Satria Gunung Kidul 3
Satria Gunung Kidul Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
"Demikianlah riwayat itu, Saritama,"
Kata Sang Panembahan Sidik Panunggal kepada Saritama yang mendengarkan dengan penuh perhatian dan tertarik sekali.
"Dan sekarang ketahuilah, wahai anakku, bahwa tumenggung itu adalah Tumenggung Wiradigda yang sekarang masih menjadi Tumenggung di Majapahit dan berkedudukan di wilayah Tangen, sedangkan adipati itu adalah Adipati Cakrabuwana atau... adikku sendiri! Sedangkan kedua putera adipati yang diselamatkan itu tidak lain adalah... Sakri dan kau sendiri! Jadi, aku bukanlah ramamu sebagaimana yang selama ini kau ketahui, akan tetapi adalah bapak tuamu atau pamanmu!"
Kalau bumi yang terpijak kaki Saritama pada saat itu ambles, belum tentu pemuda itu akan sedemikian kagetnya mendengar penuturan ini. Sepasang matanya tajam menatap Sang Panembahan, wajahnya memucat dan bibirnya gemetar. Tiba-tiba ia maju menyembah dan berkata dengan suara keras,
"Paman Panembahan, mohon doa restumu!"
Ia lalu melompat bangun dan sambil mengacungkan tinjunya ke atas, ia berseru dengan bengis.
"Tumenggung Wiradigda, tunggulah pembalasanku!"
Kemudian, tanpa menoleh lagi, pemuda itu lalu melompat ke depan dan lari keluar dari tempat itu secepat kidang melompat! Sang Panembahan memandang ke arah perginya Saritama sambil menggeleng-geleng kepala,
"Ah, hati muda... semoga Hyang Agung akan menjauhkannya daripada kesesatan."
Kemudian, tanpa mengeluarkan kata-kata lain kepada sekalian cantrik yang masih duduk bersila di situ, Sang Panembahan lalu memasuki pondoknya kembali dan duduk bersila bermuja samadhi dengan tekunnya. Para cantrik hanya dapat saling pandang dan menggeleng-gelengkan kepala sambil menghela napas. Dengan hati dan pikiran tak karuan rasa, duka, kecewa, marah menjadi satu, Saritama meninggalkan pondok Panembahan Sidik Panunggal. Hatinya dipenuhi rasa dendam dan sakit-hati, dan pada saat itu ingin sekali ia segera bertemu dengan musuh besarnya yang telah menghancurkan penghidupan ayah-ibu dan keluarganya. Ingin ia segera mendapat kesempatan menjatuhkan tangan kepada Tumenggung Wiradigda.
"Hm, Wiradigda keparat! Kau mengandalkan pengaruh dan kedudukanmu, dengan kejam dan buas menfitnah orang tuaku. Setelah kau merampas kekasih ayah, kau masih sampai hati untuk menghancurkan penghidupan ayah! Alangkah kejam, apa kaukira hanya aku saja laki-laki jantan di atas dunia ini. Tunggulah, awaslah kau, tumenggung keparat!"
Tiada hentinya bibir Saritama bergerak-gerak membisikkan ancaman-ancaman ini di sepanjang jalan.
Ia berlari bagaikan gila menuju ke Tangen, sebuah pedusunan yang berada di sebelah selatan Majapahit. Bukan dekat perjalanan yang ditempuhnya, akan tetapi berkat kesaktian dan kepandaiannya yang hebat, yakin dengan ilmu lariKidang Kencana,ia mengharapkan akan dapat sampai di tempat itu dalam tiga hari. Pada malam hari ketiga, ia telah tiba di luar daerah Tangen. Oleh karena malam itu gelap sekali, terpaksa ia harus bermalam di sebuah dusun kecil dan tak dapat melanjutkan perjalanannya. Dusun di mana ia berhenti itu kecil, akan tetapi cukup ramai. Ketika melihat sebuah pondok di dalam dusun itu, pondok yang dilengkapi dengan sebuah tempat pemujaan di sampingnya seperti yang biasa dipunyai oleh seorang pertapa atau seorang Panembahan, ia menjadi tertarik. Ketika ia bertanya kepada seorang petani yang kebetulan bertemu denganya di tengah jalan dekat pondok itu, ia bertanya.
"Paman, maafkan kalau aku menganggumu. Pondok siapakah yang nampak di depan ini. Agaknya pondok seorang pertapa."
Petani itu memandangnya sejenak, karena ia dapat menduga bahwa pemuda ini tentulah seorang pendatang dari jauh hingga tak mengenal pondok pertapa terkenal itu.
"Raden,"
Katanya penuh hormat karena biarpun pakaian Saritama sederhana dan bagaikan seorang petani, namun sikap halus dan wajah tampan pemuda itu menimbulkan dugaan kepadanya bahwa pemuda ini tentu bukanlah seorang petani biasa.
"Pondok ini adalah tempat kediaman seorang dukun yang sakti dan ditakuti orang, namanya Bagawan Kalamaya yang kemashurannya telah terkenal sampai keKota Raja."
"Ah, kebetulan sekali, paman. Kalau seorang bagawan, tentu sudi menerima aku untuk bermalam di sini."
"Raden, kalau kau hendak bermalam di dusun kami, dan kalau kiranya gubukku yang bobrok tidak menjadikan celaan, aku persilakan kau mampir dan bermalam saja di rumahku. Janganlah kau mencoba untuk minta bermalam di sini."
Saritama merasa heran.
"Eh, mengapa begitu, paman? Aku berterima kasih sekali kepadamu, paman. Kau memang baik hati dan ramah tamah, akan tetapi, hatiku menjadi ingin tahu mendengar kata-katamu tadi. Mengapa Bagawan Kalamaya takkan mau menerimaku? Bukankah seorang pendeta itu biasanya murah hati dan berbudi?"
Petani itu menghela napas dan matanya memandang ke arah pondok itu dengan hati-hati dan takut-takut, kemudian ia berbisik.
"Raden, ketahuilah, Bagawan Kalamaya adalah dukun tenung yang ditakuti orang dan iapun galak sekali. Yang paling hebat ialah bahwa di rumahnya terdapat banyak iblis yang dipeliharanya!"
Saritama tersenyum. Ia tidak merasa heran mendengar ucapan petani ini, oleh karena memang para petani yang bodoh seringkali mudah dipengaruhi dan ditakut-takuti tentang iblis-iblis dan segala setan oleh orang-orang yang mereka anggap dukun tenung.
"Biarlah, paman. Betapapun juga aku ingin sekali berkelanan dengan dukun yang sakti itu."
Petani itu memandang kepada saritama dengan penuh kekuatiran dan juga kagum, akan tetapi ia telah demikian ketakutan berada terlalu lama di dekat pondok Bagawan Kalamaya, maka ia segera meninggalkan Saritama cepat-cepat sambil menoleh beberapa kali. Saritama lalu memasuki pekarangan pondok yang gelap itu. Langsung ia menuju ke pintunya dan mengetok sambil mengucapkan salam. Setelah beberapa kali ia mengetuk pintu, barulah terdengar jawaban dari dalam.
"Anak muda yang cakap dan gagah, pintu pondokku tidak terpalang, dorong saja dan masuklah!"
Dengan sikap hormat Saritama lalu mendorong daun pintu itu. Daun pintu mengeluarkan bunyi bergerit menyeramkan dan Saritama melihat seorang kakek bongkok bersila menghadapi sebuah meja rendah dan di atas meja itu terdapat sebuah dian minyak kecil. Cahaya dian itu remang-remang dan membuat bayang-bayang suram pada dinding bilik. Tercium bau kemenyan dan kembang layu ketika Saritama memasuki ruang kecil ini. Dengan sikap menghormat, pemuda itu lalu duduk bersila pula menghadapi tuan rumah yang tua itu, lalu berkata,
"Mohon maaf sebesarnya dari Bapak Bagawan apabila saya mengganggu ketentraman Bapak."
"Ha, ha, ha!"
Kakek itu tertawa dan sepasang matanya berputaran.
"Anak muda yang tabah dan cakap lagi sopan seperti engkau memang tak usah takut takkan mendapat tempat bermalam! Bukankah kedatanganmu ini hendak bermalam di tempatku yang buruk ini, anak muda?"
"Memang benar demikianlah maksud kedatangan saya, yakni kalau bapak tidak menaruh keberatan dan rela menerimanya."
"Tentu, tentu! Kau boleh bermalam di sini. Akan tetapi, siapakah kau, anak muda yang tampan dan sopan, kau datang dari mana dan hendak ke mana?"
Ketika tadi untuk pertama kalinya melngkahkan kakinya ke dalam ruang ini, Saritama yang bermata tajam sudah dapat melihat bahwa kakek ini memang seorang sakti yang memiliki ilmu hitam atau ilmu sihir yang tidak pantang mendatangkan celaka kepada orang lain, maka ia telah merasa kecewa masuk ke situ. Akan tetapi, oleh karena ia telah berada di dalam, pula sebagai seorang tamu, terpaksa ia harus berlaku sopan santun sesuai dengan kepribadiannya. Kini ia hendak mencoba sifat dukun itu dan menjawab pertanyaan dengan suara tenang,
"Bapak Bagawan, saya telah mendengar akan kesaktian dan kewaspadaanmu, mengapakah bapak masih hendak bertanya lagi? Bukankah bapak sudah tahu akan segala rahasia alam, termasuk namaku dan segala hal yang mengenai diriku yang bodoh?"
Bagawan Kalamaya tertawa sehingga tubuhnya bergoyang-goyang.
"Ha, ha, ha, anak muda. Kau benar-benar pintar dan menyenangkan hati! Sudah tentu aku tahu akan segala apa di mayapada ini, dan tidak ada rahasia bagi Bagawan Kalamaya. Akan tetapi, sebagai seorang manusia, aku tak boleh meninggalkan kebiasaan manusia terhadap manusia lain, yakni apabila bertemu harus saling bertanya."
Mendengar jawaban ini. Saritama dapat meraba bahwa pendeta ini memiliki kesombongan besar dan hendak berpura-pura suci dan mengerti akan hukum alam. Maka ia tersenyum ketika menjawab,
"Baiklah, bapak bagawan. Saya bernama Saritama dari Gunung Kidul, dan saya hendak pergi ke Tangen."
"Ah, ah... bukankah kau hendak mencari Tumenggung Wradigda?"
Tanya kakek pendeta itu. Saritama agak tercengang karena tak disangkanya bahwa pendeta ini dapat pula membaca maksud hatinya! Ia tak tahu bahwa Bagawan Kalamaya hanya menggunakan kecerdikan dan bahwa dugaannya itu hanya kebetulan tepat. Orang terpenting di Tangen hanya Tumenggung Wiradigda seorang, maka kalau ada seorang pemuda gagah datang dari tempat jauh menuju ke Tangen, siapa lagi yang hendak ditemuinya disana selain Tumenggung Wiradigda? Oleh karena inilah maka dukun hitam itu dapat menduga dengan tepat.
"Benar, bapak bagawan yang waspada, memang rasa hendak pergi mencari Tumenggung Wiradigda."
Ketika mengucapkan nama ini, suara Saritama menjadi tajam dan mengandung kebencian. Hal ini tak terlepas daripada pendengaran dukun hitam yang cerdik itu.
"Hm, hm, kulihat kau mempunyai permusuhan dengan sang tumenggung! Kalau kau tidak merasa keberatan, Saritama, cobalah kauceritakan urusanmu dengan tumenggung itu kepadaku. Mungkin sekali aku dapat menolongmu!"
Kembali Saritama kagum mendengar dugaan yang tepat ini. Ia tidak memiliki rahasia hati dan apa yang hendak ia lakukan terhadap Tumenggung Wiradigda, yakni pembalasan dendam, tak hendak ia rahasiakan kepada siapapun juga. Maka, apa salahnya menceritakan kepada dukun ini?
"Memang tepat dugaan bapak bagawan. Saya hendak mencari Tumenggung Wiradigda untuk membuat perhitungan lama yang hingga kini belum diselesaikan! Tumenggung keparat itu telah membinasakan seluruh keluarga ayahku dan sekarang tiba masanya bagi saya untuk membalas kejahatannya itu!"
Bagawan Kalamaya memandang tajam.
"Siapakah orang tuamu, Saritama yang gagah berani?"
"Mendiang ramandaku adalah Adipati Cakrabuwana di Tritis."
Kedua mata pendeta itu melebar lebar.
"Eh, eh... jadi kau adalah putera adipati yang telah lama dicari-cari oleh Tumenggung Wiradigda dan tak pernah ditemukan itu? Dan saudaramu yang seorang lagi, di manakah dia?"
"Hm, agaknya bapak juga tahu benar akan riwayat itu, bukan?"
Dukun hitam itu mengangguk-angguk."Siapa yang tak kenal Adipati Cakrabuwana, pemberontak itu?"
"Jangan bapak berkata demikian!"
Bentak Saritama marah.
"Tumenggung Wiradigda memfitnahnya!"
"Ya, ya... memang kedua orang itu bermusuhan dan saling membenci! Mereka saling membenci hanya karena seorang wanita. Ah, wanita, kau mahluk lemah akan tetapi pengaruhmu lebih kuasa dan kuat daripada sekalian pria yang terkuat!
Tahukah kau Saritama? Wanita macam apa yang dulu dicinta ayahmu dan yang telah direbut oleh Tumenggung Wiradigda? Ha, ha! Sayang seribu sayang, seorang gagah seperti Cakrabuwana hanya menjadi kurban karena seorang wanita macam itu! Memang dulu wanita itu mencinta ayahmu, akan tetapi setelah ia menjadi isteri Tumenggung, bahkan dia sendiri yang membujuk-bujuk suaminya untuk menfitnah Cakrabuwana! Ah, wanita... memang kau mahluk termulia, tapi juga mahluk paling jahat di dunia ini! Puteri itu sekarang telah mempunyai seorang anak perempuan yang telah dewasa dan dalam hal kecantikan, ia tak kalah oleh ibunya! Ha, ha, ha!"
Makin panas hati Saritama mendengar penuturan yang memanaskan hati ini, maka dengan menggertak gigi pemuda itu berkata,
"Biarlah, paling lama sampai besok pagi, Wiradigda seanak-isterinya tentu akan binasa di dalam tanganku!"
Tiba-tiba Bagawan Kalamaya tertawa gelak-gelak hingga terpingkal-pingkal memegangi perut.
"Bapak Bagawan, apakah yang kau tertawakan?"
"Saritama kau anak kecil yang masih hijau, bagaikan seekor burung baru belajar terbang! Apakah yang kauandalkan maka kau berani mengucapkan kata-kata ancaman itu? Seekor semutpun kalau dapat mengerti omonganmu akan tertawa geli, jangankah seorang manusia! Kau tahu apa? Wiradigda bukanlah sembarang orang yang mudah dibinasakan begitu saja. Bahkan aku dengan segala ilmu sihirku tak dapat membinasakannya, apalagi kau. Tumenggung Wiradigda adalah seorang yang sakti mandraguna dan banyak perwira sakti menjadi pembantunya. Barisan yang berada di dalam kekuasaannya saja sebanyak ribuan orang!"
Namun Saritama tidak gentar mendengar ini.
"Aku tidak takut, Bagawan Kalamaya!"
Katanya dengan suara tetap keras.
"Biar andaikata Wiradigda mempunyai tiga kepala dan enam tangan, kesemuanya akan kuhancurkan dengan kedua kepalan tanganku!"
Sekali lagi dukun itu tertawa geli hingga dari kedua matanya keluar air mata.
"Saritama, jangan kau sombong! Selain para perwira dan para perajurit Tangen yang sedemikian banyaknya itu, masih banyak pula pembantu-pembantunya, yakni pertapa-pertapa sakti mandraguna yang memiliki banyak ilmu dan aji kesaktian. Diantara mereka ini, akupun menjadi penasehat dan pembantunya!"
Saritama bangkit berdiri dan bersiap-sedia!
"Ha, ha, anak muda, kau mempunyai kepandaian apa?"
Sambil berkata demikian, dukun hitam itu lalu mengangkat tangan kirinya ke atas dan tiba-tiba dari arah jendela biliknya itu menyambar angin dingin! Api dian berkelap-kelip dan hampir padam. Kini Bagawan Kalamaya juga berdiri dan tubuhnya yang bongkok menambahkan keseraman ruang gelap itu. Tangan kanan dukun itu memegang sebatang tongkat dan sambil melempar tongkat itu ke arah Saritama, terdengar suaranya yang parau membentak.
"Lihat nagaku menelanmu bulat-bulat!"
Aneh sekali, dalam cahaya yang remang-remang itu, tongkat yang dilempar tadi tiba-tiba mengeluarkan asap dan berubah menjadi seekor naga atau ular besar bertanduk dua yang hanya dapat terlihat dalam alam mimpi seorang penakut!
"Bagawan Kalamaya, apakah harganya permainan macam ini diperlihatkan?"
Kata Saritama tiada gentar sedikitpun. Ketika ular naga itu menyambar ke arah lehernya, ia angkat tangan kirinya dan dengan telapak tangan dimiringkan ia memukul ke arah tubuh ular naga itu sambil berseru keras,
"Asal tongkat kembali menjadi tongkat!"
Terdengar suara keras dan tubuh ular naga itu kena pukul tangan Saritama lalu terlempar ke dinding dan berubah menjadi dua batang kayu, karena tongkat itu telah patah di tengah-tengah dan kini berserakan di atas lantai! Angin yang bertiup dari arah jendela berhenti dan api dian bernyala baik kembali hingga keadaan menjadi terang. Bagawan Kalamaya tertawa terkekeh-kekeh, lalu ia duduk bersila kembali.
"Kau sakti, Saritama, cukup sakti! Tak kunyana putera Cakrabuwana memiliki kesaktian melebihi ayahnya. Bagus, bagus, anak muda, tadi aku hanya mengujimu saja! Kau hendak menumpas keluarga Wiradigda di Tangen? Bagus, memang mereka itu harus dibinasakan!"
Saritama tertegun melihat perubahan ini. Iapun lalu duduk kembali.
"Bagawan Kalamaya, agaknya kaupun membenci tumenggung keparat itu?"
Tanyanya.
"Heh, heh, hem!"
Suara ketawa dukun itu makin menjemukan.
"Siapa yang tidak kubenci? Ketahuilah, Saritama, sudah lama akupun hendak menyerbu ke Tangen, akan tetapi aku tidak cukup kuat menghadapi mereka, terutama menghadapi Dewi Saraswati!"
"Sang Bagawan, siapakah Dewi Saraswati itu?"
Tanya Saritama.
"Ha, ha, ha, siapa lagi? Dewi Saraswati adalah permaisuri Sang Hyang Brahma, Dewa tertinggi!"
Saritama memandang heran. Iapun maklum bahwa para pemeluk agama Brahma menganggap Dewa yang tertinggi kekuasaannya adalah Sang Hyang Brahma dan permaisuri atau yang disebut shakti dari dewa ini adalah Dewi Saraswati.
"Akan tetapi, apakah maksudmu mengatakan kau takut menghadapi Dewi Saraswati di Tangen?"
"Saritama, ketahuilah bahwa kekasih ayahmu yang telah mengecewakan hatinya dan menjadi isteri Tumenggung Wiradigda, mempunyai seorang puteri. Puteri inilah yang bernama Dewi Saraswati, dan dia ini benar-benar penjelmaan Dewi Saraswati permaisuri Brahma dan kini puteri ini sedang menanti kedatangan jodohnya yang harus titisan (penjelmaan) Sang Hyang Brahma sendiri! Ha, ha, ha!"
Saritama makin heran dan ia mulai menduga bahwa dukun tua ini tentu agak miring otaknya.
"Dan siapakah titisan Sang Hyang Brahma sekarang?"
Tanyanya karena ingin mendengar sampai di mana kegilaan dukun hitam itu.
"Heh, heh, heh! Titisan Brahma telah berada di hadapanmu, masih juga kau belum tahu? Akulah penjelmaan Sang Hyang Brahma!"
Ah, dia benar-benar gila! Demikian pikir Saritama, maka ia lalu bersila dan diam saja, tidak mau melayani dukun itu lebih lanjut lagi. Juga Bagawan Kalamaya agaknya telah lelah, karena ia lalu merebahkan tubuhnya dan tak lama kemudian terdengar dengkurnya! Saritama sudah terbiasa beristirahat sambil duduk bersila. Maka ia lalu bersamadhi dan beristirahat sambil bersila dengan tenang. Ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi benar Bagawan Kalamaya terdengar menguap dan bangun dari tidurnya, Saritama juga mengakhiri samadhinya. Setelah dukun tua itu duduk, pemuda itu lalu berkata.
"Sang Bagawan, saya mengucap diperbanyak terima kasih atas kebaikan dan keramahanmu yang telah menerima saya bermalam di sini. Moga-moga lain waktu saya akan mendapat kesempatan membalas kebaikanmu. Sekarang, perkenankanlah saya melanjutkan perjalanan saya."
"Eh, eh, nanti dulu, Saritama. Aku akan menyertaimu ke Tangen karena menurut pendapatku, sekarang telah tiba saatnya aku bergerak bersama kau yang muda dan gagah. Aku lebih mengenal keadaan di Tangen, maka akan lebih mudahlah kau bertindak apabila kau bersama dengan aku."
"Tapi bukankah kau ini menjadi hamba dari Tumenggung Wiradigda?"
"Heh, heh, heh!Ada kalanya aku menjadi hamba, ada kalanya aku menjadi pujaan! Kali ini aku menjadi musuh Tumenggug Wiradigda!"
Saritama merasa tak enak untuk menolak, dan pula dia tidak mau dianggap takut atau kuatir jika pergi bersama dengan dukun hitam ini. Maka ia lalu menyatakan persetujuannya. Lama sekali Saritama harus menanti bagawan itu berkemas, mengenakan pakaian indah-indah dan akhirnya setelah mereka berangkat, diam-diam Saritama merasa mendongkol sekali oleh karena bagawan itu berjalan perlahan sekali! Dengan bantuan tongkatnya, Bagawan Kalamaya berjalan membungkuk-bungkuk.
"Sang Bagawan, kalau kita berjalan seperti ini, kapankah akan sampai di Tangen? Marilah kita pergunakan ilmu!"
Bagawan Kalamaya menggeleng-geleng kepala sambil tersenyum.
"Orang yang memperlihatkan kepandaian di tempat umum adalah seorang bodoh dan sombong. Nanti saja kalau kita sudah tiba di hutan itu, baru kita menggunakan ilmu kesaktian akan tetapi aku kuatir kalau-kalau kau ketinggalan jauh!"
Saritama tersenyum dan di dalam hati ia merasa geli dan juga mendongkol. Dukun lepus ini melarang orang memperlihatkan kepandaian dengan alasan tak baik berlaku sombong akan tetapi ucapannya yang terakhir itu jelas sekali menyatakan betapa sombongnya kakek ini! Akan tetapi, Saritama diam saja dan tidak mendesak lebih jauh. Hendak ia lihat, sampai di mana kehebatan ilmu lari cepat dukun ini maka berani mengatakan bahwa dia akan tertinggal jauh! Setelah mereka tiba di dalam hutan, Saritama tak sabar lagi dan berkata,
"Marilah kita percepat langkah kita, Sang Bagawan."
Bagawan Kalamaya tersenyum.
"Baiklah, baiklah!"
Kemudian Bagawan Kalamaya mempergunakan aji kesaktiannya dan benar saja, langkahnya lebar dan gerakannya cepat hingga tak lama kemudian tubuh yang bongkok itu telah berlari cepat sekali. Saritama memandang dan tahulah ia bahwa dukun itu mempunyai kepandaian yang disebut Aji Pancal Panggung, semacam ilmu lari cepat yang hebat juga. Akan tetapi, ketika Saritama mengeluarkan ajinya Kidang Kencana, tak lama kemudian ia dapat menyusul bagawan itu yang menengok dengan heran dan kagum melihat kepandaian Saritama. Saritama cukup bijaksana dan ia tidak mau melampaui orang tua itu. Ia sengaja memperlambat gerakan kakinya hingga mereka dapat berlari dengan sama cepatnya. Ketika hutan telah mereka lalui, Bagawan Kalamaya dengan napas tersengal-sengal minta berhenti. Sebelum bicara ia menarik napas panjang yang senin kemis itu!
"Aduh, tenagaku masih cukup, akan tetapi napasku..."
Setelah menarik napas panjang berulang-ulang, ia berkata lagi.
"Saritama, kau benar sakti. Kau dapat mengimbangi kecepatanku. Kalau aku masih muda seperti engkau, tentu kau akan tertinggal jauh! Sekarang kita telah melampaui hutan, maka biarlah kita berjalan biasa kembali."
Saritama hanya tersenyum dan diam-diam ia merasa geli oleh karena dukun lepus ini masih saja menyombongkan diri. Maka mereka lalu berjalan lagi dengan cara biasa. Oleh karena perjalanan ini dilakukan dengan perlahan dan hanya sekali dua kali Bagawan Kalamaya mau mempergunakan aji kesaktian yang sangat melelahkan itu, maka setelah hari menjadi gelap barulah mereka berdua tiba di Tangen. Sebelum menuju ke gedung Tumenggung Wiradigda yang besar dan megah bagaikan istana Raja Majapahit sendiri, Bagawan Kalamaya memberi nasehat,
"Saritama, penjagaan di bagian depan gedung tumenggung amat kuat. Masuklah engkau diam-diam dari bagian kiri gedung oleh karena di bagian kiri itu tak terjaga kuat dan di bagian kiri terdapat taman tumenggung yang bersambung dengan taman belakang. Di situ banyak terdapat tetumbuhan di mana kau dapat bersembunyi apabila ada penjaga-penjaga keluar dan meronda. Kemudian kau dapat menyusup masuk ke dalam gedung mencari Tumenggung Wiradigda."
"Baiklah, Sang Bagawan,"
Kata Saritama.
Malam hari itu udara bersih dan ribuan bintang menyinarkan cahaya gemilang dari angkasa raya. Oleh karena hawa malam itu sejuk dan bersih, biarpun tidak terangbulan, namun anak-anak di Tangen banyak yang bermain-main di pelataran depan, sedangkan orang-orang tua sambil mengisap rokok daun jagung dan menikmati air the kental, duduk di atas tikar yang digelar di pelataran dan bercakap-cakap. Keadaan demikian tenteram bagaikan tidak akan terjadi sesuatu yang hebat. Memang, telah bertahun-tahun di Tangen selalu tata-tenteram reja-raharja, tak pernah terjadi kejahatan, tak pernah terjadi pencurian hingga para petani dapat bekerja dengan senang dan penghidupan peduduk di sekeliling Tangen rata-rata makmur dan berbahagia. Akan tetapi, pada malam hari itu, tanpa mereka ketahui dua sosok bayangan bergerak menuju ke gedung Tumenggung Wiradigda.
Setelah keduanya tiba di dekat gedung, mereka berbisik-bisik, kemudian bayangan dua orang itu berpisah, seorang menuju ke kiri gedung, yang kedua menuju ke belakang. Bayangan pertama yang memiliki gerakan cepat dan tangkas, yakni Saritama sendiri, cepat menyelinap di dalam bayangan pohon di sebelah kiri gedung. Ia memandang ke sekeliling dan kemudian dengan sekali lompat saja ia sudah dapat meloncati pagar taman. Memang benar kata-kata Bagawan Kalamaya bahwa gedung tumenggung itu terjaga kuat, dan bahwa Tumenggung Wiradigda mempunyai banyak punggawa yang tangguh dan sakti. Buktinya, ketika Saritama melompat masuk ke dalam taman, baru saja kedua kakinya menginjak rumput, tiba-tiba dua orang penjaga yang muda dan gagah membentaknya dari tempat jauh,
"Hai! Siapakah kamu yang lancang memasuki taman?"
Mereka ini dengan cepat lari menghampiri. Saritama tidak mau membuang waktu lagi. Sebelum kedua orang penjaga itu sempat bertindak, ia telah bergerak lebih dulu. Dengan sekali lompatan, Saritama telah menerkam kedua penjaga itu, dengan dua kali kepalan tangannya menyambar, robohlah dua orang penjaga itu! Orang pertama roboh tanpa dapat bangun lagi dan pingsan, sedang orang kedua memang sengaja dipukul perlahan hingga masih dapat bicara walaupun kepalanya terasa pusing berputaran akibat pukulan Sambernyawa!
"Lekas katakan, di mana Wiradigda?"
Penjaga itu tak dapat melihat muka penyerangnya dengan jelas, hanya dapat menduga bahwa penyerang yang hebat dan cepat gerakannya ini adalah seorang pemuda.
"Gusti tumenggung tidak berada di sini,"
Jawabnya sambil memegang kepalanya yang berdenyut-denyut.
Satria Gunung Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan kau membohong!"
Bentak Saritama sambil memegang leher orang itu.
"Kalau kau membohong, sekali pukul saja aku dapat menghancurkan kepalamu!"
"Ampun, Raden, saya tidak membohong! Gusti tumenggung kemarin berangkat ke Kadipaten Pacet untuk membicarakan tentang perkawinan gusti puteri."
"Bila ia kembali?"
Tanya pemuda itu dengan hati kecewa.
"Kalau tidak salah, besok siang baru kembali."
Pada saat itu, terlihat bayangan beberapa orang berkelebat dan mereka ini tidak lain ialah para ponggawa Tumenggung Tangen. Dengan diam-diam mereka menghampiri tempat itu oleh karena mereka mendengar suara-suara mencurigakan. Ketika melihat betapa seorang penjaga masih rebah di atas tanah, sedangkan seorang penjaga lain sedang dipegang dan ditanyai oleh seorang pemuda yang tak jelas rupa wajahnya oleh karena keadaan memang agak gelap di dalam taman itu yang penuh dengan bayang-bayang pohon dan tetumbuhan, para ponggawa yang tujuh orang jumlahnya ini menjadi marah sekali.
"Bangsat maling, kau berani mengacau di taman tumenggungan!"
Teriak seorang diantara mereka yang segera melompat maju diikuti oleh yang lain. Saritama diam-diam memuji ketelitian dan kecepatan para ponggawa itu, maka secepat kilat ia angkat tubuh penjaga tadi dan melontarkan tubuh itu ke arah ketujuh orang ponggawa yang datang menyerbu!
Akan tetapi dengan sigapnya ketujuh orang ponggawa itu dapat mengelak dan dari gerakan mereka Saritama maklum bahwa mereka rata-rata memiliki ilmu pencak silat yang pandai. Ketujuh orang ponggawa itu menyangka bahwa Saritama hanyalah seorang yang datang hendak mencuri saja, maka mereka bermaksud hendak menangkapnya. Seorang diantara mereka yang termuda dan bernama Waskita hendak memperlihatkan ketangkasannya. Dengan seruan keras dia maju menubruk Saritama, hendak menangkapnya dengan ilmu silat pencak Palwaga Pancakara (Kera Berkelahi). Gerakannya gesit laksana seekor kera jantan, kedua tanganya berkembang, yang kiri menangkap leher, yang kanan menuju ke lambung Saritama!
Akan tetapi dengan sedikit gerakan saja Saritama berhasil mengelak terkaman pada lehernya dan sekali tangan kirinya dikibaskan menangkis tangan lawan yang mengarah lambung, terdengar Waskita menjerit kesakitan oleh karena tulang lengannya terasa sakit bagaikan terpukul sebatang tongkat besi. Ia membungkuk-bungkuk sambil mengaduh-aduh dan mengelus-elus lengannya yang tertangkis itu! Keenam kawannya terkejut melihat ketangkasan maling muda itu. Mereka merasa gemas sekali melihat Waskita telah dikalahkan dalam sekali pukul saja. Dua orang ponggawa lain lalu menyerang dari kiri kanan. Akan tetapi Saritama cepat melangkah mundur dan ketika ia ulur kedua tangannya, ia berhasil menjambak rambut kepala keduanya ponggawa itu dan sebelum keduanya dapat melawan, Saritama telah membuat gentakan hebat hingga dua kepala mereka saling bentur mengeluarkan suara keras.
"Aduh...!!!"
Terdengar teriak mereka berbareng dan keduanya terhuyung-huyung setelah dilepas oleh Saritama, kemudian roboh tak ingat diri! Bukan main marahnya empat orang ponggawa lain. Ponggawa tertua yang juga menjadi kepala ponggawa di situ, memberi aba-aba dan keempat orang itu mencabut keris masing-masing.
"He, maling muda yang kurang ajar! Menyerahlah!"
Saritama tersenyum.
"Bukan watak ksatria Gunung Kidul untuk menyerah!"
Jawabnya.
"Apa? Kau seorang ksatria? Eh, anak muda, kau siapa dan berdirilah di tempat terang agar kami dapat melihat mukamu. Siapa kau dan apa maksudmu datang membuat kacau?"
Berkata ponggawa tua itu yang bernama Jaladara.
"Orang-orang Tangen, dengarlah! Aku bernama Saritama dan kedatanganku ini bermaksud hendak membasmi keluarga Wiradigda si keparat yang kejam!"
Bukan main terkejutnya para ponggawa itu ketika mendengar pemuda ini datang hendak mencelakai Tumenggung Wiradigda. Waskita yang mendengar ucapan ini lalu berlari cepat untuk memanggil bala bantuan di luar gedung.
Sedangkan keempat orang ponggawa lainnya lalu maju menerkam dengan senjata mereka! Akan tetapi tiba-tiba mereka terkejut oleh karena sekali berkelebat saja tubuh pemuda itu telah lenyap dan tahu-tahu seorang ponggawa telah tertangkap oleh Saritama yang telah melompat dan berada di belakangnya. Sebelum ia dapat berteriak, tubuhnya telah diangkat tinggi-tinggi dan dilempar ke arah kawan-kawannya yang cepat melompat ke pinggir agar jangan sampai tertumbuk oleh tubuh kawan sendiri. Pada saat itu, dari arah belakang gedung terdengar pekik seorang wanita. Pekik ini terdengar mengerikan dan menggerakkan hati Saritama. Hati nuraninya tersinggung dan jiwa ksatrianya bangkit dan menggerakkan hatinya untuk segera menolong wanita yang memekik dan yang membutuhkan pertolongan itu.
Ia lalu bertindak cepat. Dengan ilmu Nandaka Amapang (Banteng Menyambut) sambil mengeluarkan aji kekebalannya ia menyerbu ke depan tanpa memperdulikan serbuan keris lawan! Alangkah terkejutnya para ponggawa ketika merasa betapa keris-keris mereka itu mengenai tubuh Saritama bagaikan bertemu dengan batu atau baja saja! Tangan mereka terasa sakit dan keris mereka mental kembali, sedangkan Saritama telah menerjang dengan gerakan siku, tangan, dan kaki. Para ponggawa itu terbanting dan terpukul ke kanan kiri! Saritama tidak memperdulikan mereka, tapi langsung berlari cepat sekali ke arah taman di belakang gedung. Dan apa yang dilihatnya di dalam taman itu membuat dadanya terasa panas dan sesak, dan tak terasa lagi ia membentak.
"Dukun lepus tak tahu malu!"
Ternyata bahwa yang dilihatnya itu adalah Bagawan Kalamaya yang sedang menyeret-nyeret dan memeluk-meluk seorang dara muda yang cantik-jelita dan yang meronta-ronta sambil menangis. Dara itu memekik-mekik, akan tetapi kini suara jeritannya tak dapat terdengar keras oleh karena sebelah tangan Bagawan Kalamaya telah digunakan untuk menutupi mulut gadis itu!
Siapakah dara muda yang ayu itu dan mengapa pula ia dapat terjatuh ke dalam tangan Bagawan Kalamaya? Pada malam hari itu, di dalam taman di belakang gedung tumenggungan, terdapat dua orang wanita yang masih belum masuk ke dalam gedung. Mereka ini adalah Dewi Saraswati, puteri tunggal Tumenggung Wiradigda, seorang puteri berusia tujuh belas tahun yang cantik jelita bagaikan Dewi Komaratih sendiri turun dari angkasa! Akan tetapi, pada malam hari itu, Dewi Saraswati nampak berduka, bahkan ia menangis sedu-sedan, dihibur oleh seorang wanita setengah tua yang bersusur besar di mulutnya hingga wajahnya yang memang sudah buruk itu menjadi tambah tak enak dilihat. Dia ini adalah biung emban, yakni pelayan pengasuh Dewi Saraswati semenjak sang dewi masih kecil. Pengasuh ini bernama Tomblok.
"Aduhai, gusti ayu, sudahlah jangan paduka terus-menerus bersedih saja. Sayanglah air matamu, dan jangan kau buang-buang,"
Kata Tomblok yang mencoba menghibur sang dewi yang dikasihinya bagaikan anak sendiri itu. Biarpun sedang berduka, akan tetapi mendengar kata-kata Tomblok ini Dewi Saraswati tertegun,
"Apa maksudmu, biung?"
Melihat bahwa sang dewi sudah mau melayani kata-katanya, Tomblok merasa girang sekali. Ia pindahkan susurnya yang besar dari ujung mulut kiri ke kanan, lalu berkata,
"Maksudnya, janganlah air mata gusti yang berharga itu dibuang-buang. Kalau air mataku, jangankan dijual mahal, dihadiahkan dengan cuma-Cuma juga takkan ada yang sudi! Tapi air mata seorang puteri sejati bagaikan butir-butir mutiara berharga yang tak boleh diboroskan dengan sia-sia! Demikianlah kata para punjangga jaman dahulu. Lagipula, air mata seorang puteri cantik merupakan senjata yang paling ampuh dan keramat di atas dunia ini. Maka peliharalah mutiara dan senjata keramat itu baik-baik, gusti ayu, oleh karena kalau dipergunakan untuk hal-hal yang kecil tak berarti saja, maka mutiara itu akan hilang keampuhannya! Karena itulah maka mahal harganya gusti!"
Memang Tomblok ini pandai sekali bicara. Selain pandai berkelakar oleh karena seringkali harus menghibur hati kekasih dan junjungannya, juga ia pandai menari dan bernyanyi serta pandai pula memberi nasihat-nasihat dan petuah-petuah berharga.
"Biung emban, kau tidak mengerti. Aku bukan menyusahkan hal-hal remeh sebagaimana yang kau duga, akan tetapi aku menyusahkan sisa hidupku. Aku menyedihi nasibku yang akan datang, biung."
"Ah, ah, sekali lagi kau keliru, gustiku yang ayu dan manis! Kata para cerdik pandai, daripada menyusahkan perkara yang belum datang dan menguatirkan nasib yang belum tentu, lebih baik mengenang hal-hal yang lalu untuk dijadikan contoh dan cermin! Dari pengalaman-pengalaman lalu kita dapat memetik pelajaran-pelajaran berharga untuk mengatur langkah hidup selanjutnya, sedangkan hal-hal yang belum terjadi serahkanlah kepada Hyang Agung untuk mengaturnya, gusti. Ah, junjunganku yang manis, kalau paduka bermuram durja, seakan-akan bintang-bintang di langit kehilangan cahayanya dan hambapun kehilangan cahaya hamba!"
Nasihat-nasihat Tomblok selalu diseling sendau-gurau.
"Tomblok, Tomblok...! Alangkah senangnya hatiku kalau pada saat ini kita bertukar tempat!"
Kata Dewi Saraswati sambil termenung.
"Lho, mau bertukar tempat? Hamba duduk di bangku itu dan paduka di atas rumput ini? Kalau paduka kehendaki, mengapa tidak bisa?"
Tanya Tomblok sambil melebarkan kedua matanya yang sudah lebar dan bundar sebesar telur ayam itu.
"Bukan begitu maksudnya, biung emban. Maksudku bertukar pakaian yaitu kau menjadi aku dan aku menjadi kau! Kalau aku menjadi kau, takkan mengalami nasib celaka ini!"
"Eh, eh, gustiku yang manis. Kalau bertukar pakaian saja, saya tidak... menolak! Kalau berganti orang... ah, berat juga, gusti!"
"Biung emban, jangan kau bergurau saja, aku benar-benar sedang dalam prihatin dan susah,"
Kata sang puteri dengan wajah muram.
"Ampun, gusti ayu, hamba hanya bermaksud menghibur. Hamba juga maklum bahwa gusti sedang menderita duka nestapa, akan tetapi, sebenarnya ada apakah, gusti?"
"Ketahuilah, biung. Kemarin ayah pergi ke Kadipaten Pacet."
"Hamba sudah tahu, gusti."
"Dan tahukah kau mengapa ramanda pergi ke sana?"
Tomblok menggeleng-gelengkan kepalanya hingga gelung rambutnya yang besar itu ikut bergerak-gerak ke kanan kiri.
"Dengarlah hal yang menyusahkan hatiku, biung. Rama pergi ke Kadipaten Pacet perlu untuk merundingkan hal pernikahanku."
Tomblok menepuk-nepuk pahanya dengan girang.
"Ah, ndoro ayu bukankah hal itu sangat menggembirakan dan tak perlu disusahkan?"
"Biung emban, jangan kau berkata demikian. Adipati Pacet adalah seorang duda yang sudah berusia hampir setengah abad dan bagaimana aku dapat menjadi isterinya? Ah, biung... aku lebih suka mati daripada menjadi sisihan kakek bandot itu!"
Dewi Saraswati lalu menutupi mukanya dengan ujung kemben (sabuk kain) dan menangis terisak-isak. Tomblok ikut menangis dan suara tangisnya seperti suara bebek bertelur.
"Aduh, gusti ayu... kekasih hatiku... janganlah menangis, manis... hamba tak kuat menahan air mata... Gusti Ayu Dewi Saraswati yang cantik jelita, hamba menjadi teringat akan masa dahulu ketika hamba hendak dikawinkan oleh ayah hamba... orangnya juga tua, bahkan bukan setengah abad lagi, tapi sudah seabad penuh!"
Mendengar ucapan biung emban Tomblok, Dewi Saraswati menurunkan kedua tangannya karena ia menjadi tertarik.
"Kau kan juga merasa susah, bukan, biung?"
"Tidak, gusti, hamba tidak susah karena calon suami itu sudah tua, malah kebetulan, oleh karena biarpun tua dia itu tua kelapa, yakni harta-bendanya banyak. Hamba pikir, kalau hamba sudah kawin dengannya, dalam beberapa bulan atau beberapa hari saja tentu dia akan mampus dan semua harta bendanya diwariskan kepada hamba! Akan tetapi, gusti, dia mati...! Aduh... dia mati!"
Dan Tomblok menangis lagi! Dewi Saraswati heran.
"Mengapa kau susahkan kematiannya, biung? Bukankah itu yang kau harapkan?"
"Benar, gusti, akan tetapi dia mati sebelum kami kawin! Baru saja kami ditemukan, tiba-tiba dia menggigil dan roboh terus mampus! Hamba menjadi janda sebelum kawin dan harta bendanya tidak terjatuh kepada hamba."
Tomblok menangis lagi dan diam-diam Dewi Saraswati menjadi sangat geli. Pada saat itu, dari belakang sebatang pohon keluarlah bayangan seorang bongkok, Dewi Saraswati dan Tomblok menjadi kaget sekali oleh karena mereka tidak segera mengenal muka pendatang ini. Dewi Saraswati lalu berdiri dengan takut, sedangkan Tomblok sudah memeluk kaki Dewi Saraswati dengan tubuh menggigil.
"Ssss... ssseee... setan!"
Teriaknya ketakutan melihat tubuh bongkok itu melangkah maju.
"Sst, biung emban, jangan ribut. Yang datang adalah Paman Bagawan Kalamaya!"
"Benar, anakku yang ayu, anak manis dan jelita, akulah yang datang!"
"Paman Bagawa, sungguh aku merasa terkejut dan heran. Mengapa paman bagawan datang ke taman sari dan pada waktu malam gelap begini? Apakah kehendakmu, paman?"
Tanya Dewi Saraswati dengan suara penuh teguran.
"Saraswati, bocah ayu, bocah denok! Aku datang untuk memboyongmu, kekasihku!"
Sambil berkata demikian, Bagawan Kalamaya melangkah maju. Bukan main terkejutnya Dewi Saraswati mendengar ucapan ini serta melihat sikap sang pendeta itu. Ia menduga bahwa pendeta ini tentu telah menjadi gila!
"Paman Bagawan, apakah artinya semua ini? Paman, janganlah kau berkelakar yang tidak pantas seperti itu!"
"Saraswati, jantung hatiku, jimat pujaan kalbu! Tidak tahukah kau bahwa aku adalah titisan Hyang Brahma? Kau adalah permaisuriku, Saraswati, marilah kau ikut kakanda untuk bersama pulang ke Sorga. Marilah, Saraswati permaisuriku!"
Bukan main takutnya Dewi Saraswati mendengar ini. Ia lalu lari di belakang tubuh Tomblok hingga Bagawan itu kini menghadapi Tomblok. Pada saat itu Bagawan Kalamaya hendak maju memeluk, akan tetapi ketika melihat kepada Tomblok yang menghadang di depannya dan yang kini tidak ketakutan lagi , Bagawan itu mundur menyebut.
"Ya dewata yang maha agung! Kukira Saraswati tadi, tidak tahunya kau! Eh, kau ini mahluk apa? Manusia atau kadal?"
Bukan main marahnya Tomblok disebut kadal. Ia melangkah maju dan memutar-mutar susurnya di dalam mulutnya.
"Kira-kira kalau menyebut orang! Biarpun kau menyebutku kadal, akan tetapi aku bukan kadal sembarang kadal! Aku adalah kelangenan (kekasih) sang puteri! Kau ini bagawan berotak miring barangkali. Mengapa malam-malam datang mengacau dan berlaku kurang ajar terhadap sang puteri? Apakah kau tidak takut kepada gusti Tumenggung?"
"Kau minggirlah!"
Bentak Bagawan Kalamaya dan sekali saja ia mendorong, Tomblok jatuh terguling-guling sambil berteriak-teriak.
Akan tetapi, mendengar teriakan wanita ini, Bagawan Kalamaya lalu maju dan menendang hingga Tomblok menjadi pingsan! Kemudian, sambil membujuk dan merayu, menyebut-nyebut Dewi Saraswati sebagai permaisurinya, ia maju hendak menangkap Dewi Saraswati! Puteri itu merasa bingung dan jijik, hingga ia menjerit keras sekali. Agaknya jeritan inilah yang terdengar oleh Saritama dan yang menarik perhatiannya. Bagawan Kalamaya lalu melompat dan menerkam, dan ketika Dewi Saraswati hendak menjerit lagi, bagawan yang sudah kesetanan itu lalu menutup mulut Saraswati dengan tangannya. Ketika mereka sedang bersitegang, datanglah Saritama yang hampir tak dapat mempercayai matanya sendiri. Tak pernah disangkanya bahwa Bagawan Kalamaya akan serendah itu batinnya!
"Pendeta bangsat tak tahu malu! Lepaskan gadis itu dan ingatlah, sadarlah kau, pendeta keparat dan sesat."
"Saritama, jangan kau mencampuri urusanku! Kau pergilah melakukan tugasmu sendiri. Aku, titisan Rahma, sedang berurusan dengan Dewi Saraswati, permaisuriku sendiri!"
Saritama marah sekali dan membentak sambil melangkah maju.
"Pendeta gila, kau dimabok kerendahan hatimu sendiri!"
Kemudian, sekali merenggutkan lengan pendeta itu, ia berhasil melepaskan Dewi Saraswati yang dipeluk oleh bagawan gila itu.
"Saritama, kau ingin mampus!"
Bagawan Kalamaya berseru marah dan tiba-tiba bagawan itu mencabut sebilah keris yang panjang dan beriuk lima. Keris ini nampak dahsyat mengerikan oleh karena selain mempunyai hawa yang berpengaruh dan jahat, keris ini juga selalu direndam dalam racun yang sangat jahat dan yang didapat dari air liur ular belang! Biarpun tubuhnya bongkok dan sudah tua, Bagawan Kalamaya masih memiliki gerakan sigap dan tangkas oleh karena dia memang mempunyai kepandaian pencak silat yang tinggi di waktu mudanya. Sambil mengeluarkan suara tertawa yang aneh dan mengerikan, ia menyerang dengan kerisnya yang dinamai Paripusta yang berarti puas dan senang.
Dari nama kerisnya ini saja dapat diukur bahwa pada hakekatnya, pendeta ini masih menjadi hamba daripada nafsu-nafsu jahat yang mengutamakan kepuasan dan kesenangan dunia. Saritama yang bermata tajam dapat maklum akan kehebatan dan berbahayanya keris ini, maka cepat ia mengelak lalu mengirim pukulan dari samping kiri. Bagawan Kalamaya memiringkan tubuhnya untuk mengelak bahaya pukulan ini dan segera mengirim serangan bertubi-tubi dengan keris mautnya. Akan tetapi, Saritama dengan mudah sekali melompat ke sana ke mari, gesit dan cepat bagaikan seekor burung Srikatan. Pada saat yang tepat, sebuah pukulan tangan kirinya bersarang di dada pendeta cabul itu hingga Bagawan Kalamaya roboh terjungkir dan mengaduh-aduh tanpa dapat bangun lagi. Kerisnya terlempar jatuh dan menancap di atas tanah!
Dewi Saraswati masih belum hilang kagetnya. Diam-diam ia memperhatikan perkelahian tadi dan ia kagum sekali melihat ketangkasan dan kecakapan pemuda penolongnya itu. Ketika Saritama melangkah maju menghampirinya, Dewi Saraswati memandang dengan sepasang matanya yang tajam dan bening sambil menduga-duga oleh karena belum pernah ia melihat pemuda yang namanya disebut Saritama oleh bagawan tadi. Kebetulan sekali pada saat itu keadaan tidak sangat gelap sehingga suram-suram Saritama dapat melihat bahwa dara yang diserang oleh Bagawan Kalamaya itu luar biasa cantiknya dan memiliki tubuh yang menggiurkan pula. Akan tetapi, pada saat itu Saritama tidak memandang dengan mata kagum, bahkan memandang dengan mata benci oleh karena ia teringat bahwa gadis ini adalah puteri musuh besarnya yang harus dibasmi.
"Apakah kau bernama Dewi Saraswati dan anak dari Tumenggung Wiradigda?"
Tanyanya dengan suara kasar hingga gadis itu menjadi terkejut, apalagi ketika ia melihat betapa pandangan mata pemuda itu ditujukan kepadanya dengan bengis. Sebelum ia menjawab, dari luar terdengar suara riuh-rendah oleh karena barisan ponggawa dan perajurit telah menyerbu ke dalam taman! Saritama bersiap hendak melawan mereka, akan tetapi tiba-tiba ia mendapat sebuah pikiran baik.
Ketika barisan terdepan telah tiba di situ dan beberapa orang serentak maju menubruknya, dengan tangkas Saritama bergerak merobohkan beberapa orang itu, kemudian secepat kilat tangan kanannya memeluk pinggang Dewi Saraswati yang segera dipondongnya dengan ringan dan mudah. Dewi Saraswati menjerit-jerit akan tetapi ia tidak berdaya dalam pondongan lengan tangan yang kuat itu. Beberapa orang perajurit maju lagi menyerbu, akan tetapi mereka tidak berani menggunakan senjata tajam, kuatir kalau-kalau akan melukai sang puteri. Hal ini menguntungkan Saritama yang segera beraksi dengan menggunakan tangan kiri dan kedua kakinya. Beberapa orang roboh pula, akan tetapi barisan penyerbu makin banyak hingga Saritama merasa kewalahan. Pemuda ini lalu membentak dengan suara keras,
"Hai, para perajurit Tangen! Bukan cara laki-laki sejati untuk maju secara keroyokan! Beritahukanlah kepada si keparat Wiradigda bahwa aku, Saritama dari Gunung Kidul, putera almarhum Adipati Cakrabuwana, datang hendak membalas dendam! Aku tidak mau mencelakakan orang lain dan musuhku hanyalah Wiradigda sekeluarga! Oleh karena keparat itu tidak ada di sini, maka sebagai gantinya aku menawan puterinya. Jika ia memang gagah berani dan menghendaki kembalinya sang puteri, silakan pergi menyusulku di tempat kediaman mendiang ayahku untuk membuat perhitungan secara laki-laki!"
Setelah berkata demikian Saritama lalu melompat ke dalam gelap sambil memondong Dewi Saraswati yang masih meronta-ronta dan menjerit-jerit!
Semua ponggawa mencoba untuk mengejar, akan tetapi mereka tak dapat mengejar ilmu lari Kidang Kencana yang hebat dari pemuda itu hingga tak lama kemudian suara jeritan Dewi Saraswati makin melemah hingga tak terdengar lagi dari situ, Geger dan ributlah seluruh Tangen pada malam hari itu ketika berita tentang penculikan diri Dewi Saraswati itu tersebar di seluruh tumenggungan. Obor dinyalakan dan orang-orang mencari ke sana ke mari dengan sia-sia. Beberapa orang ponggawa segera menunggang kuda dan cepat menuju ke Pacet untuk menyusul sang tumenggung dan untuk menyampaikan berita buruk itu. Setelah merasa bahwa larinya sudah cukup jauh dan tak mungkin terkejar oleh musuh-musuhnya lagi, Saritama menghentikan larinya. Dia telah sampai dalam sebuah hutan dan pada waktu itu, fajar telah mulai menyingsing.
"Lepaskan aku, lepaskan! Kau, orang kurang ajar!"
Saritama tersenyum masam dan tiba-tiba ia melepaskan pondongannya hingga tubuh Dewi Saraswati terbanting ke atas rumput sampai bergulingan! Sang puteri menggigit bibir dan segera merayap berdiri. Dengan sepasang mata bernyala-nyala dan bibir gemetar karena marahnya, ia maju dan bertolak pinggang dengan tangan kiri. Tangan kanannya diangkat dengan jari telunjuk menuding ke arah muka Saritama,
"Pengecut kau! Ah, kalau saja aku menjadi laki-laki tentu akan kupatahkan lehermu! Akan kubeset kulitmu dan akan kuhancurkan kepalamu!"
"Alangkah sombongmu, gadis! Apakah yang hendak kau sombongkan? Dan mengapa kau mencaci-maki?"
"Kau manusia rendah! Kaukira aku tertarik akan kedigdayaan dan kecakapanmu? Cis! Tak tahu malu! Kaukira mudah saja kau hendak memaksa dan mendapatkan diriku? Lebih baik aku mati daripada kau jamah dengan tanganmu yang kotor dan keji!"
Dewi Saraswati lalu menangis.
"Diam dan jangan kau berani mengeluarkan kata-kata keji lagi! Kalau tidak, kutampar mukamu! Kau anggap aku ini orang apa maka timbul persangkaan kotor dalam kepalamu yang kecil itu? Siapa yang menghendaki dirimu? Kaukira aku tertarik dan tergila-gila akan kecantikanmu? Hah! Kau belum kenal aku. Inilah Saritama, Ksatria Gunung Kidul yang tak mungkin tergiur oleh kecantikan seorang wanita!"
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo