Sekarsih Dara Segara Kidul 2
Sekarsih Dara Segara Kidul Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
"Sekarsih datang...!"
Katanya, gembira sekali suaranya. Slamet dan Bejo menoleh dan tersenyum. Betul saja. Biarpun belum tampak orangnya, namun suaranya sudah kedengaran. Suara yang merdu dan nyaring, menembangkan lagu Dandanggula yang jelas terdengar kata-katanya :
"Yen lumampah ingkang mulat wingwrin,
singa barong kang pada rumeksa,
gajah meta ing wurine,
macan galak ing ngajun,
naga raja ing kanan kering,
singa mulat jrih tresna,
marang awak ingsun,
lelembut ing nusa Jawa,
samya kedep antuk lawan teluh bumi,
ajtih lumayu ngintar.
Jen sinimpen utawa sakalir,
upas bruwang racun miwah banjar,
sakeh bedil buntu kabeh,
jemparing towok putung,
pan kumleyang tibanireki,
miwah salwiring braja tan tumama mring sun,
tuju teluh taragnyana,
pada bali sagung sambang pada wedi,
madep kedep sadaya."
Begitu tembang ini berhenti, Slamet tertawa gembira. Rebo bertepuk tangan memuji. Bejo juga tersenyum dan berkata:
"Wah, kalau tak salah yang ditembangkan itu kan kidung yang kau ajarkan padanya sebulan yang lalu, Met?"
Slamet mengangguk.
"Betul, memang tajam ingatannya. Dua bagian terakhir Kidung Jatimulya sudah dihafalnya benar-benar, tak sepatah pun salah!"
"Kidung Jatimulya untuk apa sih, Met?"
Tanya Rebo yang tidak mengerti tentang, kidung, tidak seperti Slamet yang memang suka akan kidung-kidung wejangan kuno yang mengandung banyak petuah.
"Bagian terakhir kidung itu adalah semacam doa untuk penolak bahaya. Agaknya Sekarsih suka akan kidung itu, memang cocok sekali ditembangkan ketika turun dari atas sana,"
Kata Slamet. Tak lama kemudian tampaklah gadis itu turun melalui akar-akar dan batu-batu karang. Dari jauh saja nampak nyata bentuk tubuhnya yang singset dan kuat terlatih. Tangan kanannya memegang tenggok yang di sunggi diatas kepalanya, hingga dia menambat batu-batu karang itu hanya menggunakan sebelah tangan kiri saja.
Dengan gerakan tegap dan tetap kakinya ganti berganti menginjak lubang-lubang dalam batu karang di depannya, dengan cekatan tangan kirinya membantu ayunan tubuhnya, setiap langkah tak pernah salah seakan-akan kedua kakinya bermata. Pemandangan yang amat curam di bawah kakinya bukan merupakan pemandangan yang mengerikan baginya. Sama sekali tidak. Semua itu dianggapnya biasa saja seperti seorang anak-anak di kota melihat membalapnya mobil-mobil yang bersliweran diatas jalan-raya tak jauh dari tempat ia berdiri, sama sekali tidak membayangkan kengerian kalau mobil-mobil itu menjeleweng dan menabraknya.
Di belakang gadis ini, dengan tenang-tenang saja akan tetapi juga dengan gerakan kaki tangan yang terlatih dan sigap, merayap seorang laki-laki tua bertubuh tinggi kurus berambut putih. Dia itulah Pak Loka, paman dari Sekarsih. Orang tua ini membawa sebuah keranjang yang biasanya dipergunakan untuk tempat karangan (rumput laut). Tahulah Slamet dan teman-temanya bahwa paman dan keponakan itu turun hendak mencari karangan (rumput laut) yang menjadi sebuah diantara sumber-sumber nafkah mereka. Pekerjaan Sekarsih adalah mencari rumput laut, mencari jingking atau undur-undur, kadang-kadang menjual kelapa muda-kelapa muda kepada para pengunjung pantai, atau membantu pamannya di ladang.
"Heeeiiii"! Pak Lokaaaa...!"
Jauh-jauh Rebo sudah berteriak memanggil.
"Kau ini memanggil Sekarsih atau Pak Loka?"
Slamet bergurau.
"Kok mulutnya memanggil nama Pak Loka, tapi matanya melirik Sekarsih dan tangannya melambai kearah gadis itu?"
"Hush, mereka sudah dekat, jangan ribut. Bikin malu saja kau ini!"
Rebo menegur sambil tertawa. Memang cepat sekali Sekarsih dan pamannya menuruni jalan monyet yang amat sukar dan berbahaya itu. Slamet dan kawan-kawannya ketika menuruni jalan itu tadi mempergunakan waktu sedikitnya seperempat jam. Para pengunjung yang belum biasa makan waktu kurang lebih setengah jam. Akan tetapi Sekarsih dan pak Loka paling lama mempergunakan waktu sepuluh menit saja. Hebat!
"Sudah dapat banyak ikannya?"
Datang-datang Sekarsih bertanya, wajahnya yang segar kemerahan itu cantik aseli seperti bunga mawar gunung. Ia tersenyum bebas lepas, bibirnya terbuka lebar memperlihatkan deretan gigi yang bagus bentuknya, rapi bersih dan kokoh kuat. Ketika menurunkan tenggoknya, ternyata betul seperti dugaan dan harapan tiga orang pengail itu, di dalam tenggok terdapat singkong bakar, pisang rebus, dan tiga buah kelapa muda.
"Lumayan juga, sih,"
Jawab Rebo yang segera melongok isi tenggok, hidungnya yang panjang kembang-kempis mencium bau singkong bakar yang gurih sedap.
"Yang kecil-kecil sudah masuk perut kami, yang besar-besar ada tujuh ekor diasap oleh Pak Madi di gua sana."
"Wah, kau selalu membawa makanan untuk kami, Sih. Benar-benar baik hati kau!"
Kata Bejo dengan senyumnya yang masih penuh daya memikat. Slamet yang merasa betapa kedua orang temannya itu datang-datang hanya menghujankan teguran dan kata-kata kepada Sekarsih saja, merasa tidak enak kepada Pak Loka. Memang Slamet ini, biarpun termuda diantara tiga orang itu namun paling panjang-ingatan.
"Wah, hendak mencari karangan, Pak Loka? Apakah kiranya air akan surut?"
Tanyanya kepada Pak Loka.
Kakek itu mengangguk-angguk yakin.
"Antara jam sembilan sampai tengah hari nanti agaknya, kalau tak salah, akan surut banyak."
Pak Loka ini kalau bicara, apalagi kalau menyatakan pendapatnya, selalu tentu diberi embel-embel "Kalau tak salah."
"Mas Slamet sudah dapat berapa ekor?"
Sekarsih menegur Slamet. Ia bersikap manis kepada Slamet karena ia menganggap Slamet seorang yang pintar, paling pintar diantara tiga orang Solo ini. Apalagi Slamet banyak memberi pelajaran bertembang kepadanya, tembang yang indah-indah dengan kata-kata yang muluk-muluk. Ia setengah menganggap "mas Slamet"
Ini sebagai gurunya. Slamet tersenyum.
"Aku bukan pengail ulung, mana bisa melawan Mas Rebo dan Mas Bejo? Yang besar-besar mereka borong semua, aku hanya mendapat yang kecil-kecil saja."
"Pisang kami sudah tua, mas. Ini kami membawa beberapa buah, direbus. Manis sekali!"
Kata Sekarsih.
"Tentu saja,"
Kata Rebo cepat. Setiap kesempatan tentu dipergunakan oleh Rebo ini untuk memuji.
"Apa saja yang kau bawa tentu manis."
Semua tertawa, termasuk Pak Loka yang suka kepada tiga orang pengail ini karena mereka, biarpun kadang-kadang berkelakar seperti biasanya kaum pria berhadapan dengan wanita-wanita cantik, akan tetapi dalam kelakar mereka selalu ada batasnya, tak pernah kurang ajar. Akan tetapi Slamet segera menambah kelakar sewajarnya yang tidak mengandung pujian-pujian untuk kecantikan si pembawa panganan.
"Terima kasih, Sih. Kau dan pamanmu kalau turun ke sini selalu tentu membawa apa-apa, merepotkan saja. Yang sudah ya sudah, Sih, lain kali supaya... diulangi saja, ya, tak usah repot-repot, seadanya saja bawa ke sini... hemm, tanggung habis dah!"
Lagi-lagi semua orang tertawa gembira dan tanpa sungkan-sungkan lagi tiga orang pengail itu mengganyang isi tenggok. Pak Loka mengisap rokok MENARA yang disuguhkan Rebo sedangkan Sekarsih ikut pula makan pisang rebus. Sikap gadis ini yang amat wajar, tanpa dibuat-buat, dengan kecantikannya yang aseli, tutur-katanya yang ramah dan terbuka, semua inilah yang membuat tiga orang pengail itu betul-betul amat menyukainya. Bukan mencinta seperti cinta pemuda terhadap pemudi, bukan, melainkan rasa suka yang tulus, seperti orang merasa suka dan kasih kepada seorang keponakan yang mungil dan baik.
"Sih, kenapa kau merenung saja? Beda betul dengan biasanya. Beberapa kalau kau menengok ke Parangtritis dan kelihatan takut-takut, beberapa kali menarik napas panjang dan kau agak pucat. Ada apakah, Sih?"
Tiba-tiba Slamet bertanya. Memang disamping kesukaannya akan filsafat dan tembang, Slamet memiliki ketelitian dan pandang mata yang tajam. Sekarsih nampak terkejut, menatap wayah Slamet dengan bingung, lalu berpaling kepada pamannya. Pak Loka juga menarik napas panjang dan kakek pendiam ini berkata:
"Tidak apalah, Sih. Kepada tiga orang sahabat ini boleh saja kau bicara. Malah kita harus minta bantuan mereka."
Segera Slamet, Bejo dan Rebo mendekat dan dengan penuh perhatian siap mendengarkan penuturan Sekarsih. Beberapa kali gadis itu menarik napas panjang, lalu berkata :
"Terjadinya pagi, tadi. Karena hari ini dengan paman hendak mencari karangan di sini, maka pagi tadi aku tidak mencari jingking. Jingking pendapatan kemarin pagi-pagi benar kugoreng lalu kuantarkan kepada Mbok Nah di warung langgananku itu."
Ia berhenti sebentar dan tiga orang pengail itu mengangguk-angguk menyatakan tahu akan Mbok Nah warung nasi pecel di pantai Mancingan.
"Aku buru-buru pulang karena hendak membakar singkong dan merebus pisang yang hendak kubawa kesini. Dan dalam perjalanan inilah, dekat pantai, aku melihat dua orang laki-laki kota""
"Hemm", lalu bagaimana?"
Rebo tak sabar. Slamet dan Bejo saling lirik, mereka membayangkan dua orang laki-laki, seorang bergigi emas, yang kedua bersuara parau.
Sekarsih melanjutkan ceritanya, dengan kata-kata bersahaja, akan tetapi justru kesederhanaannya inilah yang membuat ia amat menarik hati dalam segala gerak-geriknya. Ketika ia mula-mula melihat dua orang laki-laki itu berjalan menghampirinya, ia menganggap bahwa mereka itu hanya dua orang pelancong yang bermalam di Parangtritis dan yang bangun pagi-pagi untuk melihat munculnya matahari seperti yang sering ia lihat dilakukan orang-orang kota yang berkunjung kesitu. Bahkan ketika dua orang itu menegurnya dengan kata-kata "Selamat pagi,"
Iapun masih menganggap biasa, karena sudah seringkah ia menerima salam dan kata-kata manis dari laki-laki berpakaian gagah.
"Selamat pagi"
Iapun menjawab. Akan tetapi ia mulai merasa tak senang ketika melihat bahwa dua orang itu sengaja berdiri menghadang didepan, tersenyum-senyum menyeringai"
"Nona bernama Sekarsih, bukan?"
Tanya si gigi emas sambil tersenyum lebar, agaknya berusaha sedapat mungkin memamerkan gigi emasnya di dalam cuaca yang masih agak gelap itu. Ketika Sekarsih mengangguk tanpa berkata apa-apa, orang yang bersuara parau berkata:
"Perkenalkan, kami adalah orang-orang Jogja, aku bernama Picis dan temanku ini bernama Rawit."
Sekarsih mengangguk dan hendak melanjutkan perjalanannya, akan tetapi Picis sengaja melangkah ke depan Sekarsih.
"Eh, nanti dulu, nona Sekarsih. Kami belum puas bercakap-cakap denganmu. Kau suka berkenalan dengan kami, bukan?"
"Aku suka berkenalan dengan siapa saja, akan tetapi aku banyak pekerjaan, harap jangan menggangguku. Biarkan aku pergi,"
Kata Sekarsih dengan kata-kata sederhana setengah kasar. Akan tetapi lagi-lagi mereka mengadang dan sekarang si Gigi Emas yang jelas dari pandang matanya memperlihatkan kekaguman akan kecantikan gadis ini, berkata sambil tersenyum.
"Harap yangan marah-nona manis. Kami hanya ingin mengetahui, siapa ayahmu? Masih hidupkah? Dan tinggalnya dimana?"
Biarpun hatinya tak senang melihat sikap memaksa dua orang itu, dan juga amat terheran-heran mengapa datang-datang mereka ini menanya kan ayahnya, Sekarsih merasa tidak baik kalau tidak menjawab.
"Ayah sudah meninggal dunia, aku hanya hidup dengan Paman Loka. Sudahlah, paman menanti-nanti pulangku..."
Sekarsih dengan gerakan yang amat gesit menerobos antara dua orang itu. Dua orang itu kaget dan tidak keburu mengadang, maka gadis itu dapat melalui mereka. Akan tetapi tiba-tiba si gigi emas memegang lengan Sekarsih.
"Heeitt, nanti dulu nona Sekarsih""
"Lepaskan aku! Lepaskan!"
Sekarsih meronta-ronta merenggutkan lengannya. Pada saat itu terdengar suara berat mengejek:
"Dua orang buaya kota datang mengganggu gadis pantai? Benar tak tahu malu!"
Rawit dan Picis kaget sekali, cepat memutar tubuh dan ternyata yang menegur mereka adalah seorang nelayan berpakaian hitam yang bertubuh kokoh kuat. Nelajan ini adalah seorang setengah tua yang bermata tajam, akan tetapi bibirnya tersenyum bodoh. Dua orang itu tentu saja menjadi marah sekali.
"Nelayan goblok, pergi kau!"
Rawit menggunakan tangan kanannya mendorong dada nelayan itu. Akan tetapi dengan tangkas nelayan itu menangkisnya.
"Eh, berani melawan, ya? Minta dipukul mampus kau?"
Rawit membelalakkan mata dan kedua tangannya dikepal.
"Kalian berdualah yang minta dipukul mampus."
Nelayan itu menjawab.
"Keparat!"
Rawit menerjang dengan pukulannya yang kuat ke arah muka lawannya. Dari gerakananya Rawit dapat diketahui bahwa dia adalah seorang jagoan berkelahi, pukulannya keras dan cepat. Akan tetapi alangkah marahnya ketika lawannya yang dimakinya nelayan goblok tadi dengan sekali miringkan kepala sudah dapat mengelak dari serangannya. Ia menjadi naik darah dan mengulang serangannya, kini lebih gencar lagi.
"Setan tak tahu diri!"
Nelayan itu marah ketika akhirnya dadanya terkena pukulan juga, membuat ia terhuyung ke belakang. Ketika Rawit mendesak, tiba-tiba kakinya melayang ke depan.
"Ngekk!"
Ujung kaki si baju hitam itu dengan tepat "memasuki"
Perut atas Rawit, mendatangkan rasa mulas, sesak napas, dan mau muntah. Rawit pringisan, membungkuk dan menekan-nekan ulu hatinja. Picis yang tadinya hanya menonton saja karena merasa yakin bahwa temannya yang sudah terkenal jagoan seperti dia itu pasti akan dapat merobohkan si pengganggu, menjadi marah bukan main.
"Nelayan busuk!"
Makinya dan dari belakang ia memukul.
"Blegg!"
Punggung si baju hitam terpukul, akan tetapi tubuhnya amat kuat sehingga pukulan ini pun hanya membuat dia terhuyung, tapi tidak sampai merobohkannya.
"Pengecut curang!"
Makinya dan bagaikan seekor banteng terluka dia membalas. Dua-tiga kali Picis dapat menangkis, akan tetapi pukulan keempat kalinya dengan tangan kanan tepat mengenai dagunya, membuat Picis mengeluarkan suara seperti orang mendengkur dan terjengkang roboh diatas pasir.
"Awas belakang,...!"
Sekarsih menjerit ketika melihat Rawit si Gigi Emas mengayun sebuah tongkat perdek menghantam kepala si baju hitam dari belakang.
Baiknya Sekarsih menjerit, kalau tidak tentu kepala itu akan termakan kayu yang keras. Si baju hitam ketika mendengar jeritan ini cepat membungkuk sehingga kayu itu tidak mengenai kepalanya melainkan mengenai punggungnya. Cukup keras membuat ia terjungkal, akan tetapi segera dengan sigapnya si baju hitam dapat bangun kembali. Pukulan kayu ke dua sudah menyambar ke arah muka. Dengan trengginas si baju hitam miringkan tubuh, tangan kanan di susulkan menyambar ke arah tangan kanan lawan jang lewat disisihnya, tepat memukul pergelangan tangan, sedangkan tangan kiri dihantamkan kedepan, tepat mengenai mulut.
"Aduhhh...!"
Tongkat pendek terlepas dari tangan si Gigi Emas dan mulutnya berdarah, giginya copot dan malang baginya, yang copot justru gigi emasnya!
Rawit sudah bangkit kembali, akan tetapi melihat Picis juga kalah, malah berdarah mulutnya, kemudian melihat si baju hitam itu dengan mata mendelik kini berdiri dengan tongkat pendek itu di tangan, siap menerjang dan berdiri memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang lebar, menakutkan sekali, Rawit lalu memberi tanda dengan mata. Kedua orang itu lari lintang pukang meninggalkan lawannya, nelayan goblok tadi! Nelayan itu melemparkan tongkat pendek ke atas tanah, lalu berpaling, memandang kepada Sekarsih sejenak.
"Terima kasih, pak"
Terima kasih atas pertolonganmu..."
"Tidak apa, nduk. Orang-orang seperti mereka memang harus dibasmi. Apa kau bernama Sekarsih?"
Sekarsih mengangguk.
"Siapakah ayahmu? Dimana tinggalnja?"
Sekarsih melongo. Sampai lama ia tak dapat menjawab. Setelah pertanyaan itu diulang, baru ia menjawab:
"Ajah... sudah meninggal dunia"
Aku hanya tinggal dengan Paman Loka""
Setelah berkata demikian gadis ini lari meninggalkan penanyanya.
Sekarsih Dara Segara Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Demikianlah,"
Ia mengakhiri ceritanya kepada Slamet, Bejo dan Rebo yang mendengarkan penuh perhatian.
"Aku lari pulang. Biarpun sudah menolong ku, nelayan berpakaian hitam itu betul-betul mendatangkan rasa takut. Kenapa dia pun bertanya tentang ayah?"
Rebo mengangguk-anggukkan kepalanya. Leher nya yang panjang seperti mau patah.
"Yang bernama Picis dan Rawit itu tentu dua orang yang datang ke warung Pak Madi. Di sana pun mereka sudah bertanya-tanya tentang kau dan Pak Loka. Adapun si nelayan berbaju hitam itu kalau tidak keliru tentulah Pak Kurdo. Hemmm, kurasa dia pun bukan orang baik-baik."
Pak Loka yang sejak tadi mendengarkan saja sambil mengisap rokok kretek Menara, kini berkata:
"Tentang dua orang kota itu, sikapnya terhadap Sekarsih tidak mengherankan. Banyak sudah yang bersikap seperti itu, kurang ajar melihat gadis muda. Ku rasa, kalau tidak salah, mereka itu tertarik kepada Sekarsih dan ingin mengetahui anak siapa Sekarsih. Yang mengherankan sekali, si baju hitam tadi"
Eh, siapa namanya, Pak Kurdo? Kenapa dia membela mati-matian kepada Sekarsih? Biasanja anak sini tidak berani melawan orang kota, apalagi dikeroyok dua. Gagah benar dia, sudah setengah tua pula. Dan apa maksudnya bertanya tentang ayah Sekarsih?"
Slamet meraba-raba dagunya yang berjenggot pendek, belum setengah senti karena baru seminggu yang lalu dicukurnya. Dia memutar otak. Kejadian yang amat menarik, juga berahasia. Ataukah hanya kebetulan saja? Kebetulan saja Pak Kurdo mengajukan pertanyaan yang sama dengan pertanyaan yang diajukan oleh Rawit dan Picis? Dan kenapa Rawit dan Picis berusaha keras mengetahui keadaan Sekarsih? Sampai bertanya-tanya tentang Pak Loka diwarung Pak Madi? Tak mungkin hal ini mereka lakukan kalau hanya berdasarkan tertarik akan kecantikan Sekarsih saja. Seakan-akan mereka hendak menyelidiki riwayat Sekarsih!
"Mas Slamet, kenapa melamun?"
Tiba-tiba Sekarsih bertanya. Slamet kaget, menoleh tersenyum dan menjawab.
"Ah, tidak apa-apa, Sih. Hanya pesanku, mulai sekarang berhati-hatilah kau jangan pergi jauh meninggalkan rumah seorang diri. Lebih baik bersama Pak Loka. Sekarang banyak berkeliaran orang-orang jahat"
"Hemmm, kalau aku tidak salah"
Yang jahat seperti itu hanyalah orang-orang kota saja"
Selama hidupku di pantai tak pernah ada orang-orang sejahat mereka..."
Kata Pak Loka. Slamet dan teman-temannya saling pandang, tidak menjawab akan tetapi di dalam hati mereka harus menerima kebenaran kata-kata ini. Tiba-tiba kelihatan Pak Madi datang ke batu karang itu berlari-lari. Dari jauh ia sudah melambai-lambaikan tangan. Slamet dan dua orang temannya, juga Pak Loka dan Sekarsih, cepat berdiri lalu menyambutnya berlari-lari.
"Ada apa, pak?"
Tanya Slamet yang lari paling depan.
"Jangan-jangan kakap besar yang kudapat tadi terbakar hangus!"
Rebo masih sempat berkelakar sambil melangkah dengan kakinya yang panjang-panjang.
"Lekas tolong... orang muda pertapa itu... jangan-jangan dia mati""
Kata Pak Madi.
"Lho, kenapa dia...?"
Sambil berlarian menuju gua, Slamet bertanya.
"Entah, kudapati dia sudah rebah mengaduh-aduh, badannya panas, sekarang pingsan..."
Sesampainya didalam Guwolangse, mereka melihat pemuda yang kemarin masih duduk bersila seperti patung itu sekarang rebah miring. Wajahnya pucat sekali, napasnya terengah-engah. Slamet dan dua orang temannya bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, akan tetapi tidak demikian dengan Pak Loka dan Sekarsih.
Pak Loka yang tenang itu ternyata mempunyai banyak pengalaman dalam menghadapi orang-orang sakit payah sedangkan Sekarsih pun banyak pengalamannya dalam hal merawat orang-orang sakit. Semua ini berkat pengalaman mereka ketika dahulu daerah Gunung Kidul terserang bencana kelaparan dan wabah penyakit. Paman dan keponakan ini sudah terkenal sebagai orang-orang yang ringan hati dan tangan dalam menolong mereka yang tertimpa kesengsaraan. Tentu saja Slamet dan dua orang temannya itu terheran-heran ketika mereka melihat Pak Loka memeriksa orang muda tadi.
"Dia bukan ahli tapa, tak kuat berkosong perut. Ia harus dirawat baik-baik,"
Kata Pak Loka yang cepat menambahkan : "Kalau tak salah, dia masuk angin dan terserang demam."
"Kalau begitu, dia harus dibawa naik, paman. Tak baik meninggalkan dia sendirian saja di gua ini,"
Kata Sekarsih. Pamannya mengangguk.
"Memang begitulah. Kita harus membawanya naik. Biar untuk sementara, dia kita rawat dirumah. Anak ini terlampau banyak berprihatin, hemmm... kalau tak salah, ia telah dibuat kecewa."
Pak Loka dan Sekarsih membatalkan niat mereka mencari rumput laut.
Dengan dibantu Pak Madi, paman dan keponakan ini menggotong tubuh yang lemah dan pingsan itu dan membawanya keluar gua, terus dibawa merambat keatas. Pekerjaan seperti ini hanya mungkin dapat dilakukan oleh orang-orang ahli. Baiknya Pak Loka, Sekarsih dan Pak Madi yang melakukannya. Kalau orang-orang biasa, kiranya dengan tenaga enam orang belum tentu dapat menggotong orang naik keatas. Slamet dan dua orang temannya tadinya hendak membantu, akan tetapi dicegah oleh Pak Loka. Betapun juga, semangat dan nafsu mereka untuk memancing sudah banyak berkurang setelah mereka mendengar penuturan Sekarsih tadi dan kemudian melihat pertapa muda yang jatuh sakit.
Setelah bermufakat mereka lalu berkemas, kemudian tanpa menanti kembalinya Pak Madi, mereka membagi-bagi beban dan meninggalkan tempat itu, merayap naik keatas. Tujuh ekor ikan yang cukup besar dan sudah diasap mereka bawa pula. Karena masih merasa penasaran dan hendak melihat bagaimana keadaan orang muda tadi selanjutnya, Slamet dan dua orang temannya segera pergi berkunjung ke rumah Sekarsih setelah menaruh semua perbekalan mereka di warung Pak Madi yang juga masih belum pulang. Dan di rumah Sekarsih mereka mendengar berita yang aneh lagi.
Ternyata ketika Pak Loka dan Sekarsih pulang menggotong tubuh pemuda itu, dibantu oleh Pak Madi, setibanya di rumah mereka kaget sekali melihat pintu rumah mereka sudah dibuka orang. Keadaan di dalam rumah diobrak-abrik, segala apa diawut-awut. Jelas bahwa ada orang memasuki rumah dan mencari sesuatu. Tempat pakaian Sekarsih dan Pak Loka awut-awutan semua, akan tetapi tak sehelaipun pakaian lenyap, malah ketika diperiksa tidak ada sebuah pun benda berharga hilang dari rumah.
"Barangku tidak ada yang hilang, Sih. Bagaimana dengan pakaian-pakaianmu? Ada yang hilangkah?"
Tanya Pak Loka.
"Tidak ada, paman. Hanya... hanya buku itu... hilang..."
Keduanya saling pandang, terheran-heran dan berkuatir. Pak Loka mengangguk-angguk dan keningnya. Akan tetapi selanjutnya karena ada pekerjaan, yaitu merawat pemuda yang masih pingsan, mereka tidak memusingkan hal itu lebih jauh. Berbeda dengan Slamet dan teman-temannya. Ketika mendengar akan hal ini mereka menjadi berkuatir sekali.
"Kau dan keponakanmu agaknya diselidiki orang, pak."
Kata Slamet.
"Benar-benar aneh sekali dan amat mencurigakan. Akan tetapi jangan kuatir, pak. Kami akan membantumu kalau sampai terjadi hal-hal yang tidak baik."
Tiba-tiba Rebo menowel tangan Slamet dan Bejo. Keduanya menoleh dan melihat kearah yang dipandang Rebo, dan mereka menjadi terharu. Sebagai orang-orang yang berpengalaman mereka melihat betapa Sekarsih sedang merawat pemuda pertapa itu dengan mesra, melihat betapa tangan gadis itu dengan gerakan halus menggunakan kain yang dicelup air panas mengusap-usap dahi orang sakit itu, betapa pandangan mata Sekarsih bagaikan melekat pada wajah si sakit yang pucat dan tampan itu. Ketika mereka mendekat untuk menengok si sakit, baru Sekarsih seperti sadar dan dengan muka merah ia tersipu-sipu menarik tangannya, lalu sebagai alasan akan sikapnya tadi ia berkata lirih:
"Kasihan sekali dia..."
Slamet mengangguk-angguk membenarkan, hanya dengan maksud untuk menenangkan hati dan membantu Sekarsih menghilangkan rasa malunya:
"Memang patut dikasihani muda belia yang malang ini. Ingin aku mengetahui apa gerangan yang menyebabkan dia meninggalkan dunia ramai memasuki tempat terpencil seperti Guwolangse. Masih begini muda"
Hemmm","
Setelah meninggalkan sedikit uang untuk membantu membeli obat bagi yang sakit, Slamet dan teman-temannya lalu meninggalkan rumah Pak Loka. Sebelum pergi Slamet bertanya:
"Jadi hanya sebuah buku yang hilang, pak? Buku apa namanya? Barangkali saja buku ini akan dapat membawa kita menemukan orang yang telah memasuki rumahmu."
"Anu, nak. Buku"
Eh, apa Sih, nama buku itu?"
"Buku berjudul "Sepanjang Jalan Raya", mas Slamet. Sudah seringkali aku membacanya, kalau tidak keliru pergarangnya bernama... Jepri... eh, pakai Parnol-Parnol begitu, sukar sih nama orang asing. Akan tetapi penterjemahnya adalah K. St. Pamoencak, aku ingat benar."
Slamet mengangguk-angguk. Dia seorang kutu buku, tentu saja hafal sebagian besar buku-buku sastera.
"Kau pernah membacanya? Coba katakan, siapa pelaku dalam cerita itu?"
"Oh, aku ingat benar. Namanya Peter..."
Jawab Sekarsih.
"Tahu aku sekarang. Tak salah lagi. Buku itu "Sepanjang Jalan Raya", karangan Jefferi Farnol diterjemahkan oleh K. St. Pamoencak, terbitan Balai Pustaka. Baiklah, akan kuingat-ingat benar buku itu."
Maka pergilah tiga orang pengail itu, kembali ke warung Pak Madi. Slamet yang ingin bermain ditektip tidak pergi begitu saja. Lebih dulu ia berputar-putar diperkampungan itu dan bertanya sana-sini. Akhirnya usahanya ini memperoleh hasil. Ada orang kampung situ yang melihat bahwa belum lama tadi sebelum Pak Loka pulang ia melihat seorang laki-laki bertubuh tegap berpakaian hitam lewat didekat rumah Pak Loka!
Slamet dan teman-temannya berunding di dalam warung Pak Madi. Rebo dan Bejo mendengar kan pendapat Slamet yang diantara mereka dianggap paling cerdik.
"Tak salah lagi,"
Kata Slamet.
"Tentu ada rahasia-rahasia aneh mengelilingi diri Pak Loka dan Sekarsih. Kalau perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan terhadap diri Sekarsih dan di dalam rumah Pak Loka hanya berdasarkan kecantikan Sekarsih, sungguh amat mustahil."
"Aku lebih mencurigai Pak Kurdo itu,"
Kata Rebo mengangguk-angguk.
"Jangan-jangan dia itu bukan seorang nelayan, hanya penjahat menyamar."
"Cocok dengan dugaanku,"
Kata Bejo sambil menjedot rokoknya.
"Tentu Pak Kurdo yang mencuri buku itu. Akan tetapi untuk apa?"
"Aku sendiripun tidak tahu dan tak dapat menduga-duga,"
Kata Rebo.
"Kawan-kawan, kita tak boleh mendiamkan saja Sekarsih dan pamannya diancam keselamatannya. Menurut perkiraanku, didalam buku itulah terletak rahasia semua ini. Aku sendiri menaruh curiga kepada Pak Kurdo. sekarang lebih baik kita perpanjang kediaman kita disini, perlu kita menyelidiki keadaan Pak Kurdo. Kalau memang ada bukti-bukti dia penjahat, kita harus minta bantuan polisi,"
Kata Slamet. Semua setuju dan mulailah mereka menjelidiki.
Dengan mudah, karena perkampungan disekitar Mancingan memang tidak besar, mereka mendapat keterangan bahwa Pak Kurdo mondok di rumah Pak Siswo, yang juga membuka warung kecil dekat pemandian air tawar. Malam itu Slamet, Rebo, dan Bejo melakukan hal yang selama hidup mereka belum pernah mereka lakukan, yaitu... menjadi pencuri! Dengan hati-hati mereka mencuri masuk kedalam warung Pak Siswo yang nampak sunyi. Setelah mendapat kenyataan bahwa Pak Siswo yang duda itu tidak berada dirumah, demikianpun Pak Kurdo tidak kelihatan, Slamet dan Bejo memasuki rumah dengan jalan memaksa pintu belakang terbuka. Adapun Rebo tinggal diluar untuk menjaga.
Mereka mendapatkan kamar Pak Kurdo yang kosong. Hanya sehelai sarung tergantung dibilik, dua bungkus rokok dialas tempat-tidur bambu, sebuah topi caping di atas korsi. Slamet membuka-buka tikar dan... dengan girang ia mengambil sebuah buku. Dibaliknya lembaran buku itu. Tak salah. Sebuah buku berjudul "Sepanjang Jalan Raya"
Karangan Jeffery Farnol! Segera ia mengajak Bejo keluar dari kamar itu dan ternyata di luar pun aman saja. Rebo segera bertanya dengan suara perlahan:
"Sudah dapatkah?"
"Sudah, hayo pergi..."
Kata Bejo.
"Sstttt..."
Slamet menarik tangan kedua orang temannya diajak menjelinap ketempat gelap. Terdengar langkah kaki orang, akan tetapi orangnya tidak tampak. Hanya didalam gelap terdengar suara ketawa:
"Hah-hah-hah-hah..."
Suara ketawa yang besar dan menyeramkan.
"Iblis..."
Rebo mengkirik (meremang).
"Sstt...hayo kita kejar dia!"
Slamet mendahului dua orang temannya berlari mengejar kearah suara ketawa. Akan tetapi tiada bayangan siapapun juga. Terpaksa mereka lalu kembali ke warung Pak Madi. Setibanya di warung, mereka bertiga cepat membawa buku kedalam bilik, dan memeriksa. Akan tetapi mereka kecewa karena didalam buku yang sudah tua dan kuning itu tidak ada apa-apa yang menarik-hati. Buku tua biasa saja.
"Betapapun juga, kita harus mengembalikannya kepada Sekarsih besok, sekalian menengok orang yang sakit itu,"
Kata Slamet. Malam itu tidak lerjadi sesuatu dan pada keesokan harinya, pagi-pagi benar Rebo dan dua orang temannya sudah pergi menuju kerumah Pak Loka. Ditengahi jalan mereka bercakap-cakap tentang peristiwa aneh yang mereka hadapi.
"Sstt"
Lihat tuh, apa bukan dia?"
Tiba-tiba Bejo menudingkan telunjuknya kearah pantai laut. Betul saja, di sana, di atas pasir di mana air laut menipis, kelihatan berdiri seorang laki-laki berpakaian hitam, seorang laki-laki tinggi besar yang berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan kedua tangan bersedekap. Orang itu dari jauh saja dapat dikenal. Pak Kurdo yang berdiri seperti patung.
"Orang aneh""
Kata Slamet.
"Misterius..."
Kata Rebo.
"Penuh rahasia""
Kata Bejo. Mereka lalu melanjutkan perjalanan kerumah Pak Loka.
Dengan lega hati tiga orang ini melihat pemuda pertapa yang kemarin sakit itu kini telah duduk di bangku depan rumah. Di depannya duduk Sekarsih dan Pak Loka. Pemuda ini masih agak pucat, akan tetapi matanya bersinar-sinar, sama sekali tidak memperlihatkan bekas sakit atau patah hati. Benar-benar seorang pemuda yang tampan. Akan tetapi diam-diam Slamet tidak suka melihat sepasang mata pemuda itu yang dianggapnya terlampau tajam, tak sewajarnya, dan bergerak-gerak liar ke kanan kiri membayangkan otak yang cerdas luar biasa. Sekarsih berdiri dengan wajah berseri melihat ke datangan tiga orang sahabatnya. Dengan senyum manis dan wajar gadis itu memperkenalkan pemuda tadi:
"Mas Sutejo sudah sembuh kembali. Mas, inilah tiga orang sahabat yang kuceritakan padamu tadi."
Sutejo, pemuda itu, cepat bangkit berdiri dan mengulurkan tangannya.
"Banyak terima kasih atas segala bantuan saudara-saudara kepadaku ketika aku sakit dibawah sana,"
Katanya.
Rebo dan Bejo senang melihat kesopanan dan keramahan pemuda ini, akan tetapi diam-diam Slamet merasa bahwa pemuda ini bangun terlalu sigap dan cepat bagi seorang yang habis sakit. Ah, jangan-jangan semua perasaanku tak senang ini terjadi karena iri hati dan cemburu melihat dia begitu baik dengan Sekarsih? Slamet adalah seorang ahli filsafat, maka dirinya sendiripun tak luput dari pada penilaiannya. Maka setelah menuduh bahwa perasaan curiganya itu timbul dari iri hati dan cemburu, cepat-cepat ia menindas perasaannya dan ikut bercakap-cakap dengan gembira. Tanpa di minta lagi Sutejo segera menceritakan keadaan dirinya.
Dia seorang mahasiswa yang gagal, karena tidak kuat membiayai keperluannya. Sudah jatim piatu pula, tidak ada yang diandalkan. Mahasiswa hukum tingkat tiga yang gagal. Mula-mula ia masih dapat membiayai studinya dengan bekerja di waktu malam. Akan tetapi lama-kelamaan ia merasa tidak kuat. Kalau tekun bekerja, studinya mundur, kalau tidak bekerja, tidak ada uang untuk biaya. Akhirnya tentamennya gagal selalu dan ia putus asa, kemudian ia nekat hendak bertapa di Guwolangse. Pandai ia bercerita sampai-sampai Rebo dan Bejo menjadi terharu dan sedih sekali. Mereka mengeluar kan kata-kata hiburan yang canggung. Tidak demikian dengan Slamet. Ia berkata dengan suara tenang:
"Sungguh tak baik seorang pemuda berputus asa menghadapi kegagalan. Kegagalan hidup adalah ujian, malah merupakan jembatan kearah sukses. Maka harus dihadapi dengan tabah. Ketidak mungkinan melanjutkan studi di fakultas pun tak perlu disedihi kalau memang tidak ada jalan lain lagi untuk melanjutkan, karena kurasa pengejaran ilmu pengetahuan bukan hanya melalui bangku-bangku kuliah. Tak perlu putus asa, tak perlu nekat. Hidup terlampau indah untuk ditukar dengan kekecewaan hanya karena tak dapat melanjutkan studi."
Sutejo memandang kagum, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kau betul sekali, Mas Slamet. Terima kasih atas semua wejanganmu. Memang, sekarang apalagi, terlihat olehku betapa aku telah menjeleweng, terlihat olehku betapa indah hidup ini. Kiranya banyak sekali terdapat keindahan diluar fakultas, hemmm..."
Dan matanya yang lincah itu mengerling penuh arti kearah Sekarsih, sedangkan bibirnya yang tipis tersenyum! Kiranya hanya Slamet yang merasai ini semua, karena bagi Rebo dan Bejo, mereka hanya merasa girang bahwa pemuda ini sudah insaf akan kesalahan nya, sudah takkan berlaku nekat lagi.
"Hushh... kau iri... kau cemburu... tolol...!"
Slamet memaki diri sendiri. Kemudian ia bertanya kepada Pak Loka dan Sekarsih:
"Apakah semalam tidak terjadi apa-apa lagi yang menarik hati?"
Pak Loka dan Sekarsih menggeleng kepala.
"Mas Slamet, bagaimana dengan buku kami yang hilang itu? Sudah ada keterangankah?"
Slamet melirik kearah Sutejo yang memandang penuh perhatian. Melihat Slamet melirik kearahnya, Sutejo berkata dengan senyum:
"Dik Sekarsih sudah menceritakan kepadaku akan semua pengalamannya yang aneh-aneh, mas Slamet. Akupun merasa heran sekali siapa gerangan orangnya yang datang mencuri di rumah dik Sekarsih."
Karena pemuda ini sudah tahu semua, kiranya tak perlu dirahasiakan lagi. Ia mengeluarkan buku "Sepanjang Jalan Raya"
Dan berkata:
"Inikah bukumu yang hilang itu?"
Sekarsih menerima buku itu, membuka-buka halamannya bersama Pak Loka. Sementara itu, Sutejo tiba-tiba bertanya kepada Slamet:
"Dimana kau menemukannya kembali, mas?"
Ditanya secara tiba-tiba ini, Slamet tetap tenang dan menjawab:
"Ah, kebetulan saja. Kudapatkan diatas pasir dekat pantai..."
Tentu saja jawaban ini membuat Rebo dan Bejo menjadi kaget dan heran, akan tetapi mereka tidak bertanya apa-apa.
"Mas Slamet, ini bukan buku kami!"
Pernyataan Sekarsih ini mengejutkan dan mengherankan hati benar bagi Slamet dan teman-temannya.
Sekarsih Dara Segara Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Betul, ini kalau tak salah bukan buku kami."
Pak Loka membenarkan.
"Memang serupa, akan tetapi...buku kami itu lebih buruk dan ada tulisan-tulisan di sebelah dalam sampulnya. Malah ada beberapa bagian sudah robek, tapi yang ini masih lengkap,"
Kata pula Sekarsih.
"Mas, dimana kau mendapatkan ini?"
Untuk sesaat Slamet tak dapat menjawab, kehilangan akal. Akan tetapi ia mengerutkan kening dan berkata sungguh-sungguh:
"Di dekat pantai. Heran benar, mengapa bukan bukumu? Tak salah lihatlah engkau, Sih?"
"Tak mungkin salah, buku itu kukenal benar!"
Jawab Sekarsih.
"Kalau begitu, biar kami mencari lagi."
Slamet lalu menganjak teman-temannya pergi dari situ sambil membawa buku "Sepanjang Jalan Raya"
Yang katanya bukan milik Sekarsih yang hilang itu. Mereka tak habis heran, apa lagi Rebo dan Bejo.
"Sukar-sukar menjadi maling, kiranya mendapat kan buku yang palsu."
Rebo menggerutu. Akan tetapi Slamet berpikir lain.
"Kau ingat suara ketawa itu? Sekarang aku mengerti maknanya. Suara itu sengaja mentertawa kan kita! Kurang ajar benar Pak Kurdo itu. Tentu dia seorang penjahat kawakan yang sengaja mempermain kan kita."
Rebo marah, mengepal-ngepal tinju.
"Awas kau, Pak Kurdo!"
Malam itu tiga orang sekawan ini melakukan penyelidikan lagi. Mula-mula mereka menjelidiki tentang dua orang kota yang bernama Rawit dan Picis. Memang betul dua orang ini kemarin bermalam diwarung "Indah,"
Akan tetapi menurut keterangan pemilik warung, pagi-pagi tadi mereka sudah pergi lagi. Karena tidak bisa mendapatkan keterangan tentang dua orarg itu, Slamet mengajak teman-temannya untuk melakukan pengintaian pada warung di mana Pak Kurdo mondok.
"Kita harus dapat membongkar rahasianya."
Bisik Slamet.
"Dan kalau memang berbukti dia yang mencuri buku, kita harus dapat merampasnya kembali dan menjerahkannya kepada polisi."
Mereka memang sudah bersiap-siap, maka sebelum melakukan pengintaian ini mereka tadi sudah makan sekenyangnya. Siapa tahu pengintaian ini akan berjalan sampai jauh malam.
Akan tetapi usaha mereka kali ini berhasil. Menjelang tengah malam, mereka melihat bayangan tinggi besar keluar dari pintu belakang, lalu bayangan itu berjalan sambil bersenandung, menembang. Suara Pak Kurdo! Bagaikan tiga siluman, Rebo dan dua orang temannya mengikuti Pak Kurdo. Untungnya malam itu disinari bulan muda sehingga tak berapa gelap. Dapat dibayangkan betapa keras debar jantung mereka ketika mendapat kenyataan bahwa Pak Kurdo berjalan menuju kerumah Sekarsih!
"Hemmm, tertangkap basah sekarang!"
Bejo berkata menggigit bibirnya.
"Awas, rasakan kau sekarang!"
Kata Rebo sambil mempersiapkan senjatanya, yaitu... senar pancing lengkap dengan pancing dan bandulnja! Yangan dikira ini senyata yang tidak ampuh, dia menjom-bong tadi didepan kawan-kawannya, ikan hiu sebesar paha yang terkenal ganas kalah oleh senyata ini, apalagi baru seorang-dua orang penjahat. Huh!
Akan tetapi, tidak mereka sangka sama sekali, Tiba-tiba bulan tertutup awan dan orang yang mereka ikuti lenjap didalam gelap. Tiga sekawan ini tidak menjadi bingung karena mereka sudah menduga keras bahwa Pak Kurdo tentu pergi kerumah Sekarsih, maka mereka langsung saja menuju ke perkampungan itu. Malam telah larut, semua penduduk telah tidur. Keadaan sunyi sekali. Bulan telah muncul kembali dari balik awan. Juga rumah Sekarsih sunyi. Beberapa kali mereka berjalan mengelilingi rumah, namun tidak melihat atau mendengar sesuatu. Bayangan Pak Kurdo lenyap.
"Setan, kemana dia?"
Slamet berbisik, penasaran.
"Sialan, dia tadi menghilang. Jangan-jangan tidak ke sini?"
Bisik Bejo. Setelah menanti beberapa lama dan tidak juga mendapatkan seuatu; tiga orang ini terpaksa meninggalkan rumah Sekarsih. Mereka berjalan dengan hati kecewa. Tiba-tiba Bejo menudingkan telunjuknya kedepan:
"Ssttt...itu dia..."
Sesosok bayangan orang berjalan dari depan.
"Tangkap saja, paksa dia mengaku!" Rebo tak sabar lagi, pancing dan bandul sudah diputar-putar ditangan kanannya. Slamet merasa ada baiknya juga menakut-nakuti Pak Kurdo dan memaksa dia mengaku tentang buku yang dipalsu. Tiga orang itu menjelinap ditempat gelap dan begitu bayangan itu datang dekat, mereka melompat dan dilain saat orang itu sudah mereka ringkus bertiga. Orang itu mencoba untuk melepaskan diri, namun sia-sia.
"Eh... eh... apalagi ini...? Lepaskan aku""
Orang itu berseru.
"Lho! Ini... Pak Loka...!"
Slamet dan teman-temannya kaget sekali dan melepaskan ringkusan mereka.
"Wah, darimana kau, pak? Malam-malam kok berada disini?"
Bejo bertanya, heran dan juga malu karena mereka telah salah-tangkap.
"Aduh, kiranya nak Rebo, nak Slamet dan nak Bejo. Waah, bikin kaget orang-tua saja. Kukira dia lagi yang menangkapku..."
"Dia siapa, pak?"
Tanya Slamet.
"Dia...dia setan barangkali. Tadi aku keluar dari rumah perlu kebelakarg, eh... mendadak aku dipegang, mulutku dibungkam dan aku diseret sampai kesini, aku"
Aku dipukuli... dipaksa mengaku tentang buku catatan... dipaksa mengaku tentang Sekarsih..."
"Jahanam...!"
Bejo marah sekali dan cepat ia menengok kekanan-kiri. Melihat kalau-kalau orang yang melakukan hal itu masih ada disana. Akan tetapi di kanan-kiri tempat itu sekelilingnya sunyi saja, kecuali suara gema ombak yang bergemuruh di pantai.
"Dia siapa, pak?"
Tanya Slamet penuh gairah.
"Entahlah, ia berkedok, akan tetapi kuat bukan-main. Dia kueljawab sebetulnya bahwa memang buku yang dia maksudkan itu telah lenjap dicuri orang elan tentang Sekarsih, tentu saja aku mengaku terus terang bfthwa Sekarsih adalah keponakanku, bahwa ayah-bundanya telah meninggal..."
Orang-tua ini terengah-engah, nyata ia marah dan penasaran.
"Kurang ajar benar, orang-tua dipukuli, ditampari sesukanya. Iblis dia...!"
Slamet dan teman-temannya menduga keras, bahkan yakin, bahwa yang melakukan hal itu tentulah Pak Kurdo. Mereka segera mengantarkan Pak Loka pulang, kemudian langsung mereka menuju kerumah Pak Kurdo. Tak boleh orang itu dibiarkan saja mengganas, demikian kata Bejo.
"Sekarang juga kita harus menghajarnja!"
Kata Rebo.
"Akan tetapi, kurasa itu kurang bijaksana. Pertama, kita belum memperoleh bukti nyata. Kedua, tak baik malam-malam mendatangi rumah orang dan membikin ribut seperti kelakuan penggedor-gedor."
Slamet berkata hati-hati.
"Lebih baik kita mengintai disana, menanti sampai pagi, barulah kita tegur dia dengan berterang saja."
Akan tetapi, ketika mereka tiba diatas pasir pantai tak jauh dari Mancingan, mereka melihat bayangan orang menggeletak diatas pasir itu. Cepat mereka berlari menghampiri dan dengan lampu battery Rebo menerangi tempat itu. Betapa kaget hati mereka melihat..., Pak Kurdo menggeletak disitu dengan muka berdarah. Keningnya terluka dan nelayan itu mengerang lemah. Pakaiannya sudah basah-kujup karena ia terbaring di pantai yang dapat dicapai air, maka tiap kali air datang ia menjadi basah semua.
Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo