Saputangan Berdarah 1
Saputangan Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bagian 01
"Syuuuutt... Capp!"
Gerak refleks, yang amat peka terhadap bahaya menyelamatkan Bharoto daripada sambaran benda mengkilap itu.
Ia mengangkat kembali kepalanya yang tadi secara otomatis mengelak dan dilihatnya tangkai belati masih menggetar di atas papan penutup toko "Gayabaru."
Bharoto tidak menoleh, melainkan mencabut belati itu. Ia tahu bahwa tidak akan ada gunanya mencari pelempar belati diantara sekian banyaknya orang yang malam hari ini memenuhi jalan Diponegoro atau yang lebih terkenal dengan sebutan Triwindu. Jalan ini setiap malam berubah menjadi sebuah pasar malam kecil, penuh dengan segala macam barang yang didagangkan orang diatas tikar-tikar yang memenuhi jalan, penuh pula dengan orang yang tiada maksud tertentu. Biasa saja bagi orang Solo, tak enak tinggal dirumah setelah lampu mulai dinyalakan sampai hampir tengah malam. Jalan-jalan mencari angin, melihat-lihat apa saja yang menarik untuk ditonton.
"Belati biasa, banyak terjual ditoko-toko,"
Bharoto mengejek sambil memasukkan benda tajam itu kedalam saku celananya. Namun harus dipuji ketrampilan dan tenaga pelemparnya. Begitu cepat sehingga tak seorangpun menyaksikan peristiwa itu agaknya. Bharoto memutar tubuh. Benar, tak ada yang tahu. Semua orang agaknya tertarik kepada tingkah-polah seorang pedagang kain yang pandai berpidato menawarkan dagangannya. Bharoto melangkah lagi, tenang. Tiba-tiba matanya silau, bukan oleh lampu Petromax yang memenuhi jalan. Lebih menyilaukan mata lagi. Ia sampai berhenti melangkah dan tanpa ia sadari bibirnya meruncing membentuk siulan yang tak dibunyikan. Mulai sepasang Matanya menangkap betis-betis putih kuning dibawah gaun merah, betis-betis bergerak perlahan dengan pinggir lutut saling sentuh, lekuk mata kaki yang dalam dan merit, tumit yang berwarna merah jambu diatas sepasang sepatu merah. Lalu pandangmata Bharotho perlahan menyusuri gaun merah keatas, pinggul dan pinggang model Marilyn Monroe! Gaun merah itu berhenti dipunggung, menciptakan komposisi warna yang kontras sekali antara gaun merah dan kulit punggung yang putih. Rambut yang menutupi leher itu menambah kegairahannya untuk menyelidik terus. Rambut hitam tebal, berikal meruncing didepan telinga yang terhias mata-mirah, diatas kepala tampak pita kuning yang menghilang dan bersembunyi di belakang telinga.
"...Bukan main...!"
Bharoto menghembuskan napas yang tadi sejenak tertahan, dan mata dibalik kacamatanya tak dapat dikejapkan. Ia mempercepat langkah mengejar. Tiba-tiba yang punya body bintang film itu menoleh.
"...Wah, benar-benar bidadari..."
Kembali Bharoto tertegun. Wajah yang manis sekali, terutama sepasang Matanya yang bundar lebar, yang tiba-tiba menatapnya, kemudian bibir merah tipis itu mengulum senyum, mengejek. Hanya sebentar ia menengok, lalu membuang muka dan menyelinap diantara para pengunjung. Bharoto meraba tengkuknya untuk menidurkan lagi bulu tengkuk yang serasa meremang. Mata itu! Senyum itu! Hampir yakin ia bahwa dara bergaun merah itu tentu tahu akan peristiwa yang terjadi didepan toko Gayabaru yang sudah tutup tadi. Biasanya ia tidak keliru menilai isi hati orang dari pandang mata, senyum, atau gerak muka.
"Harus kuhubungi dia, secara kasar maupun halus!"
Cepat Bharoto menyelinap diantara orang banyak melakukan pengejaran. Ia tidak kaget oleh penyerangan gelap tadi. Sudah terlalu biasa ia akan ancaman-ancaman maut sehingga perasaannya kebal. Akan tetapi ia paling benci kalau menghadapi penyerangan tanpa dapat menduga siapa gerangan penyerangnya. Belati pasaran itu sama sekali tidak bicara, siapapun dapat membeli di toko dan menggunakannya. Tapi dara bergaun merah tadi. Pandang mata dan senyumnya bicara banyak.
"Setan...!"
Ia menyumpah dengan kagum melihat dari jauh bahwa si gaun merah yang di kejar dan dicarinya itu telah menyeberang jalan Slamet Riyadi, ketempat panitipan sepeda motor diseberang gedung bioskop "U.P."
Ia terlambat. Scooter itu sudah di start, lampunya menyorot dan entah disengaja atau tidak, stang nya digerakkan sehingga sinar lampunya tepat menyorot wajah Bharoto yang berdiri di trottoir (kaki-lima).
"Busett!"
Mata Bharoto dibalik kacamata melotot kearah wajah manis itu untuk membalas sorotan lampu Scooter. Ia melihat senyum yang tadi muncul lagi dan mata bola sepasang itu mengerling kearah ia berdiri. Cepat pandang mata Bharoto mengejar belakang Scooter yang dilarikan ketimur, untuk mencatat nomornya.
"Setan elok!"
Kembali ia menyumpah-nyumpah ketika melihat betapa tiba-tiba lampu belakang Scooter itu padam sehingga plaat dan nomornya tidak tampak. Ia mengikuti terus Scooter merah 1965 itu dengan matanya, dan kembali ia menyumpah dengan hati mendongkol ketika lampu belakang Scooter itu menjala kembali setelah jaraknya cukup jauh sehingga tak dapat dilihat dari situ nomornya. Ia lari ke tempat penitipan sepeda motor. Tapi penjaganya juga tidak mencatat nomor Scooter itu, malah melihatpun tidak.
"Goblok...!"
"Siapa yang goblok, Pak?"
Sipenjaga bertanya kaget.
"Orang bodoh yang goblok, siapa lagi?"
Bentak Bharoto sambil melangkah pergi.
"Malam sialan!"
Gerutunya, memukul-memukulkan kepalan kanan pada telapak tangan kirinya.
"Belum apa-apa sudah kalah dua-nol, celaka!"
Bharoto uring-uringan, panas hatinya menghadapi rahasia itu. Siapa yang melempar belati? Siapa pula dara manis bergaun merah itu? Adakah hubungan antara si manis itu dengan si pelempar belati? Dengan hati mengkal ia menyusuri kaki-lima sepanjang Jalan Slamet Riyadi ketimur, langkahnya lambat-lambat tak kuasa mengimbangi Jalan pikirannya yang cepat berputaran. Ia tahu bahwa dirinya diincar oleh kaki-tangan atau anak-buah Wiro Gandul, gembong penjahat yang berhasil ia bongkar rahasianya dan kini berada dalam tahanan di Semarang, menanti hari sidang pengadilannya.
Ia menjadi saksi utama. Bertahun-tahun Wiro Gandul selalu dapat mengelak daripada jaring-jaring hukum, hanya sebagai otak dan pengatur, bukan pelaksana, namun dialah tokoh utamanya, Big Boss daripada dunia hitam (dunia penjahat) di Semarang. Mungkin sekali pelempar belati di Triwindu tadipun anak buah Wiro Gandul. Kemungkinan besar tapi belum pasti karena tidak ada bukti. Ia melempar jauh-jauh urusan Wiro Gandul dari otaknya. Urusan itu sudah ia anggap beres, tinggal menanti hari sidang dimana ia akan menjadi saksi utama dan membongkar semua rahasia kepala penjahat itu. Kini ia menghadapi peristiwa yang lebih sulit. Sebuah misteri yang tidak hanya menggemparkan para petugas di Solo, akan tetapi sekaligus juga menyinggung kehormatannya sebagai seorang Detektif terkenal.
Bayangkan saja! Seorang asing dari Hongkong terbunuh di Solo, didepan hidungnya! Padahal nama Detektif Bharoto sudah terkenal diseluruh tanah-air, bahkan sudah menyeberang ke negeri tetangga karena pernah ia bersama dengan para petugas Interpol (International Police = Polisi Internasional), melakukan pengejaran dan pembasmian terhadap gerombolan penjahat-penjahat internasional di Singapur, Hongkong dan Bangkok. Dan kini, seorang warga negara Hongkong terbunuh di Solo dalam keadaan yang amat aneh. Mayat orang asing itu menggeletak di alun-alun utara, dibawah pohon beringin, baru diketahui pagi hari jam lima. Sudah enam-tujuh jam mati. Lehernya bekas tercekik tali atau kawat, badannya tidak terluka kecuali bibir atasnya robek sedikit. Sehelai saputangan sutera yang harum, jelas saputangan wanita, menggeletak tak jauh dari Mayat itu.
Saputangan itu kini berada disaku celananya, saputangan berdarah. Anehnya, jam tangan Rollex, pulpen Sheaffers, kacamata Lux Night & Day, uang empat belas ribu rupiah dan Lima ratus Dollar Hongkong, surat-surat keterangan, tanda International Driving Licence (Rijbewijs Internasional), masih lengkap berada di dalam saku-saku jas dan celananya. Bukti bahwa pembunuhan bukan berdasar perampokan. Pembunuhan dilakukan dengan menjerat leher, mencekiknya secara kejam, membayangkan hasil kerja seorang pembunuh ulung dan membuktikan bahwa pembunuhan bukan berdasarkan perkelahian atau bentrokan mendadak, melainkan pembunuhan yang sudah direncanakan terlebih dahulu. Yang manambah kehebatan dalam misteri itu adalah kenyataan menurut hasil pemeriksaannya sendiri bahwa bibir atas yang sedikit robek itu masih berbekas... lipstik!
Gila benar, apakah orang itu dibunuh ketika sedang... mencium seorang wanita? Bentuk luka dibibir atas itupun sangat boleh jadi hanya dapat diakibatkan oleh gigitan. Laki-laki asing itu bernama Thomas J. Chia, pedagang yang hendak mencari agen bagi dagangannya, yaitu barang. dari plastik Usianya sekitar tiga puluh lima, seorang laki-laki yang akan menarik hati setiap orang wanita. Tubuhnya jangkung, perawakan atletis (ini membuktikan bahwa pembunuhnya benars jagoan), wajahnya tampan seperti bintang film Hongkong, pakaiannya mewah dan rapi. Ia bermalam di hotel DANA. Seperti biasa semua tourist atau tamu luar negeri kalau datang ke Indonesia, sebuah diantara keinginan hati mereka adalah merasai kendaraan rakjat yaitu becak! Menurut keterangan pengurus hotel, malam hari itu,
Yakni kemarin malam Thomas J. Chia pergi meninggalkan hotel antara jam sepuluh malam, naik becak, membawa sebuah bungkusan yang rapi, bentuknya seperti buku, sebesar dan setehal buku tilpun. Bungkusan inilah yang agaknya menjadi kunci rahasia, kini lenyap, tidak terdapat didekat Mayat. Polisi dikerahkan, terutama mencari tukang-beca yang pada malam hari itu ditumpangi Thomas J. Chin. Hasilnya... si tukang becak ini, namanya Rebo jejaka berusia dua puluh delapan tahun, terdapat mati dengan punggung tertusuk belati. Mayatnya menggeletak ditepi Jalan yang sunyi didekat Silir yang merupakan komplek perumahan bagi pelacuran di Solo. Tidak adanya tanda tapak jari pada tangkai belati pasaran itu membuktikan pula bahwa sipembunuh adalah seorang ahli. Kaki Bharoto menumbuk batu. Ia menyumpah lagi karena hal itu menyadarkannya kembali daripada lamunan.
Tepat disebelah kirinya ia melihat bangunan benar, berpagar tembok dan dipenjuru terdapat sebuah tempat jaga diatas tembok. Penjara! Hemmm, ia menggertak gigi. Aku harus dapat menyeret pembunuh itu kedalam gedung ini! Pembunuhan biasanya cukup menjengkelkan, tapi kalau yang menjadi korban orang luar negeri, selain menjengkelkan juga memalukan. Apa akan kata orang luar negeri? Ia cukup maklum akan bahayanya desas-desus. Akan didesas-desuskan bahwa Indonesia kurang aman bagi para tourist. Ini berbahaya. Indonesia perlu menarik kedatangan banyak tourist, bukan hanya untuk memperkenalkan keindahan Indonesia kepada orang luar negeri, terutama sekali pemerintah akan mendapat penghasilan lumayan dari ini. Dan tentang pembunuhan atas diri orang Hongkong itu, ia akan giat menyelidik untuk membongkar rahasianya,
Untuk menangkap pembunuhnya, untuk mencuci desas-desus bahwa Indonesia, khususnya Solo, bukanlah tempat aman bagi para tourist! Bharoto mempercepat langkahnya, menuju ke Silir. Seringkali ia pergi ke kompleks pelacuran ini, bukan sekali-kali untuk melacur. Biarpun usianya sudah tiga puluhan dan masih membujang, namun ia tidak tertarik hatinya akan pelacuran, sungguhpun hal ini bukan berarti bahwa ia tidak suka akan wanita cantik. itu lain lagi dengan melacur. Setiap kali ia datang ke Silir adalah dengan maksud menyelidik karena ia banyak mendapatkan news (berita) dari sarang pelacuran ini tentang dunia penjahat. la banyak dikenal para wanita pelacur di Silir, banyak dikagumi, bukan hanya karena ketampanannya, bukan karena kebecraniannya, atau karena kehalusan tutur-sapa dan sikapnya maupun karena keroyalannya dalam memberi hadiah,
Melainkan terutama karena sikapnya terhadap para pelacur itu berbeda sama sekali dengan sikap setiap orang laki-laki, yang berkunjung kesitu. Para pelacur merasa mendapatkan kembali harga diri mereka apabila Bharoto bercakap dan berguyon dengan mereka. Bharoto sama sekali tidak meremehkan mereka, kadangkala malah pitutur atau nasihatnya akrab, hangat dan serius. Bharoto mulai mencari keterangan. Ada dua tiga orang pelacur setengah tua, penghuni tetap di Silir, yang secara rahasia menjadi pembantunya. Dari mereka inilah ia seringkali mendapatkan keterangan yang amat penting tentang penjahat-penjahat yang diselidikinya. Akan tetapi kali ini Bharoto tidak mencari keterangan tentang penjahat tertentu, melainkan mencari keterangan tentang orang asing.
"Adakah dalam dua-tiga hari ini orang luar kota yang datang kesini?"
Akhirnya ia mendapat keterangan yang diharapkan. Ada dua orang laki-laki dari Jakarta berkunjung kesitu, dua malam yang lalu. Seorang laki-laki tampan jangkung keturunan Tionghoa dan seorang lagi setengah botak, berkumis tipis, tubuhnya gemuk pendek, royalnya bukan main, menghamburkan uang seperti pasir saja.
"Bapak tanya saja kepada Wiwin, dialah yang melayani mereka,"
Kata seorang pembantunya. Wiwin adalah seorang pelacur yang cantik molek, dua puluh lima tahun usianya, seorang janda muda, seorang diantara mereka yang terjerumus kedalam pelacuran karena ingin hidup mewah dan senang. Tubuhnya ramping padat, make-upnya tidak berlebihan akan tetapi andaikata tanpa make-up sama sekalipun, wajahnya yang ayu dan kulitnya yang kuning langsat itu cukup untuk meruntuhkan hati setiap orang laki-laki apalagi golongan hidung-belang.
"Mas Bhar...!"
Wiwin menyambut Bharoto dengan panggilan manja. Memang sudah lama setiap kali bertemu, Wiwin selalu berusaha merayu Detektif yang tampan ini. Dengan sikap manja dan genit Wiwin menggandeng tangan Bharoto, ditariknya kedalam ruangan tengah dan dipersilahkan duduk.
"Win, aku mau bicara denganmu, penting,"
Kata Bharoto, hanya tersenyum ramah menghadapi kemesraan penyambutan Wiwin.
"Eh, betul? Disini? Dikamarku? Urusan pribadi kali ini, ya mas?"
"Hush, jangan berkelakar. Aku belum sempat untuk itu. Urusan penting, Win, hajo ke kamarmu saja."
Wiwin tertawa-tawa, menggandeng tangan Bharoto dan berjalan menuju kekamarnya sambil menyandarkan kepalanya dengan sikap manja kepangkal lengan yang kuat itu. Pintu kamar ditutup dari dalam tapi tidak dikunci, malah dibuka sedikit agar dari dalam Bharoto dapat mengintai keluar, kalau ada yang ikut mendengarkan mereka. Wiwin duduk diatas, tempat tidur bersprei kain merah jambu dengan bantal bersarung kembang bordir.
"Gerah, ya Mas Bhar?"
Wiwin mulai beraksi dengan rayuannya.
"Hiss, jangan buka bajumu. Dengar, Win, aku tidak main-main, ini sungguhan. Aku ingin mencari keterangan darimu tentang dua orang Jakarta yang datang kesini dua malam yang lalu. Bagaimana?"
Mendadak bersungguh pula sikap Wiwin. Perempuan ini cukup lama mengenal Bharoto. Ia menarik napas panjang, jelas tampak hidung yang mancung dan berlubang tipis itu berkembang-kempis dua kali.
"Ah, Mas Bhar, tak dapatkah kau sedetik saja berhenti menjadi Detektif dan kembali menjadi laki-laki? Kau maksudkan si jangkung dan si pendek itu? Wah, mereka hebat!"
"Royal memberi hadiah?"
"Bukan main. Ibu Jijem akan cepat makmur kalau setiap malam datang tamu seperti mereka. Birnya saja habis delapan botol! Mereka gila. Aku diperebutkan sampai mereka hampir cekcok!"
Jelas kelihatan Wiwin bangga.
"Apa di Jakarta tidak ada yang seperti aku?"
"Kau memang jelita, Win, jarang orang seperti kau."
Bharoto mengangkat.
"Lalu bagaimana? Siapa diantara mereka yang mendapatkan kau akhirnya?"
"Agaknya si pendek itu lebih berkuasa, si Oom (sebutan umum untuk orang Tionghoa) jang-kung itu mengaiah. Si jangkung itu lebih gagah tapi si pendek ini orangnya lucu."
"Juga seorang keturunan Tionghoa?"
"Bukan, tadinya kusangka orang Arab. tapi kiranya bukan. Dia bilang berasal dari Malaysia. Kantongnya padat!"
"Hemmm, katakan terus terang Win, apakah mereka tidak bicara sesuatu tentang... Hongkong. Atau barangkali pernah menjebut nama Thomas atau Chia?"
Dahi yang halus itu dikerutkan, Wiwin mengingat-ingat. Dasar genit, mengingat saja memakai gaya, menggigit kelingking kiri sehingga tampak deretan giginya yang kecil dan putih. Kemudian ia menggelengkan kepalanya, membikin Bharoto kecewa.
"Apa saja yang dikatakan si gendut itu kepadamu?"
Ia mendesak, haus akan sesuatu yang kiranya menarik. Wiwin terkekeh dan mengerling genit.
"Semuanya yang dikatakan kepadaku? Hi-hik, betulkah harus kuulangi semua, Mas Bhar? Dia bilang aku... eh, byutipul (beautiful-cantik), nais dan lapli begitu aku lupa lagi dan dia bilang..."
"Cukup, Win."
Bharoto menyetop untuk mencegah perempuan itu menceritakan hal-hal cabul.
"Yang kumaksud, apakah tidak bicara sesuatu yang janggal kedengarannya?"
"Ah, ingat aku. Memang kudengar percakapan mereka pada saat mereka hendak pulang. Si jangkung berkata begini. Besok kita kesini lagi. Si gendut itu menjawab, suaranya agak marah. Bodoh kau, tempat seperti ini berbahaya. Begitulah, Mas Bhar. Kuanggap percakapan itu biasa saja."
Bharoto mengangguk lalu ia mencatat dalam otaknya penggambaran Wiwin tentang wajah dan bentuk tubuh kedua orang itu.
"Terima kasih, Win. Nih, untukmu."
Bharoto mengeluarkan lima helai uang ratusan. Wiwin menerima uang dan seperti tukang sulap yang pandai uang itu ia lenyapkan dibalik pembungkus dada yang membusung.
"Mas Bhar..."
Dipintu Bharoto menoleh, melihat Wiwin menengadahkan muka menunjuk bibir yang dicibirkan. Bharoto tersenyum menggeleng kepala. Bibir yang mencibir itu berubah merengut.
"Mas Bhar, kau ini manusia ataukah mesin? Bertahun tahun mengenalku, masa mencium satu kali saja tidak mau?"
"Terima kasih, Win. Selamat malam."
Bharoto lenyap ditelan gelap, lalu bersicepat meninggalkan Silir dengan para pelacurnya yang lebih seratus orang jumlahnya itu. Bharoto sengaja tidak naik becak. Ia mengayun langkah cepat-cepat seperti orang tergesa-gesa, kemudian setibanya di jalan sunyi yang diapit sawah, ia memperlambat langkahnya. Malam gelap, hanya diterangi bintang yang bersaing elok dilangit, seperti intan-intan diatas beledu hitam.
Dari cermin kecil yang terpasang disebelah dalam tangkai kacamatanya, Bharoto dapat melihat bahwa bayangan itu masih terus mengikutinya semenyak dari Silir tadi, malah kini melangkah cepat mengejarnya. Ia tersenyum mengejek. Inikah pembunuh tukang becak? Ditempat ini pula tukang becak itu dibunuh, dengan tusukan belati yang menembus punggung. Hendak ku lihat apakah dia akan menusukku dengan belati pada punggung pula, pikirnya. Bharoto memang terkenal akan ketabahannya. Ia termasuk seorang berdarah dingin, sedikitpun tidak berkedip menghadapi ancaman yang bagaimanapun. Tapi ia pun seorang seniman, atau katakanlah seorang yang cinta akan seni dan keindahan. Buktinya darah yang dingin itu tiba-tiba dapat bergolak panas apabila ia melihat scsuatu yang indah, yang membuatnya menjadi romantis dan sentimental!
"Mas, berhenti dulu."
Tiba-tiba bayangan dibelakangnya itu berkata. Bharoto mcnoleh.
"Ada apa?"
"Minta apinya... pinjam korek apinya."
Jarak diantara mereka tinggal satu meter lagi. Bharoto menjembunyikan senyum ejekannya. Akal bangsat cilik, pikirnya.
Akan tetapi ia melayani saja, tangannya dimasukkan kedalam saku celana, bukan hanya sebelah, malah kedua-duanya, agaknya memberi kesempatan sebanyaknya kepada orang itu. Benar saja, secepat harimau menerkam, orang itu sudah mengayun pisaunya kearah lambung Bharoto yang kedua tangannya sedang menggerajangi saku mencari korek api. Karena memang sudah siap-siaga, kaki Bharoto bergeser, kedudukan tubuh secepat kilat sudah berubah dan tusukan maut itu menyambar lewat dipinggir tubuhnya. Seperti dua ekor ular-senduk dari India, kedua lengan Bharoto menyambar, yang kanan menangkap pergelangan tangan pemegang pisau, yang kiri mencengkeram pundak, tubuh itu diputar sedikit, lengan ditekuk kebelakang dengan gentakan cepat dan bertenaga, meminjam tenaga tusukan tadi yang belum habis dan,
"Krekkk... aduhhh...!"
Lengan tangan penyerang itu menjadi lumpuh karena tulang lengan yang bersambung dengan pundak terlepas oleh tekukan kebelakang tadi. Lengan itu bergantung lepas seperti daun pintu patah engselnya. Pisau terlepas jatuh ke tanah.
"Dessss! Ngekkk!"
Sebuah pukulan dengan tangan miring dan jari terbuka mendarat disisi tengkuk disusul lutut diangkat memasuki perut. Penjahat itu jatuh terduduk, berlutut sambil mengerang kesakitan karena tiba-tiba ia melihat segala bintang dilangit itu melayang turun menimpanya, sedangkan perutnya menjadi mulas seperti orang kebanyakan (terlalu banyak) makan rujak! Bharoto mengeluarkan lampu senter dari sakunya, menjambak rambut dan memaksa lawannya berdongak lalu menyoroti muka itu.
"Eh, kau Kecik!"
Ia benar-benar terheran dan juga amat kecewa mengenal penyerangnya. Bajingan kecil Singosaren
"Ampun, Pak Bharoto... Saya mohon ampun..."
"Setan alas! Hajo mengaku sejujurnya, siapa yang menyuruhmu!"
"Ampun, Pak Bharoto... saya butuh uang... terpaksa menerima tugas ini dari Pak Wiro Gandul."
Bharoto menyumpah. Tak salah dugaannya. Kecik ini termasuk seorang bajingan yang terpengaruh oleh Big Boss dari Semarang itu, maka. tadi sekali melihat ia sudah menduga begitu dan ia kecewa karena tadinya ia mengharapkan untuk bertemu dengan pembunuh tukang becak, atau lebih baik lagi, dengan pembunuh Thomas J. Chia.
"Berapa kau dapat upah?"
"Hanya... sepuluh ribu, pak. Baru diberi lima ribu, yang lima ribu sesudah... sesudah berhasil..."
"Uh, bedebah kau. Nyawaku hanya dihargai sepuluh ribu? Murah amat!! Keluarkan uang itu."
Dengan jari-jari tangan gementar Kecik mengeluarkan setumpuk uang, tinggal empat ribu delapan ratus. Cepat Bharoto menghitung, melempar yang delapan ratus kepada kecik.
"Nah pergilah, kau kuhargai empat ribu. Tapi lain kali, aku benar-benar akan mematahkan kedua lenganmu sehingga takkan dapat kau pergunakan lagi! Minggat!"
Setengah merangkak Kecik pergi dan menghilang dalam kegelapan malam. Tak seorangpun menyaksikan peristiwa ini, kecuali mereka berdua dan bintang-bintang dilangit. Bharoto melanjutkan perjalanannya, tersenyum-senyum. Bajingan-bajingan macam Kecik itu memang paling sukar disadarkan kembali. Seandainya barang, sudah bobrok, tak dapat dirusak atau diperbaiki kembali.
Berapa kali sudah dijebloskan penjara, hanya dianggap sebagai peristirahatan belaka. Keluar penjara mengulang lagi pekerjaan lama, malah lebih berpengalaman, mencopet, mencuri, menodong atau memeras. Empat ribu rupiah, lumayan untuk biaya penyelidikan. Uang itu dikeluarkan Wiro Gandul untuk membeli nyawanya. Dia menang, tentu saja dialah yang berhak menerima uang itu. Bharoto tertawa kini, mentertawakan Wiro Gandul. Akan kusindirkan saal harga nyawaku ini dalam sidang pengadilan nanti. Tunggu saja kau, Wiro Gandul! Akan tetapi kegembiraannya segera lenyap ketika ia mengalihkan pikiran kepada misteri yang ia hadapi sekarang. Pembunuhan orang Hongkong dan tukang becak terang ada hubungannya, dan ini masih merupakan rahasia. Gadis bergaun merah itu, dan dua orang Jakarta yang mengunjungi Silir! Siapa mereka itu dan adakah hubungannya dengan semua ini?
"Becak! Antarkan aku kesana, ya? Kerumah Pak Inspektur Sarjito."
Tukang becak mengenal Bharoto, tersenyum ramah dan hormat, lalu menjalankan becaknya yang ditumpangi Bharoto menuju kerumah Inspektur Polisi bagian Kriminil (urusan kejahatan).
"Ah, kaukah, Bhar? Masuk!"
Memang tidaklah aneh bagi Inspektur Sarjito pada malam hari hampir jam sepuluh itu kedatangan seorang tamu kalau tamunya itu Bharoto. Pernah Detektif muda ini menggedor rumahnya pada jam tiga pagi. Inspektur berusia limapuluhan, bertubuh gemuk tapi gerakan-gerakannya gesit itu tersenyum lebar ketika melihat wajah Bharoto yang tertutup awan.
"He, kenapa kau? Murung agaknya."
Bharoto membanting tubuhnya diatas kursi kuno yang lebar, dalam dan empuk mendut-mendut itu, menarik napas lega. Nyaman rasanya duduk beristirahat disitu, ditempat yang mendatangkan rasa aman tenteram.
"Terus terang saja, mas. Aku minta petunjuk, minta sekedar penerangan darimu tentang misteri ini."
Inspektur Sarjito tertawa, dan baru berhenti tertawa ketika pelayannya mengeluarkan dua cangkir kopi, mengaturnya diatas meja dengan sikap sopan dan halus, lalu mengundurkan diri, mundur dulu baru membalik setelah menjauhi meja, langkahnya kecil menimbulkan bunyi sripit-sripit, khas puteri Solo. Apa-apaan kau ini, Bhar! Biasanya kau yang menambahi bahan penyelidikan untuk kami, masa malam ini kau malah membutuhkan keterangan dariku?"
"Betul, mas. Aku sudah lelah, urusan ini memeningkan kepala, bukan karena sukarnya, melainkan karena waktu yang mendesak. Kalau panjang waktunya, aku berani bertaruh sebanyak sebulan gajihmu bahwa aku tentu akan dapat membongkarnya. Akan tetapi kali ini kita harus bergerak cepat. Ingat akan prestige (nama baik), mas."
"Kau betul, Bhar."
Inspektur itu bicara sungguh-sungguh.
"Siang tadi aku sudah mendapat kontak langsung dengan Semarang dan Jakarta yang mendesak supaja peristiwa ini segera dapat dibikin terang."
"Nah, itulah. Maka kuharap kau jangan kikir, mas. Ada kabar baru yang pentingkah?"
"Tidak banyak. Hanya ini, Tukang becak itu sebelum meninggal, sempat mengiggau bahwa ia mengantarkan Thomas J. Chia ke alun-alun utara dan disana ia melihat orang Hongkong itu bertemu dengan seorang perempuan berpita rambut merah yang ia kira pelacur, dan mereka itu bicara dalam bahasa asing. Hanya inilah isi igauan tukang-becak itu sebelum ia... Heee, Bhar kemana kau?"
"Selamat malam, mas, aku akan mencari si pita kuning itu..."
"He, nanti dulu, ini kopinya minum dulu!"
"Trims! Sudah tadi, di Silir!"
Teriak Bharoto dari luar pagar. Inspektur Sarjito menggeleng kepalanya yang sudah beruban, kemudian ia menghirup kopi dalam dua cangkir itu berturut-turut sampai habis. Alangkah banyaknya macam peristiwa kejahatan yang ia hadapi selama dinasnya puluhan tahun ini, akan tetapi lima tahun terakhir ini bebannya terasa ringan setelah Detektif Bharoto muncul dan dalam caranya yang aneh dan kadang ugal-ugalan membongkar rahasia-rahasia yang sulit.
Bharoto terus pulang. Keterangan Inspektur Sarjito tadi membuat semangatnya melayang-layang. Kira-kira dara bergaun merah itu benar-benar mempunyai hubungan dengan peristiwa ini! Pantas saja senyum dan kerlingnya bicara banyak. Jadi pelemparan belati di Triwindu itupun ada hubungannya dengan peristiwa ini, terpisah sama sekali daripada persoalan Wiro Gandul. Hal ini berarti bahwa ia menghadapi gerombolan penjahat yang lain lagi, yang agaknya tidak menghendaki ia melanjutkan penyelidikannya tentang kematian Thomas J. Chia. Hatinya tergetar kalau timbul dugaan apakah si gaun merah itu sendiri yang melemparkan belati? Kalau betul dia... wah, serem juga. Sayang dong, begitu cantik-jelita dengan bentuk body yang... hemmmm!
"Lit! Alit...! Wah, sudah ngorok kau ya?"
Bharoto menggedor pintu rumahnya. Terdengar suara orang menguap dari dalam. rumah kecil itu dan pintu depan tiba-tiba terbuka tanpa ada yang menyentuhnya. Bharoto melangkah masuk dan pintu tertutup sendiri. Memang rumah Bharoto ini biarpun hanya kecil sederhana, namun penuh dengan alat-alat rahasia. Hanya dengan menekan tombol saja pintu depan itu dapat dibuka atau ditutup tanpa si penghuni turun dari tempat tidur.
Saputangan Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lit! Pemalas kau! Orang keluyuran setengah mampus, kau enak-enak ngorok dirumah!"
Mendengar namanya, Alit (kecil), orang tentu mengira dia itu seorang yang bertubuh kate.
Akan tetapi sama sekali bukan orang bertubuh kecil, dan sama-sekali bukanlah orang kate yang muncul dari kamar tidur menyambut kedatangan Bharoto sambil mengusap-usap dan merentang-rentangkan kedua lengan keatas kepala itu. Seorang raksasa malah, kepalanya seperti segi-empat bentuknya, gundul kelimis. Telinganya, telinga boxer (petinju), tengkuknya setebal tengkuk sapi Madura, dan wajahnya mengingatkan orang akan wajah petinju Negro Cassius Day dari Amerika. Alis tebal, mata lebar bersinar terang dan penuh kejujuran, hidungnya agak pesek, bibirnya tebal, dagunya lekuk. Muka yang secara jelas membayangkan kejujuran dan kekerasan seperti biasa terdapat pada muka orang yang kuat luar biasa badannya. Tubuh yang terbungkus kaus kutang dan celana dalam itu memang benar-benar tubuh yang memiliki kekuatan hebat, seperti tubuh yago gulat atau yuara angkat besi.
"Heh-heh, kau datang-datang ngamuk Bhar, mampir kemana kau tadi? Jangan-jangan kemasukan setan!"
Alit yang bertubuh raksasa itu menegur tertawa lebar sambil meng garuk-garuk kepalanya yang tak berambut. Dia adalah pembantu Bharoto yang amat setia, pembantu dan juga sahabat sehidup semati. Dia bukan seorang Negro sungguhpun ada persamaan dengan bangsa berkulit hitam itu. Memang ayahnya seorang Negro, tapi ibunya Indonesia. Jadi dia seorang berketurunan Negro dan ia bangga akan ini, bangga akan tubuhnya dan kekuatannya yang memang patut dibanggakan itu.
"Kalau memang ada setan, kaulah itu."
Bharoto mencela, mengeluarkan dua buah benda yang diayun keatas meja. Cappp! Gagang dua buah pisau belati bergoyang-goyang ketika dua buah senjata runcing itu menancap dipapan meja. Lalu Bharoto menghempaskan diri diatas tempat tidurnya yang berada disudut kamar, jauh dari tempat tidur Alit. Ia tidak sanggup tidur didekat kawannya yang dalam tidurnya suka mengorok seperti kerbau disembelih itu, belum lagi kaki-tangannya yang besar-besar seperti kaki gajah itu bergerak menimpa kesana-sini.
"Wah, darimana kau mendapatkan mainan ini?"
"Yang sebuah dengan gagang hitam itu di Triwindu, terbang melewati telingaku. yang bergagang kuning itu dijalan sunyi dekat Silir, kurenggut dari tangan Kecik."
Keterangan ini cukup bagi Alit yang sudah tiga tahun lebih selalu mendampingi Bharoto dalam petualangannya menentang kejahatan.
"Wah, wah. Sayang sekali Aku tidak ikut tadi. Sejauh itukah Wiro Gandul berusaha melenyapkan kau agar tidak dapat hadir menjadi saksi?"
"Bukan..., bukan Lit. Memang Si Kecik itu kaki tangan Wiro Gandul, akan tetapi itu urusan kecil, ada urusan yang lebih menarik dan kau tahu, sampai sekarang aku masih belum dapat menduga siapa pelempar belati di Triwindu. Ada tugas, Lit, malam ini juga."
"Piuuuw, bagus! Kedua tanganku sudah gatal-gatal tidak mencium kepada pencoleng-pencoleng, Kemana?"
Sekaligus bangkit semangat Alit dan ia sudah mulai mengenakan kemeja, celana panjang, dan sepatu hitamnya sengaja dibuatkan toko sepatu untuknya karena ukurannya tidak lumrah. Dengan singkat Bharoto menceritakannya tentang dua orang Jakarta yang diselidikinya di Silir tadi. la menggambarkan wajah dan potongan dua orang itu seperti yang didengarnya dari Wiwin.
"Kau cari jejak dua orang itu, Lit. Mereka mencurigakan. Juga orang-orang seperti itu amat cerdik, mungkin tidak terdapat di losmen-losmen besar, kau boleh mencoba di losmen gelap. SeIidiki siapa nama mereka, darimana dan apa yang mereka kerjakan di Solo. Mereka benar-benar licin, bahkan Wiwin sendiri tidak dapat mengetahui nama mereka."
"Oke, Bhar. Kau boleh tidur sekarang, biarlah aku yang ngalong (keluyuran malamseperti kalong)."
"Enak saja tidur. Tugasku Iebih berat daripada tugasmu, tahu? Aku takkan mengaso sebelum misteri ini kupecahkan. Kalau sudah selesai, jangan mencari aku, tunggu saja disini.
"Sampai dunia kiamat!"
Alit berkelakar dan sebentar kemudian ia sudah menyelinap keluar rumah melalui sebuah pintu rahasia disamping. Bayangan tubuhnya yang besar lenyap tertelan kegelepan malam. Bharoto sejenak duduk berpikir. Tugasnya adalah mencari si gaun merah. Dara manis itu merupakan tokoh penting dalam penyelidikannya. Betulkah seperti ia katakan secara berkelakar kepada Alit tadi bahwa tugasnya lebih berat?
"Mungkin, siapa tahu?"
Ia menjawab pertanyaannya sendiri ketika kakinya melangkah keluar dari rumah, juga dari pintu rahasia di samping rumah yang dapat tertutup sendiri ketika la meraba lekukan dinding disudut rumah itu. Tubuhnya terlindung jas hujan yang Iehernya ia tarik keatas. Jam tangannya menunjukkan waktu telah jam enam pagi ketika Bhaloto bangun dari tidurnya. Ia terpaksa tidur sambil duduk dikursi, mengintai dari tempat gelap keilka menemukan tempat bermalam sigaun merah. Pada buku tamu hotel ia melihat tulisan tangan indah. Eva Srimurti dari Jakarta. Nama yang indah. Tapi kamar nomor sebelas itu tutup terus. Tak mungkin mengganggunya. Terpaksa menanti sambil tidur diatas kursi, mengintai ditempat gelap. Pengurus hotel diusirnya, dilarang memperlihatkan diri, kuatir menimbulkan kecurigaan.
"Gila, kesiangan!"
Bharoto meloncat dari kursinya. Ia manusia biasa, tak kuat menahan kantuk. Ia tertidur dua jam lebih. Cepat menghampiri kamar sebelas, mengincar lubang kunci pintu. Berlubang. Berarti kosong. Kalau orangnya didalam, kuncinya tentu akan menutupi lubang kunci.
"Sialan!"
Gerutunya, cepat mencari dan mengetuk kamar pengurus yang ternyata sudah bangun.
"Pergi kemana penghuni kamar sebelas?"
"Setengah enam tadi saya lihat dia keluar, pak. Entah kemana, naik becak."
"Bawa barang?"
"Tidak membawa apa-apa."
Bharoto kembali ketempat pengintaiannya Siapa tahu, kelalaiannya tadi malah menguntungkan. Kalau di pikir-pikir, belum dapat diketahui apakah dara itu benar-benar tersangkut. Kalau ia terlalu mendesak, mungkin malah menimbulkan kecurigaan. Sebaliknya, jika dibiarkan saja dan dara itu tidak melihat dirinya diawasi, boleh jadi malah akan lengah. Siapa tahu. Akan tetapi menanti sampai hampir jam sembilan, orang yang dinanti dan diintainya tak kunjung datang. Habis kesabarannya.
Jangan-jangan burung itu sudah terbang. Teringat ia akan akal bulus dengan lampu-belakang Scooter. Apakah kali ini ia ditipu lagi mentah-mentah semudah itu? Menurut pengurus, gadis bernama Eva Srimurti itu tidak mempunyai Scooter, tapi seorang laki-laki memang pernah datang membawa Scooter merah dan mereka berdua pergi berboncengan. Sayangnya sipengurus hotel tidak ingat lagi bagaimana macamnya laki-laki berScooter itu. Bharoto menghampiri pintu kamar sebelas yang sunyi dan yang letaknya menyendiri dibelakang, berjajar dengan kamar sembilan, sepuluh yang kosong. Dikeluarkannya serenteng kunci dari saku jas hujannya. Kunci yang aneh dan sederhana bentuknya, akan tetapi jangan dipandang ringan kunci-kunci ini karena biarpun macamnya hanya tujuh buah, dengan kunci-kunci yang tujuh buah ini Bharoto dapat membuka pintu-pintu dengan puluhan macam kunci!
"Ah, kunci hotel begini, apa sih sukarnya?"
Bharoto mencibir dan menggunakan tangan kiri untuk membuka daun pintu dengan sebuah di antara anak kunci istimewa. Tiba-tiba tangan kanannya bergerak secepat kilat mencabut pistol otomatis dari sakunya, akan tetapi urat-uratnya menegang ketika ia mendengar suara halus nyaring.
"Kukira kunci-kunci itu tidak ada yang cocok, Tuan. Baiklah dibuang saja dan... angkat tangan!"
Agaknya takkan sukar baginya untuk menggunakan gerak cepatnya mendahului lawan dengan semburan peluru dari pistolnya. Tak percuma ia mendapat julukan juara tembak gaya bebas, Akan tetapi suara itu melumpuhkannya, Betapa dapat ia menggunakan peluru pistol mengalahkan seorang wanita? Apalagi ketika dari cermin kecil digagang kacamatanya ia melihat dara manis bergaun merah! Sambil menoleh ia melepaskan pistol dan rentengan anak-kuncinya, lalu mengangkat kedua lengannya keatas, Dara itu bergaun merah.
Pita rambutnya pun merah. Dipagi hari kulit yang membayang keluar dari gaun merah itu tampak makin putih menguning. Matanya yang lebar bersinar bening, bibir yang menantang itu lembut. Tapi tangan yang memegang pistol wanita otomatis itu amat tetap, sedikitpun tidak bergoyang. la tersenyum. Aduh manisnya! Bharoto mengeluh. Kalah madu murni cap kembang! Sekarangpun, tanpa pistol ditangan, kalau ia mau, dapat saja ia menyuruk kedepan menerjang lawan arah kakinya. Tapi tak mungkin pula hal ini ia lakukan terhadap seorang wanita, apalagi wanita seperti dara gaun merah ini. Dengan pandang mata dan mulut pistol tetap menghadap Bharoto, dara itu mengeluarkan anak-kunci, dengan tangan kiri membuka daun pintu, lalu menodongkan pistol kepunggung Bharoto.
"Masuklah, bukankah sejak tadi kau ingin memasuki kamarku, tuan?"
Bharoto tersenyum.
"...An odd invitation, Miss (sebuah undangan yang lucu, nona)..."
Dara itu hanya tersenyum mengejek. Bukan main manisnya bibir itu kalau begini, bibir bawah yang lembut penuh itu melebar diujung kiri. Mata Bharato dibalik kacamatanya seakan-akan lengket pada bibir itu dan tak disadarinya ia menelan ludah.
"Well..., apa kehendak anda dengan percobaan membongkar pintu kamar saya?"
Dara itu bertanya setelah mengunci daun pintu dari dalam. Ia memberi isarat dengan pistolnya supaya tamunya duduk, sedangkan dia sendiri dengan lutut kanan agak ditekuk, membayangkan sikap berdiri dalam pose terlatih seorang mannequin (peragawati). Tapi tangan yang menggenggam pistol itu betul-betul tangan ahli pula. Bharoto kembali tersenyum, diam-diam kagum.
Dara ini tampaknya belum lewat dua puluh lima tahun usianya, akan tetapi benar-benar memiliki banyak bakat dan keahlian disamping segi-segi indah. la sudah menjatuhkan dirinya keatas kursi dan dari tempat duduknya ia menikmati penglihatan Serba merah jambu didepannya. Wajah hampir tanpa make-up (riasan), perhiasan hanya jam tangan, tindik mata mirah. Sederhana sekali akan tetapi malah menonjolkan keluwesan dan kemanisan yang menggunung-gula. Rambut sampai kepundak bebas lepas, hanya dibantu pita merah yang membuat kehitaman rambut makin menyolok. Mata dan bibir itu! Seakan-akan menarik, membujuk dan menantang. Body yang penuh padat membuat gaun itu seakan-akan menempel ketat. Wajah, delapan. Body, delapan setengah. Kaki dengan betis memadi-bunting itu, sembilan! Tapi pistol itu, terlalu tepat mengarah dada kiri, jantung!
"Selamat bertemu kembali, nona."
Ia mendahului ketika gadis hendak mengulang pertanyaannya. Kembali senyum itu dengan bibir melebar sebelah, Ampun ya Tuhan, keluh Bharoto, kenapa hati ini menjadi begini melihat bibir itu? Dialihkannya pandang matanya, namun tak kuasa, kembali matanya bergantung pada bibir itu.
"Semalam di Triwindu?"
Suararja tetap halus, tapi mergejek sekali. Panas juga perut Bharoto.
"Kau kira cukup pandai ya dengan permainan lampu belakang Scooter itu? Huh, buktinya saya dapat mengejar kesini,"
"Kau memang ulung dalam hal mengejar gadis,"
Kembali senyum mengejek.
"Memang patut menjadi Don Yuan. Sekarang katakan, apa kehendakmu mengejarku?"
"Bukankah tadi sudah kau katakan, nona? Apakah impian seorang Don Yuan kalau ia mengejar seorang nona secantik bidadari?"
Bharoto memasang senyumnya, senyum jantan yang biasanya mudah meruntuhkan keangkuhan wanita, Agaknya ia berhasil. Dara itu seakan termenung menatap wajahnya. Memang dari wajah dan pribadi Bharoto tersinar pengaruh aneh yang membuat la selalu mendapatkan tempat dalam hati wanita, Buktinya, pistol itu agak menunduk, tidak lagi mengincar jantungnya.
"Hemm, sebagai seorang Don Yuan, anda boleh juga, cukup sigap dan gagah, Dua kali anda berhasil terbebas daripada cengkeraman maut. Hemmm, cukup mengagumkan."
Bharoto tersenyum, masih bingung menaksir-naksir apa arti perubahan sikap dara itu.
"Belum cukup tangkas, Miss, buktinya mudah saja kalah oleh kelicinanmu."
Bibir itu tersenyum, kini mata lebar itu bersinar-sinar mempelajari garis-garis muka Bharoto yang tampan.
"Tanpa kacamata kau akan kelihatan Iebih tampan dan muda,"
Suaranya kini halus berbisik. Bharoto mengangkat alis, tapi ia segera menggunakan kedua tangan yang, diangkatnya keatas itu untuk menanggalkan kacamatanya, lain memasukkan kacamata itu disaku bajunya. Semua ini ia lakukan dengan perhatian tak lepas sedikitpun dari sikap dara itu. Agaknya dara itu mulai percaya kepadanya, buktinya kedua tangannya tidak diangkat lagi, tak dilarang dan pistol itu makin menunduk, tidak lagi menodongnya, melainkan lantai yang ditodong. Kalau ia mau... Ah, alangkah mudahnya memutar peranan, tapi ia belum mau, hendak melihat lakon apa yang hendak disutradarai dara denok ini.
"Betul, tampan dan lebih muda, tapi kelihatan... hijau. Eh, tuan yang suka mengejar gadis, siapakah namamu dan polisikah kau?"
Gadis ini tidak pura-pura. Celaka dia, nama Bharoto yang sudah terkenal diseluruh nusantara bahkan diluar negeri, tidak dikenal dikampung sendiri, oleh dara ayu lagi. Sialan!
"Aku Bharoto, bukan polisi... eh, wartawan biasa."
"Hemm, wartawan atau Detektif?"
"Sesukamulah, pokoknya aku merasa bahagia sekali dapat bercengkerama dengan nona yang kukagumi."
"Apa yang kau kagumi?"
"Apanya?"
Bharoto menggaruk-garuk belakang telinganya dan pandangMatanya menjelajahi seluruh badan dara itu.
"Semuanya, dari sepatu merah itu sampai ke pita rambut, semuanya hebat! Nona seperti bidadari saja, hanya yang aku tidak ketahui, apakah dalam tubuh yang seperti Venus itu berisi api ataukah es batu!"
Bibir itu merekah sebelah kirk dan mata itu berseri gembira.
"Apa yang anda duga?"
Bharoto mempergunakan kesempatan ini untuk berspekulasi. Kalau salah terkaannya dan dara ini marah, ia akan menggunakan kekerasan menundukkannya, kalau benar, untungnyalah.
"Nona Eva Srimurti, kalau namamu dibuku hotel ini nama aseli, aku berani bertaruh potong kepala bahwa isi dadamu sepanas kawah merapi, tak mungkin dara berbody dan berwajah sehebat ini berhati dingin. Apalagi namamu Eva, wanita pertama didunia ini. Rela aku menjadi Adam dan mau aku diusir seribu kali dari taman Firdaus."
Dara itu kini tertawa, mengkilap giginya putih rapi.
"Kau benar. Don Yuan, pandai merayu hati wanita."
"Tak senangkah hatimu?"
Pistol itu kini sama sekali tidak ditodongkan.
"Senang sekali dan aku akan memberi upah atas rayuanmu tadi. Apa yang kau kehendaki?"
Bharoto menatap wajah itu penuh perhatian. Jantungnya berdegup. Salahkah pandang matanya yang tak berkacamata lagi itu? Benarkah seperti yang ia lihat bahwa mata dan bibir itu jelas terbakar oleh nafsu? Mata itu meredup sayu, napas yang agak sesak keluar dari lubang hidung yang berkembang-kempis, mulut setengah terbuka. Apakah dara ini tergolong wanita-wanita. hysteric dan man-crazy (gila laki-laki)?"
"Yang kuhendaki, ah, kalau saja mungkin, mencium bibir anda akan membuka pintu sorga..."
Bharoto sengaja memancing, sengaja berlagak ugal-ugalan, tapi sebetulnya tetap dalam keadaan waspada penuh penyelidikan.
"Ahhhh..."
Pistol itu menodong kembali, mata itu menatap tajam. Tapi Bharoto tidak undur, malah balas memandang dengan penuh ketabahan dan kejantanan. Dara itu melangkah maju, berbisik,
"Ciumlah, tapi ingat, pistolku selalu menodong perutmu!"
Dengan sikap lemah-gemulai dan mesra, jauh bedanya dengan ancaman-ancamannya, lengan kiri yang montok halus itu melingkari leher Bharoto, wajah yang manis itu mendekat. Bharoto memejamkan mata sejenak ketika hidungnya menangkap keharuman yang sama dengan saputangan berdarah didalam sakunya.
Parfume (minyak wangi) yang sama. Dara itu menduduki pangkuanya dan ia merasa betapa mulut pistol yang keras dan dingin menempel perutnya. Mengingat ini, sebetulnya tidaklah mudah bagi seorang pria untuk bermain cinta. Akan tetapi Bharoto lain lagi. Dia seorang jantan yang tak berkedip menghadapi ancaman maut. Tanpa sedikitpun mengingat ancaman mulut pistol, ia mencari mulut dara itu dan menciumnya dengan penuh semangat dan gelora hati. Bharoto memejamkan matanya lagi. Tak salah dugaannya. Wanita yang hebat. Wanita beginilah yang dapat merobohkan kerajaan di jaman purba, yang dapat menghancurkan negara dijaman modern. Betapapun tinggi kedudukan seorang pria, betapapun tinggi kepandaiannya, agaknya akan sukar mempertahankan diri dalam peluk-cium seperti ini.
Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo