Drama Gunung Kelud 1
Drama Gunung Kelud Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bagian 01
Setiap orang pengarang tentu akan merasai ini. di kejar-kejar oleh dorongan daya khayalnya sendiri. Akan tiba saatnya seorang pengarang berkeingin menuliskan sesuatu, melahirkan sesuatu diatas kertas, sesuatu yang makin diperkuat oleh perkembangan raja khayaInya yang akan mengejar-ngejarnya selama hal itu belum dilaksanakannya. Kalau sudah begitu, ia takkan enak makan, takkan nyenyak tidur, gelisah dan murung, sesuatu itu akan mengganjal hatinya, meronta-ronta minta keluar dalam bentuk tulisan. Haryanto merebahkan tubuhnya yang tinggi-tegap itu diatas kursi malas diruangan depan rumahnya. Wajahnya yang tampan nampak murung. Dada yang bidang itu kadang-kadang melepas napas panjang, menambah kemurungannya.
Diapun termasuk seorang pengarang muda yang sedang diserang demam cita-cita. Olah ragawan ini sekarang malas berlatih, bahkan sudah beberapa hari ini tak nyenyak tidur tak sedap makan. Daya-khayal yang belum terlaksana menyesak didalam dadanya, membuat ia malas dan murung. Sudah lama ia ingin sekali menulis sebuah roman tentang meletusnya Gunung Kelud. Bagi dia, seorang pengarang muda yang sedang menanjak semangatnya dalam pekerjaan ini, masih berlaku sebutan ilham pengarang. Dan hasrat hatinya yang mendesak ini di ilhami oleh dongeng neneknya tentang peristiwa ditahun 1919. Kakeknya tewas oleh letusan Gunung Kelud ditahun itu. Masih terngiang ditelinganya dongeng neneknya tentang kakeknya yang tergila-gila kepada seorang ledek (penari dan penyanyi) didusun Jatilengger, yang oleh neneknya dikatakan pandai mempergunakan guna-guna ilmu hitam.
"Ledek keparat itulah yang menyebabkan kematiannya, Yanto,"
Demikian dongeng neneknya yang masih saja tebal rasa sesal dan kecewanya sungguhpun peristiwa itu telah terjadi empat puluh tujuh tahun yang lalu.
"Ledek itu dengan guna-guna memikat hati kakekmu membuat la tergila-gila. Diwaktu Gunung Kelud sudah mulai mengamuk, kakekmu masih sempat mengunjunginya, menginap di Jatilengger. Malam itu Gunung Kelud meletus dahsyat, aku menggendong ibumu yang masih bayi, menangis bingung dan lari mengungsi dengan orang-orang lain ke Gunung Pegat."
"Dan kakek bagaimana, nek?"
Tanyanya penuh gairah, amat tertarik oleh dongeng itu yang mulai mengesan dihatinya seperti tikus kelaparan menggerogoti daging simpanan. Wajah neneknya yang penuh keriput masih membayangkan kedukaan ketika menjawab,
"Kakekmu tewas oleh lahar, hancur dagingnya oleh lahar panas didalam rumah ledek jahanam itu."
"Dan ledek itu, mati juga tentu?."
"Dia bukan manusia, dia iblis yang bertubuh manusia cantik. Dia menghilang, meninggalkan kakekmu mati konyol,"
Kata neneknya marah.
"Menghilang?"
Daya-khayal mulai berkembang di dalam benak Haryanto, seakan-akan terbayang semua dongeng neneknya ini. Neneknya mengangguk-angguk.
"Tak seorangpun pernah melihatnya lagi."
Neneknya lalu meninggalkannya, memasuki dapur, tampaknya tidak senang melanjutkan dongeng itu atau dianggapnya sudah habis diceritakannya. Dongeng inilah yang mula-mula menyentuh gairahnya. Dongeng ini yang menghidupkan khayalnya, yang kemudian ia anggap sebagai ilham karangannya yang harus ia buat, yaitu roman tentang Gunung Kelud. Ia harus membuatnya dan untuk pelengkap serta penyempurna bahan-bahannya, ia harus pergi ke Gunung Kelud, terutama sekali kedusun Jatilengger dimana kakeknya tewas. Dusun Jatilengger, tempat tinggal ledek yang dianggap iblis bertubuh perempuan cantik oleh neneknya.
"Ibu, saya ingin kesana, Ke Jatilengger di Kelud."
"Mau apa kau kesana, Yanto? Kita sudah tidak mempunyai sanak-keluarga lagi disana. Semenjak nenekmu pindah kesini, aku sendiripun belum pernah kesana. Jangan kau kesana, Yanto, agaknya ada kutuk yang mengerikan dari Gunung Kelud terhadap keluarga kita. Ayahmu sendiri..."
"Justeru karena kakek dan ayah tewas oleh lahar Gunung Kelud itulah yang mendorongku untuk mengenal Gunung Kelud dari dekat, bu"
"Bodoh kau, Yanto!"
Neneknya dengan terbongkok bongkok keluar dari dalam.
"Apakah kau hendak berkepala batu seperti ayahmu dulu? Ketika itu kau baru berusia Sepuluh tahun, kau tidak tahu betapa ayahmu juga keras-kepala, tidak menghiraukan larangan dan peringatanku. Heran aku, sampai sekarang masih heran mengapa ada mantu begitu sama dengan ayah mertua. Ayahmu sama keras kepala dengan kakekmu!"
"Tapi ayah lain lagi, nek. Ayah kan tidak tergila-gila kepada ledek? Ayah kan tewas karena kecelakaan, karena kebetulan sedang bertugas kesana ketika Gunung Kelud meletus,"
Bantah Haryanto membela ayahnya.
"Apa bedanya? Ayahmu seorang sopir, berkali-kali aku peringatkan bahwa dalam pekerjaannya, jangan dia sekali-kali mau kalau disuruh mengendarai prahoto kedaerah Kelud. Ia mentertawakan aku, dan akhirnya..."
"Sudahlah, bu, tak perlu yang sudah-sudah dibicarakan..."
Cela ibu Haryanto kepada ibunya, agaknya tidak suka ia harus mendengarkan tentang suaminya yang juga tewas oleh lahar Gunung Kelud ditahun 1951, lima belas tahun yang lalu.
"Itulah...!"
Kata neneknya sambil memutar tembakau susur dimulutnya.
"Anakmu Haryanto itu yang hendak membongkar-bongkar peristiwa lama. Untuk apa menyelidiki penyelewengan kakekmu? Dan kutuk itu masih ada selalu..., jangan kau berani mendekati Gunung Kelud, Yanto."
Entah mengapa, mendengar ucapan neneknya dan ibunya ini, Haryanto merasa bulu-tengkuknya meremang. Ia sengaja tertawa untuk menutupi perasaan ini. Ah, dia seorang pemuda abad kedua puluh, seorang pemuda di indonesia merdeka. Masa ia harus terpengaruh oleh segala macam ketahyulan?
"Eh, kenapa kau tertawa, yanto?"
Ibunya menegur, memandang tak senang.
"Tidak apa-apa, ibu. Saya hanya hendak mengatakan bahwa Gunung Kelud hanya merupakan kelebihan tanah yang tidak berbahaya diwaktu ia tidak meletus. Dan sekarang gunung itu sedang aman, tidak meletus lagi."
"Siapa bisa menduga akan hal itu? Siapa bisa tahu akan bekerjanya penunggu gunung? Ia akan meletus setiap dua windu sekali, demikian kutuknya..."
Haryanto tak dapat menahan ketawanya lagi, ketawa karena teringat akan dongeng tentang Kelud, bukan sekali-kali ia bermaksud mentertawakan ibunya atau neneknya.
"Ibu agaknya terlalu terpengaruh oleh dongeng Kelud tentang Lembusura dan Puteri Kediri. Bagaimana pula dongeng itu? O ya, pangeran Blambangan yang bernama Mas Maesa Wimba kemudian karena kepalanya berubah menjadi kepala sapi lalu bernama Lembusura, meminang puteri Prabu Brawijaya yang dinamai Puteri Kediri. Lalu ia ditipu, disuruh membuat sumur dipuncak Kelud. Bukankah begitu? Kemudian, ketika sumur itu di dongkel-dongkel dengan tanduknya dan hampir jadi, ia lalu dilempari batu dan di kubur hidup-hidup. Karena marahnya, Lembusura membuat pembalasan dengan meletuskan kawah Kelud setiap dua windu (enam belas tahun) sekali."
"Jangan kau mentertawakan dongeng itu, Yanto. Kau harus percaya bahwa kakekmu masih keturunan dari Raden Jatmika yang merencanakan penguburan Lembusura, karena itu kepada keturunan Raden Jatmikalah kutuk itu paling berbahaya. Kau tidak boleh kesana!"
Kata neneknya, suaranya bersungguh-sungguh.
Inilah yang menggelisahkan hati dan memuramkan wajah pengarang muda itu dalam beberapa hari ini. Tentu saja ia tidak percaya akan semua dongeng itu, tidak percaya akan kutuk Gunung Kelud maupun kutuk Lembusura pangeran Blambangan yang dikubur hidup-hidup dikawah Kelud. Ia seorang pemuda Indonesia Merdeka, bukan pemuda tanah jajahan lagi. Ia telah menamatkan pelajarannya di S.M.A., dia seorang pengarang modern. Persetan dengan segala tahyul! Akan tetapi, ia masih tetap seorang putera Indonesia yang tidak suka membantah orangtua, apalagi melukai hati ibu dan neneknya. Ia harus mencari akal agar keinginan hatinya terlaksana tanpa menggelisahkan hati ibu dan neneknya.
* * *
Kesempatan baik datang ketika serombongan pariwisata berangkat dari Solo menuju ke Bali. Perjalanan yang direncanakan selama lima belas hari lamanya. Ibu dan neneknya tidak keberatan ketika Haryanto menyatakan hendak ikut dalam rombongan ini.
Sebagai pengarang memang pemuda ini sering kali bepergian mencari bahan-bahan tulisannya. Akan tetapi Haryanto tidak ikut ke Bali, melainkan berhenti di Mojokerto. Ketika otobis rombongan itu melanjutkan perjalanannya yang masih jauh, Haryanto sudah berdiri didalam sebuah otobis tua yang menuju ke Blitar. Seperti biasa ditahun 1966, setiap otobis tidak ada yang penuh pas, apalagi setengah penuh. Selalu berjubel dengan penumpang, jauh melampaui batas maksimum. Tempat duduk untuk dua orang terisi tiga-empat orang, diantara bangku-bangku masih berjejal-jejal penumpang yang rela berdiri agak terbungkuk-bungkuk. Tidak ada penumpang otobis diwaktu ini yang mengharapkan tempat-duduk yang enak. Bagi setiap penumpang yang berlaku dalam pikiran hanya satu, yakni bagaimanapun juga asal bisa sampai ke tempat tujuan, cukuplah!
Haryanto termasuk seorang diantara mereka yang rela berdiri. Bagaimana takkan rela kalau tempat duduk memang sudah penuh, sepenuh-penuhnya! Apa lagi bagi Haryanto yang kebetulan sekali berdiri dibelakang sebatang tubuh ramping yang memiliki tengkuk halus putih ku NING, plus rambut yang hitam panjang dan harum! Berkali-kali, dengan sengaja maupun tidak, Haryanto menjedot napas panjang untuk menerima ganda harum rambut itu, tanpa merasakan bau lain yang kurang sedap, bau keringat campur macam-macam yang, berhamburan dalam bis yang penuh sesak itu. Alangkah ingin hatinya menjenguk kedepan untuk melihat wajah didepan rambut. Sayang dara remaja itu tak pernah menengok dan dara itu telah berdiri disitu ketika ia berjubelan masuk berebutan tempat dengan para penumpang lain.
"Hemm, mujur juga awak..."
Haryanto berkata seorang diri, puas. Dia memang seorang optimis, yakni seorang yang selalu menerima segala sesuatu yang. Imenimpa dirinya dengan hati lapang. Sekarang rasa optimismenya itu mendapat dukungan dengan adanya si rambut ikal didepannya. Setelah otobis serasa hampir meledak karena terus dijejali penumpang, para penumpang mengomel panjang-pendek saking gerahnya, kecuali Haryanto tentu. Kenapa tergesa-gesa semua orang ini, pikirnya. Tentu saja, jangankan disuruh berhimpit-himpitan dan menanti agak lama, biar diundur satu jam lagi keberangkatan otobis dan ditambah dua puluh orang lagi, ia belum tentu akan mengomel.
Kali ini bukan karena optimismenya, melainkan karena... hemm, ia akan dapat lebih dekat berhimpitan dengan si leher kuning didepannya! Biarpun ia pengarang, Haryanto hanya seorang pria dan semenjak dunia berkembang, sifat jantan memang sudah ada pada diri setiap mahluk. Kebetulan sekali, mungkin juga karena ikut jengkel betapa otobis belum juga berangkat, si dara di depannya menengok kekanan, keluar otobis. Mula-mula yang tampak pipi yang kemerahan seperti jambu dersana, lalu disusul hidung mancung, bibir cemberut merah tanpa lipstick, sebuah mata kanan yang... ndamar-kanginan (redup-redup bercahaya seperti dian terhembus angin sepoi), bulu mata yang panjang lentik, alis yang... jidat yang... wah, sampai kehabisan puji bagi Haryanto karena jantungnya sudah melompat-lompat jungkir-balik didalam dadanya!
"Wah, kalau nenek dan ibu sekarang mendesak aku kawin... ah, tentu akan ku pikir-pikir. belum tentu kutolak..."
Kata hatinya. Beberapa kali sudah nenek dan ibunya mendesak agar supaya dia lekas mencari pasangan karena usianya sudah dua puluh lima tahun.
"Aku ingin menimang buyutku sebelum aku mati"
Kata neneknya.
"Dan aku sudah ingin menggendong cucuku,"
Kata ibunya pada waktu itu.
"Tapi aku belum ingin punya anak, apalagi isteri,"
Bantah Haryanto. Hemm, kalau melihat dara ini. Siapa orangnya tidak ingin punya isteri dan anak, kalau ibu anak itu seperti ini cantik-jelita dan manis denoknya?
"Klaar!,"
Kenek otobis berteriak setelah selesai mengikat dan membereskan barang muatan diatas otobis itu. Kata-kata "klaar"
Adalah bahasa Belanda yang berarti "selesai"
Dan istilah ini memang sampai sekarang banyak digunakan kenek prahoto atau otobis untuk memberi isarat kepada sopir bahwa segala dibelakang sudah selesai dan boleh sang sopir menjalankan kendaraan. Otobis tergetar ketika mesinnya dihidupkan oleh sopir, menggerung-gerung bunyinya. Haryanto lega. Biar mobil tua, boleh juga, bisa hidup tanpa di klinger.
"Berangkat!"
Kondektur memberi komando dan sopir memasukkan versnelling, berkeratakan bunyinya, bunyi yang biasanya mandatangkan rasa njeri. dalam perasaan orang yang dapat mengendarai mobil. Gas ditekan, kopling dilepas dan "whrrrr!"
Otobis meluncur maju dengan cepat. Para penumpang yang berdiri didalam otobis, mendoyong kebelakang dan terpaksa harus berpegang kepada apa saja, kepada sandaran kursi atau tihang-tihang kap otobis agar tidak mendesak lain penumpang. Haryanto tidak dapat mencari pegangan, sudah terlalu penuh disekelilingnya itu. Untuk menahan tubuhnya ia hanya bisa menekankankan kedua tangannya keatas, ke kap otobis. Entah karena waktunya memang sudah amat terlambat atau karena mendapat perintah dari pengurus otobis, namun nyatanya otobis tua itu memang masih kuat sekali tenaga mesinnya dan memang si sopir otobis agak ugal-ugalan.
Otobis yang penuh padat itu lari kencang, rata-rata delapan puluh kilometer per jam! Penumpang yang mendapat tempat duduk masih mending, akan tetapi kasihan mereka yang berdiri. Tubuh mereka terayun-ayun kekanan-kiri, kedepan-belakang dan harus selalu berpegang erat-erat kalau tidak mau roboh menimpa orang lain. Lebih celaka lagi, jalan beraspal itu sudah mulai rusak, banyak lubang. Otobis kadang-kadang berguncang dan kalau lubang yang digilas ban agak besar, ada saja kepala penumpang terbentur benda keras. Orang mulai mengomel, tapi otobis tetap membalap. Seekor kerbau melintas tiba-tiba, sopir menekan klason, si kerbau malah berhenti ditengah jalan, menoleh seenaknya kearah mobil. Para penumpang menjerit rem di injak sekerasnya.
"Cjiiiittt!"
Otobis berhenti tepat didepan hidung kerbau. Haryanto tak dapat menahan desakan dari belakang. Ia terdorong kedepan, dan dalam bingungnya ia mendapat pegangan... pinggang yang ramping dan tanpa dapat ia cegah lagi, dorongan orang-orang dari belakang membuat ia terhimpit kedepan dan tahu-tahu hidung dan bibirnya sudah menempel erat dikulit tengkuk yang halus kuning! Keras sekali pertemuan ini dan untungnya yang menyambut hidungnya adalah kulit yang lunak, andaikata lain benda yang keras hidungnya tentu bisa menjadi bengkok seperti hidung petruk dalam gambar komik dagelan, atau sedikitnya akan keluar kecap. Untungnya tengkuk leher junjang, untung memang karena hidungnya dihadiahi ganda yang sedap!
"Kurang ajar! Laki-laki tak sopan!!"
Si pemilik tengkuk halus membalikkan tubuh dan,
"Plak! plakk!"
Haryanto menerima dua kali tamparan dikedua pipinya, cukup keras mendatangkan kunang-kunang didepan matanya. Setelah puluhan ekor kunang-kunang lenyap, masih ada dua ekor yang berkelap-kelip didepan matanya. Eh, ini bukan kunang-kunang, lebih bercahaya dan lebih indah lagi. Kiranya sepasang mata sipemilik tengkuk tadi yang memandang dengan kemarahan meIuap-Iuap. Disana-sini terdengar suara orang tertawa. Muka Haryanto menjadi merah, terutama dikedua pipinya yang berkenalan dengan telapak tangan halus, tapi yang dapat menampar cukup keras tadi. Wajah dewi kahyangan berhadapan dengannya, wajah cantik-jelita, dewi kahyangan yang sedang murka!
"Maaf... tak kusengaja, terdorong dari belakang..."
Haryanto berkata lirih, gagap.
"Alasan di cari-cari!"
Mulut manis cemberut membentak dan kepala itu membalik dengan cepat dan disentakkan. Ujung rambut panjang berubah menjadi cambuk menjabet muka Haryanto. Pedas-pedas rasanya kepipi, tapi harum kehidung dan gatal-gatal kedalam hati. Haryanto mendengar lagi suara orang-orang tertawa ditahan dan ia menunduk malu. Lucu memang. Seorang pemuda tinggi gagah bertubuh tegap kuat itu tunduk tak berdaya, merasa seperti anak kecil menghadapi dara jelita. Otobis berlari lagi. Tapi Haryanto. tidak memperhatikan sesuatu kecuali tengkuk didepan hidungnya. Sekarang baru ia melihat sebuah titik hitam diatas tengkuk, agak kekiri dekat pundak. Manis, benar tahi lalat diatas kulit yang kuning bersih itu. Tersenyum ia dalam hati kalau teringat betapa tadi ia tanpa disengaja telah mencium..., ah, kalau ia sengaja, tentu ia memilih bagian yang ada tahi lalatnya itu!
"Ih, Haryanto kau sudah edan barangkali,"
Dengusnya didalam hati. Tapi, apa hendak dikata,. hati dan pikirannya tak mampu menyingkirkan kenangan tadi, kenangan sedap berikut hukumannya yang masih pedas terasa dikedua pipi. Otobis berhenti di setasiun otobis Blitar yang penuh oleh calon penumpang.
Sudah menjadi watak semua penumpang otobis rupanya, biarpun sudah sampai tempat yang dituju, diwaktu menuruni otobis tetap saja berdesak-desakan. Haryanto keluar dari otobis melalui pintu depan. Kali ini ia memang sengaja mengikuti dara gaun biru didepannya. Memang dapat ia keluar dari pintu belakang, akan tetapi sama-sama keluar mengapa tidak memilih yang... lebih menyenangkan? Diluar otobis sudah berjubal pula calon penumpang. Tangga otobis agak tinggi, dara menjerit lirih ketika gaunnya tersangkut pada anak-tangga yang sudah retak-retak. Tanpa diperintah Haryanto membungkuk dan menggunakan tangannya melepas ujung gaun-gaun. yang terkait. Dara melangkah turun disusul Haryanto. Tiba-tiba dara gaun biru itu menjerit dan Haryanto kaget setengah mati ketika kedua tangan dara itu mencengkeram baju kemejanya sambil berteriak-teriak,
"Copet...! Copet...! Ini copetnya, dompetku dicopet...!!"
Saking kaget dan herannya, sejenak Haryanto tak dapat bergerak maupun mengeluarkan kata-kata. Dari kanan-kiri sudah ada orang memukulnya. Haryanto timbul amarahnya, pukulan-pukulan itu dapat ia tangkis dan ia membentak keras,
"Aku Haryanto, pengarang, bukan tukang copet! Mana buktinya aku mencopet? Jangan sembarang memukul orang!"
Akan tetapi dara itu masih terus menuduhnya tukang copet. Orang-orang disekeliling itu ragu-ragu. Memang "Tampang"
Haryanto tidak seperti tukang copet. Apalagi ketika ia mengaku pengarang, orang-orang makin ragu-ragu, tidak berani memukulnya. Pengarang dan wartawan adalah orang-orang yang dihormati dan dikagumi.
"Nona, jangan sembarangan menuduh orang. Aku bukan pencopet dan aku tidak mengambil dompetmu."
Haryanto berkata tanpa berusaha melepaskan jari-jari halus yang masih mencengkeram kemejanya. Dara dengan matanya yang indah itu masih terbelalak memandangnya. Terdengar gaduh disebelah kiri.
"Ini copetnya! Sudah tertangkap...!"
Dengan halus sambil tersenyum Haryanto memegang kedua tangan itu, perlahan-lahan melepaskan tangan yang mencengkeram kemejanya. Dara itu menarik tangannya, menoleh kekiri, sepasang pipinya yang sudah merah itu menjadi lebih merah lagi, seperti sepasang tomat apel matang.
"Dik NING...!"
Seorang letnan AURI melangkah maju, tangan kiri menyeret seorang laki-laki kurus pucat, tangan kanannya memegang sebuah dompet merah.
"Mas Nardi... aku kecopetan..."
Dara gaun biru berkata.
"Inilah dia copetnya. Apakah ini dompetmu?"
"Betul!"
Dara itu menerima dompetnya, lalu mengerling kearah Haryanto, agak pucat sekarang. Letnan AURI menempiling pencopet itu, melepaskan tangannya sambil menghardik,
"Kali ini kuberi ampun, ya? Awas, lain kali berani mencopet lagi, ku tembak kepalamu! Cari pekerjaan yang halal, jangan mencopet!"
"Baik, pak... terima kasih. pak..."
Pencopet itu lari pergi sambil memegangi kepalanya. Letnan AURI menghampiri dara gaun biru yang masih berdiri memandang Haryanto.
"Mas Nardi, aku... aku tadi salah sangkah... eh mas... Haryanto ini kutuduh mencopet dompetku..."
"Aku memang mau mencopet,"
Pikir Haryanto dengan hati mengkal, tapi bukan dompetmu yang hendak ku copet, melainkan hatimu! Letnan AURI itu terkejut dan mencela,
"Ah, lain kali jangan sembarangan menuduh orang lain, dik NING. Baiknya mas ini tidak marah."
"Mas, harap suka maafkan kesalahanku tadi."
Gadis bernama NING itu berkata kepada Haryanto tak berani menentang pandang secara langsung. Entah mengapa, melihat betapa dara itu agaknya dijemput oleh Ietnan AURI, dan melihat betapa akrab hubungan keduanya, Haryanto merasa tak enak hatinya, maunya hendak marah saja! Ia tersenyum pahit dan berkata,
"Ah, tidak apa, nona. Sudah jamak kadang-kadang orang melakukan kesalahan tanpa disengaja, seperti yang kulakukan didalam otobis tadi... Selamat siang!"
Ia mengangguk kapada gadis dan letnan, memutar tubuh dan melangkah pergi. Langkahnya ia usahakan segagah mungkin. Keinginan hatinya untuk menengok kearah gadis itu ia pertahankan, ia lawan dengan kekerasan hatinya. Belum seratus langkah ia pergi, sudah timbul penjesalan dihatinya. Mengapa aku terburu nafsu? Namanya NING, tapi NING apa? Masa hanya NING begitu saja? Dan dia anak mana? Sayang aku tadi tidak minta berkenalan, setidaknya mengetahui alamatnya. Dia anak sini ataukah anak Mojokerto? Ah, tapi letnan itu agaknya sahabat-karibnya, mungkin juga... Anunya! Hampir saja seekor kuda penarik dokar menciumnya karena dalam perbantahan batin ini ia sudah tak melihat jalan lagi.
"Heee... he, bagaimana ini...?"
Kusir dokar berseru, menahan kudanya. Haryanto gelagapan seperti disiram air dingin. Untuk mengusir rasa malunya, ia menghampiri dokar.
"Pak, antarkan saya ke Jatilengger, bisa?"
Kusir itu memandang heran.
"Tentu saja bisa."
Sepuluh menit kemudian Haryanto sudah teklak-tekluk mengantuk duduk dibelakang kusir dalam perjalanan ke Jatilengger.
* * *
"Kalau awak lagi sial..."
Haryanto mengomel akan tetapi terpaksa ia turun juga dari dokar dan memasang ranselnya dipunggung.
"Jatilengger sudah dekat, mas. Tuh didepan sana"
Kusir dokar menudingkan telunjuknya. Haryanto suda terlampau sering mengadakan riset kedesa-desa, sudah terlalu sering menjelajah gunung dan pantai. Ia tahu apa maksudnya kalau seorang penduduk desa mengartikan "dekat"
Dan "didepan sana."
Mungkin mereka tidak membohong, mungkin bagi mereka jarak itu dekat. Kaki mereka sudah terlalu biasa berjalan jauh. Akan tetapi, yang dianggap"
Dekat"
Dan "di depan sana"
Oleh mereka itu, bagi orang kota berarti masih harus berjalan kaki satu jam lagi! Apa hendak dikata? Disini sifat optimismenya harus benar-benar dikemukakan, mendapat ujian berat.
Diatas jalan yang penuh batu itu, as roda dokar "made in tukang besi"
Itu tidak tahan, patah dan tak mungkin ia melanjutkan perjalanan naik dokar. Haryanto tidak tega untuk mengurangi biaya dokar, ia membajar penuh dan melanjutkan perjalanannya dengan kaki untuk menempuh jarak yang dekat menurut istilah dusun itu. Untungnya matahari sudah agak condong kebarat, panas dari atas tidak begitu hebat lagi, tidak sehebat panas tanah yang dilaluinya. Jalan itu sunyi, sawah dikanan-kiri. Belum lama ia berjalan, merasa diri betul-betul seperti seorang perantau yang menghadapi petualangan, di sebuah tikungan ia melihat didepannya dua orang wanita berjalan perlahan. Dari belakang saja sudah dapat diduga bahwa yang seorang adalah perempuan tua sedangkan yang seorang lagi tak salah seorang perempuan muda.
Muda belia malah, melihat bentuk tubuhnya dari belakang. Hemm, sweet country girl (dara dusun jelita), timbul sifat romantisnya. Inipun tak terlepas daripada perhatian Haryanto, yang sebagai seorang pengarang, selalu merasai setiap perubahan yang berbeda daripada biasanya. Biasanya, ia tidak begitu mudah tertarik oleh dara-dara kecuali yang amat ayu. Itu pula sebabnya agaknya mengapa ia selalu menolak bujukan ibu dan neneknya. Akan tetapi, megapa sekarang berubah sembilan puluh derajat? Baru melihat seorang dara dari belakang saja sudah timbul romantisnya, sudah membayangkan wajah dara ini cantik dan denok. Hemm, celanya pada diri sendiri, Inilah gara-gara si... NING itu! Betapapun juga, ia tak dapat menahan kedua kakinya melangkah lebih lebar dari tadi dan makin dekat ia dengan dua orang wanita itu, makin dipercepat langkahnya.
Ada sesuatu yang menarik hatinya. Bukan, bukan bentuk tubuh yang langsing montok itu. Bukan pula bayangan akan wajah yang cantik. Melainkan keadaan si dara itulah yang menarik perhatiannya. Dara itu menangis! Betul menangis terisak-isak, di tahan-tahannya sambil berjalan perlahan disisi wanita tua yang dari jauh terdengar mengomel dan memarahinya. Derap sepatu Haryanto menghentikan tangis dara itu. Mereka menoleh dan... Haryanto hampir jatuh karena kaki kanannya terbentur batu. Gadis itu benar-benar tepat disebut sweet country girl! Cantik manis dan denok-ayu. Wajahnya berbentuk bundar seperti bulan purnama, matanya ndamar-kanginan, sinomnya (rambut halus dikening) terurai indah kedepan. Sudah kita ketahui bahwa Haryanto bukan tergolong pemuda yang mata keranjang, bukan pemuda yang "Tuk-mis" (batuk-kelimis).
Bukan, sekali lagi bukan karena gadis itu denok-ayu yang membuat kakinya tadi di tertumbuk batu. Bukan, melainkan karena ia melihat... si NING kini berdiri didepannya! Hanya bedanya, kalau NING itu bergaun biru, angkuh dan agung adalah dara ini berpakaian kain kebaya, sederhana dan matanya merah karena habis menangis. Andai kata rambut itu diatur serupa dan kain kebaya diganti gaun biru, kiranya ia takkan ragu-ragu lagi bahwa ia berhadapan dengan NING. Otomatis Haryanto meraba-raba pipi kirinya yang masih terasa bekas tangan NING. Tapi ia sadar bahwa dara ini bukanlah NING, biarpun mata itu sama ndamar-kanginan, biarpun bentuk mulut dan hidung itu serupa. Wanita tua memandangnya dengan heran. Jarang dusun ini kedatangan orang asing. Dan terang bahwa pemuda yang tinggi tegap ini seorang asing.
"Anak hendak pergi kemanakah?"
Drama Gunung Kelud Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sapa wanita tua itu ramah, keramahan sederhana seorang dusun
"Saya... saya hendak ke Jatilengger, bu."
Ia mengerling kearah dara yang mengusap bekas airmata dengan saputangan merah jambu.
"Ah, kamipun hendak pulang ke Jatilengger. Apa kau mempunyai sanak disana, nak?"
Haryanto mengeleng kepala. Dadanya lapang, ketegangan oleh persamaan gadis ini dengan NING sudah tak terasa lagi.
"Tidak ada, bu. Saya memang sengaja hendak melihat-lihat keadaan Gunung Kelud dari dekat."
Ia menoleh kearah gunung yang menjulang tinggi didekat itu.
"Oooo, mas. ini pelancong kah?"
Dara itu ikut bicara, suaranya, dan untuk kedua kalinya jantung Haryanto berdegup aneh, sama benar dengan suara NING.
"Mengapa melancong berjalan kaki saja, mas?"
Pertanyaan ini disusul senyum manis dan Haryanto merasa yakin bahwa senyum NING yang belum pernah dilihatnya itu sudah pasti semanis ini pula.
"Anu, dik... eh, saya tadi datang naik dokar, tapi as nya patah dijalan. Terpaksa berjalan kaki. Ibu dan adik apakah tinggal di Jatilengger?."
Sudah lancar suaranya, selancar jalan darahnya karena jantungnya tidak berdegup lagi seperti tadi.
"Betul, mas. Mas hendak melihat-lihat Gunung Kelud ada apanya sih yang indah?"
Gadis-manis itu bertanya lagi dan Haryanto mendapat kenyataan bahwa gadis ini selain ramah-tamah, juga pandai bicara, agaknya tidak asing akan pergaulan modern.
"Ah, sebetulnya... eh, bukan hanya sekedar melihat-lihat. Sesungguhnya, aku ingin menulis sesuatu tentang gunung Kelud, tentang peristiwa peletusannya ditahun-tahun dahulu."
"Oooo, mas ini seorang wartawan, ya!"
"Eh, bukan..."
Kata-kata Haryanto terhenti. Perhatiannya tertarik oleh kebiasaan gadis yang agaknya sering menjebut "Oooo"
Itu. Manis benar kalau begitu, mulut yang bentuknya indah itu meruncing. Teringat ia akan dara gaun biru meruncingkan tapi bukan menjebut "Oooo,"
Melainkan merengut marah.
"Ah, tahu aku sekarang. Kalau bukan wartawan tentu pengarang. Hayo, betul tidak dugaanku?"
Haryanto mengangguk.
"Kau ternyata cerdik, Aku memang pengarang, tapi pengarang plonco, baru belajar kok."
"Ah, masaaaa..., tentu pengarang terkenal. Siapa ya, namanya, mungkin saya sudah mengenaInya."
Haryanto mengangguk sedikit sebagai tanda perkenalan.
"Namaku Haryanto. Sama sekali belum terkenal."
Gadis itu mengerutkan ke NING, mengingat-ingat.
"Haryanto...? Seperti pernah mendengar nama ini..."
"Betul? Dimajalah?"
Haryanto mendesak, bangga seperti bangganya seorang pengarang dikenal nama karena tulisannya.
"Bukan. Agaknya dalam buku..."
Haryanto kecewa.
"Karanganku belum pernah ada yang dibukukan. Karena itu sekarang aku ingin mengarang tentang Gunung Kelud, siapa tahu dapat dibukukan."
"Oooo..."
Lagi-lagi mulut diruncingkan, manis.
"Kalau begitu, adik pernah mendengar nama saya dimanakah?"
Gadis itu tertawa kecil, menutupi mulut dengan saputangannya.
"Agaknya dalam... dalam mimpi..."
Haryanto tertawa, ibu gadis itupun tertawa dan kelihatanlah sekarang bahwa kalau gadis itu mempunyai deretan gigi yang putih mengkilat, adalah ibu itu mulutnya sudah kosong, tak bergigi lagi. Perbandingan yang amat menjolok antara usia muda dan usia tua dan ketiga orang manusia ini tak seorangpun ingat bahwa simuda itu tak lama lagi akan ompong pula seperti situa.
"NING, kau ini bagaimana sih? Nak Haryanto sudah memperkenalkan nama, kita belum. Kok malah diajak sembrono (bergurau). Kalau kau ini anak muda bisa dianggap Pujowati yang bermimpikan seorang satria, tapi kau anak janda. Ah... nak Haryanto, aku adalah janda Waluyo dan ini anak tunggalku yang manja, namanya Sriningsih."
Ibu dan anak itu tidak tahu betapa untuk ketiga kalinya jantung Haryanto berdetak aneh ketika ibu itu menjebut anaknya "NING"! Bukan main anehnya persamaan ini. Persamaan wajah dan persamaan nama pula.
Tentu saja hanya "NING"
Nya yang sama, karena ia tidak tahu siapa nama lengkap gadis gaun biru yang disebut NING itu. Khayal pengarangnya timbul dan dengan gembira ia mendapat kenyataan bahwa kejadian yang sungguh-sungguh kadang-kadang malah lebih aneh daripada sebuah dongeng. Bukankah ini aneh namanya kalau dia dalam satu hari, hanya selisih beberapa jam saja, bertemu dengan dua orang gadis yang kembar-rupa kembar-nama? Seperti dalam dongeng seribu satu malam saja. Sriningsih mengulurkan tangan, mengajaknya salaman. Gadis modern juga nih, pikirnya. Caranya berkenalan seperti orang kota, pakai bersalaman segala. Tapi dengan lahapnya uluran tangan ini diterima Haryanto.Tentu saja! Pemuda mana tidak demikian? Untuk beberapa detik telapak tangannya bertemu dengan tangan yang halus lunak.
"Berapa lama kau hendak mencari ilham di Kelud, mas Har?"
Tanya Sriningsih, sikap dan suaranya seperti seorang sahabat lama. Geli juga hati Haryanto mendengar tentang "mencari ilham"
Ini. Dia sebagai pengarang malah belum pernah merasai apa yang disebut "mendapat ilham"
Itu, karenanya diapun tak pernah berusaha mencarinya.
"Entahlah, dik NING. Kurasa kurang lebih satu minggu begitulah."
"Nak Haryanto, kalau kau seminggu di Jatilengger, kau tinggallah dirumah kami. Kami akan senang sekali menerimamu sebagai tamu."
"Tamu agung!"
Komentar Sriningsih sambil mainkan bibir dan mata. Hemmm, apa pula ini? Perangkap? Khayal pengarangnya timbul lagi. Akan tetapi, apa salahnya. Pribadi Sriningsih menarik hatinya, siapa tahu dari pribadi gadis ini ia dapat menciptakan tokoh wanita dalam romannya. Dan memang ia tidak mempunyai rencana tertentu tentang tempat menginapnya disana. Akan tetapi, tentu saja ia tidak dapat menerima gitu saja tanpa usaha penolakan.
"Ah, saya akan merepotkan ibu dan dik NING saja. Biarlah nanti saya bermalam dirumah penginapan saja."
Sriningsih tertawa. Merdu dan nyaring suara ketawanya, ketawa bebas. Setelah Sriningsih tertawa, Haryanto yakin bahwa dalam hal suara, kiranya sigadis biru takkan menang melawan NING berkain kebaya ini... Benar-benar merdu suaranya, tidak hanya suara ketawa juga kalau bicara.
"Kau mimpi, mas Har? Didusun kami mana ada hotel? Kau kira akan menemui hotel seperti Hotel Indonesia di Jakarta atau hotel Ambarukmo di Yogyakarta?"
"Heee, kau sudah tahu hotel-hotel besar itu?"
"Tahu saya, kan termuat di majalah-majalah?"
"Eh, ini bagaimana sih? Masa sejak tadi hanya berdiri saja. Hajo kita bercakap-cakap sambil berjalan, akan tidak sampai-sampai nanti,"
Cela Ibu Waluyo. Ketiganya tertawa dan melanjutkan perjalanan. Tentang berdiam dirumah janda dan anaknya ini agaknya tidak menjadi persoalan lagi, secara otomatis sudah ditetapkan walaupun Haryanto tidak menyatakan apa-apa lagi. Rumah Ibu Waluyo sederhana saja. Bukan sebuah gubuk reyot, akan tetapi sama sekali bukan gedung atau villa. Rumah papan dengan empat buah kursi mengelilingi meja pincang yang menjadi tempat makan, tempat duduk dan tempat melakukan apa saja sambil duduk, Ada dua buah kamar bilik, biasanja sebuah untuk Bu Waluyo yang sebuah lagi untuk Sriningsih. Akan tetapi setibanya dirumah, Sriningsih mengangkuti pakaiannya, dipindahkan kekamar ibunya.
"Kau tidurlah dikamar ini, nak Haryanto. Tentu saja buruk, seadanya saja, ya?"
Haryanto memasuki kamar bekas kamar tidur Sriningsih. Memang sederhana, terlalu sederhana. Hanya sebuah dipan kayu tanpa kasur.
Penyangga tubuh lelah hanya tilam bambu ditumpangi tikar bersih, berbantal satu. Akan tetapi ganda harum sedap menjenangkan hatimja. Ia menaruh ranselnya diatas meja kecil dekat dipan, lalu bersama nyonya dan nona rumah duduk menghadapi meja. Hari sudah mulai gelap dan Sriningsih menyalakan lampu minyak. Suasana dalam rumah kecil remang-remang, amat romantis bagi seorang yang berjiwa romantis seperti Haryanto, seperti semua pengarang. Setelah makan seadanya, ini istilah Bu Waluyo apa-apa serba "seadanya"
Mereka bertiga duduk ditempat yang itu-itu juga. Hanya bedanya, sekarang meja sudah dibersihkan daripada piring, tempat nasi dan tempat sajur lodeh. Haryanto mengisap rokok kretek nya. Ia merasa tubuhnya segar setelah mandi tadi. Sriningsih juga nampak segar, berganti kain dan kebaya berwarna putih berkembang kuning.
"Dik NING, maaf ya? Tadi ketika aku bertemu dengan kau dan ibu, dari belakang kok kelihatan kau seperti menangis. Betulkah? Dan mengapa pula? Biarpun baru beberapa jam berkenalan, karena sikap Sriningsih yang amat peramah dan akrab, juga sikap Ibu Waluyo yang amat baik, Haryanto tidak merasa berat untuk mengajukan pertanyaan ini. Sriningsih nampak malu-malu dan mengerling ibunya. Ibu Waluyo tersenyum melongo dan menjawab,
"Ya, itulah, nak Haryanto. benar-benar memusingkan kepalaku. Coba saja kau pikir, masa anak perempuan sudah dewasa kok mau ikut-ikutan sayembara nyanyi segala, jauh lagi, ke Surabaya!"
Haryanto tercengang.
"Sayembara nyanyi? Eh, dik NING, betulkah ini? Kiranya kau seorang juara nyanyi!"
Ia berkelakar.
"Ah, mas Har jangan ngece (mengejek)!"
Sriningsih dengan aksi manja dan kemayu mencubit lengan Haryanto.
"Aduh!"
Haryanto menarik lengannya, setengah terheran akan keberanian dara ini bergurau.
"Aku tidak mengejek. Kalau kau sudah berani hendak ikut memasuki sayembara nyanyi, tentu kau sudah ahli."
"Sebetulnya aku tidak suka, nak Haryanto. Punya kesenangan bernyanyi saja kok grubyak-grubyuk kesana kemari dengan tukang-tukang keroncong. Kalau memang senang nyanyi, mbok ya nyanyi saja dirumah sekerasnya dan sepuasnya, kan sama saja?"
Haryanto memaklumi alam fikiran orang-orang tua. Alangkah akan janggalnya kalau pendirian seorang kolot seperti ibu Waluyo ini diturut. Misalnya saja dia, kalau kesenangannya mengarang cukup hanya menulis dan dibaca olehnya sendiri saja, apa artinya? Ia tentu saja dapat menyelami hati Sriningsih, seperti seniman-seniman lainnya tentu saja ingin mencapai kemajuan dan cita-citanya sama saja dengan pengarang, ingin melakukan sesuatu yang dapat menyenangkan banyak orang dan terutama ingin dikenal karena hasil karyanya. Akan tetapi betul-betul dia tidak mengira bahwa Sriningsih adalah seorang biduanita!
"Kau biasa bernyanyi dengan Perkumpulan mana, dik?"
"Ah, baru belajar kok, mas Har. Semenjak aku di SMP Blitar dulu, aku sudah suka bernyanyi. Kemudian aku berlatih dengan orkes di Blitar sampai sekarang. Setelah tidak bersekolah lagi dan tinggal disini, hanya satu minggu sekali, aku berlatih ke Blitar. Kata kawan-kawan, aku ada harapan. Karena itu aku ingin sekali mengikuti sayembara Bintang Radio di Surabaya. Tapi, ah... ibu melarang..."
Ia nampak kecewa sekali.
Malam hari itu Haryanto tak dapat tidur cepat. Pikirannya melayang jauh, menghidupkan kembali semua pengalamannya semenjak meninggalkan rumah, subuh tadi sampai malam ini. Atau sebetulnya, semenjak ia "mencium"
Tengkuk orang tanpa ijin didalam otobis tadi siang! Wajah NING bergaun biru dan NING berkain kebaya ganti-berganti muncul didepan matanya dan inilah sebetulnya yang membuat ia susah tidur. Akan tetapi, kelelahan tubuhnya akhirnya menang dan ia tidur nyenyak. Atau, dapatkah itu disebut nyenyak kalau ia tersenyum-senyum dalam tidurnya, ganti berganti ia bertemu dengan kedua orang NING itu?
Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo