Ceritasilat Novel Online

Bintang Bintang Jadi Saksi 1


Bintang Bintang Jadi Saksi Karya Kho Ping Hoo Bagian 1




   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Cerita ini dibuat dalam bahasa Jawa, diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Mas Oz...

   Bagian 01

   Cerita ini hanya rekaan, bila ada nama atau karakter yang sama ataupun mirip dengan kenyataan, itu hanya kebetulan semata.

   Pengarang.

   "Yen ing tawang ana lintang, cah ayu,

   Aku ngenteni tekamu.

   Marang mega ing angkasa, ni-mas,

   Sun takokke pawartamu.

   Janji-janji aku eling, cah ayu,

   Sumedot rasaning ati.

   Lintang-lintang ngiwi-iwi, ni-mas,

   Tresnaku sundul wiyati.

   Dek semana janjimu disekseni,

   Mega kartika, yen ta kowe tresna marang aku.

   Yen ing tawang ana lintang, cah ayu,

   Rungokna tangising ati,

   Binarung swaraning ratri, ni-mas,

   Ngenteni bulan ndadari."

   (Jika di langit ada bintang, cah ayu,

   Aku menanti hadirmu,

   Kepada awan di langit, ni mas,

   Aku menanyakan kabarmu.

   Semua janji aku ingat, cah ayu,

   Terputus rasanya hati.

   Bintang-bintang menggodaku, ni-mas,

   Cintaku tak berbatas, setinggi langit.

   Semenjak janjimu disaksikan awan dan bintang,

   Kalau kamu memang mencintai aku.

   Jika di langit ada bintang, cah ayu,

   Dengarkan tangisan hati,

   Resapi suara di malam hari, ni-mas,

   Menanti bulan purnama)

   Sungguh empuk suara yang menyanyikan lagu "Yen ing tawang"

   Tadi. Empuk juga merdu. Apalagi diiringi suara gitar yang dimainkan dengan irama yang enak, petikan yang lembut, suara melodi yang stabil, jelas dan menyentuh kalbu. Harlan memang jago bernyanyi dan handal bermain gitar.

   "Wah, yang lagi sakit hati nih..., aku jadi terbawa sedih mendengarnya, mas Har. Siapa gerangan yang orang kamu tunggu-tunggu tapi tak kunjung datang itu?"

   Harlan yang sedang melamun kontan kaget, menoleh ke arah seorang gadis yang sedang berdiri di depan pagar rumah kost-annya. Kalau tadi jantungnya hanya sedikit berdebar karena kaget, sekarang, setelah melihat dan mengetahui siapa sosok gadis itu, jantungnya benar-benar berdebar dahsyat. Padahal sudah tiga bulan dia kenal dengan Sunarti, nama gadis itu, namun hingga sekarang, tiap kali berpapasan atau bertemu dengannya, entah kenapa jantungnya selalu saja berdebar.

   "Siapa lagi kalau bukan cewek yang sekarang sedang berdiri di depanku terhalang pagar, Ti..."

   "Aih, mas Har gitu deh. Aku gak suka...!"

   Gadis itu langsung memalingkan wajahnya sambil pura-pura marah.

   Jantung di dada Harlan bertambah berdebar. Sungguh membuatnya tambah gemas saat melihat sikap si gadis yang memalingkan wajah sambil menggigit bibir bawahnya seperti itu. Saking gemasnya, ingin rasanya dia mencubit sepuasnya. Gemas seperti halnya seseorang yang mengasuh anak kecil yang cantik menggemaskan. Ingin mencubitnya, dan ingin pula menggigit sayang. Nih cewek kok manisnya minta ampun. Cantik, manis, hingga bikin hati gemas. Entah apa yang membuat Sunarti kelihatan cantik sekali. Entah matanya yang kadang bisa sendu mendayu, kadang pula bisa menatap tajam namun mempesona, membius siapa saja yang bertatapan dengannya, mata yang dinaungi alis melengkung indah bagai hasil pulasan seorang ahli. Entah hidungnya yang mancung, atau bibirnya yang selalu memerah basah tanpa pulasan, ataupun kedua pipi yang kemerahan bagai pipi seorang bayi. E

   ntah bentuk tubuhnya yang semampai dan padat berisi. Entah penggambaran apa lagi yang bisa mewakili sosok sempurnanya di mata Harlan hingga membuatnya jatuh cinta pada gadis yang sudah dia kenal selama tiga bulan ini. Harlan adalah seorang pemuda yang baru saja lulus kuliah hingga mengantongi ijazah dan bergelar Sarjana Pertanian. Baru tiga bulan dia mempraktekkan segala ilmu yang dia peroleh selama bertahun-tahun, menggunakan dan mengamalkannya untuk kemajuan negara dan bangsa. Harlan diperbantukan di Jawatan Petanian, mempraktekkan semua teori bertani modern yang dia punya, menunjukkan cara menanggulangi musuh para petani yang berupa hama dan lain-lainnya. Pendeknya, segala ilmu yang telah dia peroleh di bangku kuliah, dia praktekkan semuanya demi memajukan hasil pertanian sejalan dengan politik BERDIKARI.

   Baru tiga bulan pula Harlan menempati rumah kost-nya yang berada tepat di sebelah kanan rumah Sunarti. Sang pemilik rumah kost-nya bernama Pak Sutardyo, seorang pensiunan kondektur D.K.A. Harlan baru saja mencoba bekerja, mencoba mandiri, lepas dari tanggungan finansial orang tuanya. Dia benar-benar berusaha dari nol. Barang-barang bawaannya saat keluar dari rumah orang tuanya pun hanya beberapa setel pakaian dan buku-buku tebal berupa buku-buku pelajaran hasil dari kuliahnya, serta membawa gitar dan suling. Gitar dan suling merupakan teman setia yang tak pernah terpisah darinya, merupakan teman setia dan pelipur lara saat hatinya sedang merasa kesepian. Sikap Narti masih seperti tadi, melengos sambil menggigit bibir bawahnya dan menyunggingkan senyum yang menawan hati.

   "Maafin aku ya, dik Narti. Aku cuma bercanda kok..."

   Ucap Harlan sambil meletakkan gitarnya dan mendekati pagar yang memisahkan pekarangan rumah Pak Sutardyo dan pekarangan rumah Sunarti hingga kini dia dan Sunarti berdiri berhadapan hanya terhalang pagar tersebut. Sunarti merengut dan menjebirkan bibirnya yang justru membuat Harlan tambah melongo kagum hingga hatinya berkata, Ini bibir kok bisa begini indah ya... tersenyum manis, menjebir pun manis juga, merengut lebih-lebih manis. Benarkah ada yang seperti ini?

   "Oo..., jadi tadi mas Har tidak suka aku datang ya? Berarti aku mengganggu dong... Kalau tadi aku tahu Mas Har cuma akan bicara bohong, tak mau aku ke sini..."

   Sambil bicara begitu, dia melengos dan berlari hendak meninggalkan pagar dan masuk ke rumahnya.

   "Lho...lho...dik Narti, jangan marah dong. Aku benar-benar minta maaf. Aku...aku memang mengharapkan kamu datang kok, dik."

   Demi mendengar perkataan Harlan, seketika Sunarti berhenti berlari dan berbalik berjalan sambil tersipu mendekati pagar kembali.

   "Benarkah?."

   Namun sebelum Harlan menjawab, dia segera membelokkan pembicaraan,

   "Wah, baru kali ini aku mendengar suara nyanyi mas Har."

   Wajah pemuda ini agak memerah karena malu, tapi masih bisa tersenyum dan bertanya.

   "Bagaimana dik, suaraku tidak jelek-jelek banget kan?

   "Enggak... Suara mas Harlan empuk kok..."

   "Empuk...?"

   Senang Harlan mendengarnya.

   "Iya, empuk...dan teduh!"

   Ujar Narti sambil tertawa dengan jemari lentik dan kuku-kuku yang terawat baik menutupi mulutnya. Harlan pun ikut tertawa sampai tergelak.

   "Ha-ha-ha... Bisa aja kamu, dik...Masa suara kok empuk dan teduh, kayak becak aja!"

   Kedua muda-mudi itupun kembali tertawa bersama, terlihat riang gembira.

   "Kamu ini sebenarnya mau menghina. Suaraku jelek, kayak kaleng dipukul. Iya kan?"

   "Beneran kok mas Har. Aku memuji bukan karena orangnya ada di depanku. Ibuku saja tadi senang mendengarnya, sampai-sampai beliau nanyain

   "Siapa sih yang nyanyi itu, suaranya merdu banget."

   Kalau aku dengarkan, suara Mas mirip suaranya Bing Slamet."

   Senangnya hati Harlan mendengar pujian itu. Bayangkan, siapa orangnya yang tidak senang kalau suaranya disamakan dengan suara Bing Slamet yang sudah terkenal merdunya itu? Tapi dia pura-pura tidak senang, sambil menukas,

   "Aah.. jangan mengina dong, dik... Suaraku ini tidak seberapa. Justru kamu..."

   "Aku? Kenapa dengan aku, mas?"

   "Ehm...jangan marah ya?"

   "Enggak akan. Ada apa sih?"

   Tanya Narti sambil meneliti dan menoleh kanan-kiri melihat dirinya dan sekitar tempatnya berdiri, barangkali ada yang salah ataupun terlihat jelek.

   "Kamu itu ke mana-mana kok selalu membawa gula sih?"

   Narti kaget, tidak tahu apa yang dimaksud Harlan.

   "Siapa yang membawa gula, Mas? Maksud Mas apa sih? Aku gak ngerti deh...?"

   "Nah itu sih...sampai-sampai kamu manis banget..."

   "Aih, jangan gitu ah... Mas itu gitu deh..sebel aku! Itu pelem apa pace (buah mangga atau buah pace)?"

   "Pelem apa pace..., maksudnya, dik?

   "Ngalem apa Ngece (memuji apa menghina)...!"

   "Wah, tadi pantun ya? Cerdas banget!"

   "Udah..udah... lebih baik sekarang mas maen gitar lagi, aku yang dengerin."

   Harlan pun segera duduk di bangku, memetik kembali senar-senar gitarnya sambil bernyanyi pelan. Merdu sekali. Langit yang tadi bersih dan terang tanpa awan menaungi, tak terasa sudah ditinggalkan sang surya menuju peraduannya. Bintang gemintang berwarna putih kebiruan di langit sore mulai menggantikan. Di luar rumah suasana sudah mulai gelap, di dalam rumah lampu-lampu sudah mulai dinyalakan. Maghrib pun menjelang. Dua muda-mudi itu saling berpisah, kembali masuk ke rumah masing-masing.

   Baru saja Harlan menghadap meja tulisnya, berniat untuk menyelesaikan pekerjaan tadi siang yang belum sempat diselesaikan berupa surat laporan kepada atasan mengenai masalah hama tikus yang masuk ke desa-desa, tiba-tiba tersentak kaget mendengar suara orang menjerit-jerit,

   "Tolong...! Tolong...!"

   Harlan langsung meloncat dari tempat duduknya dan berlari keluar. Suara minta tolong yang tadinya hanya suara satu orang, sekarang bertambah banyak. Yang membuat hati Harlan bertambah kaget adalah suara orang yang pertama menjerit tadi. Tidak salah lagi, itu suara Sunarti. Bagai burung srikatan dikejar orang, Harlan tergesa-gesa keluar lalu meloncati pagar pembatas kost-annya dengan rumah Sunarti. Sesampainya di situ, sudah banyak orang berkerumun di depan rumah Sunarti. Tahulah dia penyebab ribut-ribut tadi. Ternyata rumah Sunarti kebakaran! Api sudah menjalar ke mana-mana tanpa tahu penyebabnya sudah berkobar hebat. Orang-orang berusaha menolong dengan mengambil air untuk memadamkan api. Dengan cekatan Harlan meloncat mendekati Sunarti yang masih menjerit-jerit di halaman, dipegangi tiga orang. Sunarti meronta-ronta minta dilepaskan,

   "Ibuku...ibuku...Oh...tolonglah ibuku..."

   Jeritnya.

   "Dik Narti, bagaimana? Mana ibumu?"

   Tanya Harlan sambil memegangi kedua pundak Sunarti. Begitu melihat Harlan, tangis Sunarti bertambah keras.

   "Ibu... ada di dapur, mas... oh..bagaimana ini...tolong, mas..."

   Harlan langsung berlari mendekati rumah, baru saja sampai di depan pintu disambut oleh api yang berkobar membesar sehingga dia terpaksa mundur lagi. Orang banyak sama mengingatkan.

   "Sudah tidak bisa, dik. Kobaran apinya besar sekali!"

   Demikian orang-orang mengingatkannya. Ada lagi yang bicara,

   "Jangan-jangan yang mau ditolong tidak bisa tertolong, malah nanti si penolong yang celaka."

   Namun Harlan tidak peduli dengan peringatan orang-orang itu. Tekad hatinya Cuma satu,

   "Ada orang yang tertimpa bahaya, kalau tidak ditolong pasti mati."

   Melihat ada seseorang membawa ember berisi penuh air, langsung direbutnya ember tersebut dan airnya disiramkan ke sekujur tubuhnya hingga dari rambut sampai kaki basah semua. Cekatan bagai bajing loncat, Harlan memburu maju dan meloncat masuk ke rumah, menyerbu api yang berkobar-kobar. Sebentar saja tubuhnya sudah tidak kelihatan sampai orang-orang yang melihat sama tertegun. Kejadiannya begitu cepat, tidak disangka-sangka sama sekali bakal ada seorang pemuda yang nekat berbuat demikian.

   "Mas Harlan...!"

   Sunarti menjerit seketika melihat temannya nekat menerjang api yang begitu besar dan menakutkan. Saking kagetnya dan tak menyangka, Sunarti pun pingsan, lalu digotong orang-orang untuk dibaringkan.

   "Ayo siram terus, jangan bengong saja!"

   Pak R.T. yang ikut membantu memadamkan api, berteriak memberi perintah.

   Orang-orang langsung sadar dari tertegunnya dan kembali berusaha memadamkan api dengan air. Semuanya berdebar melihat rumah yang dilalap api. Tidak ada satupun yang tidak berharap dalam hati mereka, semoga pemuda tadi berhasil menolong ibunya Sunarti, Bu Wirya yang seorang janda. Kira-kira berselang sepuluh menit dari saat Harlan menghilang di dalam rumah yang terbakar. Orang-orang yang masih sibuk menolong menyiram api, tiba-tiba mereka serentak berhenti menyiramkan air saat melihat pemuda yang bersikap gagah tadi muncul dan berloncatan dari dalam rumah lewat pintu samping yang juga sudah dilalap api sambil memondong ibunya Narti. Tubuh keduanya, yang memondong dan yang dipondong, gosong menghitam semua hingga membuat ngeri hati orang-orang yang melihat. Saat itu Narti sudah siuman dari pingsannya. Seketika dia menjerit,

   "Ibu...!"

   Sambil berlari menyongsong.

   Di sisi lain, sesampainya Harlan di depan rumah, dia baru merasakan sekujur tubuhnya sakit semua, panas dan kehabisan tenaga. Bersamaan saat ibu Sunarti dia pasrahkan ke para tetangga, diapun langsung jatuh pingsan.

   Sunarti menangisi ibunya yang telah dibawa ke Rumah Sakit, Harlan yang pingsan pun ikut dibawa untuk diperiksa, namun mereka ditempatkan di ruangan yang berbeda. Kondisi ibu Narti amat mengkhawatirkan. Kulit di sekujur tubuhnya mengelupas, bahkan rambutnya pun ikut habis terbakar sehingga seluruh badannya dibalut perban membuat yang melihat merasa kasihan dan iba hati. Suara yang keluar dari bibir ibunya hanya erangan kesakitan. Dokter yang merawat hanya bisa menggelengkan kepala saat dimintai keterangan tentang kondisi ibunya. Para juru rawat yang tahu bahwa kondisi ibu Sunarti sudah tidak bisa tertolong lagi, membiarkan Sunarti menjaga di samping ibunya. Sunarti menangis sesenggukan sambil meratap pilu, mencoba berbicara dengan ibunya yang dia tahu tidak akan dapat menjawab,

   "Ibu... ibu... bangun bu... ini Narti bu... Narti anak ibu... Bu... jangan tinggalkan Narti sendirian bu... nanti Narti hidup sama siapa bu... Narti takut... takut..."

   Dalam sedu-sedannya dia tidak dapat menyelesaikan kalimatnya karena untuk bernafas pun seakan sulit. Tangan ibu Wirya yang keduanya diperban dan menekuk di atas tubuhnya, bergerak-gerak. Segera Narti mendekatkan tubuhnya dan melihat dengan seksama. Saat melihat bibir sang ibu bergerak-gerak seakan mau bicara, Narti segera bertanya pelan,

   "Minum, bu... Ibu mau minum...? kepala ibunya bergerak sedikit seperti gerakan mengangguk. Di ruangan kecil tempat ibunya dirawat tersebut tidak terdapat air minum karena para juru rawat sudah memperingatkan bahwa ibunya tidak boleh diberi minum. Namun siapakah anaknya yang tega menolak permintaan dari sang ibu yang dalam kondisi demikian? Segera Narti berlari keluar ruangan menuju tempat para juru rawat.

   "Saya minta sedikit air untuk ibu saya..."

   Seorang juru rawat yang paling tua diantara lainnya segera menggelengkan kepala sambil berucap,

   "Kata Dokter tidak boleh, mbak..."

   "Sedikit saja, suster... Aih...kasihanilah ibu saya...tolong berikan air minum sedikit saja..."

   Ratap Sunarti sambil menangis. Para juru rawat hanya bisa saling berpandangan tanpa mampu menjawab karena takut melanggar pesan dokter. Saat itu kebetulan ada seorang dokter yang sedang giliran bertugas lewat di depan mereka, Sunarti langsung segera berlari membuntuti.

   "Dokter... tolonglah saya dok... ibu saya... kasihan banget, beliau minta minum sedikit..."

   Pinta Narti dengan wajah pucat, rambut yang awut-awutan dan keringat yang bercucuran. Dokter yang melihatnya merasa kasihan. Segera dia menuju ke kamar tempat ibu Narti dirawat. Diperiksanya sebentar denyut nadi si pasien, lalu menarik nafas sambil memberi tanda kepada perawat yang tadi juga sempat mengikuti dibelakangnya,

   "Boleh diberi minum, tapi jangan terlalu banyak."

   Alangkah leganya hati Sunarti mendengar perkataan sang dokter, segera dia berlari-lari ke kantor para juru rawat untuk mengambil air teh setengah gelas yang memang telah tersedia di sana, lalu berlari kembali menuju kamar sang ibu. Dengan pelan dan hati-hati, punggung ibunya dia tegakkan sedikit lalu diberinya minum, namun air yang diminumkan lebih banyak yang mengalir keluar dari mulut ibunya dibanding air yang masuk terminum. Nafas sang ibu tersengal dan memberi tanda bahwa sudah cukup dia minum. Lalu oleh Narti dibaringkannya kembali tubuh ibunya. Bibir sang ibu bergerak bersuara lirih, Narti mendekatkan telinganya ke arah mulut ibunya dengan hati berdebar sambil bertanya,

   "Ada apa, bu?"

   Hatinya pilu melihat kondisi ibunya yang demikian mengenaskan.

   "Nar... ti...."

   Susah payah sang ibu berusaha berkata.

   "Ya, bu... saya Narti, bu..."

   Sunarti menimpali tersedu dan keringat bercucuran sambil mengusap pelan kepala sang ibu yang terbalut perban.

   "Narti... Harlan kah... yang... menolong... ibu...?"

   Suaranya amat pelan dan terputus-putus.

   "Betul, bu. Memang mas Harlan yang menolong ibu."

   Bintang Bintang Jadi Saksi Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Saat menjawab demikian, Narti baru teringat bahwa Harlan pun juga sedang dirawat di Rumah Sakit yang sama, dan dia belum sempat menjenguknya karena tidak tega meninggalkan sang ibu yang sedang dalam kondisi seperti itu.

   "Pe... pemuda... itu,... bisa untuk kamu ikuti selamanya... uuuhh..."

   Bagai lampu yang kehabisan minyak, ibunya semakin lemah dan lemas, tak mampu berbicara lagi. Sunarti kaget,

   "Ibu...!"

   Ibunya menggerak-gerakkan bibirnya namun tak ada suara yang keluar.

   "Ibu...!"

   Sebuah tangan menyentuh pelan pundak Sunarti,

   "Sabar, besarkan hatimu, nak..."

   "Pakde...! Ibu kenapa, pakde...! ratap Sunarti lalu menangis.

   "Sudahlah sudah, semuanya sudah ditakdirkan Tuhan. Kita semua hanya bisa menjalankan dan mencoba mengikhlaskan segala kehendak-Nya. Kuatkan hatimu, nak. Pakde baru dengar berita ini tadi pagi dan langsung ke sini."

   Kembali Narti memeluk ibunya yang sudah terkulai, hampir kehabisan cahaya hidup.

   "Ibu... ini pakde, bu..."

   Namun sang ibu tak merespon, matanya meredup, bibirnya sedikit bergerak,

   "Sudah... sudah..."

   Lalu terdiam selamanya, arwahnya telah meninggalkan jasadnya.

   "Ibu...!"

   Sunarti menjerit menubruk tubuh sang ibu, lalu terkulai pingsan, tidak ingat apa-apa lagi.

   "Mas Har, terima kasih banyak ya, mas... mas sudah mau menolong ibu. Ibuku sekarang sudah meninggal, mas. Tubuhnya tidak kuat menanggung luka bakar yang begitu banyak... Itu semua sudah menjadi kehendak Allah. Tapi mas sampai mengorbankan diri sendiri seperti ini... aih, mas Har, bagaimana caraku untuk bisa membalas budi luhurmu ini?"

   Seluruh tubuh Harlan masih diselubungi perban, termasuk wajah. Hanya mata, hidung, dan mulutnya saja yang tidak tertutup perban. Pemuda ini tersenyum lalu tangan yang berbalut perban dari pergelangan ke atas itu meraih tangan Sunarti.

   "Dik Narti, aku turut berduka cita atas ibumu yang terpaksa tak bisa tertolong lagi. Apa yang aku lakukan saat mencoba menolong ibumu, tidak usahlah kamu pikirkan, semua memang sudah seharusnya demikian. Manusia hidup memang harus saling tolong-menolong kan, dik?"

   Penuh iba, Narti memandang Harlan,

   "Tapi sebegitu banyaknya orang, tidak ada satupun yang berani menerobos api yang begitu besar, mas. Tekad mas menolong ibu mengakibatkan pengorbanan yang begini besar..."

   "Sudahlah, dik. Aku menolong ibumu karena berarti aku menolongmu juga, dik. Dan untuk menolongmu, jangankan masuk ke kobaran api, kamu suruh aku menyeberangi laut selatan ataupun kamu suruh aku terjun ke kawah Candradimuka, aku tak akan menolak, tak akan mundur setapakpun..."

   Air mata Sunarti mengalir di kanan-kiri pipi lembutnya,

   "Mas Harlan..."

   Ucapnya lirih sambil mencoba mengusap mutiara bening yang semakin banyak menghiasi pipinya, hatinya tersentuh.

   "Jeng Narti... sebaiknya sekalian saja aku ungkapkan apa yang sudah lama mengendap tersimpan rapi di hatiku... aku kira kamu pun sudah sama merasakannya...bahwa aku...aku sangat mencintaimu. Mencintaimu dengan segenap jiwa-ragaku, jeng..."

   Tangan Sunarti sedikit gemetar namun tetap tak bergerak dalam rengkuhan tangan Harlan. Dua anak manusia tiada yang saling berbicara, hanya saling memandang. Apa yang menjadi isi hati masing-masing telah "terucapkan"

   Lewat sorot mata dan getaran jari-jari tangan mereka yang saling terkait. Adegan itu berlangsung selama beberapa menit.

   "Bagaimana, jeng... aku minta keputusanmu sekarang juga..."

   Sunarti menunduk malu sambil mengusap air matanya. Hatinya berdebar bahagia. Dengan leher yang serasa tercekik oleh binar kebahagiaan, dia menguatkan diri untuk menjawab, suara yang keluar dari mulutnya begitu pelan namun jelas,

   "Aku pasrahkan seluruh jiwa dan ragaku kepadamu, mas..."

   Sungguh sulit diungkapkan kebahagiaan yang menyusup di hati Harlan, bagai orang yang menang lotere, bahkan lebih. Laksana orang kelaparan yang tiba-tiba menemukan sebungkus makanan! Matanya merebak seperti mau menangis, pegangan tangannya begitu erat. Andai tak ingat tata susila dan tak mempunyai rasa hormat yang begitu besar terhadap gadis pujaannya, ingin rasanya dia menarik Sunarti untuk dirangkul dan didekap erat ke dadanya.

   Namun Harlan tidak mau seperti itu. Biarpun dia sudah berpikiran modern, namun dia bisa menata pribadinya sendiri, bisa memilah hal mana yang wajib ditiru dan hal mana yang tidak boleh dan tidak pantas dia lakukan menurut adat kepribadian bangsanya. Yang dia tiru hanya sebatas alam pemikiran modern yang bermanfaat, gagasan-gagasan yang menuju ke arah kemajuan manusia dan bangsa. Dia tidak mau meniru tata susila bangsa lain karena dia yakin negara Indonesia ini justru mempunyai tata susila dan kepribadian yang bahkan lebih baik dan lebih luhur dibanding seluruh bangsa yang ada di dunia. Sehingga diapun mampu mengendalikan nafsu yang sempat menggodanya, dia hanya berucap dengan mata yang berkaca-kaca,

   "Terima kasih, jeng. Demi Allah, aku bersumpah tidak akan menyia-nyiakan kepasrahanmu terhadapku, tujuan hidupku selamanya hanya untuk membahagiakan dirimu, menjagamu, dan melindungimu, jeng..."

   Baru sekarang Sunarti berani memandang Harlan, sorot matanya mengandung penuh harap, permohonan, dan doa semoga semua yang Harlan janjikan akan terwujud. Selang beberapa saat, Sunarti lantas berkata,

   "Mas, aku datang sekarang ini, disamping ingin menjengukmu, juga aku mau minta izin pergi, mas..."

   Terlihat roman kaget di muka Harlan,

   "Pergi? Pergi ke mana, jeng?"

   "Begini, mas... aku diajak pakde Kartika ke Surabaya, diajak pindah ke sana. Karena di Solo ini sudah tidak ada seorangpun yang bisa aku ikuti sehingga pakde dan bude memaksaku untuk pindah ke sana. Kalau tidak dengan mereka berdua, dengan siapa lagi aku akan pasrahkan hidupku sekarang ini, mas?"

   Harlan mengambil nafas dalam-dalam. Kalau dipikirkan secara masak, memang tidak pantaslah seorang gadis hidup sendirian tanpa ada orang lain yang menemaninya. Apalagi dia sudah punya rencana, kalau dia sudah sembuh total dan diperbolehkan keluar dari Rumah Sakit, dia akan langsung meminta orang tuanya untuk mengajukan pinangan terhadap Sunarti. Kalau Sunarti masih tetap di Solo sendirian, siapakah nanti yang akan menjadi walinya? Kalau Sunarti sudah menetap di rumah pakdenya di Surabaya, bukankah lebih mudah dan lebih pantas untuk melamarnya, karena nanti pasti pakdenya lah yang akan menjadi walinya. Setelah berpikir demikian, Harlan lantas berkata,

   "Ya sudah kalau begitu, jeng. Memang seharusnyalah sekarang kamu harus mengikuti dan menuruti apa yang dikehendaki Pakdemu sebagai pengganti orang tuamu. Kalau Pakdemu memintamu untuk berangkat sekarang juga ke Surabaya, kamu harus mau. Akupun sudah hampir sembuh, tunggulah di sana karena tidak akan lama lagi orang tuaku akan datang ke rumah pakdemu untuk melamarmu."

   Sunarti hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala tanpa mampu berucap sepatah katapun, dia terlalu malu untuk diajak berbicara permasalahan pertunangan ini. Sejenak kemudian Sunarti berkata,

   "Sudah ya mas, aku harus segera pulang karena rencananya aku akan naik kereta jam sepuluh nanti. Semoga mas Har cepat sembuh. Dari jauh aku doakan semoga mas lekas diberi kesembuhan dan semoga apa yang....kita rencanakan semuanya bisa terlaksana..."

   "Ee, nanti dulu, jeng."

   Harlan melirik jam yang ada di atas meja samping ranjang.

   "Baru jam setengah sembilan, kamu kok buru-buru banget. Jangan lupa tinggalkan alamat rumah Pakdemu di Surabaya. Kalau tidak tahu alamatnya, bagaimana nanti kalau orang tuaku datang ke sana?

   "Oh iya mas, aku lupa..."

   Sunarti lantas mengambil secarik kertas dari dalam tasnya dan menuliskan alamat rumah pakdenya di atas kertas tersebut. Harlan hanya bisa memandang segala gerak laku kekasihnya dengan perasaan bahagia. Dia membayangkan bagaimana rasa bahagianya andai saat sekarang ini dia bersama Narti berada di kamarnya sendiri, tinggal serumah dan Narti sebagai pasangan hidupnya.

   "Ini alamatnya, mas. Sudah ya."

   Ucap Narti sambil menyodorkan kertas yang berisi alamat tersebut. Otomatis tanpa disengaja, kedua jemari muda-mudi ini bertemu dan bertautan erat disertai getaran rasa, saling memandang lama.

   "Aku cinta kamu, jeng...selamanya..."

   Bisik Harlan.

   "Aku juga, mas..."

   Jawab Narti lirih sambil melepaskan pegangan tangannya, mengambil tas yang tadi ditaruh di atas meja, lalu berjalan meninggakan kamar sambil sesekali menoleh ke arah Harlan yang senantiasa memandanginya hingga akhirnya hilang bayangan tubuhnya karena terhalang tembok. Rasa bahagia yang Harlan rasakan menjadi obat yang mujarab bagi kesembuhannya.

   Luka-luka yang dia derita sudah mengering cepat. Dokter yang menanganinya pun takjub akan cepatnya peroses kesembuhan Harlan. Dia perkirakan bahwa Harlan akan sembuh dalam jangka satu bulan, namun kini baru duapuluh hari, Harlan telah sembuh total. Namun betapa kagetnya hati Harlan saat perban-perban yang menutupi sekujur tubuhnya mulai dibuka. Berbeda dengan sang dokter yang terlihat senang dan lega mengetahui pasiennya sudah sembuh, Harlan justru amat pucat wajahnya ketika mengetahui kondisi badannya. Tidak hanya dada dan pahanya yang kulitnya menjadi rusak, belang-belang tak beraturan, bahkan kedua pipi, leher, dan kedua lengannya rusak kulitnya, belang-belang dan berkeriput semua. Saat melihat tubuhnya sendiri seperti itu, tak tertahankan lagi Harlan segera menangkupkan kedua tangan menutupi wajahnya sendiri.

   "Duh Gusti...!"

   Ratapnya setengah menangis. Sekali lagi dia melihat tubuhnya sendiri.

   "Ah, kenapa tubuhku jadi begini? Celaka aku ini... duh Gusti, kenapa Engkau siksa aku seperti ini... Tubuh Harlan ambruk kembali ke ranjang, lama terdiam, matanya berkaca-kaca. Aduh, Narti... Narti..., bagaimana kalau nanti kamu melihat tubuhku seperti ini? Sekarang aku jadi manusia yang menakutkan seperti iblis, tidak pantas untuk mendekati kamu karena hanya akan membikin malu kamu... kalaupun kamu menerimaku, orang lain pasti akan mencibir dan menghinaku. Aduh, Narti..."

   Memang tak bisa disalahkan kalau Harlan merasa iba dan sengsara hatinya saat mengetahui kondisi tubuhnya sekarang yang demikian. Tadinya Harlan adalah seorang pemuda yang tergolong tampan, tak setampan Arjuna namun cukup untuk membuat mata gadis-gadis meliriknya saat dia berjalan di jalanan. Dan sekarang? Kedua pipinya merah-hitam dan berkeriput tidak rata, leher dan kedua tangannya belang-belang semua. Dilihat dari depan menjijikkan, dilihat dari samping menakutkan. Demikianlah perasaan hati Harlan saat melihat bentuk tubuhnya sendiri lewat cermin. Bersamaan dengan dokter datang dan Harlan terdengar sedang meratapi tubuhnya yang cacat, sang dokter hanya bisa mengangkat bahu sambil berbicara,

   "Di sini belum ada operasi untuk menghilangkan cacat itu, mungkin yang terdekat di Jepang."

   Dari keterangan para perawat Harlan tahu yang dokter maksudkan, yaitu operasi plastik yang sudah terkenal di Jepang. Bagaimana mungkin bisa terlaksana? Ongkos perjalanan dari Indonesia ke Jepang saja tidak sedikit, belum lagi biaya perawatan operasinya nanti. Ah, dasar nasib...! Ketika kemudian Harlan diperbolehkan keluar dari Rumah Sakit, saat berada di bagian administrasi guna mengurusi biaya perawatannya selama ini, dia disodori sebuah amplop besar oleh seorang staf Pengurus Rumah Sakit tersebut sambil berucap,

   "Semua biaya perawatan bapak selama berada di sini sudah dibayar lunas semua oleh Tuan Kartika dari Surabaya. Bahkan beliau meninggalkan amplop ini dan berpesan supaya diserahkan pada bapak saat bapak sudah sembuh dan bermaksud keluar dari sini."

   Harlan mengucapkan terima kasih, sambil menerima amplop tersebut kemudian pulang dari Rumah Sakit dengan menumpang becak menuju ke rumah kost milik Pak Sutardyo yang dia tempati. Saat becak melaju lewat di depan rumah Sunarti, hati Harlan terharu. Rumah itu masih kosong, belum ada orang lain yang menempati. Pak Sutardyo menyongsong kepulangannya dengan bahagia hati karena Harlan sudah sembuh kembali. Seluruh penghuni rumah merasa ikut bangga karena rumah mereka ditempati seorang pemuda yang berjiwa gagah perkasa hingga menjadi buah-bibir para tetangga di sana.

   Namun Harlan tidak kelihatan gembira karena kini dia telah menjadi manusia yang cacat fisiknya. Dia cuma berbasa-basi sebentar dan bicara seperlunya saja lalu kemudian langsung masuk menuju kamarnya. Sesampainya di kamarnya sendiri lekas dia membuka amplop titipan dari Pakdenya Sunarti. Saat sampul amplop dirobek salah satu ujungnya dengan maksud untuk mengeluarkan isinya, yang terlihat keluar pertama kali dari dalam amplop tersebut adalah segepok uang! Uang kertas lima rupiahan yang jumlahnya ada dua ratus lembar, seribu rupiah baru, kalau dijumlah semuanya ada satu juta! Apa sebenarnya maksud pakdenya Narti memberinya uang sebegitu banyak kepadanya? Lantas segera dia membuka dan membaca surat yang terdapat di dalam amplop tersebut, isi kurang lebih demikian,

   Kepada Saudara Harlan,

   Saya sampaikan terima kasih atas pertolongan saudara terhadap saudara saya, yaitu ibunya Sunarti. Biaya perawatan Rumah Sakit sudah saya bayarkan semua dan ini saya serahkan uang untuk biaya perawatan selanjutnya. Semoga saudara segera sembuh dan semoga Tuhan membalas budi luhur yang telah saudara tanamkan pada kami.

   Wassalam

   Kartika Wijaya.

   Membaca isi surat tersebut harlan tertegun, berbagai macam rasa berkecamuk di hati Harlan. Ada rasa haru, ada rasa senang, juga ada rasa malu. Dia menerobos api untuk menolong ibunya Sunarti, sama sekali tiada keinginan supaya mendapat balasan, hanya satu harapannya saat itu, yaitu mendapatkan cinta dari Sunarti. Sama sekali tidak mengharapkan uang.

   "Uang ini harus aku kembalikan,"

   Begitu bisik suara hatinya.

   "Kalau tidak, aku kelihatan seorang yang amat rendah, betapa malunya aku sama Narti."

   Baru saja berpikir sampai di situ, lalu dia teringat akan kondisi tubuhnya sekarang. Seketika tangannya gemetar, surat dan uang yang dia pegang dilemparkannya ke atas meja lalu segera menuju ke depan cermin. Sekali lagi wajahnya terlihat pucat pasi saat dirinya bertatapan dengan bayangan tubuhnya sendiri yang terlihat di cermin, melihat pipi dan leher yang berbelang-belang dan berkeriput.

   "Aku harus pulang... aku harus pulang... aku harus bicara pada bapak..."

   Dengan pikiran kacau dan ruwet dia ingin selekasnya pulang ke rumah sendiri, menuju desanya, desa Ketandan yang dekat dengan kota Purwodadi. Di desanya, sang bapak menjabat sebagai Kepala Desa. Keesokan harinya Harlan masuk kantor, mengucapkan terima kasih pada rekan sekantornya yang telah sudi menjenguknya saat dia berada di Rumah Sakit, sekaligus memberi kabar bahwa dia meminta izin untuk pulang ke desanya, desa Ketandan selama seminggu.

   "Ya Allah, nak, kenapa kamu ini? Kenapa kulit tubuhmu jadi rusak semua seperti ini?"

   Ibunya merangkul sambil menangis saat melihat keadaan puteranya seperti itu.

   "Sepertinya luka habis terbakar ya, nak?"

   Bapaknya juga ikut bertanya dengan sangat prihatin.

   "Memang ini luka akibat terbakar, pak."

   Ibunya menjerit,

   "Aduuuh, bagaimana ini kok jadi seperti ini?"

   Sambil mengusap pipi dan leher Harlan.

   Bapaknya mengerutkan alis sambil berkata,

   "Kena musibah seperti ini kok kamu tidak memberi kabar pada kami, nak? Bagaimana awal kejadiannya hingga jadi sedemikian ini?"

   Lalu Harlan menceritakan seluruh kejadian saat dia berusaha menolong seorang janda bernama ibu Wirya yang rumahnya kebakaran.

   "Sayangnya, nyawa Bu Wirya tidak tertolong. Dia meninggal di Rumah Sakit karena luka-lukanya yang tak mampu dia tanggung."

   Demikian Harlan mengakhiri ceritanya. Sang bapak mengangguk-anggukkan kepala, batinnya merasa bangga terhadap puteranya sendiri yang mempunyai watak kesatria dan berbudi luhur. Namun di sisi lain ibunya masih menangis sesenggukan sambil berkata,

   "Ya Allah, nak... bagaimana ini kok sampai tubuhmu jadi rusak seperti ini. Sudah tahu apinya besar kok malah diterobos saja sih, nak. Apa kamu tidak sayang pada diri kamu sendiri. Orang yang kamu tolong toh akhirnya meninggal juga dan kamu jadi cacat seperti ini. Bu Wirya itu apamu kah, hingga kamu nekat berbuat seperti itu, Harlan?

   "Bu, jangan begitu... Sikap Harlan seperti itu tidak usahlah disalahkan, bahkan harus didukung karena itu suatu wujud perbuatan seorang kesatria utama. Ayah sendiri tidak menyalahkanmu, nak. Ayah justru sangat bangga mendengar kamu sudah mau berkorban untuk orang lain."

   "Ah, bapak ini bagaimana sih! Harlan anak kita satu-satunya jadi cacat seperti ini, siapa orang tuanya yang tidak susah hati? Harlan, agaknya kamu sudah kenal baik dengan orang yang kamu tolong itu."

   "Bu, jangan terlalu mendesak yang tidak-tidak. Mau bagaimana lagi, toh orang yang ditolong sudah mati. Dan lagi, bahagia-sengsara itu kan tergantung pada kita sendiri dalam menyikapi sebuah kejadian dengan tetap pasrah terhadap kehendak Gusti Allah. Perbuatan Harlan tidak melenceng dari pedoman budi pekerti, namun dirinya terkena akibat berupa cacat seperti ini. Tidak mengapalah, bu. Memang dasarnya sikap seorang lelaki ya harus seperti itu. Dan pastinya Tuhan memberikan anak kita berupa tubuh cacat ini supaya menjadi tanda bukti sebuah perilaku kemanusiaan."

   Mendengar perbincangan bapak-ibunya, hati Harlan sungguh terharu. Hingga lantas akhirnya dia berbicara terus terang,

   "Ya sebenarnya memang ada sesuatu yang lain hingga saya nekat menolong Bu Wirya, karena sebenarnya Bu Wirya itu adalah.... ibunya... kekasih saya."

   "Oalah...apa ku bilang tadi, pak!"

   Pak Lurah Jayawiguna, ayah Harlan, hanya mengangguk-anggukkan kepala.

   "Anaknya cantik tidak, nak? Ah, pasti cantik. Kalau tidak cantik kamu mana mau sama dia. Kasihan sekali. Terus sekarang bagaimana keadaan anak itu? jadi yatim-piatu kan?"

   "Begitulah, bu. Sekarang Sunarti ikut pakdenya pindah ke Surabaya. Tadinya saya sudah membulatkan tekad, kalau sudah keluar dari rumah sakit, saya akan meminta ayah dan ibu untuk datang melamar Sunarti ke Surabaya. Tapi...."

   Seakan tercekik, Harlan tak mampu melanjutkan bicara.

   "Hemm, begitu itu juga baik kok, nak."

   Bapaknya menyambung.

   "Benar apa kata bapakmu, nak. Kalau kamu memang sudah suka, ya segera dilamar saja."

   Ibunya ikut berpendapat.

   "Ya itulah pak... bu... saya..."

   Sambil melihat ke arah lengan tangannya sendiri, meraba pipi dan lehernya.

   "..... Sunarti belum tahu kalau saya.... seperti ini.... saya tidak tega, bagaimana nanti perasaan hati Sunarti saat tahu...."

   Hanya sampai di situ Harlan mampu bicara, lantas berdiri dari duduknya dan lari ke dalam rumah, masuk kamarnya. Ibunya bermaksud segera membuntuti,

   "Harlan... eeee anak ini..."

   Namun tangannya segera dipegang oleh suaminya.

   "Sudah biarkan saja dulu, bu. Biar hatinya tenang dulu. Anak muda kalau lagi terkena panah asmara memang susah buat mengobatinya."

   Tidak bosan-bosannya ayah-ibunya menghibur hati Harlan.

   "Jangan bersusah hati, nak. Keadaan yang sekarang menimpamu ini malah justru bisa sebagai penguji tebal tipisnya rasa cinta Sunarti terhadapmu."

   Demikian antara lain nasihat bapaknya.

   "Kalau memang kenyataannya rasa cinta yang Sunarti miliki terhadapmu itu benar-benar suci dan tulus, cacat yang kamu derita tidaklah akan dapat melunturkan rasa cintanya, bahkan justru akan bertambahlah kasih sayangnya terhadapmu dan terciptalah sebuah kasih yang murni. Sebaliknya, kalau misal sikapnya menjadi berbeda dan rasa cintanya meluntur, justru malah kebetulan sebelum kalian menjadi pasangan hidup, karena rasa cinta yang demikian itu adalah palsu. Rasa cinta yang timbul semata karena melihat fisik yang sempurna tanpa cacat, itu bukanlah rasa cinta yang sejati, melainkan cinta yang timbul dari nafsu birahi semata. Kalau sampai terlanjur mendapatkan pasangan hidup yang mempunyai rasa cinta hanya terhadap fisik saja, pastilah tidak akan bertahan lama, sebentar saja akan meluntur dan hidupmu dalam mengarungi rumah tangga bersamanya tidak akan bisa langgeng sampai menjadi kakek-nenek."

   Harlan dapat menerima semua nasihat ayah-ibunya yang kalau dipikirkan dan direnungkan memang benar semata. Namun bagaimanapun juga, dasarnya memang masih berdarah-muda, hatinya sudah terpaut dalam. Bayangan sosok Sunarti tak bisa hilang dari pelupuk matanya.

   Hampir tiap malam dia memainkan gitar atau sulingnya, atau menyanyikan lagu "Yen ing tawang"

   Dengan suara yang membuat terharu bagi yang mendengarkannya. Kalau sudah mendengar puteranya bernyanyi atau bersuling dengan suara yang demikian membuat haru, sang ibu hanya bisa geleng-geleng kepala dengan rasa iba. Sedang bapaknya masuk ke kamar, tidak lama terdengarlah suara Pak Lurah Jayawiguna mendendangkan tembang macapat. Sungguh mahir Pak Lurah menyanyi dan suaranya pun sangat enak didengarkan. Jika sudah mendengar suara bapaknya, Harlan langsung teringat, bahkan dahulu dia sangat menyukai suara sang ayah saat menyanyikan tembang Kinanti dari Kitab Wedatama. Permainan gitarnya dia hentikan, telinganya mendengarkan bait-bait berupa nasehat yang berasal dari kitab Wedatama tersebut.

   

   Mangka kantining tumuwuh

   Salami mung awas eling

   Eling lukitaning alam

   Dadi wiryaning dumadi

   Supadi nir - ing sangsaya

   Jeku pangreksaning urip.

   
Bintang Bintang Jadi Saksi Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Marma den taberi kulup

   Angulah lantiping ati

   Rina wengi den anedya

   Pandak panduking pambudi

   Mbengkas kahardaning driya

   Supaya dadya utami.

   Harlan seketika terlonjak bangun. Kepala rasanya bagai diguyur air seember. Sungguh bodoh. Seperti bukan laki-laki saja. Aku harus berani menghadapi kenyataan hidup. Harus berani mencoba sebesar mana rasa cinta Sunarti kepadanya. Besok aku harus ke Surabaya! Kota Surabaya memang kota besar dan sangat ramai. Namun tidak sulit bagi Harlan saat mencari rumah Pak Kartika Wijaya, sebab dia sudah pernah bolak-balik ke kota itu hingga nama-nama jalan pun dia hapal. Lebih-lebih rumah pakdenya Sunarti terletak di depan jalan besar, yaitu jalan Kusumabangsa. Turun dari stasiun Semut, Harlan langsung naik becak menuju jalan Kusumabangsa, tukang becak tadi pun sudah diberi tahu nomer rumah tujuannya, namun saat becak yang ditumpanginya sampai di depan rumah yang nomornya cocok, dia malah berkata kepada si tukang becak.

   "Terus saja, pak, terus saja...!"

   Harlan berucap demikian setelah melihat rumah yang bernomor sama dengan yang dia tuju, ternyata sebuah rumah gedung yang besar dan megah, jelaslah bahwa itu adalah rumah seorang yang "besar"

   

Geger Solo Karya Kho Ping Hoo Drama Gunung Kelud Karya Kho Ping Hoo Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini