Perangkap 1
Perangkap Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
"Wirrrr... Cap...!"
Keng Han cepat mengelak ketika pendengarannya yang terlatih menangkap suara angin menyambar itu dan pandang matanya yang tajam melihat berkelebatnya senjata yang menyambar ke arah lehernya. Pisau belati itu terbang lewat dan menancap di daun pintu depan rumahnya. Dia meloncat ke pelataran, akan tetapi malam itu gelap dan pohon-pohon di pekarangan depan dan di tepi jalan akan mudah sekali menyembunyikan orang. Diapun kembali ke pintu depan dan ternyata ada sebuah sampul kecil terikat pada gagang pisau. Dan surat di dalamnya singkat saja, dibacanya dengan jantung berdebar,
"Kura-kura tolol! Isterimu bermain gila dengan laki-laki dan engkau masih enak-enak saja? Tak tahu malu!"
Dari sahabatmu,
Keng Han meremas surat itu, lalu membeberkannya kembali, dan dibacanya sekali lagi, lalu merobek-robeknya menjadi potongan kecil-kecil, dan ditaburkannya di halaman.
"Keparat!,"
Desisnya. Sudah empat kali ini dia menerima surat seperti itu. Sekali ini dia dimaki "kura-kura,"
Makian bagi seorang suami yang diam saja melihat lsterinya dijinai orang lain. Akan tetapi apa yang harus dilakukan terhadap isterinya?
Tidak ada bukti sama sekali! Dan diapun tidak berani bertanya dengan kasar karena baru sebulan yang lalu dia sendiri melakukan suatu penyelewengan yang diketahui isterinya. Dia sendiri telah bermain gila dengan wanita lain dan isterinya mengetahui. Mereka cekcok dan dia mengaku salah, dia sudah minta maaf dan dia berjanji memutuskan hubungan dengan gadis itu. Keng Han duduk di atas kursi di ruangan depan, mempermainkan pisau kecil tadi. Dia tidak takut. Serangan gelap seperti itu tidak berbahaya baginya. Ilmu silat yang dikuasainya sudah tinggi untuk melindungi diri dari serangan gelap seperti itu. Dia termenung. Siapakah orang yang mengaku sahabat-nya dan yang empat kali mengirim berita kepadanya dengan rahasia, memberitahukan bahwa isterinya bermain gila dengan laki-laki lain? Isterinya?
Tidak mungkin. Selama ini isterinya selalu setia dan mencintanya. Akan tetapi memang harus diakuinya bahwa akhir-akhir ini isterinya agak dingin terhadap dia, dan sikap isterinya itulah yang merupakan satu di antara pendorong sehingga dia bermain cinta dengan Liok Bwee, anak perempuan guru silat Tang. Liok Bwee seorang janda kembang, janda muda usia yang panas dan genit, ditinggal mati suaminya yang terbunuh penjahat ketika mengawal barang sebagai seorang piauwsu (pengawal barang kiriman). Liok Bwee yang manis, Liok Bwee yang genit, Liok Bwee yang hangat. Hemm, dia terpaksa memutus hubungannya dengan janda panas itu karena isterinya marah-marah dan mengancam cerai! Dan dia masih mencinta istrinya. Isterinya berbuat serong? Perutnya terasa panas! Kalau saja hal itu benar!
Kalau dia melihat buktinya, akan... akan berbuat apakah dia? Akan di-bunuhnya isterinya! Dibunuhnya pula jahanam yang berani menjamah tubuh isterinya. Cemburu mulai menggigiti hatinya. Dia sudah rela melepaskan janda muda yang membuatnya tergila-gila itu demi cintanya kepada isterinya, dan kini dia mendengar bahwa isterinya berjina dengan laki-laki lain. Akan tetapi, tidak ada bukti sama sekali! Hanya berdasarkan pemberitahuan dari orang rahasia yang tidak mau memperkenalkan dirinya. Bagaimana kalau semua itu hanya fitnah belaka? Betapapun juga, dia haras waspada, dia harus mulai saat ini memperhatikan gerak-gerik isterinya. Malam itu dia baru saja pulang dengan hati yang kesal. Baru saja dia tadi berjumpa dengan Liok Bwee yang agaknya memang sengaja menghadangnya. Liok Bwee marah-marah karena dia memutuskan hubungan cinta.
"Engkau laki-laki yang tidak bertanggung jawab,"
Antara lain Liok Bwee berkata sambil mengucurkan air mata.
"Setelah aku menyambut uluran tanganmu, setelah aku menyerahkan diri, menyerahkan segalanya, engkau kini hendak melepas tangan. Engkau hanya ingin mempermainkan aku!"
"Sungguh mati, bukan maksudku demikian, Liok Bwee,"
Katanya membela diri.
"Aku memang suka kepadamu, aku terus terang saja aku cinta padamu. Akan tetapi engkau tahu bahwa aku sudah tidak bebas lagi, aku sudah beristeri dan isteriku sudah tahu akan hubungan kita dan ia tidak setuju. Aku... aku terpaksa memutus hubungan cinta kita, sebelum terlanjur, sebelum ikatan antara kita terlalu kuat, Liok Bwee."
"Apa kau bilang? Sebelum ikatan antara kita terlalu kuat? Itu anggapanmu, akan tetapi bagi aku, seorang wanita yang telah menyerahkan diri kepadamu, aku tidak mau ditinggalkan begitu saja. Engkau harus bertanggung jawab!"
"Sudahlah, Liok Bwee, kita harus dapat melihat kenyataan. Isteriku sudah mengetahui akan hubungan kita dan ia mengancam cerai, dan aku tidak mungkin menceraikannya, maka... satu-satunya jalan hanyalah memutus hubungan antara kita "
Sambil menangis Liok Bwee pergi meninggalkannya.
"Kau lihat saja akibat-nya, laki-laki tak bertanggung jawab!"
Hanya itulah ucapan Liok Bwee. Dia pulang dengan hati kesal dan kini ditambah lagi dengan surat tentang isterinyal Dia harus melihat bukti! Dia harus dapat menangkap basah isterinya dan laki-laki itu, kalau memang benar isterinya bermain gila dengan laki-laki lain. Semalam dia tidak berani menjamah isterinya yang tidur menghadap dinding. Isterinya masih marah. Dia sendiri gelisah tak dapat tidur sambil mengamati punggung isterinya. Seorang wanita yang memiliki bentuk tubuh menggairahkan, pinggangnya ramping, pinggulnya besar, dan kulit leher di antara rambut hitam itu putih mulus. Timbul gairahnya, namun dia tidak berani mengganggu isterinya yang sedang tidur.
Pada keesokan harinya, dia terbangun dengan kepala pening karena semalam tidurnya gelisah. Isterinya sudah tidak ada di sisinya. Diapun turun dan pergi ke kamar mandi. Di ruangan belakang, di-dapatinya isterinya sudah bersolek. Cantik manis memang wajah isterinya pagi itu. Rambutnya yang disanggul rapi itu berbau harun dan licin oleh minyak. Bajunya kuning berkembang merah, celananya biru muda. Cantik menarik. Lebih cantik dari Liok Bwee yang panas dan genit, Liok Bwee yang termasuk golongan wanita yang mudah dirayu dan ditundukkan. Isterinya tidak seperti Liok Bwee. Tidak! Isterinya pendiam dan selalu sopan, kelihatan alim. Tentu fitnah belaka surat-surat yang diterimanya itu. Kalau Liok Bwee, mungkin saja mengadakan hubungan gelap dengan pria lain, akan tetapi Kui Hwa, isterinya? Rasanya tak mungkin.
"Aku akan pergi ke pasar, berbelanja keperluan sembahyang. Aku pergi agak lama. Sarapan dan makan siang sudah kusediakan di almari, tinggal memanaskan saja nanti."
Terdengar isterinya ber-kata dengan pandang mata masih memperlihatkan sisa kemarahannya.
"Baik,dan hati-hati di jalan,"
Jawab Keng Han, tadinya girang mendengar isterinya mengajaknya bicara, akan tetapi kegirangan itu tersapu lenyap melihat sikap isterinya masih kaku dan marah. Pergi agak lama? Kalimat ini menusuk bagaikan pisau, menyelinap ke dalam pikirannya. Agak lama? Hemm, bukankah ini merupakan alasan? Bukankah terbuka kesempatan bagi seorang wanita kalau pergi lama-lama meninggalkan rumah, untuk berkencan dengan pria lain? Cemburu menyesak di dadanya ketika dia masuk ke kamar mandi. Cepat saja dia mandi dan berganti pakaian, kemudian meninggalkan rumah. Tiba-tiba dia berhenti di luar pintu rumahnya, melihat ada kertas berlipat di ambang pintu. Surat lagi? Jari tangannya agak gemetar ketika dia membungkuk dan memungut surat berlipat itu. Benar, isinya surat yang tulisannya sama dengan surat kemarin.
"Kura-kura tolol. Kau kira ke mana isterimu pergi? Lihat di rumah makan Merah dekat pasar."
Dari sahabatmu.
Seperti kemarin, surat itu dirobek-robeknya dan dengan gemas dia lalu melangkah lebar dan cepat untuk pergi ke arah pasar. Jantungnya berdebar tegang, perutnya terasa panas dibakar cemburu. Benarkah? Benarkah isterinya mengadakan pertemuan dengan kekasihnya di restoran besar itu? Restoran bercat merah yang ada lotengnya. Dirabanya gagang pedang pendek yang terselip di Pinggang dan tersembunyi di balik jubahnya. Pasar itu ramai sekali. Banyak orang berbelanja untuk keperluan sembahyang menjelang hari Ceng-beng, hari untuk berziarah dan bersembahyang di kuburan. Wanita-wanita berpakaian aneka warna memenuhi pasar, dan suara bising seperti sarang lebah diganggu menyambut telinganya.
Akan tetapi Keng Han tidak memperhatikan itu Semua. Perhatiannya tertuju kepada. restoran Merah yang berdiri megah di sebelah kanan pasar. Dia menyelinap di antara orang banyak, menghampiri restoran itu dengan sembunyi-sembunyi. Matanya jelas ditujukan ke arah restoran, penuh selidik, mencari-cari. Dia mendekat dan tiba-tlba kakinya berhenti melangkah, matanya terbelalak memandang ke depan. Di sana, dalam jarak beberapa ratus langkah, hampak Isterinya berjalan bersama seorang laki-laki memasuki restoran! Isterinya Tak salah lagi. Biarpun dia hanya melihat dari belakang, namun wanita itu istrinya! Bentuk badannya dengan pinggul besar dan pinggang ramping itu, gelung rambutnya dengan tusuk konde merah yang panjang, bajunya yang kuning berkembang merah, celananya yang biru muda.
Isterinya, tak salah lagi. Dan laki-laki itu? Sukar mengenalnya karena hanya kelihatan dari belakang. Pakaiannya berwarna kehijauan dengan ikat pinggang hitam. Seorang pria yang masih muda, tubuhnya tegap dan pinggangnya ramping. Benarkah mereka itu jalan bersama memasuki rumah makan? Ataukah kebetulan saja karena memang banyak tamu keluar masuk di rumah makan itu? Tidak, mereka jalan bersama, bahkan beberapa kali tangan mereka saling bersentuhan. Bedebah! Mengadakan pertemuan di muka umum pula. Pantas ada yang mengirim surat kepadanya. Tentu banyak orang tahu. Akan tetapi dia harus bersabar, harus dapat menangkap basah. Kalau hanya jalan bersama saja, belum cukup kuat buktinya bahwa isterinya menyeleweng dengan pria lain.
Kalau saja dia dapat menangkap basah ketika mereka berada dalam kamar! Cukup alasan untuk membunuh mereka. Atau setidaknya melihat mereka makan bersama di satu meja! Dia harus menunggu dan bersabar, biarkan mereka memesan makanan dulu dan sebentar lagi, selagi mereka berdua makan bersama, dia akan masuk ke restoran itu dan menangkap basah mereka! Dengan napas agak memburu dan muka merah dibakar cemburu Keng Han menanti sampai beberapa lamanya, memberi kesempatan kepada pasangan yang masuk ke restoran Merah itu untuk memesan masakan. Setelah memperhitungkan waktu dan menganggap sudah tiba saatnya dia memergoki isterinya dan laki-laki itu sedang makan bersama di satu meja, diapun melangkah lebar menghampiri restoran yang besar itu.
Seorang pelayan menyambutnya, akan tetapi dengan tidak sabar dia mendorong pelayan itu ke samping, matanya seperti mata seekor harimau kelaparan menyapu ruangan bawah di restoran itu. Banyak tamu di situ, akan tetapi tidak nampak isterinya. Mereka tentu naik ke loteng, pikirnya dengan hati panas. Di loteng lebih sepi, tentu enak berpacaran dan berkencan sambil makan minum di loteng itu! Dia menyerbu' loteng, sekali langkah tiga anak tangga dilompatinya. Loteng itu memang sepi seperti dugaannya, di antara puluhan meja itu hanya ada tujuh saja yang terisi. Dia celingukan, akan tetapi tidak nampak isterinya dan laki-laki itu. Di mana mereka? Dia merasa penasaran dan mengamati setiap meja yang terisi tamu.
"Heii, Keng Han..."
Tiba-tiba terdengar teriakan dari sebuah meja di sudut.
"Engkau mencari siapa,?"
Keng Han segera mengenal orang. Seorang sahabatnya yang paling baik, bahkan masih terhitung adik seperguruannya karena Cui Hok, laki-laki tampan yang menegurnya itu, pernah belajar ilmu silat kepada gurunya.
Cui Hok duduk berdua dengan seorang wanita muda, tidak berapa cantik akan tetapi memiliki bentuk badan yang indah, dan mengenakan pakaian yang mewah. Isteri Cui Hok itu, yang baru dikawininya beberapa bulan yang lalu, memang seorang yang kaya raya. Mereka nampak demikian msra, duduk berdua berdekatan sambil menghadapi hidangan yang agaknya belum lama mereka makan. Ditegur demikian oleh temannya, wajah Keng Han berubah merah. Tentu saja tak mungkin mengaku bahwa dia mencari-cari isterinya yang dilihatnya memasuki restoran dengan laki-laki lain! kau, Cui Hok?"
Dia menghampiri meja mereka dan memberi hormat kepada wanita yang diperkenalkan oleh Cui Hok sebagal Isterinya bernama Kim Hong itu.
"Kau kelihatan seperti mencari-cari orang. Siapakah yang kaucari?"
Tanya pula Cui Hok. Keng Han sudah dapat menguasai kebingungannya. Dia merasa heran bahwa dl situ dia tidak dapat menemukan isterinya.
"Ah, aku mencarl seorang teman yang sudah berjanji akan makan bersamaku di sini."
"Dan dia tidak muncul? Maklumlah, hari ini semua orang sibuk membuat persiapan sembahyang. Kenapa tidak duduk saja makan bersama kami? Hayo, Keng Han, duduklah, biar kuminta tambah arak dan mangkok cawan kepada pelayan!"
Tanpa menanti jawaban Cui Hok memanggil pelayan. Keng Han tidak Ingin makan mlnum bersama mereka, akan tetapi merasa tidak enak menolak begitu saja. Cui Hok adalah seorang teman baik, apalagi isteri Cui Hok lalu mempersllakan pula.
Mereka makan minum dan mengobrol. tentu saja Keng Han sama sekall tidak berani menyinggung soal isterinya. Diam-diam dia merasa iri hati melihat kemesraan antara suami isteri di depannya Itu. Cul Hok teman baiknya itu datang dari keluarga petani miskin, dan kinl telah memiliki seorang isteri yang demikian kaya raya, nampak amat mencinta dan biarpun wajahnya tak dapat dibilang cantik dengan hidungnya yang pesek, akan tetapi juga tidak buruk karena bentuk tubuhnya ramping, padat dan kulitnya putih mulus! Setelah selesai makan, dia mengucapkan terima kasih dan mereka berpisah. Cui Hok bergandeng tangan dengan Isterinys meninggalkan restoran,akan tetapi Keng Han tidak tergesa-gesa turun. Ketika dia menyelidiki ternyata loteng ltu memiliki anak tangga di bagian belakang yang biasa dipergunaken oleh pelayan mengantar hidangan. Dan anak tangga ini langsung ke bawah.
Tentu isterinya dan kekasihnya itu melihat kehadirannya dan mereka lari melalui anak tangga itu. Dia mengepal tinju! Akan tetapi merasa tidak berdaya karena bukti tidak ada. Tak perlu bertanya kepada isterinya, karena tentu perempuan itu takkan mengaku. Apa yang dapat dilakukannya kalau dia tidak mempunyai bukti? Bahkan saksipun tidak punya! Ketika dia turun dari restoran dan memasuki pasar, dia melihat isterinya sibuk berbelanja. Sendirian saja! Akan tetapi dia tidak mendekat, bahkan pulang lebih dulu dengan hati yang tidak karuan rasanya. Cemburu semakin membakar dan dia siap untuk membayangi isterinya, untuk memergoki isterinya, kemudian turun tangan membunuh wanita yang telah menyeleweng itu, membunuh pula kekasihnya, kemudian lari menjadi buronan kalau tidak tertangkap oleh pasukan keamanan.
Cemburu dan iri merupakan sifat yang paling menonjol dan berbahaya dari si aku. Merasa direndahkan, dikecilkan, dikucilkan dan khawatir kehilangan sumber kesenangannya, kehilangan kasih sayang dan diri orang yang dimilikinya, maka timbullah cemburu dan iri. Berbahayalah cemburu kalau sudah menguasai batin. Kita menjadi buta oleh kebencian yang timbul dari cemburu. Orang bilang bahwa "cemburu adalah bunga cinta". Benarkah itu? Cemburu menimbulkan benci, bagaimana mungkin benci dapat dihubungkan dengan cinta? Yang sudah pasti, cemburu ada hubungannya dengan nafsu yang ingin memiliki segala yang menyenangkan dan takut kehilangan miliknya inilah yang menimbulkan cemburu.
Mata Keng Han selalu merah dan mukanya agak pucat dan kurus setelah selama beberapa minggu ini dia dihantui cemburu. Ingin dia menikam dada isterinya dengan pedangnya kalau melihat isterinya tIdur pulas, membayangkan betapa tubuh yang sudah hampir dua bulan tidak dijamahnya itu menyerah dalam pelukan mesra laki-laki lain! Akan tetapi dia belum mempunyai bukti! Dan dia bukanlah orang yang lemah, yang mau berbuat begitu saja secara sembrono tanpa adanya bukti yang sah. Dia harus mampu menangkap basah isterinya. Penasaran kalau dia sampal kalah lihai oleh isterinya yang selalu berhasil mengelak sehingga tak pernah dia mampu memergoki penyelewengannya itu. Akan tetapi, malam ini dia memperoleh surat lagi! Tahu-tahu surat tanpa sampul itu telah berada di atas meja dalam kamarnya, tak lama setelah isterinya pergi sore hari itu.
"Tak enak rasanya melihat sikapmu selama ini. Aku hendak pergi ke rumah orang tuaku dan tinggal di sana selama dua tiga hari. Mudah-mudahan sikapmu sudah berubah kalau aku pulang,"
Demikian kata isterinya dengan suara mengeluh ketika hendak berangkat sore tadi. Rumah orang tua isterinya di luar kota, di sebuah dusun, hanya belasan jauhnya dari kota mereka. Isterinya menyewa sebuah kereta kecil. Dia bersikap acuh dan hanya mengangguk. Akan tetapi setelah isterinya berangkat, tak lama kemudian sehabis mandi dia sudah mendapatkan surat itu berada di atas meja di kamarnya.
"Kura-kura tolol! Masih belum menyadari ketololanmu? Lihat sendiri malam ini kira-kira jam sembilan di rumah pondokan Mawar Harum di mana mereka biasa bermain cinta! "
Dari sahabatmu.
Keng Han mengepal tinju. Benarkah ini? Ataukah hanya fitnah? Apakah dia akan dapat menangkap basah mereka? Ataukah mereka akan lolos lagi seperti yang sudah?
Sekali ini dia harus bersabar menanti. Tidak boleh gagal. Agaknya surat itu boleh dipercaya, karena dia sudah hampir yakin sekarang akan penyelewengan istertnya. Isterinya bersikap dingin, tak pernah memperlihatkan sikap mau melayani di waktu tidur. Juga dia pernah melihat isterinya ngelindur di waktu tidur, mengeluarkan keluhan nikmat seperti kalau isterinya bermain cinta. Dan melihat isterinya memasuki restoran dengan laki-laki dulu itu! Sekali ini dia harus menangkap basah mereka. Surat itu mengatakan kira-kira jam sembilan. Dia akan datang tepat jam sembilan. Pondok Mawar Harum adalah pondok milik rumah pelesiran yang menyewakan pondok kecil di luar kota itu untuk pria-pria beruang dan hidung belang yang ingin pelesir dengan wanita-wanita penghibur, dengan sewa yang cukup mahal. Agaknya pria kekasih isteri-nya itu beruang.
"Jahanam!"
Dia memukulkan tinju kanan ke telapak tangan kiri dengan hati geram. Isterinya dibawa ke tempat begituan, seolah-olah isterinya telah menjadi seorang wanita penghibur, seorang pelacur kelas tinggi! Hanya pelacur kelas tinggi yang dibawa ke sebuah pondok sewaan mahal seperti itu. Malam itu sunyi. Hujan turun sore tadi dan malam amat terasa dingin dan sunyi. Langit bersih dan bertaburan laksaan bintang. Sunyi dan indah malam itu, amat romantis pula. Makin dingin udara di luar rumah, semakin hangat keadaan di dalam kamar. terutama bagi pasangan-pasang. yang saling mencinta.
Akan tetapi, tidak sepanas hati Keng Han ketika dia menyelinap keluar rumah dan memasuki udara dingin, menyelinap di bawah pohon-pohon dan memilih bagian yang gelap, menuju ke luar kota, ke Pondok Mawar Harum! Tepat jam sembilan malam. kentongan terdengar lapat-lapat dari jauh, ketika bayangan Keng Han melesat keatas genteng pondok itu. Dengan hati-hati sekali, tanpa mengeluarkan suara, dia membuka genteng. Dia pernah bersama Cui Hok dan beberapa orang teman baik lainnya, ketika belum menikah, membawa wanita-wanita penghibur di pondok ini maka dia tahu benar di mana letak kamarnya. Bagian belakang sebelah kiri! Dia membuka genteng di atas kamar itu, mengintai ke dalam. Hampir saja dia mengeluarkan suara kutukan ketika dia melihat keadaan di dalam kamar. Jelas ada seorang laki-laki dan seorang wanita di tempat tidur.
Namun, karena yang terdengar hanya bisikan-bisikan mesra, yang nampak hanya dua pasang sepatu, dan penglihatan-nya terhalang oleh langit-langit kelambu, dia tidak dapat melihat apakan wanita dalam kamar itu isterinya ataukah bukan. Dia tidak boleh sembrono. Kalau dia menyerbu masuk kemudian ternyata bahwa wanita itu bukan isterinya, bukankah dia hanya akan menderita malu yang hebat? Dengan jantung berdebar Keng Han melayang turun dari atas genteng, kini dia menyelinap ke belakang. Dia tahu bahwa kamar itu mempunyai jendela tembus ruangan belakang di mana terdapat taman kecil. Dia menghampiri jendela itu dan menggunakan air ludah untuk membasahi kertas jendela, lalu membuat lubang. Untung baginya bahwa sepasang manusia di dalam kamar itu agaknya tidak malu-malu, tidak memadamkan tiga batang lilin di atas meja.
Dan untung pula baginya bahwa kelambu itupun terbuka sehingga dia dapat melihat tubuh sepasang manusia itu di atas tempat tidur. Dua tubuh telanjang! Tidak nampak kepala mereka karena terhalang tepi kelambu yang digulung ke sisi, akan te-tapi jelas nampak sepasang tubuh yang saling berhimpitan dan saling bergelut itu. Dan nampaklah sesuatu yang membuat dada Keng Han seperti dibakar rasanya. Tanda merah di pinggul putih mulus itu! Tanda merah sebesar ibu jari kaki, yang bentuknya bulat telur, dl bukit pinggul sebelah kanan. Nampak jelas karena pinggul itu menghadap keluar. ltu pinggul isterinya! Tak mungkin ada wanita ke dua di dunia ini yang memiliki tanda kelahiran yang demikian serupa! ltu adalah isterinya. Pasti! Agaknya dua orang manusia tak tahu malu yang berjina itu telah selesai dan kini terdengar suara laki-laki yang lembut mesra,
"Aku mau ke kamar mandi dulu "
"Emmmmm ?"
Wanita itu menggumam lirih, manja.
"Tidurlah dulu, dan sebaiknya lilin kupadamkan agar engkau enak tidur, Kui Hwa
"Tiga batang lilin itu padam dan nampak bayangan laki-laki itu turun dari pembaringan dan meninggalkan kamar. Menggigil seluruh tubuh Keng Han. Jelas, isterinyalah wanita itu! Agaknya sudah tertidur kelelahan dan kepuasan. Biarpun laki-laki itu bicara lirih, jelas terdengar dia menyebut nama wanita itu, Kui Hwa! Isterinya! Dan tanda merah di pinggul itu. Dengan mata kepalanya sendiri dia mellhat isterinya berjina dengan seorang laki-laki. Bukti yang nyata. Tunggu apalagi? Keng Han menggunakan kekuatan lengannya membuka jendela. Agaknya daun jendela itu rapuh sekali, sekali dorong saja sudah terbuka dan diapun meloncat masuk.
"Perempuan rendah, hina! Keparat busuk!"
Dia memaki dan menampar ke arah muka wanita yang sedang tidur nyenyak itu. Cuaca dalam kamar itu remang-remang karena hanya memperoleh sinar bintang yang suram dari luar jendela. Perempuan itu terkejut dan bangkit duduk. Nampak buah dadanya yang montok tanpa tutup dan hal ini menambah kebencian dan kemarahan hati Keng Han, membayangkan betapa semua itu baru saja digeluti oleh seorang laki-laki!
"Mampuslah ."
Bentaknya dan pe-dangnya berkelebat rnenusuk dada.
"Crepppp Aighhhhhh Wanita itu menjerit dan terjengkang kembali ke atas pembaringan, berkelojotan sebentar.
"Heiii Ada apa? Apa yang terjadi?"
Tiba-tiba terdengar suara laki-laki yang dikenal benar oleh Keng Han. Matanya agak silau melihat cahaya lampu yang dibawa laki-laki itu memasuki kamar. Laki-laki yang hanya mengenakan pakaian dalam saja.
"Cui Hok...!"
Dia membentak, matanya melotot, tak menyangka sama sekali bahwa yang mencabuli isterinya itu adalah Cui Hok, sahabat baiknya, juga masih adik seperguruannya sendlri.
"Keng Han! Engkau Ada apakah engkau ke sini dan bagaimana ..."
Dia melihat ke arah tempat tidur dan mata-nya terbelalak.
"Aihh... Apa yang telah kau lakukan itu!"
Keng Han menyeringai.
"Ha-ha, kiranya engkaulah orangnya, Cui Hok! Bagus, ya? Kiranya engkau malah jahanam yang telah menjinai isteriku. Aku sudah lama mengintai dan baru sekarang aku dapat menangkap basah kalian, dua orang manusia berwatak iblis, seperti anjing-anjing saja yang tidak mengenal tata susila. Cui Hok, engkau telah mengganggu isteriku, sekarang aku telah membunuhnya dan engkau harus menyusulnya ke alam baka! Biarlah kalian berdua mempertanggung-jawabkan perbuatan kalian di sana!"
Dia sudah siap menerjang dengan pedangnya.
"Keng Han, ya TUHAN, sudah gilakah engkau? Engkau menuduh yang bukan-bukan! la... ia adalah Kim Hong, isteriku! Bagaimana kau bisa bilang ia itu isterimu? Ya TUHAN, Keng Han, engkau telah membunuh isteriku!"
"Hah Jangan coba-coba untuk mengelabuhi aku. Aku tidak buta, aku belum gila!"
Keng Han siap siaga, khawatir kalau bekas sahabatnya itu menipunya dan akan melarikan diri. Akan tetapi, Cui Hok sama sekali tidak melarikan diri, bahkan membawa lampunya menghampiri pembaringan.
"Tidak buta? Tidak gila? Lihat baik-baik, ia isteriku!"
Cui Hok berkata dan mengangkat lampunya di dekatkan kepada muka wanita yang sudah tak bernyawa lagi, yang mati dengan mata mendelik itu Keng Han terpaksa menengok dan seketika wajahnya berubah pucat sekali. Bagaikan orang kena sihir dia menatap wajah mayat itu. Sama sekali bukan wajah Kui Hwa yang cantik manis! Hidung itu pesek dan wajah itu adalah
wajah Kim Hong, isteri Cui Hok yang pernah makan bersama dia di restoran itu!
"Ahhhh... bagaimana... bagaimana ini ?"
Dia mengeluh, pedangnya terlepas dari pegangan dan tubuhnya jatuh terkulai, tak sadarkan diri. Dia tak mampu melawan ketika Cui Hok yang menangisi kematian isterinya itu mengambil tali dan mengikat kaki tangannya, kemudian menyerahkannya kepada petugas keamanan.
Keng Han menangis di balik terali besi itu ketika isterinya, Kui Hwa, men-jenguknya sambil membawa makanan.
"Kui Hwa, maafkan aku aku telah menjadi buta, aku telah gila aku dibikin gila oleh cenburu yang tak ber-dasar "
Berkali-kali dia minta maaf kepada wanita cantik yang berdiri di luar terali besi itu.
"Engkau memang dibikin gila oleh cemburu."
Kui Hwa berkata Penuh, Penyesalan.
"Karena cemburumu itulah maka sikapmu menjadi lain dan dingin, dan melihat itu tentu saja hatiku tidak senang dan akupun acuh kepadamu. Ah, suamiku, bagaimana engkau bisa menyangka seorang sahabat demikian baiknya seperti Cui Hok untuk melakukan kejahatan terhadap kita? Bukankah dia pula yang selalu mengulurkan tangan menolong kita kalau kita kekurangan uang?"
"Maafkan aku , ada yang sengaja menjebloskan aku ke dalam perangkap, ada surat-surat yang mendorongku mencurigaimu "
"Di mana surat-surat itu? Biar kupakai untuk bukti agar pengadilan meringankan hukumanmu,"
Kata isterinya.
"Ah, sungguh sayang, semua surat gelap itu telah kurobek-robek "
Kata Keng Han menyesal.
"Sudahlah kalau begitu. Perbuatanmu sendiri yang menyeretmu ke dalam kesulitan ini. Bahkan aku sendiri sampai diancam seorang gila
"Kau? Diancam orang gila? Bagaimana "
"Ketika aku berbelanja ke pasar untuk sembahyang Ceng-beng, ingatkah kau? Aku ke pasar dan di pasar aku bertemu seorang perempuan genit bersama seorang kakek gila. Mula-mula perempuan itu yang menuding kepadaku dan mengatakan kepada kakek itu isterinya; kemudian kakek itu menghampiri aku, memandang, dengan mata melotot dan berkata, 'kalau suamimu tidak mau me-nikah dengan anakku, kalian berdua akan kubunuh Hemm, bukankah itu gara-gara perbuatanmu?"
Keng Han menarik napas panjang. Dia tidsk pernah berkenalan dengan kakek itu, akan tetapi dia dapat menduga bahw kakek itu tentulah Tang Kauwsu (Guru Silat Tang) yang memang agak miring ,otaknya walaupun ilmu silatnya amat lihai.
"Aku memang banyak dosa terhadap dirimu, Engkau tidak bersalah, engkau isteri yang baik dan setia, dan aku...ah, aku gila karena cemburu "
Dan Keng Han menangis lagi, teringat betapa dia telah menjadi pembunuh.
"Engkau bukan hanya berdosa kepada-ku, akan tetapi terutama sekali kepada Cui Hok. Engkau telah membunuh isterinya yang tidak bersalah, engkau membuat orang yang menjadi sahabat baikmu kini hidup menderita duka yang amat sangat. Ah, dosamu bertumpuk-tumpuk. Aku akan bersembahyang setiap malam untuk mintakan ampun untukmu kepada Thian (TUHAN)"
Sambil menangis, Kui Hwa meninggalkan tempat tahanan itu, meninggalkan Keng Han yang menangis semakin sedih. Kedukaan yang diderita Keng Han makin menjadi ketika pada keesokan harinya Cui Hok datahg menjenguknya. Wajah sahabatnya itu pucat sekali dan kelihatan amat berduka. Dia hanya berdiri di luar terali besi dan menantap wajah Keng Han seperti mayat hidup yang ingin menuntut balas! Melihat keadaan sahabatnya ini, Keng Han men-jatuhkan diri berlutut di balik terali besi.
"Cui Hok, ah, Cui Hok sahabatku engkau masih mau menjenguk orang seperti aku "
"Jangan bilang sahabatku! Siapa mau menjenguk? Aku...aku bahkan ingin sekali merobek dadamu dan mengeluarkan Isi dadamu!"
"Ah, lakukanlah, lakukanlah, Cui Hok! Aku telah berdosa padamu. Aku tidak hanya,,,menuduhmu berjina dengan isteriku... bahkan. aku telah membunuh isterimu yang tidak bersalah apa-apa. Dosaku bertumpuk..."
"Hemm, dan engkau masih hidup? Pengecut, manusia macam engkau ini pantasnya mampus saja untuk menebus dosamu di akhirat!"
Berkata demikian, Cui Hok melemparkan sebuah pisau belati melalui terali besi, kemudian pergi dari sltu tanpa menengok lagi.
Sambil bercucuran air mata karena menyesal, Keng Han memandang ke arah pisau itu beberapa lamanya, kemudian matanya berubah beringas dan dia menyambar gagang pisau itu dengan tangannya, mengayun pisau itu dan pisau itupun masuk ke dalam uluhatinya sampai ke gagang! Tubuhnya terkulai dan diapun roboh mandi darah dalam selnya. Setelah dia tak bernapas lagi, baru para petugas juga mengetahui dan gegerlah tempat tahanan itu. Keng Han dikabarkan mati membunuh diri dan isterinya segera diberi tahu untuk mengambil jenazah itu. Kui Hwa menyambut jenazah suaminya dengan hujan tangis. jenazah itu dirawat baik-baik dan dikebumikan. Suasana keluarga yang ditinggalkan Keng Han diliputi kesedihan dan rumahnya di-beri tanda kain putih tanda berkabung.
Beberapa pekan kemudian. Pondok Mawar Harum itu tertutup, baik daun pintu maupun daun jendelanya, sejak sore tadi. Akan tetapi, orang yang mengintai di dekat rumah itu mendengar suara bisik-bisik di dalam rumah, tanda bahwa di dalam rumah itu ada orangnya dan pengintai itupun tersenyum menyeringai dan menyelinap lenyap ke dalam bayangan pohon. Memang ada dua orang di dalam kamar pondok itu, dua orang laki-laki dan wanita yang sedang bercumbu saling menumpahkan kaslh sayang mereka. Berkali-kali terdengar kecup cium dan ketawa manja.
"Engkau sungguh seorang wanita yang cerdik sekali, pandai bermain sandiwara sehingga suamimu sama sekali tidak pernah menyangkanya. Dan engkau begini cantik, tubuhmu begini hemm, terutama sekali tanda kelahiran merah di pinggulmu ini. Kau pantas diupah cium!"
Dan laki-laki itupun mengecup mulut wanita yang menggelinjang manja.
"Dan engkau pengatur siasat yang amat lihai! Engkaupun laki-laki hebat, pantas diupah cium juga!"
Kini si wanita yang mencium pria itu dan keduanya tenggelam dalam rangkulan dan dekapan penuh kemesraan. Tak lama kemudian mereka duduk kembali, saling rangkul dengan mesra di atas pembaringan itu.
"Aku masih belum mengerti benar mengapa engkau mengirim surat-surat itu? Bukankah itu berbahaya sekali? Kalau orang mengenal tulisamnu "
"Ha-ha,"
Laki-laki itu mengecup bibir yang selalu menantangnya itu.
"Apa kau-kira aku bodoh? Aku menulis dengan tangan kiri, tentu jauh bedanya dengan tulisan tangan kananku. Surat-surat itu perlu, untuk membangkitkan cemburu, dalam hatinya."
"Akan tetapi, bagaimana engkau dapat menyuruh mengenakan pakaian yang sama dengan pakaianku ketika menjelang Ceng-beng itu, dan bagalmana kemudian Ceng Han menemukan kalian duduk di restoran dengan pakaian yang berbeda?"
Tanya Kui Hwa yang kini berubah menjadi seorang wanita genit dan bergairah sekali setelah berada di dalam kamar itu bersama Cui Hok! Kembali Cui Hok mencium, sekali ini mencium leher.
"Kucing pesek itu mentaati segala perintahku. Dia kuberi pakaian yang sama dengan pakaianmu itu, bajunya kuning berkembang merah, celananya biru muda, dan kusuruh ia memakainya ketika ia kuajak ke restoran Kemudian, setelah kuatur agar Keng Han melihat kami dari belakang, kuajak ia memasuki loteng dan kami berganti pakaian di kamar kecil. Kukatakan pada-nya bahwa pakaian itu ternyata tidak pantas dan aku ada membawa ganti untuknya. Juga aku bertukar pakaian dengan alasan pakaianku kotor. la, si kucing tolol itu, seperti biasa hanya ketawa-ketawa dan menganggap perbuatanku lucu dan aneh, akan tetapi tidak bercuriga apa-apa."
Perangkap Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hebat, engkau memang hebat!"
Kui Hwa memuji dan jari-jari tangannya membelai mesra.
"Dan bagaimana engkau dapat membuat pinggulnya mempunyai tanda merah yang sama dengan tanda kelahiran merah di pinggul kananku?"
Cui Hok meraba dan mencubit tanda merah di pinggul itu, membelainya.
"Kukatakan bahwa pinggulnya yang putih mulus nampak lebih menarik kalau ada tanda merah, maka kugambarkan tanda merah itu dan iapun mau saja, si tolol itu, ha-ha-ha!"
"Sudah kuperhitungkan bahwa Keng Han tentu akan mengintai dari jendela, maka kuatur sedemikian rupa agar dia hanya melihat tubuh Kim Hong dan melihat pula tanda merah di pinggulnya."
Kembali dia mencubit pinggul itu sehingga Kui Hwa menjerit kecil, dan Cui Hok lalu mencium bagian yang dicubit itu. Mereka bermesraan kembali.
"Tepat seperti telah kurencanakan, akhirnya Keng Han membunuh Kim Hong yang disangka engkau, dan tentu saja dia menyesal bukan main. Dia minta maaf kepada kita. Dia tentu mati dengan hati masih mengandung penyesalan dan menganggap kita berdua sebagai orang-orang yang sesuci-sucinya. Ha-ha-ha!"
"Dan engkau bahkan mendorongnya untuk bunuh diri. Sungguh engkau kekasihku yang hebat segaka-galanya!"
Kui Hwa merangkul.
"Ah, aku hanya orang yang mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku, manis. Dari ujung rambut kepala sampai ke ujung kuku kakiku, aku tergila-gila dan cinta padamu. Kini Keng Han sudah mati pula, dan kucing yang menjemukan itupun sudah mampus. Tidak ada lagi yang menghalangi kita, dan kita akan hidup sebagai suami isteri yang berbahagia, di kota lain yang jauh dari sini."
"Dan engkau telah mengatur agar isterimu yang kaya raya itu menyerahkan seluruh simpanan perhiasan emas permata dan uang emas kepadamu, bukan?"
"Jangan khawatir. Siasat ini sudah lama kujalankan, dan ia sudah menguras kekayaan ayahnya, simpanan ibunya dan kini ku simpan di tempat rahasia."
"Aih, engkau sungguh kurang hati-hati. Disimpan di mana? Bagaimana kalau ketahuan orang?"
"He-he-he!"
Cui Hok mencium pipi yang kemerahan itu.
"Malam tadi sudah kuambil dan sekarang berada dalam sebuah peti hitam, kusimpan di dalam kamarku. Besok pagi-pagi kita pergi dengan kereta, keluar kota dan pindah ke tempat jauh di selatan, hidup sebagai suami isteri yang kaya raya dan berbahagia."
Cui Hok mendekap lagi dan kembali mereka sudah mencurahkan segala rindu hati mereka di kamar itu. Kini mereka bebas dan tidak ada lagi yang mereka takuti. Bagaikan sepasang pengantin baru, keduanya bermain cinta semalam suntuk dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali sebelum matahari terbit mereka telah pefmrgi menuju ke rumah Cui Hok yang kosong setelah isterinya meninggal dunia. Cui Hok menggandeng tangan Kui Hwa, memasuki kamarnya dan membuka peti hitam yang berada di kolong tempat tidurnya, peti penuh dengan emas permata yang tak ternilal harganya.
"Lihat, ini milikku, dan engkaupun milikku. Ha-ha-ha!"
Katanya. Pada saat dia merangkul tubuh Kui Hwa, tiba-tiba dia menjerit dan meloncat ke belakang, mendekap dadanya yang berlumuran darah dan dengan mata terbelalak dia memandang kepada pisau belati yang berada di tangan wanita itu. Kiranya ketika dia mendekap dan mencium, Kui Hwa telah menusukkan pisau itu ke dadanya.
"Kau kau..."
Dia marah sekali dan hendak menerjang wanita yang mengkhianatinya itu. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan hitam dan sebatang golok membacok dari belakang, tepat mengenai leher Cui Hok sehingga leher itu hampir putus! Cui Hok tak sempat menjerit lagi, roboh dan tewas seketika! Kui Hwa merangkul bayangan itu yang ternyata adalah seorang pemuda yang tampan sekali. Sejenak mereka berangkulan dan ketika Kui Hwa mengangkat mukanya, mereka saling pandang lalu kedua mulut itu saling bertemu dalam sebuah ciuman yang lama dan mesra sekali. Kemudian keduanya melepaskan ciuman dan agak terengah, lalu keduanya tertawa kecil memandang ke arah mayat Cui Hok yang rebah di dekat peti hitam penuh harta.
"Manisku, kalau saja bukan engkau yang pandai merayu, tentu kita tidak akan dapat menemukan harta sebanyak ini,"
Kata pemuda itu.
"Akan tetapi, engkau yang mengatur semua siasat itu. Ketika aku bertemu denganmu, satu-satunya keinginanku hanyalah meninggalkan Keng Han dan hidup bersamamu."
"Aku miskin, dan engkaupun miskin. Kita perlu harta. Dan aku mellhat Cui Hok menikah dengan wanita kaya, dan akupun mengenal wataknya yang mata keranjang. Karena itu timbul siasatku ltu. Engkau berhasil menempelnya, dan membujuknya bersiasat membunuh Keng Han dan Kim Hong dan mengumpulkan harta ini. Semua berhasil, ha-ha, semua untuk kita."
Kembali pemuda itu mencium. Kalau ia bersikap mesra dan genit terhadap Cui Hok, hal itu hanya setengah sandiwara saja bagi Kui Hwa yang memang seorang wanita panas bergairah. yang pandai bersandiwara, akan tetapi ketika pemuda ini menciumannya, seluruh tubuhnya menjadi panas bulu-bulu di tubuhnya meremang, akan tetapi ia melepaskan diri.
"Masih banyak waktu bagi kita untuk bermain cinta sekenyangnya dan sepuasnya. Kita harus cepat-cepat pergi dari sini, Apakah kau sudah mempersiapkan kereta?"
"Sudah, kereta yang tadinya akan dipergunakan Cui Hok."
Mereka lalu berindap keluar dari rumah Cui Hok, membawa peti hitam itu dan memasukkannya ke dalam kereta yang sudah kilap di depan. Tak lama kemudian, pemuda itupun mencambuk kuda dan keretapun,meluncur pergi meninggalkan rumah itu, terus di pagi buta meninggalkan kota, menuju ke tempat baru yang penuh dengan kesenangan, penuh dengan kasih sayang, kemesraan, dan harta melimpah!
Matahari telah nalk tinggi ketika kereta yang ditumpangi sepasang kekasih itu tiba di tepi sebuah hutan. Mereka sudah merasa lega dan girang bukan main, merasa sudah aman. Karena ingin berdekatan dengan, pria yang benar-benar dicintainya itu, Kui Hwa pindah dari dalam kereta, duduk di samping pemuda itu di bangku depan, tempat kusir. Mereka menunggang kereta sambil bermesraan, berangkulan dan berciuman.
"Serrrrr... capp!... Capp!"
Kedua ekkor kuda itu berjingkrak, mengeluarkan ringkikan keras dan kabur dengan perut tertancap anak panah! Pemuda itu terkejut sekali, cepat merangkul Kui Hwa dan meloncat turun. Tak lama kemudian dua ekor kuda itupun roboh dan keretanya menabrak pohon. Peti hitam dalam kereta terloncat keluar, terbuka dan, berhamburan. Dari balik semak-semak muncul orang kakek, menyeringai sambil menghampiri dua orang yang masih berangkul-an itu. Pemuda itu melepaskan kekasihnya dan mencabut goloknya, menghadapi kakek itu dengan marah sekali.
"Tua bangka gila! Kenapa engkau melakukan itu!"
Bentaknya dengan marah. Akan tetapi Kui Hwa terbelalak dan mukanya berubah pucat ketika ia mengenal kakek Itu. Kakek glla yang pernah mengancam ia dan suaminya, Keng Han, kakek yang bertemu dengannya di pasar ltu!
"Ha-ha-ha-ha-heh-heh! Apa isterimu tldak memberi tahu kepadamu? Aku sudah bilang, kalau engkau tldak mau mengawini anakku, kalian akan kubunuh! Heh-ha-ha-ha!"
"Orang gila!"
Bentak pemuda itu marah dan diapun menerjang.
"Kakek, dia bukan suamiku, bukan dia bukan..
"
Kui Hwa mencoba untuk berteriak.tetapi tak diperdulikan dua orang itu yang sudah berkelahi dengan sengit. Kakek itu mempergunakan senjata pedang, sedangkan pemuda itu mempergunakan goloknya. Akan tetapi, biarpun gila, kakek yang-ternyata adalah Tang Kauwsu ayah Liok Bwee ltu lihai bukan main. Dalam waktu belasan jurus saja, golok pemuda itu hanya mampu menangkis tanpa memperoleh kesempatan untuk balas menyerang.
"Ha-ha-ha, siapa yang mempermainkan Liok Bwee harus mampus!"
Kakek Itu tertawa-tawa.
"Aku tidak pernah mempermainkan Liok Bwee!"
Pemuda itu menangkis dan pedang lawan meleset ke arah pundak-nya, melukalmu ujung pundak sehingga kulitnya terkelupas berikut sedikit daging. Pemuda itu melompat ke belakang dan kakek itu menghentikan gerakannya men-dengar ucapan itu.
"Heh...??"
"Bukan! Sungguh mati, dia bukan suamiku!"
Kui Hwa berseru, penuh kekhawatiran melihat betapa pundak kekasihnya berdarah.
"Bohong!"
Tiba-tiba kakek itu menyeringai ke arah Kui Hwa.
"Kalau bukan suamimu, bagaimana engkau sekereta dengan dia, bahkan kalian tadi saling rang-kul dan saling berciuman? Mana mungkin dla bukan suamimu!"
Kui Hwa tak mampu menjawab lagi!
"Kau hendak menipuku untuk melindunginya, keparat! Kalian harus mampus!"
Dan kini pedang berkelebat ke arah Kui Hwa.
Wanita ini hanya mengeluarkan jerit satu kali saja karena ia sudah roboh terlentang dengan perut robek dan isi perutnya keluar berhamburan! Melihat Ini, pemuda itu meraung dan menyerang dengan nekat. Namun, hanya beberapa jurus saja dia mampu menyerang karena Pada jurus ke tujuh, diapun roboh dengan dada tertembus pedang, menggeletak sekarat di samping mayat Kui Hwa. Mandi darah tubuh Kui Hwa dan darahnya sendiri yang tertusuk pedang kakek gila itu, Akan tetapi ia tidak perduli. Juga tidak perduli akan sinar kemilau dari dalam peti hitam yang terbuka. Kakek itu pergi melenggang sambil tertawa-tawa seorang gila!
Solo tengah Pebruari 1981
TAMAT.
Penerbit : CV. GEMA-Solo
Sumber Image : Awie Dermawan
Convert Image to text : Yon Setiono
Posting ke Grup Cersil Kho Ping Hoo : Yon Setiono
Di Edit ke Doc, PDF, TXT oleh : Cersil KPH
Edit OCR dari 05 Agustus - 12 September 2018
Dipersembahkan untuk Grup Cersil Kho Ping Hoo
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo