Rondo Kuning Membalas Dendam 6
Rondo Kuning Membalas Dendam Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
Banyak sekali petuah-petuah dan nasihat-nasihat mulia diucapkan oleh sang arif bijaksana ini dalam pesannya kepada ketiga orang muda itu. Dan pada keesok harinya di waktu fajar menyingsing, ketiga anak muda itu lalu turun gunung untuk melakukan tugas mereka, yakni membalas dendam kepada Galiga Jaya.
Penewu Galiga Jaya merasa senang dan lega hatinya. Pemberontakan Riyatman yang ia ketahui ditujukan kepada dirinya itu telah berhasil ditumpas. Walaupun Riyatman dan Adiguna sendiri belum dibinasakan, akan tetapi setelah hampir setahun tak pernah ada kabar cerita tentang kedua orang muda itu, ia merasa girang dan bahkan cerita tentang pemberontakan di Pakem telah mulai dilupakan orang. Oleh karena ia telah kehilangan selirnya yang tercinta, yaitu Rondo Kuning, dan telah gagal untuk mengambil selir anak tirinya sendiri, bahkan Sariwati dan Bandini juga telah dilarikan orang, maka Penewu Galiga Jaya mencari korban-korban baru dan mengambil selir banyak gadis-gadis dusun yang didapatkannya dengan berbagai jalan, yaitu dengan pengaruh uang, pengaruh kedudukan dengan halus maupun dengan kasar.
Pendeknya, biarpun telah mendapat pelajaran hebat yang berupa pemberontakan Pakem sebagai akibat kejahatannya, Penewu ini tidak menjadi kapok, bahkan makin mengganas karena dianggapnya bahwa tidak akan ada orang yang berani menentangnya. Semenjak lenyap dan hancurnya ancaman pemberontak-pemberontak di Pakem itu, keadaan di Waru tenteram daan aman. Berkat kekuasaan dan pengaruh Penewu Galiga Jaya yang besar dan ditakuti orang, tidak ada yang berani mengacau desa Waru yang tiap malam masih diakan penjagaan keras oleh karena betapapun juga, pengalaman-pengalaman yang lalu membuat Galiga Jaya berlaku amat hati-hati menjaga desanya, bahkan rumah Penewu itu kini dijaga keras di sekelilingnya hingga jangankan orang, biarpun seekor kucing tak akan dapat memasuki rumah itu tanpa terlihat oleh barisan penjaga.
Malam Jum"at Kliwon yang gelap gulita,keadaan di desa Waru sunyi senyap, oleh karena seperti biasa pada malam Jum"at Kliwon yang menyeramkan, penduduk jarang yang keluar pintu diwaktu malam, kecuali apabila ada keperluan penting yang memaksa mereka keluar dari rumah. Dari setiap rumah mengebul asap kemenyan hingga di seluruh desa dapat tercium bau yang harum dan sedap akan tetapi menyeramkan itu memenuhi udara. Bagi mereka yang mempunyai tujuan tertentu, malam ini adalah malam istimewa untuk melakukan puja samadhi memohon berkah kepada dewata yang mereka puja agar cita-cita mereka dapat terkabul. Para pemuda dan penjaga keamanan yang biasanya pada lain malam suka berjalan meronda melakukan tugasnya, pada malam itu hanya duduk berkelompok di gardu penjagaan masing-masing, bercakap-cakap sambil merokok menghilangkan kesunyian yang menyeramkan.
Apabila malam itu tidak ada bulan, hanya ribuan bintang yang berkelap-kelip di udara menyinarkan cahaya remang-remang yang menambah seram keadaan. Burung-burung malam yang disebut juga burung setan agaknya amat senang menyambut malam Jum"at Kliwon, terbukti dari suara mereka yang tiada hentinya terdengar dan menambah seram keadaan. Sebetulnya hal ini bukan tidak ada sebabnya, yakni apabila pada malam-malam biasa banyak orang berada di luar rumah sehingga burung-burung itu takut bersuara, adalah pada malam Jum"at Kliwon yang sunyi sepi ini membuat mereka berani keluar dari tempat persembunyian dan memperdengarkan suara mereka yang menakutkan. Rasa takut dan seram memang terbit dari dalam hati dan pikiran sendiri. Apabila orang merasa takut di dalam hatinya, maka segala apa yang tampak pada matanya mendatangkan pemandangan yang menyeramkan.
Pohon-pohon besar nampak sebagai raksasa-raksasa atau iblis-iblis besar bergerak-gerak dengan tangan seribu. Segala apa yang berbunyi menimbulkan pendengaran yang menyeramkan pula. Kalau bunyi jangkerik dan belalang pada malam-malam hari biasanya mendatangkan nyanyian indah dan merdu, pada malam Jum"at itu tiba-tiba saja dalam pendengaran mereka berobah menjadi suara yang menyeramkan, seakan-akan segala iblis dan siluman sama keluar dan menjerit-jerit. Tujuh orang penjaga yang bertugas menjaga pintu gerbang desa Waru di sebelah selatan, sedang berkumpul mengelilingi api unggun yang dibuat oleh mereka di dalam gardu penjagaan. Mereka membakar jagung dan makan jagung bakar yang manis gurih itu, kadang-kadang diseling dengan meneguk air kopi. Mereka makan sambil bercakap-cakap mengusir kesunyian. Malam itu hawanya dingin, juga karena seorang diantara mereka yang bernama Saimin menyatakan bahwa segala macam siluman paling takut kepada api.
"Segala iblis dan siluman takut menghadapi api oleh karena mereka segan melawan kekuasaan Dewi Agni yang menguasai api dan yang sakti sekali. Maka apabila kita menyalakan api, takkan ada setan berani mengganggu,"
Katanya.
"Aah, engkau ini penakut sekali!"
Sela seorang penjaga lain bernama Balelo yang terkenal sombong dan pemberani.
"Bilang saja hendak membuat api untuk mencegah hawa dingin. Segala macam omonganmu tentang siluman dan iblis itu, siapa yang akan percaya?"
Ia meludah ke arah api.
"Kau memang paling sombong dan tidak percaya tentang iblis dan siluman."
Saimin mencelanya sambil menambah kayu kering pada api unggun itu hingga api berkobar makin besar.
"Tunggu saja sampai engkau mengalami hal seperti yang dialami Paryoso, penjaga di gardu utara, tentu engkau akan mati ketakutan."
Biarpun semua penjaga lain merasa tidak enak mendengarkan mereka bercerita tentang segala siluman dan iblis, akan tetapi seperti biasanya, mereka ingin sekali mendengar cerita ini. Mereka menggeser tempat duduk agar lebih mendekati api dan kawan-kawan, lalu mendesak agar Saimin suka menceritakan pengalaman mengerikan yang katanya dialami oleh penjaga Paryoso di gardu utara.
"Begini pengalamannya,"
Saimin mulai berceria sambil mengerling kepada Balelo yang mendengarkan dengan senyum menghina.
"Pada malam Jum"at Kliwon yang lalu, keadaan juga seperti sekarang ini, dingin dan gelap. Paryoso berjaga malam dengan lima orang kawan lain. Karena hawa yang dingin, mereka itu mengantuk dan untuk menahan rasa kantuk mereka menghisap rokok. Akan tetapi akhirnya kelima orang kawan Paryoso itu tertidur mendengkur dan tinggal Paryoso seorang diri yang masih duduk melenggut dan menahan kantuknya dengan menghisap rokok kelobot terus menerus. Tiba-tiba ia mencium harum kembang cempaka. Ia merasa heran oleh karena disitu jauh dari rumah orang dan juga harum bunga itu tercium olehnya dengan tiba-tiba saja. Kemudian ia melihat kawan-kawannya bangun seorang demi seorang dan dari depan mendatangi seorang wanita yang cantik jelita dan harum baunya. Paryoso dan kawan-kawannya lalu menegur dan mengajak wanita itu bersenda-gurau yang dilayani dengan genitnya oleh wanita itu. Ternyata bahwa diantara kawan-kawannya, wanita itu memilih Paryoso dan agaknya mencinta dia karena duduknyapun selalu mendampingi Paryoso. Tentu saja Paryoso merasa gembira sekali dan semalam suntuk ia merasa berbahagia dan bangga. Ketika fajar hendak menyingsing dan terdengar suara ayam berkokok, Paryoso yang tertidur dengan kepala di pangkuan wanita itu, terbangun karena wanita itu bergerak dan berkata bahwa ia hendak pulang. Paryoso membuka matanya dan"
Ia melihat seorang... Bangkai hidup! Wajah wanita itu pucat dan kedua matanya memandang tanpa sinar, mulutnya menyeringai menakutkan dan baunya busuk sekali, bau bangkai! Ketika paryoso tersentak bangun dan melompat keluar dari gardu, lalu berdiri dengan tubuh menggigil memandang mayat hidup itu, mayat itu tertawa terbahak-bahak-bahak dan terdengar amat mengerikan. Paryoso lalu memandang ke arah kelima kawan-kawannya yang tadi ikut bersenda-gurau dengannya, dan alangkah kagetnya ketika melihat bahwa lima orang kawannya itu bukan lain adalah lima tengkorak manusia yang telah kering dan yang kini bangun satu demi satu sambil mengeluarkan suara berkotekan karena tulang-tulang itu beradu! Paryoso jatuh pingsan dan ketika ia siuman kembali, ternyata bahwa ia telah ditolong oleh kelima orang kawannya yang tadinya tertidur dan yang sama sekali tidak tahu-menahu tentang perisitiwa yang dialami oleh Paryoso."
Semua orang mendengarkan cerita ini dengan bulu tengkuk berdiri, akan tetapi Balelo dengan suara mencemooh berkata,
Gambar 0502
"Yang menceritakan hal itu tentu Paryoso sendiri bukan? Ah, bohong belaka semua itu! Dia memang orang pengecut dan penakut, aku tahu sifat-sifatnya. Buktinya, kawan-kawannya yang lima orang tidak tahu dan tidak melihat sesuatu, ia membohong!"
Pada saat itu, terdengar suara yang ketawa dan suara ini terdengar begitu menyeramkan hingga Balelo sendiri yang terkenal berani menjadi pucat, sedangkan orang-orang lain telah menggigil tubuh mereka.
"Nah"
Ce"
Celaka... Tentu iblis yang tertawa"!"
Kata seorang diantara mereka dengan bibir menggigil ketakutan. Enam orang penjaga saling mendekati dan memegang tombak mereka erat-erat. Balelo bangun berdiri dan memegang tombaknya.
"Siapa yang tertawa itu?"
Bentaknya dengan nyaring seakan-akan hendak memamerkan keberaniannya, akan tetapi pada hakekatnya, hatinya terasa kecut sekali dan ia tidak berani maju meninggalkan tempat itu.
"Jangan tinggalkan api""
Kata Saimin yang teringat bahwa segala macam iblis takut kepada api. Tiba-tiba dari gelap muncul sesosok bayanga orang yang mendatangi dengan terbongkok-bongkok dan dengan langkah terseok-seok.
Bayangan itu datang makin dekat dan ketujuh orang penjaga itu melihat seorang wanita, bukan seorang wanita cantik jelita seperti yang dituturkan oleh Saimin tadi, akan tetapi seorang wanita yang kelihatan tua dan rambutnya telah riap-riapan tidak keruan, pakaiannya compang-camping. Ia berjalan terbongkok-bongkok dan dibantu oleh sebatang tongkat berbengkok-bengkok warna hitam. Sepasang mata wanita ini memancarkan cahaya aneh dan ketujuh orang penjaga itu harus mengakui bahwa di waktu mudanya wanita ini tentu cantik sekali, karena bentuk mulutnya dan matanya amat indah. Setelah datang dekat, ketujuh orang penjaga itu merasa seram sekali karena ternyata muka wanita ini jelas sekali menyatakan bahwa ia adalah seorang gila! Wanita gila ini tertawa terkekeh-kekeh dan berkata singkat,
"Kamu orang-orang Galiga Jaya?"
Balelo tidak sudi menjawab pertanyaan orang gila yang kurang ajar ini, akan tetapi Saimin menjawab.
"Ya, kami adalah penjaga-penjaga disini. Kau orang gila lekaslah pergi dari sini dan jangan mengganggu kami!"
Kembali terdengar suara ketawa, seperti suara ketawa yang menyeramkan tadi dan tubuh wanita itu terguncang-guncang dan mukanya berdongak ke atas.
"Hi-hi-hi-hi! Kalian anjing-anjing penjilat! Galiga Jaya harus mampus!"
Marahlan Balelo dan kawan-kawannya. Mereka lalu menggunakan tombak untuk mengusir orang gila ini, akan tetapi tiba-tiba si wanita yang menyeramkan itu mengangkat tongkat hitamnya dan membentak,
"Diam dan jangan bergerak!"
Sungguh luar biasa! Ketujuh orang penjaga itu tiba-tiba berdiri diam tak kuasa bergerak sama sekali! Pikiran mereka masih terang, panca indra mereka masih bekerja seperti biasa, akan tetapi mereka tak mampu bergerak dan berada dalam keadaan pada saat wanita itu membentak mereka. Ada yang berdiri memegang tombak, ada yang baru saja mau bangkit berdiri ada yang masih duduk.
"Ha-ha-ha! Anjing Galiga Jaya, mampuslah kalian!"
Dengan ujung tongkatnya, wanita iblis itu lalu mendorong tubuh seorang penjaga ke dalam api unggun yang masih bernyala-nyala dengan garangnya! Ia membakar hidup-hidup penjaga itu! Penjaga itu tak dapat berteriak, hanya kedua matanya saja berputar-putar karena menderita kesakitan hebat, sedangkan tubuhnya tak dapat bergerak sama sekali dan terpaksa diam saja biarpun api telah membakar kulitnya! Pakaiannya mulai termakan api dan sebentar saja pakaiannya itupun berkobar membakar dirinya. Orang kedua didorong lagi ke dalam api dan wanita itu membakas sambil tertawa haha-hihi dan berkata,
"Bagus... Bagus"
Anjing-anjing Galiga Jaya harus mampus dulu, biar kalian mendahului Galiga Jaya dan menjadi penjaga-penjaganya nanti di neraka. Ha-ha-ha-ha!"
Kemudian ia mendorong lagi orang ketiga, keempat dan seterusnya hingga tubuh-tubuh itu bertumpuk-tumpuk di dalam api unggun! Balelo adalah yang terakhir karena ia berdiri paling jauh dari api unggun.
Ketika tubuh Balelo masuk ke dalam tumpukan tubuh kawan-kawannya, api telah mulai mengecil dan hampir padam! Sambil tertawa terkekeh-kekeh wanita itu lalu meninggalkan tempat itu dan malam menjadi sunyi kembali seperti sediakala, hanya kini lebih menyeramkan. Balelo yang jatuh paling akhir di dalam api yang sudah hampir padam, tertolong jiwanya. Api hanya menjilat kakinya dan tubuhnya lalu terguling dari tumpukan mayat-mayat kawannya jatuh terguling keluar dari unggun api hingga ia selamat. Akan tetapi enam orang penjaga lainnya terbakar hingga mayat mereka menjadi hangus! Pada keesokan harinya, seluruh Waru menjadi gempa dengan adanya peristiwa ini. Apalagi ketika Balelo telah dapat bicara kembali dan menceritakan peristiwa yang mendirikan bulu roma itu, semua orang Waru menjadi ketakutan.
"Iblis mengamuk di Waru!"
Kata mereka dan gegerlah dusun Waru. Galiga Jaya ketika mendengar cerita ini menjadi terkejut sekali. Ia tidak dapat menduga siapa adanya wanita itu, oleh karena menurut cerita Balelo, setan wanita itu sudah tua dan bongkok pula.
Manusia atau setankah dia? Akan tetapi Galiga Jaya lalu mengerahkan seluruh perajurit untuk mencari wanita setan itu. Seluruh desa diperiksa, bahkan para perajurit sampai di luar dusun. Semua tempat diperiksa, gua-gua dimasuki, hutan-hutan digeledah, akan tetapi wanita itu tak dapat ditemukan. Dan pada malam hari berikutnya, kembali tujuh orang penjaga di sebelah utara terdapat mati semua pada keesokan harinya. Kepala mereka pecah seakan-akan terpukul oleh benda keras. Tak seorangpun tahu bahwa iblis wanita itu datang lagi dan menyerang ketujuh orang penjaga itu dengan tongkatnya yang berat dan luar biasa! Kalau ada yang melihat peristiwa itu, tentu mereka akan merasa heran sekali, oleh karena ketika para penjaga hendak melawan, kembali wanita itu membentak dan menyuruh mereka diam jangan bergerak seperti halnya ketujuh orang yang dibakarnya itu.
Dan penjaga-penjaa di gerbang utara ini diam tak bergerak hingga mudah saja bagi wanita itu untuk memukulkan ujung tongkatnya yang hitam berbengkok-bengkok kearah kepada mereka. Sekali pukul saja, remuklah kepala mereka. Peristiwa pada malam kedua ini membuat semua orang Waru makin gempar dan ketakutan! Mulai takut pula hati Galiga Jaya, akan tetapi kembali ia mengerahkan perajurit-perajuritnya untuk mencari iblis wanita itu walaupun tanpa mendapatkan hasil memuaskan. Nama iblis wanita menjadi kembang bibir setiap orang dan apabila malam mulai tiba, tak seorangpun di Waru dapat memejamkan mata. Bahkan mereka yang telah sangat ketakutan berlari mengungsi di rumah tetangga dan rela berjaga sampai pagi di rumah tetangga ini. Dan pada malam ketiga ini terjadi lagi peristiwa mengerikan yang mendatangkan korban lebih banyak lagi!
Galiga Jaya yang merasa penasaran dan marah sekali mengerahkan seluruh tenaga untuk melakukan penjagaan rapat di luar pintu gerbang, akan tetapi iblis wanita itu tetap muncul di pintu gerbang. Puluhan orang penjaga mengeroyoknya, akan tetapi iblis wanita itu mengamuk makin hebat, menggunakan tongkat hitamnya mengamuk dan memukul membabi buta. Akan tetapi, setiap kali pukulannya mengenai tubuh seorang perajurit, sambil memekik ngeri perajurit itu roboh terguling dengan kepala remuk atau dada pecah! Setiap ujung tombak yang berhasil menusuk tubuh iblis wanita itu, hanya merobek pakaian yang sudah compang-camping itu, akan tetapi sama sekali tidak melukai tubuh iblis wanita itu! Akhirnya, semua penjaga melarikan diri, meninggalkan kawan-kawan mereka yang menjadi korban dan yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang!
Peristiwa ini hebat sekali dan lebih menggegerkan daripada peristiwa pemberontakan Pakem dulu, Galiga Jaya lalu mengirim utusan untuk membuat laporan ke Ibukota Mataram, yaitu kota Karta. Utusan ini naik kuda dan membalapkan kudanya membawa laporan yang menggegerkan dusun Waru itu. Sementara itu, Galiga Jaya dengan hati cemas lalu mengerahkan penjagaan yang lebih hebat dan kuat lagi. Dikerahkannya semua pembantu-pembantunya yang mempunyai kepandaian tinggi dan memperlangkapi penjagaannya dengan tambahan perajurit-perajurit bersenjata lengkap. Akan tetapi, pada malam berikutnya, dengan secara aneh sekali, iblis wanita itu tidak muncul di pintu gerbang, bahkan muncul di gedung Penewu Galiga Jaya sendiri!
Ketika itu Galiga Jaya yang merasa tidak enak hati karena terjadinya peristiwa yang aneh dan menyeramkan itu, duduk di ruang depan dengan para pembantu dan penasihatnya, membicarakan iblis wanita yang mengamuk. Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang menyeramkan. Dari dalam gelap muncullah setan wanita itu. Sambil berjalan terbongkok-bongkok dan menyeret tongkatnya, wanita menghampiri tempat mereka duduk berunding, Penewu Galiga Jaya menjadi pucat dan cepat dikeluarkannya keris pusaka dan sabuk lawe merah, dua buah senjatanya yang ampuh dan diandalkan. Semua pembantunya juga mengeluarkan pusaka masing-masing dan seorang diantara mereka berteriak memberi tahu kepada para penjaga di luar gedung! Entah bagaiman cara iblis wanita itu dapat masuk tanpa diketahui para penjaga.
Para penjaga mendengar teriakan ini, lalu berlari-lari memasuki Penewu dengan tombak dan pedang di tangan. Iblis wanita itu sambil tertawa terkekeh-kekeh lalu mengangkat tongkatnya dan sambil berlompatan ia kini menghampiri Galiga Jaya. Beberapa orang perwira pembantu Galiga Jaya maju menyerang dengan keris, akan tetapi sekali saja tongkat itu diputar, beberapa orang perwira roboh. Biarpun mereka tidak tewas karena mereka memiliki kesaktian cukup, akan tetapi pukulan itu membuat mereka merasa pening dan pandangan mata mereka nanar, seakan-akan mabok oleh bau amis yang keluar dari tongkat itu. Iblis wanita itu segera dikeroyok, akan tetapi dia tetap melangkah maju sambil memutar-mutar tongkatnya yang berbahaya, maju terus menuju ke tempat dimana Galiga Jaya berdiri dengan wajah pucat dan kedua senjata di tangan.
Ketika wanita itu telah datang dekat, Galiga Jaya berusaha mengenal wanita itu, akan tetapi oleh karena keadaan tidak begitu terang dan wajah itu tertutup oleh rambut yang riap-riapan, ia tidak dapat mengenal muka itu dan ia harus segera mengadakan perlawan karena agaknya iblis itu memang sengaja hendak menyerangnya. Iblis wanita itu agaknya maklum akan keampuhan senjata ini, karena ia tidak berani menerima sabetan itu, lalu menangkis dengan tongkat hitamnya. Galiga Jaya lalu menusuk dengan keris, akan tetapi sampokan tangan iblis wanita itu membuat kerisnya terpental dan terlepas dari tangannya. Pada saat itu para pengeroyok sudah datang lagi dan mengepung dengan rapat kepada iblis wanita itu. Galiga Jaya dengan pucat melompat mundur dan memungut kerisnya.
Ia merasa heran dan terkejut sekali karena ternyata tangkisan tangan wanita itu mendatangkan hawa dingin yang membuat tubuhnya menggigil. Belum pernah ia bertemu dengan lawan yang memiliki kesaktian menyeramkan ini dan ia mulai menduga bahwa wanita ini tentulah iblis tulen yang sengaja datang mengamuk atau memang disuruh oleh orang-orang yang menjadi musuhnya. Iblis itu mengamuk terus dan kepungan makin tebal oleh karena para perajurit yang menjaga di pintu gerbang dusun, ketika mendengar bahwa iblis wanita itu kini mengamuk di gedung Penewu, segera masuk ke dusun untuk membantu mengeroyok. Akan tetapi, oleh karena yang dikeroyok hanya satu orang lawan, maka sekian banyaknya perajurit itu tidak bisa turun tangan bersama dan hanya kurang lebih sepuluh orang saja yang dapat mengepung dan mengeroyoknya.
Iblis tua itu tetap mengamuk dan korban yang jatuh telah bertumpuk-tumpuk. Darah membanjir di dalam gedung itu. Iblis itu tetap saja mencari dan mengejar-ngejar Galiga Jaya yang terpaksa melawan juga, biarpun hatinya takut sekali. Ia tidak mau dianggap pengecut oleh anak buahnya, maka ia melawan sambil mundur dan mengandalkan bantuan keroyokan anak buahnya. Pertempuran berlangsung terus hingga pagi hari dan ternyata bahwa iblis wanita itu makin kuat saja, amukannya makin ganas! Akhirnya Galiga Jaya merasa tidak aman. Ia lalu menunggangi kudanya dan melarikan diri keluar dari kampungnya! Iblis wanita itu agaknya tahu juga bahwa Galiga Jaya pergi melarikan diri, karena ia lalu menyerang dan membuka jalan darah sambil berteriak menyeramkan,
"Galiga Jaya"!! Kemana engkau hendak lari...?? Tunggu aku beset kulit dadamu dan makan jantungmu"!!"
Semua orang merasa ngeri sekali mendengar suara ini, dan ketika mereka melangkah mundur dengan takut-takut, iblis wanita itu lalu memutar tongkatnya mengejar ke arah larinya Galiga Jaya. Akan tetapi Penewu itu telah membalapkan kudanya berlari jauh dan sambil memaki-maki. Iblis wanita ini lalu melarikan diri keluar dusun sambil memutar-mutar tongkat hingga tak ada orang yang berani mencegahnya melarikan diri.
Bersama dengan menghilangnya kabur fajar, iblis inipun menghilang, entah kemana sembunyinya! Walau ada orang yang dapat mengikutinya tentu orang ini akan melihat bahwa iblis wanita ini dengan larinya yang cepat sekali menuju ke dusun Pakem! Pada waktu penduduk Pakem kembali dari sawah ladang dan melewati tanah perkuburan para korban keganasan Penewu Galiga Jaya setahun yang lalu, mereka melihat seorang wanita yang berpakaian compang-camping dan berambut riap-riapan sedang menangis di depan batu-batu nisan itu. Ia meratap-ratap memilukan hingga beberapa orang merasa tertarik dan berhenti mendengarkan ratap tangisnya. Hari telah mulai gelap dan orang-orang yang melihat wanita ini merasa seram dan ngeri karena ucapan yang mereka dengar penuh mengandung ancaman maut,
"Saudara-saudara sekalian janganlah penasaran. Tak lama lagi aku tentu akan membalaskan sakit hati kalian, dan akan kubeset kulit dada Galiga Jaya dan akan kumakan jantungnya mentah-mentah!!"
Kemudian, wanita yang menyeramkan itu menangis keras dan meratap-ratap,
"Bondan"
Bondan anakku""
Maka terkejutlah semua orang.
"Rondo Kuning"!"
Mereka berteriak memanggil lalu menghampiri wanita yang berlutut membelakangi mereka itu. Tiba-tiba tubuh itu tersentak kaget dan melompat berdiri. Bukan main terkejutnya semua orang itu ketika melihat wajah yang mengerikan itu. Namun, mereka masih dapat mengenal bahwa orang yang bermuka seperti iblis ini memang Rondo Kuning, janda yang dianiaya oleh Galiga Jaya dulu!
"Rondo Kuning...!"
Teriak seorang wanita pula yang dulu yang menjadi tetangganya. Tiba-tiba Rondo Kuning yang telah menyerupai iblis wanita itu tertawa menyeramkan hingga orang-orang petani itu melangkah mundur ketakutan.
"Ya, aku adalah Rondo Kuning dan akulah satu-satunya wanita Pakem yang memiliki pribudi! Hanya akulah orang perempuan yang berani membalaskan sakit hati semua orang yang telah menjadi gundukan tanah ini! Kalian ini semua orang apakah? Bukan orang, akan tetapi anjing-anjing yang kalau dipukul menyembunyikan ekor di bawah perut dan lari berkaing-kaing! Ha-ha-ha! Kalian dibinasakan, suami dibunuh, anak dibunuh, Ayah disembelih semua dilakukan oleh Galiga Jaya, akan tetapi apakah yang dilakukan oleh kalian perempuan-perempuan Pakem? Ha-ha-ha paling hebat kalian lalu kawin lagi mencari suami baru!"
Sambil tertawa terkekeh-kekeh Rondo Kuning lalu melompat pergi dan menghilang di balik pohon.
Semua orang lalu berlari dan menceritakan pengalaman ini. Terkenalah hati para janda di Pakem oleh kata-kata Rondo Kuning yang menghina ini. Mereka yang bersetia kepada suami dan Ibu-ibu yang kehilangan anak mereka, lalu berkumpul dan berunding. Wanita-wanita lain, para isteri petani juga ikut berkumpul dan kemudian mereka memutuskan untuk beramai-ramai menghadap Sri Sultan Agung di karta untuk membuat laporan dan menuntut Penewu Galiga Jaya yang telah melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap penduduk Pakem! Pada keesokan harinya, berangkat segerombolan wanita terdiri dari tiga puluh orang lebih wanita dan beberapa orang pria sebagai pengantar, menuju ke kota raja untuk menuntut Galiga Jaya dihadapan Sang Prabu, terdorong dan terpengaruh oleh kata-kata Rondo Kuning yang mencela mereka.
Penewu Galiga Jaya yang ketakutan setengah mati melihat betapa iblis wanita itu mengamuk hebat dan berkeras hendak membunuhnya, pada menjelang fajar itu melarikan diri sambil menunggang kudanya. Beberapa orang pembantu-pembantu melihat hal ini lalu ikut pula melarikan diri hingga sebentar saja ada sepuluh orang pemimpin perajurit yang melarikan diri bersama Galiga Jaya! Penewu ini tidak menjadi marah bahkan diam-diam merasa girang bahwa ada orang-orang yang mengantarnya,
Oleh karena sebenarnya, ia merasa takut dan ngeri dan takut untuk melarikan diri seorang diri saja melalui hutan-hutan liar itu! Setelah bertemu dengan iblis wanita itu, Galiga Jaya yang biasanya sombong dan pemberani itu, tiba-tiba menjadi penakut! Tanpa banyak bicara Galiga Jaya dan kawan-kawannya membalapkan kuda menuju ke Karta Ibukota Mataram. Setelah matahari naik tinggi dan mereka telah berada jauh dari dusun Waru, barulah Galiga Jaya berhenti di dalam sebuah hutan untuk memberi kesempatan kepada kudanya untuk bernapas dan makan rumput. Ia lalu duduk dan bercakap-cakap dengan anak buahnya yang sepuluh orang itu, dan tentu saja mereka membicarakan tentang iblis wanita yang mengerikan itu. Ketika mereka sedang asyik bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar bentakan suara wanita nyaring,
"Kepara Galiga Jaya! Bersedialah untuk binasa di ujung senjataku!"
Bukan main terkejutnya Penewu itu hingga wajahnya berubah pucat hijau. Ia menyangka bahwa iblis wanita itu telah mengejar sampai ke tempat itu, maka tanpa menoleh lagi ia lalu melompat ke atas punggung kuda hendak melarikan diri.
Juga kawan-kawannya terkejut dan ketakutan, lalu masing-masing melompat pula ke atas punggung kuda. Akan tetapi pada saat itu, beberapa anak batang anak panah menyambar dan menancap di perut kuda. Kuda Galiga Jaya yang terkena anak panah pada dadanya, melonjak tinggi dan meringkik keras, berdiri di atas kedua kaki belakang meronta-ronta hingga Galiga Jaya terlempar dari atas punggung kuda dan jatuh bergulingan. Demikian pula beberapa orang kawannya karena kuda mereka terkena anak panah. Ributlah mereka dan ketika Galiga Jaya menengok, ternyata bahwa yang melepas anak panah itu adalah Riyatman dan seorang wanita gagah berkulit hitam manis. Seorang gadis ayu kuning berdiri ditengah-tengah antara Riyatman dan gadis hitam manis itu, sikapnya halus dan tenang, akan tetapi kedua matanya berpengaruh dan memandangnya dengan tajam.
"Bangsat Riyatman, pemberontak hina-dina!"
Teriak Galiga Jaya dengan marah dan hatinya lega melihat bahwa yang datang bukanlah iblis wanita yang ditakutinya.
"Kau datang mengantarkan nyawamu?"
Kawan-kawannya yang mendengar bentakan ini, juga menjadi lega dan yang sudah melarikan diri lalu kembali lagi dan melompat turun dari kuda masing-masing sambil menghunus golok dan keris.
"Ha, Galiga Jaya, keparat kejam! Kematian sudah berada di depan matamu, akan tetapi kau masih berani berlagak?"
Teriak Bandini sambil mencabut pisau belati di tangan kanan dan menggerak-gerakkan busur di tangan dengan sikap gagah sekali.
"Siapakah kau, setan perempuan?"
Bentak Galiga Jaya. Bandini tertawa nyaring dan merdu, akan tetapi matanya yang indah itu mengeluarkan cahaya mengancam hebat.
"Bangsat tua Bangka! Matamu sudah terlalu tua dan lamur! Lihatlah baik-baik, tidak kenalkah kau kepada Bandini dan kakakku Sariwati ini? kami datang menagih hutangmu kepada mbakyu Kencanawati dan penduduk Pakem!"
Galiga Jaya melengak dan heran. Betulkah kedua gadis ini Bandini dan Sariwati, kedua anak tirinya itu? Ia menggosok-gosok kedua matanya denga heran-heran.
"Kalian anak-anak ini mau apa menggangguku? Apakah kalian juga ingin mampus?"
"Bangsat tua, jangan sombong!"
Seru Bandini sambil melompat maju dan mengayun pisaunya menusuk dada, sedangkan gendewa di tangan kanan dipukulkan kea rah muka Galiga Jaya. Melihat gerakan serangan ini terkejutlah Galiga Jaya dan ia cepat-cepat melompat dan mengelak.
"Ayoh, keroyok dan tangkap tiga setan ini!"
Teriaknya dan pembantu-pembantunya lalu maju menyerang dengan ganas. Menghadapi ketiga orang lawan muda, bahkan yang dua orang hanya gadis-gadis muda yang lemah, timbul pula keberanian dan keganasan mereka. Akan tetapi, Riyatman dan Bandini mengamuk bagaikan banteng-banteng terluka hingga sebentar saja para pengeroyok ini terkejut sekali karena tak pernah disangkanya bahwa Bandini dapat bertempur sehebat itu. Sariwati tidak seganas Riyatman dan Bandini, dan gadis ini hanya menjaga diri saja, akan tetapi kesaktiannya membuat para perajurit pengiring Galiga Jaya menjadi jerih dan takut mendekatinya. Seorang perajurit yang tertarik melihat kecantikan Sariwati, maju menubruk dengan tangan kosong, bermaksud memeluk dan menawan gadis itu.
Akan tetapi, dengan gerakan yang indah Sariwati mengelak kesamping dan ketika tangan kirinya menampar pilingan kepala perajurit itu, lawannya menjerit keras dan bergulingan di atas tanah sambil memegangi kepalanya yang serasa remuk terkena tempilingan Sariwati. Perajurit kedua yang masih merasa penasaran maju pula menubruk, akan tetapi kini dengan keris di tangan Sariwati menggerakkan tangannya yang cepat sekali menyentuh siku tangan lawan yang memegang keris. Perajurit itu merasa tangannya tiba-tiba menjadi lumpuh dan lemas karena urat lengannya kena disentil oleh jari Sariwati dan sebelum ia tahu apa yang terjadi dengannya, telapak tangan Sariwati menampar pipi yang membuat ia tiba-tiba melihat bintang bertaburan dan berloncatan di depan matanya hingga ia terhuyung kebelakang lalu roboh merintih-rintih! Setelah terjadi hal ini, tak seorangpun perajurit berani menghampiri Sariwati!
Bandini dan Riyatman mengamuk hebat, bagaikan dua ekor harimau kelaparan! Galiga Jaya yang mempergunakan senjata lawe merah dan keris pusakanya, tak tahan menghadapi desakan kedua anak muda ini sunggupun ia telah dibantu oleh beberapa orang pembantunya! Beberapa orang perajurit yang membantunya telah roboh di tangan Riyatman dan Bandini. Ketika seorang perajurit dengan gemas dan penasaran menyerang Bandini dengan goloknya, membacok leher gadis hitam manis itu, Bandini mengelak cepat dan gendewa di tangannya bergerak menghanam muka penyerang itu. Pedas perih rasa kulit muka orang itu terkena pecutan gendewa dan terpaksa iaa memejamkan mata. Pada saat itu, keris Bandini terayun kearah perutnya, akan tetapi tiba-tiba lengan tangan Bandini serasa dipegang orang dan terdengar suara Sariwati membentak adiknya,
"Bandini, jangan membunuh orang!"
Mendengar bentakan kakaknya ini, Bandini menarik kembali kerisnya dan sebagai gantinya, kaki kanannya bergerak dan "Masuk"
Ke lambung lawan itu hingga ia terjungkal dan merintih-rintih memegangi perutnya yang terkena tendangan kaki Bandini yang keras! Juga Riyatman mendengar bentakan Sariwati yang melarangnya membunuh orang, maka pemuda inipun membatasi gerakannya dan hanya memukul lawan-lawannya hingga pengeroyok-pengeroyoknya roboh menjerit-jerit kesakitan!
Melihat sepak terjang ketiga anak muda itu, Galiga Jaya menjadi terkejut sekali. Dengan permainannya yang hebat ia masih dapat mempertahankan diri dan belum kena pukul, akan tetapi ia maklum bahwa keadaannya berbahaya sekali dan kalau melawan terus, akhirnya ia akan kalah juga, maka ia lalu mencari kesempatan dan melompat ke atas punggung seekor kuda terdekat dan lari dari tempat itu!
"Kejar! Kejar si jahanam!"
Teriak Sariwati sambil berlari cepat! Sungguh mengherankan, gadis yang halus dan lemah lembut ini ketika berlari, cepat sekali seakan-akan kedua kakinya tak menginjak tanah! Akan tetapi, Galiga Jaya telah membedal kudanya yang larikan bagaikan dikejar setan. Bandini dan Riyatman juga berlari mengejar, sedangkan para perajurit yang belum dijatuhkan lalu menolong kawan-kawan mereka dan membantu mereka naik ke atas kuda masing-masing. Galiga Jaya cepat melarikan kudanya dan memecuti kuda itu tiada hentinya karena ia mendengar betapa ketiga anak muda yang gagah perkasa itu mengejar dari belakang. Ketika ia tiba di sebuah tikungan di dalam hutan itu, tiba-tiba dari depan datang seorang pemuda tampan berpakaian serba hitam yang tampan sekali. Pemuda itu berdiri di tengah jalan dan memandangnya dengan heran.
"He, ada apakah maka engkau melarikan diri seakan-akan orang ketakutan?"
Teriaknya. Melihat sikap pemuda ini, Galiga Jaya menahan kudanya dan dengan terengah-engah ia menjawab,
"Aku adalah Penewu dari Waru dan dikejar-kejar oleh tiga orang pemberontak."
"Keparat!"
Seru pemuda ini dengan suaranya yang merdu dan nyaring.
"Jangan engkau takut, bapak Penewu. Teruskanlah perjalananmu dan aku akan menghadapi ketiga pemberontak itu!"
"Terima kasih... terima kasih, engkau baik sekali, anak muda. Kalau ada kesempatan, datang di kota raja dan carilah Galiga Jaya, aku takkan melupakan budi kebaikanmu ini."
Pemuda baju hitam itu tersenyum dan wajahnya makin tampan. Galiaga Jaya lalu membedal lagi, melarikan diri secepatnya menuju ke kota raja. Pemuda ini lalu bertolak pinggang dan berdiri tak bergerak, memandang kepada tiga orang yang lari cepat mendatangi tempat itu. Ia merasa terkejut dan kagum juga ketika melihat bahwa orang-orang yang mengejar Penewu dan disebut pemberontak itu adalah dua orang dara yang manis dan seorang pemuda tampan. Sikap ketiga orang ini gagah sekali.
"Berhenti!"
Teriak pemuda itu sambil mengangkat tangan kanan ke depan. Riyatman, Bandini dan Sariwati berhenti di hadapan orang itu.
"Apa maksudmu menyuruh kami berhenti?"
Riyatman membentak
"Apakah kalian ini pemberontak-pemberontak yang mengejar-ngejar Penewu?"
Tanya pemuda itu dengan beraninya.
"Kalau betul begitu, engkau perduli apakah?"
Bandini melangkah maju sambil memandang tajam. Pemuda itu tersenyum melihat lagak Bandini yang galak.
"Eh-eh, galak benar engkau. Melebihi Srikandi! Apakah kepandaianmu juga melebihi Srikandi?"
"Pemuda kurus kecil seperti cacing tanah,"
Bandini memaki marah.
"Apa engkau sudah bosan hidup?"
"Belum,"
Jawab pemuda itu dengan sikap jenaka.
"Aku masih ingin seribu tahun lagi, apalagi disamping seorang Srikandi seperti engkau ini."
"Bangsat rendah bermulut busuk!"
Riyatman berseru marah sekali. Entah mengapa, mendengar pemuda ini menggoda Bandini, ia merasa marah bukan main. Sambil berseru ia melompat maju dan memukul dengan tangan kanannya ke arah dada pemuda baju hitam itu.
Rondo Kuning Membalas Dendam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
(Lanjut ke Jilid 06 - Tamat)
Rondo Kuning Membalas Dendam (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 06 (Tamat)
"AH, tak tahu malu, pemuda kasar kurang ajar!"
Seru pemuda baju hitam itu yang lalu mengelak cepat. Gerakannya cepat dan gesit sekali bagaikan seekor burung Srikatan.
"Riyatman, biarkan aku menjatuhkan cacing tanah ini!"
Teriak Bandini yang menyerang dengan cepatnya. Gadis ini mempergunakan Ilmu Pukulan Rajah Geni dan memainkan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka, akan tetapi jangan dipandang ringan telapak tangan gadis yang berkulit halus ini, oleh karena kalau kena tampar tangan gadis ini, pipi orang bisa menjadi matang biru dan rasanya panas seperti dibakar, sedangkan gigi di dalam mulut bisa berantakan. Akan tetapi pemuda baju hitam itu tersenyum manis dan melayani Bandini sambil mengejek,
"Eh-eh, Srikandi beranikah engkau melawan Arjuna?"
"Bedebah!"
Riyatman memaki sambil mengertak gigi, akan tetapi ia merasa malu kalau harus mengeroyok, sungguhpun tak ada yang lebih disenanginya lagi pada saat itu daripada mengirim kepalannya kepada mulut pemuda genit itu. Tiba-tiba Sariwati memandang dengan wajah berseri. Ia memperhatikan baik-baik gerakan pemuda baju hitam itu dan maklum bahwa kepandaian pemuda itu masih lebih tinggi daripada kepandaian Bandini dan Riyatman.
Pemuda ini memiliki kelincahan dan kecepatan yang hebat sekali hingga Bandini sebentar saja merasa pening menghadapinya. Tubuh pemuda berbaju hitam itu berkelebat kesana kemari bagaikan burung Srikatan hitam menyambar-nyambar. Berkat ketangkasan tangan Bandini saja yang membuat gadis ini masih kuat bertahan, dan hatinya menjadi makin gemas oleh karena pemuda baju hitam itu tiada hentinya mengejeknya. Pada saat yang tepat, pemuda itu berhasil menggunakan jari telunjuknya untuk menyentuh hidung Bandini. Gerakan ini demikian cepat hingga tahu-tahu Bandini merasa betapa hidungnya ditowel orang. Bukan main marahnya! Kemudian sambil berseru keras ia mencabut pisau belatinya yang tajam mengkilat. Akan tetapi, tiba-tiba Sariwati berseru,
"Bandini, tahan dulu!"
Biarpun gemas dan kecewa sambil memandang kepada kakaknya dengan heran, Bandini tunduk juga terhadap perintah ini dan ia menahan pisaunya sambil berdiri terengah-engah. Ia memandang wajah pemuda baju hitam itu dengan kebencian besar dan seakan-akan hendak ditelannya pemuda nakal ini. Sariwati melangkah maju menghadapi pemuda itu. Sambil tersenyum manis, Sariwati berkata,
"Adik yang menyamar seperti laki-laki ini siapakah dan mengapa engkau mengganggu kami?"
Bukan main terkejutnya pemuda itu mendengar ucapan ini. Tak pernah disangkanya bahwa Sariwati bermata tajam dan dapat mengetahui bahwa ia adalah seorang wanita. Padahal dalam hal menyamar, ia mahir sekali dan belum pernah ada orang yang dapat mengenalnya dalam penyamaran, karena ia telah mempelajari ilmu menyamar ini, hingga ia dapat merobah dirinya menjadi pemuda, menjadi nenek, atau kakek-kakek. Pemuda baju hitam ini bukan lain ialah Untari, simaling haguna yang dulu pernah bertempur dan dikalahkan oleh Adiguna. Ia lalu mengubah sikapnya dan berkata kepada Sariwati penuh hormat.
"Engkau bermata tajam sekali, saudara. Dan ini saja sudah cukup membuktikan bahwa engkau berkepandaian tinggi dan sakti. Engkau berbeda sekali dengan"
Srikandi ini."
Bandini dan Riyatman merasa terkejut dan heran sekali hingga mereka saling pandang dengan melongo. Tak pernah disangkanya bahwa pemuda baju hitam itu adalah seorang wanita.
"Dia adalah Bandini, adikku. Maafkanlah kekasarannya,"
Kata Sariwati kepada Untari.
"Tidak apa, aku suka sekali kepada saudara yang lewat dan manis. Kepandaiannya mengagumkan juga. Akulah yang minta maaf karena telah mempermainkannya,"
Jawab Untari
"Kuulangi lagi pertanyaanku. Kau ini siapakah dan mengapa kau menghalangi kami mengejar Galiga Jaya?"
"Aku bernama Untari dan tanpa tedeng aling-aling kuakui bahwa aku adalah seorang maling haguna! Aku tidak mempunyai hubungan sesuatu dengan Galiga Jaya, akan tetapi sebagai seorang yang bertugas membela mereka yang berada dalam bahaya, apalagi ketika seorang Penewu Mataram dikejar-kejar oleh tiga orang pemberontak, terpaksa aku turun tangan dan menghalangi kalian! Sebaliknya, kalian ini tiga orang yang gagah perkasa mengapa berlaku sesat dan memusuhi seorang petugas Mataram? Apakah kalian tidak takut akan kemarahan Gusti Sultan yang sakti dan arif bijaksana?"
"Dengarlah, Untari,"
Jawab Sariwati.
"Aku adalah Sariwati dan ini adikku Bandini. Pemuda itu adalah seorang sahabat kami bernama Riyatman."
"Hm, sudah kudengar nama Riyatman, bukankah ia pemimpin pemberontak di dusun Pakem?"
Kata Untari sambil memandang tajam kepada Riyatman.
"Kau telah terkena pengaruh racun jahat yang disebar oleh Galiga Jaya,"
Kata Sariwati dengan tenang.
"Kami bukanlah pemberontak dan kami tidak bermaksud memberontak terhadap Mataram. Kami mempunyai urusan dendam pribadi terhadap Galiga Jaya dan kami harus membalas sakit hati kami terhadap keparat itu!"
"Tak mungkin! Aku sudah memberi janjiku untuk menolong dia dari ancaman kalian,"
Kata Untari sambil menggeleng-geleng kepala.
"Maling rendah tak tahu diri!"
Bentak Bandini.
"Sudahlah Mbak Wati jangan ladeni dia"
"Eh-eh, Srikandi marah lagi,"ejek Untari.
"Maling keparat! Rasakan ujung belatiku!"
Bandini membentak sambil mengirim serangan dengan pisau belatinya. Untari melihat gerakan ini segera mengelak ke samping dan iapun mencabut kerisnya.
"Sekarang Arjuna diwakili oleh Larasati! Hendak kulihat bagaimana Srikandi berlagak melawan Larasati!"
Kata Untari dengan sikapnya yang Jenaka. Bandini makin marah dan keduanya lalu bertempur lagi, akan tetapi sekarang masing-masing mempergunakan senjata tajam hingga suara keris beradu berkali-kali dengan pisau belati menimbulkan ketegangan dalam hati Riyatman dan Sariwati. Tiba-tiba dari jauh terdengar suara kaki kuda yang banyak sekali dan yang menuju ketempat itu. Mendengar suara ini, baik Bandini mapupun Untari menghentikan pertempuran mereka. Ketika mereka memandang ke arah kaki kuda yang riuh itu, terkejutlah mereka oleh karena melihat bahwa yang datang itu adalah pasukan berkuda dari Mataram, dikepalai oleh seorang panglima besar Mataram, yaitu Tumenggung Suro Agul-agul.
Ini adalah barisan Mataram yang sengaja dikirim untuk menumpas pemberontakan dan menangkap iblis wanita yang mengamuk di Waru! Ketika rombongan ini di tengah jalan bertemu dengan Penewu Galiga Jaya yang melarikan diri, Penewu ini memberitahukan bahwa ia dikejar oleh beberapa orang anak muda pemimpin pemberontak dan diantaranya terdapat Riyatman, pemimpin pemberontak dari Pakem yang dulu belum sempat tertawan. Menengar ini, Tumenggung Suro Agul-agul lalu memimpin perajurit-perajuritnya menuju ke tempat itu. Ketika melihat anak-anak itu berdiri dengan gagah di tengah jalan, Tumenggung Suro Agul-agul lalu membedal kudanya menghampiri dan melompat turn. Akan tetapi ketika melihat pemuda baju hitam itu, wajahnya menjadi pucat dan ia bertanya dengan suara keras.
"Untari! Engkau... Disini...?"
Untari tersenyum.
"Paman Tumenggung, tenangkanlah hatimu. Kemenakanmu ini tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan mereka bertiga ini, hanya kebetulan saja bertemu di jalan."
Kemudian, maling haguna itu menengok dan berkata kepada Sariwati.
"Sariwati, dan engkau Bandini. Sebenarnya aku amat senang bertemu dan berkenalan dengan kalian. Akan tetapi, apa daya. Agaknya jalan hidup kita berlainan! Kalau saja engkau tidak menghadapi pasukan Mataram yang bahkan dipimpin oleh pamanku sendiri, tentu dengan senang hati aku akan membantumu. Lebih baik kalian menyerah saja, jangan melawan pasukan Mataram."
Kemudian ia berkata kepada Tumenggung Suro Agul-agul,
"Paman Tumenggung, maafkan hamba tak dapat membantu"
Setelah berkata demikian, gadis yang gagah perkasa ini lalu melompat dan melarikan diri jauh dari tempat itu, dipandang oleh Tumenggung Suro Agul-agul yang menghela napas panjang. Memang Untari adalah keponakannya, anak tunggal adik perempuannya, anak yang telah yatim piatu dan dulu ketika bertemu dengan Adiguna, petani tua itu bukanlah orang tuanya, hanya dipakai untuk menipu Adiguna saja, akan tetapi pemuda itu terlampau cerdik untuk dapat ditipu sebagaimana yang telah dituturkan. Kemudian Suro Agul-agul menghadapi ketiga anak muda itu dan berkata dengan halus,
"Benar seperti yang dikatakan oleh keponakanku tadi, kalian lebih baik menyerah, tiada gunanya melawan pasukan Mataram."
Akan tetapi Riyatman menjawab,
"Kami lebih baik mati daripada menyerah sebelum dapat membunuh si keparat Galiga Jaya"
"Hm, engkau memang pemberontak muda yang keras kepala."
Kata Tumenggung Suro Agul-agul, akan tetapi Tumenggung ini merasa ragu-ragu untuk menyerang kedua gadis yang nampak cantik jelita itu. Ia merasa sayang dan tidak tega kalau harus membunuh kedua dara muda ini, maka katanya,
"Kalian berdua remaja puteri ini mengapa ikut-ikut memberontak pula? Pulanglah saja ke rumah orang tuamu dan berlaku sebagai wanita utama!"
Bandini mencibirkan bibirnya dan hendak menjawab, akan tetapi ia dicegah oleh Sariwati yang menjawab dengan suaranya yang halus dan tenang,
"Gusti Tumenggung, hambalah yang menjadi pemimpin dan penanggung jawab dari kami bertiga. Kami tidak bermaksud memusuhi pasukan Mataram yang kami hormati. Kami hanya ingin membalas dendam kami kepada Galiga Jaya si keparat."
Tumenggung Suro Agul-agul menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aneh sekali kalian ini, anak-anak! Galiga Jaya adalah seorang Penewu, seorang pamong praja yang diangkat oleh Gusti Sultan. Tak mungkin kalian mau membunuhnya demikian saja. Itu berarti kalian hendak mengganggu petugas Mataram dan berarti memberontak pula! Kalian menyerahlah saja dan mungkin aku dapat memohon ampun untuk kalian dihadapan Gusti Sultan."
"Maaf, Gusti Tumenggung,"
Jawab Sariwati.
"Bukan kami yang menghendaki jika paduka mendesak hingga terbit pertempuran diantara kita. Lepaskanlah kami agar kami dapat mengejar dan membalas sakit hati kami kepada Galiga Jaya. Setelah itu, terserahlah, kami tak akan melawan apabila hendak di tawan."
"Tiba bisa, tidak mungkin! Aku yang bertanggung jawab dan mendapat kesalahan apabila kalian menggangu Galiga Jaya. Terpaksa aku melarangmu."
"Bukan hamba yang ingin bertempur dengan paduka, akan tetapi kami bertiga telah bertekad bulat untuk melawan siapa saja yang menghalangi maksud pembalasan dendam kami."
Jawab Sariwati dengan suara tetap dan tenang.
"Rawe-rawe rantas, malang-malang putung."
Kata Riyatman dan Bandini serempak dengan suara gagah yang menyatakan bahwa mereka pantang mundur selangkahpun dalam mempertahankan dan memperjuangkan maksud hati mereka. Marahlah Tumenggung Suro Agul-agul melihat kekerasan hati ini.
"Tangkap mereka! Akan tetapi, kalau tidak terpaksa, jangan lukai mereka!"
Perintahnya dan puluhan perajurit serentak maju hendak menangkap ketiga orang muda itu. Akan tetapi, sambil mengeluarkan seruan keras, Riyatman dan Bandini bergerak menyambar dengan pukulan dan tendangan hebat hingga beberapa orang perajurit jatuh tersungkur! Melihat ketangkasan ini, Tumenggung Suro Agul-agul merasa kagum sekali, lalu ia sendiri turun tangan hendak menangkap anak-anak muda yang nakal ini. Akan tetapi diluar dugaannya, dara muda yang ayu kuning dan sopan santun serta halus gerak geriknya itu, ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat mengagumkan. Berbeda dengan Riyatman dan Bandini yang mengamuk mempergunakan kekerasan, Sariwati hanya melangkah maju perlahan dan dengan gerakan tangan halus ia mengebut tangannya sambil berseru perlahan,
"Roboh!"
Dan aneh sekali, setiap perajurit yang hendak menyerangnya apabila kena dikebut dan dibentak segera roboh bagaikan terdorong oleh tenaga yang besar. Tumenggung Suro Agul-agul terkejut sekali karena ia maklum bahwa dara muda yang cantik jelita itu ternyata telah menggunakan ilmu batin yang kuat untuk melawan perajurit-perajurit itu dan merobohkannya dengan tenaga kesaktian yang keluar dari kebutan tangan dan bentakan berpengaruh. Semacam ilmu sihir yang luar biasa. Maka ia menjadi penasaran dan segera maju menghampiri.
"Engkau berani melawanku?"
Bentaknya sambil mengirim pukulan ke arah pundak Sariwati. Tumenggung Suro Agul-agul adalah seorang yang sakti dan berilmu tinggi maka Sariwati tidak berani menerima pukulan ini dan cepat mengelak sambil balas menyerang dengan kebutan ujung jarinya kearah dada tumenggung itu sambil mulutnya membentak halus,
"Robohlah, tumenggung!"
Tumenggung Suro Agul-agul merasa betapa hawa yang kuat dan luar biasa mendorong dadanya. Ia mempertahankan dirinya dan hanya terdorong mundur dua langkah.
Sariwati maklum bahwa ia bukan tandingan tumenggung yang sakti ini, akan tetapi ia melawan dengan gigih sambil memperlihatkan kelincahannya. Sebentar saja, ia telah didesak hebat oleh serangan-serangan kedua tangan Tumenggung Suro Agul-agul dan hanya dapat menangkis sambil mundur. Akhirnya Sariwati terpaksa meloloskan sabuk cinde yang diikatkan di pinggang menutupi kemben dan dengan senjata istimewa ini ia menyerang hebat. Suro Agul-agul kembali dikejutkan oleh kehebatan dan tenaga yang luar biasa yang diterbitkan oleh sabuk cinde ini, karena ketika ia menangkis sabetan sabuk itu, ia merasa tangannya sakit sekali, bahkan rasa panas dan pedas sampai menusuk ke tulang. Ia maklum bahwa sabuk cinde itu adalah sebuah pusaka keramat, maka iapun lalu meloloskan keris pusakanya dan menghadapi Sariwati dengan kerisnya.
Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo Pembakaran Kuil Thian Loksi Karya Kho Ping Hoo