Satria Gunung Kidul 2
Satria Gunung Kidul Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
"He, Patih Anepaken! Janganlah kamu mengumbar nafsu dan kesombongan di Majapahit! Ketahuilah bahwa pahlawan-pahlawan Majapahit tak dapat menelan hinaan demikian saja! Gusti Prabu telah berkenan menerima puteri Pajajaran, hal ini sudah merupakan penghormatan yang sangat besar bagi Pajajaran. Pendeknya, Raja Pajajaran harus mengiringkan puterinya kehadapan Gusti Prabu Hayam Wuruk, kalau tidak hal ini akan diselesaikan dengan ketajaman tombak dan kekebalan kulit!"
Patih Anepaken memang berdarah panas. Mendengar ini, ia telah berdiri dari tempat duduknya dan sekali tendang saja hancurlah kursi yang tadi didudukinya. Matanya bernyala-nyala dan hidungnya berkembang-kempis!
"Hai, orang-orang Majapahit! Kau kira Pajajaran tidak punya satria-satria? Ketahuilah, bagi kami orang-orang Pajajaran, kehormatan lebih utama daripada jiwa, mengerti?"
Hampir saja terjadi keributan di ruang kepatihan itu dan hampir terjadi adu tenaga diantara para pembesar itu. Akan tetapi, biarpun Sakri yang juga hadir di situ telah merasa panas seluruh tubuhnya karena marah, ia tetap dapat mempergunakan kekuatan batinnya untuk menekan kemarahannya itu. Ia lalu melompat ke dekat Patih Anepaken dan membujuk.
"Sudah, gusti patih. Untuk apa menurutkan nafsu hati dan marah-marah di sini? Ingat bahwa kita bukan sedang berada di dalammedan peperangan dan sebagai utusan raja kita harus bersikap bijaksana."
Kepala dari Patih Anepaken serasa diguyur air dingin ketika mendengar ucapan Sakri ini dan ia lalu memandang kepada Sakri dengan pernyataan terima kasih. Memang betul, hampir saja ia lupa akan keadaan dan karenanya bahkan merendahkan martabat Rajanya dengan memperlihatkan sikap yang tidak semestinya. Sementara itu, biarpun Patih Gajah Mada merasa menyesal mendengar tantangan yang diucapkan oleh Wijaya Rajasa, akan tetapi karena yang mengucapkan adalah orang dari fihaknya, maka ia tidak mungkin dapat menarik kembali kata-kata itu yang berarti akan merendahkan diri sendiri. Maka hanya berkata kepada Wijaya Rajasa.
"Mereka ini adalah utusan nata dan tidak seharusnya kita menghina utusan nata!"
Wijaya Rajasa melihat betapa dari sepasang mata Patih Gajah Mada menyinarkan rasa penuh sesal, ia tidak berani banyak cakap lagi. Demikianlah, dalam keadaan sama-sama panas dan meradang rombongan utusan itu kembali ke Bubat. Alangkah murkanya Sang Prabu Dewata mendengar laporan patihnya karena merasa betapa kedudukannya direndahkan orang. Sabdanya dengan marah.
"Ya Jagat Dewa Batara! Mengapa dijatuhkan percobaan sehebat ini kepada hamba? Para pahlawanku sekalian. Memang semenjak kalian berangkat ke Majapahit, telah ada perasaan tidak enak dalam hatiku tanda akan adanya bahya mendatang. Kita harus bersiap sedia menjaga datangnya segala kemungkinan. Betapapun hati seorang ayah menyinta puterinya, akan tetapi bagi seorang satria, kehormatan lebih besar artinya. Lebih baik hancur-lebur tubuh ini daripada menyerah dalam kehinaan! Persiapkanlah seluruh balatentara, kita menanti datangnya serbuan dari Majapahit! Demi keluhuran Pajajaran kita lawan mereka mati-matian!"
"Hamba rela dan bersedia membela Pajajaran sampai hancur tubuh hamba!"
Seru Patih Anepaken.
"Hamba bersedia membela Pajajaran sampai titik darah yang penghabisan!!"
Sakri ikut berseru dengan penuh semangat. Ratu Dewata menjadi terharu sekali, terutama mendengar seruan Sakri yang hendak membela Pajajaran sampai titik darah penghabisan! Bagi Patih Anepaken dan yang lain-lain, hal ini tidak mengherankan dan bahkan sudah selayaknya, karena mereka adalah orang-orang Pajajaran. Akan tetapi, bukankah Sakri seorang Jawa? Maka sabdanya perlahan,
"Sakri, sudah yakin benarkah hatimu bahwa kau hendak mengurbankan jiwa ragamu untuk Semua orang memandang ke arah pemuda yang gagah perkasa ini, dan Sakri juga maklum ke mana maksud pertanyaan Sang Prabu Dewata itu. Sembahnya,
"Gusti, hamba adalah seorang laki-laki yang menjunjung tinggi sifat satria utama. Semenjak kecil, ayah hamba telah menggembleng hamba dengan ajaran yang luhur dari Sri Kresna yang bijak dan waspada. Sekali hamba bersuwita, maka hamba akan setia sampai mati!"
Semua orang terharu mendengar ini, dan mereka lalu bersiap sedia menjaga datangnya serbuan dari Majapahit. Patih Gajah Mada mendengar pula dari para penyelidik akan sikap Ratu Dewata dari Pajajaran. Ia maklum bahwa demi membela kehormatan masing-masing, maka pertempuran takkan dapat dielakkan lagi. Maka ia lalu menghadap kepada Prabu Hayam Wuruk untuk minta keputusan dan perkenan akan maksudnya menggempur barisan Pajajaran di Bubat.
Sang Prabu Hayam Wuruk menghela napas panjang karena merasa berduka dan kecewa bahwa persoalan menjadi demikian panas dan meruncing. Akan tetapi, sebagai seorang raja, iapun harus mempertahankan kehormatan kerajaannya. Dimintanya agar Patih Gajah Mada mencoba membereskan persoalan ini dengan jalan damai dan membujuk Sang Prabu Dewata untuk berdamai dan sudi mengalah, Patih Gajah Mada setelah menyatakan kesanggupannya, lalu mengerahkan sejumlah perajurit yang besar untuk pergi ke Bubat. Sebetulnya Patih Gajah Mada juga ingin membereskan kesalah-pahaman ini dengan cara damai. Akan tetapi, hal ini telah diketahui pula oleh Wijaya Rajasa, maka Raja Wengker ini lalu mengutus beberapa puluh orang suruhan, yang ini terdiri dari orang-orang jahat yang sanggup menjalankan perintah apa saja asal mendapat upah besar.
Begitu tiba di Bubat, mereka menyerang orang-orang Pajajaran dan setelah membunuh beberapa orang yang tak berjaga-jaga, mereka lalu melarikan diri. Ributlah keadaan di Bubat dan semua orang Pajajaran mendengar bahwa beberapa kawan dari Pajajaran telah terbunuh oleh orang-orang Majapahit! Maka memuncaklah kemarahan mereka hingga ketika barisan Gajah Mada tiba, tanpa banyak cakap lagi barisan Pajajaran lalu menyerang! Dan segeralah terjadi perang tanding yang hebat dan dahsyat di Bubat! Peperangan ini terkenal dengan sebutan Perang Bubat dan sampai lama menjadi kenangan orang. Darah membanjir di lapangan Buabat yang luas. Rumput yang tadinya tumbuh segar, menjadi kering dan mati kena injak kaki orang dan kuda. Warna lapangan yang tadinya hijau segar menyedapkan mata, kini berubah merah oleh darah, darah perajurit-perajurit Majapahit dan Pajajaran!
Keris dan tombak berkilauan mengamuk menenbus perut dan dada. Pekik dan teriak menggegap-gempita dan debu mengepul ke angkasa membuat sinar matahari menjadi pucat. Kehebatan peperangan di lapangan Bubat ini tiada kalah hebatnya dengan peperangan maha besar yang disebut Bharata-yuda di lapangan Kurusetra! Ribuan perajurit gagah-perkasa tewas di ujung senjata. Panglima-panglima kedua fihak yang muda, tampan, dan perkasa, gugur bagaikan ratna dalam perang itu! Sakri mengamuk dengan hebatnya bagaikan seekor banteng sakti mencium darah kawannya! Tubuhnya penuh dengan darah lawan. Berpuluh-puluh orang tewas dalam tangannya. Setiap kali tangan kanannya yang memegang keris bergerak, robohlah seorang perajurit Majapahit, dan tiap kali kepalan tangan kirinya diayun, pecahlah kepala seorang manusia yang menghalang di depannya!
Perajurit-perajurit Majapahit menjadi agak kocar-kacir menjauhi sepak-terjang pemuda yang luar biasa ini, bagaikan serombongan semut didekati api. Paraperajurit dan panglima Pajajaran karena merasa telah jauh dari negaranya, berperang mati-matian dan nekat hingga tak terhitung banyaknya perajurit Majapahit yang tewas. Melihat kehebatan sepak-terjangnya perajurit-perajurit dan panglima-panglima Pajajaran, Patih Gajah Mada menjadi marah. Ia mendatangkan balabantuan yang besar jumlahnya, dan diantara balabantuan yang tiba, nampak seorang pemuda yang berpakaian sebagai seorang pemuda petani sederhana. Menurut laporan pemimpin barisan yang baru tiba, pemuda ini menyatakan hendak ikut membela Majapahit dan ikut menghalau musuh. Gajah Mada lalu memanggilnya menghadap.
"Hai, anak muda yang muda rupawan. Siapakah kau dan mengapa kau yang semuda ini hendak ikut pula beryuda?"
Dengan suaranya yang halus dan tutur katanya yang sederhana, pemuda itu menyembah dan berkata,
"Hamba bernama Saritama dari Gunung Kidul, Gusti Patih. Dalam perantauan hamba, hamba mendengar bahwa seorang panglima Pajajaran yang bernama Sakri amat digdaya dan sukar dilawan. Maka apablia Gusti Patih memberi perkenan, hamba hendak mencoba melawan panglima Pajajaran yang sakti itu."
Patih Gajah Mada terkejut. Memang iapun telah menyaksikan sendiri kesaktian Sakri pahlawan Pajajaran itu dan telah mengambil keputusan untuk menghadapinya sendiri oleh karena anak buahnya tidak kuat menghadapi amukan Sakri. Akan tetapi, tiba-tiba seorang pemuda dusun telah mengajukan diri hendak menandingi Sakri!
"Cukup kuatkah pundakmu memikul beban ini?"
Tanyanya dan Patih Gajah Mada melangkah maju mendekati pemuda yang masih duduk bersila di depannya itu. Ia gunakan kedua tangan untuk menekan kedua bahu Saritama dan pemuda itu maklum bahwa Sang Patih sedang mencoba kesaktiannya, karena terasa olehnya betapa sepasang tangan sang Patih itu bagaikan dua buah batu besar yang beratnya luar biasa menekan dan menindih pundaknya! Saritama tersenyum dan berkata,
"Hamba rasa beban ini tak cukup berat, gusti!"
Dan diam-diam ia mengerahkan tenaganya ke arah dua pundak yang tertekan. Patih Gajah Mada merasa terkejut dan berbareng kagum ketika merasa, betapa kedua pundak pemuda itu tiba-tiba menjadi kaku keras bagaikan baja dan dapat menahan tekanan kedua tangannya dengan mudah! Tertawalah Sang Patih.
"Bagus, Saritama. Kau benar-benar pantas disebut Pendekar Gunung Kidul. Maju dan lawanlah Sakri, aku membekali doa restu padamu."
Saritama bertubuh sedang dan berkulit putih kuning. Wajahnya tampan dan sepasang matanya mengeluarkan sinar gemilang. Pakaiannya sederhana sekali, bahkan dadanya terbuka telanjang. Telinga kirinya digantungi sebuah anting-anting perak yang mengeluarkan sinar aneh. Senjatanya hanya sebilah keris kecil luk tiga yang diselipkan dalam sarung keris di pinggangnya. Gerak gayanya perlahan dan lemah lembut, akan tetapi tindakan kakinya cepat sekali ketika ia maju kemedan perang.
Para perajurit yang melihat majunya seorang pemuda bertelanjang dada tanpa memegang senjatapun di tangan, merasa sangat heran dan untuk sejenak perajurit-perajurit Pajajaran menjadi ragu-ragu. Mereka merasa tidak tega menyerang seorang pemuda yang demikian tampan dan yang maju kemedan pertempuran dengan senyum manis di bibir. Tiba-tiba seorang perajurit Pajajaran maju dengan tombak di tangan. Ia tidak perduli dengan sikap pemuda itu. Siapapun juga orangnya yang sudah maju kemedan perang dan berada di fihak Majapahit, berarti musuh mereka yang harus dibasmi! Akan tetapi Saritama menghadapi perajurit itu dengan tenang. Ketika tombak itu meluncur hendak ditusukkan ke arah dadanya, pemuda ini perlahan sekali memiringkan tubuh dan sekali tangannya bergerak miring, tombak itu patah!
Sabarlah, aku tak hendak bertempur dengan kalian!"
Katanya.
"Tunjukkanlah di mana adanya Sakri pahlawan besarmu, karena hanya dengan dia saja aku mau bertemu!"
Masih ada dua tiga orang perajurit yang merasa gemas dan menyerang, akan tetapi dengan cara sederhana dan mudah, semua senjata yang menyerangnya dapat dibikin patah! Anehnya, sedikitpun pemuda itu tidak mau membalas serangan atau menyakiti lawannya! Demikianlah, Saritama terus maju mencari-cari Sakri. Akhirnya, ia bertemu juga dengan Sakri yang sedang mengamuk dan yang kini berdiri dengan tangan kanan memegang keris dan tangan kiri bertolak pinggang karena sudah tidak ada lawan yang berani melawannya lagi! Gagah dan hebat bagaikan Raden Abimanyu mengamuk di lapangan Kurusetra. Ketika melihat seorang pemuda keluar dari fihak Majapahit, Sakri segera lari menghampiri dengan keris di tangan. Akan tetapi, setelah melihat orangnya yang datang, tiba-tiba tubuh Sakri terasa lemas, dadanya berdebar dan tangan yang memegang keris menggigil.
"Dimas Saritama...!"
"Kakang Sakri!"
Mereka berdua hanya dapat mengeluarkan kata-kata ini dan berdiri berhadapan saling pandang. Terharu, kecewa, girang, dan duka bercampur-aduk di dalam hati masing-masing, membuat mereka berdua tak kuasa berkata-kata. Tanpa disadari Sakri memasukkan kerisnya kembali ke dalam sarung keris. Akhirnya Saritama yang lebih dulu memecah kesunyian yang menyelubungi mereka berdua,
"Kang Mas, kang Mas Sakri, kau... kau telah menjadi seorang pengkhianat?"
Sakri terkejut mendengar ini. Tadinya ia telah ingin menubruk, memeluk dan menciumi adiknya yang terkasih ini, akan tetapi oleh karena mereka bertemu dalam keadaan bertentangan, ia tidak dapat melakukan hal ini. Pada saat itu, Saritama adalah seorang musuh, musuh Pajajaran yang berarti musuhnya pula!
"Tidak, Saritama!"
Jawabnya.
"Aku bukan seorang pengkhianat!"
"Kau tidak merasa menjadi seorang pengkhianat, akan tetapi kau telah melawan Majapahit. Kalau begitu, apakah selain menjadi seorang pengkhianat, kang Mas Sakri juga telah berubah menjadi seorang pengecut yang tidak berani mengakui dosa sendiri?"
"Saritama! Kau adikku yang kucinta, janganlah mulutmu begitu kejam menjatuhkan fitnah keji terhadap kakakmu sendiri! Kalau bukan kau yang mengucapkan kata-kata ini pasti telah kubinasakan kau!"
"Sakri! Pada saat ini janganlah kau anggap aku sebagai seorang adik. Kalau kau hendak membinasakan aku pula, lakukanlah, wahai manusia sesat dan gelap mata! Hendak kulihat sampai di mana kekejamanmu."
"Saritama,"
Kata Sakri dengan hati perih.
"Aku bukan seorang pengkhianat, juga bukan seorang pengecut seperti yang kau duga. Aku sadar dan yakin bahwa perjuanganku ini suci dan benar. Ketahuilah, aku seorang panglima Pajajaran, seorang hamba Pajajaran yang telah lama bersuita di depan Sang Ratu Dewata dan yang telah banyak menerima budi kerajaan Pajajaran. Aku telah bersumpah untuk setia dan membela Pajajaran sampai titik darahku yang penghabisan, yang memang sudah selayaknya menjadi cita-cita seorang satria utama! Dengarlah, wahai anak muda, kalau aku melanggar sumpah dan kesetiaanku terhadap kerajaan di mana aku menghambakan diri dan aku tidak menghancurkan fihak Majapahit yang telah menjadi musuh Pajajaran yang hendak menjaga kehormatan, bukankah aku menjadi seorang pengkhianat dan pengecut sebesar-besarnya di dunia ini?"
"Tapi lawanmu adalah bangsa dan darah dagingmu sendiri!"
Bantah Saritama.
"Di dalam yuda, tidak ada hubungan apa-apa, yang ada hanyalah lawan dan kawan. Siapa saja adanya dia yang berdiri di fihak musuh, dialah lawan yang harus dimusnahkan. Cita-cita seorang perajurit utama hanya tunggal, yaitu membasmi musuh dan membela negara serta taat kepada perintah yang menjadi junjungan. Aku melakukan semua ini dengan penuh kesadaran. Saritama, perjuanganku suci dan tanpa pamrih, karena aku hanyalah menunaikan tugasku sebagai seorang perajurit. Kalau kau bukan perajurit Majapahit, menyingkirlah Saritama, dan jangan kau menghalangi perjuanganku yang suci. Kelak, kalau aku tidak terbinasa di ujung senjata lawan, akan kuceritakan kepadamu tentang semua ini."
Saritama tersenyum.
"Sakri, kau tenggelam dalam kesombonganmu sendiri! Kaukira bahwa seluruh perajurit yang bertempur mengadu tenaga ini hanya boneka-boneka belaka? Bahwa hanya kau seorang yang memiliki jiwa satria utama? Ketahuilah, wahai panglima Pajajaran yang gagah perkasa, bahwa aku Saritama juga seorang perajurit Majapahit. Majulah, karena akulah lawanmu!"
"Duh Jagat Dewa Batara!"
Sakri mengeluh.
"mengapa aku harus menjatuhkan tanganku kepada adikku sendiri?"
"Sakri, ingatlah akan kata-katamu tadi, kita perajurit sama perajurit. Terima kasih atas pelajaranmu tadi yang membuat hatiku merasa lebih lapang untuk mengadu kerasnya tulang tebalnya kulit denganmu. Mengapa ragu-ragu?"
"Aduh, adikku Saritama... Kau yang telah lama kurindukan! Tak ada jalan lainkah yang dapat kita ambil? Aku tidak tega menjatuhkan tanganku di atas kepalamu yang kukasihi, Saritama... kasihanilah kakakmu dan mundurlah."
"Manusia lemah, mana sifat satria yang kau sombongkan tadi?"
Sambil berkata demikian, Saritama melangkah maju dan menyerang dengan pukulan tangannya. Sakri mengelak lemah, akan tetapi Saritama yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan gerakan cepat itu sudah menyusul dengan pukulan kedua hingga dada Sakri kena pukul dan panglima itu jatuh tersungkur!
"Sakri bangunlah! Mari kita bertempur seperti perajurit-perajurit sejati! Saritama membentak marah karena gemas melihat betapa lawannya itu tidak membalas. Mendengar ucapan ini dan merasa betapa pukulan Saritama kuat dan berat, bangkitlah semangat Sakri. Serentak ia melompat berdiri dan menggeram keras,
"Baiklah, Saritama. Mari kau pertahankan serbuan seorang satria Pajajaran!"
Maka ia lalu menyerang dengan hebatnya. Kedua teruna remaja yang sama tampan sama gagah itu, kakak beradik yang setelah lama berpisah kini bertemu dimedan yuda menjadi lawan, berkelahi mati-matian!
Keduanya sama kuat, sama cepat, dan sama digdaya. Pukul-memukul, tendang-menendang, hempas-menghempas hingga debu mengebul dari tanah yang mereka pijak. Perkelahian ini demikian hebat dan seru, sehingga para perajurit Majapahit dan Pajajaran yang sedang bertempur di dekat tempat kedua kakak-beradik ini beryuda, menghentikan pertempuran mereka dan menonton perkelahian ini dengan kagum! Sakri dan Saritama bertempur bagaikan dua ekor harimau berebut kelinci. Sepak-terjang Sakri bagaikan Gatutkaca yang menyambar-nyambar dengan hebatnya, kuat dan cepat gerakannya. Sedangkan Saritama yang lebih halus gerak-geriknya itu bagaikan Raden Angkawijaya yang biarpun bergerak lemah-lembut, akan tetapi selalu tepat cekatan.
Tak banyak bergerak dalam mengelak sebuah serangan, dan setiap pukulan yang dilancarkan, biarpun kelihatannya dilakukan dengan perlahan, namun mengandung tenaga yang cukup besar untuk menghancurkan kepala seekor banteng! Pertempuran itu berjalan seru dan lama hingga para perajurit kedua fihak bersorak-sorak membela jago masing-masing. Baik Sakri, maupun Saritama keduanya merasa betapa berat dan kuat orang yang menjadi lawannya. Sakri diam-diam merasa kagum dan girang melihat kehebatan adiknya, akan tetapi oleh karena pada saat itu adiknya menjadi seorang Majapahit, terpaksa harus dibinasakan! Sakri menggertak gigi untuk menguatkan hatinya, kemudian ia mencari kesempatan. Ketika kesempatan yang dinanti-nanti itu tiba, cepat bagaikan petir menyambar ia mengirim pukulan tangan kanan yang disertai Aji Kelabang Kencana yang bukan main dahsyatnya!
Pukulan sakti ini tepat mengenai pangkal telinga Saritama dan tubuh Saritama terpental jauh lalu jatuh di atas tanah tanpa daya! Kalau saja yang terkena pukulan itu bukan Saritama, Satria Gunung Kidul yang telah digembleng secara hebat oleh ayahnya, pasti akan tewas di saat itu juga. Akan tetapi, Aji Kelabang Kencana mempunyai kesaktian luar biasa hingga biarpun tidak tewas, namun tubuh Saritama telah menjadi bengkak-bengkak dan matang biru! Pemuda ini merangkak bangun dan mukanya yang tampan kini telah menjadi tidak karuan macamnya, bengkak-bengkak hingga kedua matanya hampir tak nampak lagi. Bukan main rasa sakit yang diderita oleh Saritama, akan tetapi satria ini menguatkan tubuh dan hatinya dan hanya sedikit keluhan terdengar dari mulutnya yang bengkak-bengkak itu.
"Aduh, Rama panembahan, tak kusangka Saritama akan tewas dalam kakang Mas Sakri sendiri..."
Kemudian ia merangkak bangun dan berseru keras kepada Sakri.
"Panglima Pajajaran, janganlah berlaku kepalang-tanggung, majulah dan padamkanlah apiku kalau kau memang seorang satria!"
Semenjak ia memukul Saritama dengan Aji Kelabang Kencana dan melihat betapa adinda yang dikasihinya jatuh berguling dengan tubuh dan muka bengkak-bengkak mengerikan, lenyaplah seketika itu juga semangat bertempur dalam dada Sakri. Ia merasa ngeri dan kasihan sekali. Apalagi setelah mendengar Saritama mengeluh dan menyebut ramanya, hancur luluh perasaan Sakri. Ramanya dulu pernah berkata bahwa kelak ia harus mewakili rama-ibu dan mendidik serta menjaga Saritama, akan tetapi sekarang, dia sendiri telah berusaha sekuasanya untuk membinasakan adindanya itu! Tak tertahan lagi rasa terharu yang melemahkan hatinya. Ia lalu menubruk maju sambil memekik,
"Adimas Saritama..."
Saritama hendak mengelak, akan tetapi oleh karena tubuhnya telah menjadi lemah dan sakit-sakit, ia tak kuasa melepaskan rangkulan kakaknya. Sakri lalu menggunakan tangan kanannya untuk memijit-mijit dan mengusap-ngusap muka dan tubuh adiknya, menggunakan kesaktiannya untuk menghilangkan Aji Kelabang Kencana yang menyerang tubuh Saritama. Memang selain memiliki Aji Kelabang Kencana dahsyat, Sakri juga mempelajari aji untuk mengobati dan memusnahkan daya serang Kelabang Kencana. Seketika itu juga, pulihlah keadaan Saritama. Segala bengkak-bengkak pada muka dan tubuhnya lenyap dan ia merasa segar kembali. Saritama mencela kakaknya. Dengan cepat ia merenggutkan tubuh dari pelukan Sakri dan berkata,
"Kang Mas Sakri, mengapa kau memperlihatkan kelemahanmu lagi? Jangan kau memalukan aku, kang Mas!"
"Saritama, adikku yang tersayang. Bagaimana aku dapat sampai hati mencelakakan kau yang kukasihi? Adinda, sekali lagi kupinta kepadamu, menyingkirlah dan jangan melawan aku. Kelak aku akan minta maaf kepadamu, dinda."
"Sakri! Kau hendak merendahkan adikmu sendiri? Kalau kau seorang satria utama, apakah akupun bukan seorang satria Majapahit yang pantang mundur dan tidak kenal takut pula? Hayo, majulah dan pergunakanlah aji kesaktianmu pula. Saritama bukan anak kecil yang takut akan maut!"
Kembali kakak-beradik ini bertempur. Akan tetapi oleh karena Sakri merasa bimbang, ia hanya berkelahi dengan setengah hati, sehingga pada saat yang tepat Saritama berhasil memasukkan pukulannya yang dengan jitu sekali menghantam kepala Sakri. Bukan main hebatnya pukulan ini, oleh karena kali ini Saritama mempergunakan aji kesaktiannya yang bernama Bromo ati. Pukulan ini mempunyai daya bagaikan petir menyambar dan seketika itu juga tubuh Sakri menjadi hangus dan kulitnya rusak bagaikan terbakar api! Sakri bergulingan di bawah dan mengeluh kesakitan, tak berdaya untuk bangun lagi.
"Kang Mas... kang Mas... ampunkan aku..."
Saritama mengeluh.
"Tidak ada yang harus mengampunkan dan tidak ada yang harus minta ampun, dimas. Kita sama-sama perajurit utama, bukan? Kematian bukan apa-apa, teruskanlah perjuanganmu dengan hati suci. Tak usah kita hiraukan sebab-sebab pertempuran. Tugas kita hanya berjuang, berjuang dengan suci. Aku... aku puas, dinda..."
Kemudian ia mengeluh dan tiba-tiba dari mulut keluar keluhan panjang,
"Aduh... adinda Diah Pitaloka..."
Terkejutlah Saritama mendengar ini.
"Kang Mas Sakri... kau... kau menyinta Diah Pitaloka Puteri Pajajaran?"
Sakri mencoba untuk tersenyum.
"Dia... Dia pujaan kalbu dan sumber kebahagiaanku, dinda... sampaikanlah salamku kepadanya dan sampaikan pula bahwa aku telah membela kehormatannya sampai titik darah terakhir..."
Dengan sedih Saritama menyanggupi. Pada saat itu, seorang perwira Majapahit yang berdiri di belakang Saritama, ketika mendengar bahwa Saritama, sebenarnya adalah adik dari Sakri panglima Pajajaran itu, menjadi tercengang. Timbul pikiran jahat dalam otaknya. Ia hendak merebut pahala dan jasa karena membinasakan Sakri, pahlawan musuh yang digdaya itu. Maka, diam-diam ia angkat tombaknya tinggi-tinggi dan cepat sekali ia menusuk punggung Saritama dengan tomak itu!
Saritama sama sekali tidak menyangka akan datangnya bahaya oleh karena kedukaannya membuat ia lupa akan segala. Dan oleh karena segala perhatiannya dicurahkan kepada kakaknya, maka agaknya tombak yang ditusukkan ini tentu akan menembusi tubuhnya! Akan tetapi pada saat itu Sakri yang telah hampir mati itu tiba-tiba meloncat bangun dan menubruk ke belakang Saritama hingga tombak itu tidak jadi menancap di punggung Saritama, akan tetapi tepat memasuki perut Sakri! Sakri benar-benar digdaya. Biarpun tubuhnya telah hangus dan tombak itu telah menembus perutnya, namun ia masih kuasa menyambar maju dan kedua tangannya yang hangus itu mencekik leher perwira itu sampai kedua mata perwira itu melotot dan lidahnya terjulur keluar. Perwira itu binasa dan setelah melepas tubuh perwira yang telah menjadi mayat. Sakri lalu terhuyung-huyung dan jatuh ke dalam pelukan Saritama,
"Kang Mas... sungguh mulia hatimu. Di saat terakhir kau masih sudi menolong jiwaku."
Akan tetapi Sakri tak kuasa berkata banyak. Ia membuat gerakan agar Saritama mendekatkan telinganya. Pemuda ini mengerti akan isarat kakaknya, maka ia lalu mendekatkan telinganya di mulut kakaknya. Dan dalam saat terakhir itu, Sakri membisikkan semua aji kesaktiannya kepada adiknya yang terkasih ini.
Kemudian, satria utama ini menjadi lemas dan menghembuskan napas terakhir. Sakri telah gugur bagaikan ratna, yang takkan lenyap dan pudar kegemilangan namanya selama dunia berkembang! Saritama mencabut keluar tombak yang masih menancap di perut Sakri dan dengan penuh khidmat ia pondong jenazah itu keluar darimedan pertempuran, diikuti oleh pandangan mata perajurit-perajurit dari kedua fihak. Setelah pemuda itu pergi, maka para perajurit itu mulai bertempur pula dengan hebatnya! Dengan hati duka, Saritama membakar jenazah kakaknya sambil berdoa. Setelah pembakaran jenazah ini selesai, ia lalu maju pula kemedan pertempuran, bukan untuk ikut bertempur, akan tetapi untuk mencari Puteri Pajajaran dan menyampaikan pesan Sakri kepada Diah Pitaloka. Setelah Sakri gugur, maka kekuatan fihak Pajajaran makin lemah.
Sungguhpun demikian, para satria Pajajaran yang gagah berani dan pantang mundur itu melanjutkan pertempuran sampai orang terakhir! Patih Gajah Mada mengerahkan semua pahlawannya dan akhirnya semua pahlawan Pajajaran dapat dibinasakan dalam pertempuran yang maha hebat itu! Darah mengalir bagaikan anak sungai dan mayat bergelimpangan bertumpang-tindih memenuhi lapangan Bubat. Diah pitaloka yang mendengar akan kekalahan fihaknya duduk di dalam kemah dengan pikiran kusut dan hati risau. Tiba-tiba ia teringat kepada Sakri. Ia tidak percaya bahwa fihaknya akan menderita kekalahan. Bukankah di fihaknya ada Sakri, pahlawan yang gagah perkasa itu? Tiba-tiba sesosok bayangan yang gesit sekali meloncat masuk ke dalam kemahnya dan tahu-tahu seorang pemuda tampan yang sederhana berdiri di situ dengan sikap hormat.
"Hai, siapa kau yang kurang ajar dan lancang memasuki tempat ini?"
Diah Pitaloka menegur marah.
"Maafkan hamba, Sang Puteri. Ketahuilah, hamba adalah adik dari seorang panglimamu yang ternama, yaitu Sakri."
"Kau adik Sakri? Dan... bagaimana dengan dia...?"
Wajah yang tampan dan agak pucat itu nampak berduka ketika menjawab.
"Kang Mas Sakri telah... gugur dan kedatanganku ini hanya hendak menyampaikan pesannya, yakni bahwa kang Mas Sakri meninggalkan salam dan hormat kepada Sang Puteri dan bahwa kang Mas Sakri telah menunaikan tugasnya membela paduka sampai pada saat terakhir!"
Diah Pitaloka terharu sekali dan ia tidak dapat menahan air matanya yang mengucur turun. Dengan kedua tangannya, ia menutupi mukanya dan tubuhnya bergoyang-goyang karena menahan sedu-sedan yang keluar dadanya.
"Sakri... Sakri... kau pahlawan sejati, satria utama... terima kasih atas pengurbananmu yang besar, Sakri..."
Ketika Diah Pitaloka menurunkan tangan dan memandang, ternyata pemuda yang mengaku sebagai adik Sakri itu telah pergi! Pada saat itu terdengar berita yang lebih menyayat jantung Diah Pitaloka. Yang membawa berita adalah ibunya sendiri, permaisuri raja Pajajaran. Permaisuri masuk ke dalam kamar puterinya sambil menangis dan dengan suara terputus-putus ia menceritakan bahwa Sang Ratu Dewata telah gugur di dalam yuda! Mendengar ini, kedukaan yang sudah melemahkan jantung Diah Pitaloka, memuncak hebat dan ia lalu roboh pingsan! Ibunya hanya dapat menangis dan setelah Sang Puteri siuman kembali, kedua orang wanita, ibu dan anak ini, bertangis-tangisan.
"Duhai anakku sayang, belahan nyawa bunda. Alangkah buruknya nasib yang menimpa kita! Bunda tak menyesali untung bunda, karena bunda sudah tua, sudah cukup mengecap nikmat hidup. Akan tetapi kau... anakku sayang, ibarat bunga sedang mulai mekar... bunda tak patut mengurbankan puterinya, sekarang terserah kepadamu, anakku. Kau masih muda, pantas menjadi permaisuri yang mulia. Kau menurutlah saja anakku, taatilah kehendak Sang Prabu di Majapahit yang hendak memboyongmu, kau akan menjadi permaisuri yang dimuliakan orang, nak..."
"Duh bunda..."
Diah Pitaloka menangis dalam pelukan ibunya dan untuk beberapa lama tak dapat berkata-kata. Akhirnya, sambil mengeluarkan sebuah keris yang runcing dan tajam, Diah Pitaloka berkata,
"Ibunda yang mulia, mohon diampunkan segala dosa dan kesalahan ananda. Alangkah akan hinanya nama ananda, alangkah akan rendahnya kehormatan ananda apabila ananda menyerah kepada musuh! Budi ramanda dan ibunda yang demikian besar bdilimpahkan kepada ananda, belum cukup terbalas hanya oleh pengurbanan jiwa ananda, apakah mungkin ananda menyerahkan diri kepada musuh yang berarti menghina dan menodai nama orang tua? Tidak, ibunda, ananda seribu kali lebih suka mati daripada menyerah kepada musuh! Ibunda, relakanlah, hamba hendak lebih dahulu menyusul ayahanda!"
Berseri wajah permaisuri mendengar ucapan puterinya itu. Saking terharunya, ia tak dapat berkata-kata, dan setelah beberapa kali menelan ludah, baru ia dapat berkata singkat,
"Diah Pitaloka kau patut menjadi puteri sesembahan di keraton Pajajaran, patut menjadi sari tauladan para wanita!"
Di depan ibunya, Diah Pitaloka lalu menyuduk-salira (menusuk diri). Dengan air mata berlinang-linang, permaisuri dan para emban yang menangis sedih lalu menyelimuti jenazah Sang Puteri dengan sutera hijau. Kemudian permaisuri lalu mengajak para emban untuk mencari jenazah Ratu Dewata, suaminya. Diantara ribuan mayat yangmalang melintang, akhirnya Sang Permaisuri dapat pula menemukan jenazah suaminya terhantar di atas tanah dengan sebatang tombak masih menancap di dadanya. Tomba itu merupakan tanda bahwa suaminya telah gugur dengan gagah-berani. Setelah menubruk dan menangisi jenazah suaminya, Sang Permaisuri lalu mencabut kerisnya dan membunuh diri di dekat suaminya!
Para selir dan emban yang mengiringkan Permaisuri melihat hal ini lalu meniru tindakan Sang Permaisuri. Mereka menggunakan senjata masing-masing untuk membunuh diri hingga bertambah pula tubuh manusia memenuhi lapangan Bubat! Sebelum senjakala, matahari telah menyembunyikan diri siang-siang di belakang awan tebal, seakan-akan Sang Batara Surya sendiri tidak tahan lebih lama menyaksikan akibat mengerikan dari perbuatan manusia yang bodoh dan dungu, manusia yang tak segan-segan untuk saling bunuh hanya karena memperebutkan sesuatu yang kosong! Ketika Sang Prabu Hayam Wuruk mendengar akan peristiwa yang amat menyedihkan itu, bukan main duka dan menyesalnya. Padahal Sang Prabu Hayam Wuruk yang telah amat rindu dan ingin sekali bertemu dengan calon permaisurinya, telah menyusul ke Bubat.
Tidak tahunya, ketika tiba di Bubat, Sang Prabu hanya bertemu dengan layon Sang Puteri. Perih dan sakit hati Sang Prabu Hayam Wuruk melihat jenazah yang telah diselimuti sutera hijau seluruhnya itu. Tanpa dapat dicegah lagi, Sang Prabu lalu melangkah maju dan menggunakan kedua tangannya untuk menyingkap sutera itu dari muka jenazah Diah Pitaloka. Naik sedu sedan dari dalam dada yang menyumbat kerongkongannya ketika Sang Prabu menatap wajah yang tetap ayu, tetap gilang-gemilang, dengan dihias senyum manis itu. Dalam pandangan Sang Prabu, wajah Diah Pitaloka seakan-akan masih hidup dan senyum itu seperti sengaja ditujukan padanya. Tak tertahan pula rasa duka dan terharu yang menggelora dalam kalbunya dan beerjatuhanlah air mata Sang Prabu membasahi wajah Sang Ayu yang telah tak bernyawa pula itu.
"Aduhai adinda juita! Adinda pujaan kalbu, mustikaningrat yang cantik jelita, alangkah kejamnya nasib menimpa kita! Telah menjadi kembang-mimpi kanda saat pertemuan kita yang telah kurindu-rindukan. Akan tetapi, setelah kita bertemu, kau telah pergi... aduhai adinda, adinda..."
Para pengiring Sang Prabu yang menyaksikan kedukaan Prabu Hayam Wuruk, merasa terharu sekali dan menumpahkan air mata dalam belasungkawa. Juga Patih Gajah Mada diam-diam merasa menyesal telah terjadi perang yang mengakibatkan tewasnya Sang Puteri yang sedianya akan mendatangkan bahagia maha besar bagi junjungannya itu. Ia lalu melangkah maju dan sambil menyembah berkata,
"Duh gusti pujaan hamba! Ingatlah bahwa segala peristiwa yang telah terjadi, sedang terjadi, maupun yang akan terjadi, adalah kehendak Hyang Agung dan kita manusia hanyalah sekedar menjalankan kodrat belaka."
Maka sadarlah Prabu Hayam Wuruk dari pengaruh duka-nestapanya yang maha hebat. Dengan kedua tangan gemetar Sang Prabu menyelimutkan kembali sutera hijau itu di atas muka Diah Pitaloka, lalu memerintahkan agar jenazah Ratu Dewata seanak-isteri mendapat penghormatan selayaknya bagaikan keluarga raja yang terhormat serta jenazah mereka dibakar menurut upacara yang telah lazim. Kemudian Sang Prabu memerintahkan kepada para ahlinya untuk merawat mereka yang terluka dalam perang itu, baik perajurit-perajurit Majapahit sendiri maupun Pajajaran. Semua diperlakukan sama dan tak boleh dibeda-bedakan. Sesungguhnya, sebelum Sang Prabu Hayam Wuruk meminang Diah Pitaloka, Sang Prabu telah tertarik akan kecantikan Puteri Susumnadewi, puteri Raja Wengker.
Oleh karena itu, setelah perjodohan dengan Diah Pitaloka gagal, Sang Prabu teringat kembali kepada Puteri Susumnadewi dan akhirnya Sang Prabu melamarnya sebagai permaisuri. Tak perlu diceritakan lagi betapa girang hati Wijaya Rajasa oleh karena dengan sendirinya derajat serta kedudukannya meningkat tinggi sebagai mertua raja. Di sebelah selatan Pulau Jawa, yakni di sepanjang pesisir Laut Selatan, terdapat pegunungan yang memanjang dari barat ke timur yang terkenal disebut Gunung Kidul. Diantara bukit-bukit kecil yang tak terbilang banyaknya itu, bertapalah seorang Panembahan yang sakti dan suci, yakni Panembahan Sidik Panunggal. Sang Panembahan belum tua benar, paling banyak berusialima puluh tahun, akan tetapi rambutnya yang panjang serta jenggotnya yang melambai sampai ke dada, telah putih semua.
Panembahan Sidik Panunggal tinggal dalam sebuah pondok kecil terbuat daripada bambu sederhana. Hidupnya hanya bertani dan bermuja-samadhi, serta mengulurkan tangan menolong para penduduk desa apabila mereka itu membutuhkan pertolongan. Juga banyak sekali cantrik-cantrik yang mengejar ilmu dan bersuwita kepada Sang Panembahan yang sakti. Pada suatu hari, tak seperti biasanya, Sang Panembahan Sidik Panunggal semenjak pagi tidak meninggalkan pondoknya. Biasanya, pagi-pagi sekali pada waktu ayam-ayam jantan berkokok Sang Panembahan sudah keluar dari pondok dan berjalan-jalan menghirup hawa udara sejuk di pegunungan, kemudian Sang Panembahan lalu ikut pula mengerjakan sawah-ladang dengan para petani lainnya.
Berbeda dengan pertapa-pertapa lainnya yang tidak mau bekerja, Sang Panembahan ini tiap hari selalu membantu pekerjaan bapak tani dengan gembira, bahkan memberi petunjuk-petunjuk penting oleh karena beliau juga ahli dalam soal pertanian dan cara-cara menggarap sawah-ladang. Biarpun sudah tua dan tubuhnya kelihatan kurus, akan tetapi ternyata bahwa Sang Panembahan masih kuat mengayun cangkul. Melihat betapa Sang Panembahan tidak seperti biasanya, dan tidak nampak keluar dari sanggar pemujaan para cantrik merasa bingung dan kuatir, akan tetapi mereka tidak berani mengganggu dan bertanya kepada Sang Panembahan, hanya duduk di luar pondok dengan bersila dan tidak berani membuat berisik.
Ketika akhirnya setelah lewat tengah hari Sang Panembahan keluar dari pondok, wajah orang tua yang biasanya nampak riang itu, kini kelihatan pucat dan walaupun kedua matanya tidak menampakkan kedukaan, namun keriangan yang biasa membayang pada matanya itu telah lenyap.Para cantrik maklum bahwa tentu ada sesuatu yang mengganggu pikiran Sang Panembahan Sidik Panunggal. Akan tetap, Sang Panembahan tidak berkata apa-apa, kecuali menanyakan tentang pekerjaan para cantrik. Pada senja hari datanglah Saritama. Wajah pemuda ini nampak kurus dan pucat, sedangkan tubuhnya lemah-lunglai. Bahkan di atas kedua pipinya masih nampak bekas-bekas air mata.Para cantrik yang tadinya merasa gembira dan girang melihat kedatangan pemuda ini, menjadi heran dan diam-diam saling berbisik menduga-duga apakah gerangan yang disedihkan oleh Saritama.
"Angger, Saritama, kau sudah kembali, nak,"
Kata Sang Panembahan Sidik Panunggal ketika melihat pemuda itu. Tiba-tiba Saritama mengeluarkan suara isak tertahan dan sertamerta ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Panembahan itu dan memeluk kaki sambil menangis tersedu-sedu. Sang Panembahan menggunkan tangan kanan mengelus-ngelus kepala pemuda itu sambil berkata,
"Saritama, tidak ada kedukaan dan kekecewaan yang cukup besar untuk dapat menggoncangkan iman seorang satria. Sadarlah kembali dan gunakan sifat jantanmu untuk mengusir perasaan duka yang tak baik dan melemahkan itu."
"Aduh Rama Panembahan, hamba telah berdosa besar rama... Hamba... telah membunuh kakang Mas Sakri..."
Pemuda itu menangis lagi.
"Wahai puteraku yang bagus, puteraku yang setia dan taat kepada pelaksanaan tugas, mengapa kau begini lemah? Kau bilang bahwa kau telah membunuh kakakmu Sakri? Ya Jagat Dewa Batara yang berkuasa di jagatraya! Bagaimanakah asal-mulanya maka kau dapat berkata demikian?"
Setelah dapat menekan perasaan terharu dan dukanya dan menetapkan hatinya, Saritama lalu berkata,
"Hamba mentaati perintah Rama Panembahan dan menuju ke Majapahit untuk menunaikan tugas sebagai seorang satria dan pembela negara. Kebetulan sekali ketika hamba tiba disana, Majapahit sedang mengadakan perang melawan barisan dari kerajaan Pajajaran. Hamba lalu menuju ke tempat peperangan dan disana hamba mendengar tentang mengamuknya seorang panglima Pajajaran yang gagah perkasa dan bernama Sakri. Tadinya hamba merasa ragu-ragu dan tidak percaya bahwa panglima yang bernama Sakri itu adalah kakang Mas Sakri sendiri. Maka hamba lalu mengajukan diri membela perajurit-perajurit Majapahit. Ketika hamba bertemu dengan panglima itu, benar saja, panglima Pajajaran itu adalah kang Mas Sakri sendiri! Aduh, Rama Panembahan, sebelum hamba melanjutkan cerita hamba, mohon penyesalan, Rama, dalam keadaan seperti itu, apakah yang hamba harus perbuat? Hamba ingin mendengar pendapat Rama, apakah perbuatan hamba itu sesuai dengan pendapat Rama atau tidak, agar hati hamba menjadi tenang dan puas."
Satria Gunung Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sang Panembahan Sidik Panunggal mengangguk-angguk perlahan sedangkan para cantrik saling pandang dengan heran mendengar cerita ini. Kemudian terdengar suara Panembahan itu yang halus, sabar, dan penuh ketenangan,
"Saritama, ketika kau maju kemedan perang, kau adalah seorang perajurit Majapahit, maka siapa juga orangnya yang berdiri di fihak musuh negara, harus disingkirkan."
"Aduh, Rama Panembahan! Lega rasa hati hamba mendengar pendapat Rama ini! Ternyata biarpun perbuatan hamba telah membuat hati sanubari hamba terasa perih dan hancur, namun agaknya tidak menyeleweng daripada pelajaran Rama! Ketika hamba berhadapan dengan kakang Mas Sakri, hamba dan kang Mas Sakri berselisih pendapat dan mempertahankan tugas masing-masing hingga akhirnya kami berdua beryuda. Tadinya hamba kalah dan terkena pukulan Kelabang Kencana yang ampuh dan luar biasa. Akan tetapi, kakang Mas Sakri menaruh kasihan kepada hamba dan hamba disembuhkannya kembali! Kemudian karena dorongan tugas kami masing-masing sebagai seorang perajurit dan satria utama, kami beretempur pula. Bukan main hebatnya sepak-terjang kakang Mas Sakri yang benar-benar sakti mandaraguna! Dia terlampau gagah perkasa, terlampau sakti, hingga terpaksa hamba mengeluarkan Aji Bromojati. Dan dia... kang Mas Sakri yang tercinta... dia kena hamba pukul Aduhai, Rama Panembahan, kalau tidak takut akan dosa dan murka dewata, mau rasanya hamba memenggal tangan hamba yang telah memukul kepala kakang Mas Sakri. Rama... rama... hukumlah hamba, karena hamba telah berdosa besar dan patut mendapat hukuman berat!"
"Tenanglah, Saritama. Lalu bagaimana lanjutan ceritamu? Apakah Sakri terus tewas karena pukulanmu Bromojati?"
"Tidak, rama. Dia terlalu sakti dan kebal untuk dapat sekali tewas dengan sekali pukul. Hamba sudah tidak kuat meihat keadaannya setelah dia terpukul oleh hamba. Hamba tubruk tubuhnya dan hamba tak kuat lagi menahan keluarnya air mata. Hamba tangisi dia, dan pada saat itu, seorang perwira Majapahit tanpa sebab lalu menyerang hamba dari belakang dengan tombaknya. Hamba tidak melihat serangan ini, akan tetapi tiba-tiba kakang Mas Sakri melompat berdiri dan menubruk perwira itu hingga tombak yang sedianya menancap di punggung hamba, lalu menancap di dada kakang Mas Sakri! Kakang Mas Sakri membinasakan perwira yang curang itu dan tak lama kemudian dia menghembuskan napas terakhir dalam pelukan hamba! Ah, Rama Panembahan, perbuatan kakang Mas Sakri yang biarpun telah hampir tewas karena pukulan hamba itu, akhirnya masih menolong hamba dari ancaman maut, sungguh memberatkan rasa duka di dalam hati hamba! Dia yang telah hamba pukul hingga hampir tewas, bahkan menolong dan menyelamatkan nyawa hamba!"
"Saritama, kaukira kau ini siapa maka mudah saja mengatakan dapat membunuh? Lupakah kau akan ilmu penerangan yang telah diturunkan oleh Sri Kresna? Bukankah Sri Kresna dulu pernah bersabda kepada Sang Arjuna bahwa :
"Kalau ada orang berkata bahwa Atman dapat terbunuh atau berkata bahwa dia telah membunuh maka orang yang berkata demikian itu tidak mengetahui akan kebenaran! Bagaimanakah Dia dapat membunuh dan siapakah itu yang dapat membunuh Dia?"
Ucapan di atas yang dipetik oleh Panembahan Sidik Panunggal ini adalah ucapan Sri Kresna yang ditujukan kepada Sang Arjuna dalam wejangan-wejangannya, yang terkenal sebagai kitab Rhagawad Gita. Memang semenjak kecil Saritama telah menerima bermacam pelajaran dari Panembahan Sidik Panunggal, maka tentu saja ia masih ingat akan ilmu pelajaran batin di atas. Ia lalu menyembah di hadapan Sang Prabu Panembahan dan berkata,
"Terima kasih, Rama. Sungguh besar sekali pengaruh wejangan Rama, karena kini hamba merasa tidak sangat tertekan."
"Kau hanya menjalankan tugasmu sebagai seorang ksatria dan perajurit utama, demikianpun Sakri. Biarpun dia telah tewas di dalam peperangan, namun ia gugur sebagai seorang ksatria utama. Tewas di dalam menunaikan tugas dimedan perang, bagi seorang perajurit dan ksatria utama, adalah cara mengakhiri hidup yang paling nikmat dan sempurna!"
"Akan tetapi, Rama Panembahan yang menjadi pujaan hamba di jagat raya! Betapa hati hamba takkan berduka oleh karena di dalam dunia ini, hamba hanya mempunyai Rama dan kakang Mas Sakri. Kini kakang Mas Sakri telah pergi, ah, betapa hamba takkan merasa sunyi dan sengsara."
Sang Panembahan tersenyum.
"Saritama, Saritama! Ucapanmu ini seperti seorang anak-anak saja. Mengapa kau hanya mempunyai aku dan kang Masmu? Tengoklah di sekelilingmu.Para cantrik ini, para kawan pamong desa, para petani, semua itu juga bukankah manusia-manusia yang tiada bedanya dengan aku atau kang Masmu? Kalau kau dapat menganggap aku sebagai ramamu dan Sakri sebagai kang Masmu, mengapa kau takkan dapat menganggap mereka semua itu sebagai ramamu dan juga sebagai kang Masmu? Dan sekarang, Saritama, bersiaplah untuk menerima kenyataan yang sebetulnya bukan apa-apa, akan tetapi kalau imanmu lemah, kau dapat menganggap bahwa hal ini merupakan hal yang pahit bagimu. Kenyataan yang tadinya menjadi rahasia dan yang kini hendak kubuka ini, juga akan membongkar pula kenyataan bahwa nafsu perseorangan atau nafsu kekeluargaan yang menebal di dalam hati manusia itu sebenarnya tidak selayaknya dan hanya timbul karena diadakan oleh manusia sendiri, bukan timbul dari kodrat. Kasih sayang harus dicurahkan kepada seluruh manusia, tak perduli orang itu keluarga maupun tidak, berdasar rasa perikemanusiaan dan sesama hidup, bahkan seyogianya tidak hanya terhadap sesama manusia, akan tetapi juga terhadap sesama mahluk di dunia. Saritama, sekarang dengarlah, aku hendak menceritakan sebuah riwayat yang hendak kupersingkat saja."
Sang Panembahan Sidik Panunggal lalu bercerita sebagai berikut. Kurang lebih empat belas tahun yang lalu, terdapat seorang adipati yang mengepalai Kadipaten Tritis. Adipati ini mempunyai seorang musuh, yakni seorang tumenggung. Oleh karena keduanya adalah hamba kerajaan Majapahit dan keduanya memiliki kesaktian dan telah berjasa besar terhadap kerajaan hingga pengaruh mereka cukup besar, maka rasa permusuhan ini tidak dinyatakan berterang, hanya terpendam dalam dasar hati masing-masing. Walaupun pada lahirnya adipati dan tumenggung itu tidak memperlihatkan sikap bermusuhan, akan tetapi di dalam hati mereka menaruh dendam besar.
Permusuhan ini timbul oleh karena seorang Puteri keturunan Prabu Jayanegara yang lahir dari selir. Puteri ini sebenarnya telah mempunyai hubungan kasih-sayang dengan adipati itu, akan tetapi oleh karena pada waktu itu sang adipati masih belum menduduki pangkat dan keadaannya miskin, maka akhirnya sang puteri tak dapat menjadi jodohnya dan menjadi isteri sang tumenggung yang kaya raya dan berpengaruh. Hal inilah yang menjadikan ganjalan di dalam hati kedua orang itu dan menimbulkan sakit hati yang tak kunjung padam. Akan tetapi, sang adipati itu dapat mengobati luka di hatinya dan biarpun ia masih membenci sang tumenggung, namun dia tidak melakukan sesuatu, bahkan lalu kawin dengan puteri lain dan hidup cukup berbahagia oleh karena ia mendapat anugerah raja dan dijadikan adipati di Tritis.
Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan sang tumenggung itu. Biarpun puteri juita yang diperebutkan itu akhirnya terjatuh ke dalam tangannya dan menjadi isterinya, namun rasa cemburu masih melekat di dalam hatinya dan bencinya terhadap adiapti itu makin lama makin menghebat. Hingga pada suatu hari, dengan cara curang sang tumenggung itu berhasil menfitnah sang adipati yang dituduh hendak memberontak terhadap kerajaan Majapahit. Pada masa itu, yang memerintah di Majapahit adalah Sang Ratu Tribuwana Tungga Dewi dan sebagai seorang wanita, Ratu ini dapat dihasut hingga Sang Ratu menggerakkan panglima-panglimanya untuk memukul hancur adipati itu hingga terbinasa seluruh keluarganya, kecuali dua orang puteranya yang dapat diselamatkannya.
Banjir Darah Di Borobudur Karya Kho Ping Hoo Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo