Tapi itu bukan pakde sengaja. Siapakah sangka kejadiannya bakal seperti ini. Nak Harlan yang sekarang sudah menjadi seorang yang buruk rupa karena akibat terbakar dulu, sudah merasa dan mengerti bahwa dirinya tidak lagi pantas mendampingimu. Hingga akhirnya dia menjauhimu. Kalau saja nak Harlan tidak menjadi cacat seperti itu, tidak bakalan pakdemu ini memaksamu menjadi isteri orang lain... Sekarang kejadiannya sudah menjadi seperti ini... Narti, betapa besar kesalahan pakdemu ini, pakde hanya bisa memohon maaf kepadamu, nak..."

   Sunarti sesenggukan mendengarkan semua perkataan pakdenya. Diapun memang sudah tahu kondisi Harlan dari Martono yang dulu dimintanya untuk mencari tahu.

   "Sudahlah, pakde... mau bagaimana lagi, semua sudah terjadi... memang ini sudah menjadi nasib saya... pakde tidak salah, begitu juga mas... mas Harlan pun tidak... hanya saya yang memang bernasib sial... biar saya jalani sendiri sebagai penebus dosa saya..."

   Pak Kartika tidak berani dan tidak tega menceritakan sejujurnya kalau sebenarnya dialah yang menjadi penyebab Harlan pergi dari rumahnya, menjauh dari kehidupan Sunarti. Dia benar-benar tidak berani, takut untuk memikul tanggung jawab. Namun dalam hatinya dia benar-benar merasa sangat bersalah atas segala yang terjadi dalam kehidupan Sunarti. Batinnya hancur dan menjadi lemah sengsara, sudah tua masih juga menanam dosa...

   Malam gelap gulita dihias hujan rintik-rintik. Pintu dan jendela rumah-rumah telah pula menutup, sangat sepi. Tidak terlihat lalu-lalang orang di jalanan, hanya sesekali terlihat mobil lewat dengan sorot lampunya yang terhalang hujan lembut. Di dalam rumah Burham masih terdengar suara berbisik-bisik pelan. Tidaklah aneh karena hampir setiap malam rumah itu dijadikan tempat perjudian hingga sampai jauh malam dari rumah itu masih terdengar berisik dan sesekali ditimpali suara celepak kartu dijatuhkan ke atas meja. Kadang juga terdengar tawa senang yang dibalas suara umpatan dan cekikikan suara wanita rendah susila.

   Di luar rumah cuaca sangat dingin menggigit, di dalam rumah yang dibuat "perang-tanding"

   Terasa sangat panas. Panas luar-dalam. Asap rokok bergumpal-gumpal menutup-temaramkan lampu neon yang menerangi muka-muka pucat berkeringat. Empat laki-laki duduk mengelilingi sebuah meja. Orang yang di depannya teronggok tumpukan uang, tertawa-tawa dengan wajah terlihat cerah, sedang yang lainnya terlihat kusut merengut, kalaupun tertawa tampak seperti meringis bagai sedang mengulum buah asem. Burham pun demikian, mukanya terlihat merengut dengan badan lemas punggungnya bersandar di sandaran kursi. Di belakang Burham, bergelayut manja dengan tangan merangkul pundaknya, seorang perempuan muda cantik genit yang kelihatannya sedang terkantuk-kantuk.

   "Kriiiiinggggg!!"

   Suara bel pintu mengejutkan mereka semua. Serentak mereka bangkit dari duduknya, bahkan ada yang terlihat bersiap untuk lari. Salah satunya ada yang berbisik-bisik dengan muka pucat,

   "Jangan-jangan polisi..."

   Tapi Burham yang tadinya juga kaget, sekarang sudah bisa menenangkan hatinya sambil berkata,

   "Tidak ada polisi mau mengerebek kok memencet bel pintu dulu. Tapi coba singkirkan dulu kartu-kartu dan uang yang ada di atas meja. Elsy, coba kamu buka pintu depan..."

   Perempuan muda yang dipanggil Elsy segera berdiri lalu berjalan hendak keluar ruangan namun kemudian ragu-ragu dan berhenti serta kembali lagi menuju ruangan semula.

   "Kalau yang datang isterimu, gimana dong, mas..."

   Celetuknya agak takut.

   "Wah, sial benar kalau dia berani datang. Akan aku bereskan sekalian...! ucap Burham sambil berjalan cepat menuju pintu depan yang jaraknya lumayan jauh dari ruangan tadi.

   "Siapa di luar?!"

   Tanya Burham dengan kasar.

   "Aku...!"

   Terdengar suara jawaban yang dalam dan tegas.

   "Aku... siapa?!"

   Tanya Burham lagi dengan heran.

   "Aku Harlan, ingin bertemu Burham!"

   Burham mengingat-ingat. Sepertinya dia pernah mendengar nama Harlan tapi lupa lagi. Maka lantas pintu dia buka. Di luar gelap, yang terlihat hanya samar-samar tubuh seorang laki-laki tinggi besar berdiri di depan pintu. Keduanya saling berpandangan, terlihat ragu-ragu.

   "Apa kamu yang bernama Burham?"

   Laki-laki tinggi besar itu bertanya.

   "Ya, benar, aku Burham. Kamu siapa dan apa tujuanmu ingin bertemu aku?"

   Laki-laki itu tidak menjawab bahkan tiba-tiba tangannya sudah meraih tangan Burham dan dicekalnya erat-erat, lalu berkata, suaranya mengandung ancaman menakutkan,

   "Hei, laki-laki rendah, dengarkan! Aku Harlan dan aku sudah bersumpah akan menghajar siapa saja yang membuat sengsara hidupnya Sunarti!"

   Burham terkejut sekali tapi kemarahannya pun juga meluap,

   "Orang gila keparat! Kamu mau apa? Sunarti itu isteriku. Kamu kok ikut campur, apamu kah dia?"

   "Hemm, Burham laki-laki khianat, laki-laki tidak bertanggung jawab, kamu tidak memperhatikan isterimu malahan main perempuan, menyia-nyiakannya. Aku hanya teman Sunarti, bukan siapa-siapanya dia, tapi aku yang akan menghajarmu..."

   Bajingan...!"

   Dengan menggunakan tangan kanannya yang tidak dipegang, Burham melayangkan pukulan ke arah muka Harlan. Karena cuaca gelap dan Harlan pun tidak menyangka dirinya akan dipukul, dia cuma bisa menghindar dengan memiringkan wajahnya tapi tetap saja pukulan tersebut mengenai dagunya.

   "Plak!"

   Cekalan Harlan pada tangan kiri Burham terlepas, tubuhnya terhuyung mudur sampai tiga langkah. Burhan menyerbu terus dengan pukulan-pukulan yang cepat dan kuat. Tapi sekarang Harlan sudah siap. Saat sambaran tangan Burham yang ke tiga dapat ditangkis, secara bersamaan Harlan membalas memukulkan telapak tangan dari arah samping mengenai leher Burham dengan telak, seketika Burham ambruk. Tidak kuat menahan pukulan telapak tangan Harlan yang keras dan sangat cepat datangnya. Baru saja Burham merayap hendak bangun, Harlan kembali memukulkan telapak tangannya sambil berkata,

   "Rasakan sekarang!"

   Burham mengaduh saat pelipisnya kembali terkena pukulan dan jatuh terkapar tanpa bisa bangun.

   "Kamu harus menyusul Sunarti, minta maaf dan sejak dari sekarang kamu harus menjadi suami yang mencintai dan setia!"

   Tiba-tiba dari arah dalam teman-teman Burham berlarian keluar. Saat melihat Burham dipukuli seseorang, mereka menyangka Harlan sebagai orang jahat yang bermaksud jahat pula. Maka merekapun lantas menyerbu dan mengeroyok Harlan.

   "Kalian semua tidak usah ikut campur. Saya hanya punya urusan dengan Burham."

   Harlan mencoba menyabarkan ketiga orang itu. Tapi kemudian Burham berteriak-teriak,

   "Keroyok dia...! dia bajingan kurang ajar...!"

   Dengan datangnya ketiga temannya, Burham mendapatkan semangat baru lalu segera bangun dan memimpin teman-temannya mengeroyok Harlan. Terpaksa Harlan melawan. Dia memang kuat dan trengginas. Kiranya tidaklah aneh sebab dia sudah memproleh teori sekaligus praktek membela diri saat dirinya berjuang di garis depan. Dikeroyok empat orang dia tidak kewalahan, bahkan dengan enaknya dia membagi-bagikan pukulan keras hingga musuh-musuhnya jatuh terjengkang semua. Tiba-tiba terdengar jerit Elsy yang telah berdiri di depan rumah, tertegun kaku melihat perkelahian di depannya.

   "Mati kamu...! Burham yang sudah benar-benar marah mengeluarkan pisau dari balik baju dan menusukkannya ke arah Harlan. Andai mengenai perut Harlan, maka akan terburailah isi dalamnya! Untungnya Harlan mengetahui melayangnya tusukan pisau menuju tubuhnya itu dari sorot lampu di dalam rumah yang mengenai badan pisau hingga menimbulkan kilauan. Seketika dia menghindar ke arah kiri hingga Burham terdorong maju karena tusukannya tidak mengenai sasaran.

   "Crepp...!"

   Tahu-tahu pisau belati Burham telah menancap di perut Dirun, salah satu teman Burham yang ikut mengeroyok Harlan. Dirun terhuyung mudur lalu jatuh sambil menjerit dan mengaduh-aduh. Burham berdiri tertegun. Teman-temannya pun juga kaget dan melongo. Elsy menjerit-jerit keras. Pintu-pintu rumah di kanan-kiri terbuka dan penghuninya berhamburan keluar. Tak berapa lama polisi datang. Harlan, Burham, Elsy dan teman-temannya semuanya di angkut menuju kantor polisi, hanya Dirun saja yang diangkut menuju rumah sakit.

   "Saya yang menusuk orang tadi, Pak. Saya dikeroyok, maka terpaksa saya menggunakan pisau, saya tusuk orang itu.."

   Harlan mendahului menjawab pertanyaan polisi dan mengaku bahwa dialah yang menusuk Dirun.

   "Matinya orang itu, saya yang akan bertanggung jawab, Pak."

   Demikian ucap Harlan berulang-ulang kepada komandan polisi. Burham dan teman-temannya melongo terkejut mendengar pengakuan Harlan demikian. Teman-teman Burham tidak tahu sama sekali apa sebab Harlan mengaku seperti itu, hanya Burham yang tahu dan dapat menyelami kehendak hati Harlan. Dia kagum akan besarnya rasa cinta pemuda yang cacat leher dan pipinya itu terhadap Sunarti, isterinya. Dia tahu kalau Harlan memang benar-benar hanya ingin melihat Sunarti hidup senang dan bahagia, hingga sampai-sampai menghajar dan memaksanya untuk bersikap baik terhadap Sunarti. Dan sekarang, pemuda itu mau berkorban menggantikan Burham, memberikan pengakuan palsu bahwa dirinya lah yang bertanggung jawab atas tertusuknya Dirun.

   Itu semua tidak lain karena besarnya cinta, rasa cinta yang suci, yang rela berkorban hati atau apa saja hanya supaya orang yang dicintai hidup mulia dan bahagia. Hati Burham sangat tersentuh. Melihat cinta kasih yang demikian besarnya, membukakan mata hatinya bahwa sebenarnya dia tidak pantas menjadi pendamping hidup Sunarti. Namun, karena jiwanya telah banyak dikotori nafsu-nafsu hewani hingga dia masih lebih sayang terhadap dirinya sendiri daripada mengikuti kata hati. Mendengar Harlan mengakui menusuk Dirun dan mengiranya bakal mati, Burham hanya diam. Saat melalui proses pemeriksaan verbal, Harlan tidak menyebut nama Sunarti, dia hanya mengatakan bahwa sebenarnya telah lama dia tidak suka terhadam Burham.

   Dan malam itu dia sengaja mencari Burham untuk ditantang berkelahi hingga kemudian terjadilah pengeroyokan yang puncaknya terjadilah penusukan itu. Pengakuan Burham pun kurang lebih sama, dia tidak menyebut nama Sunarti, isterinya. Dia hanya mengatakan bahwa malam itu Harlan datang mencarinya untuk menantangnnya berkelahi, teman-temannya yang melihat perkelahian tersebut langsung ikut membantunya mengeroyok Harlan. Elsy dan teman-teman Burham yang dijadikan saksi, karena memang mereka tidak tahu sama sekali awal mula dan penyebab terjadinya perkelahian itu, hanya mengatakan bahwa saat itu mereka sedang "bertamu"

   Di rumah Burham dan saat ada orang mengetuk pintu lalu Burham membukanya terjadilah cekcok mulut yang selanjutnya terjadilah perkelahian.

   Berpijak dari keterangan terdakwa dan para saksi maka polisi memutuskan bahwa Harlan lah yang bersalah hingga kemudian dia ditahan di kantor polisi. Sedangkan Burham dan teman-temannya dipersilahkan pulang dan dipesan supaya mereka mau datang untuk menjadi saksi saat sidang pengadilan digelar nanti. Kasus tersebut tersebar luas dan diketahui banyak orang saat masuk dalam surat kabar-surat kabar. Sunarti dan pakdenya juga sudah mendengar. Betapa kaget hatinya manakala tahu bahwa yang terlibat pertengkaran dengan Burham adalah... Harlan! Lebih kaget lagi saat mendengar Harlan ditahan di kantor polisi gara-gara membunuh teman Burham yang ikut mengeroyoknya.

   "Aduh, mas Harlan... bagaimana kok sampai terjadi seperti ini...?"

   Dalam hatinya, Sunarti menyangka kalau Harlan marah dengan Burham lantas mendatangi rumah Burham dan menantang, itu semua berpangkal pada dirinya.

   Hati Sunarti tidak karuan rasanya mendengar Harlan ditahan di kantor polisi karena didakwa membunuh. Ingin rasanya dia menengok, tapi bagaimana? Bukankah akan terlihat ganjil dan tidak pantas? Secara dia adalah isteri dari seseorang yang bertengkar dengan Harlan. Betapa susah hatinya, namun tiada orang yang bisa diajak bertukar pikiran. Tiba-tiba muncul Martono! Yang membuat kaget Sunarti, juga pakde dan budenya, adalah kedatangan Martono yang memakai seragam tentara! Memang kepergian Martono sudah lama, entah ke mana perginya hingga tahu-tahu dia datang kembali dan sudah menjadi seorang tentara. Dan maksud kedatangannya tersebut ada hubungannya dengan kabar tentang ditahannya Harlan karena terlibat perkelahian dengan Burham Harlan.

   "Dik Narti, aku sudah tahu semua keadaan rumah tanggamu dengan Burham", demikian ucap Martono saat mempunyai kesempatan berbicara berdua saja dengan Sunarti.

   "Burham memang sangat keterlaluan, dan aku juga heran sekali kenapa Harlan sampai berbuat seperti itu..."

   "Mas Tono, aku... aku masih tidak percaya kalau mas Harlan berbuat demikian dengan sengaja. Ini pasti ada apa-apanya. Mas, hanya kamu yang bisa aku mintai tolong. Sekali lagi tolonglah aku, mas... Tengoklah mas Harlan... dan selidiki dengan sangat teliti kasus ini...kasihan mas Harlan..."

   Martono mengambil napas dan menatap Sunarti tajam-tajam,

   "Dik Narti, apakah sampai sekarang kamu... tidak bisa melupakan Harlan?"

   Sunarti menunduk, air matanya jatuh bercucuran. Mau langsung menjawab tapi belum juga mampu. Setelah berulang-ulang menelan ludah, akhirnya dia mampu mengangguk dan bersuara pelan,

   "Tadinya sudah coba aku paksa untuk melupakan dia, mas, karena aku toh sudah menjadi isteri orang lain... Tapi mau bagaimana lagi..., justru karena kelakuan mas Burham lah yang memaksaku teringat kembali kepada mas Harlan..."

   "Aku tahu, dik... aku tahu. Sudahlah jangan disedihkan lagi. Selagi masih ada Martono, untuk kamu, tidak ada suatu urusan gelap pun yang tidak akan bisa menjadi terang."

   Demikian ucap Martono seraya pergi meninggalkan Sunarti yang masih duduk memperhatikan kepergiannya dari belakang dengan mata yang berkaca-kaca.

   "Ah, mas Tono..."

   Bibir Sunarti berbisik-bisik.

   "sungguh besar rasa cintamu terhadapku... semoga Gusti Allah yang akan membalas semua budi muliamu..."

   Surabaya geger saat surat-surat kabar memuat berita tentang pengakuan Dirun bahwa orang yang menusuknya bukanlah Harlan, tetapi Burham sendiri! Dirun tidak jadi mati, dia masih bisa tertolong dan bahkan mengungkapkan sebuah pengakuan yang amat menggegerkan itu. Maka saat persidangan digelar, saat Harlan, Burham, Dirun, Elsy dan teman-temannya dihadapankan semuanya dalam sidang tersebut, amat banyak orang-orang yang ikut menghadirinya, ingin menyaksikan dengan kepala mereka sendiri jalannya persidangan. Diantara para pengunjung, terlihat Martono duduk di kursi terdepan. Sunarti tidak hadir di persidangan itu, hatinya merasa sangat malu karena suaminya menjadi tontonan utama. Menurut keputusan pengadilan setelah mendengarkan semua pengakuan para saksi dan terdakwa,

   Harlan dibebaskan dengan alasan dirinya yang pertama kali dipukul hingga kemudian dia membela diri menghadapi pengeroyokan. Burham disalahkan karena dia yang pertama kali melakukan kekerasan, lebih-lebih karena menggunakan senjata tajam. Untungnya dia tidak sengaja menusuk Dirun, karenanya dia hanya dijatuhi hukuman tiga bulan masa tahanan. Sedangkan teman-temannya, kecuali Elsy yang tidak ikut mengeroyok, semua dijatuhi hukuman berupa denda. Sunarti hanya mampu menangis mendengar berita tersebut disampaikan oleh Martono. Di satu sisi dia bersedih karena suaminya dijatuhi hukuman, di sisi lain hatinya merasa lega karena Harlan akhirnya dibebaskan sebab ternyata tidak terbukti bersalah. Hatinya bertambah nelangsa saat Martono menutup ceritanya dengan kata-katanya,

   "Sekarang aku tidak bisa menyalahkanmu kalau sampai sekarang kamu tidak bisa melupakan Harlan, dik. Harlan memang sosok manusia utama. Biarpun wujud fisiknya sudah cacat, tapi menurutku jiwanya tidak cacat, bahkan tambah sempurna. Aku sempat berbincang dengan Burham tentang masalah itu. Ternyata hingga kemudian terjadi perkelahian, itu disebabkan Harlan mendatangi Burham untuk menasehatinya supaya meminta maaf dan bersikap baik terhadapmu."

   Sunarti menangis tersedu.

   "Aku... aku masih belum mengerti, mas, kenapa... kenapa dia mengaku kalau dirinya lah yang menusuk orang itu...padahal kenyataannya yang menusuk justru... mas Burham..."

   Martono menarik nafas lalu berkata,

   "Itulah sebabnya yang membuat aku sangat mengagumi Harlan. Cinta kasihnya terhadapmu... tidak bisa disangsikan lagi. Menurutku, tidak ada yang bisa menyamainya..., dia sengaja mengaku menusuk orang itu karena kamu, dik."

   "Lho, kok gitu... apa...apa maksudnya, mas...?" Lupa kalau dirinya sedang menangis, matanya terbelalak lebar. Mata yang indah, hingga sekali lagi Martono hanya bisa menarik nafas sambil menatap keindahan tersebut dan membatin, duuh.., ini mata kenapa begitu indah bagai bintang kejora...

   "Begini, dik. Melihat orang yang ditusuk Burham itu jatuh dengan bersimbah darah, Harlan merasa yakin kalau orang itu tidak mungkin bisa bertahan, pasti akan mati. Menurut dugaanku, saat melihat kejadian tersebut Harlan lantas berpikir, kalau dia tidak mengaku maka Burham pasti akan dijatuhi hukuman penjara selama bertahun-tahun dan pastinya kamu bakal menderita. Maka dirinya ikhlas berkorban, mengaku sebagai pelaku penusukan, supaya kamu tidak akan merasa bersedih hati..."

   "Aduh, mas Harlan....!"

   Semakin hebat tangis Sunarti hingga sesenggukan. Martono berdiri perlahan, menggigit bibirnya sendiri seraya berujar,

   "Dik Narti, urusan pernikahanmu dengan Burham, aku sudah berbicara dengan pakde dan budemu. Kita semua sepakat untuk berusaha menceraikanmu dari Burham. Makanya jangan bersedih lagi, dik. Ingatlah kalau di sisimu masih ada Martono yang akan selalu memberi terang hatimu dari segala kekacauan dan kegelapan yang mengganggu hidupmu. Sekarang aku pamit dulu, dik. Tunggulah barang sebulan, aku pasti akan datang lagi membawa kabar baik untukmu."

   Urusan perceraian antara Sunarti dan Burham sudah terselesaikan dengan lancar. Burham menyetujuinya karena dirinya memang merasa tidak lagi pantas menjadi pendamping hidup Sunarti. Martono pergi tanpa meninggalkan alamat. Hanya dia sendiri yang tahu ke mana arah tujuan kepergiannya. Ternyata dia pergi ke Solo mencari Harlan yang sudah kembali ke sana, bahkan sekarang menjabat menjadi Kepala Jawatan Pertanian. Teramat kaget hati Harlan manakala pada suatu sore kedatangan seorang tamu, tamu laki-laki yang dia kenal sebagai kekasih Sunarti menurut penuturan Pak Kartika dulu. Maka saat mempersilahkan duduk, sikapnya terlihat sedikit tegang.

   "Perkenalkan, saya Martono dari Surabaya. Saya kira anda pasti belum kenal dengan saya..."

   Harlan mengangguk mantap.

   "Saya sudah tahu. Anda dulu kekasih Sunarti, bukan? Celetuknya keras. Martono kaget dan bingung sambil berfikir, hingga lama dia tidak bisa menjawab. Setelahnya lalu dia berkata dengan raut muka yang ramah,

   "Sepertinya ada sesuatu hal yang patut dibikin jelas, mas Harlan. Baiknya tidak usah pakai acara basa-basi lagi supaya semua menjadi jelas dan terang, bukan begitu, mas?

   "Setuju sekali. Memangnya apa yang patut dibicarakan, dik Martono? Hati Martono senang sekali. Ternyata berbincang dengan Harlan sangat menyenangkan. Tepat dugaannya bahwa Harlan memang seorang yang berhati bersih dan juga jujur.

   "Tiada lain yang ingin aku bicarakan dengan mas Harlan, kecuali mengenai dik Sunarti."

   Muka Harlan terlihat sedikit kelam lalu tersenyum kecut sambil menimpali,

   "Kebetulan sekali kamu datang ke sini. Karena kalau kamu tidak ke sini, pasti aku yang akan mencarimu. Aku ingin sekali mendengar dari mulutmu sendiri, apa sebab kamu meninggalkan Sunarti hingga dia menjadi isteri orang lain yang berbudi rendah macam Burhan itu? Dulu kamu kan yang jadi kekasihnya Sunarti? Aku ingin sekali tahu, sebab apakah yang bikin kamu begitu tidak setia?"

   Semakin lama mendengar Harlan berkata-kata, Martono menjadi semakin bingung, lalu menimpali,

   "Eh-eh, bagaimana ini? Nanti dulu, mas. Saya kok sampai dituduh yang bukan-bukan ini gimana awal ceritanya? Saya sama sekali tidak pernah pacaran dengan Sunarti. Saya sama dia masih ada ikatan saudara. Malah justru seharusnya saya lah yang berhak menuntut penjelasan dari mas Harlan. Kenapa mas sampai hati meninggalkan Sunarti tanpa pamit, tanpa sebab yang jelas hingga Sunarti jatuh sakit. Justru karena kepergian mas yang tanpa pamit itulah yang menyebabkan Sunarti lantas menuruti keinginan pakdenya, yaitu dinikahkan dengan Burham."

   Sampai lama Harlan memandang Martono. Terlihat mempercayai semua yang dikatakan tamunya itu, hingga kemudian dia menunduk nampak bersusah hati.

   "Aku minta maaf kepadamu, dik Martono. Persangkaanku terhadapmu tadi karena mendapat keterangan dari pakdemu. Aku meninggalkan Sunarti... karena... kamu bisa melihat sendiri keadaanku sekarang ini. Aku mencintainya, tidak tega rasa hati ini untuk menemui Narti dengan keadaanku yang seperti ini. Aku tidak lagi pantas mendekatinya, maka aku tinggalkan dia dengan harapan supaya dia mendapatkan kemuliaan dan kebahagiaan hidup, mendapatkan jodoh yang pantas..."

   Martono terlihat sedikit emosi,

   "Cinta kasihmu terhadap dik Narti memang besar dan suci murni, mas Harlan. Tapi terus terang saja, cinta kasihmu ternodai oleh pemikiran yang sempit dan bodoh. Sangat disayangkan sekali kalau cinta kasih yang sedemikian besarnya tidak diimbangi dengan kepercayaan. Kamu kurang mempercayai dik Narti, kamu menganggap lemah dan tipis cinta kasih dik Narti terhadapmu. Aku tidak akan mungkin menyalahkanmu jika tindakanmu itu karena didasari cinta sepihak, semisal kamu mencintainya tapi dia tidak membalas cintamu. Namun, kenyataannya kamu pastinya tahu dan menyadari kalau dik Narti itu sangat mencintaimu, dan dia akan bisa hidup bahagia hanya kalau dia menjadi kekasih hidupmu."

   Martono diam dan memandang kepada orang yang diajak bicara.

   Harlan terlihat bingung dan gugup.

   "Tapi... tapi... kalau keadaanku sudah seperti ini... bagaimana mungkin jeng Narti masih mencintaiku? Agaknya mustahil kalau..."

   "Itulah kesalahan terbesarmu, mas Harlan! Kamu kira cinta sejati itu hanya milikmu saja? Apa dikiranya orang lain tidak ada yang mempunyai cinta sejati, cinta yang tidak dipengaruhi akan keindahan bentuk dan warna? Maka sekarang, kalau kamu tidak mau kembali kepada dik Narti, itu berarti rasa cinta kasihmu cuma sebatas pemanis bibir saja, memamerkan keluhuran budi yang sebenarnya kosong melompong. Kalau kamu tidak bisa menata kehidupan dik Narti, ooo... kamu akan berhadapan denganku sebagai musuh, matilah taruhannya!"

   Martono berkata demikian sambil berdiri dan berkacak pinggang. Harlan masih duduk tertegun.

   "Kamu sudah tidak waras ya? Jeng Narti kan sudah punya suami..."

   "Sekarang sudah bercerai dengan Burham."

   Harlan bertambah bingung.

   "Tapi wajahku... dan bagaimana nanti tanggapan orang Surabaya kalau aku datang ke sana... bukannya nanti akan menjadi cibiran dan merusak nama baik jeng Narti...? Ah, aku tidak sanggup merusak nama baiknya...!"

   "Kalau umpama dik Narti yang ke sini??"

   "... Ah, mustahil... dia mau ke sini... mustahil... wajahku sudah seperti ini..."

   
Bintang Bintang Jadi Saksi Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku yang akan mendatangkan dik Narti ke sini. Tapi awas kamu, mas Harlan. Kalau sekali lagi kamu menjauhi dik Narti, merusak hatinya dik Narti, Martono jadi musuhmu!"

   Berkata demikian Martono lalu melompat ke luar, pergi tanpa permisi. Harlan berdiri mematung.

   "Ah, ada kejadian sampai seperti ini. Laki-laki itu sangat mencintai jeng Narti, sama seperti aku, rela mengorbankan kebahagiaan hatinya sendiri asal jeng Narti hidup senang dan berbahagia..."

   Namun Harlan masih saja belum percaya dengan ucapan Martono. Dalam hatinya masih berkata, Mustahil Narti mau datang ke sini. Dan bagaimana nanti kalau Narti melihat keadaanya? Ah, mustahil...!

   Malam itu, meskipun bulan tidak nampak, namun angkasa raya dihiasi jutaan bintang. Harlan duduk di sebuah bangku di samping kiri rumah yang terdapat taman kecil sambil memegang gitar. Seperti tak sengaja gitarnya ia mainkan melodi lagu "Yen ing tawang."

   Memanglah tidak disengaja, karena jari-jemarinya seakan otomatis menari di atas senar gitar, mengikuti gerak hati yang saat itu sedang teringat akan sosok Sunarti, sang wanita pujaan. Lirih dia menyanyi menuruti melodi petikan gitarnya, namun yang dinyanyikannya hanya bait-bait bagian belakang dari lagu itu,

   "Yen ing tawang ana lintang, cah ayu,

   Rungokna tangising ati,

   Binarung swaraning ratri, ni mas,

   Ngenteni bulan ndadari..."

   Suara nyanyian terhenti, begitu pula petikan gitarnya. Sepi melingkupi suasana di taman kecil itu, hanya terdengar suara katak dan jangkrik yang kadang ditimpali oleh helaan napas berulang-ulang dari Harlan. Begitu asyiknya pikiran Harlan melayang-layang terbang, melamunkan semua keadaan diri dan perjalanan hidupnya hingga tidak mendengar langkah seseorang pelan-pelan mendekatinya dari arah belakang. Dilihat dari bayangan tubuhnya yang ramping, dapat dipastikan bahwa yang datang itu adalah seorang perempuan. Saat langkah bayangan tubuh itu sampai pada tempat yang tersinari bintang-bintang, terlihatlah seraut wajah yang berurai air mata.

   "Mas... mas Harlan...!"

   Harlan terlonjak kaget hingga gitarnya terjatuh dari pangkuannya. Dia menoleh, seketika terlonjak bangun dan langsung berdiri berhadapan dengan sosok perempuan tersebut.

   "Jeng Narti..., jeng Narti..."

   "Mas Harlan..., aku... aku datang, mas... aku minta maaf... mas, dosaku terlalu besar... terhadap mas"

   Sunarti menangis mengguguk, menutupi wajahnya dengan sehelai saputangan.

   "... Aduh jeng Narti... jangan berkata begitu jeng... justru aku yang seharusnya meminta maaf kepadamu... kamu... kamu ke sini... ada apakah, jeng?"

   Hanya sedu-sedan yang menjadi jawaban Sunarti. Lama sekali Sunarti tak menjawab, bahkan malah ganti bertanya,

   "... Apakah mas... tidak suka... aku datang...?"

   Kedua mata Harlan banjir air mata. Dari rongga dadanya dan melewati tenggorokannya terdengar suara mirip suara gerengan harimau tertahan-tahan, seketika dia melesat maju, meraih tangan Sunarti dan dengan halus membimbingnya memasuki rumah. Sunarti terkejut dan khawatir, namun saat sampai di bawah sorot lampu, tangannya dilepaskan Harlan.

   "Jeng Narti, lihat aku baik-baik. Lihat dengan seksama. Lihatlah leherku, pipiku, tanganku. Lihatlah belang-belang berkeriput seperti setan ini. Apa kamu tidak takut? Tidak merasa jijik? Aku bukan Harlan yang dulu lagi. Wujudku sudah seperti setan... lihatlah, jeng, lihatlah...!"

   Ucap Harlan sambil menggigit bibirnya, sekuat tenaga berusaha agar tidak berteriak-teriak menuruti jeritan hatinya. Sunarti menatap Harlan dengan tatapan yang berbinar-binar, meskipun matanya masih meneteskan butiran mutiara bening indahnya, namun bibirnya merekahkan senyum indah merekah seraya maju merangkul Harlan dan berbisik lirih,

   "Mas Harlan... kamu memang beda dengan yang dulu, di mataku sekarang kamu terlihat lebih sempurna... selain itu, tidak ada yang berbeda lagi, kamu tetap mas Harlan, mas Harlanku..."

   Sunarti tak sedikitpun merasa jijik, tidak takut melihat cacat-cacat yang terdapat di tubuh Harlan, bahkan jemari tangannya dengan lembut mengelus cacat yang ada di leher dan pipi Harlan, seraya matanya berkaca-kaca,

   "... Aduh mas, kasihan sekali kamu...kepedulianmu terhadap ibu... terhadapku...hingga berakibat seperti ini..."

   Sekarang Harlan mampu menjerit, jeritan yang lirih. Bukan jeritan yang mengandung kesakitan hati, namun jeritan yang keluar dari rasa lega, senang, serta suka cita yang sulit digambarkan besar dan dalamnya. Kepala Sunarti didekapnya erat ke atas dadanya, seakan ingin membungkusnya dan dimasukkan ke dalam dada supaya dapat bersatu dengan hatinya, dengan dirinya. Bibirnya hanya mampu berbisik-bisik,

   "Jeng Narti... jeng Narti... jeng Narti..."

   Hingga lama keduanya terdiam seperti telah menjadi patung, meresapi segala keharuan, kerinduan, kemesraan yang melingkupi pelukan kasih mereka. Namun lantas kemudian Sunarti tersadar lebih dahulu seraya berkata,

   "Mas..., tadi saya diantar mas Martono..."

   Harlan melonggarkan dekapannya.

   "Sekarang dia ada di mana? Ayo suruh dia masuk."

   Digandengnya tangan Sunarti dan ditariknya keluar rumah, namun sesampainya di luar, bayangan tubuh Martono tidak tampak lagi. Keduanya lantas mendongak memandang ke atas, ke arah bintang-bintang yang bertaburan memenuhi angkasa.

   "Mas Harlan..."

   "Hemm... Ada apa, jeng...?"

   "Lihatlah, bintang-bintang menjadi saksi, mas..."

   "Iya jeng. Aku bersumpah tidak akan pernah lagi meninggalkanmu, jeng. Bintang-bintang itulah saksinya, semoga kita tidak akan pernah berpisah lagi seumur hidup."

   "Hingga ajal menjemput, aku akan selalu setia mengabdi kepadamu, mas..."

   Saat itu, Harlan maupun Sunarti tidak yahu bahwa ada sesosok laki-laki yang berjalan pelan menjauh dari tempat keduanya berdiri, berjalan sembunyi-sembunyi dan menyelusup di tempat-tempat gelap supaya tidak ketahuan mereka berdua. Laki-laki itu adalah Martono. Tidak terlihat bagaimana keadaan hatinya, namun saat dia mendongak ke langit, terlihatlah sinar bintang menghias matanya yang berkaca-kaca, senyuman lebar disertai rasa syukur menghiasi bibirnya. Tangan kanannya dikepal lalu dibuat mengusap matanya, mengusir pergi dua tetes air bening yang sempat bergelantungan di atas bulu matanya.

   Kota Banjir, Maret 1966.

   TAMAT

   Penerbit : CV. GEMA - Solo

   Cetakan Tahun : 1966

   Bahasa : Jawa

   Pelukis : Sriwidjono

   Pemilik Buku : Gunawan AJ

   Sumber Image : Awie Darmawan

   Kontributor Image : Yons

   Diterjemahkan, Diketik & Diposting : Oz

   Edit ke DOC, PDF, TXT (E-Book) : Cersil KPH

   


Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini