Ceritasilat Novel Online

Rondo Kuning Membalas Dendam 4


Rondo Kuning Membalas Dendam Karya Kho Ping Hoo Bagian 4



Pada suatu hari, ketika Adiguna yang turun gunung dan melakukan perjalanan lelana brata tiba di hutan itu, dari belakang pohon-pohon berlompatan keluar lima orang yang masih muda-muda dan bersikap gagah.

   "Berhenti! Jawab dulu sebelum melanjutkan perjalanan. Apakah engkau seorang warga Mataram??"

   Teriak seorang di antara kelima orang itu. Adiguna tertegun. Kemudian ia mengangguk dan menjawab,

   "Memang ada adalah seorang kawula (rakyat) Mataram!"

   Tiba-tiba kelima orang itu tertawa menghina dan tanpa banyak cakap lagi kelimanya lalu menghunus keris dan menyerbu hendak membunuhnya! Adiguna terkejut sekali dan juga merasa penasaran. Ia melompat jauh mengelak dan berkata keras,

   "Hai! Apakah kalian berlima ini kemasukan setan dan menjadi gila semua? Datang-datang menyerang orang kalang-kabut dengan keris di tangan. Jangan main-main, keris adalah senjata berbahaya yang dapat membunuh orang."

   "Memang kami hendak membunuhmu!"

   Kata seorang diantara mereka. Adiguna merasa heran sekali sehingga ia memandang mereka dengan mata terbelalak.

   "Pernahkah kita bertemu dan apakah salahku maka kalian hendak membunuhku?"

   "Engkau adalah warga Mataram, maka harus kami bunuh!"

   "Siapa yang berkata bahwa warga Mataram harus dibunuh?"

   "Siapa lagi yang memerintah kami kalau bukan pemimpin kami? Sudahlah, jangan banyak cerewet. Hayo kawan-kawan kita bunuh manusia ini!"

   Dan kelimanya lalu menyerbu lagi dengan lebih ganas.

   Adiguna merasa heran sekali. Kelima orang ini masih muda-muda dan melihat gerakan mereka mempermainkan keris, nyata bahwa mereka ini terlatih baik dalam ilmu perkelahian dan sikap merekapun bukan seperti perampok. Siapakah mereka ini? Sambil menduga-duga, ia mengelak dengan cepat dan ketika kakinya bergerak, sebuah keris terlepas dari pegangan seorang pengeroyoknya dan orang itu berteriak kesakitan. Adiguna hanya bermaksud untuk merampas senjata mereka dan melukai tangan yang memegang keris itu, akan tetapi pada saat itu, dari dalam hutan lebat keluarlah belasan orang lain yang segera maju mengeroyok sambil berteriak-teriak. Alangkah kagetnya Adiguna ketika melihat bahwa mereka itu sebagian besar terdiri dari pemuda-pemuda yang berpakaian sebagai petani-petani biasa.

   "Tahan dulu... tahan dulu...!"

   Teriaknya, akan tetapi semua orang tak mau menghiraukannya, hanya menyerang membabi buta dan berteriak-teriak.

   "Bunuh warga Mataram! Bunuh!"

   Terpaksa Adiguna memperlihatkan ketangkasannya dan melawan mereka, akan tetapi lawan yang mengepungnya makin banyak saja. Tiba-tiba, seorang di antara mereka yang dulu tinggal di Pakem, dapat mengenal pemuda ini dan ia segera berseru keras.

   "Kawan-kawan, tahan! Jangan menyerang dia! Dia adalah adiguna, seorang kawan sendiri, bukan warga Mataram!"

   Teriakan ini berhasil baik dan semua orang menahan senjata mereka. Mereka menahan dengan kagum kepada pemuda yang dengan mudahnya telah merobohkan lebih dari lima orang dengan hanya bertangan kosong. Sementara itu, Riyatman dan Singalodra yang juga berlari mendatangi tempat itu, lalu maju ke depan. Riyatman terkejut sekali ketika mendengar bahwa pemuda itu adalah Adiguna, maka ia lalu melangkah maju mendekati. Sambil bertolak pinggang dan memandang dengan mata menghina, ia berkata,

   "Hm, jadi engkau ini yang bernama Adiguna? Engkaukah anak yang dulu digondol macan siluman dan setelah kembali ke kampung hanya mendatangkan malapetaka belaka? Kenalkah engkau siapa aku?"

   Melihat lagak yang keras dan sikap marah ini, Adiguna makin terkejut dan heran. Ia dapat menduga bahwa orang ini tentu pimpinan rombongan yang tadi mengeroyoknya, dan serasa ia pernah melihat wajah yang gagah dan tampan ini, akan tetapi ia tidak ingat lagi dimana dan bilaman ia bertemu dengan pemuda gagah ini.

   "Sapakah kau yang muda dan gagah ini, sahabat? Dan mengapa kau memusuhiku?"

   "Adiguna, benar-benar tak ingat lagikah kau kepadaku? Ingatkah engkau kepada putera bungsu pak Wiryosentiko?"

   "Riyaman!"

   Adiguna berseru girang dan maju hendak memeluk pemuda itu, akan tetapi Riyatman mengelak cepat.

   "Jangan menyentuh aku dengan jari-jarimu yang kotor dan berlumur darah!"

   Bentaknya. Adiguna melangkah mundur dengan kaget,

   "Apa"

   Apa maksudmu, Riyatman? Mengapa engkau berkata demikian?"

   "Hm, memang engkau berhati palsu! Mukamu yang cakap itu hanya menjadi kedok kepalsuanmu! Engkau datang ke Pakem dan menimbulkan huru-hara, mengandalkan kesaktian menolong wanita dan apa akibatnya? Seluruh rakyat Pakem dibinasakan oleh Galiga Jaya! Hampir semua orang lelaki tewas, banyak wanita diculik, rumah-rumah dirampok dan dibakar, sedangkan engkau enak-enak pergi meninggalkan hasil dan akibat perbuatanmu itu, senang-senang membawa lari dua orang gadis cantik! Tidak rendahkah perbuatanmu ini?"

   Bukan main terkejutnya Adiguna mendengar berita ini.

   "Apa katamu...? Galiga Jaya menumpas rakyat Pakem? Dan... dan... paman Wiryosentiko?"

   Sambl menggigit bibir Riyatman berkata,

   "Ayah, Ibu dan semua keluargaku-pun tewas! Semua"

   Ini akibat perbuatanmu mengerti?"

   Kalau pada saat itu ada kilat dari angkasa menyambarnya, Adiguna mungkin takkan sekaget itu. Mukanya menjadi pucat.

   "Keparat si Galiga Jaya!"

   Serunya dengan marah. Riyatman tertawa menghina.

   "Mudah saja memaki, aku lebih pandai dari padamu. Akan tetapi apa buktinya? Aku yang menderita, kehilangan keluarga, bahkan sebagian besar kawan-kawanku inipun menderita, keluarganya habis binasa, semua ini karena engkau! Dan kami bersumpah hendak membasmi setiap warga Mataram yang terkutuk!"

   Makin terkejut hati Adiguna,

   "Riyatman! Engkau keliru! Galiga Jaya memang tersesat dan jahat, akan tetapi apakah salahnya Mataram dalam hal ini? Kalau Sri Sultan mendengar tentang perbuatanmu ini, bukankah engkau dan kawan-kawanmu akan dianggap sebagai pemberontak dan hal ini sangat membahayakan?"

   "Biarlah! Biar aku dan kawan-kawan dianggap pemberontak! Kami akui, memang kami memberontak! Kata orang Sri Sultan adil dan bijaksana akan tetapi mana buktinya? Seorang Penewu yang kejam dan jahat seperti Galiga Jaya, didiamkan saja dan rakyat Pakem yang menderita sengsara dan dibinasakan oleh Penewu itu tidak diperdulikan, apakah ini boleh disebut bijaksana dan adil? Pendeknya, kami akan memusuhi setiap orang Mataram, terutama sekali Galiga Jaya dan kaki tangannya!"

   "Riyatman! Pikirlah baik-baik, kau tidak sadar dan dibutakan oleh nafsumu dan dendam di hatimu! Sri Sultan adalah raja kita yang agung, arif bijaksana, dan mencinta rakyat seperti mencinta anak sendiri! Kalau tidak demikian halnya, apakah Mataram bisa jaya seperti sekarang? Tentang Galiga Jaya, mungkin karena orang ini amat licin dan cerdik, Sri Sultan belum mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya. Insyaflah engkau, Riyatman. Aku tidak percaya bahwa sikap ini Timbul dari hati nuranimu, tentu ada orang yang membujuk dan menyeretmu ke jurang kesesatan. Untuk membalas dendan kepada Galiga Jaya itu adalah hal yang terpisah, dan dicampuradukkan dengan sikap memberontak terhadap Mataram. Engkau tersesat!

   "Tutup mulutmu! Aku tidak membutuhkan nasihat-nasihatmu. Enak saja engkau bicara. Tentu saja engkau tidak merasakan kesedihan yang kuderita, karena engkau yang menjadi biang keladi ini, tidak kehilangan keluargamu!"

   "Riyatman, engkau tahu bahwa aku amat berduka mendengar berita tentang bencana yang menimpa keluarga paman Wiryo. Engkau tahu bahwa aku menganggap orang tuamu seperti orang tuaku sendiri. Bukankah dulu kita hidup seperti sahabat-sahabat baik, bahkan seperti saudara sendiri? Sadarlah, Riyatman, bahwa nasihatku tadi terdorong oleh rasa setia kawanku kepadamu yang kuanggap saudara sendiri."

   "Cukup!"

   Tiba-tiba Singalodra berkata.

   "Riyatman, pemuda ini berbahaya sekali dan dapat melemahkan semangat perlawanan kita!"

   Riyatman juga tidak mau membuka mulut lagi dan menyerang dengan pukulannya yang keras ke arah dada Adiguna.

   "Hm, engkau mengandalkan kepandaianmu, Riyatman? Cobalah, hendak kulihat sampai dimana kemajuanmu!"

   Kata Adiguna yang merasa penasaran juga.

   Dengan cepat ia mengelak, mempergunakan kegesitannya yang sudah banyak membuat orang merasa kagum. Riyatman pandai main pencak silat dan serangan-serangannya sengit dan berat, akan tetapi Adiguna sama sekali tidak mau membalas, hanya mengelak atau kadang-kadang menggunakan tangan yang terbuka jari-jarinya menangkis perlahan. Namun lengan dan tangan Adiguna yang telah berisikan aji kesaktian ini, biarpun hanya ditangkisnya perlahan saja, cukup membuat Riyatman merasa lengannya yang tertangkis pedas dan sakit, hingga ia menjadi terkejut dan diam-diam ia mengagumi kegagahan Adiguna! Lebih dari dua puluh jurus Riyatman menyerang hebat dan akhirnya ia merasa tidak kuat lagi Manahan kesakitan pada lengan tangannya, maka dengan berseru keras ia mencabut kerisnya! Segera ia menyerang lagi dengan sengit.

   "Ingat, Riyatman, kerismu dapat membunuh orang. Tegakah engkau membunuh aku, saudara misanmu sendiri?"

   Akan tetapi, Riyatman yang merasa marah dan malu karena tak dapat merobohkan Adiguna, tidak menjawab dan mengeraskan hatinya, lalu menyerang terus makin hebat. Terpaksa Adiguna memperlihatkan kepandaiannya. Setelah ia miringkan tubuh hingga keris Riyatman lewat di samping tubuhnya, ia lalu mempergunakan dua buah jari tangannya mengetuk pergelangan lengan Riyatman dengan perlahan.

   Akan tetapi oleh karena ketukannya tepat mengenai urat, Riyatman menjerit kesakitan dan lengannya serasa lumpuh! Ia terpaksa melepaskan kerisnya dan segera melompat mundur sambil memandang dengan terheran-heran dan kagum. Singalodra merasa marah sekali dan mencabut kerisnya lalu menyerang dengan hebat kepada Adiguna. Riyatman tak keburu mencegah. Sebetulnya, melihat kepandaian Adiguna yang luar biasa, kemarahan Riyatman telah lenyap, terganti oleh rasa kagum dan ingin sekali ia membaiki Adiguna dan mengajaknya berkawan kembali agar ia dapat mempelajari ilmu dari pemuda itu. Adiguna maklum dan dapat menduga bahwa si cambang bauk ini tentu seorang jagoan yang telah membujuk Riyatman yang kurang berpengalaman dan masih sangat muda itu,

   Karena ia melihat betapa serangan Singalodra ini lebih hebat daripada serangan Riyatman. Akan tetapi, murid Eyang Sidik Paningal ini telah mendapat gemblengan selama bertahun-tahun dari gurunya yang sakti, maka menghadapi Singalodra, ia tidak gentar sedikitpun juga. Dengan sigap ia mengelak serangan keris itu dan tiba-tiba ia merendahkan tubuhnya dan sebelah kakinya menyabet, mempergunakan gerakan menyerampang Singalodra hingga tidak ampun lagi tubuh Singalodra yang tinggi besar itu roboh terguling-guling! Akan tetapi, dasar orang cabang atas yang banyak pengalaman, didalam robohnya, Singalodra dapat mengatur dirinya hingga ia tidak menderita luka dan cepat sekali ia melompat berdiri lagi dan mengirim tendangan bertubi-tubi dengan gesitnya.

   Adiguna hanya mempergunakan kegesitannya dan melompat kesana-kesini untuk menghindarkan tikaman keris itu. Kawan-kawan Riyatman yang melihat pertempuran ini menjadi penasaran sekali ketika menyaksikan betapa dengan mudahnya Riyatman, jago yang mereka segani itu roboh dalam tangan Adiguna yang bertangan kosong. Dan kini ketika pemuda itu menghadapi Singalodra, yang mereka kenal pula kegagahannya, hanya dengan tangan kosong pula, bahkan dalam segebrakan saja berhasil membuat Singalodra terjatuh, mereka lalu maju mengeroyok! Riyatman hendak mencegah, akan tetapi ia merasa kurang baik kalau memperlihatkan sikap membela Adiguna, khawatir kalau-kalau dianggap pengecut dan jerih terhadap saudara misannya itu.

   Pertempuran berjalan makin ramai dan seru. Kini Adiguna terpaksa melawan juga karena tak mungkin baginya untuk terus mempertahankan diri tanpa membalas terhadap keroyokan yang hebat itu. Namun, ia tetap tidak mau melukai mereka. Ia hanya mendorong, mendupak, memegang lalu melemparkan, hingga sebentar saja banyak orang terlempar dan roboh sambil berseru terkejut. Adiguna tak melanggar pantangan membunuh hanya oleh karena kesalahfahaman dan kemarahan Riyatman saja. Ia maklum bahwa pemuda itu mempunya hati yang baik dan kegagahan yang patut dipuji, dan dapat menduga bahwa kedukaan dan kemarahan karena bencana menimpa keluarganya itulah yang menyebabkan pemuda itu bersikap keras kepadanya. Kemudian setelah berkata lagi kepada Riyatman, sambil melawan keroyokan,

   "Ingatlah nasihatku dan sadarlah, Riyatman!"

   Adiguna lalu mempergunakan kesaktiannya dan sekali tubuhnya melompat, ia telah lenyap dari kepungan para pengeroyoknya. Bukan main terkejutnya semua orang itu dan tiada habisnya mereka memuji-muji kesaktian Adiguna. Juga Riyatman merasa kagum sekali. Sedangkan Singalodra sambil menghela napas, berkata,

   "Hebat sekali kepandaian pemuda itu. Kalau saja kita dapat menariknya untuk membantu kita, dengan mudah kita dapat menghancurkan Mataram!"

   Adiguna melanjutkan perjalanannya. Hatinya berduka dan menyesal. Berduka karena malapetaka yang menimpa penduduk Pakem, dan menyesal karena memikirkan kesesatan Riyatman. Kalau saja pemuda itu membatasi rasa dendamnya dengan usaha membalas sakit hatinya kepada Penewu Galiga Jaya, tentu ia akan membantunya sekuatnya. Akan tetapi, dendam hati pemuda itu ternyata amat besar dan meluas, hingga ia membenci semua orang Mataram, tidak ingat bahwa ia sendiri adalah kawula Mataram. Baginya sendiri, Adiguna tidak mempunyai niat untuk membalas kejahatan Galiga Jaya atau membunuhnya, oleh karena hal itu ia anggap bukan tugasnya.

   Ia tidak mau membunuh Galiga Jaya, karena teringat akan pantangan membunuh yang dulu dinasihatkan oleh gurunya kepadanya. Mungking ia dapat mendatangi dan mengajar adat kepada Galiga Jaya yang kejam, akan tetapi apakah gunanya? Adiguna langsung menuju ke Pakem. Hatinya diliputi keharuan besar melihat betapa dusun itu kini sunyi sepi dan wajah orang-orang nampak berkabung dan sedih. Beberapa orang dulu pernah melihatnya dan kini mengenalnya, ketika melihat pemuda itu, membuang muka dengan penuh sesal dan marah. Adiguna menghela napas panjang dan ia dapat meraba dan memaklumi kemarahan Riyatman kepadanya. Orang-orang yang singkat pandangan dan bodoh ini mempunyai pandangan dan pertimbangan yang sempit sekali.

   Mereka memandang sesuatu perkara hanya di luarnya saja, tidak mau memeriksa lebih dalam, hingga bencana itu mereka anggap timbul karena perbuatannya! Mereka tidak mau merenungkan bahwa biarpun ia tidak datang di dusun itu, tetap saja Galiga Jaya akan melakukan kejahatan itu dan merampas ketiga puteri Rondo Kuning. Akan tetapi, Adiguna maklum bahwa segala sesuatu itu telah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Ia lalu pergi mencari makam orang-orang kampung yang menjadi korban, lalu berziarah ke makam paman dan bibinya. Ia bersila di depan makam mereka dan mengheningkan cipta, menyatakan bela sungkawa atas nasib mereka yang malang. Ia tidak tahu bahwa pada saat itu banyak sekali mata memandangnya dengan tajam dan banyak sekali tangan meraba-raba gagang keris siap menyerbu.

   Tiba-tiba ia mendengar suara ranting terpinjak. Ia cepat menengok dan pada saat itu, dari balik pohon-pohon yang banyak tumbuh disekitar tanah kuburan itu, berlompatan keluar banyak perajurit dengan senjata di tangan! Ini adalah perajurit-perajurit Mataram yang gagah perkasa, dan mereka ini dipimpin oleh seorang perwira yang gagah perkasa dan sakti, seorang panglima yang telah amat terkenal di Mataram, yakni Tumenggung Surgo Agul-agul yang terkenal sakti mandraguna dan memiliki ilmu kepandaian pencak silat yang amat tinggi! Ternyata bahwa Penewu Galiga Jaya yang licik dan cerdik itu telah menyuruh kaki tangannya menyiarkan berita bahwa di daerahnya terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh orang-orang sakti bernama Adiguna dan Riyatman. Kemudian ia sendiri berangkat ke kota raja dan membuat laporan ke hadapan Sri Sultan Agung,

   Hingga Sri Sultan yang berkhawatir kalau-kalau pemberontakan itu akan menjadi luas dan membahayakan keamanan negara, lalu mengutus Tumenggung Suro Agul-agul untuk membawa seribu orang perajurit guna menumpas pemberontak-pemberontak itu! Suro Agul-agul adalah seorang panglima perang yang berpengalaman dan cerdik. Ia dapat menduga bahwa pemberontak-pemberontak itu tentu dipimpin oleh orang-orang Pakem, maka ia sengaja menjaga tanah kuburan Pakem yang baru itu, menanti kalau-kalau pemimpin pemberontak yang namanya disebut sebagai Adiguna dan Riyatman datang berziarah ke makam keluarganya di kuburan itu. Karena itulah maka ketika Adiguna berziarah disitu, tahu-tahu ia telah dikepung oleh banyak perajurit Mataram! Tumenggung Suro Agul-agul sendiri melompat maju menghadapi Adiguna dan bertanya,

   "Bukankah kau yang bernama Adiguna?"

   Matanya tajam menatap wajah pemuda tampan itu.

   "Betul, namaku Adiguna,"

   Jawab Adiguna dengan tenang, sedikitpun tidak memperlihatkan wajah takut dan gentar.

   "Ha, jadi kaukah yang menjadi pemimpin pemberontak itu? Menyerahlah baik-baik, anak muda. Kalau kau menyerah, mungkin Gusti Sultan yang welas asih akan mengampunimu. Dimanakah adanya Riyatman, kawanmu yang memimpin pemberontakan itu?"

   Tiba-tiba Adiguna mendapat pikiran untuk melindungi Riyatman, maka ia menjawab lantang,

   "Tentu Galiga Jaya yang menghasut dan memfitnah. Kalau kalian percaya bahwa disini ada pemberontakan, biarlah aku yang bertanggung jawab. Riyatman adalah seorang pemuda petani yang tahunya hanya mengayun cangkul dan menyabit rumput, mana ia bisa memimpin pemberontakan?"

   Kedua mata Suro Agul-agul yang berpengaruh dan tajam itu mengeluarkan sinar kagum, karena ia tidak percaya bahwa pemuda yang tampan dan tabah ini menjadi pemimpin pemberontakan. Apalagi setelah mendengar ucapan pemuda itu yang penuh setia kawan, melindungi kawan-kawannya dan sengaja mengorbankan diri sendiri dengan mengakui semua kesalahan. Alangkah gagah berani, sesuai dengan jiwa ksatria!

   Gambar 0302

   "Menyerahlah, Adiguna, dan aku sanggup untuk memintakan ampun untukmu kepada Gusti Sultan,"

   Katanya.

   "Bagaimana aku dapat menyerah kalau aku tidak merasa bersalah?"

   Kata Adiguna yang sudah berdiri dengan sikap tenang dan berani.

   "Tangkap pemuda ini!"

   Tumenggung Suro Agul-agul memerintah, dan tiga orang pembantunya yang tinggi besar dan kuat melangkah maju membawa tali pengikat tangan.

   Akan tetapi, sekali tubuhnya bergerak, Adiguna telah berhasil merobohkan ketiga orang itu dengan dorongan kedua tangannya! Para perajurit menjadi marah dan belasan orang datang menerjang hendak menangkap pemuda pemberontak itu. Akan tetapi Adiguna memperlihatkan kesigapan dan kegagahannya. Setiap perajurit yang berani datang dekat, tak perduli dia bertubuh kecil kurus atau tinggi besar seperti raksasa, baik yang menyerangnya dengan senjata tajam maupun tangan kosong, dia pasti terpelanting roboh dan menjerit-jerit kesakitan! Bukan main kagumnya Tumenggung Suro Agul-agul melihat kegagahan ini. Hatinya tertarik sekali dan sekarang ia mau percaya bahwa pemuda ini tentulah pemimpin pemberontak! Tidak aneh kalau orang-orang berani mengadakan pemberontakan di bawah pimpinan pemuda segagah ini.

   "Kalian mundur semua, biarkan aku menghadapi pemuda ini!"

   Teriak Tumenggung Suro Agul-agul dengan suara keras. Teriakannya ini keras dan berpengaruh sekali hingga semua perajurit cepat-cepat mengundurkan diri. Adiguna diam-diam merasa kagum karena dari suara ini saja ia dapat mengukur sampai dimana kehebatan ilmu kepandaian panglima ini. Teriakan ini mengandung perbawa (pengaruh seseorang) besar sekali.

   "Adiguna!"

   Kata Suro Agul-agul sambil memandang tajam.

   "Sebelum aku turun tangan dan menangkapmu dengan kedua tangan sendiri, lebih baik engkau menyerah saja. Jangan engkau khawatir, aku yang menanggung bahwa Gusti Sultan pasti akan mengampunimu!"

   "Maaf, tak mungkin menyerah karena aku tidak bersalah apa-apa!"

   Jawab Adiguna dengan sikapnya yang masih tenang.

   "Keparat, sombong sekali engkau! Tahukah engkau bahwa engkau sedang berhadapan dengan Suro Agul-agul, banteng dari Mataram? Lebih baik engkau menyerah sebelum menghadapi seranganku!"

   Adiguna terkejut juga. Pernah ia mendengar bahwa Tumenggung Suro Agul-agul adalah seorang senapati (panglima besar) Mataram yang berilmu tinggi dan sakti mandraguna! Akan tetapi ia tidak merasa takut, bahkan ingin sekali mencoba kesaktian tumenggung ini! Maka ia sengaja menjawab.

   (Lanjut ke Jilid 04)

   Rondo Kuning Membalas Dendam (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 04

   "Aku tidak kenal dengan segala banteng Mataram dan aku tidak mau menyerah dan ditawan oleh karena aku tidak merasa melakukan pelanggaran apa-apa!"

   Tumenggung Suro Agul-agul menjadi marah dan sambil menggereng bagaikan seekor harimau marah, ia mengayunkan tangan menampar ke arah pundak Adiguna.

   Biarpun tumenggung itu sengaja tidak mau menurunkan pukulan maut dan hendak merobohkan saja pemuda itu, namun tamparannya keras sekali karena tangannya mempunyai aji kesaktian yang kuat. Adiguna merasa betapa angin tamparan itu bertenaga besar, maka ia tidak berani berlaku semberono dan cepat mengelak. Melihat kegesitan pemuda itu, Suro Agul-agul yang tamparannya memukul tempat kosong, menjadi marah dan menyerang lagi. Kali ini ia mendorong dada Adiguna. Akan tetapi, dengan sigapnya pemuda itu dapat melompat ke pinggir dan mengelakkan dorongan itu lagi. Kini Adiguna tidak tinggal diam karena maklum bahwa ia menghadapi seorang kuat, maka iapun membalas dengan sebuah tamparan ke arah dada tumenggung itu. Suro Agul-agul yang kuat dan sakti tertawa melihat datangnya tamparan dan ia sengaja memasang dadanya menerima tamparan itu!

   Ketika tamparan itu mengenai sasaran, Adiguna merasa seperti menampar batu karang yang keras, sedang Suro Agul-agul merasa betapa kulit dadanya menjadi pedas! Kedua-duanya terkejut dan kagum, Suro Agul-agul membalas dengan sebuah pukulan ke dada Adiguna. Kini pemuda itu tidak mau kalah dan iapun memasang dadanya menerima pukulan Suro Agul-agul! Dan ketika pukulan itu tiba, tumenggung itu merasa seakan-akan ia memukul kapas yang lunak dan lembut hingga tenaga pukulannya buyar sendiri. Ia terkejut sekali dan memandang dengan mata terbelalak. Tak disangkanya bahwa pemuda ini mempunyai aji kesaktian yang demikian hebat. Ia makin tertarik dan ketika Adiguna membalas memukul, ia lalu mengerahkan seluruh tenaganya menerima pukulan itu sambil tertawa.

   "Ha-ha-ha! Engkau hendak mengadu ilmu? Baik, baik, Adiguna! Engkau pukullah dan pilihlah tempat yang lunak dan empuk!"

   Sambil berdiri dan bersedekap, mengheningkan cipta dan mengerahkan aji kekebalannya Trenggiling Wesi! Adiguna masih belum mau mengeluarkan kesaktiannya yang paling tinggi, hanya memukul tiga kali sekuat tenaga. Akan tetapi, semua pukulannya ketika jatuh di tubuh tumenggung itu, meleset bagaikan memukul sesuatu yang amat keras dan licin! Adiguna juga lalu berdiri diam dan bersedekap, lalu berkata,

   "Tumenggung Suro Agul-agul! Bukan engkau saja yang memiliki kulit keras. Engkau pukullah aku tiga kali dan pilihlah tempat yang paling lunak!"

   Setelah tertawa bergelak-gelak, Suro Agul-agul lalu memukul sekuat tenaga. Berbeda dengan Adiguna, ia mengeluarkan aji kesaktiannya dan menggunakan ilmu Pukulan Liman Petak (Gajah Putih), semacam aji kesaktian yang mengakibatkan pukulan itu keras sekali. Bahkan kata orang, pukulan Suro Agul-agul ini apabila dipukulkan kepada kepala gajah, maka kepala itu akan pecah! Adiguna maklum akan hebatnya pukulan ini, maka ia lalu mengeluarkan aji kekebalannya si Welut Putih, hingga ketika kepalan tangan Suro Agul-agul menyentuh kulit tubuhnya, tiba-tiba pukulan itu meleset kesamping karena tubuhnya menjadi licin sekali bagaikan belut! Tiga kali Suro Agul-agul memukul dan tiga kali pula pukulannya meleset! Hal ini tentu saja membuat tumenggung itu terkejut dan kagum.

   Mereka lalu bertempur lagi, masing-masing mengeluarkan aji kesaktian dan kepandaiannya. Ketika Adiguna mendapat kesempatan, ia menampar leher tumenggung itu dengan ilmu pukulannya yang paling ampuh, yaitu disertai Aji Regi Geni (Gunung Merapi). Terkena pukulan yang ampuh ini, Suro Agul-agul merasa kepalanya menjadi pening dan ia terhuyung ke belakang! Untung ia memiliki kekebalan, kalau tidak, ia tentu akan tewas terkena pukulan yang dapat menghancurkan batu karang itu! Dengan geram Suro Agul-agul lalu mencabut keris pusakanya si Banaspati, dan dengan keris di tangan ia menanti sampai rasa pening di kepalanya lenyap. Ia merasa penasaran sekali bahwa seorang pemuda dusun yang tak ternama ternyata telah dapat mengalahkannya. Adiguna memang hanya bermaksud mengukur tenaga mengadu kepandaian dengan banteng Mataram ini.

   Melihat betapa tumenggung itu tidak roboh oleh pukulannya Redi Geni, ia merasa kagum sekali, akan tetapi ia merasa cukup puas betapa melihat tumenggung itu merasa tidak kuat menghadapinya dengan tangan kosong hingga ia mencabut keris pusaka yang mengeluarkan hawa panas itu. Maka ia lalu mempergunakan ilmunya, melompat pergi jauh sekali dan ketika para perajurit mengejar, Adiguna telah lari jauh dan lenyap dari pandangan mata. Kalau Adiguna mengira bahwa ia dapat mengalihkan perhatian Suro Agul-agul dari pengejaran terhadap rombongan yang dipimpin oleh Riyatman kepada dirinya, maka ia keliru sangka dan tidak mengetahui akan kecerdikan dan keuletan Tumenggung Suro Agul-agul yang sudah banyak pengalaman dalam hal mencari pemberontak dan yang mempunyai banyak siasat itu.

   Tumenggung Suro Agul-agul maklum bahwa pokok kekuatan setiap pemberontakan bukan terletak di tangan seorang dua atau beberapa gelintir pemimpin, akan tetapi seluruhnya tergantung pada kekuatan kesatuan, yakni anak buah para pemberontak itu. Biarpun ribuan anak buah pemberontak takkan berbahaya apabila tidak dipimpin oleh seorang yang pandai dan sakti, namun pemberontakan yang dilakukan oleh beberapa orang pemimpin saja tanpa ada yang setia, takkan ada guna dan artinya pula. Maka tugas terutama baginya ialah mencari, mengejar dan menghancurkan kekuatan pasukan pemberontak itu. Ia dapat menduga bahwa pemberontak itu tentu bersembunyi di dalam huta-hutan, maka ia lalu menyebar barisan penyelidik dan mata-matanya untuk mencari dimana letak sarang pemberontak yang dipimpin Adiguna dan Riyatman.

   Beberapa hari kemudian, ia berhasil mengetahui tempat bersembunyi para pemberontak itu dan dengan kekuatan sepenuhnya barisannya menyerbu dan menyergap. Riyatman dan Singalodra yang belum mengadakan persiapan lebih dulu, terkejut sekali dan keadaan para pemberontak menjadi kacau-balau. Sungguhpun Riyatman dan Singalodra memimpin anak buahnya dan melawan mati-matian, namun dengan mudah Tumenggung Suro Agul-agul menghancurkan pasukan pemberontak yang tidak saja kalah besar jumlahnya, akan tetapi juga kalah pengalaman dan kalah pula dalam hal kepandaian atau pengalaman berkelahi. Tumenggung Suro Agul-agul sendiri mengantuk dan akhirnya ia berhadapan dengan Riyatman dan Singalodra. Melihat si cambang bauk yang tinggi besar itu, Tumenggung Suro Agul-agul tertawa bergelak-gelak.

   "Ha-ha-ha! Tidak tahunya kau yang menjadi biang keladi semua kerusuhan ini. Mertalaya! Pemberontakanmu di Pasuruan gagal dan hancur, kini kau mencoba-coba menghasut orang-orang Mataram untuk memberontak! Bagus, sekarang kau berhadapan dengan aku, hendak lari kemana?"

   Sambil berkata demikian, Tumenggung Suro Agul-agul lalu menyerang si cambang bauk dengan sengitnya. Riyatman terkejut sekali dan untuk sementara tak dapat bergerak maupun berkata-kata.

   Tak pernah disangkanya bahwa kawannya yang bernama Singalodra ini bukan lain ialah Mertalaya, pemberontak yang telah didengar namanya itu, pemberontak yang telah kalah dan yang melarikan diri, menjadi orang buruan! Maka menyesallah dia, karena merasa malu bahwa ia telah kena bujuk oleh seorang pemberontak yang dulu amat dibencinya. Ia lalu melawan sambil mundur, dan akhirnya karena tidak tahan menghadapi amukan perajurit-perajurit Mataram yang merupakan perajurit pilihan itu, ia melarikan diri ke arah Timur dengan diikuti oleh beberapa orang kawannya! Akan tetapi, Tumenggung Suro Agul-agul yang tidak mau bekerja kepalang tanggung dan yang telah memperhitungkan dengan tepat sekali, telah menaruh perajurit-perajurit penjaga yang sengaja mencegat disitu untuk mencegah para pemberontak melarikan diri.

   Kembali Riyatman dan kawan-kawannya terkepung dan didesak hebat oleh perajurit-perajurit Mataram! Biarpun kenyataan bahwa selama ini ia bersekutu denan seorang pemberontak membuat hatinya menjadi tawar dan tiada nafsu lagi untuk melawan, namun karena keadaannya amat terdesak, Riyatman lalu melakukan perlawanan hebat dan mengamuk seolah-olah seekor banteng terluka! Banyak fihak lawan yang roboh karena amukannya ini hingga kepungan menjadi melonggar, Riyatman terus membuka jalan darah dan akhirnya, dengan tubuh penuh luka-luka, ia berhasil melarikan diri ke dalam hutan dan terus lari menuju ke timur. Semua kawannya kena terbunuh atau tertawan. Sementara itu, Singalodra atau Mertalaya tidak kuat menghadapi kegagahan Tumenggung Suro Agul-agul.

   Setelah melawan mati-matian, akhirnya dadanya tertembus oleh keris Banaspati yang ampuh. Tanpa mengeluarkan teriakan Singalodra roboh binasa! Melihat betapa kedua orang pemimpin mereka telah kalah, habislah semangat para pemberontak itu, dan ketika Tumenggung Suro Agul-agul berseru keras dan membentak supaya mereka menyerah, mereka lalu melempar senjata dan menjatuhkan diri berlutut tanda takluk! Sekali lagi Tumenggung Suro Agul-agul yang gagah perkasa itu kembali ke kota raja membawa laporan kemenangan bahwa ia telah membasmi pemberontakan di daerah Pakem. Kemenangannya disambut oleh Penewu Galiga Jaya dengan girang sekali dan Penewu ini lalu mengadakan pesta besar untuk menghormat Tumenggung Suro Agul-agul dan membagi banyak hadiah kepada para perajurit Mataram.

   Namun, biarpun tidak berani mengucapkan dengan kata-kata, hatinya masih khawatir dan merasa kecut mendengar betapa Adiguna dan Riyatman dapat melarikan diri dan belum dibinasakan! Riyatman terus melarikan diri ke jurusan timur sampai ia tiba di kaki Gunung Lawu. Melihat bukit yang penuh hutan itu, Riyatman merasa girang dan melanjutkan pelariannya ke atas gunung. Oleh karena tubuhnya memang kuat, maka luka-luka di kulitnya cepat mengering dan baiknya tidak ada luka yang parah dan berat. Ia lalu masuk ke dalam hutan-hutan di lereng Gunung Lawu dan merasa dirinya aman berada di hutan yang sunyi dan liar itu. Sambil merawat luka-lukanya, pemuda ini berkeliaran di dalam hutan dan hidup menyendiri sambil menyesali untungnya yang buruk. Tetapi, api dendam terhadap Galiga Jaya masih tetap bernyala di dalam kalbunya.

   Kini ia tersadar dan dapat menangkap maksud baik dari nasihat-nasihat Adiguna, dan ia merasa menyesal sekali mengapa ia menurutkan nafsu hati memusuhi pemuda sakti itu dan dengan mudah terbujuk oleh Singalodra yang pada hakekatnya memang benci kepada Mataram dan memang sengaja mencari kawan untuk mengadakan pemberontakan lagi! Ia kini maklum akan maksud Adiguna dan mengakui bahwa sebenarnya ia tidak harus memusuhi Mataram, oleh karena yang bersalah dalam peristiwa pembasmian Pakem hanyalah Galiga Jaya seorang. Ia dapat menduga pula bahwa barisan Mataram yang datang menyerbu tentu utusan Sri Sultan yang tertipu oleh Galiga Jaya, karena selain Galiga Jaya yang melaporkan dan menuduh bahwa ia dan kawan-kawannya memberontak kepada Mataram, dari manakah Sri Sultan mengetahuinya dan mengirim pasukan penggempur.

   Didalam perantauannya, Adiguna tiba di sebuah dusun yang amat ramai dan makmur. Sawah ladang di sekitar dusun ini amat suburnya hingga keadaan kaum tani disitu boleh dikatakan makmur. Ini dapat dilihat dari keadaan rumah-rumah yang rata-rata besar dan baik dan juga pakaian penduduk dusun itu jarang ada yang compang-camping. Bahkan beberapa belas rumah, termasuk rumah Lurah dan pemilik-pemilik tanah, amat besar dan megah, terbuat dari kayu jati tua yang kokoh dan kuat. Ketika Adiguna masuk ke dusun itu, ia melihat bawah dua diantara rumah-rumah itu, terhias dan di depannya dipasangi tarup (bangunan darurat) seperti biasanya jika orang merayakan pesta pernikahan.

   Ia mendengar pembicaraan orang dusun itu bahwa yang hendak melangsungkan perkawinan itu adalah pak Romojali yang menikahkan anak gadisnya kepada Raden Panji, seorang priyayi (ningrat) yang kaya raya dan yang menjadi tuan tanah terkaya di dusun itu. Pesta pernikahan ini menurut kata orang-orang dusun, adalah yang terhebat di dusun itu. Malam ini dan besok pagi, fihak pengantin perempuan menanggap wayang kulit dengan cerita "Narayana Maling", yaitu tujuh cerita ketika Sri Kresna Ratu Dwarawati masih muda dan bernama Narayana menjadi maling. Akan tetapi yang dicurinya bukanlah emas atau permata, melainkan seorang puteri! Cerita ini memang amat digemari orang, apalagi kalau yang menjadi dalangnya pandai, karena sifat cerita yang jenaka dan penuh pertandingan yang mengagumkan antara Narayana dan Arjuna.

   Dan yang memainkan wayang di rumah pak Kromojali adalah seorang dalang Mataram yang amat terkenal dan mahal bayarannya. Wayangnya kepunyaan Raden Panji sendiri, demikian gamelan-gamelannya dan semua orang tahu bahwa wayang kulit milik Raden Panji masih baik-baik dan catnya masih mengkilat, sedangkan gamelannyapun nyaring dan merdu. Raden Panji yang kaya raya itu mempunyai dua perangkat gamelan, seperangkat dipinjamkan kepada calon mertuanya, yang seperangkat lagi dipakainya sendiri untuk meramaikan malaman hari kawinnya, karena ia mengadakan hiburan yang lebih ramai dan menggembirakan lagi, yaitu hiburan tayuban dengan memanggil ledek dari Widuran, si Harum manis yang terkenal indah suaranya dan cantik jelita wajahnya. Adiguna memang gemar akan cerita wayang dan suka sekali menonton wayang.

   Dulu ketika ia masih kecil dan tinggal di Pakem, di rumah pamannya, tiap kali di lain dusun ada wayang kulit, biarpun secara sembunyi-sembunyi dan diam-diam, ia bersama Riyatman selalu pergi dari rumah dan menonton wayang semalam suntuk, rela mendapat teguran dan marah dari Pak Wiryosentiko pada keesokan harinya! Oleh karena ini, mendengar bahwa di dusun yang makmur itu malam nanti ada pertunjukan wayang dengan cerita Narayana maling yang disukainya pula, ia lalu menunda perjalanannya dan menonton wayang di rumah pak Kromojali. Benar saja, dalang Mataram ini memang seorang ahli. Suaranya empuk dan nyaring, dan suluknya bagus, kata-katanya jelas dan tidak ngawur, setiap kata-kata mengandung filfasat kebatinan yang tinggi dan dalam meniru suara tokoh-tokoh pewayangan, ia seakan-akan memiliki beberapa banyak macam suara.

   Para tamu memenuhi ruangan dan semua orang menyatakan selamat kepada Kromojali, seorang tua berambut putih yang bermata kecil. Dan tamu-tamu ini lalu mendapat tempat duduk di belakang layar wayang kulit, ada pula yang sengaja mencari tempat duduk di depan untuk dapat menikmati pertunjukan lebih sempurna lagi. Adiguna berdesak-desak dengan para penonton yang berdiri di luar, tak seorangpun memperhatikannya. Percakapan masing-masing disekelilingnya memberi tahu padanya bahwa Kromojali yang tak boleh disebut kaya itu mengawinkan anaknya kepada Raden Panji yang sudah tua dan sudah mempunyai banyak isteri, dan Sutinah gadis Kromojali ini menjadi isterinya yang entah keberapa belasnya! Diam-diam Adiguna menghela napas panjang dan menyesali kedua orang itu. Raden Panji karena sifat mata keranjangnya dan mengandalkan pengaruh kekayaannya,

   Sedangkan pak kromojali karena sifat mata duitan yang mengorbankan anak daranya semata-mata karena ingin bermenantukan orang kaya raya! Akan tetapi, urusan ini tidak menyangkut dirinya dan ia tidak berhak untuk ikut mencampurinya. Akan tetapi, pada saat cerita sedang ramai-ramainya dan wayang sedang dimainkan oleh ki dalang dengan indahnya, telinga Adiguna yang mempunyai pendengaran tajam sekali dan jauh melebihi pendengaran orang biasa itu, tiba-tiba dapat menangkap suara isak tangis yang datang dari arah belakang. Adiguna memiliki hati yang perasa sekali dan rasa iba menyelubungi hatinya ketika ia mendengar suara tangis yang amat menyedihkan itu. Ia maklum bahwa yang menangis itu adalah seorang wanita dan wanita itu mencoba untuk menahan tangisnya karena takut kalau-kalau suara tangisnya akan terdengar dari luar.

   Ketika Adiguna melirik ke arah tuan rumah ia melihat betapa pak Kromojali sama sekali tidak mendengar suara tangis itu dan mukanya yang lebar masih berseri-seri dan bercakap-cakap dengan gembiranya melayani para tamu. Oleh karena tidak dapat menahan keinginan tahunya lebih lama lagi, Adiguna lalu menyelinap diantara penonton dan diam-diam mengambil jalan memutar menuju kebelakang rumah. Ia memandang ke atas dan melihat bahwa rumah itu mempunyai atap kayu yang kuat, dan karena dibawah banyak sekali orang hilir-mudik, ia lalu mempergunakan kepandaiannya. Sambil menahan napas dan mengerahkan aji kesaktiannya, pemuda itu lalu melompat ke atas dan tubuhnya melayang ke atas genteng.

   Perbuatannya ini tidak terlihat oleh siapa juga, oleh karena selain malam gelap sekali, juga gerakannya amat cepat hingga kalau misalnya ada yang melihatnya, tentu akan mengira bahwa yang melompat itu adalah seekor kucing. Dengan hati-hati dan tidak mengeluarkan suara sedikitpun, Adiguna menuju ke bagian belakang dari mana ia mendengar suara tangis yang makin nyata. Ia membetot sebuah papan di atas dan mengintai ke dalam. Ternyata di dalam kamar itu terdapat seorang dara muda yang mudah diduga bahwa ia pengantinnya karena jidatnya telah berbekas kerikan dan ditambah hiasan-hiasan pengantin pada sanggulnya. Biarpun hanya gadis kampung, namun ternyata bahwa Sutinah manis sekali wajahnya. Ia duduk dan menangis, sedangkan seorang perempuan setengah tua yang juga duduk di atas balai-balai itu menghiburnya.

   "Sudahlah! Sutinah, mengapa kau bersedih? Kau dan aku tak berdaya melawan kehendak Ayahmu, dan pula apa susahnya menjadi isteri Raden Panji? Dia seorang keturunan bangsawan agung, pandai dan kaya raya pula. Kau akan hidup penuh kebahagiaan disampingnya anakku."

   Tahulah Adiguna bahwa wanita setengah tua itu adalah Ibu gadis itu atau isteri pak Kromojali. Kembali Adiguna menarik napas panjang. Hal ini sudah diduganya sejak tadi. Sudah seringkali terjadi perkawinan-perkawinan ganjil seperti ini, dimana yang memegang peranan penting adalah pengantin laki-laki dan orang tua pengantin perempuan. Sedangkan pengantin perempuannya sendiri lebih patut disebut seekor domba yang menanti jatuhnya pisau penjagal yang hendak menyembelihnya. Setiap orang gadis harus tunduk akan kehendak Ayahnya, dan harus siap sedia tanpa membantah lagi untuk dikawinkan dengan siapa saja.

   "Ibu..., lebih baik Ayah bunuh saja aku"

   
Rondo Kuning Membalas Dendam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Aku tidak sudi menjadi isteri muda bandot tua itu, Ibu"

   Aku lebih suka mati...!"

   Tangis anak dara itu dengan suara memilukan.

   Adiguna termenung. Seringkali ia mendengar ucapan seperti ini, bukan langsung dari para pengantin perempuan yang dipaksa kawin, akan tetapi mendengar cerita orang-orang. Gadis-gadis dusun yang dipaksa kawin, selalu menyatakan lebih baik mati daripada diperisteri oleh seorang laki-laki pilihan Ayahnya, apalagi kalau suami paksaan itu seorang yang sudah tua dan mempunyai banyak isteri. Akan tetapi, lazimnya mereka ini terpaksa tunduk, menyerah, tak berdaya, dan akhirnya mereka hanya dapat menyesali nasib! Kalau kelak beberapa tahun lagi suami mereka yang sudah kakek-kakek itu mati, mereka menjadi janda muda, janda kembang yang menjadi rebutan orang untuk menjadi permainan mereka. Ini sudah umum, sudah lazim, dan sudah menjadi nasib para dara kampung.

   "Jangan kau bicara seperti itu, anakku!"

   Wanita tua itu menghibur.

   "Kau adalah seorang anak baik, yang cinta orang tua, yang dapat menjaga nama baik orang tua. Kau tahu sendiri bahwa Ayahmu yang gemar berjudi dan mengadu ayam itu telah menghabiskan uang banyak sekali. Dan tahukah kau darimana datangnya sekalian uang sebanyak itu? Ayahmu tidak bekerja, kita tidak mempunyai penghasilan apa-apa! Uang itu adalah uang pinjaman, anakku. Uang itu adalah uang Raden Panji yang baik hati dan merasa kasihan melihat nasib kita, maka ia mengulurkan tangan memberi pertolongan. Coba saja pikir, pinjaman Ayahmu yang sekian banyaknya itu telah dibebaskan, dianggap lunas. Dan lebih lagi, Raden Panji telah menyumbangkan sejumlah uang yang cukup untuk membeli sawah dua patok hingga penghidupan Ayahmu dan aku kini terjamin. Juga penanggapan wayang ini adalah kehendak Raden Panji, dan semua dibiayainya, juga wayang dan gamelannya adalah miliknya sendiri! Kurang apakah dia? Dia adalah seorang baik, Sutinah. Kau harus bergirang dan merasa bangga, karena tidak sembarang gadis dapat ditanggapkan wayang apabila ia menikah. Bahkan Ibumu sendiri dulu waktu menikah, jangankan menanggap wayang, bahkan menanggap ketek ogling (pertunjukan kera menari) pun juga tidak!"

   Mendengar hiburan Ibunya yang mendesaknya ini, Sutinah tunduk dan menahan isaknya yang membuat tubuhnya bergoyang-goyang. Butiran air mata mengalir turun membasahi pipinya yang sudah dibedaki dengan langir, semacam bedak berwarna kuning. Adiguna yang mengintai dan mendengarkan di atas genteng, tidak merasa heran mendengar cerita tentang segala macam pinjaman yang dibebaskan itu. Lagu lama bagi si miskin di dusun-dusun. Memang demikianlah nasib si kecil yang miskin di dusun.

   Sudah diperas, digencet, dinodai kehormatannya, masih harus berterimakasih lagi! Dan si kaya yang berkuasa yang menipu, memikat, memancing kemudian meminta korban gadis orang, masih dipuji-puji lagi sebagai seorang Budiman! Melihat keadaan Sutinah itu, Adiguna maklum bahwa sebagaimana lain gadis yang senasib sependeritaan, Sutinah akhirnya akan tunduk dan menyerah, lalu mengalah dan menyesali untung! Pada saat Adiguna hendak melompat turun lagi oleh karena merasa dalam hal ini ia tidak berhak dan tak dapat ikut campur, tiba-tiba ia melihat sesosok bayangan orang bergerak cepat dipekarangan belakang yang gelap dan sunyi! Pandangan matanya yang tajam dapat menembus gelap dan melihat bahwa bayangan itu adalah seorang pemuda yang bergerak mencurigakan, seperti seorang pencuri lakunya.

   Adiguna lalu melompat kebagian paling belakang dan mengintai. Dilihatnya bayangan tadi kini berdiri di ujung pekarangan yang gelap sambil bersedekap tak bergerak. Ia merasa heran sekali dan memandang penuh perhatian. Tiba-tiba ia merasa betapa dari arah pemuda itu datang hawa yang aneh dan setelah mencurahkan perhatiannya, Adiguna tersenyum geli. Ternyata bahwa pemuda itu sedang mengerahkan aji kesaktian dan mendatangkan sirep kepada seisi rumah! Ia merasa kagum juga melihat pengaruh sirep yang amat kuat itu hingga lambat-laun keadaan di dalam rumah makin sunyi. Tamu-tamu yang duduk bercakap-cakap mulai menguap dan bahkan ada yang sudah mendengkur tertidur sambil duduk menghadapi hidangan dan minuman.

   Akan tetapi, gamelan dan wayang bermain terus dan hal ini menandakan bahwa ki dalang itupun memiliki kekuatan yang luar biasa dan tidak mempan dijatuhi sirep pemuda itu. Adiguna makin tertarik dan ingin sekali ia melihat apa sebenarnya yang menjadi kehendak pemuda itu. Apakah ia seorang maling biasa? Akan tetapi mengapa ia harus menjatuhkan sirep yang demikian hebatnya. Tentu ada maksud yang lain lagi. Maka diam-diam Adiguna lalu membaca mantera dan menambah kekuatan aji sirep pemuda itu hingga sebentar saja suara gamelan menjadi tidak karuan bunyinya karena sebagian besar pemukulnya telah tertidur dan tak lama kemudian gamelan itu berhenti sama sekali, juga ki dalang yang mempunyai kepadaian tinggi itupun kena pengaruh sirep Adiguna dan tertidur dengan kedua tangannya masih memegang wayang! Pemuda itu lalu bergerak cepat dan masuk ke dalam rumah.

   Adiguna melompat turun bagaikan sehelai daun melayang dan tidak menimbulkan suara lalu mengejar dan mengintai. Ternyata bahwa pemuda itu adalah seorang yang gagah dan tampan, berkulit hitam manis dan berkumis kecil di bawah hidungnya yang lurus mancung. Ia langsung menuju ke kamar pengantin dan Adiguna mengintainya dengan perasaan makin tegang dan heran! Ketika tiba di dalam kamar pengantin, ternyata bahwa Ibu pengantin telah tertidur sambil meringkuk bagaikan seekor kucing, sedangkan Sutina sendiri sambil duduk menyandar bilik. Dengan perlahan pemuda itu lalu mempergunakan jari-jari tangan kirinya menyentuh muka gadis itu mengusap wajah manis itu tiga kali. Sutinah membuka matanya dan memandang dengan mata terbelalak. Untuk sejenak ia bingung dan tak tahu apa yang telah terjadi. Kemudian ia memandang pemuda di depannya itu dan berbisik,

   "Kang Teja!"

   "Ssstt""

   Pemuda itu menaruh telunjuk pada mulutnya minta agar supaya gadis itu tidak mengeluarkan suara keras.

   Gambar 0401

   "Sutinah, aku datang untuk menolongmu. Marilah kau ikut aku melarikan diri!"

   Gadis itu masih memandangnya dengan mata terbelalak dan timbul keraguan pada matanya.

   "Kang Teja"

   Aku"

   Aku takut!"

   "Takut? Mengapa? Takut apa?"

   Tanya pemuda itu.

   "Bagaimana kalau mereka mengetahuinya? Kita akan celaka dan kau... Kau akan dibunuhnya!"

   Wajah gadis itu memucat di balik bedak langirnya. Pemuda itu tersenyum menghibur.

   "Jangan kita persoalkan hal itu sekarang. Pokoknya, Tinah, apakah kau cinta kepadaku seperti aku mencinta padamu?"

   "Kau masih bertanya lagi, kang Teja? Kau tahu bahwa tidak ada laki-laki lain yang kucinta selain engkau!"

   Pemuda itu mengangguk puas.

   "Nah, kalau begitu mengapa kau ragu-ragu? Apakah kau suka menjadi isteri muda Raden Panji?"

   Gadis itu memandang marah.

   "Aku lebih suka mati!"

   "Kalau begitu, apakah tidak lebih baik mati disampingku daripada, disamping bandot tua itu?"

   Keraguan Sutinah melemah dan ia bangkit berdiri.

   "Kang, kau betul-betul berani melarikan aku?"

   Pemuda itu menahan ketawanya.

   "Kalau tidak berani masak aku bisa sampai kesini? Semua orang telah kusirep dan tertidur, mari lekas pergi."

   Dipegangnya tangan gadis itu dan hendak menariknya keluar dari kamar.

   "Nanti dulu, kang..."

   "Ada apa lagi?"

   "Uang pemberian Raden Panji yang disimpan Ayah"

   Apakah tidak lebih baik kita bawa untuk keperluan kita?"

   Suara pemuda yang bernama Suteja itu terdengar sunguh-sungguh ketika ia menjawab perlahan,

   "Sutinah! Jangan kita sentuh uang itu! Aku tidak sudi mengotori tangan mengambil uangnya! Uang itu akan menodai usaha kita yang suci. Kita saling mencinta dan tidak sudi diganggu oleh tua bangka bandotan itu, mengapa kita harus mengambil uangnya? Tidak, Tinah, biarpun aku miskin akan tetapi untuk keperluan kita berdua, aku akan berusaha dengan jalan bersih."

   Tanpa membantah lagi, Sutinah lalu ikut pemuda itu berlari ke tempat gelap. Adiguna yang menyaksikan dan mendengar semua ini, berdiri diam bagaikan patung. Ia merasa terharu dan kagum menyaksikan kegagahan dan kejujuran Suteja. Mendapat seorang suami seperti pemuda itu, dapat dipastikan bahwa hidup sutinah tentu akan berbahagia, apalagi mereka saling mencinta. Jauh lebih baik hidup miskin di samping orang yang dicintainya daripada hidup mewah dan kaya raya di samping seorang bandotan tua yang dibencinya. Adiguna tersenyum senang dan merasa bersyukur melihat peristiwa tadi. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar teriakan dari depan.

   "Tolong"

   Tolongg"

   Maling"

   Maling!"

   Ini adalah teriakan ki dalang yang karena memiliki kekuatan batin yang lebih daripada orang-orang biasa, maka dapat tersadar lebih dulu dari pengaruh sirep. Mendengar teriakannya ini, orang-orang yang tadi kena sirep juga tersadar karena Suteja sudah pergi dari situ dan tidak menjaga atau memperkuat daya sirepnya. Dan dari jauh terdengar teriakan-teriakan orang banyak dan nampak orang-orang datang membawa obor ditangan. Ini adalah rombongan Raden Panji, karena mendengar keganjilan yang terjadi di rumah Kromojali.

   Oleh karena yang terkena sirep hanya orang-orang di rumah Kromojali, maka ketika tiba-tiba gamelan wayang berhenti berbunyi, para tetangga menjadi heran dan ketika ada yang menjenguknya dan melihat betapa semua orang tertidur dalam keadaan yang aneh dan lucu, ada yang mulutnya masih penuh makanan yang belum dikunyahnya telah tertidur pula sambil duduk dan di tangan memegang makanan, maka orang itu lalu berlari sambil memberi kabar kepada yang lain hingga malam-malam Randen Panji datang membawa rombongannya dengan obor di tangan sambil berlari-lari. Ketika mereka mendengar teriakan-teriakan ramai di rumah pak Kromojali, mereka makin khawatir dan mempercepat larinya. Alangkah kaget dan marahnya Raden Panji ketika tiba disitu dan mendapat kenyataan bahwa pengantin wanita telah lenyap digondol maling!

   

Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini