Rondo Kuning Membalas Dendam 3
Rondo Kuning Membalas Dendam Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
"Awas, Kang Mas!"
Teriak Sariwati karena hatinya menjadi cemas lagi melihat betapa Adiguna berlaku sembrono dan terlalu berani. Akan tetapi, pada saat itu harimau tadi telah melompat dan menubruk dari belakang tubuh Adiguna! Namun, kini Adiguna memperlihatkan kegagahannya yang luar biasa. Ia membalikkan tubuh dan tidak mengelak, akan tetapi sebaliknya, secepat kilat ia mengirim serangan untuk menyambut terkaman itu!
Serangannya ini adalah ilmu pukulan yang disebut Raksa Rodra (Beruang Buas). Kedua tangannya bergerak demikian cepat dan kuatnya hingga pukulan tangan kiri sekali gerak dapat menyampok kedua kaki depan harimau yang mencakar dan pukulan tangan kanan dengan tenaga penuh menghantam muka harimau itu, tepat di pangkal matanya. Harimau itu seperti terkena sambaran petir. Ia meraung keras dan tubuhnya berguling-guling sampai merupakan buntalan kain loreng-loreng yang bulat digelundungkan. Setelah tubuhnya itu menabrak sebatang pohon jati, barulah tubuhnya berhenti bergulingan. Ia berdiri lagi dengan kepala pening, karena untuk beberapa lama ia hanya mengeluh dan menggereng-gereng. Agaknya pandang matanya nanar dan segala yang dilihatnya berputaran!
Pukulan yang baru diterimanya tadi benar-benar hebat dan belum pernah ia terpukul sekeras itu. Sebetulnya, keberaniannya telah lenyap dan ia merasa jerih menghadapi pemuda itu, akan tetapi oleh karena perutnya merasa lapar sekali, ia menjadi nekat. Ia mulai menoleh ke kanan kiri dan tiba-tiba ia melihat dua orang gadis yang duduk berpelukan di bawah pohon. Kebetulan sekali ketika ia terpukul dan terlempar bergulingan, ia terlempar ke arah tempat dua orang gadis itu, hingga kini jarak antara dia dengan tempat mereka lebih dekat daripada jarak antara Adiguna dengan tempat mereka! Ia mengaum sekali lagi keras-keras dan tiba-tiba ia berlari ke arah kedua gadis itu! Bandini memekik keras dan tiba-tiba kedua kakinya seakan-akan lumpuh hingga ia terguling jauh dan lekas-lekas dipeluk oleh kakaknya, sedangkan Sariwati berseru,
"Kang Mas"
Lekas, tolong"!"
Biarpun telah mempunyai perasaan benci terhadap harimau, namun tadi Adiguna tidak mempunyai niat untuk membinasakan harimau ini. Akan tetapi setelah melihat betapa binatang itu dengan ganas dan buasnya lari hendak mengganggu Sariwati, Adiguna menjadi marah sekali.
"Binatang keparat!"
Ia memaki dan tubuhnya melompat cepat sekali hingga sebelum harimau itu sempat menubruk Sariwati dan Bandini, Adiguna telah menubruknya dari belakang dan memeluk pinggangnya. Tubrukan ini keras sekali hingga binatang itu terguling dan Adiguna tetap memeluk pinggangnya dan terguling bersama!
Harimau itu mencoba untuk memberontak dan ketika ia mencakar dengan keempat kakinya, kaki belakangnya mencakar paha Adiguna dan pemuda ini merasa pahanya perih! Makin marahlah Adiguna dan ia lalu bangun berdiri dengan harimau itu masih dipeluknya hingga binatang itupun terbawa berdiri di atas kaki belakangnya! Demikian hebat tenaga Adiguna hingga harimau itu tak kuasa melawannya. Adiguna lalu melepaskan pelukan tangan kanan dan sekarang ia menggunakan lengan kanan yang kuat itu untuk memeluk dan menjepit leher harimau dari belakang, sedangkan lengan kirinya masih tetap memeluk pinggang. Ia mengerahkan tenaga, otot-otot pada lengan kanannya membusung dan tak lama lagi "Krak"
Patahlah leher harimau itu! Setelah Adiguna melepaskan bangkai harimau itu dan berdiri memandang bangkai lawannya, Sariwati berlari sambil memekik,
"Kang Mas... Kau... kau terluka hebat...?"
Ternyata bahwa dara itu melihat betapa paha Adiguna berlumur darah hingga saking cemas dan kagetnya, ia lupa diri, berlari cepat dan segera berlutut dan memeluk kaki kanan pemuda yang terluka itu. Terharu sekali hati Adiguna melihat pernyataan cinta kasih yang suci murni ini. Ia segera membungkuk dan mengangkat bangun gadis itu dengan halus. Mereka berdiri berhadapan dan kedua tangan Adiguna masih memegang kedua bahu Sariwati dan dua pasang mata saling pandang dengan mesra, menyatakan perasaan hati masing-masing dalam seribu satu bahasa gagu! Bandini yang melihat keadaan mereka itu, lalu datang berlari-lari. Kini gadis cilik ini tidak takut lagi dan ia tertawa-tawa dan menari-nari mengelilingi kedua teruna remaja itu.
"Bagus, bagus! Kalian kini menjadi mimi dan mintuna seperti Kamajaya dan Kamaratih!"
"Hush, Bandini! Jangan kau berlaku nakal dan main-main! Tidak kau lihatkah betapa Kang Mas Adiguna menderita luka parah?"
Teringat akan luka itu Sariwati lalu berlutut kembali untuk memeriksa paha yang terluka, dan karena biarpun luka itu sedikit saja akan tetapi mengalirkan banyak darah hingga lukanya tertutup, maka Sariwati menyangka bahwa luka dipaha Adiguna parah.
"Tidak apa-apa diajeng. Hanya luka kecil saja dan tidak berarti."
"Kaki berlumur darah dan kau bilang luka kecil tidak berarti apa-apa?"
Mencela Sariwati dan gadis lalu melepas kembennya (sabuknya) yang terbuat dari sutera hijau untuk dipotong sedikit pada ujungnya.
Ia mempergunakan giginya yang putih dan kuat menggigit pinggir kemben lalu merobeknya. Setelah membetulkan kembennya dengan baik-baik, ia lalu mempergunakan potongan kemben itu untuk membalut luka di paha Adiguna yang masih berdiri sambil menundukkan kepala memandang gadis kekasih yang cantik ini. Dari atas ia melihat alis yang hitam indah dan hidung yang lurus dan memancung, melihat potongan tubuh yang menggairahkan hingga diam-diam ia makin kagum melihat keindahan bentuk tubuh dan kecantikan Sariwati yang dianggapnya sempurna tanpa cacat itu. Ia merasa berterima kasih sekali kepada sepuluh jari tangan yang kecil-kecil dan berkulit halus, jari-jari runcing yang membalut pahanya dengan cekatan dan sentuhan mesra. Setelah selesai membalut paha yang terluka itu, Sariwati bangun berdiri dan mukanya memerah.
"Terima kasih, diajeng,"
Bisik Adiguna.
"Kami yang harus berterima kasih kepadamu, bukan kau!"
Kata Sariwati. Kemudian ia memandang khawatir.
"Bagaimana Kang Mas. Sakit sekalikah kakimu? Apakah kau dapat berjalan? Atau, akan lebih baikkah kalau kita istirahat dulu agar kakimu sembuh kembali?"
Adiguna memandang dan tersenyum mendengar pertanyaan-pertanyaan yang dihujankan oleh gadis itu. Ia menggeleng-geleng kepala dan menjawab,
"Kakiku tidak apa-apa. Kalau lukanya lebih besar dan patah sekalipun, mendapat rawatanmu dan dibalut oleh tanganmu yang halus lembut itu, tentu akan sembuh juga seketika! Mari kita lanjutkan perjalanan agar lekas sampai di tempat tujuan."
"Kemanakah kau hendak membawa kami pergi, Kang Mas?"
Tanya Sariwati.
"Tidak ada tempat yang lebih aman daripada tempat tinggal guruku,"
Jawabnya.
"Gurumu? Apakah gurumu siluman macan yang menggondolmu dulu?"
Bandini bertanya sambil membelalakan matanya yang hitam lebar karena kengerian. Juga Sariwati memandang penuh pertanyaan.
"Bukan, guruku bukan siluman, juga bukan macan! Beliau adalah Sang Panembahan Sidik Paningal atau lebih terkenal dengan sebutan Eyang Sidik, yang tinggal di lereng Gunung Lawu."
"Jadi gunung ini adalah Gunung Lawu?"
Tanya Bandini lagi. Memang benar, mereka telah tiba di kaki Gunung Lawu yang mengandung banyak hutan-hutan liar. Perjalanan menjadi makin sukar, akan tetapi berkat ketangkasan Adiguna yang tak segan-segan untuk memondong mereka seorang demi seorang apabila melintasi jurang yang berbahaya, dan berkat keteguhan hati kedua remaja puteri yang tidak bersikap manja itu, akhirnya sampai juga mereka di lereng gunung dengan selamat. Ketika Adiguna tiba di depan gua tempat tinggal Eyang Sidik, panembahan tua dan sakti itu kebetulan sekali tengah duduk di depan guanya. Ia menyambut muridnya dengan senyum dikulum.
"Wahai, Adiguna muridku, kau sudah kembali lagi? Dan siapakah gerangan dua orang puteri yang ikut datang bersamamu ini?"
Sambil menyembah dan berlutut, Adiguna menceritakan pengalamannya selama meninggalkan perguruan. Panembahan Sidik Paningal mengangguk-anggukkan kepala dan akhirnya berkata kepada dua orang gadis itu.
"Memang betul apa yang direncanakan oleh Adiguna, angger. Kalian berdua lebih baik untuk sementara waktu tinggal dulu disini bersama Eyang."
Sariwati dan Bandini berlutut dan menyembah. Semenjak pertama kali melihat panembahan yang bermuka terang dan agung itu, mereka merasa tunduk dan menghormat sekali.
Dari pandangan pertama mereka dapat menduga bahwa panembahan itu tentu seorang suci yang patut dihormati dan dapat dipercaya penuh. Kemudian, atas perintah Panembahan Sidik Paningal, Adiguna lalu membangun sebuah pondok sederhana dari bambu dan kayu gunung beratapkan ilalang kering. Biarpun pondok ini sederhana sekali, namun cukup untuk tempat tinggal kedua orang perawan itu. Mereka suka benar tinggal di tempat itu, oleh karena selain berhawa sejuk segar, juga tentram dan kaya akan tamasya alam yang indah. Kepada orang-orang tani yang kebetulan melihat kedua orang gadis itu, dengan singkat Eyang Sidik memberi tahu bahwa mereka adalah dua orang keluarga Adiguna yang datang kesitu untuk menjadi muridnya. Ucapan ini bukanlah bohong semata, oleh karena memang kedua kakak beradik itu semenjak datang mempelajari ilmu dari Panembahan Sidik Paningal.
Bandini yang merasa sakit hati dan benci melihat kekejaman orang-orang yang telah menghancurkan kebahagiaan keluarganya menaruh hati dendam dan dia bercita-cita menjadi seorang pendekar wanita seperti Srikandi, Mustokoweni, atau Larasati yang kegagahannya tidak kalah oleh pria. Eyang Sidik yang mengetahui sifat gadis ini tidak segan-segan memberi pelajaran olah keperwiraan, sedangkan Sariwati yang lebih halus dan lemah lembut serta mempunyai bakat sebagai ahli tapa yang teguh iman dan kuat kemauan, mendapat latihan aji kesaktian berdasarkan ilmu batin. Sementara itu setelah bermalam tiga hari di tempat gurunya, Adiguna lalu diperintahkan untuk turun gunung lagi oleh Eyang Sidik, agar supaya pemuda itu dapat meluaskan pengetahuan dan mencari pengalaman serta mengulurkan tangan membela dan menolong mereka yang tertindas dan menderita sengsara.
"Kau perlu datang ke Pakem lagi, Adiguna, karena aku khawatir sekali kalau-kalau Penewu itu menjatuhkan tangan jahat kepada penduduk disana sebagai penumpah amarahnya kepadamu."
Adiguna maklum akan kesaktian gurunya dan ia tahu pula bahwa gurunya itu mempunyai pandangan yang tajam sekali. Apa yang diucapkan oleh kakek sakti ini selalu terbukti, maka tanpa membuang waktu lagi, ia segera turun gunung. Sebelum ia pergi, ia berhasil menemui Sariwati.
"Diajeng, jagalah baik-baik dirimu dan adikmu disini dan jangan kau khawatir, karena dalam perlindungan Eyang Panembahan, kau dan adikmu takkan menemui bencana sesuatu. Aku takkan lama pergi dan segera aku akan kembali lagi, diajeng."
"Kakang Mas, berjanjilah sekali lagi bahwa kau akan kembali!"
Adiguna melangkah maju dan tanpa ragu-ragu lagi ia memegang kedua tangan dara itu. Mereka berpegangan tangan dan getaran yang keluar dari hati mereka melalui tangan itu menceritakan kepada masing-masing akan perasaan hati mereka.
"Aku bersumpah, diajeng, bahwa aku pasti akan kembali kepadamu."
"Aku akan selalu mengenangmu, Kang Mas, dan aku akan bersetia menantimu sampai datang ajalku!"
"Diajeng... Terima kasih atas cinta kasihmu yang besar ini."
Kedua berpegang tangan dan berdiri dan tak bergerak, hanya saling pandang dengan mesra. Akhirnya Sariwati melepaskan tangannya dan berkata lirih.
"Jangan lupa untuk mencari tahu tentang keadaan Ibu, Kang Mas."
"Tentu, diajeng, tentu. Aku takkan melupakan hal penting itu."
Maka akhirnya berangkatlah Adiguna, diikuti pandang mata kekasihnya.
Pada masa itu, daerah Mataram amatlah luasnya. Daerah sebelah selatan meluas sampai kepinggir Laut Kidul, laut yang bergelombang besar dan dahsyat, laut yang tak pernah diam airnya, yang selalu melempar ombak ke pantai dan siang malam tiada hentinya ombak memukul batu-batu karang di pingir laut, menerbitkan bunyi menggelegar bagaikan ratusan raksasa mengamuk dan saling bunuh sambil mengeluarkan teriakan-teriakan menyeramkan. Semua orang merasa seram dan takut apabila melihat Laut Kidul, laut yang pusat perhatian para pertapa, laut yang terkenal Nyai Roro Kidul, Ratu wanita yang menguasai laut luas itu dengan anggauta yang menyeramkan oleh karena tentaranya bukanlah manusia biasa, melainkan para siluman dan dedemit.
Nyai Roro Kidul menjadi tokoh besar sebagai Ratu iblis dan setan, seperti Sang Batari Durga di jaman pewayangan! Semua orang yang tinggal di dekat pantai laut, tiap malam Selasa dan malam Jum"at, tak pernah lalai dan lupa untuk membakar dupa dan menyajikan kembang rampai untuk menghormat dan memuja Nyai Roro Kidul yang terkenal sakti dan gaib itu. Pada suatu hari, diantara batu-batu karang yang menghitam dan telah licin mengkilat karena tiap saat disiram air laut yang datang bergelombang, nampak sesosok bayangan orang berjalan terbungkuk-bungkuk dan terhuyung di tepi laut. Bayangan ini jelas sekali merupakan bayangan seorang wanita dan kalau pada saat itu ada orang yang melihatnya dari jauh, maka tentu orang itu tak akan ragu lagi bahwa yang sedang berjalan itu adalah Nyai Roro Kidul sendiri.
(Lanjut ke Jilid 03)
Rondo Kuning Membalas Dendam (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 03
Kalau orang yang melihatnya itu akan mendekat, maka ia akan merasa ngeri dan terkejut sekali, oleh karena wanita ini selain rambutnya yang hitam dan panjang itu terurai kebelakang dan tak terurus dan pakaiannya compang-camping, juga mukanya yang nyata cantik sekali itu nampak mengerikan. Kedua matanya memerah, pipinya yang kuning itu memucat, mulutnya dengan bibir berbentuk indah dan merah warnanya itu menyeringai seakan-akan ia menderita kesakitan hebat, sedangkan peluh dan debu telah mengotori mukanya hingga corang-coreng tidak karuan. Titik-titik air mata mengering di kedua pipinya.
Yang lebih mengerikan adalah bahwa wanita yang paling banyak berusia tiga puluh lima tahun ini, menggendong seorang anak kecil. Bukan, bukan anak lagi, melainkan sebuah mayat anak kecil yang telah mulai rusak dan menyiarkan bau busuk! Wanita itu adalah Rondo Kuning, yang telah menjadi gila oleh karena kesedihan dan kehancuran hatinya melihat puteranya, Bondan, mati terbunuh oleh kepalan tangan Ayah anak itu sendiri, Penewu Galiga Jaya! Juga karena terlalu mengkhawatirkan keadaan ketiga orang puterinya, terutama Kencanawati, maka wanita yang malang ini menjadi berubah pikiran. Ia melarikan diri dari Pakem sambil menggendong, menciumi dan menangisi mayat Bondan, terus berlari ke selatan dan menangis disepanjang jalan. Sebentar-bentar menangisi anaknya, sebentar tertawa tergelak-gelak atau terkekeh-kekeh sambil memaki-maki Galiga Jaya!
Orang-orang yang bertemu di jalan lari menjauhi dengan hati ngeri dan takut. Berhari-hari bahkan berpekan-pekan Rondo Kuning berjalan kaki terus menuju ke arah selatan tanpa tujuan tanpa kehendak dan apabila ia merasa lapar, ia makan apa saja yang ditermukan. Daun-daun pohon, akar-akar, buah-buah, bahkan kadang-kadang ada ulat yang dimakannya! Tiada hentinya ia menimang-nimang Bondan yang sudah menjadi mayat itu dan tentu saja mayat itu rusak dan menyiarkan bau busuk hingga keadaannya sungguh mengerikan dan menyedihkan! Oleh karena lelah dan lapar Rondo Kuning lalu menjatuhkan diri berlutut diatas pasir yang halus dan bersih itu, melempar-lempar batu karang yang terdapat dibeberapa tempat, lalu menurunkan mayat Bondan dan menidurkan sambil mulutnya mengeluarkan bunyi sebagaimana biasanya Ibu menidurkan anak,
"Ssh"
Ssh"
Ssh""
Dan tangan kanannya dengan mesra dan lemah lembut menepuk-nepuk paha mayat anaknya yang mulai keriputan itu! Kebetulan sekali pada waktu itu, air laut sedang surut hingga, air laut tidak sampai ke atas pasir dimana Rondo Kuning menidur-nidurkan anaknya. Kemudian, karena terlampau lelah, Rondo Kuning lalu membaringkan tubuhnya di sebelah mayat Bondan dan jatuh pulas. Tak terasa lagi, malam tiba dengan cepatnya menggantikan siang. Bulan muncul menggantikan malam hari yang agaknya merasa terlalu ngeri dan kasih melihat keadaan Rondo Kuning, hingga ingin buru-buru bersembunyi agar tak usah terlalu lama melihat keadaan wanita yang mengharukan itu!
Gambar 0301
Dan bersama dengan munculnya bulan, datanglah air laut yang bergulung-gulung bagaikan pasukan besar iblis dan demit dari Laut Kidul keluar hendak menyerbu musuh! Tanpa mengenal kasihan, gulungan air itu menimpa tubuh Rondo Kuning dan mayat anaknya. Untuk sesaat tubuh wanita itu lenyap ditelan air, seakan-akan telah dimakannya dan tak akan muncul lagi, akan tetapi ketika air menipis dan hanyut kembali ke laut, nampak tubuh Rondo Kuning yang gelagapan itu merangkak bangun. Cepat ia melihat ke arah anaknya dan alangkah kagetnya ketika melihat bahwa anaknya telah dibawa oleh air ke tengah laut.
"Ha... Ha""
Pekiknya nyaring sekali, mengalahkan deru ombak Laut Kidul.
"Kembalikan anakku"
Hai...! Jangan bawa anakku...! Hayo kembalikan...!"
Dan tanpa memperdulikan datangnya gulungan ombak yang baru, Rondo Kuning lalu berlari-lari di air yang selutut dalamnya itu, mengejar tubuh anaknya yang mengambang di air, sambil memaki-maki. Akan tetapi, gulungan ombak yang besar itu kembali menelan dirinya hingga ia menjadi gelagapan dan terbawa hanyut ke tepi lagi. Rondo Kuning tidak menjadi takut, bahkan lalu cepat merangkak bangun lagi dan melihat kearah dimana tadi tubuh anaknya mengambang. Akan tetapi, sekarang ia tidak melihat lagi tubuh kecil yang tadi masih mengambang itu. Maka ia menjadi makin marah dan penasaran.
"Hayo kembalikan anakku... Kembalikan"!"
Dan ia maju lagi dengan susah payah melawan aliran air. Ia terdampar air dan roboh lagi, bangun kembali, jatuh lagi, bangun kembali, terhuyung ke depan, terdampar ke belakang, maju lagi ke depan sambil mengulurkan tangan ke arah laut dan ke arah ombak yang datang bergulung-gulung dan menjerit,
"Bondan... Bondan anakku...! Tunggulah nak... Tunggulah Ibumu, Bondan... Bondan"
Hai, jangan bawa anakku. Hayo kembalikan"!"
Rondo Kuning berlari-lari di air yang selutut dalamnya itu. Akhirnya, karena terlampau lelah jatuh bangun menjadi permainan ombak yang seakan-akan berubah menjadi iblis yang tertawa dan bersuka ria mempermainkan wanita yang malang ini, Rondo Kuning roboh pingsan di dalam gulungan ombak! Akan tetapi, agaknya Nyai Roro Kidul tidak menghendaki tubuh wanita ini hanya menghendaki mayat Bondan, karena ternyata bahwa ombak yang datang bergulung berikutnya telah melontarkan tubuh Rondo Kuning yang telah menjadi lemah tiada berdaya itu ke pantai, dimana tubuh itu jatuh di atas pasir dalam keadaan pingsan! Setelah mempermainkan Rondo Kuning, agaknya ombak tidak mengganas lagi seperti tadi, buktinya air ombak itu tidak sampai ke pasir dimana tubuh Rondo Kuning menggeletak bagaikan telah mati.
Pada keesokan harinya di waktu fajar mulai menyingsing dan matahari muncul dari ujung bulan lautan merupakan bola merah yang besar, bulat dan tidak bercahaya, tubuh Rondo Kuning yang menggeletak bagaikan mati itu bergerak-gerak. Dan agaknya penyakit gilanya menghebat oleh karena tiba-tiba ia merangkak bangun, berdiri sambil bertolak pinggang dan tertawa keras sekali seperti bukan suara manusia, kemudian tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut di atas pasir, menghadapi lautan sambil menyembah, seakan-akan berhadapan dengan seorang yang berdiri di depannya dan yang hormati sekali! Dan lebih gila lagi, tiba-tiba ia berkata perlahan dan kalau kebetulan ada orang di dekatnya yang mendengar apa yang diucapkannya, tentu orang itu tidak akan ragu-ragu lagi bahwa wanita ini benar-benar telah gila!
"Baiklah Gusti Ratu!"
Katanya sambil menyembah dengan penuh khidmat.
"Hamba menerima titah paduka dan perintah paduka akan junjung tinggi di atas kepala hamba. Hamba hanya mohon doa restu semoga hamba akan kuat menunaikan tugas dan menjalankan perintah paduka, Gusti!"
Ia menyembah lagi, kemudian ia membentur-benturkan kepalanya di atas pasir hingga ketika ia mengangkat kepalanya kembali, jidat dan rambutnya yang terurai itu penuh dengan pasir halus. Ia duduk berlutut tak bergerak seakan-akan ada sesuatu yang di dengarnya dengan amat teliti, kemudian mulutnya kemak-kemik berkata lagi,
"Hamba rela, Gusti. Biarlah anak saya Bondan paduka ambil, asalkan hamba diberi kesempatan untuk membalas dendam!"
Setelah menyembah lagi berkali-kali, agaknya gilanya berubah lagi. Ia lalu menangis tersedu-sedu dan meremas-remas rambutnya, lalu tertawa terkekeh-kekeh menyeramkan sambil berkata,
"Aws kau, Galiga Jaya! Awas kau"
Ha-ha-ha! Akan kubeset kulit dadamu, akan kurogoh jantungmu dan kumakan mentah-mentah! Ha-ha-ha!"
Kemudian ia berdiri dan berjalan terhuyung-huyung ke darat. Seekor kepiting yang agaknya terbawa ombak ke tepi, terkejut meliha kedatangannya dan hendak melarikan diri, akan tetapi terlambat! Rondo Kuning mengejar dan sekali pijak saja remuklah tubuh kepiting itu. Dari tubuhnya keluarlah kepiting-kepiting kecil yang banyak sekali jumlahnya, mungkin ada ratusan. Roro Kuning lalu berlutut dan meraup kepiting kecil-kecil ini dan memasukkan ke dalam mulutnya, lalu dikunyah dengan enaknya sambil masih tertawa-tawa dan memaki-maki.
"Bangsat keparat Galiga Jaya! Enak sekali makanan ini, akan tetapi jantungmu yang penuh darah lebih enak lagi!"
Ia lalu bangkit berdiri, membawa bangkai kepiting itu dan makan daging kepiting sambil tiada hentinya bicara seorang diri! Demikian, semenjak saat ini, Rondo Kuning nampak berkeliaran di dekat pantai,
Rambut riap-riapan, pakaian hampir telanjang, tubuhnya menjadi bongkok, seringkali tertawa terkekeh-kekeh atau memaki-maki dan kemudian menangis tersedu-sedu. Akan tetapi, ada kalanya ia tak keliahatan di pandai dan ternyata bahwa ia berada dalam sebuah gua yang angker dan menyeramkan di tepi pantai itu, gua karang yang pantas menjadi kediaman siluman dan iblis, duduk tak bergerak, kedua kaki bersila, kedua tangan dirangkapkan merupakan sembah dan ditempelkan di ujung hidung, bersamadhi dengan tekun, tak bergerak sampai kadang-kadang sembilan hari lamanya. Dan yang amat mengherankan ialah perubahan pada sepasang matanya yang dulu bersinar terang bersih dan berbentuk indah itu, kini berubah menjadi kemerah-merahan dan menyeramkan karena dari kedua mata itu memancar keluar sinar ganjil dan mengerikan!
Dengan pengaruhnya yang besar, Penewu Galiga Jaya lalu menyuruh para anak buah dan kaki tangannya untuk menyiarkan berita tentang ada pemberontakan di Pakem, dan ia sendiri membawa tiga ratus orang perajurit menyerbu ke Pakem!
Dengan ganasnya, Penewu itu melarikan kudanya, diikuti oleh barisannya menuju ke kampung Pakem dan langsung menuju ke rumah Pak Wiryosentiko, oleh karena dari para penyelidik dan mata-matanya, ia mendapat kabar bahwa Adiguna adalah kemenakan petani tua itu. Ketika ia tiba di pondok pak Wiryosentiko, petani ini dengan para tetangganya tengah sibuk mengurus jenazah Kencanawati dan Sutadi, pemuda tunangan Kencanawati yang tewas dalam tangan Penewu itu, karena Pak Wiryosentiko bermaksud hendak mengubur kedua jenazah itu dalam waktu yang sama dan menjajarkan kuburan kedua teruna remaja itu. Semua orang terkejut sekali melihat kedatangan Penewu Galiga Jaya, akan tetapi mereka berusaha sekerasnya agar dapat bersikap tenang, oleh karena memang telah dapat menduga akan datangnya serbuan ini.
"Pak Wiryosentiko! Dimana adanya bajingan besar, pemberontak kurang ajar itu?"
Bentak Galiga Jaya setelah turun dari kudanya dan bertolak pinggang di depan pintu. Pak Wiryosentiko dengan tubuh membungkuk-bungkuk memberi hormat, menjawab,
"Pemberontak yang manakah, gusti Penewu? Hamba tidak mengerti akan maksud paduka."
Terputar kedua mata Galiga Jaya mendengar ini.
"Setan tua! Jangan kau mencoba berlaku cerdik! Siapa lagi kalau bukan keponakanmu si Adiguna itu? Hayo lekas panggil dia keluar, atau beritahukan dimana ia bersembunyi. Juga dimana kedua anakku si Sariwati dan Bandini? Awas, kalau kau membohong, tidak saja kau yang akan kubikin mampus, akan tetapi seluruh Pakem akan kumusnahkan!"
Menggigil tubuh semua orang Pakem mendengar ancaman ini, bukan hanya karena takut dan ngeri, akan tetapi juga karena amarah yang ditahan-tahan.
"Hamba sekalian tidak tahu, gusti. Adiguna hanya datang menyerahkan jenazah Kencanawati dan minta agar supaya jenazah ini diurus baik-baik, kemudia ia meninggalkan dusun kami tanpa meberitahukan hendak kemana."
"Bohong! Kau juga ingin memberontak?"
Sambil berkata demikian, Galiga Jaya mendorong orang tua itu sampai terjengkang dan jatuh dengan kepala menubruk daun pintu! Ketika pintu yang tertubruk kepala Wiryosentiko ini terbuka, Galiga Jaya lalu melangkah ke dalam rumah untuk memeriksanya sendiri, seakan-akan ia mengharapkan untuk melihat kedua gadis yang dicarinya dan Adiguna bersembunyi disitu. Akan tetapi ia hanya mendapatkan dua tubuh Kencanawati dan Sutadi yang telah menjadi mayat, berbaring terlentang dan bersanding dibalai-balai.
Sutadi Nampak tampan dan Kencanawati masih cantik jelita hingga keduanya merupakan pasangan yang cocok sekali. Melihat wajah Kencanawati, makin menyesal, kecewa dan marahlah hati Galiga Jaya. Terutama sekali ketika ia memandang ke arah jenazah Sutadi, timbul gemas dan cemburu mendesak dadanya, maka tanpa pikir panjang lagi ia lalu mengayun kakinya menendang balai-balai dimana mayat pemuda itu telentang. Kaki balai-balai dari bamboo itu patah dan mayat Sutadi terlempar bergulingan ke atas lantai. Kemudia sambil bersungut-sungut Galiga Jaya keluar lagi dari rumah itu mendapatkan Wiryosentiko yang telah berdiri lagi. Penewu itu memegang lengan tangan Pak Wiryosentiko dan memuntirnya kebelakang dengan kuat-kuat hingga petani tua itu wajahnya menggeliat kesakitan, akan tetapi tidak ada keluhan keluar dari mulutnya yang sudah ompong.
"Pemberontak tua! Kalau kau tidak lekas meberitahukan dimana adanya bangsat Adiguna dan kedua anakku yang diculiknya, akan kupatahkan lenganmu ini!"
"Hamba bersumpah bahwa hamba sungguh-sungguh tidak tahu dimana adanya mereka pada saat ini,"
Jawab Pak Wiryosentiko dengan berani oleh karena ia benar-benar tidak membohong. Ia memang tidak tahu dimana Adiguna membawa pergi Sariwati dan Bandini. Galigaja marah sekali. Ia memutar lengan itu makin keras ke belakang dan "Krek"
Tulang lengan kakek tua itu patah. Pak Wiryosentiko hanya mengeluarkan keluhan.
"Aaah..."
Dan ia roboh pingsan, tak kuasa menahan rasa sakit yang menusuk jantungnya. Beberapa orang tetangga dan isteri Pak Wiryosentiko melangkah maju hendak menolong, Galiga Jaya segera membentak dan memerintahkan kepada anak buahnya,
"Periksa semua rumah di Pakem ini! Tanyai setiap orang laki-laki dimana adanya pemberontak itu. Mereka yang tidak mengaku, bunuh saja, karena mereka hendak membantu pemberontak itu!"
Sambil berkata demikian, Penewu yang telah marah sekali ini menggunakan kaki dan tangannya memukul dan menendangi semua orang, termasuk Mbok Wiryosentiko yang hendak menolong Pak Wiryosentiko.
Sedangkan para perajurit dan mendapat tugas ini, mempergunakan kesempatan itu untuk mengumbar nafsu angkara murka mereka! Setiap rumah dimasuki, barang berharga digondol, wanita-wanita muda diganggu, laki-laki dibunuh dengan kejam, anak-anak gadis orang diculik dan dibawa lari! Pak Wiryo sentiko dan isterinya dibunuh mati oleh Galiga Jaya sendiri, juga anak laki-lakinya yang sudah kawin. Mantu perempuannya dilarikan oleh seorang perajurit. Gegap-gempita di desa Pakem! Jerit tangis membubung tinggi ke udara. Keluh kesah dan pekik kesakitan terdengar memenuhi kampung. Anak-anak lari kesana kemari, ada yang tertumbuk kuda yang ditunggangi oleh para perajurit yang tergesa-gesa melarikan harta atau gadis yang dirampasnya. Setiap orang laki-laki dewasa dan tua dibinasakan.
Maut mengamuk di Pakem dan sekejab saja, kampung yang tadinya tenteram dan aman itu berubah menjadi tempat penyembelihan yang mengerikan. Darah mengalir di setiap rumah dan dimana-mana. Suara isteri yang melihat suaminya mati terbunuh, gadis-gadis yang dilarikan, anak-anak yang ditinggal mati orang tua, serempak memenuhi angkasa dan menggelapkan cahaya matahari yang bersembunyi di balik awan tak tahan menyaksikan kekejaman luar biasa ini. Tiba-tiba terdengar Guntur menggelegar di angkasa dan sebentar lagi turunlah dengan derasnya sungguhpun cahaya matahari masih menerangi alam. Agaknya Yang Maha Kuasa tak rela menyaksikan sepak terjang makhluknya yang ganas ini. Terdengar kaki-kaki kuda berlari dan meninggalkan kampung Pakem. Galiga Jaya dan anak buahnya telah selesai melakukan pembersihan dan kembali ke Waru.
Disepanjang jalan, jerit tangis perawan-perawan desa yang diculik membuat air hujan menimpa turun makin deras. Ketika para iblis berbentuk manusia itu telah meninggalkan Pakem, dari luar dusun ini datang berlari-lari seorang pemuda yang bertubuh tinggi tegap dan berwajah gagah. Pemuda ini masih muda sekali, akan tetapi larinya cepat dan sinar matanya tajam. Dia ini bukan lain ialah putera bungsu Pak Wiryosentiko yang bernama Riyatman, seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang jarang berada di rumah, karena kesukaannya ialah merantau kedesa-desa lain, mencari sahabat-sahabat dan mempelajari ilmu olah keperwiraan. Di dalam usia semuda itu, Riyatman telah terkenal sekali karena ilmu kepandaian pencak silatnya yang hebat. Ia telah diaku menjadi "Jago"
Dari Pakem, bahkan berkali-kali ia telah mengalahkan jago-jago dari luar dusun, yakni dalam sebuah pertempuran mengadu ilmu.
Tiap kali mendengar bahwa di dusun lain terdapat seorang kuat dan jago pencak yang pandai, tentu ia datang ke dusun itu dan mengajak jago itu untuk bertanding kekuatan. Kalau ia memang, maka dengan segala suka hati tanpa disertai sikap sombong, ia mengganggap jago yang dikalahkannya itu sebagai kawan baik dan anak buahnya. Sebaliknya kalau ia kalah, tanpa merasa dengki, ia tidak segan-segan untuk berlutut menyembah dan mengangkat guru pencak itu sebagai gurunya! Dengan sikapnya yang baik ini, Riyatman disukai sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa dan jujur, dan ilmu kepandaiannya makin meningkat saja. Akan tetapi, karena ia jarang berada di rumah dan jarang sekali mau membantu pekerjaan disawah, Ayahnya seringkali marah sekali dan memakinya.
"Anak tiada guna!"
Makinya.
"Apakah kau kelak hendak menjadi tukang pukul? Apakah semua kepandaian bermain pukulan itu dapat kau makan dan mengenyangkan perutmu yang gembul itu?"
Riyatman hanya tertawa dan memandang wajahnya Ayahnya dengan muka terbuka dan terang, hingga Ayahnya tersenyum juga dan selalu marahnya dilenyapkan oleh pandangan mata Riyatman yang disertai senyumnya. Ketika terjadi peristiwa maut di dusunnya, Riyatman sedang berada di sebuah dusun tak jauh dari Pakem, bergembira ria dengan kawan-kawannya, pemuda-pemuda di kampung itu. Tak lain yang mereka bicarakan adalah tentang ilmu berkelahi atau membicarakan ayam-ayam jago aduan yang juga menjadi kegemaran Riyatman. Pemuda ini memang suka mengadu jago, oleh karena ia tertarik sekali akan lagak dan sepak terjang ayam-ayam jago itu di dalam perkelahian.
Ia menganggap bahwa diantara segala mahluk ayam jago adalah mahluk yang paling gagah berani! Ketika itu, Riyatman dan kawan-kawannya menerima kedatangan seorang bercambang bauk yang membawa seekor jago adu. Si cambang bauk ini datang dari timur dan logat bicaranya yang kaku itupun menjadi tanda bahwa ia datang dari timur jauh. Ketika diperkenalkan kepada tamu tinggi besar dan bercambang bauk ini, diam-diam Riyatman memandang tajam dan merasa kagum oleh karena ia maklum bahwa di balik baju kurung yang berwarna hitam itu tentu bersembunyi tubuh yang kuat sekali. Diam-diam ia mengukur potongan orang ini dan mengaku bahwa tentu si cambang bauk yang berusia tiga puluh tahun ini merupakan seorang lawan yang kuat dan tangguh!
"Jika diantara saudara-saudara ada yang mempunyai seekor jago aduan yang jempolan dan berani diadu dengan jagoku ini, aku berani bertaruh lima potong uang emas!"
Katanya menantang. Mereka adalah pemuda-pemuda dan laki-laki dusun yang miskin, maka uang emas merupakan benda berharga yang tak mungkin didapat.
"Ayam jago memang banyak terdapat disini, akan tetapi kami tidak mempunyai uang emas untuk dipertaruhkan."
Si cambang bauk itu tertawa,
Rondo Kuning Membalas Dendam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak apa, tidak apa! Kalau jagoku kalah, uang emasku sebanyak lima potong boleh kalian ambil untuk dibagi-bagi, sedangkan kalau ayamku menang, kalian hanya kuminta menyediakan tempat menginap yang patut dan makanan yang enak saja,"
Orang itu tertawa lagi.
"Aku yakin bahwa tidak ada ayam jago di seluruh Mataram yang dapat mengalahkan ayam jagoku ini. Ketahuilah, jagoku si Naga ini adalah pemberian Sang Hyang Yamadipati, maka ia menjadi pencabut nyawa juga!"
Semua orang merasa mendongkol mendengar kesombongan ini, Yamadipati adalah seorang tokoh dewa pewayangan yang terkenal sebagai malaikat pencabut nyawa. Juga Riyatman yang kebetulan pula membawa jagonya si Wareng yang belum pernah terkalahkan, merasa mendongkol sekali. Si Wareng ini adalah seekor ayam jago yang kuat dan sigap sekali, dan bukan sembarang jago, karena ayam jagonya ini adalah keturunan langsung dari ayam jago aduan milik seorang pangeran di kota raja. Hal ini terjadi ketika Riyatman masih kecil. Ia mendengar tentang kehebatan dan kekuatan ayam jago milik seorang pangeran yang seringkali mendatangi dusun-dusun membawa jago aduannya.
Ketika mendengar bahwa pangeran itu membawa jagonya dan berada di sebuah dusun yang tak jauh dari situ, Riyatman diam-diam minggat dari rumahnya membawa seekor ayam betina milik Ibunya. Ia tiba di dusun yang ditujunya dan dengan diam-diam ia mendatangi tempat adu jago. Ketika dilihatnya bahwa jago pangerang yang terkenal sekali itu berada dalam sebuah kurungan di atas tanah, ia mencari waktu sambil mengempit ayam betinanya di bawah lengan. Dan pada waktu pangerang berunding dengan orang-orang kampung pemilik jago lain, diam-diam Riyatman memasukkan ayam betinanya ke dalam kurungan itu! Demikianlah, terlahir si Wareng yang kemudian menjadi jago aduan yang baik sekali, seperti ayam jago milik pangeran itu dulu! Kini, melihat seorang dari timur jauh menyombangkan jagonya yang bernawa si Naga. Riyatman lalu menjawab,
"Baiklah, kawan. Kuterima tantanganmu dan biar si Wareng mencoba kekuatan jagomu. Akan tetapi, oleh karena aku bukan orang kampung ini, maka biarlah kalau aku kalah, aku berikan semua pakaian yang menempel di tubuhku ini kepadamu, berikut jagoku pula!"
Si cambung bauk memandang kepada Riyatman dengan tajam dan berseri. Kemudian ia tersenyum dan berkata,
"Kau gagah sekali, anak muda dan tentu jagomu juga gagah seperti kau! Perkenalkan, namaku Singalodra dan marilah kita segera memberi kesempatan kepada jago-jago kita."
Riyatman juga memperkenalkan namanya dan ia merasa suka kepada orang ini. Ketika melihat jago Riyatman si Wareng itu, Singalodra menjadi tertegun.
"Eh-eh, bukankan ini ayam jago Pangeran Wirokusumo?"
Katanya, akan tetapi ia menggeleng-geleng kepada membantah pertanyaan sendiri.
"Tak mungkin, ayam jago pangeran itu sudah mati beberapa tahun yang lalu. Sungguh sama benar bentuk dan warnanya."
Riyatman diam-diam tertawa geli dan ia tidak mau membuka rahasianya dan membiarkan saja Singalodra merasa khawatir.
"Apakah engkau takut kalau jagomu akan kalah? Kalau begitu kita batalkan saja,"
Kata Riyatman. Merahlah wajah Singalodra.
"Siapa yang takut? Hayo kita mulai!"
Dua ekor jago itu lalu dilepas dan dikelilingi oleh mereka yang menontonnya. Mula-mula kedua ekor binatang itu berlagak dan saling pandang dengan mata penuh amarah. Kemudian bertarunglah mereka! Kedua-duanya sama kuat, sama tangkat dan sama cepat. Pukulan datang balas-membalas dan tiada satupun pukulan yang tidak segera dibalas kontan, tanda bahwa itu adalah jago-jago baik. Akan tetapi, akhirnya ternyata bahwa biarpun dalam hal kekuatan dan ketangkasan kedua jago itu berimbang, namun dalam hal kecerdikan, si Wareng itu lebih menang.
Si Wareng menggunakan siasat lari memutar, dikejar-kejar oleh si Naga, apabila pengejarnya sudah dekat, tiba-tiba si Wareng membalik dan memukul! Sebelum si naga sempat membalas, Wareng telah lari pula berputaran, dikejar-kejar lagi oleh lawannya. Tiba-tiba ia membalik dan menyerang lagi dengan pukulan keras, lalu lari pagi. Karena beberapa kali terkena pukulan keras tanpa dapat membalas, si Naga mulai nampak lelah dan lemas. Penonton-penonton bersorak riuh-rendah, karena tentu saja mereka membela jago Riyatman. Sedangkan Singalodra makin merah wajahnya, melihat betapa ayam jagonya kena diakali dan dipermainkan. Semua orang, juga dia maklum bahwa akhirnya jagonya tentu akan kalah. Benar saja, dengan pukulan yang keras sekali datangnya, si Naga dibikin tunduk dan terkeok-keok sambil melarikan diri, kini dikejar-kejar oleh si Wareng!
"Sialan!"
Singalodra bersungut-sungut.
"Bertemu dengan ayam jago yang licik dan pengecut!"
Mendengar makian ini, Riyatman menjadi naik darah dan ia segera menghampiri dengan mata memandang tajam.
"Tutup mulutmu yang lancing itu"
Bentaknya.
"Jago siapa yang licik dan pengecut? Jagomu sudah kalah, tak perlu kau mencari-cari alasan dan memaki-maki jago orang lain!"
Singalodra memandang kepada wajah Riyatman yang berapi-api itu, dan tiba-tiba timbul seri pada muka si cambang bauk. Agaknya sikap Riyatman menggembirakannya dan juga menimbulkan rasa kagum dalam hatinya.
"Memang jagoku kalah, tetapi jagomu licik!"
Katanya sambil mengangguk-angguk.
"Hayo kau keluarkan taruhanmu dan berikan kepadaku!"
Riyatman menuntut. Sambil tersenyum-senyum Singalodra merogoh sakunya dan mengeluarkan lima buah kancing kuningan yang telah digosok mengkilat. Ia memberikan kancing kuningan itu kepada Riyatman yang menerimanya dengan sangsi, karena memang ia belum pernah melihat bagaimana macamnya uang emas!
"He, itu bukan uang emas! Itu adalah kancing kuningan!"
Teriak seorang pemuda kawan Riyatman memandang tajam.
"Betulkah bahwa ini kancing kuningan dan bukan uang emas?"
Tanyanya kepada Singalodra.
"Aku namakan ini uang emas, terserah kalian mau menamakannya apa,"
Jawabnya tenang.
"Itu bukan uang emas tulen, itu uang emas palsu! Riyatman, kita kena ditipu oleh orang ini!"
Kata kawan Riyatman pula. Singalodra tertawa bergelak.
"Siapa tadi yang bilang bahwa aku hendak bertaruh uang emas tulen? Aku hanya bilang lima potong uang emas, tulen atau palsu tidak masuk hitungan!"
Riyatman hampir saja tertawa karena ia merasa bahwa kata-kata orang ini betul juga! Akan tetapi, melihat wajah kawan-kawannya yang marah, ia menahan kegelian hatinya.
"Kau... Licik!"
Katanya kepada Singalodra.
"Ayam jagomu lebih licik dan pengecut!"
Jawab Singalodra.
"Kalau ia tidak berkali sambil berlari-lari seperti ayam betina, tentu kepalanya sudah hancur oleh ayamku tadi!"
Marahlah Riyatman.
"He, hati-hati menjaga lidahmu yang panjang itu, kawan. Kalau aku sudah naik darah, bukan jagomu saja yang terkeok-keok, tapi kau juga!"
Kawan-kawan Riyatman tertawa terkekeh-kekeh mendengar ucapan ini, sedangkan Singalodra juga tertawa bergelak.
"Eh-eh, agaknya kau ini jagoan juga, anak muda?"
Tanyanya, sambil memandang kepada Riyatman dengan mata dipicingkan, seakan-akan menaksir dan mengukur kekuatannya.
"Memang, aku Riyatman memang jagoan dusun ini!"
Riyatman mengaku dengan gagah.
"Dan aku bukan orang yang tergila-gila akan lima buah uang emas. Kalau saja kau mau mengakui bahwa kau telah menipu kami dan minta maaf, aku akan bikin habis perkara ini!"
Makin kagum kedua mata Singalodra memandang wajah Riyatman, dan sambil tertawa ia berkata,
"Aku Singalodra orang miskin dan perantau melarat, mana punya lima potong uang emas tulen? Aku tidak merasa menipu kalian, dan kalau kau mau mencoba kekuatanku, marilah kita coba-coba, kawan!"
Sambil melangkah ke kalangan di mana ayam-ayam tadi berkelahi, Singalodra mengangkat dada, mempererat ikatan kain kepalanya, menalikan ujung sarungnya di pinggang dan berdiri memasang kuda-kuda. Ramailah orang-orang membuat kalangan perkelahian dan mereka sudah nongkrong mengelilingi tempat itu, bersiap menonton pertandingan yang menarik hati, lebih menarik daripada perkelahian dua ekor ayam jago. Riyatman dengan tenang juga masuk ke dalam kalangan itu dan menghadapi Singalodra!
Keduanya memasang kuda-kuda dan tak lama kemudian, sambil mengeluarkan bentakan keras, Singalodra maju menyerang dengan kepalan tangan kanan ke arah dagu Riyatman. Pemuda ini dengan gesit menggerakkan kaki dan mengelak ke samping kemudian secepat kilat ia mengirim pukulan dari samping ke arah iga lawannya. Tentu saja singalodra tidak membiarkan tulang-tulang iganya dibuat gambang dan dipukul oleh pemuda itu, dengan sebat ia menangkis dengan lengan tangan dan demikianlah kedua orang itu kini berkelahi dengan seru dan hebat menggantikan ayam-ayam jago mereka yang tadi telah berlagak dan bertanding. Riyatman berusaha sunguh-sungguh untuk mencontoh ayam jagonya yang telah mendapat kemenangan, sebaliknya Singalodra berusaha keras untuk menebus kekalahan ayam jagonya.
Para penonton di luar ramai mengadakan taruhan atas perkelahian itu. Ternyata Singalodra memiliki tubuh yang kuat dan tenaga yang besar sekali melebihi kekuatan Riyatman sendiri. Hal ini terasa oleh Riyatman dan diam-diam ia menjadi terkejut. Akan tetapi sebaliknya, Singalodra kagum sekali melihat ketangkasan dan kecepatan pemuda itu yang dalam hal ini lebih unggul daripadanya. Kekurangan dan kelebihan masing-masing ini membuat pertempuran itu berlangsung ramai dan hebat sekali hingga terdengar sorak-sorai para penonton, lebih hebat daripada sorak-sorai ketika kedua ekor ayam jago tadi bertanding. Pada saat petempuran itu terjadi dan sedang ramai-ramainya, tiba-tiba seorang pemuda dengan wajah pucat sekali dan keringat mengucur datang di tempat itu dan langsung masuk ke dalam kalangan pertempuran.
"Riyatman"! Riyatman...! Berhentilah berkelahi. Celaka... Celaka besar""
Semua orang terkejut dan yang berkelahi juga berhenti dengan sendirinya.
"Riyatman"
Penewu Galiga Jaya mengamuk di dusunmu"
Semua orang dibunuh habis-habisan... lekas"
Lekas!"
Riyatman menjadi pucat sekali dan tak menanti sampai orang itu habis bercerita, ia telah melompat keluar dari kalangan pertempuran itu dan berlari secepat angin menuju ke Pakem. Ketika tiba di luar dusun Pakem, ia telah mendengar jerit tangis yang keluar dari dusun itu. Ketika memasuki dusun, ia melihat banyak sekali anak-anak kecil berlari simpang-siur bagaikan anak-anak ayam melihat alap-alap. Makin berdebarlah jantungnya dan ia segera lari menuju ke rumah Ayahnya. Hatinya makin kecut ketika melewati rumah-rumah tetangganya karena mendengar jerit tangis keluar dari setiap rumah.
Dan ketika ia memasuki rumahnya, tiba-tiba ia berdiri diam bagaikan patung di depan rumahnya. Tubuhnya menggigil wajahnya sepucat mayat, kedua tangannya mengepal, dan kemudia dengan sedu ia menubruk mayat yang menggeletak di depan rumah itu. Mayat Ayahnya. Kemudian ia melihat pula mayat Ibunya, mayat kakaknya, bergelimpangan di depan rumah dan darah mengalir membuat tanah di depan rumahnya berwarna merah. Riyatman sambil menangis menubruk mayat-mayat itu, memeluk sana, menangis sini, dan akhirnya ia memondong semua mayat itu dan membawanya ke dalam rumah. Sambil berdiri di depan mayat-mayat yang direbahkan di atas balai-balai, pemuda itu berdiri diam tanpa bergerak dan bibirnya berkemak-kemaik. Di dalam hatinya ia berbisik.
"Ayah, Ibu, Kang Mas dan semua orang dusun Pakem! Dengarlah sumpahku! Aku Riyatman sebelum membalas dendam ini, bersumpah takkan mau berhenti berusaha dan akan kubunuh dengan kedua tanganku sendiri si jahanam Galiga Jaya!"
Kemudian, dengan wajah beringas dan menyeramkan, ia lalu melompat ke luar dari rumah dan berlari sekerasnya menuju ke Waru untuk mencari Penewu Galiga Jaya dan membalas dendam! Ketika ia tiba di luar kampung, dari depan mendatangi seorang tinggi besar yang bercambang bauk yang bukan lain adalah Singalodra sendiri. Si Cambung bauk ini berlari keras ketika tadi mendengar cerita orang yang mengabarkan tentang malapetaka yang menimpa keluarga kampung Pakem, mengejar dan hendak menyusul Riyatman. Melihat pemuda itu keluar dari kampung sambil berlari-lari dan dengan wajah yang menyeramkan, Singalodra mencegat jalan bertanya,
"Riyatman, kawan baikku! Bagaimana dengan keluargamu? Selamatkah mereka?"
Riyatman berhenti berlari, memandang tajam dengan mata berapi-api, lalu berkata,
"Hendak kucekik leher si Galiga Jaya!"
Lalu ia berlari-lari tanpa memperdulikan Singalodra. Akan tetapi si cambang bauk lalu menubruk dan memeluknya erat-erat.
"Anak muda, sahabat baikku! Dengarlah nasihatku, jangan kau berlaku sembrono dan terlalu menurutkan nafsu hati. Galiga Jaya adalah seorang yang berpengaruh dan mempunyai perajurit seribu orang banyaknya. Apakah dayamu menghadapi perajurit yang sekian banyaknya itu?"
Riyatman meronta-ronta hendak melepaskan diri akan tetapi Singalodra memeluknya sehingga ia tidak berhasil melepaskan diri.
"Lepaskan aku"
Lepaskan!"
Teriaknya marah.
"Apakah aku harus duduk diam sambil menangis saja melihat mayat Ayah, Ibu, kakakku, dan banyak orang kampung yang telah tewas terbunuh oleh jahanam itu? Biar dia mempunyai selaksa perajurit, aku Riyatman tidak takut! Aku rela berkorban untuk membalas dendam itu!"
"Tenang... Tenangkanlah hatimu, Riyatman dan dengarlah kata-kataku dengan kepala dingin. Memang sakit hati ini harus dibalas, dan aku akan merasa jijik dan benci kepadamu kalau kau tidak berusaha membalasnya. Akan tetapi harus dilakukan dengan teratur dan tidak gegabah. Apa artinya pembalasan dendammu kalau begitu tiba disana engkau akan dikeroyok hingga mati. Bukankah itu akan menambah penasaran kepada roh orang tuamu saja?"
Mendengar ucapan ini, pikiran Riyatman tersadar dan ia lalu menjatuhkan mukanya pada dada si cambang bauk yang bidang itu, lalu menangis terisak-isak bagaikan seorang anak kecil! Kedua mata Singalodra berkaca-kaca karena terharu.
"Marilah kita kembali ke dusunmu untuk membantu mereka mengurus semua jenazah itu. Setelah jenazah keluargamu dikubur baik-baik, baru kita merundingkan tentang usaha membalas dendam itu."
Riyatman mengangkat mukanya memandang.
"Apa maksudmu. Kita"? Apakah... Kau...?"
Singalodra mengangguk sambil tersenyum menghibur.
"Anak muda, semenjak pertemuan pertama tadi aku maklum bahwa engkau cukup berharga untuk menjadi sahabat baikku. Aku suka kepadamu dan aku bersedia membantumu dalam usaha membalas sakit hatimu itu."
Riyatman lalu maju menubruk dan memeluk tubuh tinggi besar itu dengan hati terharu dan bersyukur. Setelah kini kehilangan Ayah, Ibu dan kakaknya hingga ia hidup sebatangkara, ia merase seperti mendapatkan pengganti mereka itu dalam diri Singalodra. Keduanya lalu pergi ke Pakem dan membantu orang-orang perempuan dan beberapa orang laki-laki yang kebetulan sedang pergi keluar dusun ketika serbuan itu tejadi hingga mereka terluput dari kematian. Dan setelah penguburan selesai dan beres, Riyatman dan Singalodra meninggalkan Pakem dan masuk ke dalam hutan lebat. Mereka hendak mengumpulkan kawan-kawan sehaluan untuk memberontak dan menumbangkan kekuasaan Galiga Jaya yang kejam! Banyak sekali kawan-kawan yang menggabungkan diri dengan mereka, terutama mereka yang masih terhitung keluarga dari para korban penumpasan di Pakem itu.
Mereka ini berkumpul dan bersembunyi di dalam hutan yang liar dan semenjak saat itu mereka mengumpulkan tenaga, berlatih perang dan melakukan pencegatan dan gangguan kepada setiap rombongan perajurit yang melakukan perjalanan atau penjagaan. Riyatman setelah mendengar dengan jelas penuturan orang-orang kampung Pakem tentang terjadinya segala peristiwa, tidak saja mendendam kepada Galiga Jaya, akan tetapi juga merasa benci dan tidak senang kepada Rondo Kuning dan kedua puterinya, terutama sekali kepada seorang pemuda yang bernama Adiguna yang dulu ketika kecilnya menjadi kawan bermain. Di dalam anggapannya, yang menjadi biang keladi hingga menimbulkan bencana hebat di desa Pakem itu adalah Adiguna!
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo