Rondo Kuning Membalas Dendam 1
Rondo Kuning Membalas Dendam Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 01
Dibawah pemerintahan Sultan Agung yang arif dan bijaksana, Mataram mengalami masa jaya dan makmur. Sesuai dengan namanya, Sri Sultan memang memiliki sifat-sifat dan kepribadian yang luhur dan agung. Tidak saja beliau sakti mandraguna dan terkenal dan terkenal digdaya, juga dalam ilmu-ilmu filsafat, kesusteraan dan kesenian, Sultan Agung adalah seorang ahli yang mengagumkan. Kitab filsafat "Sastra Gending"
Yang hingga kini dikagumi orang adalah hasil karya beliau.
Kalau pimpinan pusat berada dalam tangan seorang yang adil bijaksana tak dapat tidak para petugas lain tentu akan tunduk, terpengaruh oleh sifat-sifat baik dan menjalankan pekerjaan dan tugasnya dengan baik pula. Tiada bedanya dengan ranting-ranting dan cabang serta daun-daun sebatang pohon yang subur tentu merupakan ranting, cabang dan daun yang subur pula sehingga keseluruhan Mataram merupakan sebatang pohon Waringin yang besar, megah dan subur dapat mengayomi dan menjadi pelindung serta tempat berteduh para rakyat kecil. Betapapun juga, tepat sebagaimana yang telah menjadi sebutan orang bahwa tak ada gading yang tak retak atau tak ada kebaikan yang sempurna melainkan sifat Tuhan Yang Maha Sempurna,
Diantara para petugas yang menjalankan tugas pemerintah di bawah pimpinan Sultan Agung, banyak pula terdapat orang-orang yang kurang baik wataknya. Namun, oleh karena pengaruh kebajikan yang bercahaya keluar dari dalam Istana Sultan Agung, watak dan sifat dari mereka ini terkekang dan apabila Sri Sultan berada di kota raja, mereka tidak berani memperlihatkan sifat-sifat mereka yang kurang jujur. Sultan Agung takkan terkenal sebagai seorang raja besar apabila beliau hanya pandai memerintah saja dan tidak mau perduli akan keadaan rakyatnya. Akan tetapi beliau mempunyai hati penuh sifat welas-asih dan terhadap rakyat kecil beliau sangat menaruh perhatian dan cinta Kasih seperti terhadap keluarga sendiri. Tidak jarang Sri Sultan Agung melakukan perjalanan ke dusun-dusun dan gunung-gunung dengan menyamar seperti seorang rakyat biasa.
Untuk melakukan peninjauan dan untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri keadaan dan kehidupan rakyat. Oleh karena daerah Mataram amat luasnya, maka seringkali terjadi bahwa Sultan Agung yang menjalankan peninjauan dan hanya diikuti oleh beberapa orang abdi pelayan ini sampai berpekan-pekan meninggalkan Istana. Dan pada saat-saat Sri Sultan tidak berada di kota raja inilah para pembesar dan petugas yang jahat berani muncul mengumbar nafsu sesatnya. Memang, tikus-tikus baru berani keluar berlagak apabila sang kucing tidak berada kesitu. Cerita inipun dimulai dengan peristiwa yang timbul dari pengumbaran nafsu jahat dari seorang pembesar yang nyeleweng dan yang terjadi pada waktu Sri Sultan pergi meninjau ke daerah luar hingga beliau tidak tahu akan peristiwa itu.
Di dusun Waru yang terletak di sebelah timur Ibukota Mataram yang menjadi kepala seorang bernama Galiga Jaya yang berpangkat Penewu, yaitu seorang pembesar yang pada waktu perang mengepalai seribu orang perajurit, oleh karena itu disebut Penewu (sewu = seribu). Penewu Galiga Jaya ini adalah seorang sakti dan mempunya pengaruh besar dan ditakuti, terutama disekitar daerah yang dikuasai, oleh karena selain kuat dan sakti, ia mempunyai watak yang keras dan mudah sekali marah. Juga ia terkenal sebagai seorang perusak pagar ayu, pengganggu anak-bini orang kampung, hingga diam-diam banyak orang membencinya"
Usianya belum empat puluh, bercambang-bauk dengan kumis yang dipelintir ke atas seperti kumis Sang Gatutkaca, sepasang matanya besar dan hitam berpengaruh, kulit mukanya hitam dan tubuhnya tinggi besar.
Biarpun Penewu Galiga Jaya belum berusia empat puluh tahun dan kedudukannya hanya seorang Penewu, akan tetapi dalam soal beristeri, ia tak mau kalah oleh Sri Sultan sendiri!. Istrinya banyak sekali, memenuhi gedungnya yang besar dan agaknya ia masih belum puas dan masih banyak wanita yang menjadi selirnya di luar gedung. Dan inipun agaknya masih belum memuaskan hatinya, karena ia masih berkeliaran tak tenang, mencari-cari korban baru dan menggangu anak bini orang di dusun-dusun sekitar Waru. Di antara selir-selirnya yang tidak tinggal di dalam gedungnya, terdapat seorang wanita yang tinggal di dusun Pakem. Wanita ini tidak muda lagi, usianya telah tiga puluh tahun lebih, akan tetapi kecantikannya tidak kalah oleh remaja puteri yang manapun juga.
Dia ini adalah Rondo Kuning, seorang janda yang ditinggal mati suaminya beberapa tahun yang lalu dan Sebagaimana dapat diduga dari nama sebutannya, ia memang berkulit kuning dan halus bersih yang membuatnya Nampak jauh lebih muda daripada usia sebenarnya. Rondo kuning ini mempunya tiga orang anak perempuan dari suaminya yang dulu dan ketiga orang anak perempuan ini kini telah remaja puteri. Yang pertama bernama Kencanawati, berusia tujuh belas tahun, cantik jelita menarik hati. Yang kedua bernama Sariwati, berusia enam belas tahun, ayu kuning dan lemah lembut seperti Ibunya dan yang ketiga bernama Bandini, berusia empat belas tahun, agak kehitam-hitaman akan tetapi hitam-hitam manis dan mempunyai sifat jenaka, kenes dan kewat menggemaskan hati dan menggoncangkan iman pria!
Selain ketiga puterinya ini, dalam pernikahannya denga Penewu Galiga Jaya yang menjadi suaminya karena memaksa hingga untuk melindungi keselamatan ketiga orang puterinya, Rondo Kuning terpaksa menurut, janda cantik ini memperoleh seorang putera lagi yang baru berusia satu tahun. Betapapun hatinya tidak mempunyai rasa kasih sedikit juga kepada suami paksaan ini, namun melihat puteranya yang sehat dan mungil, Rondo Kuning merasa sayang sekali. Hal ini tidak mengherankan oleh karena Rondo Kuning tidak mempunyai anak laki-laki dan sebagaimana biasanya, seorang wanita yang telah lama tidak mempunyai anak, lalu memperoleh anak lagi, maka sayangnya terhadap anak yang baru itu amat besar. Juga ketiga orang puterinya yang telah remaja puteri itu amat cinta kepada Bondan, putera Ibu mereka yang lahir dari Penewu Galiga Jaya, Ayah tiri mereka.
Akan tetapi, semenjak lahirnya putera yang diberi nama Bondan itu, sikap Penewu Galiga Jaya yang tadinya amat mencinta Rondo Kuning, mulai berubah. Mulai saat itu apabila Penewu Galiga Jaya datang berkunjung ke rumah Rondo Kuning, perhatiannya beralih kepada ketiga puteri tirinya! Terutama sekali kepada Kencanawati yang laksana kembang sedang mekarnya dan menyiarkan keharuman yang membuat nafsu di dalam hati Galiga Jaya terbangun, Ayah tiri ini seringkali memperlihatkan sikap yang mengandung gejala kurang bersih. Hal ini diketahui baik oleh Rondo Kuning hingga Ibu ini merasa khawatir sekali. Seringkali Penewu Galiga Jaya menyindirkan kepada Rondo Kuning bahwa Kencanawati yang cantik jelita itu patut menjadi isteri atau selir orang berpangkat, karena sungguhpun hanya seorang perawan desa, namun kecantikannya tidak kalah oleh puteri-puteri kota raja.
Seorang wanita memiliki perasaan halus dan pandai sekali menangkap maksud hati pria, terutama apabila wanita itu telah menjadi isteri orang maka tentu saja ia dapat mengetahui segala gerak-gerik suaminya dan tahu betul apa yang sedang menggelora di dalam dada suami itu. Oleh karena ini, maka Rondo Kuning dalam kekhawatirannya, lalu mencarikan jodoh untuk Kencanawati yang sudah cukup dewasa untuk menjadi isteri orang. Akhirnya pilihannya terjatuh pada diri seorang pemuda dusun Pakem yang bernama Sutadi, seorang pemuda tani yang baik budi, sopan santun dan rajin bekerja. Ketika Penewu Galiga Jaya mendengar usul Rondo Kuning yang hendak menjodohkan Kencanawati dengan pemuda itu, ia menjadi marah sekali dan melarang keras.
"Apa katamu? Si Kencana hendak dijodohkan dengan bujang dusun itu? Ah, tidak, tidak boleh! Betapapun juga, Kencanawati adalah anakku, anak Penewu Galiga Jaya! Tidak patut ia menjadi isteri seorang petani busuk dan miskin! Aku tidak rela memberikan. Kencanawati harus menjadi isteri atau setidak-tidaknya selir seorang yang berkedudukan tinggi!"
"Kanda Galiga Jaya, mengapa kau berkata demikian? Hendaknya kau ingat bahwa Kencanawati adalah anakku dan Ayahnya dulupun hanya seorang petani biasa. Aku lebih berhak untuk menentukan nasib anak itu sedangkan hak dan kewajibanmu hanyalah memberi doa restu saja"
Merah muka Penewu Galiga Jaya mendengar alasan dan sangkalan ini.
"Apa? Bukankah kau isteriku? Dan karena kau isteriku, maka anak-anakmu juga anakku pula! Akulah yang berhak menentukan dan memilihkan suami anak-anak itu!"
"Kanda! Kau berhak atas diri anak kita Bondan ini, akan tetapi ketiga orang gadis itu adalah anakku dan akulah orangnya yang berhak sepenuhnya untuk mengatur dan menentukan nasib mereka! Kencanawati telah dewasa, kalau kita menanti datangnya pinangan dari orang besar, sampai bilakah dia akan memasuki pintu penikahan? Apakah kanda ingin melihat Kencanawati menjadi perawan tua?"
Sambil berkata demikian, Rondo Kuning mulai menangis, akan tetapi tangisnya segera berhenti ketika Bondan yang melihat Ibunya menangis, lalu menjerit-jerit hingga Ibunya harus menimang-nimangnya. Dengan hati sebal dan marah, Penewu Galiga Jaya menyambar ikat kepala dan tongkatnya, mengenakan ikat kepala dengan gerakan marah, lalu mengayun tongkat hendak meninggalkan rumah itu. Akan tetapi, sesampainya di pintu ia berhenti, menengok dan berkata,
"Kalau dia sudah kau anggap terlalu besar, boleh dinikahkan. Akan tetapi tidak boleh dengan seorang pemuda tani kampungan, daripada menjadi isteri orang miskin dan kotor, lebih baik dia menjadi isteriku sendiri!"
Pucatlah muka Rondo Kuning mendengar ini. Biarpun ia sudah lama dapat menduga akan kandungan hati suaminya ini, namun ia terkejut juga mendengar kehendak ini dikeluarkan dari mulut.
"Kanda Galiga Jaya! Omongan sesat apakah yang kanda ucapkan itu tadi? Kencanawati adalah anakmu sendiri!"
Tiba-tiba Penewu itu tersenyum menyeringai dan matanya yang lebar hitam memandang tajam.
"Tidak ingatkah kau akan kata-katamu tadi bahwa dia itu adalah anak suamimu? Dia tidak mempunyai hubungan darah daging dengan aku, maka apa salahnya kalau dia menjadi selirku?"
"Kanda Penewu!"
Rondo kuning menjerit, akan tetapi Penewu Galiga Jaya telah melangkah pergi sambil memutar-mutar tongkatnya. Rondo Kuning merasa betapa seluruh tubuhnya mejadi lemas dan lemah-lunglai. Ia jatuh terduduk di atas kursi dan Bondon yang mulai menangis menjerit-jerit lagi kini tak dihiraukan. Wanita itu duduk memandang ke depan dengan mata tak bersinar dan wajah pucat bagaikan mayat. Bibirnya menggigil dan terdengar bisikan-bisikan Perlahan-lahan,
"Ya Allah... Apa yang harus kulakukan""
Pada saat itu, Kencanawati, Sariwati, dan Bandini sedang berada di belakang. Telah beberapa lama ketiga gadis itu selalu menjauhkan diri apabila Penewu Galiga Jaya datang mengunjungi Ibu mereka. Ketiga dara muda ini memang merasa benci kepada Penewu Galiga Jaya yang kasar. Terutama Kencanawati, dara ini merasa betapa pandang mata Ayah tirinya itu berkilat dan menakutkan apabila sepasang mata yang lebar dan hitam itu ditujukan kepadanya. Pandang mata Ayah tirinya itu membuat ia merasa seakan-akan ia sedang berdiri telanjang bulat di depan Ayahnya.
Oleh karena itu setiap kali mendengar akan kedatangan Ayah tirinya, ia segera cepat-cepat meninggalkan rumah dan mengajak kedua orang adiknya. Ketika mendengar tangis dan jerit Bondan yang mereka kasihi, ketiga dara itu merasa tidak tega dan juga hran. Biasanya Bondan jarang menangis sampai sekeras dan selama itu, seakan-akan tidak dihiraukan oleh Ibunya. Maka ketiganya lalu berlari pulang dan alangkah kaget mereka melihat betapa Bondan menangis dalam gendongan Ibunya yang duduk bengong tak bergerak bagaikan sebuah patung. Kencanawati lalu cepat mengambil Bondan dari pangkuan Ibunya dan sebentar saja setelah gadis ini menimang-nimangnya dan menepuk-nepuknya, anak itu lalu tertawa-tawa riang. Sementara itu, Sariwati dan Bandini segera memeluk Ibu mereka.
"Ibu, mengapa si Bondan menangis saja?"
Tanya Sariwati sambil menatap wajah Ibunya yang pucat.
"Apakah Bondan nakal dan membuat Ibu berduka dan marah?"
Tanya Bandini sambil membelai-belai lengan Ibunya. Tiba-tiba Rondo Kuning memeluk kedua anaknya itu dan menangis terisak-isak. Sariwati dan Bandini terkejut, akan tetapi mereka ini hanya ikut menangis sambil bertanya,
"Ibu... ada apakah, Ibu?"
Rondo Kuning tak dapat menjawab, hanya menangis tersedu-sedu sambil menyebut-nyebut nama Kencanawati. Kencanawati yang lebih dapat melihat keadaan daripada kedua orang adiknya, lalu memberikan Bondan kepada Sariwati dan menyuruh kedua kedua orang adiknya itu membawa Bondan kebelakang. Sariwati dan Bandini menurut perintah kakaknya walaupun mereka tak tega meninggalkan Ibu mereka yang masih menangis. Setelah kedua adiknya itu pergi, Kencanawati lalu duduk berlutut di depan Ibunya sambil memegang tangan orang tua itu dengan halus, lalu bertanya,
"Bunda sayang, hal apakah yang mendukakan hatimu?"
Rondo Kuning memeluk dan mendekap kepala puterinya ke dada sambil mengeluh perlahan,
"Kencana... apakah yang harus kita lakukan?"
Kencanawati bangun dengan sikap tenang, memang dara ini memiliki ketenangan dan ketabahan hati yang mengagumkan,
"Ceritakanlah Ibu, dan biarlah anakmu ikut memikirkan persoalan yang mengganggu pikiranmu."
"Kencanawati, benar-benarkah kau sudah cocok dan setuju apabila menjadi isteri Sutadi, biarpun ia hanya seorang pemuda tani yang bodoh dan miskin?"
Wajah Kencanawati yang cantik itu memerah, akan tetapi dengan masih tenang serta penuh kesadaran ia menjawab,
"Ibu, bukankah aku telah menjawabnya pada beberapa hari yang lalu ketika Ibu bertanya tentang hal ini? Aku hanya menurut dan taat kepada kehendak Ibu, karena aku yakin bahwa pilihan Ibu tentu telah dipertimbangkan semasak-masaknya. Aku percaya bahwa Ibu takkan salah pilih."
"Kau takkan menyesal walaupun calon suamimu itu melarat dan hanya pandai mencangkul tanah?"
"Kemiskinan bukan merupakan penghalang kebahagian dan kekayaan bukan merupakan tangga kebahagiaan. Bukankah ini ucapan Ibu sendiri yang dulu sering diajarkan kepadaku dan adik-adikku?"
"Biarpun kepandaian Sutadi hanya mencangkul tanah?"
"Ibu, bertani adalah pekerjaan yang semulia mulianya pekerjaan, mengandung tugas bakti kepada Tuhan Yang Maha Murah."
Rondo Kuning menarik napas panjang.
"Aku tahu bahwa kau akan berbahagia apabila kau menjadi kawan hidup pemuda itu nak. Akan tetapi... Ayahmu..."
Tiba-tiba hati Kencanawati berdebar cemas.
"Rama Penewu? Ada hubungan apakah dia dengan urusan kita ini, Ibu?"
"Dia... dia tidak setuju, bahkan melarang keras!"
Kencanawati terkejut. Sungguhpun hal ini tidak mengherankannya.
"Apa... Apa kehendaknya, maka ia melarang perjodohan saya, Ibu?"
Tanyanya dengan hati tiba-tiba merasa tidak enak sekali.
"Dia...dia"
Berkata bahwa daripada kau kawin dengan seorang petani miskin lebih baik dia mengambilmu sebagai selirnya sendiri."
"Jahanam keparat!!"
Tiba-tiba kedua mata Kencanawati yang bagus itu memancarkan cahaya merah.
"Ibu, lebih baik anak mati daripada menjadi selirnya!"
Sambil berkata demikian, gadis yang berhati tabah dan keras itu berlari memasuki kamarnya.
"Kencana...!"
Rondo Kuning berteriak dan lari mengejar ke dalam bilik anaknya itu. Ia melihat betapa Kencanawati mengambil sebuah pisau belati dan siap hendak menanamkan pisau itu ke dalam dada ke dalam dada kirinya. Bondo Kuning cepat menubruk dan merampas pisau itu.
"Kencana, gilakah kau?"
Serunya mencela.
"Pantaskah anakku berlaku senekat dan berpikiran sependek ini? Kita harus mencari jalan yang baik, tidak berputus asa dan membunuh diri! Ini bukanlah jalan yang sempurna, anakku."
Kencanawati memeluk Ibunya dan barulah ia menangis.
"Ampun, Ibu..."
Setelah Ibu dan anak itu bertangisan dengan hati duka, Rondo Kuning lalu menghibur anaknya dan berkata,
"Jangan kau kira bahwa akupun rela memberikan kau menjadi selir si durhaka itu. Akan tetapi, apa daya kita wanita-wanita lemah terhadap Galiga Jaya yang berpengaruh dan berkuasa? Jalan satu-satunya ialah melarikan diri, nak. Kau harus lari sebelum terlambat dan aku hendak memberi tahu kepada Sutadi agar kalian bisa lari bersama."
"Dan meninggalkan Ibu serta adik-adikku?"
Kata Kencanawati dengan air mata mengalir turun membasahi pipinya yang pucat.
"Tidak apa, anakku. Demi keselamatanmu, kau dan calon suamimu harus lari dan pergi jauh-jauh dari tempat berbahaya ini. Kelak masih banyak waktu bagi kita untuk saling bertemu kembali."
Tanpa dapat membantah lagi, Kencanawati lalu mengumpulkan pakaian dan bersiap-siap, sedang Rondo Kuning lalu memanggil Bandini dan menyuruh anak ini segera pergi mencari Sutadi yang masih bekerja di sawah dan memanggil pemuda itu agar cepat datang ke rumah Rondo Kuning. Alangkah marahnya Sutadi ketika mendengar penuturan Rondo Kuning tentang maksud jahat Penewu Galiga Jaya. Akan tetapi sebagai seorang pemuda biasa, dia juga tidak berdaya melawan dan tidak berani menentang Penewu itu secara berterang, maka ia lalu tunduk terhadap rencana Rondo Kuning. Ketika melihat tunangannya yang cantik itu keluar sambil menangis dan membawa buntalan pakaian, hati Sutadi terharu sekali. Ia lalu mengangkat dada dan berkata kepada Rondo Kuning,
"Ibu, percayalah kepada saya. Saya akan membawa pergi dinda Kencanawati dan akan melindunginya. Saya rela mengorbankan nyawa dan raga saya yang tidak berharga ini untuk membelanya dari kekejaman Penewu Galiga Jaya!"
Setelah bertangis-tangisan dengan Ibunya serta dengan Sariwati dan Bandini, Kencanawati lalu mencium Bondan, sama sekali tidak ingat bahwa anak kecil itu adalah keturunan orang yang kini hendak mencelakakannya. Kemudian ia pergi dengan cepat bersama tunangannya meninggalkan rumah Ibunya dan meninggalkan dusun Pakem. Akan tetapi mereka yang sedang berusaha untuk melarikan diri dan mencoba untuk menghindarkan diri dari bencana kekejaman Penewu Galiga Jaya, tidak tahu akan pengaruh dan kecerdikan Penewu itu! Setelah meninggalkan rumah Rondo Kuning, Galiga Jaya telah dapat menduga bahwa tentu selirnya itu takkan tinggal diam dan mencoba untuk mencegah kehendaknya yang hendak menyelir puteri tirinya.
Maka Penewu ini telah memerintahkan kaki tangannya untuk mengintai dan melakukan penjagaan. Ketika mendengar laporan dari perajuritnya bahwa Kencanawati melarikan diri dengan seorang pemuda ani, Galiga Jaya segera membawa serombongan perajurit dan dengan naik kuda lalu melakukan pengejaran. Mereka tak usah lama mengejar, oleh karena seorang gadis selemah Kencanawati tentu saja tak dapat berlari cepat dan Sutadi yang mencinta tunangannya tak tega untuk memaksanya berlari-lari cepat. Keduanya menjadi pucat ketika tiba serombongan orang berkuda mengejar dan menyusul mereka. Ketika Galiga Jaya melompat turun dari kuda dan berdiri sambil bertolak pinggang menghadapi mereka, keduanya hanya dapat berpegang tangan dan menggigil.
"Hm, bagus sekali perbuatanmu ini, Kencanawati! Pantaskah seorang Puteri Penewu yang terhormat melakukan perbuatan yang teramat rendah dan hina, melarikan diri dengan seorang pemuda melarat? Kau sungguh mencemarkan nama Ayahmu ini."
"Aku tidak mempunyai Ayah seperti kau!"
Jawab Kencanawati yang biarpun merasa takut akan tetapi masih memiliki kekerasan dan ketabahan hatinya.
"Ha-ha-ha! Kau memang benar, anak manis! Aku bukan Ayahmu dan sebentar lagi aku adalah suamimu!"
"Keparat tak tahu malu!"
Tiba-tiba Sutadi tak dapat menahan marahnya lagi dan ia lupa akan takutnya.
"Hanya anjing rendah saja yang hendak mengganggu anak perempuannya, walaupun hanya anak tiri!"
Berputarlah kedua mata Galiga Jaya yang besar itu karena marahnya.
"Bangsat yang sudah bosa hidup!"
Serunya dan ia mencabut keris lalu melompat menerkam. Sutadi adalah seorang pemuda tani biasa. Walaupun ia memang bertubuh tegap dan kuat sehat, namun ia tidak pandai ilmu pencak silat serta tak pernah mempelajari ilmu berkelahi. Menghadapi serangan Galiga Jaya ia mencoba untuk mengelak dan balas memukul, akan tetapi, melawan Penewu yang telah banyak mengalami pertempuran dan yang telah banyak mempelajari aji kesaktian serta ilmu perkelahian, ia merupakan makanan lunak. Dalam beberapa gebakan saja, keris Galiga Jaya telah berkali-kali menusuk perut dan dadanya hingga pemuda bernasib malang itu roboh mandi darah dan tewas seketika setelah berhasil mengeluh,
"Kencanawati...!"
Kencanawati menjerit ngeri dan menubruk mayat pemuda itu. Akan tetapi, secepat kilat kedua lengan Galiga Jaya memeluknya dan Penewu itu sambil tertawa bergelak-gelak lalu memondong tubuh dara itu ke atas kudanya. Kemudian, ia membawa anak buahnya menuju ke dusun Pakem. Bukan main kaget dan cemasnya hati Rondo Kuning ketika melihat kedatangan Galiga Jaya dengan anak buahnya, terutama ketika melihat Kencanawati terpeluk erat di depan Penewu itu! Sambil menggendong Bondan di dada, ia lari menyambut dan segera hendak menarik turun Kencanawati, akan tetapi Galiga Jaya lalu mendahului melompat turun sambil memberi perintah kepada seorang pembantunya untuk menjaga agar Kencanawati tidak turun dari kuda.
"Kau... kau apakan dia? Kau hendak membawa kemana anakku..."
Dengan mata terbelalak dan jari telunjuk menunding, Rondo Kuning berkata. Galiga Jaya tersenyum menyeringai dan mengejek.
"Hm, kau perempuan rendah, tak kenal budi, dan Ibu yang tidak dapat menjaga kehormatan anak perempuannya! Kau secara tidak tahu malu telah menyuruh Kencanawati melarikan diri dengan seorang pemuda melarat!"
"Kau perduli apa? Lebih baik ia lari dengan seorang pemuda tani daripada menjadi korban nafsu binatangmu! Hayo lepaskan anakku!"
"Rondo Kuning, jangan kau kurang kurang ajar. Ingatkah kau aku ini siapa?"
"Kau jahanam besar! Kau adalah seorang laki-laki keparat!"
"Kurang ajar!"
Galiga Jaya mengayunkan cambuk kudanya yang tepat memukul Rondo Kuning hingga perempuan itu terhuyung ke belakang dan darah mengucur dari pipinya.
"Lepaskan anakku!"
Katanya dan untuk kedua kalinya cambuk di tangan Galiga Jaya menyambar, kini tepat mengenai mata kiri Rondo Kuning hingga wanita itu menjerit kesakitan dan matanya menjadi biru tak dapat dibuka lagi!
"Ibu"
Kencanawati menjerit dan meronta-ronta di atas kuda, akan tetapi hal ini bahkan menyenangkan hati perajurit yang bertugas menjaga dan memeganginya hingga perajurit itu tersenyum-senyum senang sambil memeluk tubuh gadis yang meronta-ronta itu.
"Ibu...! Ibu...!!"
Tiba-tiba terdengar pekik dari dalam rumah dan Sariwati berdua Bandini berlari-lari menghampiri Ibunya. Mereka lalu menubruk dan memeluk Rondo Kuning sambil menangis. Orang-orang dusun yang melihat peristiwa ini, mengertak gigi dan memandang dengan mata merah saking marah dan gemasnya, akan tetapi mereka tidak berani menghadapi Penewu yang berkuasa serta yang diikut oleh anak buahnya yang lebih dari dua puluh orang banyaknya itu. Kini Rondo Kuning tak dapat menahan lagi rasa benci dan marahnya. Ia melepaskan diri dari pelukan Sariwati dan Bandini, lalu maju lagi bagaikan seekor harimau betina mengamuk.
"Jahanam Galiga Jaya! Lekas kau lepaskan dan bebaskan anakku. Hendak kau bawa ke mana Kencanawati? Dan kau apakan Sutadi?"
"Ha-ha-ha! Kau belum tahu, ya? Dengarlah! Sutadi bangsat kecil yang kurang ajar itu telah mampus di ujung kerisku. Dan Kencanawati mulai hari ini menjadi selirku dan tinggal digedungku. Hidupnya akan jauh lebih bahagia dan terhormat, daripada berada disini, dibawah asuhan Ibunya yang tidak dapat menjaga kehormatannya."
"Galiga Jaya anjing keparat!"
Rondo Kuning menerkam maju sambil memeluk Bondan dengan tangan kiri. Tangan kanannya diulur maju, merupakan cengkeraman dan hendak mencakar muka Penewu itu. Sambil menyerang, Rondo Kuning menyemburkan ludah sirihnya yang merah ke arah muka suaminya. Galiga Jaya cepat mengelak dari cengkeraman itu, akan tetapi ia terkena ludah sirih merah, hingga sebagian muka dan lehernya menjadi merah. Bukan main marahnya, dengan gemas sekali ia lalu mengangkat tangan kanan memukul keras-keras ke arah dada Roro Kuning.
Dalam kemarahan besar, Roro Kuning sampai lupa kepada Bondan yang masih digendong dan dipeluknya, maka ketika pukulan Galiga Jaya menyambar dada, tanpa disengaja pukulan ini jatuh tepat mengenai kepala Bondan. Anak kecil itu memekik ngeri, berkelojotan dalam pelukan Ibunya dan"
Mati. Rondo Kuning memandang muka anaknya dan tiba-tiba ia berdiri diam bagaikan patung, memandang wajah anaknya yang telah putus nyawanya itu. Mata Rondo Kuning yang biru sebelah itu terbelalak, mulutnya celangap, kulit mukanya yang kuning menjadi putih bagaikan kapur. Galiga Jaya sendiri ketika melihat bahwa pukulan tangannya mengenai kepala anaknya sendiri hingga anaknya itu tewas, merasa terkejut sekali dan melangkah mundur tiga tindak dengan wajah pucat dan perasaan ngeri, sedangkan ia merasa betapa bulu tengkuknya berdiri.
"Bondan...!"
Jerit ini terdengar sampai jauh karena dikeluarkan sedemikian keras dan nyaringnya hingga mengejutkan kuda yang ditunggangi para perajurit.
"Bondan... kau... kau mati! Kau dibunuh oleh Ayahmu sendiri... Bondan..."
Rondo Kuning lalu menjatuhkan dirinya di atas tanah, berlutut dan menciumi muka anaknya sambil menangis meraung-raung. Tiba-tiba ia mengangkat kepala memandang dan ketika melihat wajah Galiga Jaya yang nampak terkejut dan menyesal, tiba-tiba saja timbul hati geli yang luar biasa di dalam hatinya. Tak disengaja lagi Rondo Kuning tertawa tergelak-gelak, lalu bangkit berdiri dan menuding kepada suaminya,
"Galiga Jaya, ha-ha-ha! Kau membunuh anakmu sendiri... Kau... kau anjing yang makan anak sendiri"
Ha-ha-ha! Kau telah berlumur darah di leher dan muka, kau akan mampus dengan darah memenuhi leher dan mukamu! Lihat, lihat darah anakmu memenuhi tanganmu!"
Galiga Jaya melangkah mundur selangkah dengan muka makin pucat. Ia meraba lehernya dan memang ludah sirih yang berlumur di lehernya seperti darah hingga tangannya menjadi merah pula. Sementara itu, Rondo Kuning sudah menangis lagi meraung-raung dan sambil tertawa dan menangis berganti-ganti, akhirnya wanita itu lalu melompat dan lari dari situ sambil memanggil-manggil nama Bondan dan memondong mayat anak itu.
"Ibu...!"
Sariwati dan Bandini mengejar. Akan tetapi Galiga Jaya lalu berseru,
"Tangkap kedua gadis itu!"
Para anak buahnya tak perlu diperintah dua kali. Mereka berebut menangkap Sariwati dan Bandini yang cantik jelita dan menaikkan kedua orang remaja puteri itu ke atas kuda. Sementara itu, melihat Galiga Jaya tadi memukul mati Bondan, Kencanawati saking ngerinya telah menjadi lemas dan pingsan di atas kuda. Orang-orang dusun yang melihat betapa Galiga Jaya membunuh Bondan dan membuat Rondo Kuning menjadi gila, segera menyerbu maju dan seorang tua yang tinggal di dekat rumah Rondo Kuning menegur,
"Penewu Galiga Jaya! Perbuatanmu ini agak melampaui batas!"
"Apa? Kalian hendak memberontak? Hajar mereka!"
Seru Galiga Jaya kepada anak buahnya dan para perajurit berkuda itu lalu majukan kuda dan menghujankan pukulan dan tendangan kepada orang-orang kampung itu.
Orang-orang kampung lari cerai-berai, yang agak tabah mencoba melawan, akan tetapi mereka ini bahkan menjadi korban tombak dan sebentar saja bersihlah tempat itu, yang lari telah bersembunyi, sedangkan yang melawan telah roboh semua. Termasuk kakek yang menegur tadi, sebelas orang kampung tewas dalam amukan ini. Setelah itu Penewu Galiga Jaya lalu melarikan kudanya yang membawa Kencanawati dan gadis itu masih saja belum siuman dari pingsanya. Juga Sariwati dan Bandini dinaikkan ke atas kuda dan dibawah lari oleh dua orang pembantu Galiga Jaya. Berbeda dengan kakaknya, Sariwati dan Bandini tiada hentinya menjerit-jerit minta tolong dan meronta-ronta mencoba melepaskan diri dari pelukan penawannya. Akan tetapi, siapa yang berani menolong?
Di lereng Gunung Lawu, sebelah timur puncak yang disebut Pringgodani, terdapat sebuah gua batu. Gua ini lebar dan dalam, menghadapi sebuah lapangan yang tidak saja ditumbuhi rumput hijau yang rata dan gemuk hingga apabila angin gunung menghembus lalu, ujung-ujung rumput yang bergelombang itu merupakan permukaan air hijau yang indah dan bergerak-gerak hidup, akan tetapi disana-sini terdapatpula bunga-bunga liar yang indah.
Rondo Kuning Membalas Dendam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bunga-bunga ini memang liar dan tidak sengaja ditanam oleh tangan manusia, akan tetapi mereka hidup subur dan menyiarkan keharuman yang sedap dan menyegarkan. Di antara bunga-bunga indah, terdapat pula mawar, melati dan kemuning. Gua ini tidak kosong, melainkan didiami oleh seorang tua renta yang bertubuh tinggi kurus. Jenggot dan kumisnya yang panjang dan putih bersih itu menandakan bahwa usianya telah sangat lanjut. Memang kakek ini sudah tua sekali, bahkan menurut cerita orang-orang tua yang tinggal disekitar kaki Gunung Lawu dan di lereng gunung yang subur tanahnya itu, kakek ini sudah ada semenjak Ayah mereka masih hidup! Menurut cerita ini, apabila benar-benar terjadi, maka kakek ini tentu sudah lebih dari seratus tahun umurnya! Kakek tua ini bernama Panembahan Sidik Paningal dan yang terkenal di desa-desa sekitar Gunung Lawu sebagai Eyang Sidik saja.
Beberapa pekan yang lalu, pada suatu pagi yang cerah, panembahan itu duduk di muka gua, bersila di atas tanah kering yang berumput oleh karena tanah itu memang menjadi tempat duduknya pada waktu ia berada di luar gua, hingga rumput-rumput mengering dan tidak tumbuh di tempat itu. Di depannya, seorang pemuda teruna duduk pula bersila dengan sikap hormat. Pemuda ini bertubuh sedang, tidak terlalu besar, tidak pula kurus kering, bahkan pada sepasang lengan dan dadanya yang tak berbaju itu nampak daging dan otot-otot yang membayangkan tenaga yang kuat. Keningnya lebar, hidungnya lurus mancung, dan bibirnya menandakan bahwa ia kuat iman dan teguh hati. Yang menarik hati adalah sepasang matanya, karena sepasang mata ini bercahaya ganjil dan dari manik matanya seakan-akan bersinar keluar tenaga yang berpengaruh dan kuat, yang membuat orang tidak tahan menatap dan menyambut padang mata itu lama-lama. Mata ini bagus bagaikan sepasang bintang pagi.
"Adiguna, muridku. Sekali lagi kutekankan bahwa kau tidak mempunyai bakat untuk menjadi seorang pertapa. Kau tidak dilahirkan untuk menjadi pertapa. Sungguhpun harus kuakui bahwa kau kuat menjalankan tapabrata. Waktu yang lima tahun kau lewatkan di tempat ini sudah cukup lama dan sekarang sudah tiba waktunya bagimu untuk turun gunung."
Adiguna tertegun mendengar penjelasan gurunya ini. Hatinya ingin benar tinggal terus di tempat ini, tempat yang telah merebut hatinya yang telah disayanginya sebagai tempat yang paling indah dan menyenangkan di dunia ini. Kata-kata gurunya yang menyebutkan tentang "Dilahirkan"
Tadi, tiba-tiba membuat ia sadar dan timbul pula pertanyaan yang dulu sering mengganggu hatinya.
"Eyang panembahan, betapapun hamba ingin sekali diperkenankan tinggal terus ditempat ini, menjaga Eyang yang sudah tua serta mempelajari ilmu dari Eyang, namun kehendak Eyang tak berani hamba membantahnya. Akan tetapi, ucapan Eyang tadi mengingatkan hamba akan sesuatu dan hamba mohon sebelum hamba meninggalkan tempat ini, sudilah kiranya Eyang menerangkan hati hamba yang telah lama digelapkan oleh sebuah hal yang ingin sekali hamba ketahui."
Panembahan Sidik Paningal tersenyum dan aneh sekali, pada saat ia tersenyum, lenyaplah sifat tua yang menyelimuti wajahnya, terganti oleh kemudaan. Bahkan mukanya menjadi seperti muka seorang kanak-kanak yang segar dan sehat.
"Adiguna, sudah menjadi hak seorang murid untuk bertanya dan memang kewajiban seorang guru untuk menjawab pertanyaan itu. Katakanlah apa yang mengganggu hatimu, dan seberapa dapat aku hendak menerangkannya."
"Maafkan hamba, Eyang. Sesungguhnya, walaupun hamba datang disini dalam usia belasan tahun, namun peristiwa itu agaknya telah membuat hamba kehilangan ingatan hamba ini, datang dari mana dan siapa pula Ayah Ibu hamba."
Panembahan Sidik Paningal tersenyum lagi.
"Memang benar, muridku, ketika aku menemukan kau usiamu telah tiga belas tahun, dan yang kau ketahui hanyalah namamu sendiri. Apakah kau masih ingat akan peristiwa kedatangamu ditempat ini?"
Adiguna masih ingat dengan baik sekali peristiwa yang mengerikan itu. Ketika ia berusia tiga belas tahun dan sedang mengarit (membabat dengan arit) rumput yang tebal, tiba-tiba seekor macan loreng yang besar sekali melompat dan menyerangnya! Adiguna melawan mati-matian dengan aritnya dan kekagetan serta ketakutan membuatnya tak kuasa berteriak minta tolong. Akhirnya sebuah sampokan kaki depan harimau itu membuat arit Adiguna terlempar jauh dan ia roboh pingsan sebelum mengetahui apa yang diperbuat oleh harimau itu pada dirinya. Macan loreng itu tidak segera menerkam, dan mengaum serta mencium-ciuminya, seakan-akan merasa ragu-ragu dan mengira bahwa ia telah mati. Kemudian, macan itu mengigit pundaknya dan membawanya lari keras.
Ketika siuman, Adiguna mendapat kenyataan bahwa dirinya telah berada di sebuah hutan di kaki Gunung Lawu dan bahwa macan itu telah lenyap, dan yang berada di depannya kini adalah seorang kakek tua yang bukan lain Panembahan Sidik Paningal adanya. Ternyata kemudian kakek sakti itu telah menolongnya dan mempergunakan kesaktiannya untuk mengusir harimau itu dan melepaskan korbannya. Adiguna yang merasa takut dan terkejut, ternyata telah mendapat pukulan keras pada ingatannya yang membuatnya lupa akan segala, kecuali namanya sendiri. Demikianlah semenjak hari itu ia menjadi murid Panembahan Sidik Paningal mempelajari ilmu batin dan aji kesaktian, serta mengerjakan pekerjaan keperluan mereka berdua sehari-hari. Kini mendengar pertanyaan gurunya, terbayanglah kembali segala peristiwa itu dan ia menjawab dengan sembah,
"Hamba masih teringat dengan baik akan segala budi Eyang yang telah menolong hamba dari terkaman mulut harimau!"
"Jangan ikat dirimu dengan segala budi pertolongan Adiguna. Semua peristiwa tidak terluput dari gerakan tangan sakti dari Yang Maha Agung dan kita hanya tinggal menjalankan saja. Kalau kau ingin mengetahui asal-usulmu, kau harus kembali ke tempat dari mana harimau itu membawamu. Dia dulu datang dari arah barat bukit ini, maka sekarang kau turunlah dari sini dan menuju ke barat. Kalau kau mencari dengan teliti, tentu kau akan dapat mencari keterangan tentang asal usulmu itu. Juga kau akan tiba di Ibu kota Mataram hingga kau akan mendapat kesempatan mengabdi kepada Sri Sultan yang bijaksana, karena apakah gunanya segala macam ilmu yang kau pelajari dan tak dapat mempergunakannya guna menolong negara dan bangsa?"
Demikianlah setelah menerima petunjuk-petunjuk dan petuah-petuah yang amat luhur dan berharga dari gurunya, Adiguna lalu turun gunung dari sebelah barat. Ia menggunakan ketangkasannya dan sebentar saja ia telah dapat menuruni gunung dan melintasi jurang-jurang yang dalam dan berbahaya. Ketika ia melalui sebuah hutan yang amat liar dan luas, tiba-tiba dari balik pohon-pohon besar berlompatan keluar lima orang tinggi besar yang memegang golok atau keris di tangan kanan. Sikap mereka menakutkan dan mengancam, dan seorang pemimpinnya yang bercambang bauk dengan keris di tangan membentak,
"Hai, pemuda bagus, kau berhentilah!"
Adiguna menahan langkah kakinya dan memandang tenang. Ia tak tahu sedang berhadapan dengan siapa dan mengapa mereka ini mencegat perjalanannya.
"Ada keperluan apakah saudara-saudara menghentikan perjalananku?"
Tanyanya dengan sabar. Panembahan Sidik Paningal yang cinta kepada muridnya itu telah memberikan beberapa potong pakaian kepada Adiguna, dan pakaian itu dibuntal serta diikatkan di belakang punggung pemuda itu. Kelima orang yang menghadangnya itu memandang ke arah buntalan pakaian dan pemimpinnya berkata,
"Anak muda yang bagus, sebelum kau melanjutkan perjalananmu, lebih dulu kau harus menyerahkan buntalan itu kepada kami!"
Adiguna terheran dan memandang dengan bingung.
"Mengapa aku harus menyerahkan buntalan yang terisi pakaian itu kepada kalian?"
"Tak usah banyak cerewet, lekas kau serahkan buntalan itu!"
Seorang diantara yang empat lain membentak sambil peletotkan matanya yang besar dan merah.
"Apakah kalian butuh akan pakaian? Kalau benar-benar kalian membutuhkannya, marilah, kalian boleh ambil semua!"
Sambil berkata demikian, Adiguna melepas ikatan buntalan dari pundaknya dan memberika itu kepada si cambang bauk yang segera menyambarnya. Mereka lalu beramai membuka bantalan itu akan tetapi wajah mereka kecewa sekali oleh karena melihat bahwa isi buntalan itu hanyalah pakaian-pakaian yang biarpun bersih dan indah, namun tak berapa banyak harganya! Mereka lalu memandang kepada Adiguna dengan mengancam.
"Hayo kau keluarkan semua barang milikmu yang masih kau bawa!"
Adiguna makin terheran.
"Eh, apakah sebenarnya maksud kalian? Kalian membutuhkan pakaian dan aku sudah memberikan semua pakaianku, sekarang apakah lagi yang kalian kehendaki? Aku sunguh-sunguh tidak mempunyai apa-apa lagi."
Pemuda ini belum pernah mendengar atau bertemu dengan perampok, maka ia tidak tahu bahwa kini ia sedang berhadapan dengan perampok-perampok! Tiba-tiba si cambang bauk yang menjadi pemimpin mereka berbisik-bisik kepada kawan-kawannya. Biarpun mereka itu berdiri agak jauh, namun dengan kesaktiannya, Adiguna dapat mendengar percakapan mereka. Ia mendengar si cambang bauk berkata,
"Pemuda ini bagus dan tampan sekali. Mari kita culik dia!"
Kata si camban bauk.
"Ya, kita jadikan dia pelayan kita!"
Kata kawannya.
"Tidak, kita jual saja dia kepada pembesar mataram!"
Si cambang bauk lalu menghadapi Adiguna yang masih berdiri dengan tenang dan berpura-pura tidak mendengar percakapan mereka tadi sungguhpun mendengar percakapan itu, ia merasa heran sekali.
"Anak muda yang bagus!"
Kata si cambang bauk.
"Kalau engkau tidak mempunyai barang-barang berharga untuk menebus dirimu, terpaksa engkau harus ikut dengan kami dan menjadi tawanan kami!"
"Kalian ini sebenarnya orang-orang apakah dan mengapa tanpa sebab agaknya hendak mengganggu aku? Kukira tadi kalian memang orang melarat yang membutuhkan pertolongan hingga aku telah memberikan pakaianku, akan tetapi mengapa kalian hendak menawanku? Sebenarnya siapakah kalian ini?"
Kelima orang perampok itu saling pandang dengan mata heran, kemudian tertawalah mereka dengan geli hati.
"Anak bodoh! Engkau mengira kami ini orang-orang melarat yang butuh pakaian? Ha-ha-ha! Jangan engkau menghina, anak muda. Kami adalah lima saudara yang berkuasa di hutan ini, dan aku bernama Bandusenggoro! Engkau siapakah, anak muda yang bagus dan hendak kemana?"
"Namaku Adiguna dan aku hendak mencari keluargaku,"
Jawab Adiguna sejujurnya.
"Siapa keluargamu itu dan orang mana?"
"Inilah yang aku sedang mencari-cari, aku sendiri tidak tahu siapakah keluargaku."
"Eh, kau ini benar-benar orang aneh! Siapa nama Ayah Ibumu?"
Tanya pula Bandusengoro. Adiguna mengangkat kedua pundaknya keatas.
"Inipun aku sedang mencari tahu, karena aku telah lupa akan nama mereka."
Bendusengoro saling pandang dengan kawan-kawannya dan mereka ini mulai menganggap bahwa pemuda yang bagus ini barangkali telah berobah otaknya! Mana ada orang lupa nama Ayah Ibu sendiri? Adiguna juga maklum bahwa pernyataannya tadi tentu menimbulkan keheranan dan tidak kepercayaan, maka ia lalu menyambung kata-katanya,
"Lima tahun yang lalu ketika aku bekerja mencari rumput, seekor harimau menyerang dan menggondolku pergi dan semenjak itu aku telah lupa sama sekali akan keadaan keluargaku."
Tiba-tiba seorang diantara perampok-perampok itu berseru,
"Hai, kalau begitu kau tentulah kemenakan Pak Wiryosentiko di dusun Pakem!"
Akan tetapi Bandusengoro berkata keren,
"Siapapun adanya kau, sekarang juga kau harus ikut dengan kami!"
Sambil berkata demikian, ia melompat maju memegang lengan tangan Adiguna. Pemuda itu ketika mendengar nama Wiryosentiko di dusun Pakem yang diperkenalkan sebagai pamannya, berdiri sejenak tak bergerak dan otaknya mengingat-ingat. Serasa pernah didengarnya nama ini, juga nama dusun Pakem tak asing bagi telinganya. Maka ia tidak memperdulikan pegangan tangan Bandusengoro. Setelah kepala rampok itu membetotnya dengan kuat, barulah ia seakan tersadar dari mimpi. Tanpa disengaja ia menarik lengannya yang terpegang dan dengan mudah saja terlepas dari pegangan Bandusengoro. Kepala rampok itu terkejut, tak pernah disangkanya bahwa pemuda itu begitu kuat sehingga sekali merenggut saja pegangan tangannya terlepas.
"Kau hendak lari kemana?"
Bentaknya dan menubruk lagi. Akan tetapi sekarang Adiguna telah merasa mendongkol sekali melihat kekasaran perampok-perampok ini. Sekali ia menggerakkan kaki ke kiri, tubrukan itu menjadi luput dan tubuh kepada rampok itu terhuyung ke depan.
"Jangan kau memaksa, Bandusengoro!"
Kata Adiguna. Akan tetapi serentak kawanan perampok itu maju hendak menangkapnya. Terpaksa Adiguna lalu memperlihatkan ketangkasannya. Kedua tangannya bergerak cepat dan sebelum kelima orang perampok itu tahu apa yang telah terjadi atas diri mereka, tahu-tahu tubuh mereka telah terpelanting ke kanan kiri hingga kulit mereka lecet-lecet dan kepala mereka benjol-benjol. Bukan main marahnya kelima orang itu. Mereka masih belum mau mengerti bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Mereka mencabut senjata tajam yang tadi diselipkan dipinggang karena memandang rendah pemuda halus ini dan sambil mengeluarkan teriakan menyeramkan, mereka lalu maju menyerang.
Walaupun tidak takut kepada semua senjata tajam itu, namun Adiguna merasa khawatir kalau-kalau pakaian yang dipakainya akan rusak dan robek, maka ia lalu bergerak lebih cepat lagi, kini dengan kedua kaki dan tangannya. Dan akibatnya hebat sekali! Kelima orang perampok yang terkenal buas dan memiliki ilmu berkelahi yang cukup tangguh dan tenaga luar biasa kuatnya itu, tiba-tiba menjerit-jerit kesakitan sambil memegangi tangan mereka yang tadi memegang senjata tajam yang kini telah terlempar ke kanan kiri. Ternyata bahwa gerakan Adiguna yang cepat hingga tak terlihat oleh mata lawan-lawannya itu telah dengan cepat menyerang tangan mereka dengan kipratan tangan dan tendangan kaki hingga pergelangan tangan mereka menjadi matang biru dan sakit sekali.
"Jahat! Jahat! Kalian ini lima orang perampok sungguh ganas dan kejam! Kalau bukan aku yang kalian serang, bukankah kalian telah berhasil membunuh orang?"
Setelah berkata demikian, tanpa memperdulikan lima orang perampok yang memandang dengan mata terbelalak heran, pemuda itu lalu mengambil kembali buntalan pakaiannya dan melanjutkan perjalanannya dengan cepat menuju ke barat. Mudah saja bagi Adiguna untuk mencari dimana adanya dusun Pakem. Segera ia mencari rumah Wiryosentiko dan ternyata bahwa Pak Wiryosentiko adalah seorang tua yang bekerja sebagai penggarap sawah yang miskin. Ketika ia masuk ke dalam pondok, ia disambut oleh Pak Wiryosentiko sendiri beserta isterinya yang telah tua pula dan seorang anaknya yang telah menikah dan tinggal dirumah itu dengan isterinya. Anak kedua Wiryosentiko, seorang pemuda berusia sebaya dengan Adiguna, sedang pergi dan tidak berada di rumah. Mula-mula Wiryosentiko merasa heran melihat kedatangan Adiguna.
"Raden ini siapakah dan ada perlu apa mencari hamba?"
Tanyanya, karena wajah dan sikap Adiguna menimbulkan persangkaan padanya bahwa pemuda ini tentulah seorang bangawan.
"Paman, apakah benar paman mempunyai seorang kemenakan yang bernama Adiguna?"
Tanya Adiguna dengan suara gemetar menahan perasaan hatinya yang menggelora. Orang tua itu terkejut dan heran.
"Adiguna? Benar, Raden. Adiguna itu adalah anak kemenakan hamba yang telah lenyap lima tahun yang lalu, khabarnya ia digondol macan!"
Mendengar ucapan ini, Adiguna lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah,
"Paman... akulah Adiguna kemenakanmu itu!"
Untuk sejenak Pak Wiryosentiko berdiri tertegun dan memandang dengan mata terbelalak, demikian isterinya. Puteranya yang juga memandang, tiba-tiba berseru,
"Benar Ayah, dia ini benar si Guna! Lihat saja tahi lalat di pangkal lengan kanannya dekat pundak itu!"
Pak Wiryosentiko memandang dan ia lalu menubruk dan memeluk Adiguna,
"Aduhai, anakku! Jadi engkau masih hidup!"
Isterinya pun lalu maju memeluk Adiguna dengan tangisnya, dan pertemuan ini mendatangkan haru dan suka. Adiguna dengan singkat menuturkan pengalamannya, hingga Pak Wiryo suami isteri dan Jimanta serta isterinya, yaitu putera dan mantu Pak Wiryo memandang dengan penuh takjub. Setelah bertemu dengan orang-orang yang dulu dikenalnya baik ini, teringatlah Adiguna kepada Riyatman, putera bungsu pak Wiryosetiko.
"Dimanakah si Riyatman?"
Tanyanya gembira. Pak Wiryosentiko menghela napas.
"Saudaramu itu sukar sekali diatur dan tidak taat kepada orang tua. Jarang sekali ia berada dirumah dan kesukaannya hanyalah belajar pencak silat dan mengejar segala macam ilmu kepandaian berkelahi. Entah mau menjadi apa anak itu! Semenjak kemarin ia tidak pulang sudah biasa ia pulang dua atau tiga hari sekali."
Kemudian Adiguna bertanya kepada pamannya tentang kedua orang tuanya. Pamannya memandang heran dan berkata,
"Adiguna, engkau sungguh patut dikasihani. Agaknya peristiwa dengan harimau itu telah membuat engkau sedemikian takut dan kaget hingga engkau telah lupa akan segala hal. Lupakah engkau bahwa engkau adalah seorang yatim-piatu, tak berayah tak beribu lagi? Engkau ikut padaku semenjak berusia sepuluh tahun dan sebelum Ibumu meninggal dunia menyusul suaminya, ia telah menitipkan engkau kepadaku."
Adiguna mendengarkan penuturan singkat ini dengan kepala tunduk dan ia tak dapat berkata apa-apa, hanya menekan perasaannya yang terserang kekecewaan dan kedukaan hebat. Paman dan bibinya memandang dengan penuh iba sambil menggelengkan kepala. Para tetangga yang masih ingat akan Adiguna, ketika mendengar bahwa pemuda yang digondol macan itu kini masih hidup dan datang kembali menjadi girang dan heran, maka sebentar saja penuhlah rumah Pak Wiryosentiko dengan para tetangga yang hendak melihat Adiguna yang tidak mati setelah digondol harimau pada lima tahun yang lalu.
Perlahan-lahan, teringat jugalah Adiguna kepada wajah orang-orang yang dulu menjadi tetangganya itu hingga terhibur juga kedukaan dan kekecewaan hatinya. Pada saat itu, diluar terdengar suara ribut-ribut dan orang menceritakan tentang amukan Penewu Galiga Jaya yang menculik anak perempuan Rondo Kuning dan bahkan telah membunuh beberapa orang kampung yang membela Rondo Kuning! Adiguna menjadi marah sekali mendengar bahwa hal yang kejam dan ganas ini dapat terjadi dikampung itu maka ia lalu berseru keras dan tiba-tiba semua orang terkejut melihat bayangan berkelebat dan pemuda itu tahu-tahu telah lenyap dari tengah-tengah mereka! Pak Wiryosentiko berdiri bingung dan barulah semua orang dapat menduga bahwa Adiguna, tentu telah menjadi seorang sakti!
"Tentu saja!"
Kata seorang diantara mereka.
"Kalau dia tidak sakti, tentu ia telah mati dimakan macan!"
"Yang menggondolnya tentu macan siluman dan ia menjadi murid macan siluman itu!"
Kata seorang lain. Ketika Adiguna tiba ditempat pertempuran, ternyata ia hanya melihat mayat-mayat orang kampung bergelimpangan, ditangisi oleh sanak keluarga masing-masing. Penewu Galiga Jaya telah pergi jauh membalapkan kudanya, diikuti oleh para anak buahnya.
"Kemana jahanam itu pergi?"
Adiguna bertanya. Seorang kampung dengan gemas menunjuk ke jurusan utara dan Adiguna lalu mempergunakan ilmu lari cepat mengejar ke arah itu! Ilmu lari cepat yang digunakan oleh Adiguna ini adalah ilmu lari Tunggang Bayu (Naik Angin) yang kecepatannya luar biasa, tidak kalah oleh larinya kuda!
Oleh karena itu, tak lama kemudian ia berhasil menyusul rombongan Penewu Galiga Jaya. Ia mudah mengikuti kemana larinya rombongan itu, oleh karena suara kedua orang gadis yang menjerit-jerit itu dapat terdengar oleh telinganya yang memiliki pendengaran tajam. Barisan Galiga Jaya yang terdiri dari dua puluh tiga orang itu, ketika masuk ke daerah Waru dan tiba di jalan yang diapit oleh sawah di kanan kiri, tiba-tiba menjadi ribut dibagian belakangnya. Penunggang kuda yang berada paling belakang, tiba-tiba saja merasa betapa pinggangnya, dipegang orang dari belakang dan tahu-tahu tubuhnya terlempar ke dalam sawah, jatuh di tanah lumpur hingga muka dan kepalanya penuh lumpur hitam! Orang kedua menyusul, ketiga, keempat, tubuh-tubuh mereka melayang bagaikan dihembus angin badai dan jatuh bergelimpangan di atas sawah.
Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo