Merdeka Atau Mati 3
Merdeka Atau Mati Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
Sekalipun pada waktu itu dapat melakukan pekerjaan besar, dapat membebaskan tawanan tawanan dari markas, menyeludupkan senjata, dan lain-lain. Bagi Belanda di waktu itu, tangan maut menjangkau dari segala sudut dan ini membuat mereka gelisah sekali.
Kota Solo menjadi pusat perang gerilya. Siasat yang dijalankan oleh tentara T N I yang pada waktu itu di bawah pimpinan Let. Kol. Slamet Riyadi dibantu oleh kesatuan T P (Tentara Pelajar) yang membentuk markas gerilya. Tiada hentinya Belanda mendapat serangan mendadak. Iringan-iringan kendaraan Belanda ke pos-pos pertahanan mereka di Baturetno, Jatisrono, Sidoharjo dan lain-lain selalu mendapat gangguan di jalan.
Pada waktu itu, Sakri juga sudah berada di daerah Surakarta, di daerah timur Solo daerah Kemiri, memimpin pasukannya bergerilya, kadang-kadang di waktu malam dan menggerilya pos-pos Belanda di Solo, sewaktu-waktu mencegat iringan-iringan truck musuh. Pada suatu hari, baru sepekan ia berada di tempat baru ini, Belanda membuat "pembersihan"
Membabi buta di dusun-dusun. Banyak rakyat ditembaki, rumah dibakar. Memang demikianlah selalu perbuatan pihak Belanda yang terkutuk. Mereka dibikin bingung oleh para gerilyawan, disergap di waktu malam, tak dapat membalas karena tidak tahu kemana harus mencari para gerilyawan. Maka segera mereka melakukan balas dendam kepada dusun-dusun, kepada rakyat yang tak berdosa!
Setelah serdadu-serdadu yang keji itu pergi, dusun yang menjadi korbannya mengalami penderitaan hebat. Pada waktu Sakri bersama beberapa orang pembantunya meninjau dusun ini dan alangkah bahagia hatinya di tengah-tengah kedukaan dan kemarahan menyaksikan rakyatnya, bangsanya, di rusak rumah tangga dan badannya oleh fihak musuh ketika ia melihat seorang gadis dengan cekatan dan trampilnya memimpin para wanita dusun itu untuk menolong orang-orang yang menjadi korban. Dengan sigap gadis ini menolong para korban, pertolongan pertama yang biasa dilakukan oleh tangan ahli. Gadis yang berpakaian sederhana, lengan pendek yang bermata bintang.
"Murtini...!"
Gadis itu tersentak kaget menengok dan...
"Mas Sakri...!"
Keduanya berpandangan, Sakri mendapat kenyataan betapa Murtini masih tidak berubah, masih seperti dulu, hanya pandang mata yang dulu jernih penuh gairah hidup, kini membayangkan kesuraman. Di lain pihak Murtini melihat Sakri telah menjadi seorang yang betul-betul dewasa, lenyap sifat kekanak-kanakannya, pandang mata tajam menyelidiki, tubuh lebih tegas dan gerak-geriknya penuh Wibawa.
"Dik mur,... bagaimana kau bisa di sini?"
Sakri menghampiri dan menahan keinginan hatinya hendak memeluk atau setidaknya memegang tangan gadis itu karena pada saat itu banyak orang melihat ke arah mereka.
"Mas, perjuangan membawaku ke tempat ini, seperti juga kau. Tadinya aku di Solo, Nenek. Belanda masuk, aku mengungsi ke sini. Banyak ceritanya, Mas, tapi..."
Gadis itu menengok sekeliling, Sakri maklum. Memang bukan waktunya bercerita.
"Lanjutkan pekerjaanmu, dik. Tugas harus diselesaikan lebih dulu. Mari kubantu."
Sakri lalu memberi perintah kepada pembantu-pembantunya untuk ikut mendorong para korban, malah seorang ia suruh mengambil obat-obat luka untuk pertolongan pertama dari perlengkapan. Setelah selesai pekerjaan mereka, barulah dua orang ini dapat bertemu berdua saja. Murtini bercerita bahwa dari daerah Krian dulu, hanya beberapa bulan setelah Sakri pergi, ia pindah ke Solo, karena takut akan desakan dan maksud jahat Sersan KNIL. Di Solo ini tinggallah Neneknya, seorang janda tua, ibu dari ibunya.
Gambar3
"Ibuku sudah tiada, mas. Ayah... Ayah telah menikah lagi, karena itu aku dulu ikut Paman. Aku tidak mau ikut ibu tiri. Pindahku ke Solo, selain hendak merawat Nenek, juga hendak mendekati Ayah, Mas. Kabarnya Ayah berada di Semarang... Ah, betapa rinduku kepadanya, sudah bertahun-tahun tak jumpa..."
"Aku akan berusaha mencarinya, dik Mur. Kalau benar dia dulu berjuang di frot Semarang, kiranya tidak sukar dicarinya. Semua pasukan sudah ditarik mundur di daerah Surakarta. Siapa namanya, dik Mur?"
"Namanya Pak Budiharjo."
"Pangkatnya?"
"Aku tidak tahu benar..., juga aku tidak tahu apakah... Apakah dia berada di antara pasukan gerilya..."
Diam kedua fihak. Karena sekarang tidak ada orang yang melihat mereka, Sakri memberanikan hati. Mereka duduk di antara rumput di bawah sebatang pohon, berhadapan. Dengan hati berdebar dijulurkannya tangan, dipegangnya tangan gadis itu. Murtini kaget, tangannya gemetar sedikit, akan tetapi tidak ditariknya jari-jari tangan mereka saling cengkeram seperti dahulu.
"Dik Mur..."
"Ya...?"
Lirih suaranya hampir tak kedengaran. Sakri Diam. Tak tahu harus berkata apa. Memang tadi dia hanya ingin memegang tangan itu, tangan yang sudah seringkali ia mimpikan, tangan dari orang yang selalu ia rindukan. Dan kini tangan itu sudah terpegang olehnya, cukuplah. Seluruh rasa rindunya ia tumpahkan melalui getaran tangan. Tak boleh lebih. Tak boleh melampaui batas tata susila seperti yang dahulu sering diajarkan oleh ibunya kepadanya.
"Kau mau bilang apa, mas?"
"Di mana Nenekmu sekarang?"
Gadis itu menarik napas panjang.
"Sudah meninggal, sehari setelah Belanda memasuki Solo. Terlalu tua, terlalu lemah jantungnya, kaget, karena itulah aku pindah ke sini."
"Kasihan...!"
Aneh, begitu mengeluarkan kata-kata ini terbayang di mata Sakri peristiwa Dahulu ketika gadis itu pun berkata demikian kepadanya. Kini datang gilirannya untuk berkasihan kepada Murtini. Akan tetapi dahulu Murtini tidak hanya berkata kasihan, melainkan merawat lukanya, lebih dari itu lagi telah menyelamatkan nyawanya dari tangan Belanda, dengan taruhan keselamatan diri sendiri, Sakri terharu. Dia sekarang dapat menolong apakah?
"Dik, Mur,"
Suaranya menggelegar karena ia masih terharu kalau teringat bahwa gadis ini sudah mempertahankannya untuk menolongnya dahulu, bahwa ia sebetulnya tidak hanya berhutang budi, melainkan berhutang nyawa kepada Murtini.
"Karena kau sebatang kara, sebaiknya kau sekarang ikut dengan aku...eh, kumasudkan ikut dengan kami. Dengan aku disampingmu, tak usah kau takuti siapa pun juga. Aku akan membela dan melindungimu dengan jiwa ragaku."
Murtini menunduk, matanya basah. Ditariknya tangannya dari genggaman Sakri.
"Terima kasih, mas. Kau baik sekali. Akan tetapi, kalian adalah pejuang-pejuang, gerilyawan-gerilyawan yang sedang berjuang.
"Aku... aku hanya menjadi beban, hanya akan merepotkan saja..."
Sakri tertawa,
"Kau tidak tahu, Mur. Banyak wanita yang ikut dengan perjuangan! Dan kau... kau yang pandai merawat, pandai menolong orang terluka, tenagamu amat berharga untuk kami! Jika kau ikut dengan aku, pertama kau akan dapat menjadi tenaga vital bagi pasukan kami, ke dua berhasil menemukan Ayahmu tak usah aku mencari-carimu, ketiga... aku akan selalu berada disampingmu dan hal ini... hal ini merupakan kebahagiaan bagiku."
Murtini berpikir sejenak, tersenyum memandang wajah pemuda itu.
"Penting betulkan hal ketiga itu, Mas?"
"Penting bagiku, dik. Tentu saja kemerdekaan terpenting di atas segala apa. Merdeka atau mati, ini berlaku bagiku, bagimu, bagi seluruh rakyat. Akan tetapi kelak, kalau kita sudah betul-betul merdeka, kalau Belanda sudah terusir dari tanah air..., kaulah yang terpenting bagiku!"
"Mas Sakri... tidak... tidak berubahkah hatimu selama ini...?"
"Berubah? Demi Tuhan! Siang malam, setiap detik kurindukan kau, Mur! Sama sekali tidak berubah, kalau ada perubahan, itulah perubahan bahwa cinta kasihku lebih mendalam..."
"Kalau begitu, aku mau ikut dalam pasukanmu, mas. Karena aku pun tak mau ketinggalan, ingin menyumbangkan tenaga, malah rela menyumbangkan jiwa raga demi kemerdekaan Nusa Bangsa tercinta. Dan... Karena aku pun tak mau kau tinggalkan lagi..."
"Mur...!"
Kembali tangan Sakri memegang tangan gadis itu.
"Apakah ini, jawabmu yang kunanti-nanti dulu..."
Murtini tersenyum mengangguk, lalu mereka berpandangan, penuh kasih mesra, cinta suci yang bersemi dan berakar dalam gejolaknya revolusi.
(Lanjut ke Jilid 03)
Merdeka atau Mati
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 03
Untuk menjaga serangan Belanda yang dibantu banyak mata-matanya, pasukan-pasukan pejuang gerilya selalu di pencar-pencar dan ditentukan tempat untuk berkumpul, yaitu tempat pemimpin pasukan yang setiap waktu harus dihubungi oleh kelompok-kelompok kecil yang terpencar itu untuk menyampaikan laporan-laporan, dan menerima petunjuk-petunjuk serta perintah-perintah. Siasat ini dilakukan dengan amat sempurna sehingga tak mungkinlah bagi Belanda untuk di mana adanya pusat atau induk pasukan. Seakan-akan para regu gerilyawan itu bertindak dan bekerja sendiri-sendiri, padahal semua itu dilakukan di bawah satu pimpinan tertentu.
Murtini tak pernah berpisah dari samping Sakri, selalu gadis ini mengikuti gerakan kelompok pemuda ini yang terus-menerus berpindah tempat. Hanya di waktu ada teman-teman yang terluka, gadis ini meninggalkan Sakri untuk memberi bantuan dan pertolongan, merawat mereka yang terluka dalam pertempuran. Pada suatu senja, Sakri berdua Murtini sedang bercakap-cakap dalam sebuah pondok kecil. Dengan sungguh-sungguh Murtini mengeluarkan keluhannya tentang kekurangan kapas dan pembalut. Sakri juga bersungguh-sungguh dalam percakapan ini, menjanjikan akan mengusahakan di Solo, mengirim seorang penyeludup untuk mendapatkan barang-barang yang amat penting itu. Tiba-tiba seorang penjaga melaporkan ada tiga orang gerilyawan dari grup X hendak menghadap membawa seorang tawanan.
"Suruh mereka masuk!"
Kata Sakri. Penjaga memberi hormat dan keluar. Tak lama kemudian, tiga orang gerilyawan menggiringkan seorang laki-laki berusia kurang lebih empatpuluh lima tahun memasuki Pondok itu. Laki-laki ini tampan dan sikapnya seperti seorang bangsawan, lagaknya angkuh. Begitu memasuki pondok dan melihat gadis disamping Sakri, laki-laki itu berseru,
"Murtini...! Akhirnya ku bertemu dengan kau di sini...!"
Gadis itu tersentak kaget, bangun berdiri dan memandang dengan mata terbelalak.
"Ayah...!"
Lalu ia lari menghampiri laki-laki itu. Mereka saling tubruk dan berpelukan. Murtini menangis terisak-isak dan Ayahnya pun menjadi basah matanya tanpa kuasa mengeluarkan kata-kata.
Untung bagi Sakri Bahwa saat itu keadaan sudah remang-remang karena lampu belum dipasang, dan tiga orang gerilyawan tadi sedang memandang kepada Murtini dan Ayahnya. Kalau tidak demikian halnya, tentu orang akan melihat sikapnya yang aneh. Begitu melihat laki-laki itu, mendadak Sakri menjadi pucat sekali mukanya, matanya terbelalak mulut ternganga dan ia berdiri terpaku di atas bangkunya! Sugeng! Tak salah lagi, dia itu adalah Sugeng, penghianat yang dulu menghianati Ayahnya di dalam tawanan Kenpetai jepang! Sugeng, musuh besar Ayahnya, pengecut dan pengkhianat! Dan Sugeng ini Ayah Murtini! Namun, Segera Sakri dapat menguasai hatinya. Tak percuma Ia mendapat gemblengan gemblengan perjuangan dan penderitaan selama ini. Ia lalu bangkit berdiri dan berkata,
"Dik, Murtini, inikah Ayahmu bapak... Budihardjo itu?"
Orang tua itu melepaskan pelukannya, lalu berpaling kepada Sakri. Dua pasang mata bertemu pandang, Sakri tenang-tenang saja dan orang tua itu penuh selidik. Perubahan telah terjadi atas diri Sakri, maka tentu saja Sugeng budiharjo ini tidak mengenalnya lagi sebagai bocah yang dulu di rangket di dalam tawanan Kenpetai Jepang. Sugeng Budiharjo segera melangkah maju dan mengulurkan tangan, sikapnya ramah sekali.
"Betul sekali, Let. Nama saya Budiharjo dan saya Ayah Murtini. Kedatangan saya hendak mencari anak saya ini, apa daya saudara-saudara itu mencurigai saya."
Ia tertawa sinis menoleh ke arah tiga orang gerilyawan.
"Syukur, Murtini berada di sini."
Murtini sudah dapat menguasai hati dan mengatasi keharuannya.
"Ayah, dia adalah Letnan Sakri Ayah, bagaimana kau bisa datang ke sini?"
Sakri berkata segera, pura-pura tidak melihat uluran tangan Budiharjo, sehingga tak usah menjabat tangan itu.
"Dik Mur, harap kau ajak Ayah mu ke pondok sebelah agar dapat leluasa kau bercakap-cakap dengan Ayahmu. Nanti aku akan kesana."
Murtini maklum akan maksud baik Sakri yang hendak memberi keleluasaan kepadanya untuk bicara berdua dengan Ayahnya. Maka ia lalu mengajak Ayahnya pergi ke pondok sebelah yang selama ini menjadi tempat tinggalnya, sebuah pondok kecil dengan sebuah kamar. Setelah mereka pergi, Sakri memberi perintah kepada tiga orang anak buahnya itu,
"Dua orang bersembunyi menjaga jangan sampai dia lari, seorang tinggal di sini membuat laporan!"
Dengan cepat dan tangkas, dua orang gerilyawan menyelinap keluar lalu berjaga di tempat terlindung, memasang mata ke arah pondok kecil di mana Murtini bercakap-cakap dengan Ayahnya. Seorang tinggal di situ.
"Bagaimana kau menangkap dia? Apa alasannya?"
"Pak, dia amat mencurigakan. Seorang diri datang kemari, bertanya-tanya penduduk sana tentang diri mbak Mur."
Semua anggauta pasukan menyebut Murtini mbak Mur.
"Dia mengaku Ayahnya. Akan tetapi diantara penduduk ada yang pernah melihat dia duduk dalam sebuah truk Belanda. Kami curiga, dia itu mata-mata Belanda, pak."
Sakri mengerutkan keningnya. Hatinya berdebar. Seorang yang telah menghianati gerakan rahasia menentang Jepang, sangat boleh jadi sekarang berlaku serendah itu, menjadi mata-mata Belanda. Akan tetapi dia Ayah Murtini! Hatinya terasa perih di samping nyala api dendam dan amarah nya. Apa yang harus dibuatnya? Tentang Sugeng Budiharjo sebagai mata mata Belanda ini memang sudah pernah ia mendengarnya. Ketika ia melakukan penyelidikan untuk mencari di mana adanya Ayah Murtini, ia pernah mendengar nama Budihardjo disebut-sebut para gerilyawan daerah Semarang sebagai seorang pembantu Belanda.
"Ada seorang Budiharjo yang menjadi kaki tangan Belanda", demikian laporan yang ia dapat beberapa hari yang lalu itu.
"Akan tetapi entah dia itu Budiharjo yang bapak maksudkan ataukah bukan."
Dan sekarang Budihardjo itu berada di sini, ternyata adalah Sugeng, musuh besarnya, dan ternyata betul Ayah Murtini! Bisa saja yang menetapkan bahwa Sugeng itu mata-mata Belanda dan menembaknya mati, demi pembalasan dendamnya, tak perduli dia itu mata-mata betul atau bukan! Akan tetapi Murtini! Bagaimana dengan Murtini? Bagaimana Mungkin ia menghancurkan hati gadis yang dicintai sepenuh hatinya itu?
"Sudah! Kembalilah ke pasukan, serahkan hal ini kepadaku!"
Akhirnya Sakri berkata. Gerilyawan itu memberi hormat, lalu keluar mengajak dua kawannya pergi. Sakri dengan langkah lesu menghampiri Pondok Murtini. Sementara itu, tadi di dalam pondok ini pun terjadi percakapan yang amat menarik. Setelah menuturkan keadaan masing-masing, sugeng budiharjo lalu berkata lirih kepada anaknya,
"Murtini, hubunganmu dengan Letnan Sakri itu tentu baik, bukan?"
Murtini mengerutkan kening, mukanya merah dan pandang matanya penuh selidik kepada Ayahnya.
"Apa maksud Ayah? Sebagai teman seperjuangan, hubunganku baik dengan semua anggauta gerilya."
Ayahnya mengangguk-angguk maklum.
"Kau harus menolongku, Murtini. Orang-orang yang membawaku ke sini, para gerilya yang berada di Kemiri, menangkapku dan menuduhku sebagai musuh. Kau harus menolongku supaya Letna Sakri membebaskan aku dan kau harus ikut pula bersamaku. Di sini kau berbahaya, sewaktu-waktu mereka tentu akan dihancurkan tentara Belanda."
Sudah sejak pernikahan Ayahnya dengan ibu tirinya, Murtini mendengar berita bahwa Ayahnya ini bekerja pada Belanda! Dahulu ketika Sakri bertanya tentang Ayahnya, ia menjawab bahwa Ayahnya juga berjuang. Hal itu sebetulnya bohong belaka, atau sebetulnya hanyalah keinginan hatinya belaka. Alangkah besar keinginan hatinya melihat Ayahnyapun seorang pejuang, seorang patriot bangsa! Sekarang, mendengar ucapan Ayahnya, ia menjadi lebih yakin akan kenyataan yang menusuk perasaannya itu.
"Ayah, mengapa Ayah berkata begitu? Sudah menjadi tempatku di sini, di sisi para pejuang. Bukankah akupun seorang puteri Indonesia? Merdeka atau mati, Ayah! Akhirnya kita pasti menang!"
"Bodoh! Goblok kau...!"
Sugeng Budiharjo segera merendahkan suaranya, hampir ia lupa dan berteriak-teriak.
"Mana bisa gerilya menang? Bambu runcing dan beberapa buah bedil Jepang...! Huh, mana bisa daging dipakai melawan pelor?"
Ia tersenyum mencemooh.
"Jangan bodoh, Murtini. Belanda yang akan menang. Dan Ayahmu akan mendapat kedudukan yang baik, sedikitnya komisari, atau kepala sebuah kantor besar!"
"Ayahhh...! Kau... kau..., membantu Belanda?"
Tak sampai hati ia mengatakan "Kaki tangan".
"Hushh..., kau darah dagingku sendiri hendak mencelakai Ayahmu?"
Murtini tak dapat menahan lagi hatinya. Ia segera menangis terisak-isak. Timbul pertentangan hebat di dalam hatinya. Ia merasa seakan-akan dunia kiamat baginya. Ayahnya, yang bertahun-tahun ia rindukan, yang bertahun-tahun ia cari, ternyata seorang kaki tangan Belanda. Seorang pengkhianat bangsa! Dan sekarang berada disini, didepannya. Seharusnya ditangkap, ditembak sebagai pengkhianat! Tapi dia Ayahnya, satu-satunya orang yang menjadi orang-tuanya.
"Ayahhh... aduh mengapa begini, Ayah...?"
Murtini menjambaki rambutnya. Kebingungan dan kesedihan hampir membuat ia gila.
"Mengapa begini...? Ya Tuhan..., mengapa begini...?"
"Murtini! Tak banyak waktu lagi. Usahakan agar aku dibebaskan, dan kau ikut denganku."
"Tidak...! Tidak...!"
"Jadi kau hendak membunuh Ayahmu sendiri? Hendak melihat Ayahmu disiksa, dicincang oleh gerilya? Kau tega berbuat begitu terkutuk dan durhaka?"
"Tidak..., tidak..., akan kuusahakan... supaya Ayah bebas... tapi aku tidak bisa mengikuti jejak Ayah..."
"Ssttt..."
Sugeng Budiharjo memberi tanda ketika mendengar derap sepatu Sakri mendekati pondok. Hanya sifat satria dari Sakri yang membuat pemuda ini sengaja mengeraskan langkah kakinya supaya terdengar oleh orang-orang di dalam pondok. Ketika ia masuk, di bawah sinar lampu minyak yang kecil dan suram-suram, ia melihat Murtini duduk di atas bangku dengan wajah layu. Akan tetapi selanjutnya tidak, ada sesuatu yang luar biasa. Juga Budiharjo duduk di bangku, wajahnya tenang. Sinar lampu yang kemerahan menyembunyikan kepucatan wajah Ayah dan anak itu. Muka yang muram, keruh, dan keras dari Sakri membuat Sugeng Budiharjo berdebar gelisah hatinya, juga Murtini yang amat mengenal kekasihnya ini. Budiharjo segera bangkit dari bangkunya, dengan senyum lebar menghampiri Sakri dan berkata,
"Terima kasih banyak, Let. Murtini sudah menceritakan semua tentang kebaikanmu. Karena aku dan isteriku amat rindu kepada Murtini, saya minta perkenanmu supaya malam ini juga Murtini ikut dengan saya ke Solo."
"Diam kau!!"
Sakri membentak keras.
"Aku tak sudi bicara denganmu!"
Budiharjo tersentak kaget, tubuhnya mulai menggigil dan wajahnya pucat sekali.
"Kau duduk saja di sana!"
Bentak Sakri pula, kemudian pemuda ini dengan suara tenang berkata kepada Murtini,
"Dik Murtini, coba keluar sebentar, aku mau bicara denganmu."
Murtini berdiri, melirik kepada Ayahnya yang melemparkan permohonan kepadanya. Murtini menunduk, lalu mengikuti Sakri keluar dari pondok. Sakri berdiri di luar pondok itu sehingga suaranya takkan terdengar oleh Budiharjo. Murtini juga berdiri di depannya. Keduanya berpandangan di dalam gelap yang mulai menyelimuti permukaan bumi. Murtini yang sudah merasa mempunyai kesalahan tentang diri Ayahnya, tak dapat membuka mulut, hanya tunduk menanti. Perasaannya sudah mulai kecewa dan tak senang melihat sikap Sakri terhadap Ayahnya tadi yang membentak-bentak. Penghinaan yang menusuk perasaannya.
Di dalam kediaman mereka berdua, terjadi pertentangan-pertentangan hebat di dalam hati masing-masing. Tiga macam perasaan berbaku hantam dalam hati Sakri, perasaan dendam di bantu perasaan seorang pejuang melawan perasaan cinta kasih. Akhirnya perasaan sebagai pejuang patriot yang menang, ke dua perasaan cinta kasih. Rasa dendam ia kesampingkan, kalah oleh cinta kasih. Ia mengambil keputusan. Kalau Ayah Murtini seorang mata-mata, harus tertembak mati. Kalau bukan, akan dibiarkan bebas demi cinta kasihnya kepada Murtini. Dendam yang dahulu ia kesampingkan. Adapun pertentangan di dalam hati Murtini adalah rasa cinta perjuangan dan rasa cinta bakti terhadap Ayah. Ia lebih halus perasaannya, maka cinta bakti terhadap Ayahnyalah yang menang. Ayahnya harus bebas, biar untuk itu dia mengorbankan segala!
"Dik Mur... kita sama-sama tahu bahwa Ayahmu ditangkap karena dituduh mata-mata Belanda. Aku tak dapat memutuskan karena... karena dia itu Ayahmu. Biarlah kau yang memutuskan, aku percaya kepadamu. Kalau kau bilang bahwa dia mata-mata, aku sendiri yang akan menembak mati padanya!"
Naik sedu-sedan dari dada Murtini.
"Akan tetapi kalau kau menyatakan bukan, aku akan membebaskannya. Soal kau mau ikut dia atau tidak, bukanlah menjadi hakku untuk memutuskan."
Perih rasa hati Murtini. Sudah jelas bahwa sikap Sakri berbeda dari biasanya. Keras dan kaku, seakan-akan pemuda ini sudah yakin bahwa Ayahnya seorang mata-mata, seorang pengkhianat.
"Mas Sakri, dia hanya dituduh, akan tetapi mana buktinya? Ayah bukan mata-mata Belanda dan akulah yang bertanggung jawab. Tak perlu aku banyak bicara, hanya kuminta supaya kau malam ini juga membebaskan Ayah dan membiarkan dia pergi ke Solo dengan aman. Aku sendiri... aku akan tetap tinggal di sini, membantu teman-teman, yakni kalau... kalau kau masih menganggap tenagaku berguna..."
Dua titik air mata turun ke atas sepasang pipi yang pucat itu. Sakri menarik napas panjang, lega. Ia percaya sepenuhnya kepada gadis ini. Memang tidak ada buktinya bahwa Budiharjo seorang mata-mata. Biarpun ada terlihat ia duduk dalam truck Belanda, namun banyak orang duduk dalam truck Belanda, setiap orang dapat ikut dalam konpoi, asal saja ia kenal dengan seorang serdadu, atau mau memberi suapan. Ini ia tahu benar.
Merdeka Atau Mati Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau yang memutuskan. Malam ini juga dia kubebaskan!"
Sakri memanggil dua orang anak buahnya, memberi perintah supaya mengantar Budiharjo ke Solo malam itu juga, menjaga jangan sampai diganggu lain pasukan di jalan. Malam itu, sebelum tidur, ia menemui Murtini, bertanya pendek.
"Katakan, siapa nama kecil Ayahmu?"
Murtini memandang dengan perasaan aneh.
"Nama kecilnya Sugeng""
Sebelum ia melanjutkan kata-katanya, Sakri membungkamnya dengan pandang mata seekor harimau, lalu pemuda itu dengan gerakan kasar membalikkan tubuh, berjalan terhuyung-huyung kembali ke pondoknya sendiri. Di luar tahu Murtini, kedua mata pemuda itu basah air mata.
Pagi-pagi sekali Murtini memasuki pondok Sakri. Didapatkannya pemuda itu masih berpakaian seperti kemarin malam, duduk menghadapi meja dengan wajah layu dan rambut kusut. Matanya merah. Murtini semalam suntuk tidak tidur, menangis saja. Matanya sendiri juga merah dan melihat Sakri, ia dapat menduga bahwa pemuda inipun tidak tidur. Ia makin merasa heran. Apakah yang menyebabkan pemuda ini demikian aneh sikapnya? Begitu kasar dan marah-marah? Sakri menangkat muka, memandang Murtini dengan muka pucat.
"Mau apa lagi kau...?"
Ucapannya mengandung nada sakit hati, mengandung tangis tertahan. Murtini melangkah maju, terhuyung lalu menjatuhkan diri di atas tanah berlutut di depan Sakri sambil menangis tersedu-sedu.
"Mas... Mas Sakri... kau bunuh saja aku, Mas..."
Sakri memandang heran.
"Apa lagi ini? Jangan seperti anak kecil! Aku sudah membebaskan Ayahmu, cukup!"
"Aku tahu, Mas... aku maklum betapa rusaknya hatimu... semua adalah salahku..."
"Apa maksudmu?"
Sakri menjadi heran dan ia mengangkat bangun Murtini. Gadis itu berdiri didepannya sambil menutupi muka dengan kedua tangannya. Air mata membanjir keluar dari celah-celah jarinya.
"Aku tahu... bahwa kau melakukannya... untukku... Kau membebaskan dia sungguhpun kau tahu betul bahwa dia itu kaki tangan Belanda..."
Sakri merasa bulu tengkuknya berdiri. Ia memandang Murtini dengan mata terbelalak.
"Apa kau bilang...?? Ayahmu itu... Ayahmu itu..."
Isak tangis Murtini makin menghebat.
"Dia memang kaki tangan Belanda, dank au sudah membebaskannya karena aku..."
"Bedebah!!"
Sakri menggerakkan tangan kanannya menampar pipi Murtini sekerasnya. Gadis itu terlempar dan roboh di tanah, berlutut. Pipinya menjadi bengkak.
"Baik, mas... pukullah aku... siksa aku..., bunuhlah aku..."
Sakri seperti bukan orang waras lagi. Ia membelalak memandang tangannya yang menampar pipi Murtini lalu memandang ke arah pipi yang membengkak itu, kemudian tangannya dikepal dan... dipukulnya kepalanya sendiri.
"Bangsat! Pengkhianat kau...!"
Lalu dicabutnya pistol dari ikat pinggangnya. Murtini yang mendenar suara pukulan tadi sudah mengangkat muka memandang. Ia melihat betapa tiga kali Sakri memukuli kepala sendiri. Kaget dan keheranan membuat ia lupa menangis, lupa kesakitan sendiri lalu ia bangun memburu. Ketika melihat Sakri mencabut pistol, Murtini berkata,
"Itu lebih baik, mas Sakri. Kau tembaklah aku... tembaklah aku, anak pengkhianat..."
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat Sakri mengarahkan pistol itu pada kening sendiri.
"Mas Sakriiiii!!"
Murtini meloncat dan merenggut pistol itu dari tangan Sakri
"Dar...!!"
Peluru menembus genteng dan pistol sudah terampas oleh Murtini yang melempar senjata itu keluar.
"Mas Sakri, apa kau sudah gila?"
Teriaknya sambil menangis dan lupa segala, gadis ini memeluk tubuh Sakri. Sakri kini menangis, menangis terisak-isak. Hal yang selama ini tak pernah ia lakukan, ia menangis sambil mendekap kepala Murtini pada dadanya.
"Aku memang sudah gila! Aku gila!! Membiarkan pengkhianat lepas", aku sudah gila karena mencinta kau."
Murtini masih bingung. Untuk sesaat ia membiarkan dirinya dipeluk, membiarkan kepalanya di dekap di atas dada yang bidang itu, yang memberi rasa ketenangan dan perdamaian, yang sekilas mengusir semua pedih perih hatinya. Kemudian ia mengangkat muka, memandang wajah kekasihnya yang basah air mata itu.
"Mas Sakri..., kau kenapa, Mas? Sejak kemarin tadi... kau aneh sekali"
Akulah yang bersalah, akulah yang rela menanggung semua hukuman..."
Tiba-tiba Sakri tertawa. Menyeramkan, seperti mayat tertawa. Rambutnya awut-awutan, mukanya pucat seperti mayat, matanya membayangkan kehancuran hati dan air mata mengalir turun, akan tetapi mulutnya tertawa keras dan suara ketawanya seperti bukan seperti suara manusia lagi!
"Ha-ha-ha-ha-ha! Akulah pengkhianat nomor satu di dunia! Dua kali aku mengkhianati, mengkhianati orang tua dan mengkhianati bangsa!"
Murtini memeluk leher Sakri, menariknya dan menutup bibir pemuda itu dengan tangannya, dengan mulutnya, tapi Sakri merenggut-renggut melepaskan bibirnya dan berkata lagi,
"Kau mau tahu, he? Mau tahu? Ayahku disiksa sampai mati, ibuku disiksa sampai mati pula, apa sebab? Sebab perbuatan seorang pengkhianat yang bernama Sugeng!"
Rangkulan tangan Murtini pada leher Sakri mengendur, lalu terlepas dan tubuh gadis itu roboh di atas lantai, pingsan! Sakri menunduk dan"
Keadaan Murtini seperti itu membangkitkan cinta kasihnya yang lebih kuat dari pada segala apa, membuat ia sadar kembali akan keadaannya, membuat ia tenang.
"Murtini... jiwa hatiku..."
Ia berlutut dan memangku kepala gadis yang pingsan itu. Dalam keadaan demikianlah ketika teman-temannya berlari datang karena mendengar letusan tadi. mereka bertanya-tanya, dengan hormat mereka mengajukan pertanyaan kepada Sakri. Akan tetapi Sakri diam saja, hanya mengeluh dan memanggili nama Murtini yang masih pingsan di atas pangkuannya. Setelah agak reda hatinya, Sakri membaringkan tubuh Murtini yang sudah siuman tapi masih dalam keadaan mengigau dan demam itu ke atas pembaringan. Lalu ia memanggil para pembantunya.
"Malam ini semua pasukan harus meninggalkan posnya, berpencar dan berlindung, menjaga kalau musuh mengadakan pembersihan. Biarkan musuh masuk, lalu kepung dan serang dari empat penjuru. Kalau mereka terlalu kuat, mundur ke daerah M. Mengerti?"
"Siap, Pak!"
Dengan penuh keheranan semua anggauta pasukan menjalankan perintah ini. Ada apakah dengan pemimpin mereka? Pasukan disuruh berlindung, akan tetapi Sakri sendiri menjaga dan merawat Murtini di dalam pondok itu, tak terjaga! Lewat senja Murtini mendingan keadaannya. Sudah ingat kembali dan menangis.
"Mas Sakri, kauampunkan aku, mas... Alangkah besar dosa Ayah kepadamu. Dan kau melupakan dendam itu, malah kau membebaskannya, karena cintamu kepadaku..."
Sakri membelai rambut Murtini yang kusut.
"Kalau aku tahu dia mata-mata, dia takkan kulepaskan."
Ia mengusap-usap pipi yang tadi dipukulnya.
"Salahku itu, mas. Aku membohongimu..."
"Aku tahu, dik. Kau hanya melakukannya karena cinta dan baktimu kepada Ayah, bukan karena hendak mengkhianati perjuangan. Buktinya kau tidak mau ikut pergi dengan Ayahmu..."
"Mas, Ayah mata-mata. Jangan-jangan dia nanti menunjukkan tempat kita ini pada Belanda..."
"Mungkin. Dan kiranya malam ini akan terjadi sesuatu."
"Pergilah, mas. Suruh semua teman pergi dari sini..."
"Sudah kusuruh mereka bersembunyi."
"Kau sendiri"?"
Sakri menggeleng kepalanya.
"Seorang laki-laki harus berani mempertanggungjawabkan kesalahannya. Akulah yang bersalah kalau sampai Ayahmu membawa serdadu Belanda menyerang ke sini, dan sudah selayaknya kalau aku terhukum karenanya, baik binasa di ujung senapan serdadu Belanda mapun sebagai seorang tahanan yang disiksa."
"Mas Sakri...!"
Sakri memeluknya.
"Mungkin malam terakhir bagi kita, dik Mur. Aku sengaja menunggu kedatangan kembali Ayahmu dan kalau kali ini kami bertemu kembali..., jangan kausalahkan aku kalau terpaksa aku berusaha melenyapkannya dari muka bumi..."
Murtini mendekap muka sendiri.
"Aku tahu bahwa Ayah berdosa besar... dan akupun tidak akan menyalahkan orang membunuhnya, akan tetapi... hendaknya bukan engkau orang itu Mas..."
Tiba-tiba terdengar rentetan tembakan. Murtini menjadi pucat dan serentak bangkit.
"Mas Sakri..., dugaanmu betul... kau larilah...!"
Namun Sakri hanya tersenyum dan menggeleng kepala.
"Lebih baik kaulah yang lari sembunyi, jangan-jangan peluru yang dibawah Ayahmu akan mengenaimu sendiri..."
"Tidak! Seribu kali tidak! Aku bersumpah berdiri disampingmu selama aku masih hidup!"
Sesuai dengan perintah Letnan Sakri, para pejuang yang tidak berapa banyak jumlah senapannya, mulai mengadakan serangan bersembunyi. Pertempuran terjadi, ramai suara rentetan tembakan, terutama dari fihak serdadu Belanda. Rakyat lari cerai berai mencari perlindungan. Namun, kali ini fihak serdadu Belanda mengerahkan banyak serdadunya, memaksa para gerilyawan mengundurkan diri. Sakri melawan sampai kehabisan peluru. Hanya karena permintaan Sugeng Budiharjo yang takut kalau-kalau anaknya kena tembak, serdadu-serdadu Belanda tidak menghujani pondok itu dengan peluru. Sakri dan Murtini tertangkap tanpa mendapat luka. Malam itu juga mereka di bawa ke pos serdadu Belanda di dekat Solo. Malam itu juga diperiksa. Sugeng Budiharjo kecewa sekali. Dia yang membawa serdadu-serdadu itu melakukan penyerangan. Biarpun tidak ada anggauta gerilya lain yang ter
Gambar 4
tawan, namun penawanan seorang letnan gerilya amat berharga. Tapi alangkah kecewa dan menyesalnya ketika permintaannya supaya Murtini dibebaskan, ditolak oleh sersan KNIL yang memimpin penyerbuan tadi. Sersan KNIL itu tersenyum-senyum memandang kepada Murtini penuh gairah ketika menjawab,
"Biarpun dia itu anakmu, akan tetapi dia terkenal sebagai pembantu gerilya. Dia tawanan perang dan harus diperiksa!"
Sugeng Budiharjo lemas tubuhnya. Apa lagi setelah tiba di luar, beberapa orang serdadu KNIL bercakap-cakap sambil tertawa tentang tawanan itu.
"Ha-ha-ha, untuk sekali sersan mala mini! Burung dara yang muda, cantik, dan lunak."
"Berpesta dia malam ini! Tentu akan dikawini..."
"Kawin? Di mana-mana dia punya isteri. Mana dia sempat kawin sekarang? Paling-paling menjadi bini mudanya..."
Rasa hati Budiharjo seperti tertusuk-tusuk pisau. Maklum ia siapa yang dimaksudkan dalam pembicaraan itu. Hati seorang Ayah melihat anaknya dalam bahaya, membuat ia marah dan nekat. Ia melihat pula betapa letnan gerilya itu melindungi Murtini, tidak mau melarikan diri ketika disergap. Dan sikap kedua orang muda itu..., tak salah lagi, mereka saling mencinta. Masih terbayang di depan matanya ketika Sakri ditangkap, Murtini merangkulnya dan berkata keras-keras.
"Mas Sakri, biarlah kita bersua kembali di alam baka! Aku cinta padamu, Mas..., aku cinta padamu...!"
Tiap kali teringat akan ini, makin sakit rasa hati Budiharjo. Terbuka matanya yang selama ini tertutup oleh bayangan kemuliaan, kedudukan dan harta benda, betapa gagahnya letnan gerilya itu. Teringat ia akan sikapnya yang aneh ketika membebaskannya dan tahulah ia kini bahwa ia pada malam itu dibebaskan hanya karena letnan itu mencinta anaknya. Dan sebagai balas budi, dia membawa serdadu-serdadu menangkapnya! Lebih-lebih lagi, ia sendiri yang akan menghancurkan kebahagiaan hati anaknya, menghancurkan kehidupannya.
Celakalah kalau sampai Murtini menjadi korban sersan KNIL itu! Apa artinya kedudukan kalau ia menerima penghinaan ini? Malam itu, di antara gelak tawa para serdadu yang mendapat pembagian bir, terdengar jerit Murtini di dalam kamar tahanan. Disusul padamnya lampu dan letusan senjata berkali-kali, lalu terdengar suara orang menjerit kesakitan. Gegerlah keadaan di pos serdadu Belanda itu. Semua serdadu yang mengira ada serangan gerilya, segera membuat stelling. Keadaan gelap pekat. Namun tidak ada serangan sama sekali dari luar. Lewat setengah jam, setelah mendapatkan kembali keberaniannya dan beberapa orang serdadu menghidupkan penerangan, mereka melihat sersan KNIL dan dua orang KNIL lain yang tadi menjaga didepan kamar tahanan telah menggeletak. Sersan dan seorang serdadu tewas tertembus dadanya, yang seorang lagi merintih-rintih, terluka parah.
Di sudut kamar tahanan, menggeletak pula seorang berpakaian preman, tewas karena perutnya tertembus peluru. Dia itu adalah Sugeng Budiharjo! Ketika diperiksa, ternyata bahwa dua orang tawanan itu, Sakri dan Murtini telah lenyap tak meninggalkan bekas! Menurut penuturan serdadu yang terluka parah ketika sersan KNIL sedang "memeriksa"
Dalam kamar tahanan Murtini, tiba-tiba lampu padam dan terdengar tembakan dari dalam kamar tahanan. Mereka berdua membuka pintu dan meloncat masuk. Dari sudut kamar itu tampak api tembakan dan mereka terkena tembakan. Serdadu yang terluka itu masih sempat mengirim tembakan balasan yang mengenai orang itu, yang kemudian ternyata adalah Sugeng Budiharjo. Ternyata bahwa pengkhianat ini telah menebus dosanya dengan nyawa, setelah ia membebaskan Sakri dan Murtini yang hampir diganggu oleh sersan KNIL.
Beberapa tahun kemudian...
Tanggal sepuluh November, Hari Pahlawan! Sang Dwiwarna Merah Putih, bendera pusaka lambang kemerdekaan berkibar dengan megahnya di setiap pelosok, di setiap penjuru tanah air, dari Sabang sampai Merauke pada hari itu, hari Pahlawan sepuluh November. Seluruh Bangsa Indonesia memperingati hari suci itu, untuk mengenang para pahlawan bangsa yang telah mengurbankan jiwa raga untuk kemerdekaan tanah air dan bangsa! Hanya bangsa yang besar mengenal dan menghargai jasa para pahlawannya dan Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar!
Di setiap kota dan desa, di mana terdapat makam pahlawan, orang-orang berziarah ke makam, menaburkan bunga tanda penghargaan kepada para pahlawan, mengheningkan cipta untuk memanjatkan doa ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa semoga arwah para pahlawan mendapatkan pahala, mendapat berkah dan tempat yang aman damai sentausa di sisi Tuhan Seru Sekalian Alam. Bahkan di desa-desa yang tidak terdapat makam pahlawan yang dikenal namanya, makam para pejuang yang terpaksa dimakamkan di tempat oleh mereka yang tidak mengenalnya, orang datang berziarah, Karena betapapun tak terkenal namanya, rakyat tahu belaka bahwa mereka itulah pahlawan-pahlawan bangsa, patriot-patriot perkasa yang telah gugur sebagai kesuma bangsa, sebagai pahlawan!
Justeru di sebuah makam pahlawan-pahlawan yang tidak terkenal dan tak bernama inilah pada hari keramat itu datang berziarah seorang laki-laki bersama seorang wanita dan tiga orang anak-anaknya. Seorang anak laki-laki berusia delapan tahun, kedua laki-laki pula berusia empat tahun dan ketiga seorang anak perempuan berusia satu tahun dalam gendongan ibunya. Mereka ini adalah Sakri dan Murtini yang sudah menjadi isterinya, bersama tiga orang anak mereka. Taman pahlawan tak bernama ini dipilih Sakri dan isterinya, teristimewa untuk memperingati kepahlawanan Ayah Sakri, yaitu Waluyo yang mati dalam siksaan Jepang dan tidak diketahui di mana kuburnya itu.
"Ayahpun seorang pahlawan,"
Demikian kata Sakri kepada isterinya.
"Dan berziarah ke makam pahlawan tak bernama sama dengan berziarah ke makam Ayah yang tidak kuketahui di mana makamnya."
Ucapan ini mengharukan hati Murtini yang belum pernah dapat melupakan bahwa Ayah suaminya itu tewas karena mungkin sebagian besar dikarenakan pengkhianatan Ayahnya sendiri. Sungguhpun sering kali suaminya menghiburnya dengan kata,
"Mati hidup adalah di tangan Tuhan, dik Mur. Sudah menjadi kehendak Tuhan Ayah meninggal dunia di saat itu. Perbuatan Ayahmu itu hanyalah merupakan sebab belaka, segalanya diatur oleh Yang Maha Kuasa."
Namun, rasa dosa Ayahnya tak pernah terkikis habis dari hati Murtini. Sakri dan isterinya menaburkan bunga-bunga mengheningkan cipta sejenak, lalu terdengar Sakri berdoa perlahan,
"Semoga Tuhan memberi tempat yang layak kepada arwah para pahlawan tak bernama yang dimakamkan di tempat ini dan semoga arwah mereka menyampaikan kepada Ayah bahwa kami tak pernah melupakan jasa-jasa Ayah dalam perjuangan."
"Amin..."
Murtini menutup doa suaminya. Ketika Sakri menengok, ia melihat isterinya menitikkan air mata. Ia terharu, maklum akan isi hati isterinya. Tentu seperti biasa, seperti pada saat-saat mereka berziarah ke makam pahlawan, isterinya teringat akan Ayahnya sendiri.
"Dik Mur,"
Katanya memegang tangan isterinya.
"Mendiang Ayah mertuaku, sungguhpun di waktu yang sudah-sudah tersesat oleh nafsu keduniaan, namun pada detik-detik terakhir dari hidupnya, ia telah bersikap sebagai pahlawan pula."
Isterinya memandang dengan sinar mata berterima kasih, maklum bahwa suaminya mengucap demikian hanya untuk menghiburnya.
"Aku bicara bersungguh-sungguh, dik Mur. Mendiang Ayah kita itu pada saat-saat terakhir telah sadar sehingga membuat beliau memberontak dan menewaskan tiga orang serdadu musuh. Perbuatan terakhir ini termasuk perbuatan yang gagah berani dan marilah kita berdoa semoga Tuhan mengampuninya dan dapat memberi tempat yang baik untuk arwahnya."
Murtini terhibur hatinya.
"Bu, kita berada di makam siapakah?"
Tanya anak sulung mereka yang memandang ke arah makam berjajar-jajar itu.
"Makam para pahlawan, No,"
Jawab Ayahnya.
"Pahlawan itu apa sih, pak?"
Mengejar si sulung.
"Pahlawan adalah satria-satria perkasa..."
"Seperti Gatutkaca, Pak?"
Si sulung memotong karena dalam pengertiannya yang disebut satria adalah Gatutkaca dan lain-lain tokoh baik pewayangan. Sakri tertawa.
"Ya... seperti Gatutkaca gagahnya. Mereka itu rela mengorbankan apa saja, rela kehilangan harta benda, rela kehilangan nyawa seperti para pahlawan yang dimakamkan di sini, demi kemerdekaan nusa bangsa."
Si sulung termenung kagum. Sambil memandang ke arah makam di depannya, ia berkata tiba-tiba,
"Pak, Yono ingin menjadi pahlawan!"
Anak ke dua yang selalu tak mau ketinggalan kalau kakaknya menginginkan sesuatu, segera berkata,
"Toto juga ingin menjadi pahlawan seperti kak No""
Sakri dan Murtini saling pandang, terharu dan bangga, lalu tertawa girang.
"Tentu..., tentu..., Yono dan Toto kelak juga menjadi pahlawan-pahlawan bangsa. Titi juga tentu menjadi pahlawan wanita. Selama putera-putera Indonesia bercita-cita menjadi pahlawan, mengikuti jejak langkah para pahlawan, Indonesia Merdeka pasti akan menjadi jaya!"
Melihat sikap suaminya dan mendengar kata-kata yang diucapkan penuh semangat, bangkitlah semangat perjuangan dalam dada Murtini dan seperti dulu di masa perjuangan melawan Belanda, ibu muda ini mengepal tinju, diangkatnya sambil memekik penuh semangat,
"Merdeka!!!"
"Merdeka! Sekali merdeka tetap merdeka!"
Sambung Sakri Melihat Ayah bundanya, Yono juga mengacungkan kepalan tangannya yang kecil,
Merdeka Atau Mati Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Merdeka!"
Toto mencontoh kakaknya,
"Merdeka...!"
Dan Titi dalam gendongan ibunya tertawa senang.
Solo, tengah bulan Desember 1965.
T A M A T
Penerbit : CV. GEMA - Solo
Pelukis : YANES
Sumber Image : Awie Dermawan
Kontributor ; Yon Setiono
Konversi ke Teks : Eddy Zulkarnaen
Posting di Grup Cersil Kho Ping Hoo : Djan M
Edit ke Doc, Pdf & Txt : Cersil KPH
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo