Merdeka Atau Mati 2
Merdeka Atau Mati Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
Kekalahan di Surabaya bukan merupakan hal yang aneh, karena Belanda dan Inggris mempergunakan meriam meriam dan mortir mortir,, mengerahkan serdadu-serdadu bersenjata lengkap dan modern, pula terlatih baik, yang menyerbu dari darat, dibantu moncong moncong meriam dari laut dan metraliur-metraliur dari pesawat udara! Semenjak 10 November 1945 itulah terjadi perang gerilya. Dimana pihak penjajah menemui perlawanan gigih dari rakyat biarpun Belanda melakukan penyerangan membabibuta, membunuh seenaknya, membakar, merampok. Darah rakyat kembali mengalir membasahi bumi Indonesia. Justru darah dan penderitaan ini yang membuat rakyat seluruhnya bangkit dengan tangan terkepal ,mata berapi, dan mulut memetic: MERDEKA ATAU MATI!!
Malam hari yang gelap pekat di sebelah barat Wonokromo,, dekat Krian. Serbuan serbuan Belanda yang dinamakan "aksi polisionil"
Pada Juni 1947 disambut oleh perlawanan pejuang gerilya di mana-mana. Harus diakui bahwa berkat persenjataan mereka yang lengkap dengan mobil-mobil lapis baja, Belanda berhasil menyusup ke mana-mana. Namun di mana saja mereka tiba di situ selalu di kacau oleh serbuan-serbuan para pejuang gerilya. Pada siang hari tak seorangpun pemuda nampak. Akan tetapi kalau sudah datang malam hari, di malam hari yang gelap pekat arti pada malam ini, para pemuda bergerilya. Mereka dengan gagah berani nya menyerbu pos-pos Belanda. Mencegat iringan-iringan truk Belanda, menyergap dengan tiba-tiba dan bagi fihak musuh, mereka ini merupakan "momok"
Yang membuat Belanda tidak enak tidur! Di dekat Krian terdapat sebuah pos Belanda.
Serdadu-serdadu KNIL yang dipimpin beberapa orang Serdadu KL yang berada di pos itu amat lelah sehabis "pembersihan"
Di kampung-kampung tanpa hasil. Hanyalah orang-orang tua dan wanita dapat mereka temui, dan terpaksa memuaskan nafsu membunuh mereka dengan menembaki beberapa orang kakek-kakek. Beberapa sosok bayangan hitam berkelebat di gelap malam, mendekati pos Belanda. Menyelinap dan merangkak. Hanya ada dua belas orang, dua belas orang pemuda yang sigap-sigap, tak bersepatu. Akan tetapi dengan semangat membaca dan pancuran cahaya mata mereka yang berapi-api menjadi bukti akan ketabahan hati mereka. Setiap orang pemuda membawanya sedikitnya sebuah granat tangan. Lima orang membawa karaben Jepang, tiga orang membawa pistol dan yang empat orang masing-masing membawa tiga buah granat tangan dan sebatang pedang.
Inilah persenjataan duabelas orang ini, dua belas orang dari regu "jibaku" (berani mati) yang sudah amat terkenal dalam pasukan-pasukan gerilya yang pada waktu itu dipimpin oleh Bung Tomo! Pemimpinnya seorang pemuda remaja yang paling banyak berusia sembilanbelas tahun. Pemuda berhidung mancung, bermata tajam dan berambut tebal agak keriting. Rambutnya panjang sampai menyentuh telinga. Perawakannya sedang, akan tetapi tangan yang sedikitpun tidak gemetar dalam menghadapi pos Belanda dengan hanya berkawan sebelas orang dan dia sendiri hanya memegang sebuah pistol, membuktikan bahwa di dalam tubuhnya terdapat saraf-saraf baja. Tanpa mengeluarkan suara, hanya dengan gerakan jari tangan kiri, pemuda yang memimpin regu jibaku ini membagi-bagi regunya menjadi tiga.
Enam orang, termasuk dia sendiri dan mereka yang membawa pistol, menyelinap dari depan Pos. Tiga orang yang hanya membawa granat dan pedang menyelinap dari belakang sedangkan yang lain-lainnya, yang tiga orang lagi dengan karaben menghampiri pos dari arah kanan. Sebelum mereka berangkat, pemimpin mereka memang sudah mengatur siasat. Serangan harus dibuka dengan lemparan granat dari samping kanan dan dalam keadaan musuh panik, serangan dilanjutkan dengan karaben dari depan dan kanan. Kemudian perlahan-lahan mundur, membiarkan musuh mengejar, memancing musuh keluar dari Pos dan memberi kesempatan pada tiga orang kawan yang masuk dari belakang pos untuk menyikat semua perlengkapan pos itu, senapan, peluru-peluru dan apa saja yang penting untuk kita!
"Dung!!"
Sinar terang ledakan granat itu menerangi kegelapan malam untuk beberapa detik. Segera disusul rentetan tembakan dari senapan mesin otomatis yang memuntahkan peluru sejadi-jadinya secara membuta tuli. Dari dalam pos, Serdadau-serdadu KNIL menyerbu ke mobil lapis baja, berlindung di sana sambil menembaki keluar. Serdadu KL hanya berteriak-teriak dan memaki-maki di dalam pos. Regu jibaku itu tidak membalas tembakan karena hal ini akan merugikan mereka sendiri karena tempat persembunyian mereka tentu akan diketahui musuh. Granat-granat tangan dipergunakan. Kuncinya dibuka dengan gigi, lalu dilontarkan dari pelbagai penjuru.
"Dung! Dung! Dung!"
Mulai terdengar jeritan-jeritan di depan pos ketika dua buah granat dengan tepat mengenai mobil lapis baja. Agaknya pecahan granat ada yang menyambar masuk mengenai serdadu-serdadu KNIL.
Tiba-tiba dari dalam pos dipasang lampu senter yang terang, menyorot keluar dan diputar-putar, mencari-cari. Sementara itu rentetan senapan otomatis masih berbunyi, malah makin gencar. Tiba-tiba, diantara suara tembakan, terdengar keruyuk ayam jago. Itulah tanda yang dikeluarkan oleh pemimpin regu gerilya ini untuk mulai mundur. Sambil mengundurkan diri dan menyelinap diantara tempat-tempat gelap supaya jangan terlihat musuh yang mulai menggunakan alat penerangan, mereka berpencar. Mulailah sekarang menggunakan pistol dan karaben, bertubi-tubi menembaki ke arah pos, dan inilah siasat memancing mereka. Serdadu Serdadu KNIL yang mengira bahwa para gerilya terpukul mundur, lalu mengejar keluar. Malah serdadu KL (serdadu serdadu Belanda) yang tadi bersembunyi saja di dalam pos, sekarang berani keluar sambil mengeluarkan aba-aba,
"Kejar terus, basmi!"
Sambil terus menembaki dengan karaben dan pistol, regu jibaku ini memancing musuh keluar. Pekerjaan ini amat berbahaya, karena sekarang tempat mereka sudah diketahui musuh dan berondongan senapan mesin musuh benar-benar berbahaya sekali. Namun berhasillah mereka memancing para serdadu meninggalkan posnya. Dan diam-diam bergeraklah tiga orang anggauta gerilya dari belakang Pos, memasuki pos itu. Terjadi pergumulan ketika dua orang anggota KNIL (serdadu sewaan yang dipergunakan Belanda) yang masih tinggal di pos melihat mereka. Tiga orang itu cepat mengerjakan pedang mereka, pedang Samurai peninggalan Jepang dan dalam sekejap mata saja dua orang serdadu KNIL itu tewas.
Pekerjaan dilakukan cepat-cepat, senjata dikumpulkan dan peluru-peluru juga. Ketika pasukan Belanda yang akhirnya sadar bahwa mereka telah meninggalkan pos terlalu jauh itu kembali ke pos, mereka mendapatkan dua orang mayat Serdadu KNIL dan hilangnya beberapa pucuk senapan dan banyak peluru! Opsir KL memaki-maki, menyumpah menyumpahi para gerilya dan memarahi para anak buahnya. Lima orang serdadu KNIL tewas dalam serbuan ini dan tujuh pucuk senapan berikut ratusan butir peluru lenyap! Tiga orang yang berhasil merampas senjata itu bertemu dengan lima orang kawan seregunya di tempat yang ditentukan, yaitu di sebuah hutan jati. Empat orang lain tidak nampak, diantaranya pemimpin mereka.
"Mana sakri?"
Tanya seorang di antara tiga orang perampas senjata tadi, yang berkumis panjang.
Kawannya yang rambutnya seperti rambut gadis tujuhbelas tahun, panjang berombak sampai ke leher, menjawab lesu,
"Tertembak, dengan tiga orang kawan lain. Tiga orang tewas tertembak dan mati seketika. Pak Sakri tertembak kakinya, menolak ketika hendak kami bawa. Keadaan amat terdesak, setan-setan KNIL itu hanya beberapa belas meter di belakang kami, dan moncong senapang mitralYur terkutuk itu menghalangi semua gerakan kami."
Dengan wajah muram, biarpun hasil rampasan senjata-senjata api itu membesarkan hati, regu yang tinggal delapan orang dan kehilangan pimpinan ini kembali ke induk pasukan, membuat laporan dan menyerahkan hasil rampasan.
Memang Sakri yang telah kita kenal adalah pemimpin regu jibaku tadi. Sakri anak Waluyo yang tewas di tangan Kenpetai Jepang di Surabaya. Seperti telah dituturkan di bagian depan, Sakri yang ketika itu baru berusia empat-lima belas tahun, bersama ibunya, Kustiah, keluar dari maskar Kenpetai dalam keadaan tubuh sakit-sakit.
Pakaian mereka berlepotan darah yang masih keluar dari kulit tubuh mereka yang pecah-pecah akibat cambukan-cambukan algojo Jepang. Dalam keadaan sakit dan menderita hebat lahir batin, pederitaan batin akibat terbunuhnya Waluyo lebih hebat terasa, ibu dan anak ini pulang ke Blitar. Kustiah tak dapat sehat kembali setelah penderitaan hebat itu dan setengah tahun kemudian ia menyusul suaminya ke alam baka. Sakri menangis dan berkali-kali roboh pingsan di samping mayat ibunya. Sambat dan tangisnya menghancurkan hati para tetangga yang mendengar dan melihatnya. Dengan bergotong-royong para tetangga mengurus penguburan jenazah Kustiah, akan tetapi karena pada waktu pendudukan Jepang itu tak seorangpun yang lebih baik keadaan ekonominya daripada keluarga Waluyo,
Siapakah yang dapat menampung Sakri dan menambah beban untuk memberi makan seorang anak lagi? Sakri hidup seorang diri, sebatangkara. Memang ada beberapa orang keluarga di dusun, namun mereka sendiri payah keadaannya dan Sakri mempunyai watak yang kuat, tidak mau mengemis dan memberatkan orang lain. Biarpun usianya baru limabelas tahun, namun penderitaan penderitaan lahir batin membuat ia seperti telah dewasa. Dijualnya barang-barang yang ada, peninggalan orangtuanya untuk makan, disamping itu ia mencari pekerjaan seadanya, kalau perlu menjadi kuli angkat di stasiun-stasiun dan di pasar-pasar. Dalam lubuk hatinya lahir dendam dan benci terhadap penjajahan, yang selama pendudukan Jepang itu ditahan-tahannya karena tak berdaya.
Namun, tiga tahun kemudian setelah ia menjadi dewasa, ketika pecah perang perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan tanah air daripada penjajah Belanda yang ingin mengangkangi kembali Indonesia, serta merta Sakri menerjunkan diri ke dalam gelombang perjuangan. Meneruskan jejak Ayahnya, bahu-membahu dengan bekas kawan-kawan Ayahnya, bertekad bulat mempertahankan Ibu Pertiwi dengan peluh dan darah, dengan raga dan kalau perlu dengan nyawa, MERDEKA ATAU MATI, inilah semboyan yang sudah terukir didalam lubuk hatinya. Demikianlah riwayat singkat dari pemuda Sakri, baru berusia sembilanbelas tahun namun telah mendapat kehormatan memimpin regu jibaku yang pada malam hari yang pekat gelap pekat itu menyerbu pos Belanda di dekat riyan!
Riwayat yang juga menjadi riwayat puluhan ribu, ratusan ribu, bahkan jutaan pemuda-pemuda patriot rakyat yang bangkit di saat itu untuk melawan kaum penjajah. Seperti telah diberitakan oleh seorang kawannya yang berambut panjang kepada anggauta regu kemudian dilaporkan kepada komandannya di induk pasukan, Sakri memang kena tembak pada saat ia dan kawan-kawannya memancing Belanda meninggalkan posnya. Tertembak pada kaki kanannya. Peluru senapan musuh telah menembus betisnya dan ia jatuh tersungkur dengan pistol masih di tangan. Empat peran kawannya memburu dan anda menolongnya. Yang tiga sudah tertangkap dan gugur. Akan tetapi Sakri menolak ketika hendak ditolong dan digendong. Peluru-peluru senapang masih menghujani mereka pada saat itu.
"Kalian Pergilah, selamatkan diri dan terutama sekali bantu kawan-kawan yang merampas senjata,"
Katanya terengah-engah menahan rasa sakit pada betisnya yang menjalari seluruh tubuh, panas perih.
"Bawa pistol ini, tinggalkan aku."
"Tapi...,"
Bantah kawannya yang berambut panjang.
"Tidak ada tapi! Ini perintah. Kalau kau menggendongku, larimu tidak cepat, dan kita semua mati ditembak Belanda. Kalau umurku masih panjang, tanda akan menyangka aku sudah mati. Bawa Pistolku."
"Tidak!"
Kawannya membantah.
"Simpan pistol itu... Masih ada pelurunya?"
"Masih, sudah kuisi lagi tadi."
"Simpan dan PERgunakan untuk membela diri..."
Kawan-kawannya terpaksa pergi meninggalkannya karena makin gencar tembakan-tembakan Belanda dan makin dekat para Serdadu itu yang mengejar mereka. Sakri tersenyum di antara rasa nyeri yang menusuk nusuk.
"Masih ada tiga butir lagi. Cukup untuk memaksa tiga orang musuh menjadi pengantar nyawaku..."
Ia segera menelungkupkan diri, mata mengincar ke depan dan pistol tersembunyi tapi siap ditembakkan. Memang tepat ucapan Ayahnya dulu yang masih terngiang ngiang dalam telinga sakit. Nyawa
adalah dalam tangan Tuhan. Tuhanlah yang mengaturnya pakah nyawa akan tetap tinggal untuk sementara dalam tubuhnya ataukah akan direnggut nya sekarang juga. Hatinya menjadi besar. Diserahkan keselamatannya, mati hidupnya kedalam tangan Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan memang agaknya Tuhan belum menghendaki nyawanya kembali ke alam baka. Belanda tiba-tiba menghentikan pengejaran tepat dalam jarak sepuluh meter saja dari tempat dimana ia terjerembab. Keadaan amat gelap menolongnya. Belanda kembali pasukannya kembali ke pos. Sakri tersenyum lagi.
"Aku masih hidup!"
Dan kesadaran bahwa ia masih hidup ini membangkitkan akalnya. Aku harus segera pergi dari tempat ini.
Besok pagi tentu Belanda akan mengadakan "pembersihan,"
Akan memeriksa kembali tempat ini. Ia mencoba untuk berdiri. Kakinya menghentak-hentak nyerinya. Ia menggigit Bibir, tak berapa sakit, pikirnya. Masih lebih sakit ketika disiksa Jepang dulu! Ia memaksa diri berjalan, atau lebih tepat meloncat-loncat dengan kaki kiri, menyeret kaki kanannya yang sudah dilumpuhkan terasa nyeri. Seperti permainan Zondag-Maandag (permainan kanak-kanak melontarkan pecahan genteng ke dalam petak-petak lalu di loncat-loncati), pikirnya geli. Dia dulu jago bermain Zondag-Maandag ini, sampai lama tidak pernah mati (istilah kalau gagal lontaran atau loncatan). Dia jago meloncat-loncat dan sekarang dipraktekkan latihan berloncatan dengan satu kaki itu dalam perang!
Tapi tidak mudah berloncat-loncatan dengan sebelah kaki dalam keadaan terluka seperti dia pada saat itu. Dalam gelap dekat pula. Sakri menghitung-hitung. Kembali ke pangkalan induk pasukan? Tidak mungkin. Sedikitnya tigapuluh km jauhnya, tak mungkin dilakukan dengan berloncatan seperti itu. Di sebelah barat hutan ini terdapat kampung-kampung. Belum pernah ia mengunjungi kampung-kampung itu dan tidak ada kenalannya di situ. Akan tetapi dalam perang total melawan Belanda begini, setiap Kampung merupakan pelabuhan yang aman karena setiap orang dusun merupakan saudara seperjuangan. Aku harus dapat mencapai sebuah kampung sebelum terang tanah, pikirnya pasti. Harus mendahului Belanda sampai ke kampung dan dalam perlombaan ini taruhannya adalah nyawa! Lagi-lagi Sakri tersenyum seorang diri, tanpa berhenti berloncatan dengan kaki kiri.
Kalau dulu permainan Zondag-Maandag taruahannya adalah gendongan. Yang kalah menggendong yang menang. Pertaruhan main loncat-loncatan sekarang ini taruhannya nyawanya! Kalau menang ia selamat, ini harapannya, kalau kalah ia mati, ini sudah pasti! Dan ia harus menang. Harus! Dengan tekad ini di dada Sakri terus berloncatan tak pernah ditunda sedetikpun juga, sampai kaki kirinya serasa hendak patah-patah. Tapi ia terus juga berloncatan. Kepalanya mulai pening, darah berdenyutan di seluruh tubuh, mata berkunang. Menjelang subuh ia melihat cahaya lampu minyak berkelip-kelip, menerobos keluar melalui celah-celah dinding bambu di sebuah kampung. Ini membesarkan semangatnya, namun tubuhnya sudah terlalu lelah, kepalanya terlampau pening. Di luar Kampung ia roboh terguling, dekat tanggul sawah...
(Lanjut ke Jilid 02)
Merdeka atau Mati
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 02
"Aduh, kasihan..."
Ucapan ini bergema di telinganya, halus lembut seperti suara bidadari dari kayangan. Jauh... sayup sampai memasuki telinganya. Timbul keinginannya hendak terbang pergi, jauh meninggi ke arah suara itu, ke kahyangan di mana para bidadari menantinya. Pak Haji Latif, seorang pejuang gerilya pula, pernah bercerita di depan sekelompok pemuda gerilya, setengah berkelakar namun dengan nada suara bersungguh bahwa tewas di medan perjuangan adalah gugur sebagai kesuma bangsa, mati sahid yang pahalanya adalah Sorga, di mana bidadari-bidadari kahyangan bernyanyi-nyanyi, dimana hanya kebahagiaan yang ada, puja-puji kepada Tuhan Yang Maha Besar. Ia ingin terbang melayang ke tempat para bidadari itu, yang tadi berkata,
"Aduh kasihan..."
Ia merasa tubuhnya terapung, seperti tengah terbaring dalam sebuah sampan yang dimainkan ombak laut, ketika ia satu kali pernah menyeberang dari Gresik ke Sampang dahulu. Lalu ada percikan air halus menyentuhnya..., bukan air, melainkan sesuatu yang halus lembut. Dan pada saat itu terdengar pula suara bidadari tadi.
"Aduh kasihan, pahlawan muda belia...!"
Dia disebut pahlawan! Hebat nian! Bukan main merdunya suara itu.
Sekarang terdengar amat dekat di telinganya. Tak mungkin jauh. Kalau begitu ia sudah berada di kahyangan tentunya. Kenapa memejamkan mata? Sebaiknya dibuka, dibuka selebarnya untuk memandang wajah Bidadari. Sakri membuka matanya. Yang pertama dilihatnya adalah sepasang mata. Mata bidadari. Tak bisa salah lagi. Begitu jernih, begitu indah, begitu lembut bercahaya. Lalu Bibir halus lunak kemerahan. Bibir Bidadari! Mana bisa lain? Lalu hidung, mata yang tadi lagi, alis mata, kening, telinga, rambut yang hitam halus. Wajah seorang dara. Dara bidadari tentunya! Tapi mana sayapnya? Pengganti pakaian keputihan berikut sayap bidadari tidak ada, yang ada hanya pakaian kain kelengen (cap kebiruan sederhana) dan baju kebaya hijau muda yang tidak baru lagi. Pakaian sederhana dan tidak bagus. Tapi wajah itu!
"Kau... Kau Bidadari...?"
Bibir Sakri menggumam dan ia mencoba untuk bangun. Dara itu, atau lebih tepat baginya, bidadari itu tersenyum. Tersenyum lega mengandung iba hati yang nampak nyata pada pandang matanya yang halus.
"Syukurlah... Kusangka kau sudah mati tadi."
Ketika bicara, dari bawah Sakri melihat deretan gigi putih nampak sekelebat. Menyilaukan mata, ia mencoba bangun lagi, berhasil akan tetapi ia mengeluh kesakitan ketika menggerakkan kaki kanan, lupa akan lukanya. Sampai gemetar tubuhnya menahan rasa nyeri yang menusuk jantung.
"Aduuuuuuh..."
Keluhnya perlahan.
"Kasihan, muda belia yang malang..."
Sakri merasa tak senang. Tahu ia sekarang, yakin bahwa yang berada di dekatnya ini bukan bidadari, melainkan seorang perempuan muda, mungkin orang dara, yang amat jelita seperti bidadari. Tapi ia tak senang berkali-kali disebut muda belia.
"Umurku sudah dua puluh... mungkin hanya kurang beberapa bulan..."
Gadis itu membelalakan mata yang indah seperti bintang. Seperti orang merasa aneh, entah aneh mendengar ucapannya entah aneh mendengar tentang usianya yang sudah hampir duapuluh. Tapi Sakri tak dapat memperhatikan hal itu lebih jauh, rasa nyeri kembali membuat ia mengeluh.
"Sakit sekali kah kakimu?"
Gadis itu tanpa ragu-ragu lalu memegang kaki kanan sakri, memeriksanya.
"Perlu dicuci lebih dulu, baru dibalut. Di rumah aku masih sedia obat luka."
Tanpa menanti jawaban, gadis itu lalu mengambil sebuah Kendi air yang tadi dibawanya. Setiap pagi ia ambil air dari pancuran, membawa kendi. Kembali ia memegang kaki sakri, di baliknya sehingga luka pada betis menghadap ke atas. Lalu dicucinya luka itu setelah ujung pipa celana itu digulung ke atas.
Mudah saja melakukan hal ini karena ujung pipa celana itu sudah rontang ranting. Kemudian dengan amat cekatan ia mencuci luka. Sakri sampai lupa akan rasa nyeri hebat di saat air menyiram luka di kakinya karena ia memandang semua ini dengan mata terbelalak lebar. Kagum dan heran ia melihat betapa jari-jari tangan yang kecil mungil, kemerahan kulitnya dan terpelihara kukunya itu dengan cekatan dan tanpa ragu-ragu, apalagi jijik, membersihkan luka di betis yang besar. Betis itu terbuka, kelihatan dagingnya kemerahan dan selaput bergajih di bawah kulit yang terrobek. Lalu dengan lebih kagum lagi ia melihat betapa gadis itu mengeluarkan sehelai sapu tangan sutra putih dari balik kebayanya, lalu kakinya dibalut dengan sapu tangan itu, atau lebih tepat hanya dibutuhkan karena sapu tangan itu terlalu kecil untuk dipakai membalut.
"Kau, punya Sapu tangan yang lebih besar?"
Pertanyaan ini menarik Sakri kembali ke dunia ini, dari lamunannya yang membuat ia tadi merasa dalam dunia yang aneh dan indah. Ia mengangguk dan dirogoh sapu tangan besar dari sakunya.
"Tapi... tapi kotor..."
Katanya malu, karena kalau dibandingkan dengan sapu tangan si darah yang putih bersih itu, memang sapu tangannya yang hijau itu kotor.
"Tidak apa, keadaan darurat. Hanya untuk pembalut di luar,"
Jawab gadis itu, lalu dipergunakannya sapu tangan hijau ini untuk membalut kaki yang luka. Baru sekarang Sakri dapat merasa kenyerian yang hebat. Tak tertahankan lagi ia mengeryitkan kening sambil menggigit Bibir agar jangan sampai mengeluh. Ia tidak mau dikasihani orang. Selama ini Sakri paling pantang dikasihani orang. Pernah ia marah-marah ketika seorang teman seperjuangan menyatakan kasihan kepadanya setelah mendengar dia bercerita tentang nasib Ayahnya. Maka sekarang, biarpun sakit hebat, ia tidak mau mengeluh, mancing rasa iba hati gadis ini. Akan tetapi mata yang bening itu awas sekali. Dara itu memijat-mijat sekitar balutan sambil berkata lirih.
"Sakit sekalikah?"
"Tidak Seberapa...!"
"Kasihan sekali..."
Ucapan itu ditahan dan kini gadis itu memandangnya dengan ragu-ragu.
"Ya...?"
Sakri mendesak, penasaran karena takut disebut lagi muda belia yang malang.
"... Pahlawan pejuang yang malang""
Gadis itu tersenyum, agaknya senang mendapatkan sebutan baru itu. Merah wajah Sakri, dia sendiri heran mengapa mukanya panas dan jantunganya berdebar-debar seperti orang kegirangan.
"Aku bukan pahlawan, hanya anggauta regu gerilya biasa saja. Pula tidak berapa sakitnya, tak perlu berkasihan."
Ia merasa kata-katanya terlalu kasar dan untuk menebus kekasarannya ini dengan gagap-gugup ia menyambung.
"... Tidak sakit lagi setelah tersentuh tanganmu yang halus..."
Ucapan ini adalah suara hatinya yang keluar begitu saja. Setelah mendengar ucapannya sendiri ini, ingin Sakri menggampar mulutnya. Mukanya makin merah! Tangan gadis yang menyentuh dan memijati kaki sekitar balutan itu tiba-tiba menggigil, lalu ditariknya tangan itu. Muka yang halus segar itupun menjadi merah sekali.
"Kau... kenapa terluka dan bisa sampai di sini?"
Gadis itu mengerling ke arah pistol yang selama itu tak pernah terlepas dari tangan kanan Sakri.
"Aku tertambak Belanda, dikejar dari pos dekat Krian dan..."
"Ahhh...!"
Wajah yang tadi kemerahan itu menjadi pucat. Matanya terbelalak dan cepat-cepat ia bangun berdiri.
"Lekas! Kau harus lekas-lekas bersembunyi!"
Ia melihat ke atas. Memang udara telah menjadi makin terang. Sebentar lagi akan menjadi pagi.
"Ke mana? Ke mana aku dapat bersembunyi? Kaki ini... buset! Tak dapat dipakai berjalan, apa lagi berlari."
Sakri mempelajari atau menemukan makian "buset"
Ini dari Kadir, teman pejuang asal Jakarta aseli. Dara itu berdiri bingung, memandang ke kanan kiri seperti hendak mencarikan tempat sembunyi untuk Sakri. Akan tetapi di kanan kiri hanya sawah, mana ada tempat sembunyi?
"Aduh... bagaimana...?"
Dia mengepal-ngepal tangan, gelisah bukan main.
"Kalau Belanda patroli ke sini dan kau terdapat di sini... ah... kau akan ditembaknya. Orang-orang sekampung, Pamanku juga... semua akan ditangkapi!"
Entah mengapa, ucapan ini menusuk perasaan Sakri, membuatnya merasa berduka! Ia mencoba bangun, dipaksanya dan berhasil! Lalu dengan tenaga kaki kiri dibantu tekanan kedua tangan, ia berdiri di atas kaki kiri.
"Terima kasih banyak atas kebaikanmu. Aku pergi..."
Dan ia mulai meloncat-loncat lagi, pergi ke lain jurusan, meninggalkan kampung di depan. Gadis itu mengejar dan menghadang di depannya.
"Ke mana kau?"
Mata yang indah itu melebar. Bukan main.
"Aku akan pergi, jauh dari kampung. Agar kalau toh tertangkap, jauh dari sini, tidak membahayakan orang lain, terutama kau dan Pamanmu..."
Sakri meloncat lagi. Akan tetapi gadis itu menangkap lengannya dan menahannya.
"Bodoh! Aku tidak ingin melihat kau tertangkap Belanda! Juga tidak ingin melihat penduduk ditangkapi. Hayo ikut aku!"
Ia menarik lengan Sakri yang terpaksa mengikutinya sambil berloncatan. Akan tetapi, gadis itu teringat akan kendinya yang tertinggal di tempat tadi, berhenti sebentar, lari kembali mengambil kendi lalu menggandeng tangan Sakri lagi.
"Hayo cepat!"
"Ke mana...?"
Sakri meloncat-loncat, berdebar hatinya merasai kehalusan telapak tangan gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba ia mengeluh, kepalanya pening sekali, matanya berkunang.
"Lekas... cepat...!"
Gadis itu mendesaknya. Mereka sudah memasuki kampung dan gadis itu mengajaknya ke sebuah rumah yang boleh dibilang paling besar dan baik di kampung itu, beratap genteng. Akan tetapi Sakri tak kuat lagi, kaki kirinya lemas dan ia terguling roboh, merintih-rintih. Beberapa orang penduduk yang sudah bangun terheran-heran melihat ke arah gadis itu dan Sakri. Seorang laki-laki setengah tua keluar dari pintu rumah. Gadis itu membungkuk dan menjamah kening Sakri.
"Panas sekali..., dia demam karena lukanya!"
Hanya itu yang terdengar oleh Sakri karena segera matanya berkunang dan telinganya berdengung-dengung. Dengan mata terbelalak Sakri membentak-bentak.
"Setan keji...! Jepang jahanam... awas kau...!"
Lalu ia terisak. Tiba-tiba ia melihat wajah beberapa orang laki-laki yang berada di sekeliling amben (dipan bambu), mengepal tinju dan mencoba bangun.
"Anjing-anjing penjajah! Keroyoklah aku, bunuhlah... ha-ha-ha... MERDEKA ATAU MATI!"
Orang itu nampak takut dan khawatir. Tiba-tiba sebuah tangan yang halus menekan pundak Sakri, dan mendorongnya perlahan untuk rebah kembali, dan sehelai saputangan yang basah ditekan di atas jidatnya. Sakri memandang dan sepasang mata yang jernih, yang indah lembut berada di depannya. Ia mengeluh, tangannya yang kanan bergerak memegang tangan yang halus itu, dipegang erat-erat.
"Kau baik... bidadari... kau baik sekali..."
Dan Sakri menjadi tenang, biarpun otaknya masih pusing, pandang matanya masih berkunang-kunang.
Merdeka Atau Mati Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tenanglah, pahlawan perkasa, tidurlah..."
Suara yang lembut ini enak sekali terdengarnya. Sakri meramkan matanya, Bibirnya yang menyeringai menahan sakit mencoba tersenyum.
"Aku... aku pejuang biasa... aku... sudah dua puluh umurku..."
Pada saat itu, seorang laki-laki penduduk kampung itu memasuki rumah dengan muka pucat dan napas terengah-engah. Agaknya tadi ia berlari-lari.
"Celaka..., Mas Gito... serdadu-serdadu Belanda menuju ke sini...!"
Semua orang yang berada di situ, kecuali Sakri, menjadi pucat mendengar berita ini. Mereka bingung. Akan tetapi dengan tenang gadis itu yang juga pucat mukanya berkata,
"Saudara-saudara semua harap pulang ke rumah masing-masing. Lekas!"
Pergilah orang-orang itu keluar dari rumah untuk berada di rumah masing-masing dengan hati berdebar-debar menanti datangnya segala kemungkinan.
"Paman, satu-satunya tempat sembunyi adalah di sana."
Gadis itu menundingkan telunjuknya ke atas.
"Bibi, tolong pinjamkan tangga di sebelah."
Paman dan Bibinya kebingungan, akan tetapi otomatis Bibinya, isteri Mas Gito, berlari ke belakang untuk meminjam sebuah tangga bambu dari tetangganya.
"Akan tetapi, dia sedang demam dan mengigau!"
Kata Mas Gito.
"Biar aku menjaganya, aku dapat membikin dia tenang... mudah-mudahan dia tidak mengeluarkan suara dan selanjutnya kita serahkan kepada Tuhan."
Sebuah tangga diseret masuk, Mas Gito lalu memasang tangga itu pada dinding di bawah langit-langit yang dapat didorong naik. Dengan bujukan-bujukan halus gadis itu mengajak Sakri turun dari amben.
"Belanda datang,"
Bisiknya di dekat telinga Sakri.
"Kita harus bersembunyi di atas, di balik langit-langit, jangan berisik jangan mengeluarkan suara."
Mendengar bisikan ini, cepat Sakri meraba pistolnya, akan tetapi tangan gadis itu menahannya.
"Tiada guna, mereka banyak. Kalau melawan akan kalah, dan kita mati semua..."
Lalu bujuknya merayu.
"Kau pejuang gagah perkasa, kau cerdik, mari sembunyi dengan aku""
Dengan amat susah payah, dibantu Pamannya, gadis itu membantu Sakri menaiki tangga. Gito menarik dari atas, gadis itu mendorong dari bawah. Akhirnya dapat juga Sakri dibawa ke atas, lalu dibawa ke bagian yang kuat, yaitu di atas balok melintang, tertutup oleh langit-langit daripada anyaman bambu. Sakri berbaring telentang di atas balok, gadis itu di sisinya, mengusap-usap jidatnya dan berbisik,
"Diam... jangan bergerak... jangan mengeluarkan suara..."
Sementara itu, Mas Gito sudah turun kembali setelah menutup langit-langit yang tadi dibuka. Cepat ia mengembalikan tangga ke belakang dan menyapu lantai untuk menghapus semua jejak. Memang benar berita tadi. Sepasukan serdadu KNIL, yang dipimpin oleh Sersan KNIL, terdiri dari tiga puluh orang, melakukan patroli dan "pembersihan"
Ke dusun-dusun di sekitar pos. kedatangan mereka mudah dikenal dari suara "dar-der-dor,"
Bunyi senapan yang mereka bunyikan sepanjang jalan. Entah apa maksudnya dengan perbuatan ini. mungkin untuk membikin panik penduduk,
Mungkin juga untuk menakut-nakuti para pejuang gerilya yang berada dekat situ yang pada hakekatnya hanyalah membuktikan bahwa merelah sebenarnya yang merasa ngeri dan takut akan sergapan tiba-tiba dari para pejuang. Karena takut digerilya, mereka mendahului, mengancam dengan suara "dar-der-dor"
Supaya para pejuang itu lari saja, jangan menghadang mereka! Akhirnya mereka memasuki kampung di mana Sakri bersembunyi. Setiap rumah dimasuki, tak lupa menghardik-hardik dan mengancam-ancam setiap laki-laki tua dalam rumah (pemuda-pemudanya tak ada yang tinggal di rumah), tidak lupa pula untuk menggoda perempuan-perempuan muda yang manis dengan omongan kotor dan tangan jail. Rumah Mas Gito akhirnya dimasuki juga, Sersan pemimpin pasukan KNIL ini agaknya mengenal gito, buktinya begitu memasuki rumah ia segera berseru,
"Hei, Pak Gito! Apa kau melihat pemuda gerilya malam tadi lewat di sini?"
Mas Gito bersama istri sedang duduk menghadapi pohung (singkong) rebus dan air teh. Mereka memperlihatkan sikap manis dan Mas Gito segera menyambut kedatangan Sersan itu yang diikut oleh tiga orang anak buahnya. Serdadu yang lain berpisah-pisah di dalam kampung itu, melakukan penggeladahan dengan berkelompok empat-lima orang sehingga jauh dari pemimpin mereka ini dengan leluasa boleh berbuat sesuka hati.
"Ah, Tuan Sersan. Selamat pagi...!"
Seru Pak Gito, lalu menoleh kepada isterinya.
"Lekas keluarkan teh manis!"
Sersan itu tertawa sambil menggoyang tangan.
"Tak usah, tak usah repot-repot! Aku mencari beberapa orang gerilya. Apa ada pemuda di kampung ini?"
"Tidak ada, Tuan Sersan. Pemuda-pemuda kampung sini sudah lari semua meninggalkan kampung dan kami tak pernah melihat ada pemuda, apalagi gerilya,"
Jawab Mas Gito.
"Tidak apalah kalau tidak melihat. Eh, di mana nona Murtini?"
Tiba-tiba Sersan KNIL itu bertanya. Mas Gito dan isterinya melengak. Melihat keheran ini si Sersan tertawa menyeringai.
"Kemarin dulu aku melihat dia dan kutanyakan pada penduduk di sini. Katanya bernama Murtini anak Pak Gito..., heh-heh-heh! Mana dia, aku ingin berkenalan."
"Dia... dia sedang pergi, tuan. Pergi ke Solo ke rumah Neneknya..."
Sersan itu mengerutkan kening, nyata benar kekecewaannya yang membuatnya mendongkol. Sekaligus raut muka yang tadinya ramah berubah kecut.
"Menggabung pada gerilya, ya? Mau masuk Laswi?"
"Tidak, Tuan Sersan. Dia itu... juga bukan anakku, hanya keponakanku. Karena Neneknya sudah tua, sakit-sakit saja tidak ada yang mengurus, dia pergi ke sana untuk merawatnya."
Sersan itu mengangguk-angguk.
"Hemmm, kabarnya dia pernah bersekolah sebagai juru rawat?"
"Betul, Tuan Sersan. Di Surabaya dulu..."
Kemudian disambungnya dengan ramah untuk mengambil hati.
"Kalau Tuan hendak berkenalan, boleh saya beri alamatnya. Di Solo di jalan... eh, jalan apa kampungkah itu? Kampung kalau tak salah, di Keputon, masuk gang... eh sayang, gang dan nomor rumahnya saya lupa lagi."
"Tak usah..., dia akan kembali lagi, kan? Biar kalau dia berkunjung ke sini saja jangan lupa beritahu padaku, ya?"
"Baik, Tuan Sersan."
Hati Mas Gito lega bukan main. Akan tetapi kembali jantungnya berdebar tidak karuan ketika Sersan itu tidak lekas keluar, malah matanya liar menyelidiki ke sana-sini, kemudian berdongak memandang ke atas!
Apa lagi Mas Gito dan isterinya yang melihat semua gerak-gerik Sersan KNIL dan anak buahnya ini, sedangkan gadis itu sendiri yang tidak melihat semua kejadian ini, hanya mendengar suaranya saja dari balik langit-langit rumah, merasa takut dan gelisah bukan main. Tubuhnya panas dingin dan menggigil. Alangkah takut dan kuatirnya ketika ia melihat Sakri agaknya memperhatikan suara-suara di bawah. Ia melihat Sakri menegang urat-uratnya dan pemuda itu hendak bangkit. Ditekannya pundak Sakri, diusap-usapnya jidat pemuda itu, ditatapnya matanya dengan penuh permohonan supaya pemuda itu tidak bergerak. Bibirnya yang agak pucat itu dimoncongkan sebagai isyarat supaya pemuda itu jangan mengeluarkan suara, sambil lirih sekali mendesis.
"Sstt..."
Pada saat itu, untung sekali Sakri sudah sadar kembali dari keadaan mengigau. Tubuhnya masih panas, akan tetapi pikirannya terang. Pemuda pejuang ini dapat menduga bahwa di bawah sedang diadakan pemeriksaan oleh serdadu-serdadu KNIL.
Hatinya berdebar, bukan karena takut, melainkan karena gatal-gatal tangannya untuk dapat menyergap mereka itu. Alangkah akan senang dan enaknya untuk menyerang mereka dengan pistol, lebih-lebih lagi dengan granat! Posisinya bagus sekali. Sayang ia tidak mempunyai granat, dan pistolnya tinggal tiga butir pelurunya. Karena ketegangan hatinya, ia hendak bangun duduk, akan tetapi dengan ketakutan gadis yang mengira dia "kumat"
Demamnya itu lalu mencegahnya! Ketika Sakri berusaha untuk terus duduk, gadis itu bahkan lalu memeluknya dan tangan kiri gadis itu didekapkan di depan mulutnya! Di bawah, Mas Gito masih gelisah. Sersan KNIL itu memandang ke atas, seakan-akan sudah tahu bahwa di atas langit-langit bersembunyi seorang gerilyawan, dan gadis yang dicari-carinya!
"Rumahmu bagus, Pak Gito! Beratap genteng, ada langit-langitnya, bangunannya dari kayu jati tua pula. Hemm, bagus""
"Ah, hanya rumah kampungan, Tuan Sersan..."
Isteri Mas Gito menjawab untuk membantu suaminya yang dilihatnya sudah pucat ketakutan itu.
"Sayang bukan tembok,"
Kata pula Sersan itu dengan suaranya yang parau.
"Kalau terjadi kebakaran, kan sebentar saja habis!"
Sersan itu mengeluarkan gerakan dari saku bajunya dan mencetuskan membuat api. Mas Gito dan isterinya makin berdebar. Lebih-lebih gadis itu yang kini sudah setengah terbaring di atas tubuh Sakri! Tempat itu amat sempit, yaitu hanya sebuah balok melintang dan usuk-usuk penahan langit-langit, maka tiada tempat berbaring lain kecuali di atas tubuh Sakri. Saking takutnya gadis itu tidak ingat lagi betapa kini ia sudah memeluk Sakri, malah rambutnya menutupi kepala dan muka pemuda itu dan tanpa disengaja, pipinyalah yang sekarang menutup mulut Sakri. Tubuhnya menggigil. Akan dibakarkah rumah ini? Sebetulnya Sersan itu hanya hendak menyalakan sebatang sigaret. Setelah dua kali ia menghembuskan keluar asap rokok yang bergulung-gulung, ia berkata,
"Kau tentu punya ayam, Pak Gito?"
"Ayam??"
"Dan telur-telur..."
Ibu Gito yang telah maklum akan maksud Sersan itu, cepat menjawab,
"Ada... ada... biar sebentar saya tangkap dan kumpulkan telurnya untuk bekal..."
Sersan itu tertawa menyeringai.
"Di pos sukar sekali mendapat telor, apa lagi daging ayam gemuk! Tiga atau empat ekor sudah cukup, ibu. Sepuluh atau duapuluh butir telurnya!"
Akhirnya "pembersihan"
Itu selesai. Sersan membawa anak buahnya keluar dari kampung itu, membawa hasil "pembersihan"
Berupa ayam, telur, barang-barang kebutuhan makan yang lain, dan secara tersembunyi juga barang-barang berharga di dalam kantong-kantong militer para serdadu itu. Setelah yakin benar bahwa serdadu-serdadu itu telah pergi, tak tertahan lagi saking girangnya terlepas dari pada rasa takut dan gelisah yang tadi mencekiknya, gadis itu menjatuhkan mukanya di atas dada Sakri dan menangis! Sakri merasa seolah-olah dalam mimpi. Tadi ia tidak berani berkutik, ketika pipi gadis menutup sebagian mukanya, ketika rambut yang halus dan sedap itu mengusap-usap muka dan lehernya. Sekarang ia tak dapat menahan tangannya untuk tidak merangkul leher gadis itu, membelai-belai rambutnya dan berkata perlahan, menghibur,
"Jangan menangis..."
"Akan tetapi gadis itu malah makin terisak-isak, lalu mengangkat mukanya dan memandang wajah Sakri sambil tersenyum! Aneh tapi nyata. Matanya yang bening bagus mencucurkan air mata, dadanya terisak, tapi mulutnya tersenyum dan matanya berseri-seri!
"... Kau tidak bergerak... kau tidak bersuara... Padahal kau kesakitan dan marah kepada mereka... kau gagah..."
Perasaan aneh menyelubungi hati Sakri. Ia menangkap tangan gadis itu, ditatapnya wajah jelita itu penuh perasaan dan Bibirnya membisikkan suara hatinya.
"Aku cinta padamu..."
Sakri kaget sendiri mendengar bisikannya itu. Mukanya menjadi merah. Gadis itupun menjadi merah mukanya, Bibirnya setengah terbuka memperlihatkan giginya yang seperti mutiara terjajar, napasnya terengah-engah, lalu ia menjauhkan diri sedapatnya. Akhirnya ia dapat menekan perasaan hatinya yang tidak karuan itu, lalu berkata sambil tersenyum malu,
"Alangkah ganjil kedengarannya, alangkah lucunya."
"Apanya yang lucu...?"
Sakri menuntut penasaran dan malu.
"Berkenalanpun kita belum, mengenal nama masing-masing belum..."
"Aku sudah tahu namamu. Indah benar. Murtini..., bukan?"
Gadis itu mengangguk, lalu menunduk.
"Dan... kau...?"
"Sakri namaku, seorang pejuang biasa, sudah..."
Karena kampung itu terlalu dekat dengan pos Belanda, maka atas ikhiar Murtini dan Pamannya, Sakri diangkut ke pangkalan induk pasukan gerilya. Sungguhpun baru berkenalan selama dua hari satu malam berat sekali perpisahaan ini. Selagi Mas Gito dan isterinya bersama beberapa orang tetangganya mempersiapkan alat pengangkut, Murtini memperbarui pembalut kaki Sakri. Beberapa kali Sakri memegang tangan Murtini dan menggenggamnya erat-erat, dibiarkan saja oleh Murtini. Jari-jari tangan yang saling cengkeram itu menyatukan denyut darah mereka, menyatakan perasaan kasih sayang yang mesra hangat. Pandang mata mereka mewakili suara hati.
"Dik Mur..."
"Hmmmm...??"
"Kalau aku pergi... kita berpisah..."
"...ya...?"
"Bilakah kita dapat bersua kembali...?"
"Entahlah."
"Bisakah kita bersua kembali?"
Katanya ini mengandung kekuatiran besar.
"... tentu bisa, mas. Apabila Tuhan menghendaki..."
"Apabila Tuhan menghendaki dan... apabila kau suka untuk bertemu dengan aku. Dik Mur, sukakah kau bersua kembali denganku kelak?"
Gadis itu mengangguk, lalu melanjutkan pekerjaannya membalut kaki yang terluka. Luka itu membengkak dan ia cemas sekali. Infeksi!
"Kau harus cepat-cepat dirawat oleh dokter yang mempunyai persediaan obat anti infeksi, kau harus disuntik..."
Akan tetapi Sakri tidak memperhatikan ucapan ini.
"Dik Mur, kau belum menjawab pertanyaanku di bawah atap kemarin..."
"Apa...?"
Murtini pura-pura lupa.
"Ini kesempatan terakhir. Dik Mur, belum pernah aku mempunyai perasaan seperti ini terhadap seorang gadis. Aku cinta padamu..."
Murtini menundukkan mukanya dan dua titik air mata menuruni pipinya.
"Bagaimana mungkin dalam dua hari memastikan tentang cinta? Mas Sakri, aku kagum melihatmu, aku bangga berdekatan denganmu. Kau seorang pemuda perkasa, seorang patriot bangsa..., aku suka padamu, Mas Sakri. Demi Tuhan, aku suka sekali kepadamu... tentang cinta... aku belum berani menyatakan dengan pasti. Akan tetapi aku suka padamu melebihi semua orang lain. Melebihi Ayah...!"
Sakri kaget.
"Ayahmu di mana, dik Murtini?"
"Ayah... di Semarang..."
"Ikut Belanda...?"
"... tidak...! Tidak....! Ayah juga seorang pejuang..."
"Aahhh..."
Lega hati Sakri.
"Kaumaksudkan beliau di dalam hutan-hutan bersama dengan para pejuang?"
Murtini mengangguk pasti.
"Dan kau sendiri, mas? Di mana orang tuamu?"
Sakri menarik napas panjang.
"Ayahku meninggal mati dalam siksaan Kenpetai, ibu juga meninggal dunia karena siksa dan duka..."
"Aduh kasihan...!"
Otomatis tangan gadis itu membelai rambut di atas jidat Sakri. Pemuda ini menangkap tangan itu dan menciuminya penuh perasaan.
"Dik Murtini..., aku cinta padamu..., aku cinta padamu..."
Murtini menarik kembali tangannya, mukanya merah dan dadanya terisak.
Merdeka Atau Mati Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sudah siap sekarang, Mas. Aku tidak dapat memberi apa-apa sebagai kenang-kenangan, hanya ini..."
Dicabutnya sehelai saputangan jambon (merah muda) dari balik bajunya dan diberikannya kepada Sakri, Sakri sudah bangun duduk, diterimanya saputangan sutera yang harum itu.
"Kau tidak takut, dik Mur? Kata orang, saputangan adalah lambang pemutus perhubungan?"
"Aku bukan seorang tahyul, Mas. Punyaku hanya itu, habis memberi apa untuk tanda mata?"
Sakri bingung, akhirnya ia teringat akan saputangan hijaunya yang amat kasar. Dengan hati was-was dan malu, ia keluarkan juga saputangan kasar itu.
"Dan ini pemberianku padamu. Tidak punya benda lain..."
Mereka bertukar sapu tangan, bertukar pandang mesra, adakah ini pertanda bertukarnya dua hati? Entahlah. Empat orang memanggul Sakri yang berpakaian sebagai seorang petani yang menderita sakit. Kalau ada pertanyaan di jalan, dijawab bahwa mereka mengantar orang sakit pulang, ke kampung nya. Padahal Sakri dibawa ke dalam hutan, ke pangkalan induk pasukan. Di mana ia diterima dengan girang oleh kawan-kawannya yang menyangka ia sudah mati beberapa hari yang lalu. Segera ia mendapat perawatan dan tak sampai sebulan sembuhlah Sakri.
Ia sudah mulai aktif kembali dalam perjuangan. Hanya ada perubahan besar pada dirinya yang membuat para kawannya seringkali terheran-heran. Dahulu Sakri terkenal sebagai seorang gerilyawan yang amat berani, malah kadang-kadang mendapat teguran keras dari komandan karena terlalu berani sehingga boleh dibilang nekat, tak menghiraukan keselamatan diri. Akan tetapi sekarang, setelah sembuh dari lukanya, ia menjadi seorang yang selalu berhati-hati. Dia masih pemberani seperti dulu, akan tetapi tidak nekat, memakai perhitungan. Teman-temannya mengira buat ini adalah akibat penderitaan lukanya, akan tetapi para pemimpinnya melihat kematangan jiwa dari diri pemuda ini, kematangan jiwa seorang pejuang yang bersiasat.
Tenaga yang demikian ini amat diperlukan dan tak lama kemudian Sakri meningkat pangkatnya, bahkan dua tahun kemudian ia telah menjadi seorang Letnan. Perjuangan melawan Belanda dilakukan dalam dua cara, cara politis cara bergerilya. Namun berkali berkali- belanda secara licik melanggar segala persetujuan. Satu pihak mereka bermuka manis mengajak berunding, di lain pihak serdadu-serdadu nya melakukan penyerbuan penyerbuan, malah akhir-akhir ini pencurian mereka berbentuk apa yang mereka sebut "Aksi Polisionil ke Dua"
Menyerang dengan tiba-tiba mengerahkan semua angkatannya. Tentara kita yang kalah kuat perlengkapan dan persenjataannya tak dapat menghadapi pertempuran terbuka, maka serdadu-serdadu Belanda berhasil menyerbu sampai ke Jogja dan menangkap-menangkapi para pemimpin termasuk Presiden Sukarno dan Wakil Presiden/Perdana Menteri Hatta.
Para pemimpin ini diangkut ke Sumatera Utara dan ke Bangka. Biarpun demikian, tentara kita masih terus melakukan perlawanan hebat. Perang gerilya ditingkatkan dan dimana-mana Belanda mengalami hantaman dan serbuan dari para gerilya. Di mana-mana belanda tidak merasa aman, di dalam markas markas sendiri di mana dipekerjakan tenaga-tenaga Indonesia, mereka selalu merasa curiga. Memang, para pejuang bukan hanya merupakan sekelompok pemuda, melainkan api semangat perjuangan sudah membakar seluruh hati dan jiwa rakyat. Seorang pelayan wanita yang dulu disebut "babu"
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo Rondo Kuning Membalas Dendam Karya Kho Ping Hoo