Drama Gunung Kelud 3
Drama Gunung Kelud Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
Haryanto juga demikian, tak mungkin dapat membebaskan diri daripada gairah yang timbul oleh dara yang luwes, denok dan ayu itu. Akan tetapi Karto tidak sekuat Haryanto batinnya, atau lebih lagi daripada itu, Karto malah memelihara keisengan yang di perkembang oleh dorongan nafsu. Nafsu berahi semata, yang sebetulnya tidak sukar untuk dilawan oleh manusia yang sehat jiwaraganya. Karto malah menghambakan diri kepada Nafsudan ia tergelincir kedalam jurang kehinaan, menyeret diri Sriningsih. Karto bukanlah seorang laki-laki yang berwatak jantan. pertanggungan-jawabnya twrhadap perbuatannya itu memang ada dan ia akui, akan tetapi hanya Iemah dan tipis saja. Pertanggungan-jawab yang dipaksakan. Orang macam Karto ini akan menganggap bahwa wanita hanyalah semacam benda yang menjenangkan, untuk dijadikan permainan.
Orang macam dia tidak akan pernah menghormat wanita didalam hatinya, mungkin hanya ibunya yang menjadi kecualian. Karena itu, Sriningsih takkan menjadi isteri yang bahagia disamping Karto. Renungan-renungan Haryanto ini membuat ia tak merasa lagi betapa bekas-bekas tangan lawannya itu hebat juga. Sebelah matanya biru, bibirnya pecah dan hidungnya agak membengkak. Semua itu tidak dirasainya, ia sudah tenggelam kedalam lautan khayalnya dan membentuk kerangka romannya. Besoknya, pagi-pagi benar ia sudah keluar rumah. Kali ini ia pergi sebelum minum kopi. Memang disengaja agar jangan bertemu muka dengan Sriningsih untuk menjaga agar dara itu tidak merasa malu. Memang pada dasarnya Haryanto memiliki perangai halus, segan hatinya untuk melukal perasaan orang lain, enggan ia sebetulnya melihat orang lain menderita.
Hari itu Haryanto kembali kerumah Bu Waluyo sekira jam enam petang. Wajahnya agak pucat, dadanya masih berdebar dan Bulu-tengkuknya masih meremang. Baru saja ia mengalami hal yang amat aneh dan menjeramkan. Ketika ia melalui sebuah tanah kuburan yang sunyi dan angker, ia mendengar suara laki-laki yang parau kasar berteriak-teriak,
"Le, muliha, le... muliha (Nak, pulanglah, nak... pulanglah!)"
Suara ini berulang-ulang mendengung ditelinganya. Ia sudah berusaha mencari siapa yang berteriak seperti itu, akan tetapi tidak berhasil.
Suara itu seperti datang dari atas, kadang-kadang seperti dari bawah tanah. Ia sudah berusaha membantah perasaan hati-nya yang merasa serem itu dengan dugaan bahwa tentulah suara itu suara seorang penduduk dusun yang menteriaki anaknya disuruh pulang. Agaknya suara itu terbawa angin dan sampai ditempat sunyi itu, terdengar olehnya. Betapapun ia berusaha membantah, berusaha meyakinkan hatinya bahwa segala macam tahyul itu hanyalah bayangan khayali dari hati dan pikiran manusia sendiri yang timbul karena perasaan takutnya, namun ada suara dihatinya membantah bahwa tidak mungkin kalau suara itu suara seorang penduduk dusun memanggil anaknya. Suara itu terdengar jelas sekali, seperti didekat telinganya, suara yang serak dan besar, begitu jelas dan berulang-ulang, ada enam kali, suara yang penuh desakan, penuh dorongan seakan-akan membetot dan menariknya untuk segera pulang!
"Aneh! Tak mungkin! Tak perlu aku ketakutan seperti anak kecil. Rencanaku pulang besok. Masa hanya karena suara begitu saja aku memaksa diri sekarang malam-malam pulang? Lantas naik apa?"
Demikian Haryanto mengusir kekuatirannya. Ibu Waluyo agaknya sudah mendengar tentang peristiwa semalam. Biarpun mulutnya tidak mengatakan sesuatu tentang itu, namun pandang matanya jelas sekali membayangkan perubahan. Dan tegurannya terhadap Haryanto juga berbeda,
"Bagaimana, nak Haryanto. Sudah lengkapkah catatan-catatanmu?"
Haryanto menggerakkan kerongkongannya. Serasa ia mendengar sambungan pertanyaan ini, begini kira-nya kalau disambung.
"Kalau sudah lengkap supaja segera meninggalkan rumah ini!"
"Anu, bu. Sudah lengkap sekarang... karena itu, besok pagi saja mau pulang."
Ibu Waluyo memperlihatkan muka kaget. Inipun pura-pura, pikir Haryanto. Besok pagi ia akan meninggalkan semua bekal uangnya kepada ibu ini, pergi dan... habis perkara. Tentang Sriningsih, ah, biar dia mendoakan saja semoga segala renungannya akan diri Karto itu tak benar, semoga Sriningsih kelak akan dapat hidup bahagia dengan Karto sebagai suaminya yang sah.
"Kau... mau pulang..., mas...?"
Suara Sriningsih terputus-putus, mengandung haru, lirih dan ketika Haryanto menoleh ia melihat wajah yang pucat, mata yang. memandang penuh permohonan supaja dikasihani.
"Betul, dik. Sudah selesai pekerjaanku disini.. Dan aku merasa berterima kasih sekali atas kebaikan budi kau dan ibumu jahg sudah sudi menampungku selama beberapa hari ini,"
"Aaah, nak Har, lagi-lagi kau bilang begitu. Kau berdiam disini, makan dan tidur amat bersahaja, seadanya. Siapa tahu lain waktu kau akan membalas kami dengan pemberian yang jauh lebih berharga?"
Ibu Waluyo meninggalkan Haryanto untuk mempersiapkan makan malam. Sriningsih melangkah dekat. Dipandangnya wajah pemuda itu dan suaranya menggetar ketika ia berkata,
"Mas Har, kau... kau ampunkan aku, ya. mas? Aku membikin kau banyak pusing dan menderita dan dan mukamu itu, kau...terluka, mas? Mari kuobati, mas..."
Haryanto tersenyum. Senang juga hatinya melihat Sriningsih nampak menjesal sekali itu. Pertanda baik bagi seorang penyeleweng kalau dia sudah merasa menjesal akan penyelewengannya.
"Ah, tidak apa, dik. Hanya bengkak sedikit, lumrah bagi laki-laki. Dik Ningsih, malam ini kita tak dapat banyak bercakap, Selagi ada kesempatan sekarang, ingin aku meninggalkan pesan nasihatku kepadamu. Terimalah dengan senang, ya dik?"
Sriningsih mengangguk dan siap mendengarkan dengan kepala menunduk.
"Dik Ningsih, kau tahu bahwa aku tidak benci kepadamu, bahwa aku suka kepadamu dan aku tidak ingin melihat kau menderita. Urusanmu dengan Karto pasti akan beres, setelah aku pulang, aku akan mengumpulkan uang dan akan kukirimkan kepadamu untuk biaya pernikahanmu. Dan yakinlah, aku pasti akan datang menghadiri, yakni kalau... kalau kau beri undangan, tentu. Yang baik-baik kau menjaga diri-mu, dik. Kurasa Karto akan dapat menjadi seorang suami yang baik asal saja kau pandai menguasainya. Dan kau tenangkanlah hatimu, segala apa yang terjadi disini ketika aku berada disini, hanya Tuhan dan kita saja yang akan mengetahuinya dan bagiku, semua itu hanya mimpi, dik. Cita-citamu dalam bidang senisuara itu baik, dengan Karto disampingmu sebagai suami, kiraku tiada halangannya kelak kau melanjutkannya. Aku akan selalu berdoa semoga kau akan mendapat kebahagiaan dalam hidupmu dan akan tercapai segala apa yang kau cita-citakan..."
Airmata bercucuran disepanjang kedua pipi yang bulat itu. Tidak diusapnya hujan airmata itu. Kedua tangan dengan jari-jari yang halus itu hanya mempermainkan ujung kebaya. Haryanto sendiri tidak berani, dan tidak dapat menyelami apa yang sedang tersirat dalam hati dara ini pada saat itu. Karena kuatir kalau-kalau Ibu Waluyo keluar dan melihat keadaan mereka seperti itu, Haryanto lalu mundur dan memasuki kamarnya, siap untuk pergi mandi. Sehabis mandi mereka makan bersama tanpa banyak bicara, kemudian Haryanto memasuki kamarnya lagi untuk berkemas. Ia bermaksud pulang pagi-pagi benar besok, maka lebih baik malam ini ia berkemas agar besok tinggal berangkat saja. Pakaian kotor yang digantinya sorehari ini tidak disuruh mencuci, melainkan ia masukkan pula dalam ransel. Buku-buku tulis yang penuh catatan, lima buah banyaknya, dengan hati-hati ia masukkan di kantong ransel.
"Le..., muliha, le... muliha...!"
Bagaikan terkena aliran listrik, Haryanto melonjak berdiri. Suara itu lagi!
"Nak, pulanglah... sekarang juga l"
Suara itu diluar rumah! Haryanto meloncat keluar kamarnya, lari kepintu depan dan membukanya dengan kedua tangan menggigil. Kiranya suara tadi adalah suara seorang bapak memanggil pulang anak-laki-lakinya. Dan bukan hanya orang itu yang ribut, melainkan seluruh dusun ribut, ada yang mencari anaknya, ada yang lari kesana-kemari. Akan tetapi Haryanto tak sempat memperhatikan itu semua. Wajahnya berdongak, ia memandang keatas, matanya terbelalak, wajahnya pucat, mulutnya serasa kering dan jantungnya seakan-akan sudah meloncat keatas mengganjal kerongkongannya. Ia tidak tahu lagi kapan datangnya Ibu Waluyo dan Sriningsih disebelahnya. Dua orang wanita itupun menggigil seluruh tubuh mereka, mengeluarkan suara,
"Heh-heh-huh huh"
Tidak menentu, wajah pucat mata terbelalak memandang keatas. Diiringi suara gemuruh, gemeluduk, susul-menjusul bagaikan guruh dimusim hujan, terlihat pemandangan yang indah menakutkan. Dipuncak Kelud tampak awan bergulung-gulung naik perlahan-lahan, didalamnya mengandung kilatan api berpancaran seperti kembang api, seperti lidah ribuan ekor naga terbang, merah mengerikan. Langit disekitanya menjadi kilau-kemilau, putih laksana perak, letupan-letupan api menjembur seperti mulut-mulut meriam memuntahkan peluru mautnya.
"Ya Tuhan..."
Dengus Haryanto.
"Gunung Kelud... mengamuk... Otomatis ditelinganya, diantara suara gemuruh menghebat itu, terngiang suara Pak Bunaris,
"...Tak lama lagi, sudah terasa oleh tulang punggungku, Kelud akan mengamuk..."
Baru kemarin-dulu ia mendengar suara pak Bunaris ini, ramalan bertahyul. Dan tadi, dikuburan tadi, suara siapakah yang menjuruhnya pulang? Letusan makin keras dan makin gencar, dahsyat mengguncangkan bumi. Langit yang tadinya terang oleh bulan dan bintang, tiba-tiba menjadi gelap, kecuali dibagian puncak Kelud. Dusun itu sudah kacaubalau seperti dalam perang. Penduduknya sudah seperti "gabah den interi"
Saling tunjang saling tubruk, jerit ketakutan terdengar disana-sini. Kacau, cemas, ngeri, serem!
"Bu... dik... hajo kita pergi mengungsi. Berbahaya sekali agaknya disini..."
Haryanto yang belum pernah mengalami hal serupa ini, suaranya gementar. Panik juga dia melihat olah-laku para penduduk. Ingin ia lari pergi dari situ, namun sebagai seorang ia merasa bertanggungjawab terhadap Sriningsih dan ibunya. Tak layak ia tinggalkan pergi mereka ini.
"Mari bu, kita pergi mengungsi bersama orang itu..."
Akan tetapi, seperti orang yang sudah tidak normal lagi, ibu tua ini hanya menggeleng-geleng kepala, tanpa memindahkan pandang matanya dari atas, dari cahaya berkilat-kilat dan awan hitam yang perlahan-lahan membentuk suatu bentuk yang mengerikan. Disinilah khayal setiap orang mencipta, agaknya sesuai dengan selera masing-masing, terdorong oleh rasa takut yang amat hebat. Bagi Ibu Waluyo, asap dan awan hitam itu membentuk kepala seorang raksasa yang dahsyat mengerikan. Dengan tangan gementar, Ibu Waluyo mengeluarkan seuntai tasbeh, mulutnya yang ompong berkemak-kemik, jari-jari tangan memutar-mutar tasbeh, sepasang matanya yang kecil terbelalak tak pernah berkedip memandang keatas.
"Bu... dik... kita harus mengungsi..."
Sekali lagi Haryanto berkata, juga pandang matanya lekat kepada penglihatan diatas itu. Sekilat tampak betapa dari puncak gunung muncrat benda-benda hitam, suara bergemuruh makin mengeras.
"Dik Sri...! Dik Sri...!"
Sesosok bayangan berlari mendatangi.
"Mas Karto..."
Baru sekarang Sriningsih dapat mengeluarkan kata-kata dan dilain saat ia telah menangis dalam pelukan Karto. Bu Waluyo yang sudah seperti berubah menjadi patung itu tak perdulikan ini semua, melirikpun tidak. Karto merangkul Sriningsih, diajak masuk rumah. Haryanto tentu saja melihat ini dan ia merasa jengah dan segan untuk ikut masuk. Biarlah, Sriningsih ditolong oleh Karto, memang itu kewajiban dan haknya. Ibu ini harus kutolong, pikirnya. Ia memegang pundak Ibu Waluyo.
"Ibu, lekaslah... hajo kita pergi lari, mengungsi... lihat, sudah mulai hujan batu dan abu... lekas, bu..."
Akan tetapi Ibu Waluyo benar-benar sudah tak sadar lagi, tetap berdiri mematung, terbelalak, berkemak-kemik, memutar-mutar tasbeh didepan pintu rumahnya. Sia-sia saja Haryanto membujuk-bujuk, malah ketika ia menyeret tangan ibu itu, Ibu Waluyo melawan dan baru pertamakali ini ia bersuara,
"Setan kau! Pergi, jangan ganggu aku! Hihi-hi, kamanapun kau lari, tetap akan ditelan oleh DIA itu. Lihat... lihat, bagaimana kau bisa lari dari kejaran DIA...?"
Dengan telunjuk menggigil ibu ini menuding kearah gumpalan asap menghitam dipuncak. Haryanto bergidik. Bukan karena bentuk asap hitam yang mengerikan itu, melainkan terutama sekali karena ia maklum bahwa oleh kaget dan takut, ibu ini sudah terganggu jiwanya. Bagaimana ini? Ah, aku sudah berusaha, kalau tidak mau, bagaimana dapat dipaksa? Aku harus pergi, cepat! Aneh, sayup-sayup terdengar lagi suara dikuburan tadi,
"Le, muliha, le... muliha...!"
Haryanto lari kedalam rumah, memasuki kamarnya, hendak mengambil ranselnya. Andaikata ia tidak ingat akan Buku-buku catatannya, kiranya ransel itupun takkan diambilnya. Dalam keadaan seperti itu, siapa butuh dan ingat akan pakaian? Tapi Buku-buku catatan itu penting, amat penting sekali baginya, lebih berharga daripada pakaian, jangankan seransel, selemaripun ia lebih menghargai catatan-catatannya!
"Celaka...!"
Haryanto bingung mencari kesana-kemari. Ranselnya hilang! Ia ingat betul, tadi ia kemaskan dan taruh diatas meja. Bagaimana sekarang bisa lenyap? Kemana larinya dan siapa yang. mengambilnya? Mengambil... ah, yang masuk hanya Karto dan Sriningsih. Haryanto berlari keluar, seperti gila ia menerjang memasuki kamar yang sebuah lagi. Kosong!
"Dik Ningsih...!"
Tiada jawaban.
"Karto...! Dik Ningsih...!"
Sia-sia ia memanggil dan mencari-cari. Rumah itu kosong. la menengok kedepan, bulu-tengkuknya berdiri. Ibu Waluyo berdiri sambil tertawa-tawa seorang diri dan kilatan cahaya kemerahan masih menghebat, seakan-akan disebelah depan Ibu Waluyo terbentang neraka. Haryanto melompat dan lari keluar melalui pintu belakang. Pintu dapur sudah terbuka lebar-lebar dan ia menduga bahwa dua orang itu tentu lari mengungsi melalui pintu ini pula. Ah, dalam keadaan seperti ini dik Sriningsih masih ingat untuk menyelamatkan ranselku, pikirnya.
Memang pada dasarnya, dihati pemuda ini tak pernah terkandung dugaan yang buruk terhadap lain orang. Ia mengejar terus. Beberapa orang yang sedang sibuk menyiapkan harta miliknya untuk dibawa mengungsi, menunjukkan jurusan kemana Karto dan Sriningsih berlari-lari. Haryanto mengejar terus. Bodoh, pikir Haryanto dengan hati berdebar. Mengapa Iari mendekati kali? Akan menjeberang? Bagaimana kalau lahar keburu datang? Lahar menerjang dusun-dusun melalui kali-kali, demikian diantaranya catatan yang ia peroleh dalam penyelidikannya. Sebaiknya menjauhi kali-kali, dan tempat mengungsi yang terbaik adalah dataran-dataran tinggi, terutama gunung Pegat, atau dilereng-lereng yang menonjol tinggi, atau kalau terpaksa di pohon-pohon yang besar dan berakar kuat sehingga tidak mudah terseret lahar. Akan tetapi jangan sekali-kali dipinggir kali! Mengapa sekarang dua orang itu lari kearah kali?
"Dik Ningsih...!"
Ia memanggil-manggil sambil berlari kearah yang ditunjuk orang. Makin Iama makin sunyi, tidak ada orang setelah tadi banyak orang lari dari jurusan itu, malah pergi menjauhi sungai. Kilatan api makin terang, gemuruh suara makin dahsyat.
"Dik Ningsih I"
Alangkah girang hatinya ketika ia melihat bayangan dua orang berlari-lari didepannya. Paling jauh hanya tigaratus meter lagi.
"Dik Ningsih...! Karto...! Tunggu, aku Haryanto...!"
Suara-nya keras, ia memekik sekuat tenaga. namun tak dapat mengatasi suara gemuruh Gunung Kelud. Dan kembali terdengar suara itu, ataukah itu suara gemuruh itu sendiri?
"Nah... pulanglang, nak...!"
Dari jauh Haryanto melihat jelas sekarang. Ningsih dan Karto! Akan tetapi, apa itu...? Mereka bertengkar, malah berkelai! Saling membetot dan... bukankah itu ranselnya yang diperebutkan? Ah, Karto menjotos dan... Sriningsih roboh. Hujan batu makin menghebat. Haryanto terhuyung-huyung ketika sebuah batu mengenai kepalanya. Darahnya mengucur. Ia lari kearah Sriningsih yang sudah menggeletak miring setengah tertelungkup, dilihat oleh Karto yang juga sudah luka-luka itu. Karto berdiri dengan kaki dipentang, agaknya kaget dan takut melihat Sriningsih menggeletak tak bergerak. Ketika Haryanto melihat keadaan Sriningsih, naik darahnya.
"Keparat jahanam, dalam keadaan seperti ini kau malah memukulnya? Hendak merampas ranselku?"
Haryanto marah sekali, diterjangnya Karto. Dipukulnya bertubi-tubi tanpa merasai lagi pukulan-pukulan lawan. Untuk keduakalinya mereka berkelai lagi. Bertinju, bergulat, cekik-mencekik, terhuyung-huyung kesana-kemari. Sementara itu, gemuruh makin menghebat, letusan-letusan makin keras. Hujan batu dan abu makin deras, tercampur pasir.
Dua orang laki-laki itu terus saja berkelai. Seakan gemuruh itu menjadi gamelan dan halilintar berkilat-kilat itu menjadi hiasan panggung, menjadi lajar belakang. Haryanto sudah marah sekali, kemarahan yang tidak sewajarnya, yang membuatnya nekat dan kuat. Karto terkena pukulan pada perutnya, demikian kerasnya sampai tubuh Karto terlempar kebelakang, seperti burung kena batu-ketapel. Ia mengerang dan melingkar-lingkar memegangi perutnya. Haryanto membungkuk, membalikkan tubuh Sriningsih, dirangkul lehernya dan didudukkan. Darah membasahi pipi yang pucat itu, rambutnya riap-riapan, amat hitam, terlalu hitam sehingga wajah itu nampak lebih pucat lagi. Kebayanya juga sudah ternoda darah disana-sini. Dipondongnya tubuh Sriningsih, harus dibawa pergi cepat ketempat aman, pikirnya.
"Glegerrrr...!"
Letusan yang amat keras mengguncangkan tanah yang dipijaknya. Pondongannya terlepas, tubuh Sriningsih terjatuh dan ia sendiri roboh terguling. Hebat sekali letusan tadi. Ketika ia merangkak bangun, ia melihat Karto sudah merajap pergi, membawa ranselnya!! Akan tetapi Karto jatuh lagi, bersamaan waktunya dengan Haryanto yang juga roboh terguling ketika hujan batu menimpa dari atas. Batu-batu yang panas.
"Karto... lekas... mari kita tolong dik Ningsih pergi dari sini...lekas, kau bantulah..."
Dengan susah-payah karena ia sendiri kehabisan tenaga, Haryanto menghampiri Sriningsih dan dipondongnya lagi. Kalau diangkat bersama Karto, tentu lebih ringan dan dapat dibawa lari ketempat aman.
"Karto, bantulah.... ini..."
"Ha-ha-ha-ha! Kau bawalah dia, kau ambillah perempuan itu... ha-ha-ha... aku rela, boleh kau menerima tubuhnya dariku... sebagai pengganti ransel dan isinya ini. Ha-ha-ha, kau bawalah dia, Haryanto...!"
Biarpun berada dalam keadaan seperti itu, Haryanto sampai menjadi tertegun, kesima dan tak dapat bergerak mendengar suara ini. Bulu-tengkuknya meremang. Betulkah ada orang serendah ini martabatnya? Ataukah dia sudah gila? Sudah tidak waras lagi ingatannya seperti Ibu Waluyo? Karto masih tertawa-tawa sambil menyeret ransel dan tubuhnya sendiri, terhuyung, jatuh bangun lagi, masih tertawa-tawa. Haryanto memondong tubuh Sriningsih, terbongkok bongkok, seperti orang mabok ia berjalan, terlampau berat beban itu bagi tubuhnya yang sudah lemas.
"Glegerrrr...!"
Ia roboh bersama Sriningsih, roboh telentang dan tubuh Sriningsih menimpanya. Asin mulutnya terkena darah yang berlumuran dari pipi gadis itu. Terdengar suara berkerasakan, suara air!
Itulah lahar, pikirnya, teringat akan catatannya. Lahar datang! Ingatan ini mendatangkan tenaga baru baginya. Cepat ia bangkit, dipondongnya tubuh Sriningsih, dibawa lari. Sempat ia melihat Karto yang tertawa-tawa itu tiba-tiba roboh sambil memekik liar, pekik seperti seekor kerbau disembelih, yang pernah didengarnya ketika dikampungnya diadakan selamatan menjembelih kerbau. Ia tahu apa maknanya pekik ini. Karto terseret lahar! Tiba-tiba Haryanto menjadi panik. Ia lari tanpa tujuan tertentu lagi. Asal lari, lari jauh dari lahar yang datang sambil menggeram-geram, berkerosokan, seperti iblis maut yang mengejarnya dengan kuku-kuku meruncing dari tangan-tangan yang hendak mencengkeramnya. Tiba-tiba ia mendengar suara diantara gemuruh gunung dan berkerasaknya air lahar itu, suara yang parau dan kasar, seperti yang. didengarnya dikuburan tadi,
"Le..., mrene... le, mrene... (Nak, kesini... nak, kesini...)"
Dengan tubuh sakit-sakit dan kepala pe NING, Hadanto yang sudah tak dapat berpikir lagi itu menujukan langkah kakinya kearah suara. Jalannya menanjak, amat sukar, bebannya berat, namun ia paksakan. Tekad hatinya hanya satu. Sebelum mati ia berpantang melepaskan tubuh Sriningsih! Inilah tekad ksatrya yang. memang menjadi dasar watak Haryanto.
"Le... mrene, le..."
Hampir Haryanto tak kuat lagi. Suara itu datang dari sebatang pohon besar. Beberapa kali ia tersandung batu, jatuh dan bangun lagi dengan amat sukar. Pikirannya sudah gelap dan akhirnya, dengan seluruh tenaga yang masih ada padanya, ia mencapai bawah pohon, roboh terguling bersama Sriningsih sambil mengeluh,
"...Tolonglah... tolonglah..."
Ia tidak ingat kepada siapa ia minta tolong, dan tidak ingat lagi apa yang selanjutnya terjadi!
* * *
Bukan main hebatnya ledakan Gunung Kelud pada bulan Mei 1966 itu. Hebat luarbiasa, malah menurut catatan sejarah, tidak kalah hebatnya oleh ledakan 1919! Meledak tak tersangka-sangka, menimbulkan kerusakan dan kematian yang tak tersangka-sangka pula. Terowongan dan saluran yang sudah dibuat manusia sebelumnya, sebagai penjagaan dan pencegah menghebatnya bencana, ternyata tidak banyak menolong. Suara yang terdengar diwaktu itu, dimalam peletusan, bermacam-macam menurut pendengaran orang. Bergemuruh berkerasak, seperti ribuan tentara berkuda, seperti kereta-api raksasa, seperti guntur yang sambung menyambung, pendeknya seperti semua suara yang menyakitkan telinga dan menakutkan hati.
Langit menjadi gelap pekat kecuali disekitar puncak Kelud, hujan batu dan abu, terutama abu, amat deras sampai tempat-tempat jauh. Sungai-sungai penuh dengan lahar panas yang kental seperti bubur berwarna kemerahan dan yang mengalir amat derasnya, secepat mobil! Sungai yang kurang dalam dan kurang lebar, tak dapat menampung aliran lahar ini, meluap dan lahar panas membawa tangan-tangan maut mengamuk ke dusun-dusun, merobohkan rumah, menumbangkan pohon-pohon, menggodok hidup-hidup manusia dan ternak. Ngeri... amat ngeri akibatnya. Tidak saja pakaian ditubuh menjadi habis terbakar, juga kulit dan daging hancur-luluh seperti daging yang terlalu lama dimasak. Jembatan-jembatan yang kuat menurut ukuran manusia, diseret dan dihancurkan, rumpun-rumpun bambu juga tidak tahan menghadapi arus lahar yang maha kuat dan hebat ini.
Jembatan Sangut yang amat kokoh-kuat, ternyata lemah bagi banjir lahar, terseret dan lenyap tak berbekas. Dentuman-dentuman letusan Kelud sedemikian dahsyatnya sehingga menggetarkan bumi dan guncangan-guncangan telah memutuskan kabel-kabel listrik, merobohkan tihang-tihang dan mematikan aliran. Hujan abu dan pasir berlangsung sampai berjam-jam. Di Kali Lahar di jalan Pekunden (Blitar) kelihatan mayat-mayat manusia terhimpit diantara pohon-pohon, bangkai-bangkai kerbau, kambing, babi dan sapi. Menyedihkan sekali kalau melihat mayat-mayat manusia itu. Semuanya tidak berpakaian lagi, malah ada yang sudah hilang kepalanya, tangannya atau kakinya. Hebat! Seperti juga ditahun 1919, kali ini amukan Kelud yang terhebat adalah barat. Lahar yang dimuntahkan kejurusan timur menjerbu Kali Putih yang terletak antara Garum dan Talun.
=============
Lahar ini memenuhi Kali Putih, meluap dan menghancurkan jembatan-jembatan jalan raya dan jembatan kereta-api, menyeret rumah-rumah di dusun-dusun yang agak rendah. Masih untung bagi kota Blitar, lahar yang menjerbu kejurusan kota ini dapat tersalur melalui kali Lahar, hingga malapetaka yang paling hebat dapar dihindarkan. Lahar yang dimuntahkan kejurusan baratlah yang paling hebat. Menerjang kampung-kampung dan minta korban jiwa manusia paling banyak. Apalagi dusun Jatilengger, diamuk lahar amat hebatnya. Disinilah kerusakan paling hebat dan korban manusia paling besar. Desa ini dilanda lahar dan terbenam lahar setinggi dua meter lebih. Bayangkan! Lahar yang panasnya melebihi air mendidih. Berita tentang kehebatan akibat perletusan Gunung Kelud dalam bulan Mei 1966 ini hanyalah sebagai penambah saja.
Berita tentang itu sudah banyak di muat di surat-surat kabar dan di majalah-majalah. Usaha-usaha pertolongan serentak dilakukan. Bencana Gunung Kelud merupakan bencana nasional dan seluruh bangsa Indonesia berbelasungkawa. Bantuan-bantuan membanjir, tidak hanya berupa materi, akan tetapi juga tenaga-tenaga manusia. Bangsa Indonesia yang berpancasila adalah bangsa yang berprikemanusiaan. Jangankan bangsa sendiri yang tertimpa malapetaka, bangsa lainpun yang menderita sengsara oleh bencana alam cukup menggerakkan haru dan iba di hati sanubari bangsa Indonesia. Uluran-uluran tangan sukarela membanjir. Korban-korban ditampung, klinik-klinik darurat diadakan. Perawat-perawat dari segala lapisan masjarakat turun-tangan, merawat para korban penuh cintakasih prikemanusiaan.
Tidak ada perbedaan, tidak ada kaya-miskin, rakjat besar atau rakjat kecil, yang ada hanya manusia bersengsara. Seorang pemuda yang seluruh tubuhnya dibalut, hanya tampak mukanya saja, rebah diatas sebuali dipan dirumah sakit Blitar. Biarpun hanya sedikit bagian mukanya yang terbuka, cukup untuk dapat dikenal. Dia Haryanto! Orang telah menolongnya dari atas pohon nangka, dimana ia duduk diatas cabang memeluk dahan dan daun, dalam keadaan tidak ingat orang dan badan penuh luka! Haryanto terserang demam, tiada hentinya ia mengigau. Nenek dan ibunya sudah mendengar. Mereka datang mengunjunginya kerumah sakit, tiga hari kemudian. Haryanto sudah ingat, akan tetapi masih agak kacau pikirannya. Dua orang wanita itu menubruknya dan menangis tersedu-sedu. Neneknya sambil menangis mencelanya,
"O... ALLAH... Har... kenapa kau tidak menurut nasihatku? Kenapa kau melanggar pantanganku? Kau juga menjadi korban kutuk Kelud..."
"Sudahlah, ibu jangan salahkan dia. Sudah terlanjur, baiknya dia akan tertolong. Dokter tadi menyatakan bahwa ia hanya menderita luka-luka dan demam..."
Ibu Haryanto menghibur nenek itu karena ia merasa kasihan kepada puteranya yang sudah tertimpa malapetaka masih dimarahi lagi. Haryanto tersenyum kepada ibu dan neneknya.
"Kelud memang hebat..."
Keluhnya.
"Bagaimana kau bisa berada disana, Har?"
Neneknya mendesak, biarpun ibu pemuda itu memberi isarat agar jangan terlalu banyak bertanya. Akan tetapi dalam keadaan masih kacau pikirannya itu Haryanto sudah bercerita kepada ibu dan neneknya. Bercerita selengkapnya tentang pengalamannya di Jatilengger, tentang Ibu Waluyo, tentang Sriningsih dan tentang Karto. Sinar mata Haryanto berpancar aneh ketika ia bercerita mungkin di sebabkan karena demamnya. Ia mengakhiri ceritanya dengan suara penuh haru,
"Aku pingsan, bu. Dan tahu-tahu aku telah berada diatas pohon itu, nek. Aku seperti mimpi, melihat seorang kakek menolongku, menarikku keatas pohon itu. Aku minta dia menolong Sriningsih, akan tetapi dia malah terkekeh, tidak mau dan meloncat pergi. Ketika aku hendak turun menolong Sriningsih, ah..."
Haryanto bergidik.
"Lahar telah datang, lahar telah menyeret Sriningsih. Aku melihat dia berkelojotan sebentar, lalu lenyap..."
Ia berhenti sebentar, lalu berkata lagi "Melihat itu, aku menjadi pusing, aku menjerit-jerit dan selanjutnya aku tidak ingat lagi, tahu-tahu sudah berada disini..."
Neneknya dan ibunya saling pandang, keduanya mencucurkan airmata dan keduanya menjadi amat pucat wajahnya.
"Har... Har... ah, perempuan itu bernama Sriningsih? Dan kakek itu ada luka dikeningnya, bukan?"
Ketika Haryanto mengangguk, neneknya menangis.
"Ah, Har, dia itu kakekmu, Har... ah, dia agaknya telah menebus dosa dan menolongmu. Dan perempuan itu, Har namanya Sriningsih? Tahukah kau...? Nama ledek yang menggoda kakekmu dulu itu, namanya."
Namanya juga Sriningsih!"
Haryanto terbelalak memandang muka neneknya, yang tersenyum tertawa tapi matanya bercucuran airmata. Biarpun sedang dalam keadaan setengah mengigau, namun khayal pengarangnya masih belum meninggalkan otaknya Haryanto termenung. Apa artinya semua itu? Tak mungkin kakeknya yang sudah meninggal dapat membantunya, dapat memberi pertolongan dengan suara memanggil-manggil, malah dapat membantunya naik pohon nangka!
Ah, tak mungkin, tak masuk akal. Suara itu tentulah suara kakek dikampung yang memanggil anaknya, seperti yang ia lihat didepan rumah Ibu Waluyo ketika letusan terjadi. Dan tentang bantuan kakeknya naik ke pohon? Ah, tentu ia hanya mimpi, tentu dia sendiri yang setengah sadar memanjat pohon nangka. Ia bukan seorang tahyul. Tapi... nama itu? Kenapa kebetulan sama? Iedek yang dulu mengganggu dan merobohkan hati kakeknya, juga bernama Sriningsih! Dan anehnya, kebetulan sekali Sriningsih yang sekarang inipun berusaha menggoda hatinya. Dan kebetulan pula ia kuat menahan, tidak roboh seperti kakeknya dan... dia selamat dari malapetaka. Aneh, memang dokter juga menyatakan keheranannya bahwa ia masih dapat selamat dalam keadaan seperti itu. Dua hari dua malam ia memeluk dahan, mengisap hawa lahar yang penuh belerang.
"Har, kulihat nona perawat yang menjagamu pagi tadi..."
Kata ibunya.
"Yang mana, bu?"
Haryanto menoleh kekiri. Di sudut terdapat seorang perawat sedang membereskan botol obat. Perawat yang berkulit hitam berwajah sederhana akan tetapi bermata lembut penuh kelembutan budi.
"Pagi tadi, yang diganti oleh nona itu."
"Kenapa dia, bu?"
"Ah..."
Ibunya menjadi merah mukanya ketika tersenyum.
"Kulihat nona itu amat baik, cantik manis, lemah-lembut dan... dan agaknya dia menaruh perhatian terhadap dirimu, Har. Aku akan senang sekali kalau..."
"Kalau apa, bu?"
"...Andaikata... eh, kau menjadi sahabat-baiknya..., siapa tahu kelak bisa menjadi jodoh..."
"Ah, ibu, harap jangan bicarakan tentang hal, ini sekarang..."
Haryanto mengeluh dan menghadapkan mukanya ketembok agar bayangan Sriningsih tidak akan muncul mengganggunya.
* * *
Drama Gunung Kelud Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pagi-pagi ia sudah bangun, merasa tubuhnya segar dan kepalanya tidak sepanas dan sepening kemarin. Ia membalikkan mukanya yang tadi menghadang dinding. Matanya terbelalak, Seorang gadis duduk dipinggir dipannya, sedang menjongket. Gadis yang...
"Ningsih...!"
Tak terasa lagi ia berbisik memanggil. Tak salah lagi, inilah Sriningsih! Haryanto memandang dengan mata terbelalak. Gadis itu menengok, menunda pekerjaannya, tersenyum. Manis bukan main senyum ini, senyum Sriningsih. Tapi... ah, mata itu... bukan mata Sriningsih sungguhpun bentuk dan indahnya sama. Sinar mata itu... angkuh dan mesra.
"Kau... Ning-ku?"
Kembali Haryanto berbisik, kini tahulah ia bahwa ia tengah mimpi. Ia tidak berani menggerakkan tubuh, kuatir kalau mimpinya akan lenyap. Gadis itu tersenyum lagi, matanya berkejap-kejap, lalu tampak giginya yang berderet rapi, putih berkilau.
"Namaku bukan Ningsih ataupun Ningku! Mas Haryanto, kau masih ingat kepadaku?"
"Kau... kau NING...?"
Dia tertawa ditahan, dua lesung pipit muncul di pipinya, presis, seperti Sriningsih.
"Betul, kau mengenalku sebagai NING saja mungkin, tapi bukan Ningsih atau Ningku, melainkan Naning. Mas Haryanto, namaku Na NING, Naning Subagyo."
Haryanto tercengang dan diam-diam dibawah selimut tangan kanannya mencubit tangan kirinya. Sakit. Ia tidak sedang mimpi. Benar, ini NING bergaun biru yang. dulu itu, duduk dipinggir dipannya! Mungkinkah ini? Tak masuk akal. Apakah aku sudah menjadi gila dan karenanya berubah pula pandang mataku? Melihat pemuda itu diam saja dan menatap wajahnya tanpa berkedip, pandang mata pemuda itu bingung dan penuh pertanyaan, Naning tertawa lagi dan membungkuk, menyentuh kening Haryanto.
"Hm, panasmu sudah banyak menurun, mas. Baik sekali."
"Kau...? Bagaimana ini...?'"
Haryanto berbisik lagi, masih gelisah takut bahwa ia sudah menjadi gila.
"Mas Haryanto, tak usah kau bingung. Soalnya biasa saja. Aku adalah seorang pelajar calon perawat. Tentu saja sekarang tenagaku amat dibutuhkan oleh para korban bencana alam ini. Apalagi olehmu, mas. Begitu melihat kau menjadi korban pula, aku lalu menempatkan diriku disini, merawatmu, khusus merawatmu sampai kau sembuh."
"Kenapa...?"
Naning tersenyum dan memandang mesra.
"Kenapa? Karena aku perawat!"
"Kenapa khusus merawat aku...?"
Wajah yang seperti bulan purnama itu menunduk sebentar, ketika diangkat kembali kedua pipinya merah, seperti jambu dersana, seperti tomat-appel, matanya setengah terkatup, agak berair.
"Kenapa...? Ah, entahlah, aku telah berdosa kepadamu. Pernah aku... eh, menampar pipimu dan... dan menuduhmu copet... aku harus menebus kesalahanku kepadamu. Dan... apakah kau tidak suka aku menjadi perawatmu, mas Haryanto?"
"...Suka... dik NING... suka sekali, dik biarlah kau menjadi perawatku... selama-selamanya..."
Dua titik airmata menitik turun. Naning membungkuk dan menggunakan saputangan mengusap airmata dari pipi pemuda itu, matanya sendiri berkaca-kaca.
"Aku sudah berkenalan dengan ibumu, mas, dengan nenekmu. Mereka amat baik, ramah-tamah"
Haryanto hanya memandang, memandang wajah didepannya itu, masih belum percaya betul, masih ragu-ragu apakah dia tidak gila. Sinar mata itu, pandang-mata gadis itu, ah... mungkinkah ini bukan hanya bayangan daripada kepalanya yang terlalu sering berkhayal?
"Mas Haryanto, kenapa, mas? Kenapa kau memandangku terus...?"
"Dik NING..., dik NING... tolong... tolong kau singkapkan rambutmu..."
"Apa...?"
Wajah yang tadi mesra itu tiba-tiba menjadi merah sekali, matanya mengeluarkan api.
"...Perlihatkan tengkukmu, dik NING... perlihatkan kepadaku sebentar saja..."
"Apa?"
Naning makin marah, marah dan kecewa, kecewa dan menjesal. Kiranya dia ini masih seorang laki-laki kurangajar!
"...Anu, dik... aku masih belum percaya kalau kau benar-benar dik NING-ku, biarkan aku melihat tahi-lalat ditengkukmu... baru aku percaya..."
"Ohhhh..."
Kini dua titik airmata menitik dari mata gadis itu ketika ia membungkuk, menjingkap rambutnya yang menutupi tengkuk. Haryanto melihat kulit tengkuk yang kuning putih bersih, halus dan amat manis karena dihias sebuah titik hitam!
"Terima kasih. dik NING... terima kasih Tuhan Yang Maha Kasih..."
Haryanto meramkan mata, tampaknya berbahagia sekali. Naning membetulkan letak selimut pemuda itu, tidak mau mengganggu karena memang pemuda itu harus banyak mengaso.
Akan tetapi Haryanto bukan mengaso, bukan pula tidur. Dia melamun! Catatan-catatan itu sudah lenyap, dimakan Iahar. la tidak bisa ingat diluar kepala semua catatan itu. Romannya tak jadi dibuat. Tapi tidak apa. Persetan dengan catatan-catatan itu! Dia tidak jadi menciptakan sebuah roman tentang Kelud. Dia akan menciptakan sebuah roman yang sungguh-sungguh terjadi, bukan roman hasil khayalnya. Ia akan menciptakan cerita yang indah, penuh kebahagiaan, sebuah roman paling indah yang akan ia ciptakan bersama-sama dengan Naning. Dengan NING-nya! Ia merasa yakin Naning akan mau membantunya, akan mau diajak bersama-sama menciptakan roman indah itu. Pandang mata gadis itu meyakinkan dan ia, seorang pengarang, biasanya tidak akan salah tangkap akan arti pandang mata orang lain, apalagi pandang mata seorang dara seperti Na NING, NING nya...!
Solo, awal September 1966
TAMAT
Kategori : Lepas/Non Cersil
Penerbit/Pencetak : CV GEMA-Solo
Cetakan Tahun : 1966
Pelukis : Jono S. Wijono
Sumber Buku & Image : Gunawan Aj
Konversi ke Teks : Eddy Zulkarnaen
Posting ke Grup : Djan M.
Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo