Pendekar Gunung Lawu 3
Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
Brojo mengambil keputusan berlaku nekad dan tidak perdulikan hujan bata kecil itu, karena pada pikirnya, kini ia sudah pasti takkan merasa pula hantaman bata kecil tak berarti itu. Tapi kembali ia menjerit, karena tiba-tiba iamerasakan lengan kanannya sakit sekali dan ketika dilihat, ternyata ada sebuah paku kayu kecil. Biarpun hanya sepotong kayu yang rupanya dipatahkan dari reng di atas, tapi kayu itu demikian kuatnya hingga kini tertancap menusuk lengan tangannya yang telah dimasuki aji kekebalan. Ia cabut kayu itu dan darah mengucur dari lengannya. Brojo mulai merasa takut. Lebih-lebih ketika ia menengok ke atas tampak olehnya sebuah lengan tangan bergantung dari lobang genteng. Takutnya menjadi-jadi ketika tangan itu kembali bergerak dan ia merasa lengan kirinya kembali sakit sekali dan tertancap oleh sepotong kayu kecil.
Wajanya mulai pucat, matanya liar hendak mencari jalan keluar, karena ia yakin bahwa itu tentu perbuatan iblis yang mengganggunya. Berkali-kali tangan itu bergerak dan Brojo merasa seluruh tubuhnya tertusuk-tusuk kayu kecil. Ia mulai berteriak-teriak memanggil gurunya, tapi gurunya tidak mendengar teriakannya. Ia lalu meloncat kearah pintu, tapi alangkah terkejutnya ketika pintu yang tadinya tak terkunci itu kini lenyap dan diganti dengan dinding. Ia menengok ke sana ke mari mencari-cari, tapi ternyata kamar itu kini tak berpintu. Pintunya telah lenyap entah ke mana. Brojo berlari-lari mengelilingi kamar itu mencari-cari jalan keluar, bagaikan seekor tikus masuk jebakan. Rasa takutnya meningkat dan keringat dingin membasahi sekujur tubuh. Ketika ia berhenti di tengah kamar dengan napas tersengal, ia menengok ke atas.
Atangan itu telah lenyap dan kini terganti dengan wajah seorang yang agaknya memiliki mata bintang, karena matanya seakan-akan dua bunga api bercahaya menyilaukan dan memandangnya dengan tajam penuh kemurkaan! Brojo tak dapat menahan goncangan hatinya dan dengan sekali berteriak terjerembab di atas lantai, pingsan! Sebenarnya semua itu adalah perbuatan Pamadi yan bersembunyi di atas genteng dan menggunakan ilmunya untuk memberi pengajaran kepada si keparat Brojo! Kini, melihat penjahat itu roboh pingsan, Pamadi turun dan masuk ke dalam kamar. Ia gunakan tenaga batinnya meniup ke muka Patimah, dan setelah mengusap muka yang halus itu dengan tangannya, Patimah sadar kembali. Gadis itu seakan-akan baru sadar dari mimpi, ia menengok ke kanan kiri dan memandang Pamadi dengan heran.
"Eh..., di mana aku ini?"
Ia menengok ke bawah dna mendapatkan dirinya tengah duduk di atas sebuah ranjang. Segera ia meloncat turun dengan malu dan gugup sekali. Kemudian ia lihat Brojo tertelungkup pingsan di dalam kamar, tubuhnya yang panjang itu rebah di lantai tak berkutik. Makin heranlah gadis itu.
"Mas... bagaimana aku bisa berada di sini? Rumah siapa ini dan bagaimana kita bisa datang ke sini?"
Pertanyaan ini disertai pandangan sangsi dan curiga kepada Pamadi.
"Sabar, dik. Tak perlu bercerita sekarang. Ikutlah aku pulang ke rumah ibumu."
Patimah hanya mengangguk dan mereka keluar dari kamar itu.
Setibanya di ruang depan, mereka melihat Kyai Bajul Putih masih duduk tepekur menghadapi asap kemenyan. Wajahnya yang penuh keriput nampak tegang sekali, urat-urat di muka dan leher menggembung dan sepasang matanya yang dilindungi sepasang alis putih itu menatap tengkorak dengan setengah dikatupkan. Mulutnya komat-kamit membaca mantera. Mengerahkan seluruh tenaga bantinnya untuk mencapai maksudnya, yakni: mengirim tenaga maut untuk merampas jiwa Raden Hamali. Di atas batok tengkorak itu terdapat sebuah lilin yang menyala terang. Kyai Bajul Putih merasa gemas sekali karena api lilin yang tadi telah menyuram, tiba-tiba menjadi terang kembali sedangkan senjata-senjata rahasia yang dikirim kearah tubuh Raden Hamali dan tampak berkelebat menyilaukan dari dalam batok kepala yang terletak di depannya, kini sudah hampir habis.
Mengapa kali ini usahanya tak berhasil? Semestinya api lilin itu telah padam dari tadi, dan padamnya api lilin berarti pula tewasnya kurban yang sedang diarah jiwanya! Tiba-tba ia merasa ada tenaga besar menggoncangan imannya dan mau tidak mau ia sadar dari samadhinya yang bersungguh-sungguh. Ia merasa heran dan ketia mengangkat muka memandang, sepasang matanya terbentur sinar sepasang mata yang tajam dan berpengaruh hingga hatinya berdebar. Ternyata Pamadi telah berdiri tak jauh dari situ dan tengah memandangnya dengan tenang. Patimah berdiri di belakang pemuda itu, tubuhnya gemetar ketakutan melihat pemandangan yang mengerikan itu. Kyai Bajul Putih berdiri perlahan. Wajahnya mengeras dan pandangan matanya berubah kejam.
"Ya, Jagat Dewa Batara!"
Serunya marah.
"Agaknya kaukah yang berani menghalang-halangi usahaku? Kau berani-berani masuk ke sini tanpa ijin dan gaknya kau telah mengganggu muridku?"
"Bukan saya yang mengganggu muridmu si Brojo, tapi si keparat itulah yang berlaku sesat dan hendak merusak pagar ayu. Dan sekarang tahulah saya, siapa yang berlaku begitu keji dalam usahanya membunuh seorang yang tak berdosa."
"Kurang ajar kau!"
"Pak Kyai,"
Pamadi melanjutkan kata-katanya dengan tenang.
"Bapak adalah seorang yang berilmu dan yang telah dianugrahi kekuatan batn dan kesaktian oleh Yang Maha Agung. Megapa kini bapak menggunaan kesaktian itu utnuk merusak? Insaflah, pa, saya kira tidak ada pelajaran mengganggu orang lain dalam segala imu yang telah kau pelajari."
Kyai Bajul Putih maju dua langkah dan tubunya yang kurus tinggi tampak gemetar menahan marah. Sepasang matanya memancarkan cahaya hebat ketika ia menggunakan telunjuknya yang berkuku panjang menunjuk muka Pamadi,
"Ha, anak muda. Kau terlalu lancing mulut. Apakah kebisaanmu maka kau berani memberi nasihat kepada orang tua seperti aku? Hayo pergi dari sini dan tinggalkan gadis itu disini!"
Pamadi meggelankan kepala.
"Tak mungkin, pa. anak ini harus kuantar pulang ke rumah orang tuanya."
"Kau berani membantah? He, kau anak manis, tidurlah dan masuk ke kamar tadi!"
Sepasang matanya memandang kearah Patimah dan mata itu memancarkan tenaga yang berpengaruh. Tiba-tiba Patmah merasa kepalanya pening dan mengatuntuk sekali. Hampir saja ia hilang ingatan alau tidak Pamadi buru-buru mengangkat tangan kirinya diluruskan ke depan kearah gadis itu yang segera sadar kembali.
"Hem, kiranya kau mempunyai sedikit ilmu juga?"teriak Kyai Bajul Putih yang lalu menghadapi Pamadi. Kini ia angkat kedua lengan kearah Pamadi dan berkata dengan suara keras hingga berkumandang di ruang itu.
"Rebahlah kau!"
Tapi Pamadi berpeluk tangan dan memandangnya dengan tenang, di bibirnya terbayang senyum. Sungguhpun ia merasa pula tenaga batin orang tua itu mendorong-dorongnya untuk rubuh, tapi ia ternyata jauh lebih kuat.
"Tenaga yang telah menjadi hitam leyap kekuasaannya pak,"
Katanya perlahan.
Kyai Bajul Putih merasa gemas sekali. Ia meloncat ke belakang bagaikan iblis dan memungut tengkorak yang berada di atas lantai. Setelah berkomat-kamit membaca mantera, ia lemparkan tengkorak itu ke atas. Sungguh ajaib tengkorak itu bagaikan bersayap dan terbang bagaikan seekor burung mengelilingi kamar. Patimah menjerit ketakutan, tapi Pamadi memegang lengannya menyuruh tenang. Tiba-tiba tengkorak itu menukik ke bawah dan dengan rahang terbuka meluncur ke arah leher Pamadi! Pemuda Bajul Putih itu yang sejak tadi masih tersenyum dan mengikuti gerak-gerik tengkorak itu dengan sudut matanya bagaikan menonton suatu pertunjukan lucu, dengan tenang megangkat tangan kanannya dan menangkis tengkorak yang menyabar itu sambil berkata keras,
"Pergi dan musnah!"
Tengkorak itu mengeluarkan suara ledakan dan terbanting pada dinding lalu pecah berantakan menjadi pecahan tulang-tulang kering! Kyai Bajul Putih terkejut dan matah. Segera ia berpeluk tangan dan matek ajinya Panglimunan. Patimah yang kini memegang lengan tagan Pamadi karena takutnya selalu melihat gerak-gerik kyai yang jahat itu. Tiba-tiba ia lihat tubuh kyai itu lenyap bagaian ditelan bumi. Ia heran sekali dan matanya mencari-cari, tapi betul-betul kyai itu telah menghilang tak berbekas. Tetapi Pamadi terdengar tertawa perlahan dan berkata sambil memandang kearah pintu,
"Pak Kyai, kau hendak lari ke mana?"
Ia menunjk dengan lari telunjuk kearah pintu dan Patimah makin heran karena kyai yang tadinya menghilang itu kini tampak pula sedang berjalan kearah pintu. Kyai Bajul Putih menahan kakinya dan berpaling memandang Pamadi dengan tajam.
"Eh, anak muda. Kau yang telah memusnahkan ilmuku ini, siapakah namamu dan dari mana datangmu?"tanyanya marah.
"Panggillah saya Pamadi, Pak Kyai Bajul Putih,"jawab Pamadi.
"Eh, eh kau tahu namaku pula?"
"Namamu sudah cukup terkenal, Pak Kyai, terkenal karena kekejamanmu, sungguh sayang, seharusnya dan sepatutnya nama itu menjadi pujian tiap rakyat karena kau seorang pertapa yang tinggi ilmu dan sakti."
"Jangan sombong, anak muda. Aku belum kalah benar olehmu. Nah, terimalah ini!"
Sambil berkata demiian Kyai Bajul Putih mengerahkan seluruh kesaktianya dan dengan berseru.
"Heeoh!"
Kedua lengannya diluruskan kearah Pamadi dalam gerakan mendorong.
Inilah Pukulan Gelap Sayuta yang hebat sekali kekuatannya dan orang biasa saja pasti takkan sanggup menahan, karena pukulan ini selan membawa tenaga yang dapat melukai tubuh, juga mendatangkan tenaga luar biasa yang bisa menggempur semangat dan batin yang terpukul. Melihat datangnya pukulan hebat ini, Pamadi cepat mendorong Patimah hingga gadis itu jatuh rebah ke samping, kemudian Pamadi meluruskan kedua lengannya pula dan mendorong kembali tenaga serangan Kyai Bajul Putih. Kyai yang sakti itu bagaia dihempaskan ombak besar, tubuhnya terlempar ke belakang lalu roboh. Mulutnya mengeluarkan rintihan perlahan dan dengan sukar sekali ia merayap bangun. Tubuhya lemas lunglai karena ia menderita pukulan hebat. Ternyata tenaga serangannya tadi dikebalikan oleh Pamadi hingga memakan tuanya sendiri.
"Anak muda,"katanya lemah.
"Sebelum maut mengambil nyawaku, aku takkan melupakan nama Pamadi dan pada suatu hari kita pasti akan berjumpa lagi untuk membuat perhitungan."
Pamadi sangat menyesal megapa sampai saat ini orang tua itu masih juga belum mau insaf dari kesesatannya. Sambil menarik napas panjang ia berkata perlahan.
"Semua akibat ada sebabnya, Pak Kyai, dan kalau ada sebabnya, maka yang menjadi sebab adalah kau sendiri, bukan aku."
Setelah menatap wajah Pamadi sekali lagi, Kyai Bajul Putih berjalan keluar pintu dengan tindakan terseok-seok. Pamadi segera membangunkan Patimah yang masih rebah di atas lantai karena jatuh tadi dan tidak berani bangun karena terkejut dan takut. Kemudian Pamadi menghancurkan semua alat-alat pertenungan di ruangan itu, lalu mengajak Patimah pulang ke rumah Raden Hamali.
Kedatangan mereka disambut oleh Raden Hamali dan isterinya. Raden hamali ternyata telah sembuh dan ketika ia melihat ke dalam mengkuk terisi air putih di dekat kepalanya, ia heran dan terkejut sekali, karena di dasar mangkuk itu terdapat tiga batang jarum yang kehitaman! Ia merasa sangat ngeri mengetahui betapa jarum-jarum itulah yang sedianya hendak menembus jatungnya dan merebut jiwanya. Setelah Patimah puas menangis alam pelukan ibunya Pamadi bermohon diri, karena waktu itu ternyata sudah hampir subuh. Biarpun fihak tuan rumah menaan keras, namun dengan alasanalasan halus Pamadi tetap pergi meninggalkan mereka yang memandangnya dari luar pintu tanpa memberikan nama maupun tempat tinggalnya! Di Kampung Manahan yang biasanya sunyi tenteram, pada pagi hari itu kira-kira jam sembilan, ramai dengan teriakan-teriakan orang yang lari kalang kabut.
"Amuk! Amuk!"
Mendengar teriakan dan melihat orang-orang lari ke sana ke mari tak tentu arah tujuan, hanya tampak semua orang berwajah pucat seakan-akan lari menjauhkan diri dari sesuatu yang berbahaya dan menakutkan, semua orang ikut menjadi bingung. Para ibu memeluk anaknya sedangkan si ayah buru-buru menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Yang aak tabah segera mengambil senjata tajam sedapatnya untuk berjaga diri dan keluar dari rumah dengan hati berdebar-debar. Orang-orang saling Tanya dengan mata memandang ke kanan kiri mencari-cari orang yang sedang megamuk itu. Seorang muda yang rupanya tahu benar akan huru-hara itu bercerita cepat,
"Pak Bei Tirto mengamuk! Ia memegang keris pusaka an menyerang siapa saja yang berada di dekatnya!"
"Di mana?"
Tanya beberapa buah mulut berbareng.
"Itu di perempatan. Semua orang lari, tak seorangpun berani menghalang-halanginya,"
Jawab pemuda itu.
"Mengapa ia mengamuk?"
Tanya seorang.
"Entah. Hanya ia selalu, memaki-maki nama Pak Nata dan anaknya, katanya mereka itu serumah akan dibasmi habis!"
Tiba-tiba dari jurusan barat tampak beberapa orang lari tergesa-gesa engan wajah ketakutan. Orang-orang yang tengah bercakap-cakap tadi bagaikan mendapat komando serentak ikut lari seakan-akan orang yang sedang mengamuk tadi telah berada di tumit kaki mereka! Namun di antara sekian banyak orang yang ketakutan dan menjauhkan diri dari orang yang ditakutinya itu, tampak seorang pemuda berpakaian putih dengan wajah tenang tapi dengan langkah lebar menuju kearah yang dijauhi orang-orang.
Setelah ia tiba di jalan tikungan, kelihatanlah olenya apa yang menyebabkan orang-orang melarikan diri. Pak Bei Tirto pada saat itu memang tampak sangat menyeramkan danmembuat orang-orang yang bagaimana tabahnyapun pergi ketakutan. Pak Bei yang bertubuh tinggi besar seperti Bratasena itu berdiri sambil bertolak pinggang dengan tangan kiri. Tangan kanannya mengacung-acungkan sebilah keris liuk lima yang panjang. Kakinya terpentang dan tubuh atasnya telanjang memperlihatkan dada yang bidang dan tegap. Celananya hitam dan kain sarungnya diikatkan di pinggang seperti lakunya seorang ahli pencak. Biarpun ia sudah berusia kurang lebih lima puluh, namun masih nyata nampak kekuatan tubuhnya. Cambang bauknya yang kaku dan sinar matanya yang pada saat itu seakan-akan sedang menyala-nyala menambah-nambah seram wajahnya.
"Hayo, Natawirya si pengecut! Keluarlah kamu jika kamu memang laki-laki! Ajaklah anakmu si monyet itu biar kuijak-injak perutnya! Biarlah aku yang akan menghajarnya kalau kau orang tua hina tak dapat menghajarnya. Keluarlah kamu berdua, jangan maju seorang demi seorang, majulah kalian bersama agar lebih cepat kukirim kamu berdua ayah dan anak hina dina ke neraka!"
Demikian ia berteriak-teriak dengan suara parau, tangan kanan mengacungacungkan keris dan tangan kiri mengayun-ayunkan tinju kearah sebuah rumah gedung yang tertutup pintunya. Tiba-tiba pintu rumah terbuka dan dari dalam keluar seorang wanita setengah tua yang menghampiri Pak Bei Tirto dengan takut-takut. Setelah dekat ia memberi hormat dan berkata lembut,
"Den Bei, mohon diampunkan jika suami atau anak saya telah berlaku salah. Sebetulnya apakah yang menyebabkan Den Bei Marah-marah kepada kami?"
Wanita itu tak berani memandang wajah Pak Bei Tirto. Orang yang sedang marah dan nekad ini agak bibang ketia didatangi seorang wanita. Tak ia sangka bahwa yang yang menyambutnya hanya seorang wanita lemah. Maka untuk seketika ia bingung juga, tapi nafau marahnya terlampau besar untuk dapat padam demikian saja. Dengan suara kasar ia menjawab.
"Suamimu yang tak tahu diri itu telah menghinaku. Masakan di luar ia berani membuka mulut berkata bahwa puteriku Rini pasti akan menjadi mantunya! Anakku, Rini, akan dikawaini Harlan anakmu? Hm, tengoklah muka sendiri dan rabalah tulang punggung sendiri lebih dulu. Harlan itu orang apa, keturunan apa? Apakah yang diandalkan untuk mengawini si Rini?"
Biarpun wanita itu takut-takut, tapi menjadi panas juga telinganya mendengar suami dan anaknya dihina orang, maka ia berkata agak keras dan mengandung suara kegemasan.
"Den, Bei! Kalau memang Den Bei tidak suka kepada kami, biarlah sampai sekian saja, mengapa Den Bei harus bersusah payah dengan ke sini dan marah-marah? Dan tentang anakku Harlan, kalau kiranya tidak cukup berharga bagi puterimu, biarlah akan kunasihati agar mencari jodoh yang lain aja. Perlu apa Den Bei marah-marah seperti ini?"
Kumis Den Bei Tirto seakan-akan berdiri. Kalau saja yang berdiri di depannya itu bukan seorang wanita, pasti ia sudah tak sabar pula menanti lebih lama untuk menyerangnya. Kedua biji matanya berputar-putar hebat ketika ia berkata keras-keras,
"Mbakyu Nata! Kau orang perempuan jangan ikut-ikut. Pergi saja dan sembunyi di dapur! Kau tidak tahu, sudah berapa kali aku tegaskan kepada suamimu supaya ia melarang anaknya yang kurang ajar itu mendekati puteriku. Tapi ternyata ia tidak memperdulikan dan anakmu si monyet itu malam tadi bahkan berani memasuki pekaranganku. Kali ini aku tak sudi memberi ampun. Suami dan anakmu itu harus mampus!"
Wanita itu menjadi pucat. Kakinya gemetar dan ia jatuh berlutut.
"Den Bei, kalau memang betul terjadi hal itu, maka ampunlah suami dan anakku. Biarlah, aku yang akan menasehati mereka agar menurut dan patuh akan semua laranganmu."
"Tidak bisa, tidak mungkin! setidak-tidaknya aku harus memberi hajaran pukulan di kepala mereka itu dan apabila mereka mau menyatakan kapok, baru aku mau sudah."
Tiba-tiba pintu tumah terbuka lagi dan seorang pemuda tampak lari kearah wanita itu sambil berteriak,
"Ibu, jangan merendahkan diri sendiri demikian rupa!"
Dan di belakang anak muda itu berlari seorang laki-laki tua yang mengejar anaknya dan berteriak,
"Harlan, jangan kau kesana!"
Harlan memeluk dan membangunkan ibunya sambil memandang wajah Den Bei Tirto dengan marah. Ia berlata kepada ibunya,
"Ibu, kami tidak bersalah apa-apa jangan demikian merendahkan diri, ibu. Biarlah Pak Bei marah kepada saya, tapi ibu jangan sampai dihina orang, saya tak tahan melihatnya."
Sementara itu Pak Nata sudah sampai di situ pula dengan napas terengah-engah, lalu berkata kepada Den Bei Tirto,
"Den Bei Tirto, biarlah kalau ada yang salah, aku sebagai orang tua minta maaf kepadamu. Janganlah kau tumpahkan marahmu kepada anakku atau isteriku. Karena kalau memang kami bersalah, akulah orangnya yang akan menanggung segala akibatnya."
Tadi ketika melihat kedua orang yang dibencinya itu keluar dari rumah, kemarahan Den Bei Tirto sudah memuncak, tapi ia belum dapat berkata sesuatu, melihat kesibukan mereka masing-masing. Tapi kini, setelah Pak Nata menyapanya, timbul pula marahnya, maka ia menjawab.
"Bagus! Kalau begitu, biarlah kau saja yang kuhajar!"
Sambil berkata begitu, ia ayunkan kakinya menendang, hingga Pak Nata yang lemah terhuyung-huyung ke belakang. Harian melihat ayahnya di serang segera hendak membantu, tapi tiba-tiba kepalan tangan kiri Den Bei Tirto melayang ke arah dadanya. Harlan mengelak dan menangkis tangan itu dengan keras, tapi ia tidak mau balas memukul. Karena tangkisan itu, tubuh Den Bei Tirto menjadi miring, tapi ia segera ubah kedudukan kakinya dan sambil merendahkan tubuh, kaki kirinya melayang pula dengan cepatnya. Untung Harlan pernah pula belajar pencak, hingga matanya cukup gesit. Untuk menghindarkan tendangan kilat itu, ia membuang diri ke samping kirinya hingga kembali serangan Den Bei Tirto gagal. Den Bei Tirto merasa sangat gemas. Sambil memaki,
"Anak bedebah,"
Ia meloncat menerkam sambil mengayun kerisnya ke ulu hati anak muda itu. Harlan memiringkan badan dan memutar lengan kanannya, hendak menggunakan tangannya menekan penrgelangan tangan lawan dan merampas keris. Tapi Den Bei Tirto bukanlah seorang lawan yang lemah. Ia terkenal sebagai cabang atas Kampung Manahan dan ketika ia masih muda, ia ditakuti orang karena kemahirannya main pencak. Ketika kerisnya tidak mengenai sasaran dan ia merasa pergelangan tangannya hendak diterkam oleh tangan lawan, ia segera memutar kerisnya le belakang lengan dan menggunakan siku lengannya menghamtam ke arah dada Harlan! Terdengar suara,
"Buk!"
Dan Harlan terhuyung ke belakang. Pada saat itu Pak bei Tirto yang telah menjadi mata gelap segera menghajar dan menikam dengan kerisnya. Terdengar ayah ibu Harlan menjerit ngeri. Untung pada saat yang sangat berbahaya bagi jiwa Harlan itu, berkelebat sebuah bayangan putih, dan tahu-tahu, entah dari mana datangnya, seorang pemuda berbaju putih telah berdiri di antara Pak Bei Tirto dan Harlan. Orang tua yang sedang mengamuk itu untuk sejenak menjadi melongo dan terkejut, lalu memandang. Ternyata di depannya berdiri seorang pemuda tampan dengan wajah terang dan senyum di bibir.
"Bapak, sabarlah dan padamkanlah nafsu marahmu. Segala perkara dapat diamaikan,"
Kata pemuda itu dengan halus. Entah suara yang tenang itu ataukah sinar mata yang tajam dan manis itu yang seakan-akan merupakan air dingin mengguyur dada Pak Bei Tirtito yang sedang panas, tapi seketika itu juga Pak Bei Tirto telah ditinggalkan setengah bagian dari nafsu marahnya. Tetapi ketika matanya berputar memandang dan melihat bahwa kini telah banyak orang melihat mereka dari tempat jauh, ia menjadi malu kalau mundur. Ia khawatir disangka orang berjiwa ia takut kepada pemuda kurus lemah itu. Maka ia memandang wajah pemuda baju outih itu sambil membentak,
"Siapa kau? Berani betul mencampuri urusan orang lain. Hayo mundur!"
"Tenanglah, bapak, jangan dilanjutkan hal yang tidak baik ini!"
Bantah pemuda itu yang tidak lain ialah Pamadi adanya.
"Apa? Kau handak membela mereka ini rupanya? Tak kenal aku siapa? Minggir kamu!"
Kata-katanya ini diiringi dengan tangan kiri melayang ke arah pundak Pamadi hendak mendorong pemuda itu ke samping. Tetapi, alagkah terkejutnya ketika tangannya seakan-akan mendorong batu besar yang sedikitpun tidak bergerak. Bahkan lengannya seakan-akan terbentur pada sebuah tenaga kuat hingga terpental kembali.
"Eh, eh! Kau mau mencoba-coba cabang atas Manahan, ya?"
Dengan marah Pak Bei Tirto memutar kerisnya ke belakang lengan dan menggunakan gagang keris dalam kepalannya memukul ke arah leher Pamadi. Pukulan ini keras sekali dengan diiringi teriakan "Heeitt!"
Tapi dengan tenang Pamadi memiringkan tubuh dan kepalan itu menyambar lewat, hanya angin pukulannya saja membuat leher bajunya tertiup. Pak Bei Tirto merasa makin gemas, masakan seorang jago kawakan seperti ia tak dapat dengan sekali pukul membuat pemuda lemah ini roboh mencium tanah. Karena terdorong tenaga pukulannya sendiri, tubuhnya terhuyung ke muka, lalu kedua kakinya meloncat sambil memutar tubuh, tahu-tahu kaki kanannya melayang naik mengarah perut Pamadi. Pemuda itu dengan masih tersenyum mengelak sedikit sambil mengibaskan lengan kirinya ke arah pergelangan kaki lawan, sambil berkata,
"Sabarlah, pak!"
Walaupun kibasan tangan itu dilakukan perlahan sekali namun Pak Bei Tirto terhuyung ke samping dan hampir saja jatuh. Wajahnya menjadi merah karena malu, dan para penonton yang memperhatikan perkelahian itu diam-diam merasa kagum melihat kegesitan dan ketenangan pemuda itu. Tetapi mereka masih merasa khawatir akan keselamatan pemuda itu, hingga hati mereka berdebar-debar.
"Kurang ajar! Kau berani melawan? Rasakan pusakaku!"
Demikian Pak Bei Tirto berteriak dan kerisnya berkilapan ketika ia memutar-mutarnya. Kemudian sambil meloncat ia menubruk, ujung kerisnya meluncur ke arah dada Pamadi. Pamadi tidak mengelak, tapi menggunakan jari tengah dan telunjuknya menahan ujung keris itu dan terus menjepitnya dengan gerak jari "capit yuyu". Pak Bei Tirto tadinya merasa puas karena ujung kerisnya seakan-akan menembus daging, tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat bahwa kerisnya itu hanya menembus celah di antara dua jari lawan.
Ia segera mencabutnya, tapi ternyata keris itu seakan-akan terjepit di antara sepasang gigi cacut yang kuat sekali! Ia mengerahkan tenaganya, tetapi sekonyong-konyong Pamadi menggerakkan ke bawah hingga keris itu lepas dari pengangan Pak Bei Tirto sendiri terhuyung-huyung lalu jatuh! Gerakan ini demikian cepat hingga mereka yang menonton perkelahian itu tidak tahu jelas bagaimana Pak Bei Tirto sampai dapat jatuh. Maka ramailah suara ketawa penonton, bahkan ada yang lupa keadaan sampai bertepuk tangan. Pak Bei Tirto bangun dan memandang Pamadi dengan mata terbelalak. Ia makin heran ketika melihat betapa jari-jari tangan pemuda itu bergerak dan gemetar dan tahu-tahu kerisnya berbunyi "Tak"
Dan patah menjadi dua oleh jari-jari yang kecil itu!
"Maaf, Pak, bukan saya lancang ikut-ikutan mencampuri urusan orang lain, tetapi ingatlah, pak, jika bapak sampai kejadian membunuh orang dan ditangkap lalu dihukum, apakah bapak tidak akan menyesal dan malu? Ingat, pak, bukankah leluhurkita pernah berkata bahwa menjadi orang hidup harus selalu ingat "ojo dumeh"
Yang artinya janganlah kita sombong karena diri kita kuat lalu melakukan sesuatu yang sewenang-wenang?"
Muka Pak Bei Tirto yang sudah merah itu menjadi lebih merah dan tak lama kemudian berubah pucat. Ia merasa terpukul oleh kata-kata pemuda aneh itu karena ia teringat akan nasihat dan petuah-petuah mendiang ramanya. Ia lalu menundukkan kepala dan berkata perlahan.
"Sudahlah, memang aku yang sesat..."
Lalu ia gerakkan tubuhnya hendak meninggalkan tempat itu. Tetapi Pak Natawirya segera memburu dan menyentuh lengannya.
"Den Bei Tirto. Bukan kau yang bersalah, tapi adalah anakku yang tak tahu diri. Maafkanlah kami dan marilah kita mampir sebentar di pondokku agar kami dapat selayaknya menghaturkan maaf padamu."
Pak Bei Tirto tampak ragu-ragu untuk menerima undangan ini, tetapi Pamadi dengan senyum ramah maju pula memberi hormat dengan membongkokkan diri.
"Pak Bei, undangan Pak Nata ini baik sekali, satu tanda bahwa ia sangat menghargakan bapak. Maka biarlah saya juga miohon sudilah kiranya bapak menerima undangan ini agar segala kesalahpahaman dapat diselesaikan dengan penuh damai."
Pak Bei Tirto merasa tidak enak untuk menolak, maka sambil menghela napas ia menganggukkan kepala. Pak Nata girang sekali, lalu tergopoh-gopoh mengundang Pamadi sekalian mampir dirumahnya.
Maka beramai-ramai mereka masuk ke dalam rumah Pak Nata dan para penonton yang telah maju mendekati segera bubar sambil membicarakan sepak terjang pemuda baju putih yang gagah perkasa itu. Semua orang memuji dan tiada habis heran melihat pemuda yang tak dikenal itu. Mereka hanya dapat menduga-duga, bakan ada yang menduga bahwa pemuda itu tentu seorang putera pengeran dari dalam Keraton Solo atau Jogja yang sedang menjalankan darma brata! Setelah duduk mengelilingi meja dan minum air kopi yang disediakan oleh isteri Pak Nata, maka sekali lagi Pak Nata berdua Harian menghaturkan maaf sebanyak-banyaknya kepada Pak Bei Tirto. Melihat sikap yang ramah tamah dan hormat dari tuan rumah itu, mau tak mau orang cabang atas ini merasa malu akan perbuatannya sendiri, maka ia menjawab,
"Aah, sebenarnya akulah orangnya yang terburu napsu dan berlaku sewenang-wenang, betul seperti katanya anakmas ini,"
Matanya mengerling kepada Pamadi.
"Bolehkah saya mengetahui nama anakmas dan darimana anakmas datang?"
Sambungnya sambil menatap wajah anak muda yang selalu tersenyum itu.
"Nama saya Pamadi, pak, dan tentang darimana saya datang, agar sukar bagi saya untuk menjawab. Dapat saya katakan bahwa bumi inilah lantai saya dan langit yang luas adalah atap saya. Baiklah kita sudah saja tentang diri saya yang tak berarti ini. Yang penting sekarang ialah persolan bapak dan Pak Nata ini. Maafkan saya yang muda dan lancang, karena tidak sepatutnya saya ikut-ikut mengurus hal ini, tapi menurut paham saya yang bodoh, ada baiknya kalau soal perjodohan itu diserahkan saja kepada masing-masing yang akan menjalaninya. Karena apakah arti perbedaan tingkat, derajat maupun harta dalam dalam perkawinan? Pak Bei, napak adalah seorang sepuh yang waspada dan banyak pengalaman hidup dan saya yakin bahwa bapak pasti telah sadar pula akan isi dari pada "hidup"
Ini. Jawabalah sejujurnya, pak, apakah pangkat dan harta dapat membuat manusia bahagia?"
Pak Bei Tirto termangu-mangu sejenak, lalu dengan suara tetap ia menjawab,
"Tidak mungkin."
"Nah. Kalau begitu, mengapa dalam hal perjodohan puterimu, bapak sangat memandang kedudukan dan harta calon mantu? Kalau memang putera Pak Nata dan puteri bapak telah ada kata sepakat dan saling cinta dengan hati murni, maka ikatan batin yang kuat itulah yang akan membuat puteri bapak menjadi orang yang hidup bahagia."
Pak Bei Tirto dan Pak Nata serta Harlan keheranan mendengar kata-kata Pamadi, karena sama sekali tidak tepat ucapan-ucapan sedemikian itu dikatakan dari mulut seorang yang masih muda belia seperti dia. Mereka memandang dengan tercengang, dan Pan Nata tak sabar pula untuk tidak bertanya,
"Aduh denmas, sebenarnya siapakah denmas ini? Apakah denmas ini ada hubungan dengan dalam keraton?"
Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pamadi tersenyum lebar dan berdiri perlahan dari kursi.
"Ah, jangan menyangka yang bukanbukan, pak. Saya ini orang biasa saja, dan belum pernah saya melihat keraton. Kini sudah cukuplah kira-kira saya menganggu kalian maka maafkan, saya mohon pamit."
Sebagai penutup kata-katanya ini, Pamadi membungkuk dan melangkah kearah pintu. Ketika Pak Bei Tirto dan Pak Nata memburu ke luar, ternyata pemuda itu telah tak tampak bayangannya! Kedua orang tua itu saling pandang dan dengan berkeras Pak Bei Tirto menyatakan dugaannya bahwa pemuda itu pasti bukan orang sembarangan dan tentu seorang pangeran. Berdasarkan dugaannya ini, ia menjadi tunduk betul dan dengan rela ia sudah menerima Harlan sebagai mantunya! Manusia berjubel-jubelan bagaikan semut merubung gula dalam cawan. Yang menjadi gulanya ialah tontonan pasar malam dan cawannya adalah alun-alun di Solo yang lebar dan luas. Malam itu lebih ramai dari malam-malam yang lalu, karena malam itu kebetulan bulan memperlihatkan wajah sepenuhnya dan malam Minggu pula! Pamadi terbawa oleh arus manusia itu memasuki pintu gerbang alun-alun.
Di antara sekian banyak tontonan dan pameran-pameran, yang menarik hatinya hanya pertunjukan wayang orang. Memang wayang orang yang main di pasar malam itu sangat ramai dan terkenal baik, karena yang menjadi Petrunya adalah Sastrodirun yang sudah terkenal kemahirannya melawak dan kaya akan filsafat hidup. Tetapi Pamadi tidak bermaksud membeli karcis dan menonton, ia hanya berdiri di luar menikmati suara gamelan yang mengiringi suara biduan menyanyikan lagu Sinom laras Pelog. Tiba-tiba perhatian Pamadi tertarik oleh seorang tinggi kurus yang berada di tengah-tengah kelompok penonton di depan panggung itu. Diam-diam Pamadi tersenyum ketika ia melihat si tinggi kurus beraksi. Ternyata orang itu adalah seorang pencopet! Kagum juga Pamadi melihat kesigapan jari-jari pencopet itu ketika ia menggunakan tangan kanannya menyambar dompet yang berada dalam saku jas seorang laki-laki tua.
Dompet itu penuh dan padat tampaknya. Orang tua yang tercopet itu merasa ada sesuatu bergerak di bajunya, maka segera tangannya merogoh saku. Alangkah terkejutnya ketika mengetahui sakunya telah kosong dan dompetnya telah terbang lenyap entah ke mana! Setelah si pencopet berhasil dengan aksinya lalu bermaksud meninggalkan tempat itu, tapi tiba-tiba seorang pemuda baju putih seperti yang tidak disengaja berjalan menambraknya. Kalau ia tidak sedang terburu-buru hendak pergi, pasti ia akan memukul atau memaki pemuda itu, tetapi ia hanya memelototkan matanya lalu berjalan terus. Pamadi mendekati kurban copet itu dan tangannya bergerak secepat kilat kearah saku baju orang itu. Pada saat itu si kurban copet berteriak,
"Copet!"
Dan banyak orang segera mengelilinginya.
"Apa yang tercopet?"
Tanya seorang.
"Dompet uangku... di sini..."
Katanya sambil merogoh saku. Tetapi, bukan kepalang heran dan terkejutnya ketika jari-jari tangannya menyentuh sesuatu dalam sakunya dan ketika ia menariknya ke luar, ternyata itu adalah dompetnya yang tadi telah hilang!
"Eh... eh... lho, aneh sekali!"
Katanya gagap.
"Tadi dompet ini tidak ada di sini..."
Semua orang menertawakannya dan menyebutnya sudah pikun karena tuanya. Orang tua itu merasa malu dan sambil masih merasa heran ia buru-buru meninggalkan tempat itu. Tukang copet yang tinggi kurus itu memanjangkan langkahnya dan berhenti di belakang sebuah restoran. Tiba-tiba seorang pemuda yang berjalan dari arah depan menabraknya tak lain ialah pemuda baju putih yang tadipun telah menabraknya di depan panggung wayang orang!
"Apa kau buta?"
Makinya marah.
"Kaulah yang buta karena sinar uang orang lain,"
Balas Pamadi tersenyum menggoda. Mendengar jawaban ini, Si Copet otomatis mengulurkan tangan ke dalam saku celananya. Hampir ia beteriak kaget ketika tangannya memasuki saku kosong dan dompet hasil copetannya telah lenyap!
"Kau mencari apa? Dompet itu sudah kembali kepada yang empunya,"
Kata Pamadi menertawakannya. Merah muka tukang copet itu.
"Kurang ajar! Kau berani mengganggu aku, Si Tangan Kilat?"
Ia maju selangkah dengan sikap mengancam. Pamadi mundur melangkah dan senyumnya melebar,
"Sabar dulu, kawan. Coba periksa lagi semua kantung baju dan celanamu!"
Karyo Si Tangan kilat memandang heran dan menggunakan kedua tangannya meraba-raba semua saku. Matanya yang bundar makin melebar ketika mengetahui bahwa semua isi sakunya telah lenyap tak berbekas!
"Kau kehilangan apa? jam saku, uang sepuluh rupiah, gunting dan sapu tangan?"
Karyo mengangguk-angguk heran dan wajahnya menjadi pucat. Pamadi tertawa perlahan.
"Ha, ini namanya tukang copet kecopetan!"
Karyo menjadi marah lagi.
"Ah, tentu kau yang mencopetnya! Hayo lekas kembalian Barangbarangku atau akan kupatahkan batang lehermu!"
"Eh, eh! Memangnya batang leherku ini leher ayam saja? Hati-hati kawan, lihat siapa itu yang berdiri di sana. Ingat, aku menjadi saksi utama bahwa kau tadi telah mencopet."
Tukang copet itu cepat menengok dan melihat seorang polisi tengah berdiri memandang ke kanan kiri, hingga ia mejadi ragu dan memandang Pamadi dengan bombing. Pemuda itu lalu memberi tanda,
"Hayo ikut aku."
Karyo mengikuti pemuda itu memasuki sebuah rumah makan di mana Pamadi memesan makanan dan minuman. Ia persilakan pencopet itu makan minum sepuasanya. Setelah makanan habis, Pamadi berkata,
"Kawan, kau masih begini muda, mengapa menjalankan pekerjaan memalukan ini?"
"Ah, kau sendiripun tukang copet yang lebih pandai dariku. Jangan ganggu aku, kawan. Lebih baik kuangkat kau menjadi guru untuk mengajar ilmu mencopet."
Jawab Karyo merendah.
"Eh, jangan sembarang sangka, kawan. Aku bukan tukang copet."
"Habis, siapakah yang mencopet semua barangku kalau bukan kau?"
"Periksa dulu sakumu, benar-benarkah barangmu hilang."
Karyo memandang tak mengerti, tetapi ia lakukan juga permintaan Pamadi. Hampir ia berteriak keheranan ketika tangannya menemukan semua barang-barangnya di tepat masing-masing! Maka ia tahu bahwa ia berhadapan dengan seorang ahli, dan ia segera menundukkan badannya memberi hormat.
"Sudahlah."
Cela Pamadi.
"Paling betul kau segera ubah pekerjaanmu yang tidak baik ini. Kau masih muda dan kuat, carilah pekerjaan yang halal. Hasil dari pekerjaan yang tidak halal tidak akan mendatangkan berkah. Uang kotor hasil copetan itu akan lekas habis pula dan akhirnya kau tentu menemui malapetaka untuk kerugianmu sendiri."
Pamadi segera membayar harga makanan dan minuman, lalu meninggalkan tukang copet itu yang berdiri bengong keheranan. Kalau orang belum pernah mengalami berjalan seorang diri pada waktu fajar menyingsing di dalam sebuah hutan belukar, maka ia belumlah mengenal kenikmatan hidup yang betul-betul nikmat!
Tentu saja hal ini tidak berlaku bagi para petani desa dan para penduduk yang bertempat tinggal di dekat hutan, tetapi khusus bagi para penduduk dalam kota yang penuh segala macam kegaduhan dan kekotoran, baik kekotoran yang timbul dari debu dan sisa-sisa kebutuhan orang kota, maupun kekotoran yang timbul dari hawa nafsu berupa keserakahan, kedengkian, dan kejahatan-kejahatan lain dari orang-orang kota yang mengaruk diri dengan segala kesopanan paksaan. Pamadi berjalan seorang diri di antara pohon-pohon jati di dalam hutan daerah Walikukun yang luas sambil menikmati anugerah alam di waktu fajar tengah menyingsing. Memang indah dan nikmat. Hawa hutan yang bersih tersaring daun-daun pohon sungguh sejuk dan bersih.
Dari arah timur membayang kemegahan Sang batara Surya yang telah mengirim sinarnya terlebih dulu sebagai duta-duta berita yang menyampaikan warta kehadirannya. Burung-burung berloncat-loncatan dari cabang ke cabang dan dari pohon ke pohon, berkejar-kejaran sambil bersendau-gurau dan kicau mereka yang indah merdu dan gembira itu seakanakan menyambut datangnya Batara Surya. Alangkah indahnya! Seluruh pancaindera Pamadi menikmati pemberian alam di sekitarnya. Mata menikmati warna hijau yang ditembus sinar kuningnya keemasan dan dihias warna-warni bunga puspita. Hidungnya menimati bunga puspita. Hidungnya menikmati harum bunga hutan dan kesegaran bau daun-daun pohon dan rumput-rumput hijau serta kesedapan bau tahan yang masih bersih. Telinganya menikmati rayuan irama merdu dari burung-burung yang merupakan nyanyian suci para bidadari kahyangan.
Seluruh tubuhnya menikmati hawa yang sejuk, nyaman dan menyegarkan. Air embun yang bergantungan di ujung daun dan rumput merupakan ratna mutu manikam yang tersenyum manis padanya. Semua keindahan itu membuat jiwa Pamadi menjadi tenang dan tenteram. Alangkah nimat hidup ini! Tapi hutan yang seindah surga itu adanya di bumi telah penuh oleh manusia, dan dimana terdapat manusia di sana terdapat kesuakaran-kesukaran dan penderitaan-penderitaan! Demikianpun Hutan Walikukun itu, agaknya tak terlepas dari gangguan umat manusia. Ketika Pamadi sedang berjalan perlahan, tiba-tiba ia menahan tindakan kakinya dan memanang dengan heran kearah kanan jalan. Di dahan sebatang pohon jati besar tampak sesuatu terayun-ayun. Ia segera meloncat menghampiri.
Ternyata yang terayun-ayun itu adalah tubuh seorang wanita muda yang mengantung diri dan belum mati, karena tubuhnya bergerak-gerak melawan malaikat yang berusaha mencabut nyawa dari tubuh yang kehilangan jalan pernapasannya itu. Pamadi segera bertindak. Dengan sekali loncat ia merenggut putus tali penggantung leher perempuan itu dan cepat ia memondong tubuh itu sambil melepaskan tali pemgikat leher. Tampak bekas merah kebiru-biruan melingkar di kulit leher yang putih kekuning-kuningan. Tak lama kemudian gadis yang direbahkan di atas rumput itu membuka matanya perlahan. Terkejut ketika ia melihat Pamadi duduk di dekatnya. Segera ia meloncat bangun dan ketika melihat bahwa tali yang dipakai menggantung diri tadi kini telah terletak di dekatnya iapun menangis tersedu-sedu. Pamadi menjadi binggung dan tak tahu harus berbuat bagaimana, ia hanya berkata perlahan.
"Sudahlah, nona, jangan menangis. Mengapa kau begitu sedih dan berusaha membunuh diri? Itu adalah perbuatan yang keliru dan sesat. Percayalah, segala karuwetan hidup dapat dibereskan."
Mendengar kata-kata ini, nona itu memandang Pamadi dengan mata saya lalu menangis makin sedih. Pamadi menghela napas dan menengadah memandang burung-burung yang mulai terbang berpencaran di udara. Ia tahu bahwa nona ini adalah seorang nona Tionghoa yang cantik, tetapi wajahnya diliputi kesedihan keputusanaan yang hebat. Ia harus bersabar menghadapi wanita yang sedang bersedih.
"Tuan, kenapa kau rintangi kehendakku?"
Akhirnya gadis itu berkata menyesal dengan lagu suara yang tidak tegas seperti biasa ucapan seorang Tionghoa totok.
"Terpaksa, noa. Karena tidak mungkin saya tinggal diam saja, pula, saya ulangi lagi, kehendakmu membunuh diri adalah salah. Kalau kau bunuh diri, berarti kau hilangkan kepercayaanmu kepada Tuhan."
"Kau tidak mengerti, tuan. Justru karena di dunia ini tiada orang yang akan dapat menolongku, maka aku ingin mati agar mengajukan tuntutan kepada Tuhan karena ketidakadilan ini.
"
"Orang hidup dapat juga menerima pengadilan Tuhan, nona. Cobalah ceritakan padaku persoalanmu, yakni kalau nona menaruh kepercayaan padaku."
Gadis Tionghoa itu memandangnya dengan sepasang matanya yang agak sipit dan bening mengandung air mata, dan agaknya wajah pemuda itu mendatangkan kepercayaannya, maka sambil terisak-isak ia bercerita. Gadis itu bernama Mei Hwa dan baru kurang lebih setahun ia datang dari Tiongkok bersama ibunya. Kedatangan mereka langsung menuju ke Madiun. Tan Keng Hok, ayah Mei Hwa, telah bertahun-tahun meninggalkan anak isterinya di Tiongkok untuk merantau dan mencari nafkah di Indonesia. Akhirnya Tan Keng Hok tinggal di Madiun setelah berhasil dalam usahanya di Semarang dan kini ia menjadi pedangang kelontong yang lumayan juga besarnya. Selama bertahun-tahun itu belum pernah ia mengirm berita kepada isterinya, jangankan mengirim uang.
Maka, karena isteri dan anaknya di Tiongkok hidup terlantar, dan pada suatu hari si isteri mendengar bahwa suaminya kini hidup "makmur"
Di Pulau Jawa, ia menjadi nekad dan dengan mengumpulkan subangan dari sana-sini, akhirnya ia aak gadisnya menyusul ke Madiun. Tak terduga sama sekali olehnya bahwa suaminya itu belum lama ini telah kawin dengan Tukinem, seorang gadis Jawa dari Ponorogo dan hidup rkun dengan isterinya itu. Tentu saja Tiongkok dengan anak gadisnya itu menimbulkan heboh dalam keluarga Tan Keng Hok. Sebagai akibat dari kehebohan ini, Tan Keng Hok menyia-nyiakan isterinya dari Toangkok yang terpaksa tinggal mondok di rumah seorang Tionghoa yang telah dikenalnya di Tiongkok, karena ia tidak diterima oleh suaminya. Namun, atas persetujuan isterinya yang baru, Mei Hwa diperbolehkan tinggal bersama ayahnya.
Kurang lebih setahun Mei Hwa tinggal di rumah dengan ayah dan ibu tirinya. Ternyata Tukinem seorang wanita yang berbudi halus dan dapat campur serumah dengan anak tirinya dalam keadaan ibunya yang terpaksa hidup tersia-sia dan putus harapan. Tiba-tiba datang malapetaka menimpa diri Mei Hwa. Karena ia seorang gadis yang cantik jelita, maka banyak pemuda datang melamar. Tetapi semua lamaran itu ditolak tegas-tegas oleh ayahnya. Akhirnya datang lamaran seorang duda Tionghoa yang kaya raya. Usianya sebaya dengan Tan Keng Hok, jadi pantas menjadi ayah Mei Hwa. Tetapi ternyata lamaran dari seorang yang tidak sesuai dengan anaknya ini bahkan diterima oleh Tan Keng Hok yang mata duitan. Mei Hwa menjadi sangat sedih. Ia menolak keras, tetapi untuk perlawanannya itu ia malah mendapat siksaan dan rangketan dari ayahnya yang sudah lupa daratan.
Kepala siapa ia harus minta tolong? Ibunya yang mendengar hal ini kepada Keng Hok, tetapi ia juga tak luput mendapat pukulan. Tukinem sendiri walaupun sesungguhnya tidak setuju dengan tindakan suaminya ini, namun ia tidak berdaya karena betapapun juga ia tidak berhak mengurus persoalan Mei Hwa yang bukan anaknya sendiri. Akhirnya karena putus asa, pada malam hari yang gelap sunyi, Mei Hwa keluar rumah dengan diam-diam dan melarikan diri. Hal ini sebetulnya diketahui juga oleh Tukinem yang bahkan membantunya. Tetapi sebagai seorang gadis yang masih asing dengan daerah di situ, lagi pula ia tak beruang, maka setelah berjalan sehari semalam, akhirnya sampai di sebuah daerah Walikukun dan karena putus harapan lalu berlaku nekat menggantung diri.
"Coba tuan pikir."
Demikian ia akhiri ceritanya.
"Apa yang dapat kulakukan selain menghabisi hidupku yang penuh penderitaan belaka ini? Apa dayaku?"
Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo