Ceritasilat Novel Online

Rondo Kuning Membalas Dendam 5


Rondo Kuning Membalas Dendam Karya Kho Ping Hoo Bagian 5



"Bangsat kurang ajar!"

   Teriaknya dengan kumis berdiri. Orang-orang menjadi panik dan semua orang heran akan peristiwa yang aneh itu. Kebetulan sekali wayang itu melakonkan cerita Narayana Maling Puteri dan sekarang puteri pak Kromojali yang lenyap digondol maling! Siapakah gerangan maling yang teramat berani dan yang telah memcontoh perbuatan Narayana dalam cerita wayang itu?

   "Ayo kita kejar! Kita cari sampai dapat! Biar aku sendiri membunuh mampus keparat yang berani kurang ajar itu!"

   Teriak Raden Panji yang segera mengatur orang-orangnya untuk mencari dan mengejar ke berbagai jurusan. Akan tetapi, tiba-tiba dari atas genteng terdengar suara ketawa berkakakan dan suara ketawa ini demikian kerasnya membuat semua orang yang berada di bawah tersentak diam ketakutan.

   "Raden Panji"!!"

   Tiba-tiba terdengar suara yang besar dan menyeramkan.

   "Tak perlu kau mencari! Pengantinmu telah kuambil karena ia tidak pantas menjadi isteri seorang bandot tua yang telah banyak mempunyai isteri sepeti engkau!"

   Semua orang merasa ketakutan dan Raden Panji marah sekali. Dia adalah seorang keturunan bangsawan dan sedikit banyak ia memiliki ilmu kepandaian dan kesaktian.

   "Iblis keparat! Siapakah engkau yang berani mempermainkan Raden Panji? Turunlah kalau engkau memang jantan!"

   Kembali terdengar suara tertawa yang keras dan membuat bulu tengkuk berdiri.

   "Ha-ha, Raden Panji! Engkau naiklah kalau ingin merebut kembali pengantinmu!"

   Raden Panji mencabut kerisnya dan ia lalu melompat ke arah genteng rumah pak Kromojali. Kaki kirinya menginjak patah papan genteng, akan tetapi ia dapat juga menjaga keseimbangan tubuhnya hingga tidak terjatuh kembali kebawah. Ia memandang ke sekeliling, akan tetapi tidak melihat bayangan orang.

   Ia melangkah maju dan melompat ke atas wuwungan rumah itu. Tiba-tiba ia merasa ada angin menyambar dan ketika memutar tubuh sambil mengayunkan kerisnya untuk menyerang, tiba-tiba ia merasa betapa tubuhnya terdorong oleh semacam tenaga yang aneh dan kuat sekali hingga ia tak dapat mempertahankan dirinya lagi dan tubuhnya lalu terguling dan menggelundung ke bawah! Baiknya Raden Panji memang tangkas dan gesit, maka ketika merasa bahwa tubuhnya jatuh ke bawah, ia dapat menggerakkan kaki tangan dan mengatur sedemikian rupa hingga ketika tubuhnya tiba di tanah, ia jatuh dengan kaki dan tangan di depan dan tidak mengalami luka-luka hebat. Kembali terdengar tertawa mengejek dari atas genteng hingga Raden Panji merasa marah luar biasa. Ia acung-acungkan kerisnya yang masih berada di tangannya ke arah genteng dan berseru,

   "Iblis keparat, mengakulah siapa engkau?"

   "Aku adalah Kala Kaprah, penunggu hutan disebelah selatan! Sutinah telah kubawa untuk menjadi isteriku yang tercinta, dan mereka yang merasa penasaran, boleh naik kesini atau menyusulku ke hutan!"

   "Iblis laknat! Engkau pengecut! Kalau engkau memang gagah, jangan main-main sembunyi dan keluarlah!"

   Kata Raden Panji yang memberi isyarat kepada kaki tangannya untuk bersiap hingga orang-orang itu telah mencabut senjata masing-masing dan bersiap sedia dengan hati gentar! Tiba-tiba dari atas genteng berkelebat sesosok bayangan bagaikan seekor gardu melayang turun dan menyambar. Semua orang merasa ngeri dan terkejut. Raden Panji mengangkat kerisnya menyambut bayangan yang turun menyambar itu, akan tetapi ia segera memekik kesakitan dan kerisnya dapat terampas oleh bayangan itu.

   Sambil tertawa menyeramkan, bayangan itu lalu mematahkan keris Raden Panji. Semua kawan-kawan Raden Panji menyerbu, akan tetapi bayangan itu gesit sekali gerakan-gerakannya hingga tak dapat terlihat nyata mukanya, berkelebat kesana kemari membagi-bagi pukulan dan tendangan hingga keadaan menjadi kalang-kabut dan banyak orang pembantu Raden Panji terlempar dan jatuh saling tindih! Raden Panji sendri yang mendapat serangan pertama, telah patah tulang lengannya dan kini merintih-rintih sambil memegangi lengan tangannya! Kemudian bayangan itu lalu melarikan diri cepat sekali menuju ke selatan dan menghilang di dalam gelap! Tentu saja dapat diduga bahwa yang menjadi setan ini bukan lain ialah Adiguna dalam usahanya membantu Sutinah yang melarikan diri dengan kekasihnya menuju ke utara.

   Ia sengaja memancing Raden Panji dan orang-orangnya hingga tidak melakukan pengejaran, memberi kesempatan kepada sepasang merpati itu untuk terbang pergi jauh meninggalkan tempat itu. Juga ia sengaja memberi tahu bahwa ia membawa Sutinah ke hutan sebelah selatan untuk membelokkan perhatian Raden Panji dan kaki tangannya. Setelah melakukan perbuatan ini, sambil tersenyum-senyum puas dan geli, Adiguna melanjutkan perjalanannya. Sebagaimana yang ia telah duga dan rencanakan, pada keesok harinya Raden Panji disertai banyak sekali orang-orangnya, pergi ke hutan di sebelah selatan dan mencari-cari Sutinah, akan tetapi tentu saja mereka tidak dapat menemukan gadis yang kini telah berada jauh di utara bersama pemuda kekasihnya untuk menempuh hidup baru yang penuh bahagia!

   Pada suatu hari Adiguna tiba di dusun Gandekan. Dusun ini berada di sebelah selatan kali dan keadaan dusun ini nampak tenteram dan makmur. Kaum tani yang mengerjakan sawah di sekitar Gandekan, bekerja sambil menembang, menandakan bahwa keadaan penghidupan di dusun itu memang baik dan serba cukup. Ketika Adiguna berjalan perlahan di atas lorong yang diapit sawah ladang yang amat luas dan suburnya itu, ia melihat para petani bekerja dengan rajin dan seorang laki-laki yang sudah tua berdiri di atas gelengan sawah memberi petunjuk-petunjuk kepada mereka yang sedang menanam padi. Orang tua ini berwajah peramah dan baik hati dan melihat sikap para petani terhadap dia, Adiguna dapat menduga bahwa orang tua ini tentulah pemimpin mereka atau setidaknya Lurah dusun di depan itu.

   Ia menjadi amat tertarik karena sikap kakek ini berbeda dengan orang-orang yang menjadi Lurah di dusun-dusun lain. Orangnya bersikap ramah-tamah, sederhana dan jelas kelihatan bahwa ia amat menghargai tenaga para petani di kampungnya. Pada waktu itu, matahari telah naik tinggi dan panasnya bukan main. Adiguna lalu pergi ke sebuah pohon di pinggir jalan dekat tempat itu, dan duduk berteduh di bawah pohon sambl melihat petani-petani bekerja. Dari arah desa datang dua orang yang memikul keranjang. Ketika mereka ini tiba di tempat dimana kakek itu memberi petunjuk dan contoh kepada para petani dengan turun tangan sendiri ikut membantu menanam padi, dua orang pemikul keranjang itu berhenti. Kakek itu lalu berdiri dan berteriak dengan suara nyaring,

   "Berhenti dulu, kawan-kawan! Kita mengisi perut dulu!"

   Maka berhentilah semua petani dan meninggalkan pekerjaannya lalu menghampiri dua orang pemikul keranjang itu dengan wajah gembira. Ternyata bahwa yang dipikul itu adalah sebuah keranjang besar berisi makanan. Petani-petani laki perempuan yang jumlahnya dua puluh orang lebih itu lalu duduk di atas rumput dan nasi serta sayur-mayurnya dibagi-bagi. Dari dalam keranjang juga dikeluarkan empat buah kendi berisi air jernih. Tak enak sekali hati Adiguna melihat orang makan minum dengan senang itu, karena ia sendiri juga merasa amat lapar. Ia lalu berdiri dan hendak meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, tiba-tiba kakek itu memanggilnya,

   "Hai, sahabat. Marilah kau ikut makan dan membantu kami menghabiskan nasi ini!"

   Suaranya terdengar ramah-tamah sekali, dan banyak mulut petani-petani itupun lalu menawarkan makanan kepada Adiguna. Adiguna merasa malu sekali.

   "Terima kasih, terima kasih. Saudara-saudara makanlah dengan enak, aku tak berani mengganggu."

   "Eh-eh, mengapa begitu, nak?"

   Kata kakek tadi.

   "Tak baik menolak rezeki. Marilah, jangan malu-malu. Setelah kebetulan engkau berada di sini, engkau terhitung orang kami sendiri!"

   Adiguna merasa malu dan tidak enak untuk menolak terus, maka iapun lalu menghampiri mereka. Banyak pasang tangan yang segera menyambutnya dengan ramah dan ia mendapat bagiannya pula, nasi merah dengan sayur terong dan sambal. Sungguhpun hidangan itu amat bersahaja, namun Adguna makan dengan enaknya.

   Ia melihat betapa keramah-tamahan semua orang ini keluar dengan sewajarnya dari hati yang tulus ikhlas, jujur dan baik. Oleh karenanya, ia merasa gembira sekali. Makan bersama ini membuat ia mendapat perasaan seakan-akan ia berada di tengah-tengah keluarga sendiri yang besar, hingga tiba-tiba ia merasa terharu sekali. Dengan mata berseri, ia memandang dan menatap semua wajah mereka seorang demi seorang dan mendapat kenyataan bahwa mereka ini benar-benar petani tulen yang berhati jujur dan bersih, sejujur sifat tanah yang sehari-hari mereka kerjakan. Hanya kakek itu saja yang mempunyai wajah cerdik dan berpengalaman. Setelah selesai makan, semua petani lalu merokok dan kembali ke pekerjaan masing-masing, sedangkan kakek tadi duduk bercakap-cakap dengan Adiguna sambil menghisap rokok klobotnya.

   "Banyak terima kasih atas budi kebaikanmu ini, pak,"

   Kata Adiguna dengan gembira.

   "Kalian sungguh-sungguh orang-orang baik dan saat aku makan dengan kalian tadi adalah saat yang paling bahagia bagiku dan yang takkan mudah kulupakan."

   Adiguna mengeluarkan ucapan ini dengan sejujurnya, dan kakek itu memandangnya dengan muka mengandung iba hati.

   "Anak muda,"

   Katanya dengan suara lemah lembut.

   "melihat keadaanmu, tentu kau seorang yang datang dari tempat jauh dan mungkin sekali kau ini seorang pemuda perantau. Memang hidup merantau amat sengsara, karena kau tidak mengenal kebahagian kekeluargaan. Kalau kau merasa suka tinggal disini, tinggallah bersama kami, kami akan menerimamu dengan segala senang hati."

   Adiguna tersenyum dan diam-diam ia merasa kagum akan kebaikan yang tulus ikhlas ini. Ia tahu bahwa bangsanya memang bangsa yang ramah-tamah, penuh perikemanusiaan, jujur dan suka menolong sesama manusia. Akan tetapi, jarang ia bertemu dengan seorang yang seperti kakek ini, yang dengan tepat dapat mengetahui keadaan dan yang tanpa ragu-ragu hendak menerimanya sebagai keluarga kampung itu.

   "Bapak yang berhati mulia, terima kasih atas tawaran ini. Dusun apakah namanya tempatmu ini dan siapa gerangan bapak ini yang memimpin para petani?"

   Kakek itu tersenyum,

   "Dusun kami bernama dusun Gandekan dan aku adalah Lurah mereka."

   Adiguna segera menjura dan menyatakan hormatnya,

   "Ah tidak tahunya bapak adalah pak Lurah Gandekan. Maaf, maaf, aku berlaku kurang hormat."

   Pak Lurah Gandekan tersenyum ramah,

   "Ha-ha, anak muda. Siapakah aku ini maka harus mendapat perlakuan berbeda? Seorang Lurah bukanlah seorang bangsawan agung yang harus dipuja-puja. Aku hanyalah seorang Lurah yang menjadi bapak seluruh penduduk Gandekan."

   Adiguna merasa kagum sekali. Jarang ada Lurah sesederhana dan sebaik ini. Biasanya Lurah dusun yang ia lihat adalah orang-orang yang ingin berkuasa saja, ingin mempengaruhi seluruh penduduk dan bersikap seolah-olah ia adalah raja kecil di dalam dusunnya. Maka ia merasa amat girang dapat bertemu dengan Pak Lurah Gandekan ini.

   "Pak Lurah, tidak heran apabila rakyatmu bekerja dengan rajin dan dusunmu menjadi makmur, karena dusun Gandekan mempunyai seorang Lurah yang bijaksana seperti bapak!"

   Tiba-tiba Pak Lurah tua ini menghela napas.

   "Tidak semakmur yang kau duga atau yang kuhendaki. Telah beberapa hari ini dusun kami mendapat gangguan luar biasa dari seorang maling. Beberapa orang yang keadaannya lumayan didatangi dan dicuri uangnya oleh maling ini. Kami telah mengerahkan seluruh tenaga peronda dan penjaga, namun sia-sia saja. Maling itu terlampau cerdik bahkan memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Kalau saja meneruskan aksinya di kampung kami, sebentar saja Gandekan akan mengalami penderitaan hebat!"

   Adiguna tertarik sekali hatinya.

   "Bagaimana bapak tahu bahwa maling itu memiliki ilmu kepandaian tinggi?"

   "Pernah ia terkepung oleh barisan peronda yang mengintai dan kemudian ia dikeroyok, akan tetapi, belasan orang peronda dengan mudah dapat dirobohkannya semua!"

   Adiguna terkejut, karena maling yang dapat merobohkan belasan orang peronda bukanlah maling biasa! Kemudian ia minta penjelasan dari Pak Lurah Gandekan yang segera menceritakan bahwa telah beberapa hari ini, tiap malam pasti terjadi pencurian, dan yang dicuri uang dalam jumlah besar dari para penduduk yang agak baik keadaannya. Pencuri itu sama sekali tidak meninggalkan bekas dan ia selalu masuk ke dalam rumah melalui jendela atau pintu yang dibukanya dengan cara luar biasa sekali, bahkan kadang-kadang ia turun dari atap rumah.

   "Pak Lurah, aku telah menerima kebaikan penduduk Gandekan dan sudah seharusnya aku membantu kalian apabila terjadi kesukaran. Apalagi dusun yang mempunyai penduduk sebaik kalian, bahkan seandainya aku tidak diterima dengan baik-baikpun, sudah menjadi kewajibanku untuk menolong. Biarlah malam nanti kucoba untuk menangkap maling sakti itu!"

   Semenjak pertama kali bertemu dengan Adiguna, Pak Lurah Gandekan memang telah dapat menduga bahwa pemuda ini tentu bukanlah seorang pemuda sembarangan, bahkan tadinya a menaruh curiga jangan-jangan pemuda ini adalah maling sakti itu! Kini mendengar janji Adiguna, ia merasa girang sekali.

   "Kau gagah dan baik sekali, nak. Bolehkah aku mengetahui namamu yang mulia?"

   "Aku yang rendah dan bodoh bernama Adiguna dan datang dari dusun Pakem"

   Pak Lurah Gandekan nampak terkejut,

   "Pakem, dusun yang telah mengadakan pemberontakan itu?"

   Adiguna tersenyum.

   "Sudah begitu luaskah menjalarnya berita itu? Benar, pak lurah, memang dusun Pakem yang kau maksudkan itu. Akan tetapi, jangan khawatir, aku bukanlah seorang pemberontak!"

   Demikianlah, malam hari itu Adiguna bermalam di rumah Pak Lurah Gandekan, dan setelah malam tiba, pemuda ini lalu keluar melakukan pengintaian. Sebelum keluar, ia bertanya kepada pak Lurah dimana rumah-rumah yang belum didatangi maling itu dan kiranya didatangi maling, yakni rumah-rumah orang-orang yang keadaannya cukup kaya.

   Ia melakukan pengintaian dan berkeliling sambil mempergunakan ilmu kepandaiannya berjalan cepat hingga tak ada orang yang melihatnya. Kurang lebih jam dua belas tengah malam, tiba-tiba ia melihat bayangan orang yang berlari cepat sekali dibawah sinar bulan purnama. Bayangan ini tidak saja berlari cepat, akan tetapi kedua kakinya tidak mengeluarkan suara, seakan-akan kedua kaki itu tidak menginjak bumi. Adiguna terkejut dan heran, karena dapat menduga bahwa ini tentulah maling yang ternyata benar-benar berkepandaian tinggi. Ia lalu mengeluarkan kepandaiannya dan mengejar tanpa diketahui oleh yang dikejarnya. Benar saja seperti dugaannya, orang yang dikejarnya itu menuju ke sebuah rumah orang kaya di ujung timur dan ketika tiba di dekat rumah itu, ia lalu bersembunyi di balik sebatang pohon dan memandang ke sekelilingnya yang sunyi.

   Adiguna juga bersembunyi dan mengintai dengan pandangan mata tajam. Ia ingin menyaksikan bagaimana cara bekerjanya maling sakti ini. Ia melihat betapa maling itu duduk bersila di bawah pohon dan diam tak bergerak seperti orang ber samadhi, maka tahulah ia bahwa maling sakti itu sedang mengeluarkan aji sirepnya untuk membuat seisi rumah itu tertidur nyenyak. Kemudian, maling itu lalu berdiri dan menghampiri rumah itu dengan perlahan. Ia meraba-raba daun pintu dan ketika mendapat kenyataan bawah daun pintu itu terpalang kokoh kuat, ia lalu menghampiri jendela. Akan tetapi, juga jendela ini tertutup dan terkunci kuat-kuat, karena semenjak di dusun itu terjadi banyak pencurian, setiap orang mengunci pintu dan jendela rumah mereka kuat-kuat.

   Maling itu lalu melangkah mundur, kemudian tiba-tiba ia melompat ke atas atap rumah. Adiguna merasa kagum sekali oleh karena ilmu lompat maling itu cukup hebat. Ia tetap menanti di luar oleh karena hendak menangkap basah pencuri itu. Ia tak usah lama menanti karena agaknya sebentar saja pencuri itu beraksi di dalam rumah. Kini ia keluar melalui pintu samping, setelah membuka palang pintu dari dalam dan dengan enaknya ia keluar seperti keluar dari rumahnya sendiri saja. Di pundaknya terdapat sebuah buntalan kain yang besar dan berat, dipegang dengan tangan kiri. Ketika melihat wajah pencuri itu di bawah sinar bulan, Adiguna makin heran, karena pencuri itu adalah seorang yang masih muda dan tampan. Ia segera melompat ke depan pencuri itu sambil membentak,

   "Maling sakti, menyerahlah untuk menebus dosamu terhadap penduduk Gandekan!"

   Maling itu terkejut karena melihat betapa pemuda yang datang ini memiliki kepandaian melompat demikian hebatnya. Tanpa banyak cakap lagi ia lalu maju menyerang dengan tangan kanannya. Pukulan ini hebat dan mendatangkan angin karena kerasnya. Adiguna menangkis untuk mencoba tenaga itu dan tangkisan ini membuat maling itu terhuyung ke samping. Karena tahu bahwa kali ini bukan menghadapi peronda atau penjaga biasa, akan tetapi seorang lawan tangguh, maling itu tidak berani berlaku sembrono.

   Terpaksa ia melepaskan buntalan yang dipegangnya di tangan kirinya agar ia dapat melawan dengan menggunakan kedua tangan. Maka berkelahilah mereka dengan hebat, saling pukul, saling tendang dan mengeluarkan ilmu kepandaian masing-masing. Akan tetapi, ternyata bahwa maling itu tidak cukup sakti untuk menghadapi Adiguna yang tangguh. Setelah berkali-kali pukulannya diterima dengan tenang oleh Adiguna yang seakan-akan tidak merasa sesuatu, maling itu maklum bahwa ia takkan mungkin menang. Tiba-tiba ia berseru keras sekali hingga Adiguna merasa terkejut karena tubuhnya menjadi lemas! Ia maklum bahwa ini tentu semacam aji kesaktian yang luar biasa, maka ia lalu mengerahkan tenaga batinnya untuk melawan seruan ini.

   Ia berhasil menolak pengaruh itu akan tetapi kesempatan ini digunakan oleh maling itu untuk melarikan diri dengan cepat. Adiguna mengejar dan ia sengaja tidak mau menyusul karena ia memang ingin tahu dimana tempat tinggal maling sakti yang muda ini. Ternyata bahwa maling itu lari terus ke timur dan Adiguna juga tetap mengejar. Jarak antara kedua orang yang berlari-lari ini tak pernah berubah. Maling itu beberapa kali berpaling dan mengeluh dengan gugup ketika melihat bahwa pemuda yang sakti itu masih saja mengejarnya! Mereka telah berkejar-kejaran jauh sekali dan setelah tiba di dalam sebuah dusun kecil dan miskin, maling itu lalu masuk ke dalam sebuah pondok bobrok yang terbuka pintunya. Adiguna mengetuk pintu pondok itu dan seorang petani yang berpakaian penuh tambal-tambalan membuka pintu.

   "Maaf, pak. Baru saja ada seorang pemuda masuk di dalam pondokmu. Aku mengejar dia dan suruhlah dia keluar."

   "Kau siapa dan mengapa malam-malam menggangguku? Di rumahku tidak ada siapa-siapa dan juga tidak ada orang yang masuk kesini!"

   "Jangan begitu, pak. Aku mengejar seorang maling dan kulihat jelas bahwa ia masuk ke dalam pondok ini. Apakah dia itu anakmu?"

   "Tidak, tidak ada siapa-siapa disini!"

   Kata orang tua itu sambil bergerak hendak menutupkan daun pintu.

   Akan tetapi, tiba-tiba Adiguna terkejut sekali. Ia mengenal sinar mata ini!

   "Kaulah orangnya!"

   Katanya sambil cepat mengulurkan tangan hendak menangkap. Akan tetapi maling sakti yang dengan cepat telah dapat menyamar sebagai seorang kakek itu lalu mengelak dan melompat lagi sambil mendengarkan suara ketawa! Adiguna menjadi gemas dan cepat mengejar lagi. Akan tetapi, oleh karena kini mereka berkejaran di dalam sebuah kampung, agak sukar juga bagi Adiguna untuk menangkap maling itu yang berlari-lari memutari rumah-rumah. Adiguna lalu mendapat akal. Ia melompat dan memanjat pohon cemara yang tinggi dan duduk di atas puncak pohon itu sambil memandang tajam. Benar saja, dari tempat tinggi ini ia dapat melihat segala gerak-gerik maling itu.

   Ketika maling itu tidak melihat pengejarnya lagi, ia lalu mengetuk pintu sebuah rumah dan keluarlah beberapa orang dari rumah itu. Cepat sekali maling itu masuk ke dalam rumah dan pintu ditutup lagi. Adiguna tersenyum puas. Ia telah tahu kediaman tempat tinggal maling sakti yang cerdik itu. Ia merasa kurang baik kalau malam-malam bergerak dan menangkap maling, karena takut kalau-kalau mengganggu penduduk kampung itu, maka ia lalu menanti sampai malam berganti pagi. Setelah rumah-rumah di kampung itu semua pintunya telah terbuka, Adiguna dengan tindakan tenang menuju ke rumah itu. Ia melihat seorang laki-laki setengah tua sedang menggiring kerbaunya keluar dari kandang dan agaknya orang itu hendak bekerja di sawah, karena iapun telah mengeluarkan bajaknya. Melihat kedatangan Adiguna, orang itu lalu bertanya,

   "Saudara hendak mencari siapa?"

   Adiguna tersenyum dan merasa geli hatinya. Ternyata bahwa orang ini sudah mengetahui maksudnya, karena pertanyaan hendak mencari siapa ini juga sudah cukup membongkar keadaan hatinya! Maka langsung pula ia menjawab,

   "Aku hendak mencari maling sakti yang mengganggu dusun Gandekan!"

   Orang itu nampak marah.

   "Apa katamu? Jangan engkau main-main, kawan. Mengapa engkau mencari maling di rumahku? Apakah engkau mau berkata bahwa aku adalah seorang maling?"

   Ia melepaskan tali kerbau yang tadi dipegangnya dan menghampiri Adiguna. Tubuhnya yang besar dan kuat itu menegang, siap untuk berkelahi!

   "Tenang, sahabat!"

   Kata Adiguna.

   "Bukan engkau pencuri yang kumaksudkan itu, akan tetapi ia bersembunyi di dalam rumahmu. Suruhlah dia keluar dan menyerah kepadaku!"

   "Bangsat! Jangan engkau menghina orang! Aku hanya hidup dengan seorang Ayah yang telah tua, seorang isteri dan dua orang anak, serta seorang adik perempuan. Tidak ada maling disini!"

   "Maaf, saudara yang berangasan! Bolehkah kiranya aku menemui keluargamu itu untuk membuktikan sendiri bahwa benar-benar di rumahmu tidak ada maling?"

   "Kurang ajar! Engkau tidak percaya omonganku?"

   Pada saat itu, dari dalam rumah keluar dua orang anak laki-laki kecil dan petani itu segera berkata kepada anak-anaknya,

   "Suruh kakekmu dan Ibumu keluar!"

   Kedua orang anak itu lalu berlari masuk dan tak lama lagi dari pintu itu keluarlah seorang kakek-kakek dan seorang wanita, Ibu kedua orang anak kecil tadi.

   "Nah, inilah Ayahku dan ini isteriku. Apakah mereka ini patut menjadi maling?"

   Adiguna tersenyum tenang.

   "Masih ada adik perempuanmu, kawan, dan ia belum keluar."

   "Keparat kurang ajar! Jadi engkau masih tidak percaya? Hai, Untari"! Keluarlah engkau sebentar!"

   Adiguna memandang tajam ke arah pintu dan ketika gadis yang bernama Untari itu keluar, terkejutlah dia. Memang tak dapat disangkal lagi bahwa gadis ini lemah lembut dan manis sekali wajahnya, akan tetapi mata itu!! Mata itu tiada bedanya dengan mata maling sakti yang telah bertempur dengannya malam tadi, dan sama pula dengan mata petani tua penyamaran maling sakti! Inikah maling sakti yang dikejar-kejarnya malam tadi? Ah, tidak mungkin! Akan tetapi mata itu! Ia tidak bisa salah lagi, pasti inilah malingnya!

   "Ada apakah kang?"

   Tanya gadis itu dengan suaranya yang halus dan merdu.

   "Pemuda kurang ajar ini hendak melatihmu!"

   Gadis itu mengerling ke arah Adiguna dan merahlah wajahnya.

   "Siapakah dia? Aku tidak mengenalnya,"

   Katanya.

   "Maaf "

   Maling itu"

   Eh"

   Aku"

   Aku yakin bahwa maling sakti yang kukejar malam tadi masuk ke rumah ini dan"

   Dan"

   Maling itu"

   Matanya sama benar dengan matamu, nona!"

   Kata Adiguna dengan gagap.

   "Memang pemuda kurang ajar!"

   Kata petani itu sambil mengepal tinju. Sementara itu, peristiwa ini menarik perhatian semua orang dusun yang segera menghampiri dan mengelilingi mereka. Sikap mereka ini rata-rata memperlihatkan kemarahan kepada Adiguna hingga pemuda ini merasa serba salah dan juga heran. Agaknya semua orang dusun ini membela si maling sakti!

   "Di dusun ini memang banyak terdapat orang-orang yang hampir serupa bentuk dan mukanya,"

   Kata gadis itu.

   "Akan tetapi tidak ada mata yang sama sinarnya,"

   Kata Adiguna dengan pandangan mata tajam menatap mata gadis itu. Untari tersenyum dan makin manislah wajahnya yang ayu.

   "Dan sinar mataku bagaimanakah?"

   "Sinar matamu sama benar dengan sinar mata maling sakti tadi, sama bening, sama tajam dan bentuknya sama... indah."

   Kembali memerah wajah gadis itu, sedangkan kakaknya lalu melangkah maju dan mengamang-amangkan tinjunya yang besar.

   "Pemuda kurang ajar! Ayoh, kau lekas pergi dari dusun kami, kalau tidak, kuhancurkan mukamu yang halus itu!"

   "Tidak! Aku baru mau pergi kalau maling sakti ini suka ikut padaku untuk mempertanggungjawabkan dosa-dosanya kepada penduduk Gandekan! Aku merasa pasti bahwa adik perempuanmu inilah malingnya!"

   Sambil berkata demikian, untuk mencoba, Adiguna lalu mengulurkan tangan dan mempergunakan tenaganya untuk mencengkeram lengan Untari, akan tetapi, dengan gesit gadis itu dapat mengelak!

   
Rondo Kuning Membalas Dendam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ha, tahulah aku sekarang Untari adikmu inilah malingnya! Maling wanita yang sakti!"

   Akan tetapi, pada saat itu semua orang dusun yang mengurungnya lalu serempak maju mengeroyoknya! Adiguna terkejut dan berteriak,

   "Saudara-saudara, jangan salah faham! Di dalam dusun kalian terdapat seorang maling jahat. Inilah malingnya, gadis ini. Tak salah lagi!"

   "Bangsat kurang ajar!"

   Teriak seorang petani yang berpakaian lapuk.

   "Jeng Untari yang menjadi penolong dan pembela kami kau sebut maling jahat!"

   Sambil berkata demikian ia mengayun aritnya dan menyerang kalang kabut! Diam-diam Adiguna maklum bahwa kiranya Untari adalah seorang maling haguna, yaitu maling yang menjalankan pekerjaan khusus untuk menolong orang-orang yang menderita sengsara karena kemiskinannya. Ia pernah mendengar tentang adanya maling-maling haguna seperti ini dan perbuatan mereka itu betapapun juga telah mendatangkan rasa kagum di dalam hatinya. Akan tetapi belum pernah selama hidupnya ia mendengar tentang adanya seorang maling haguna wanita! Dan wanita itu seorang gadis ayu dan muda seperti Untari lagi!

   "Tahan dulu!"

   Teriaknya dengan keras hingga para pengeroyoknya menahan senjata masing-masing karena tertarik oleh suaranya yang berpengaruh dan nyaring.

   "Aku bukanlah seorang peronda atau penjaga dusun Gandekan, dan aku hanyalah seorang perantau yang tidak rela melihat dusun Gandekan diganggu maling! Tak kusangka bahwa maling itu bukan maling biasa. Apakah benar dugaanku bahwa Nona Untari ini seorang maling haguna yang membagikan hasil curiannya kepada rakyat miskin? Kalau memang demikian halnya, aku Adiguna tak akan mau ikut campur!"

   Kini Untari yang melompat maju dan menghadapi Adiguna tanpa gentar sedikitpun, hingga pemuda ini mengenal lagi pencuri aneh yang bertempur dengan dia malam tadi.

   "Benar, aku adalah Untari, maling haguna! Tak perlu aku bersembunyi lagi dan berlaku pengecut menyembunyikan perbuatanku! Kau ingin menangkapku? Boleh, engkau coba saja! Sebelum Untari menggeletak dengan nyawa putus, jangan harap engkau akan dapat menawan aku"

   Gagah benar sikap gadis ini hingga Adiguna memandang kagum.

   "Jangan bersikap galak, sahabat,"

   Kata Adiguna sambil tersenyum.

   "Aku mengejar-ngejarmu karena tidak tahu bahwa engkau adalah seorang maling haguna yang budiman, dan karena aku telah berjanji kepada Pak Lurah Gandekan untuk menangkap pencuri yang mengganggu dusunnya. Sekarang karena ternyata bahwa engkau bukanlah maling jahat biasa, maka akupun tidak mau ambil perduli lagi. Hanya saja, karena kulihat bahwa penduduk Gandekan adalah orang-orang yang baik hati dan lurahnya pun seorang bijaksana, kuharap engkau suka memandang mukaku dan jangan melakukan pencurian disana lagi! Kau pilih orang-orang kaya yang jahat dan kikir di dusun atau kota lain. Aku berjanji tak akan menghalangi pekerjaanmu yang istimewa itu!"

   Untari memandang wajah Adiguna dan nyata bahwa gadis ini tertarik dan kagum. Memang malam tadipun ia telah selalu memikirkan diri pemuda yang sakti dan yang telah mengalahkannya itu.

   "Kau adalah seorang gagah yang jujur, dan nasihatmu itu patut diturut. Akupun tahu bahwa pak Lurah Gandekan adalah seorang bijaksana, maka akupun tak pernah melukai para peronda yang menjaga di dusun Gandekan. Aku hanya mengambil sedikit saja uang orang-orang kaya disana untuk dibagikan kepada para petani miskin disekitar dusun itu pula. Akan tetapi, karena kini telah engkau minta, biarlah aku tidak akan mengganggu Gandekan lagi."

   (Lanjut ke Jilid 05)

   Rondo Kuning Membalas Dendam (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 05

   Untari dan kawan-kawannya hendak mencegah pemuda itu pergi, akan tetapi Adiguna telah mempergunakan kesaktiannya, dan sekali saja berkelebat, tubuhnya telah lenyap dari kepungan mereka. Untari menghela napas berkenalan dengan pemuda gagah itu. Adiguna lalu menuju ke Gandekan dan kembali ke rumah Pak Lurah. Ia tidak membongkar rahasia Untari, hanya menceritakan bahwa ia dapat membengkuk maling itu dan telah membuatnya bertobat.

   "Aku yang menanggung bahwa dusunmu takkan mendapat gangguannya lagi, Pak Lurah. Akan tetapi satu saja pesanku, hendaknya Pak Lurah sudi memperhatikan keadaan rakyat tani yang miskin disekitar dusunmu ini dan kau selidiki baik-baik siapa yang patut mendapat pertolongan dan bantuan agar tidak Timbul hal-hal yang tidak diinginkan."

   Setelah meninggalkan pesanan ini, Adiguna lalu melanjutkan perjalanannya berkelana brata, yaitu merantau sambil menyebar perbuatan-perbuatan yang bersifat menolong sesama manusia yang menderita sengsara dan membutuhkan pertolongan. Karena ini, namanya sebentar saja menjadi terkenal sebagai seorang pendekar Budiman di dusun-dusun yang pernah dijelajahinya dan pengalamannyapun bertambah banyak.

   Setelah beberapa bulan lamanya hidup terasing seorang diri di dalam hutan-hutan di kaki Gunung Lawu, keadaan Riyatman menjadi seperti seorang liar. Pakaiannya telah hancur dan kini ia hanya mengenakan cawat yang dibuatnya dari kulit harimau yang dibunuhnya. Rambutnya panjang dan mukanya penuh kumis dan jenggot. Akan tetapi, tubuhnya makin tegap mukanya makin gagah. Ia hidup menyendiri, memburu binatang buas dengan tombak dan anak panah yang dibuatnya sendiri. Cita-citanya untuk membalas dendam masih saja menyala di dalam hati, sungguhpun ia tidak melihat adanya kesempatan untuk melakukan hal ini.

   Ia tidak berdiam di tempat tertentu, melainkan mengembara dan berpinda-pindah dari satu ke lain hutan. Telah seringkali ia bertemu binatang buas dan menghadapi bahaya maut, akan tetapi berkat ketangkasan dan kegagahannya, ia berhasil menyelamatkan diri dan semenjak berbulan-bulan itu, hanya beberapa luka kecil tak berarti saja bekas terkaman binatang buas yang pernah dideritanya. Tubuhnya yang kuat dan darahnya yang sehat menolak setiap penyakit yang mencoba menghampirinya. Pada suatu pagi, seperti biasa ia pergi memburu binatang hutan. Telah beberapa hari lamanya ia mengintai seekor rusa muda dan mengejar-ngejarnya, karena telah lama sekali ia ingin makan daging rusa muda. Akan tetapi, binatang itu terlampau liar dan gesit hingga usahanya untuk menangkapnya selalu gagal.

   Akhirnya ia dapat mengetahui jalan mana yang biasa dilalui rusa ini untuk mencari air minum, maka kini ia mengintai di dalam alang-alang, siap dengan busur dan anak panahnya. Ketika saat yang dinanti-nantinya tiba dan rusa itu mendatang dari jauh, dengan hati berdebar girang Riyatman menarik busurnya. Anak panah terlepas cepat dan karena rusa itu gerakannya gesit sekali, sasaran tidak mengenai tepat dan anak panah tidak menancap di dada yang diarah Riyatman, akan tetapi menancap perut. Binatang itu memekik keras dan melompat tinggi laru berlari. Riyatman berseru girang dan mengejar, akan tetapi saat itu, seekor bayangan loreng-loreng menerkam dan menubruk rusa itu! Ternyata seekor harimau telah keluar dari tempat persembunyiannya dan sebagaimana Riyatman, dia juga menanti kedatangan rusa itu yang biasanya terlalu cepat baginya itu.

   Kini rusa itu telah terluka dan larinya tidak cepat lagi, maka harimau itu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan menerkam! Riyatman terkejut dan marah sekali, ia melemparkan busur dan anak panahnya, lalu dengan tombak di tangan ia menyerang harimau itu! Sementara itu, rusa yang muda itu telah kena diterkam dan kini rebah tak berdaya dengan leher terkoyak. Petarugan sengit antara harimau dan Riyatman terjadi. Harimau itu besar sekali dan bertubuh kuat hingga ketika ujung tombak Riyatman meluncur kea rah dadahnya, tombak itu dapat diterkam dan ditangkis dengan kaki depan dan harimau itu sambil mengaum keras lalu maju menubruk. Akan tetapi Riyatman dapat mengelak dan bersiap menghadapi rajah hutan itu. Tiap kali harimau menerkam, Riyatman melompat kesamping sambil memukul dengan tombaknya.

   Sebuah tusukannya telah berhasil melukai punggung harimau hingga binatang yang kelaparan itu menjadi makin buas dan mengamuk makin hebat, akan tetapi dengan gagah dan tangkas Riyatman membela diri cukup baik. Ia merasa yakin bahwa kalau ia berlaku tenang, akhirnya ia tentu akan berhasil menundukkan binatang buas ini dan telah terbayang pada matanya betapa ia akan menikmati daging binatang buas ini serta mengulitinya dan kulit itu akan menjadi sebuah celana pendek yang indah. Pada saat itu, sang harimau yang telah mulai lelah, melakukan serangan nekat. Ia tidak menubruk dari atas lagi, akan tetapi langsung menubruk maju dengan kedua kaki depan terpentang lebar ke kanan kiri untuk menjaga lawannya mengelak ke samping, sedangkan mulutnya terbuka lebar memperlihatkan giginya yag tajam bagaikan ujung pisau-pisau belati.

   Pada saat Riyatman hendak mengerjakan tombaknya, tiba-tiba dari arah kiri menyambar dua batang anak panah yang tepat menancap di lambung dada binatang itu hingga sang harimau memekik ngeri dan terlempar. Ia berdiri lagi, akan tetapi tombak Riyatman menembusi kulitnya yang tebal dan langsung menusuk jantungnya hingga binatang itu rebah berkelojotan dan mati tak lama kemudian. Riyatman merasa jengkel dan penasaran sekali. Siapakah yang telah berlaku lancing dan merusak "Bahan Celananya"

   Dengan dua tusukan anak panah? Ia berpaling dengan mata marah, akan tetapi matanya memandang terbelalak heran ketika ia melihat seorang gadis bertindak mendatangi dengan gagahnya! Gadis itu memegang sebuah busur kecil di tangan kiri, dan di pingganya terselip sebilah pisau belati yang panjang. Rambut hitam panjang dikucir dan kini membelit lehernya.

   Pakaiannya serba ringkas dan singsat. Kutang berwarna hijau muda mengikat dadanya dengan kencang, kainnya yang panjang itu dilibatkan ke pinggang. Gelang terbuat dari akar yang kecil bagaikan dua ekor ular kecil melilit di pergelangan lengannya. Sikapnya sungguh gagah perkasa, mengingatkan Riyatman kepada Srikandi, pendekar wanita dalam cerita perwayangan sebagai tokoh wanita yang terkenal gagah perkasa! Riyatman sama sekali tak dapat menduga bahwa gadis gagah ini bukan lain ialah Bandini, anak bungsu Rondo Kuning, gadis sekampungnya yang dulu pernah dikenalnya. Mana dapat ia mengenal Bandini yang sudah amat berubah itu. Dulu Bandini hanya seorang gadis cilik yang kenes dan nakal. Akan tetapi gadis yang berdiri di depannya dengan tangan kiri memegang busur dan tangan kanan bertolak pinggang ini telah merupakan seorang gadis dewasa yang cantik manis dan gagah.

   Sebaliknya, Bandini juga tidak dapat mengenal wajah Riyatman yang peram kumis dan yang hanya berpakaian cawat kulit macan tutul hingga lebih pantas menjadi orang hutan yang liar itu. Riyatman memang orang beradat keras dan biarpun ternyata olehnya bahwa yang berlancang tangan melepas batang anak panah tadi adalah seorang gadis jelita, namun amarahnya belum lenyap. Dengan cemberut ia menatap wajah gadis itu. Sementara itu, Bandini yang tadinya mengira akan disambut oleh pemuda liar ini dengan ucapan terima Kasih dan pandangan mata kagum ketika kini melihat bahwa pemuda itu memandangnya dengan marah dan mulut cemberut, iapun menjadi penasaran sekali dan balas memandang dengan marah dan mulut cemberut pula.

   "Siapakah engkau ini yang begitu lancang berani merusak kulit buruanku? Siapa engkau yang mengandalkan sendikit kepandaian memanah untuk menyombongkan diri?"

   Bukan main marahnya Bandini mendengar caci maki ini. Alis matanya yang berbentuk indah dan hitam sekali itu seakan-akan berdiri dan sepasang matanya memancarkan cahaya panas.

   "Orang hutan kurang ajar!"

   Teriaknya sambil menunding dengan telunjuknya.

   "Engkau ini orang hutan liar sungguh tak tahu diri. Kalau aku tidak segera datang dan membunuh harimau itu dengan anak panahku tentu sekarang engkau telah menjadi lumat dimakan macan!"

   "Siapa menyuruh kau melepaskan anak panah? Apakah kau tadi mendengar aku berteriak minta tolong? Mengapa kau selancang ini dan menjual kepandaian di hadapanku? Kau kira aku kagum melihat permainan kanak-kanak ini?"

   Bandini menjadi gemas sekali. Dibanting-bantingnya kakinya dan memaki kalang kabut,

   "Orang hutan! Monyet, kera, kunyuk. Seorang binatangpun takkan bersikap serendah sikapmu menghadapi seorang wanita!"

   "Seorang wanita? Hm, hm, engkau yang lancang ini tak pantas disebut wanita. Agaknya engkau seorang wadat wandu, seorang bandi!"

   Jawab Riyatman yang menjadi marah jua ketika ia dimaki munyuk monyet. Hampir Bandini menangis karena sebutan ini.

   "Bangsat kurang ajar! Aku baru saja menolong jiwamu dari ancaman harimau dan sekarang engkau memaki-maki aku? Bagus! Engkau memang patut dibikin mampus!"

   Gambar 0501

   "Siapa sudi dan butuh akan pertolonganmu?"

   Jawab Riyatman dengan marah pula. Bandini lalu meletakkan busurnya ke atas tanah dan melompat maju sambil mengirim pukulan tangannya kearah dada Riyatman.

   Pemuda ini melihat gerakan pukulan Bandini dan merasa betapa pukulan ini berbahaya datangnya, tidak berani memandang rendah dan segera menangkis. Keduanya lalu berkelahi ramai sekali. Ternyata Bandini telah mempelajari ilmu berkelahi yang hebat juga karena gerakan tubuhnya cepat dan gesit, sebentar menyerang dari kiri, sebentar dari kanan, setiap pukulannya diarahkan ke tempat berbahaya. Riyatman tidak mau mengalah dan juga menangkis sambil membalas dengan serangan-serangannya, akan tetapi ia pantang menyerang dada lawannya dan hanya menujukan pukulan-pukulannya kearah leher dan kepala saja! Biarpun menjadi murid seorang sakti dan berilmu tinggi seperti Eyang Sidik, akan tetapi oleh karena baru beberapa bulan Bandini mempelajari ilmu kepandaian,

   Sedangkan lawannyapun bukan seorang pemuda biasa, maka lambat laun Bandini terdesak oleh serangan-serangan Riyatman. Sebetulnya kalau ia mau berlaku kejam tentu akan dapat merobohkan Bandini dengan pukulan keras, akan tetapi entah mengapa, tiba-tiba hati pemuda ini merasa tidak tega maka ia hanya berusaha untuk menangkap gadis ini atau menyerampang kakinya agar terjatuh. Asal saja ia dapat membikin gadis itu terjungkal dan jatuh mencium rumput, ia akan merasa puas! Sibuk juga Bandini ketika Riyatman berusaha sekuatnya untuk merobohkannya, maka akhirnya dengan gemas ia lalu mencabut pisau belatinya yang tajam mengkilat! Riyatman tertawa mengejek melihat Bandini mencabut belati. Ia berdiri bertolak pinggang sambil tertawa geli.

   "Engkau mencabut senjata tajam? Bagus, bagus!"

   Katanya mengejek.

   "Keparat! Lekas cabutlah kerismu jika engkau memang jantan! Jangan engkau mengejek orang yang bersenjata karena engkau sendiri juga membawa keris. Cabutlah dan biar kita bertempur mati-matian untuk menentukan siapa yang lebih gagah!"

   Riyatman mencabut keris yang terselip pada pinggangnya akan tetapi ia tidak hendak menggunakan senjata itu untuk berkelahi.

   "Lihat!"

   Katanya.

   "untuk menghadapi kau saja aku tak perlu mempergunakan senjata tajam!"

   Sambil berkata demikian, Riyatman melempar kerisnya kearah sebatang pohon jati yang terpisah kurang lebih tiga tombak dari tempatnya. Kerisnya meluncur bagaikan anak panah dan menancap sampai di gagangnya pada batang pohon itu. Ternyata bahwa timpukannya jitu sekali. Melihat betapa pemuda itu memamerkan kepandaiannya menimpuk dengan keris, Bandini tertawa menghina.

   "Apa anehnya kepandaian seperti itu? Kau kira aku tak bisa?"

   Sambil berkata demikian, gadis yang berhati keras dan berwatak tidak mau kalah ini lalu mengayun tangannya yang memegang pisau belati. Pisau itu tidak meluncur seperti anak panah, akan tetapi meluncur berputaran seperti kitiran angin dan akhirnya ketika tiba di batang pohon, pisau itu menancap sampai di gagangnya pada batang, tepat di atas keris Riyatman.

   "Bandi sombong!"

   Teriak Riyatman.

   "Apa kau kira kau sudah terlalu pandai dan gagah? Apakah anehnya kau melepas anak panah tadi? Lihatlah ini!"

   Ia lalu mengambil busur dan anak panahnya yang tadi dilempar ke tanah. Sekali pasang ia menaruh tiga batang anak panah pada busurnya dan ketika tali gendewanya menjepret, tiga anak panah itu meluncur keras dan menancap ke batang pohon yang tadi juga.

   "Kunyuk monyet! Kepandaianmu itu hanyalah permainan kanak-kanak!"

   Bandini memaki dan gadis inipun meniru perbuatan pemuda itu dengan sama baiknya. Sambil memaki-maki keduanya lalu memperlihatkan kepandaian memanah. Bandini menaruh seluruh anak panahnya yang berjumlah dua puluh batang lebih itu diatas gendewanya dan dengan cepat sekali anak panahnya sebatang demi sebatang meluncur cepat dan kesemua anak panah itu tepat menancap di batang pohon yang telah penuh dengan anak panah itu. Riyatman juga tidak mau kalah dan meniru perbuatan ini. Pada saat kedua orang ini sedang saling maki dan saling memamerkan kepandaian, tiba-tiba terdengar seruan orang mencela,

   "Kalian berdua ini apakah sudah menjadi gila? Memaki-maki dan menyerang pohon jati. Lihatlah batang pohon itu sampai penuh tertancap senjata. Apakah salahnya pohon itu, maka kalian siksa dia sampai begitu macam?"

   Ternyata ketika Riyatman menengok, yang berbicara ini adalah seorang dara muda yang berkulit kuning dan berwajah ayu sekali,

   Gerak-geriknya lemah lembut dan suaranya merdu dan halus. Dengan mata terbelalak heran ia mengenal gadis ini sebagai Sariwati, puteri kedua Rondo Kuning. Sariwati melangkah perlahan menghampiri batang pohon yang penuh dengan anak panah itu. Gadis ini menggunakan telapak tangannya menepuk batang pohon itu tiga kali perlahan-lahan, dan aneh! Semua anak panah, termasuk pisau belati dan keris yang menancap di batang pohon itu berloncatan keluar dan jatuh di atas tanah di bawah pohon merupakan tumpukan malang melintang. Riyatman hampir tak dapat mempercayai mata sendiri. Benarkah gadis itu Sariwati yang lemah lembut? Akan tetapi, bagaimana gadis itu dapat memiliki aji kesaktian yang menakjubkan? Sariwati lalu menghampiri mereka dan kepada Riyatman ia berkata sambil tersenyum,

   "Riyatman, bagaimana engkau sampai menjadi begini?"

   "Sariwati! Benar-benar engkaukah ini? Tidak sedang mimpikah aku?"

   Sariwati tersenyum geli.

   "Siapa yang bermimpi? Karena kekerasan hatimulah yang membuat engkau seakan-akan buta dan tidak mengenal bahwa gadis ini adalah adikku Bandini!"

   "Bandini? Jadi engkau Bandini anak perempuan yang"

   Nakal dan kewat dahulu itu?"

   Katanya kepada Bandini sambil memandang dengan heran.

   "Siapa pula bisa menyangka bahwa engkau yang seperti orang hutan ini adalah Riyatman, anak muda yang bisanya Cuma mengadu ayam dan main judi itu!"

   Jawab Bandini dengan masih marah.

   "Bandini, mengapa engkau marah-marah dan saling maki dengan Riyatman? Seharusnya pertemuan dengan kawan sekampung menggembirakan, tidak disambut dengan makian dan perang tanding mati-matian! Kalian ini benar-benar orang liar!"

   "Habis, siapa yang tidak gemas? Aku dimakinya banci!"

   Sariwati memandang kepada adiknya dan menahan geli hatinya.

   "Dan aku dimakinya munyuk monyet!"

   Kembali Sariwati menahan kegelian hatinya. Kedua anak muda ini benar-benar berwatak sama. Sama keras dan sama kasar, dan diam-diam Sariwati membandingkan keadaan Riyatman dengan Adiguna, pemuda kekasihnya yang sopan dan santun dan halus tutur sapanya itu. Mereka lalu duduk di bawah pohon yang dijadikan korban kemarahan kedua orang muda tadi dan saling menuturkan pengalaman masing-masing. Dengan muka geram dan suara menyatakan kemarahan hatinya, Riyatman menutup penuturannya dengan ucapan,

   "Aku telah bersumpah bahwa pada suatu saat aku tentu aku membunuh mampus si jahanam keparat Galiga Jaya yang telah menumpas kampung kita itu!"

   Melihat sikap pemuda ini, Bandini yang telah melupakan kemarahannya tadi lalu berkata,

   "Bagus, Riyatman! Dalam hal ini, jangan engkau takut karena akupun masih mempunyai perhitungan dengan keparat laknat si Galiga Jaya itu!"

   Sariwati memandang kedua orang itu dengan senyum tenang.

   "Memang kita harus membalas dendam, akan tetapi kita tidak boleh bertindak dengan semboro, karena betapapun juga, Galijaya adalah seorang Penewu yang bekerja untuk Gusti Sultan di Mataram. Terutama sekali kita harus mendapat perkenan dan nasihat Eyang Panembahan."

   Riyatman memandang heran.

   "Siapakah Eyang Panembahan yang engkau sebutkan itu?"

   "Beliau adalah guruku, dan guru Mbak Wati!"

   Kata Bandini dengan bangga.

   "Eyang Bagawan Sidik Paningal adalah seorang sakti mandraguna dan mulia."

   Riyatman merasa tertarik sekali dan menyatakan keinginannya hendak menghadap pertapa suci itu. Terutama sekali ketika ia mendengar bahwa pertapa itu adalah guru Adiguna, ia makin tertarik. Dengan wataknya yang jujur, Riyatman menceritakan kepada dua orang gadis itu tentang pertemuannya dan pertempurannya dengan Adiguna. Tanpa malu-malu diakuinya tentang kesalahannya dan kesesatannya bahwa ia dan kawan-kawan tak berdaya menghadapi Adiguna. Diam-diam Sariwati merasa girang dan bangga sekali di dalam hatinya, akan tetapi tentu saja wataknya yang halus melarang ia memperlihatkan kebanggaan ini. Akan tetapi, Bandini yang nakal berkata kepada Riyatman,

   "Baiknya kau tidak mengganggu atau melukai Kang Mas Adiguna, kalau kau lakukan itu, tentu sekarang Mbak Wati takkan menerimamu dengan manis budi. Mungkin kau akan dibunuhnya!"

   Riyatman terkejut dan memandang Sariwati, akan tetapi gadis ayu kuning ini hanya mengerling tajam kepada adiknya dengan mulut cemberut. Riyatman terbawa sinis dan berkata,

   "Aha, syukurlah kalau begitu. Dia memang seorang pemuda gemblengan yang patut sekali menjadi calon anumu!"

   "Eh-eh, bicara kok tidak keruan!"

   Sela Bandini.

   "Calon anu bagaimana? Apakah maksudmu dengan anu itu?"

   Sariwati makin merah mukanya dan dengan gemas berkata,

   "Sudahlah, Bandini! Kalau kau tidak mau diam, akan kutampar mulutmu!"

   Bandini membelalakan matanya yang bagus itu seakan-akan terkejut. Ia tahu bahwa kakaknya ini selamanya takkan pernah melakukan ancamannya, akan tetapi ia berpura-pura ketakutan dan berkata,

   "Ya ampun, Mbak Wati. Kalau kau menampar mulutku, apa akan jadinya dengan mulutku yang malang ini? Betapapun gagahnya seorang, tak mungkin ia dapat menahan tamparanmu yang sakti, apa lagi mulutku yang lancang ini. Ampunkanlah, Mbak Wati!"

   Sariwati hanya tersenyum saja dan tidak mau melayani adiknya yang nakal dan suka menggoda orang itu. Kedua orang gadis itu lalu kembali ke tempat pertapaan Panembahan Sidik Paningal, diikuti oleh Riyatman dan disepanjang jalan mereka tiada hentinya bercakap-cakap, terutama Bandini yang telah lenyap sama sekali rasa bencinya kepada Riyatman dan kini menjadi kawan baik. Panembahan Sidik Paningal menerima Riyatman dengan sabar dan mendengarkan cerita pemuda itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika Sariwati dan Bandini minta perkenan darinya untuk membantu Riyatman dalam usaha membalas dendam kepada Galiga Jaya, pertapa itu menghela napas, dan berkata perlahan,

   "Memang segala hal telah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa, manusia hanya wajib menjalani saja. Bukan kehendak kita hingga hari ini kalian berdua bertemu dengan Riyatman. Aku tidak mencela kalian bertiga yang mempunyai maksud membalas dendam atas kekejaman Penewu Galiga Jaya, dan akupun tidak berhak melarang. Akan tetapi pesanku, hendaknya kalian bertiga berlaku waspada dan hati-hati, jangan selalu menurutkan nafsu hati. Terutama kau Sariwati, oleh karena setidaknya kulihat bahwa kaulah yang wajib memimpin adikmu dan juga Riyatman ini, karena keduanya berwatak keras dan berdarah panas. Kaulah yang seakan-akan memegang kemudinya dan kedua orang muda ini hanya mendayung saja. Riyatman dan Bandini, dalam segala hal kalian berdua harus tunduk kepada bimbingan Sariwati, karena kalau tidak mungkin kalian akan tersesat ke jalan keliru, menurutkan nafsu hatimu dan mengandalkan kepandaian yang tidak seberapa. Apakah arti kepandaian seseorang apabila ia ditunggangi oleh nafsu angkara murka? Lebih baik tiada kepandaian sama sekali akan tetapi waspada dan dapat memilih jalan benar!"

   

Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini