Leak Dari Gua Gajah 4
Leak Dari Gua Gajah Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
Ktut Witha sedang menari, berada di panggung pura, untuk apa ia menjaga di situ, pikirnya. Paling perlu nanti kalau pertunjukan selesai, ia menjemput di pintu samping. Ia segera bangkit berdiri dan berjalan ke depan pura. Dan apa yang dilihatnya membuat jantungnya berdebar dan ia terpesona, bukan hanya oleh keindahan di atas panggung, juga oleh kebahagiaan perasaan hatinya. Ia melihat dua orang gadis menari-nari amat indahnya di atas panggung itu, Ayu Puspa berpakaian sebagai pria ksatria sedangkan Ktut Witha sebagai seorang puteri. Alangkah cantik jelitanya, alangkah luwes lemas gerakan-gerakan kaki tangannya, gerakan leher yang kadang-kadang seperti patah tulangnya, bibir berbentuk gendewa terpentang menyungging senyum madu, mata bulan itu kini bergerak-gerak dengan kerling menyambar-nyambar ke kanan-kiri, ke atas-bawah sesuai dengan gerakan tangan.
Buka main! Wijono melongo dan orang tentu akan geli melihat dia seperti itu keadaannya. Tarian gaya baru ini merupakan tarian antara sepasang muda-mudi yang sedang memadu asmara, bukan main indahnya dan apalagi bagi Wijono yang sedang dimabuk asmara, lebih-lebih dengan Ktut Witha yang pada saat itu sedang menari, tentu saja mempunyai pengaruh yang luar biasa. Setelah tarian ini selesai, Wijono melihat betapa pada saat dua orang gadis itu sambil bergandengan tangan mengangguk menerima tepuk tangan penonton, sepasang mata bulan itu mengerling mencari-cari. Timbul kecewa besar di hatinya. Ah, betapa tololnya. Tentu Ktut Witha mencari dia! Tentu kekasihnya itu merasa kecewa sekali tidak melihatnya. Aduh, Ktut, adikku yang manis, kekasihku yang jelita, jangan kecewa, biarpun hanya berdiri, aku ikut menonton dan menikmati tarianmu, manis.
Demikian keluhnya di dalam hati dengan kebanggaan yang meluap-luap. Pengacara (pembawa acara) mengumumkan bahwa sebentar lagi, dua orang penari kenamaan tadi, yaitu Ktut Witha dan Ayu Puspa, sebentar lagi akan muncul bersama seorang penari lain untuk menarikan tarian Legong. Pengumuman ini disambut sorak-sorai penonton yang agaknya masih terpesona oleh tarian dua orang gadis tadi. Mendengar ini, Wijono tidak jadi kembali ke belakang. Penonton yang berdiri makin banyak berdesakan sehingga kalau ia keluar dulu, ia kuatir takkan dapat menonton dengan jelas karena kehabisan tempat dan harus berdiri paling jauh. Untuk memasuki tempat para undangan, tak mungkin karena selain yang berdiri penuh sesak, juga di tempat itu tidak ada lagi kursi yang kosong.
Paling lama lima menit kemudian mulailah Ktut Witha, Ayu Puspa dan seorang penari lain bermunculan di atas panggung dengan gerakan menari yang amat halus. Pakaian masih seperti tadi, namun dandanannya berbeda, kini amat indah mentereng. Inilah seni tari Bali asli, seni tari yang pada masa dahulu hanya dipertunjukkan di dalam Istana saja dan menjadi tontonan para raja dan tamu agung. Tidak sembarangan penari dapat menari Legong, karena amat sukar dan membutuhkan latihan semenjak kecil. Juga kali ini Wijono terpesona dan diam-diam selain perasaan bangga yang menyelubungi hatinya, iapun memandang kekasihnya dengan penuh hormat. Kekasihnya bukanlah gadis biasa, seorang seniwati tingkat tinggi dan keahliannya dalam tari-tarian yang sudah mendarah daging agaknya itu saja cukup untuk membuat Wijono memandangnya dengan tunduk menghormat.
"Dik Ktut... tak kusangka sehebat ini engkau, dik. Jauh melampaui pengharapanku, jauh melampaui impianku,"
Bisiknya ketika tarian itu berakhir dan Ktut Witha bersama dua orang temannya masuk setelah menerima sorak-sorai dan tepuk tangan dengan mengangguk hormat. Wijono juga hendak keluar dari situ ketika pengacara memaklumkan bahwa sekarang pertunjukan inti akan segera dimulai, yaitu Tari Calon Arang!
Pada saat itu, di antara para penonton yang bersorak-sorak, agak jauh di depan, sebelah kiri panggung, tampak oleh Wijono seorang laki-laki yang bukan lain adalah si jaket hitam! Akan tetapi hanya sebentar ia melihat orang itu karena si jaket hitam ini sudah cepat menyelinap di antara penonton dan menghilang. Tak enaklah hati Wijono dan teringat ia akan tugasnya menjaga Ktut Witha. Ia tidak tahu apakah kekasihnya itu akan keluar lagi dalam pertunjukan berikutnya, dan pada saat itu tari-tarian sudah dimulai dan sudah mucul penari berkedok iblis, tokoh kejahatan yang disebut Rangda. Menyeramkan sekali tokoh ini dengan topeng iblis menakutkan, lidah panjang rambut riap-riapan dan kuku tangan pun panjang-panjang. Wijono menyelinap di antara penonton dan keluar, hanya dengan susah payah ia dapat keluar dari tekanan orang yang berjubel-jubel itu.
Ia berjalan cepat mengejar ke sebelah kiri panggung, matanya mencari-cari orang yang amat dicurigai tadi. Ktut Witha berada di dalam, tak dapat ia menjaga dari dekat. Sementara ini, gadis itu aman maka ia merasa lebih tepat kalau ia memata-matai si jaket hitam itu. lama juga ia mencari-cari namun orang yang dicarinya sudah tak kelihatan bayangannya, entah pergi ke mana. Tari-tarian di atas panggung makin ramai, suara gamelan dipukul gencar memekakkan telinga. Penari-penari wanita yang merupakan prajurit-prajurit atau murid-murid Rangda, memenuhi panggung. Akan tetapi tidak tampak Ktut Witha ikut menari. Agaknya adegan pertempuran antara murid-murid Rangda melawan penduduk yang dipimpin Empu Baradah segera di mulai, para penari sudah bersiap-siap di belakang pura.
Wijono menuju ke belakang pura yang sunyi sekali karena setiap orang yang berada di situ semua mencurahkan perhatian ke panggung di mana tari-tarian sedang ramai-ramainya. Tiba-tiba di antara suara gamelan yang mendengung-dengung, lapat-lapat terdengar suara jeritan wanita. Karena jeritan itu terdengar agak jauh maka Wijono menjadi bingung. Ia harus menjaga Ktut Witha dan gadis kekasihnya itu masih berada di pura. Tiba-tiba ia melihat sesosok bayangan orang berkelebat keluar dari pintu bangunan darurat di belakang pura, dan orang itu terus berlari cepat memasuki kegelapan di antara pohon-pohon di belakang pura. Hati Wijono berdebar dan ia menggosok-gosok matanya. Orang itu adalah Pak Basri! Bukankah sopir ini sudah ditangkap dan ditahan polisi? Kenapa sekarang bisa berkeliaran di sini? Dan apa yang dikerjakan oleh orang itu?
Karena hatinya tidak enak, Wijono memaksa diri berlari memasuki pintu kecil dari samping, terus memasuki bangunan bilik di belakang pura di mana para penari berdandan tadi. Tempat ini sunyi, para penari sebagian besar sedang menari di panggung, yang tidak menari juga menonton dari belakang pura. Tidak kelihatan Ktut Witha di situ! Wijono mencari-cari ke belakang pura, juga tidak terdapat Ktut Witha. Ia mendengar isak tertahan dan cepat berlari ke tempat tadi, ke dalam bangunan. Di sudut yang gelap dilihatnya seorang gadis berjongkok sambil menangis. Dia ini bukan lain Ayu Puspa yang menangis dengan muka pucat ketakutan. Malah di sudut lain, dua orang laki-laki dan seorang wanita penari juga berjongkok dan mata mereka terbelalak seperti patung, tidak bergerak-gerak. Wijono menghampiri dua orang laki-laki tu, dengan hati berdebar ia bertanya,
"Mana Ktut Witha?"
Dua orang itu tetap ternganga dan terbelalak, sama sekali tidak bergerak atau menjawab. Juga wanita di dekat mereka berhal yang sama, seperti telah berubah menjadi patung. Wijono segera menghampiri Ayu Puspa, ditanyanya dengan suara gelisah,
"Apakah yang telah terjadi? Mana Ktut Witha?"
Gadis cantik inipun tidak dapat mengeluarkan suara, hanya terisak menangis dan telunjuknya menuding-nuding keluar, ke arah pintu belakang. Wijono cepat melompat keluar melalui pintu belakang itu dan berlari menerjang kegelapan malam. Ia teringat akan jerit wanita tadi, maka kini ia berlari ke arah suara tadi.
Karena ia tidak mengenal jalan, berlari di dalam gelap itu membuat ia jatuh bangun beberapa kali menabrak pohon. Ia sudah mulai gelisah sekali takut terlambat ketika tiba-tiba ia mendengar suara aneh seperti suara binatang menggereng-gereng di sebelah depan. Ia mempercepat larinya dan pemuda ini berdiri tercengang ketika menyaksikan penglihatan di depan, yang hanya diterangi oleh bintang-bintang di langit. Ia mencoba melangkah dekat, namun tiba-tiba terdengar lagi suara gerengan-gerengan aneh dan... tanpa dapat ia tahan lagi kedua kakinya menggigil, seluruh tubuhnya lemas dan Wijono hanya berdiri bengong memandang dua "makhluk"
Yang berhadapan dan mengeluarkan gerengan-gerengan aneh itu. Seorang makhluk berbentuk manusia biasa, pakaiannya serba hitam dan mukanya tertutup kain yang hanya dilubangi pada kedua matanya.
Di dalam gelap ia tidak dapat mengenal siapa adanya orang itu, namun sinar matanya berkilat-kilat dari balik kain menghitam karena kebetulan sekali "makhluk"
Atau orang aneh ini berdiri menghadapinya. Di depan orang ini berdiri seorang makhluk lain, atau seorang yang berpakaian persis seperti penari Rangda di panggung tadi, dengan kedok iblis yang amat mengerikan dan kedua tangan berkuku panjang! Ketika Wijono mencari-cari dengan pandang matanya, ia melihat yang dicarinya. Ktut Witha dengan pakaian penari, menangis sambil berlutut di bawah pohon, kedua tangan dirangkapkan di depan dada, tubuhnya menggigil. Cepat ia menekan perasaannya yang terpengaruh oleh kekuatan sihir yang hebat, dan akhirnya rasa cinta mengalahkan pengaruh hitam itu sehingga ia dapat melompat dan berlari menghampiri Ktut Witha. Dipeluknya gadis itu dan dibisikinya,
"Dik, jangan takut, aku di sini..."
Ktut Witha memandang dan dengan isak tertahan ia merangkul Wijono sambil menangis.
"Aduh, mas... bantulah paman... mas Din berusaha merampas aku dari paman..."
"Mana bung Bahrudin...?"
"Itu dia... yang bertopeng hitam... lekas bantu paman... ah..."
Ketika Wijono menengok, kiranya dua orang bertopeng yang tadinya hanya saling menggereng itu kini sudah berkelahi dengan cara yang aneh sekali, seperti perang tanding dalam tari-tarian! Akan tetapi, agaknya Bahrudin atau orang bertopeng hitam itu lebih kuat karena pukulan bertubi-tubi menjatuhi dada si kedok setan dan akhirnya robohlah Rangda itu setelah terhuyung-huyung ke belakang. Wijono berlari menghampiri, menyerang Bahrudin sambil memaki,
"Keparat, kiranya kau si jahat...!"
Bukan main gesitnya gerakan Bahrudin. Pukulan keras dari Wijono itu dengan amat mudahnya dielakkan, bahkan pukulan ke dua dan ke tiga yang disusulkan Wijono semua dapat ditangkis. Sementara itu, si topeng setan sudah dapat bangkit lagi dan kini terdengar suaranya dalam bahasa Indonesia yang kaku,
"Hantam terus, nak Wijono. Serang terus..."
Wijono merasai betapa kerasnya lengan Bahrudin yang menangkisnya, membuatnya terhuyung-huyung.
"Bodoh kau, tolol!"
Jelas bahwa itulah suara Bahrudin di balik kedok, membuat Wijono makin meluap kemarahannya. Akan tetapi sebelum ia menyerang lagi, Bahrudin sudah menggerakkan tubuh ke samping dan sebuah pukulan keras sekali tepat mengenai leher dekat pangkal telinga. Wijono tak sempat menghindar karena selain gelap, juga ia masih terpengaruh oleh kekuatan mujijat yang membuat ia setengah ketakutan. Pemuda ini mengaduh, dan roboh terjengkang. Namun karena mengingat akan keselamatan Ktut Witha ia merangkak bangun. Kiranya I Made Darma yang berpakaian topeng setan itu sudah roboh pula terkena tendangan Bahrudin yang kuat. Dan terdengar sekarang jerit Ktut Witha,
"Lepaskan aku... aduh, lepaskan...! Tolong...! Mas Wij... tolong...!"
Serasa meledak dada Wijono melihat betapa Bahrudin telah memondong tubuh kekasihnya dan hendak dibawa lari ke dalam gelap.
"Hai bung Bahrudin, berhenti! Lepaskan gadis itu dan mari kita berkelahi secara laki-laki!"
I melompat dan mengejar. Pada saat itu dari dalam gelap muncul seorang laki-laki dan ketika dekat, laki-laki itu terus saja menyerang Bahrudin sambil memaki,
"Pembunuh!"
Bahrudin cepat melepaskan Ktut Witha yang kembali jatuh berlutut dengan tubuh menggigil melihat pertempuran yang terjadi antara Bahrudin dan si pendatang baru. Wijono segera mengenal orang ini. Pak Basri! Otaknya cepat bekerja dan mau rasanya ia menampar kepalanya sendiri. Alangkah bodohnya! Alangkah gobloknya selama ini. Mudah saja ditipu mentah-mentah oleh Bahrudin. Begitu tololnya dia sampai-sampai ia mencurigai Pak Basri dan orang lain, sebaliknya sama sekali tidak mencurigai Bahrudin. Ah, jelaslah sekarang baginya. Kiranya Bahrudin yang main sandiwara, sengaja mengalihkan perhatiannya, menimpakan kecurigaannya kepada orang lain sehingga Bahrudin dapat bergerak bebas. Tadi Basri memakinya "pembunuh,"
Hemm, kiranya Bahrudin si jahat ini pula yang telah membunuh dukun Nyoman Batuh!
"Keparat kau, Bahrudin!"
Ia menerjang membantu Pak Basri yang nampaknya juga repot menghadapi kaki tangan Bahrudin yang amat cekatan dan kuat itu. Biarpun dikeroyok dua, Bahrudin dapat melawan dengan baik, malah beberapa buah pukulan Wijono yang tepat mengenai leher dan pundaknya, agaknya tidak terasa olehnya. Sebaliknya Pak Basri sudah dua kali terjatuh oleh pukulannya yang kuat! Tiba-tiba sebuah sinar menyilaukan mata bercahaya dari dalam gelap, disusul seruan orang,
"Tangkap penjahat!"
Bermunculanlah si jaket hitam dan dua orang lain. Bahrudin masih mencoba melawan, akan tetapi akhirnya ia roboh dan ditelikung kaki tangannya. Si jaket hitam menoleh tersenyum kepada Wijono yang memandangnya terbelalak.
"Kau... kau siapa...?"
"Ida Bagus Tantra, pembantu inspektur di Denpasar, bagian kriminal. Saudara Waluyo yang minta padaku untuk membayangimu, bung Wijono."
Ingin rasanya Wijono menampar kepalanya sekali lagi. orang ini polisi, disuruh Waluyo untuk membayanginya, untuk menjaga keselamatannya! Dan dia malah mencurigai si jaket hitam ini. Betapa bodohnya.
(Lanjut ke Bagian 04 - Tamat)
Leak dari Gua Gajah (Cerita Lepas) - Bagian 04 (Tamat).
Karya , Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bagian 04 (Tamat).
"Ah, saya... saya..."
Wijono tak dapat mengeluarkan kata-kata kepada muka berkumis tipis yang tersenyum kepadanya itu.
"Nak Wijono, mari kita pergi. Biarlah si jahat itu diurus oleh polisi."
Suara ini datang dari balik topeng Rangda yang sudah menggandeng tangan Ktut Witha, sedangkan tangan sebelah lagi memegang lengannya. Wijono tersenyum dan menurut saja digandeng oleh I Made Darma yang masih berpakaian dan bertopeng itu.
"Ha-ha, betul, bung Wijono. Mengasolah bersama pujaan hatimu, biar orang liar ini kami yang mengurusnya."
Ucapan si jaket hitam yang ternyata seorang pembantu inspektur dan bernama Ida Bagus Tantra ini, nama bangsawan, penuh ejekan, tanda bahwa polisi muda ini sudah tahu pula akan hubungannya dengan Ktut Witha. Merah muka Wijono, akan tetapi ia hanya mengangguk dan balas tersenyum, lalu berjalan bersama Ktut Witha dan I Made Darma. Serasa lapanglah dadanya. Lenyapkan bahaya yang selama ini merupakan ancaman yang masih diselubungi rahasia gelap. Legalah hatina, sungguhpun amat menyesal dia mengapa orang cerdik pandai, tampan dan peramah seperti Bahrudin itu ternyata seorang penjahat berbahaya. Namun hatinya masih penasaran. Banyak hal tidak ia ketahui.
* * *
Di tengah jalan I Made Darma melepas topengnya dan membawanya di tangan kanan, ia masih berpakaian putih-putih, pakaian penari Rangda. Matanya bersinar-sinar penuh kepuasan. Mereka bertiga berjalan di malam gelap, di atas jalan kecil yang sunyi.
"Mengapa melalui jalan belakang kampung, paman?"
Tanya Ktut Witha, sengaja berbahasa Indonesia agar kekasihnya dapat mengerti.
"Biarlah,"
Jawab pamannya, juga berbahasa Indonesia yang kaku sambil menoleh tersenyum kepada Wijono.
"Pakaian kita begini, bisa menarik perhatian dan menjadi tontonan kalau berjalan di jalan besar."
"Bapak, banyak hal yang benar-benar membuat saya tidak mengerti tentang diri bung... eh, Bahrudin itu. Mengapa dia berbuat jahat terhadap dik Ktut Witha? Dan mengapa Pak Basri berada di sana tadi? Bukankah yang membunuh Nyoman batuh itu adalah Pak Basri? Ataukah pembunuhnya Bahrudin pula?"
"Tentu saja si Bahrudin pembunuhnya. Ha-ha-ha, dia berlagak pintar, tapi mana bisa melawan kami? Ha-ha, dia patut dihukum, malah aku ingin membunuhnya dengan tanganku sendiri. Sayang tadi aku tidak mendapat kesempatan mempergunakan ini..."
Dicabutnya sebilah keris dari ikat pinggangnya, lalu disimpannya kembali.
"Dia jahat sekali..."
"Bagaimana bapak dapat mengetahui bahwa dia hendak berbuat jahat terhadap adik Ktut?"
"Sudah lama kau tahu dia penjahat. Dialah yang dahulu membunuh anakku, I Putusari..."
Suaranya terhenti seperti tercekik lehernya.
"Ohhh...!"
Ktut Witha menjerit perlahan dan Wijono cepat-cepat pindah dari sebelah kanan I Made Darma, menghampiri dan menggandeng tangan kekasihnya itu.
"Kalau begitu..."
Wijono berkata setelah berpikir sebentar.
"Memang kedatangannya ini sudah ia sengaja? Pantas ia menggauli dik Ktut di Jogja, berusaha memikat hatinya. Hemm, kiranya dia hendak mengulangi peristiwa beberapa tahun yang lalu? Ah, tahulah aku sekarang, agaknya dia hendak melenyapkan kau dan aku, dik. Ia hendak mengulangi perbuatannya terhadap I Putusari dan kekasihnya dahulu..., pantas dia selalu berusaha menakut-nakuti kita berdua!"
"Betul sekali, orang muda,"
Kata I Made Darma mengangguk-angguk.
"Tapi kenapa dia membunuh dukun itu?"
"Nyoman batuh itu pembantunya ketika dahulu membunuh anakku, sekarangpun hendak ia pergunakan bantuannya, tapi agaknya tidak mau, maka dibunuhnya. Begitulah kiraku,"
Jawab I Made Darma.
"Kukira tidak begitu, Bapak I Made Darma. Kurasa karena Pak Basri sudah mengetahui rahasianya, maka kuatir rahasianya terbongkar melalui mulut Nyoman Batuh, maka dibunuhnya bekas kaki tangannya itu."
I Made Darma tidak menjawab, hanya mengangguk-angguk.
"Dan Pak Basri itu, siapakah sesungguhnya dia? Tingkah lakunya mencurigakan sekali sehingga tadinya aku menyangka dia orang jahat,"
Tanya Wijono dengan perasaan menyesal mengapa dia mencurigai banyak orang baik-baik.
"Aku sendiri tidak tahu siapa dia dan mengapa dia juga memusuhi Bahrudin. Mungkin karena disangka pembunuh timbul marahnya, atau mungkin pembantu polisi."
"Apakah bapak tidak bekerja sama dengan polisi?"
"Tidak! Aku menggunakan caraku sendiri untuk membalas dendam. Ha-ha, sekarang tercapailah sudah. Ha-ha, puas hatiku..."
"Eh..., paman, kenapa ke sini jalannya? Seharusnya kita membelok ke kiri...!"
Tiba-tiba Ktut Witha yang sejak tadi diam saja berkata dalam bahasa Bali kepada pamannya.
"Tidak, kita terus, Ktut. Bertahun-tahun kita terselubung oleh pengaruh kutukan Leak Gua Gajah, sekaranglah tiba saatnya kita melepaskn diri daripada kutukan itu untuk selama-lamanya."
"Kita ke... ke Gua Gajah?"
Gadis itu berseru kaget sehingga Wijono yang tidak tahu akan arti percakapan itu bertanya. I Made Darma yang memberi penerangan.
"Begini, nak Wijono. Kita tidak kembali ke rumah Ktut Witha, melainkan langsung ke Gua Gajah karena kinilah tiba saatnya bagi kami sekeluarga untuk melepaskan diri daripada kutukan Leak gua Gajah. Itu yang kami percakapkan tadi. Harap kalian dua orang muda tidak banyak cakap dan membantah, karena aku melakukan ini semua demi untuk keselamatan kalian."
"Apakah... apakah tidak dapat besok pagi-pagi, paman...?"
Ktut Witha coba membantah. Pamannya diam saja dan Wijono menyentuh lengannya untuk menghibur kekasihnya. Bibirnya ia dekatkan ke telinga gadis itu dan berbisik,
"Aku di sini, dik..."
Karena mereka sedang berjalan di bawah bayangan pohon-pohon besar, maka mudah bagi dua orang muda itu untuk berbisik-bisik malah Wijono mencium sebentar telinga Ktut Witha, tanpa ada bahaya akan terlihat oleh orang tua yang berjalan dengan langkah-langkah panjang dan sambil menundukkan mukanya itu. Bagi Wijono sekarang tidak ada sesuatu lagi yang harus ditakuti. Biarpun harus bermalam penuh di Gua Gajah, apa yang perlu ditakuti? Hah, dahulu dia bodoh. Tidak ada setan, tidak ada iblis, yang ada hanya Bahrudin yang sengaja mengadakan itu semua. Bodoh! Setelah tiba di jalan simpangan yang kecil, yang menurun ke Gua Gajah, I Made Darma berkata dengan suara serius,
"Kalian jangan mengeluarkan suara, ikuti saja aku dan taati isyaratku."
Setelah berkata demikian ia lalu mengenakan lagi topeng iblisnya, topeng Leak yang menakutkan dengan lidah yang panjang itu. kemudian ia memberi isyarat kepada sepasang orang muda itu untuk berjalan turun bersamanya menuju Gua Gajah.
Ktut Witha memegang lengan Wijono erat-erat dan tangan gadis itu dingin gemetar. Wijono merangkul pundaknya, menepuk-nepuk pundak itu sambil tersenyum membesarkan hati. Dengan penuh keheranan kedua orang muda itu berjalan perlahan menuruni jalan kecil itu menuju ke depan Gua Gajah yang tampak menyeramkan di malam hari gelap hanya disinari ribuan bintang. Mau tidak mau Wijono harus mengakui bahwa tengkuknya bergidik ketika ia melihat Gua Gajah yang kelihatan seperti kepala seorang raksasa. Apalagi terdengar anjing meraung-raung dari jauh, makin menggores hati menimbulkan kengerian. Sementara itu, I Made Darma yang kini berpakaian seperti iblis sendiri, telah mengeluarkan dan menyalakan tiga batang lilin di mulut gua, malah segera ia membakar kemenyan dan mengucapkan mantera-mantera.
"Mas... aku takut..."
Bisik Ktut Witha. Wijono merangkulnya. Keduanya sudah berlutut berdampingan di belakang I Made Darma yang juga berlutut, atas isyarat orang tua itu. Wijono membisikkan kata-kata hiburan,
"Tenang, dik, bukankah aku di sisimu...?"
Suara I Made Darma membaca mantera makin keras dan tubuh Ktut Witha makin menggigil, akhirnya ia merangkul Wijono dan berbisik,
"Mas... celaka, mas... celaka... kita binasa..."
Alangkah kagetnya hati Wijono dan pada saat itu tiba-tiba I Made Darma membalik dan berdiri sambil tertawa bekakakan. Muka setan yang kini tersinar cahaya lilin itu amat mengerikan, matanya berkilat-kilat dan lidah panjang itu seperti hidup. Suara ketawanya bukan seperti suara orang biasa lagi, dalam, panjang dan terdengar seperti dari jauh, berkumandang di sekeliling tempat itu.
"Ha-ha-ha-ha-ha, kalian saling mencinta, bukan? Ha-ha-ha, bagus..., Putusari akan mendapat kawan... Ktut, kau telah melanggar sumpahku... kau berani jatuh cinta dengan seorang keturunan Jawa... Ha-ha-
ha, kau harus menyusul I Putusari yang juga kuhukum untuk perbuatan yang sama..."
"I Made Darma! Kau... kau sudah gila...??"
Wijono berusaha meloncat berdiri, akan tetapi entah mengapa, tiba-tiba ia merasa seakan-akan tenaga yang maha kuat menekannya sehingga ia terduduk kembali.
"Kau keturunan Sujono, ha-ha-ha, namamu juga Wijono, kau keturunan Sujono, seperti juga Marjono penggoda puteriku, harus mati di ujung keris dan kuku-kuku Leak Gua Gajah. Ha-ha-ha, akulah Leak Gua Gajah! Akulah pembunuh anakku sendiri dan Marjono. Aku pula yang membunuh Nyoman Batuh karena ia menghianatiku. Ha-ha-ha, dua orang muda, bersiaplah untuk menghadap Batari Durga!"
Wijono berusaha sekuat tenaga untuk bangkit dan menerjang iblis itu, akan tetapi tenaganya seperti habis dan ia terjatuh kembali. Sambil terkekeh-kekeh Leak Gua Gajah itu maju mendekat dan kuku-kuku tajam dari kedua tangannya menerkam ke arah leher Wijono! Pemuda ini mengerahkan tenaga, namun seakan-akan ada tenaga gaib yang membuat ia terpesona memandang ke arah topeng Leak yang amat mengerikan itu dan lumpuhlah ia ketika lidah yang panjang itu menyentuh-nyentuh mukanya, lidah yang terasa dingin dan basah, berbau amis seperti ikan laut membusuk.
"Mas Wij...!"
Ktut Witha menjerit dan gadis ini menubruk kekaksihnya, merangkulnya dan menentang si topeng Leak seperti hendak mendorongnya pergi.
"Jangan... jangan bunuh mas Wij...!"
Iblis palsu itu tersentak mundur, agaknya terheran mengapa gadis itu berani dan mampu menentangnya. Manusia iblis ini tidak ingat bahwa Cinta Kasih yang murni mempunyai kekuatan mujijat yang dapat mengatasi kekuatan ilmu hitam yang manapun juga. Akan tetapi hanya sebentar ia terheran, cepat ia menggereng maju dan sekali tampar tubuh Ktut Witha terguling, kemudian ia menerkam Wijono. Pemuda yang tadinya seperti kena sihir, mendadak sadar ketika dirangkul Ktut Witha dan mendengar suaranya, cepat ia meloncat berdiri dan sebuah kakinya melayang ke arah perut iblis itu. Ngekk! Agaknya mulas perut manusia iblis, ia memegangi perutnya sambil mengeluarkan suara
"Uuhh...uhh!"
Namun suara ini disusul gerengan hebat sekali, demikian hebatnya sehingga Wijono kembali jatuh terguling dalam keadaan lemas dan lumpuh! Kuku-kuku panjang itu makin mendekat dan akhirnya Wijono merasa betapa lehernya dicekik oleh kuku-kuku runcing! Lapat-lapat Wijono mendengar jerit Ktut Witha dan memang benar gadis itu menubruk dan berusaha merenggut tangan yang mencekik leher kekasihnya. Wijono merasa betapa cekikannya melonggar dan akhirnya hanya sebuah tangan dengan lima buah jari berkuku saja yang mencekiknya karena pada saat itu sambil tertawa iblis itu menggunakan tangan kiri untuk mencekik leher Ktut Witha. Ia hendak membunuh dua orang muda itu sekaligus! Terdengar orang berlari-lari dan dari jauh teriakan-teriakan menggema,
"Bahrudin penjahat keji, hendak lari ke mana kau?"
Sesosok bayangan meloncat dan bayangan ini menggereng seperti harimau ketika menerjang Iblis Leak Gua Gajah yang terkekeh hendak menghabisi nyawa Ktut Witha dan Wijono.
"Bedebah, I Made Darma!"
Iblis itu kaget dan cepat melepaskan kedua tangan yang mencekik, membalik dan menghadapi pendatang ini yang bukan lain adalah Bahrudin! Di dalam sinar lilin kelihatanlah sekarang Bahrudin yang mengenakan pakaian serba merah dan memakai kedok kain sutera hitam, sepasang mata dari balik kedok ini menyala-nyala seperti mata harimau. Mereka berdiri saling pandang, seperti mengukur tenaga masing-masing atau hendak mengadu kekuatan sinar mata.
Kemudian Bahrudin melompatinya dan terjadilah perkelahian mati-matian. Dengan sigapnya Bahrudin menghindarkan tikaman-tikaman sepuluh buah jari kerkuku runcing itu dan membalas dengan pukulan-pukulan keras. Dari dalam gelap bermunculan si jaket hitam yang mengaku bernama Ida Bagus Tantra, diikuti oleh seorang laki-laki yang bukan lain adalah Waluyo sahabat Wijono, kemudian Pak Basri dan dua orang berpakaian polisi. Mereka berdiri tercengang menyaksikan perkelahian itu. Waluyo cepat berlari menghampiri Wijono yang bergerak-gerak hendak bangkit. Ngeri Waluyo melihat betapa baju pemuda sahabatnya ini penuh darah, lehernya merah penuh darah pula. Juga keadaan Ktut Witha serupa, leher gadis ini berdarah membasahi pundaknya yang telanjang.
"Wij..."
Waluyo segera menolong sahabatnya dan mengajaknya menjauhi tempat perkelahian. Akan tetapi Wijono merenggutkan dirinya dan cepat menghampiri Ktut Witha yang rebah pingsan. Bukan main gelisahnya melihat keadan kekasihnya dan cepat ia memondongnya dan dengan bantuan Waluyo ia membawa Ktut Witha ke tempat aman.
Perkelahian masih berlangsung hebat. Bertubi-tubi datang pukulan Bahrudin yang membuat iblis Leak itu jatuh bangun. Akan tetapi agaknya iblis itu mengeluarkan kesaktiannya karena semua pukulan Bahrudin yang keras seakan-akan tidak terasa olehnya. Begitu roboh ia bangkit kembali dan tiba-tiba ia menggereng keras dan mengeluarkan sebuah keris panjang yang berliku-liku. Sambil menggereng iblis itu menerjang. Bahrudin cepat mengelak, akan tetapi karena serangan itu hebat sekali sedangkan ia maklum bahwa keris itu mengandung hawa panas dari racun berbahaya, ia menjadi panik dan kakinya menginjak tanah berlubang yang membuatnya terpelanting. Iblis itu menubruknya, mengangkat tangan kanan yang memegang keris, diayun ke bawah dan...
"Dor! Dor!!"
Kilatan api menyambar dua kali ke arah iblis itu yang tidak jadi menusukkan kerisnya, bangkit berdiri terhuyung-huyung dan dengan menggereng-gereng maju melangkah ke arah penembaknya.
Leak Dari Gua Gajah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ida Bagus Tantra sudah siap dengan pistolnya yang masih mengepulkan asap, sinar matanya tajam menentang makhluk yang sudah dua kali ditembaknya namun masih dapat berjalan mengancamnya itu. Ia siap untuk menembak, akan tetapi tiba-tiba si topeng iblis itu mengeluh panjang dan roboh tertelungkup. Bahrudin lari menghampiri dan membalikkan tubuh I Made Darma sambil melepaskan pula topeng Leak itu. Ternyata I Made Darma telah tewas. Darah mengucur keluar dari lubang-lubang bekas peluru di leher dan dadanya. Terdengar isak tangis Ktut Witha yang sudah sadar, menangis dalam pelukan Wijono. Tertarik oleh suara tembakan, orang-orang berdatangan dari dusun di sekitar tempat itu. Ramai orang membicarakan urusan ini, menyatakan bahwa Leak dari Gua Gajah, yang ternyata adalah I Made Darma sendiri, telah tewas, tertembak oleh komandan polisi dari Denpasar!
* * *
Mereka berkumpul dan bercakap-cakap di rumah Ktut Witha. Wijono, Waluyo, Bahrudin, Pak Basri, dan Ida Bagus Tantra, si jaket hitam. Dalam kesempatan inilah Wijono mendapat penjelasan-penjelasan akan hal-hal yang sampai saat itu masih amat membingungkannya, hal-hal yang terjadi dalam peristiwa Leak Gua Gajah itu. orang-orang yang bersangkutan masing-masing bercerita dan cerita mereka ini membuka semua rahasia yang membingungkan Wijono. Pak Basri yang mula-mula bercerita. Orang tua ini menarik napas panjang mulai ceritanya,
"Sudah puluhan tahun aku menjadi sopir dan puluhan kali mengantar tamu berpesiar ke Bali, oleh karena itu sedikit banyak aku tahu tentang Bali dan mengenal bahasanya pula. Semua salahnya nak Bahrudin yang secara aneh menyewa taxi dari Surabaya terus ke Bali untuk seorang diri saja. Inilah yang pertama-tama menimbulkan kecurigaanku, apalagi setelah bertemu nak Wijono dan Ktut Witha. Timbul kecurigaanku karena nak Bahrudin banyak mencari keterangan dan sikapnya berrahasia, maka aku mengambil keputusan untuk pura-pura tidak mengenal Bali dan diam-diam aku mengikuti segala gerak-geriknya. Akan tetapi nak Bahrudin benar-benar terlampau cerdik bagiku sehingga seringkali aku kehilangan jejak, seperti ketika malam pertama di Denpasar dan waktu-waktu berikutnya. Aku berusaha membayanginya namun gagal."
Sampai di sini Pak Basri berhenti, minum air tehnya sambil melirik ke arah Bahrudin yang tersenyum-senyum saja.
"Tapi bagaimana tentang dukun yang bernama Nyoman Batuh itu, pak?"
Tanya Wijono tak sabar.
"Aku memang sengaja merusak taxiku biar mogok karena dengan demikian aku dapat mempunyai kesempatan untuk mengikuti nak Bahrudin. Karena kulihat nak Bahrudin mendatangi rumah dukun itu, setelah dia pergi, aku lalu mendatangi rumah itu pula, menanyakan keterangan dari Nyoman Batuh itu tentang diri nak Bahrudin. Namun dukun itu berpura-pura tidak mengenal nak Bahrudin sehingga aku menjadi makin curiga."
"Dan aku lebih curiga lagi kepadamu malam itu,"
Wijono berkata, lalu disambungnya.
"Lalu pembunuhan itu, siapa yang melakukannya?"
"Siapa lagi kalau bukan Leak dari Gua Gajah! Dengan amat cerdik pembunuhan dilakukan setelah nak Bahrudin dan juga aku mengunjungi pondok dukun itu sehingga timbul sangka-menyangka antara nak Bahrudin aku. Aku selalu menyangka bahwa Leak dari Gua Gajah itu nak Bahrudin lah orangnya!"
Wijono lalu menoleh kepada Bahrudin dan berkata,
"Bung Din, kau memang aneh sekali! Mengapakah kau bersikap seaneh dan serahasia itu? Sampai-sampai membikin kau hampir celaka."
Ktut Witha menyambung.
"Benar pertanyaan mas Wij ini. Mas Din, kau harus memberi penjelasan, aku sendiri benar-benar heran sekali akan terjadinya semua ini."
Bahrudin menghisap rokoknya, mengepulkan asap, menengadah sambil menarik napas panjang, lalu bercerita,
"Sebetulnya hal ini takkan ada keanehannya atau rahasianya lagi kalau kalian ketahui bahwa beberapa tahun yang lalu, adik kandungku bernama Marjono telah mati dibunuh Leak Gua Gajah di tempat ini..."
Wijono dan Ktut Witha berseru kaget, lebih-lebih Ktut Witha.
"Ah, jadi tunangan I Putusari yang bernama Marjono itu... dia itu adikmu?"
Bahrudin mengangguk.
"Itulah Ktut, yang menyebabkan sikapku yang dipandang aneh. Aku yakin bahwa di balik pembunuhan atas diri adikku itu pasti terdapat rahasianya, dan diam-diam aku menyelidiki. Aku belum dapat menduga siapa yang menjadi Leak Gua Gajah, namun aku mendapat tanda-tanda bahwa mungkin sekali pembunuhan itu dilakukan karena rasa tak senang melihat I Putusari bertunangan dengan seorang pemuda Jawa. Maka aku selalu mencari siasat, mencari kesempatan baik. Kesempatan itu tiba setelah aku tahu bahwa dalam libur besar kau pulang ke kampungmu. Aku hendak menempatkan diriku sebagai Marjono ke dua dan kau sebagai... Putusari ke dua. Hendak kupancing penjahat itu keluar lagi..."
Sampai di sini Bahrudin berhenti dan sinar matanya menyuram.
"Terus terang saja... tadinya aku hendak berbuat seolah-olah aku hendak membawa lari Ktut Witha, hendak melakukan kebiasaan ngerorod (melarikan gadis) seperti yang dilakukan Marjono dahulu, agar Leak itu muncul lagi. Siapa kira... ah, lalu muncul kau, bung Wijono. Sedikit banyak kau mengacau rencanaku tanpa kau sengaja dan sadari. Kau muncul dan... eh, menjatuhkan hati Ktut... eh, maaf..."
Ia berhenti karena melihat betapa Wijono dan Ktut Witha menjadi merah mukanya dan jengah.
"Akan tetapi kemudian malah ternyata kemunculanmu membantu rencanaku. Kau... eh, kau malah menggantikan kedudukanku dan kaulah yang menjadi umpan baik sekali untuk memancing keluar penjahatnya, sedangkan aku... aku sebagai tukang pancing tinggal menanti saja sambil melanjutkan siasat-siasatku. Dari Denpasar mula aku menjadi girang luar biasa karena semenjak di sanalah Leak itu sudah membayangi Ktut Witha dan hebatnya Leak itu ternyata memiliki pandangan yang amat tajam sehingga pada saat itupun, sebelum kau dan Ktut yakin akan isi hati kalian masing-masing, dia sudah dapat menduga dan... mulai membayangimu, mencurigaimu. Ingatkah kau semua peristiwa Leak di sana itu? Nah, di Denpasar saja Leak itu sudah berusaha turun tangan terhadap kau dan Ktut! Sayang sekali, aku tidak sempat menangkap basah kepadanya sehingga terpaksa usaha memancing dilakukan terus di sini. Ikan besar yang mencaplok umpan di Denpasar itu lepas dari mata pancing!"
Wijono mendengarkan dengan terheran-heran.
"Tapi kenapa kau tidak memberitahu kepadaku secara terus terang saja, sebaliknya malah mencurigakan, malah-malah kau seakan-akan mendorongku mencurigai Pak Basri dan Saudara Ida Bagus Tantra ini? Apakah di saat itupun kau mencurigai mereka berdua?"
Bahrudin menggeleng kepala.
"Memang aku agak curiga kepada Pak Basri dan saudara Tantra, akan tetapi aku tidak sempat menyelidiki mereka. Aku sengaja menimpakan kecurigaan kepada mereka yang kutahu pasti bukanlah Leak yang kucari-cari. Malah sengaja aku menyelewengkan perhatianmu dan perhatian Ktut Witha agar supaya Leak itu sendiri merasa aman dan tidak menyangka bahwa aku sedang mencari-carinya. Kalau dia tahu bahwa dia dicurigai dan dicari-cari, dipancing-pancing supaya keluar, tentu dia takkan mau keluar. Dia cerdik bukan main, bung Wijono. Karena itu pula aku sengaja menuduh Pak Basri membunuh Nyoman Batuh, padahal di waktu itu aku sudah mulai dapat menduga kedudukan Pak Basri sebenarnya. Aku sengaja berbuat begini agar Leak itu tertawa dalam persembunyiannya dan merasa lebih aman lagi. kemudian ternyata benar persangkaan dan harapanku, dia keluar dan menyerang kau dan Ktut Witha. Celakanya, semua akalku itu malah hampir mencelakakan aku, malah hampir mencelakakan kau dan Ktut karena aku dikeroyok dan hendak ditangkap. Ha-ha-ha!"
Bahrudin memandang kepada Ida Bagus Tantra dan Pak Basri.
"Baiknya aku dapat melepaskan diri dan lari mengejar ke Gua Gajah, terlambat sedikit saja, ah... terulanglah kembali malapetaka yang menimpa Marjono dan I Putusari!"
Pak Basri menyela,
"Habis nak Bahrudin keterlaluan sih! Masa aku dituduh membunuh sehingga aku ditangkap. Baiknya nak Tantra ini mau mendengar semua penjelasanku sehingga diapun menjadi curiga kepada nak Bahrudin dan bersamaku kembali ke sini dan malam itu melihat nak Bahrudin bertopeng hitam berkelahi melawan I Made Darma yang menjadi paman Ktut Witha, tentu saja kami membantu I Made Darma dan menangkapmu. Bukan main kuatnya nak Bahrudin, dikeroyok empat orang masih dapat lepas! Tapi untung sekali, kalau dia tidak terlepas dan melarikan diri dengan kami kejar-kejar ke Gua Gajah, waah, tentu akan terlambat."
Ia bergidik. Wijono menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Membingungkan sekali..."
Waluyo tertawa dan memegang lengannya.
"Tidak membingungkanmu, Wij. Semua akan menjadi jelas kalau saudara Ida Bagus Tantra memberikan penjelasannya. Setelah kau pergi meninggalkan Denpasar, hatiku tidak enak karena semua pengalamanmu yang aneh itu. Aku pergi mengunjunginya dan menceritakan segalanya. Ia tertarik dan segera turun tangan sendiri melakukan penyelidikan. Selanjutnya biarlah dia bercerita sendiri."
Si jaket hitam yang selama ini menjadi pusat kecurigaan, berdehem dan minum tehnya. Setelah mengusap mulut berikut kumis tipisnya, ia bercerita,
"Mula-mula dua orang yang menjadi bahan intaianku, yaitu bung Bahrudin dan Pak Basri. Akan tetapi sesampainya di sini, aku mencium hal-hal lain lagi yang aneh. Dalam penyelidikanku aku melihat tanda-tanda bahwa justru kedua orang ini, baik bung Bahrudin maupun Pak basri, juga melakukan penyelidikan dan mencari-cari sesuatu! Maka aku mulai berhati-hati dan demikianlah, aku mau mendengarkan keterangan Pak Basri ketika ia tertangkap dengan tuduhan membunuh Nyoman Batuh. Setelah mendengar cerita Pak Basri, aku bersama dia dan beberapa orang anak buahku lalu mengintai di tempat pesta. Berbeda dengan Pak Basri, kecurigaanku sudah melewati diri bung Bahrudin, aku sudah menyelidik lebih jauh lagi, aku sudah dapat mengetahui bahwa bung Bahrudin sedang memancig-mancing keluarnya penjahat yang misterius. Karena itulah aku bermain sandiwara!"
Ia tertawa lagi dan melirik ke arah Ktut Witha. Wijono mengerutkan keningnya.
"Kalau sudah tahu kenapa saudara menyuruh orang mengeroyok bung Bahrudin dan berusaha menangkapnya, malah membiarkan I Made Darma pergi membawa aku dan Ktut?"
Bahrudin tertawa dan memegang tangan Wijono.
"Tenang, bung Wij. Kau tidak dapat mengira-ngira kah? Kalau saudara Tantra betul-betul hendak menangkapku, bagaimana aku akan dapat melepaskan diri? Ingat, dia selalu mengantongi sebuah pistol, mana bisa aku lari kalau dia memang tidak sengaja membiarkan aku terlepas? Ha-ha, bung Wijono. Kalau saudara Ida Bagus Tantra tidak cerdik seperti detektif kawakan, mana dia bisa menjadi pembantu inspektur?"
Ida Bagus Tantra tertawa bergelak, lalu berkata dengan suara bernada sungguh-sungguh,
"Aku amat kagum kepadamu, saudara Bahrudin. Kaulah yang patut disebut detektif ulung, dengan caramu yang amat cerdik kau berhasil memancing keluar kakap besar berupa I Made Darma. Memang tadinya mendengar penuturan Pak Basri, aku curiga kepadamu. Akan tetapi kemudian aku dapat melihat suasana dan aku sengaja hendak menangkapmu kemudian melepaskanmu karena aku mendapatkan keyakinan bahwa kau akan berhasil memancing keluar penjahat. Maka akupun ikut pula meramaikan sandiwaramu itu dan membiarkan kau melanjutkan rencanamu. Kemudian ternyata kau berhasil dan aku benar-benar tercengang karena aku tidak mengira sama sekali sebelumnya bahwa yang kau pancing-pancing itu ternyata adalah I Made Darma!"
Ida Bagus Tantra berdiri dan menjabat tangan Bahrudin yang terpaksa menerimanya dengan tersenyum malu-malu mendapat pujian di depan semua orang. Wijono juga segera menjabat tangan Bahrudin dan berkata, suaranya terharu,
"Maafkan aku, bung Din. Akulah yang bodoh sehingga hampir menggagalkan rencanamu."
"Tidak, bung Wij, kau tidak bodoh, melainkan kau jujur dan pantang mundur dalam membela Ktut. Sikapmu yang baik inilah yang banyak membantuku sehingga penjahat itu sama sekali tidak menyangka bahwa aku selalu memperhatikannya dan siap menentang rencananya yang amat jahat."
Ktut Witha bertanya heran,
"Tapi... aku benar-benar tidak mengerti. Mengapa paman I Made Darma berusaha membunuh aku? Dan lebih aneh lagi, kenapa paman dahulu membunuh puterinya sendiri?"
"Aku sendiri belum dapat menyelami wataknya yang aneh dan jahat itu, agaknya saudara Ida Bagus Tantra yang akan dapat menerangkannya,"
Jawab Bahrudin.
Komandan muda itu mengangguk-angguk.
"Dia termasuk seorang yang mempunyai perasaan anti dan benci kepada pendatang dari Jawa. Agaknya dahulu ia pernah menaruh dendam sakit hati yang tidak kuketahui apa adanya. Ia tidak rela melihat puterinya bercinta kasih dengan Marjono seorang pemuda dari Jawa. Usahanya untuk menggagalkan perjodohan itu secara baik tidak berhasil, agaknya puterinya sudah terlalu mencinta Marjono. Karena itu maka ia mengambil jalan keji, membunuh mereka. Memang sudah kuselidiki bahwa dahulu I Made Darma seorang yang mempelajari ilmu hitam sehingga ia memiliki kesaktian seperti yang disebut Leak. Setelah ia membunuh puteri dan tunangan puterinya, agaknya ia merasa menyesal juga, maka ia lalu menebus dosa dan aktif membantu pendeta sehingga ia kemudian diangkat menjadi pemangku di dusun ini. Akan tetapi ia masih mengincar keadaan Ktut Witha, keponakannya yang dahulu menjadi pasangan menari I Putusari. Ia tidak rela kalau Ktut Witha juga meniru jejak puterinya. Ketika mendengar bahwa keponakannya hendak pulang, ia segera menanti di Gilimanuk dan diam-diam ia mengikuti terus ke Denpasar. Melihat keakraban keponakannya dengan saudara Wijono dan saudara Bahrudin, maka ia berusaha menakut-nakuti pemuda-pemuda ini. Ketika tak berhasil, timbul kembali nafsunya membunuh."
Kini jelaslah bagi Wijono dan Ktut Witha. Dua orang muda ini bersyukur sekali dan mereka saling pandang penuh kemesraan dan kebahagiaan. Bahaya telah lenyap, mereka menghadapi hari depan penuh harapan dan kebahagiaan.
* * *
Sebulan kemudian, Ktut Witha dan Wijono berdua kembali ke Jawa. Mereka naik kapal Pelni dari Gilimanuk menuju Banyuwangi, memilih tempat duduk di pojok, jauh daripada para penumpang lain. Kali ini Wijono tidak mabok lagi dan mereka tampak bisik-bisik mesra sekali membuat para penumpang lain yang melirik ke arah mereka tersenyum-senyum. Selama sebulan itu Wijono mengunjungi pelbagai tempat yang indah-indah di pulau dewata, diantar oleh Ktut Witha. Bahrudin mengalah dan menyerahkan taxi yang disewanya untuk sepasang orang muda ini sehingga ke mana-mana dua orang ini diantar oleh PakBasri.
"Terus terang saja,"
Kata Bahrudin ketika mereka hendak berpisah karena ia akan kembali lebih dulu ke Jogja,
"selain menjadikan bung Wijono sebagai umpan, akupun memiliki hasrat agar dia betul-betul takut dan meninggalkan Ktut. Nah, puas hatiku sudah berterus terang. Akan tetapi sekarang aku insaf, pilihan Ktut tidak keliru. Bung Wijono lebih patut."
Kapal menerjang ombak, namun dengan tenangnya dapat melampaui ombak dan meluncur menuju pantai Banyuwangi. Angin laut membuat rambut Ktut Witha awut-awutan dan gadis itu beberapa kali mencoba untuk membereskan rambut yang menyapu-nyapu dahinya.
"Aduh, kau cantik betul, Ktut..."
"Piiihhh..."
Gadis itu tak melanjutkan kata-katanya, melainkan tersenyum manis dan kerling matanya menyambar.
"Ktut, ada satu hal yang selalu masih mengganggu hatiku karena aku belum dapat menduga sebabnya. Dahulu, ketika pertama kali Leak menyerangku, di rumah pamanmu di Denpasar, ketika itu jelas kulihat kau rebah pingsan di kebun. Tapi, kenapa kau tidak mau berterus terang kepadaku dan malah berpura-pura tidak tahu? Kenapa, Ktut?"
Gadis itu menarik napas panjang.
"Sebetulnya... aku... aku sudah menduga bahwa Leak itu adalah paman I Made Darma, mas. Aku takut kalau-kalau kau... kau berbuat sesuatu... ah, betapapun juga, dia pamanku, mas. Tentu saja aku tidak menduga bahwa ia akan bertindak sedemikian jauh dan kejamnya. Kau maafkan aku, mas?"
Suaranya manja sekali.
"Tentu saja, dewiku. Memang kau seorang gadis yang berbudi luhur dan kau... kau cantik seperti bidadari..."
"Piihhh, pandai bermanis mulut..."
Wijono sibuk membongkar tasnya.
"Diam... diamlah, Ktut... aku ingin melukismu seperti itu..."
Sambil tertawa-tawa senang Ktut Witha melihat kekasihnya mulai mencorat-coret sketsa dirinya, ditonton oleh para penumpang lain yang dapat merasakan pula pancaran bahagia yang menyorot dari sepasang muda-mudi yang berkasih-kasihan dengan mesra itu.
Kapal meluncur terus, tenang cepat mengatasi terjangan ombak. Pantai tujuan makin mendekat.
-TAMAT-
Solo, akhir Juni 1967
Penerbit : CV GEMA - Solo
CETAKAN : 1967
Pelukis : Sriwidjono
Sumber Buku & Image : Awie Dermawan
Di Konversi/Tulis kembali oleh : Oz
Text Editing (E-Book) : Oz & Cersil Kph
Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo Tiga Dara Pendekar Siauwlim Karya Kho Ping Hoo Pembakaran Kuil Thian Loksi Karya Kho Ping Hoo