Ceritasilat Novel Online

Alap Alap Laut Kidul 23


Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Bagian 23



Sementara itu, mendengar ucapan Neneng Salmah, Jaka Bintara menjadi semakin cemburu. Tentu saja dia tidak tahu bahwa di antara dua orang itu memang ada hubungan persahabatan biasa, dan tidak tahu pula bahwa pemuda itu pernah mengajukan pinangan kepada gadis itu namun ditolak. Kalau dia mengetahuinya, tentu tidak akan cemburu.

   "Ha-ha, benar ucapan Neneng Salmah, Sudarman. Kalau engkau berkelahi denganku, tentu engkau akan mampus. Maka, sebaiknya cepat menyembah kepadaku dan minta ampun lalu mengundurkan diri, baru selamat!"

   Sudarman tidak dapat menahan kemarahannya lagi.

   Penghinaan demi penghinaan dilontarkan orang dari Banten itu.

   "Jaka Bintara, jangan mengira bahwa aku takut bertanding melawanmu. majulah!"

   Katanya sambil memasang kuda-kuda, kaki kanan di depan, terbuka dengan telunjuk di atas, tangan kiri menyingsingkan paha celananya.

   Jaka Bintara menoleh kepada para penabuh gamelan dan memberi isyarat dengan tangannya agar para penabuh gamelan membunyikan gamelan mereka untuk mengiringi pertandingan itu. Gamelan segera dipukul nyaring dan Jaka Bintara menhadapi Sudarman, lalu membentak nayaring.

   "Pecah kepalamu!"

   Tangan kanannya yang terbuka menghantam ke arah kepala Sudarman dengan tamparan yang mengeluarkan angin pukulan dahsyat. Aji yang menonton dari bawah panggung terkejut karena dia mengenal pukulan ampuh yang mengandung tenaga sakti yang dahsyat. Dia mengkhawairkan nasib pemuda kerempeng itu. Akan tetapi ternyata Sudarman memiliki gerakan yang amat ringan dan cepat. Dia mampu menghindarkan diri dari pukulan itu dengan elakan yang gesit, kemudian cepat membalas dengan pukulan dari samping yang mengarah lambung lawan.

   "Dukkk!"

   Jaka Bintara menangkis dan tangkisan itu membuat Sudarman terhuyung. Jelas sekali bagi Aji bahwa biarpun Sudarman memiliki gerakan ringan dan cepat, namun dalam hal tenaga sakti dia kalah jauh. Pertandingan itu tidak akan berlangsung lama, pikirnya dan hatinya merasa bingung. Dalam hati dia ingin melindungi Sudarman yang terancam bahaya, akan tetapi bagaimana dia dapat melakukannya?

   Perbuatannya itu tentu akan menimbulakan keributan dan celaan karena bukankah meraka bertanding dengan adil di atas panggung? Kalah menang dalam sebuah pertandingan pencak silat adalah hal yang wajar dan mencampurinya merupakan pelanggaran yang tidak pantas. karena itu, dengan hati berdebar tegang Aji mengikuti jalannya pertandingan. Seperti telah diketahui Aji sebelumnya, pertandingan itu ternyata berat sebelah. Jaka Bintara terus mendesak lawannya yang kini tidak dapat membalas lagi dan hanya main elak mengandalkan keringanan tubuh dan kecepatannya, bahkan menangkispun dia tidak berani karena tadi pernah Sudarman menangkis sebuah pukulan dan akibatnya, lengan kirinya terasa patah tulangnya dan nyerinya bukan main.

   Tiba-tiba Jaka Bintara menghentikan desakan dan serangannya, bahkan mundur tiga langkah. Kesempatan ini dipergunakan Sudarman untuk menyerang karena sejak tadi dia diserang terus dan sudah kewalahan. Aji bergerak hendak mencegah pemuda itu menyerang, akan tetapi dia teringat lagi dan menahan diri. Apa lagi karena tendangan kaki kanan Sudarman telah dilakukan. Kaki kanan itu mencuat dan cepat sekali menyambar ke arah dada Jaka Bintara. Ini memang yang dikehendaki pemuda bangsawan Banten itu dan Aji mengetahui hal ini namun tak berdaya. Ketika kaki itu sudah menyambar dekat Jaka Bintara mengerahkan tenaga sakti untuk membuat kebal dadanya. Kaki itu dengan tepat bertemu dada.

   "Bukkk!"

   Jaka Bintara tidak bergeming sedikitpun. Sudarman terkejut akan tetapi terlambat dia menarik kembali kaki kanannya karena tangan kanan Jaka Bintara telah menyambar dan menghantamkan tangan yang terbuka dengan gaya membacok ke arah tulang lutut.

   "Krakk!"

   Sudarman mengeluh dan roboh, tulang lutut kaki kanannya patah! dan pada saat itu tubuh sudarman sudah menggeletak itu, ketika dia dengan susah payah bangkit dan merangkak,. Jaka Bintara menggerakkan kedua kakinya, berulang-ulang menendangi kaki dan lengan pemuda yang bernasib malang itu. Terdengar bunyi "krek-krek-krek"

   Tiga kali dan kini kedua tulang kaki dan lengan Sudarman patah-patah! Sekali lagi sambil tertawa Jaka Bintara menendang dan tubuh sudarman yang sudah tidak dapat bergerak itu terlempar ke bawah panggung.

   Terdengar jeritan suara Neneng Salmah diikuti tangisnya, dan banyak penonton berseru kaget melihat peristiwa itu. Tiba-tiba dari bawah panggung berkelebat sesosok bayangan orang dan tahu-tahu di atas panggung sudah berdiri seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun, berjenggot panjang dan kakek itu menudingkan telunjuknya ke arah muka Jaka Bintara.

   "Manusia kejam tak berperikemanusiaan!"

   Kakek itu menegur.

   "Pertandingan memperebutkan ledek merupakan perayaan dan pesta, mengapa engkau begitu kejam terhadap lawan yang sudah kalah?"

   Jaka Bintara memandang wajah kakek dan tersenyum mengejek.

   "Aki tua, siapakah engkau?"

   Tanyanya dengan nada suara memandang rendah.

   "Jaka Bintara, aku adalah Ki Bajra, guru Sudarman."

   "Ha-ha, bagus! Jadi engkau hendak membela muridmu yang tolol itu? Majulah!"

   Biarpun mulutnya menantang begitu, akan tetapi sebelum Ki Bajra menyerang maju, Jaka Bintara sudah mendahuluinya dengan serangan kilat. Ini menunjukkan betapa liciknya pemuda bangsawan Banten ini. Licik dan juga sakti.

   "Iyaaahhh.....!"

   Kekek itu mengelak dengan mudah dan ternyata dia memiliki gerakan yang lincah sekali. Aji mengangguk-angguk. Ternyata kakek tua itu seorang yang ahli dalam aji meringankan tubuh sehingga gerakannya amat cepat seperti seekor burung srikatan. Pantas saja tadi Sudarman juga bergerak amat cepatnya. Kakek ini ternyata lebih cepat lagi gerakannya dan sambil mengelak diapun dapat mengirim serangan balasan kilat. Agaknya tadi ketika muridnya menghadapi Jaka Bintara, Ki Bajra sudah mempelajari gerakan pemuda bangsawan Banten itu dan maklum bahwa pemuda itu memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Karena itu dia tahu bahwa untuk mengatasi lawan, dia hanya dapat mengandalkan kecepatan gerakan dan tidak memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk dapat memukulnya.

   Siasatnya ini memang tepat. Jaka Bintara terkejut dan juga penasaran sekali karena semua serangannya dapat dielakkan lawan dengan mudah dan gerakan kakek ini ternyata lebih cepat daripada gerakan Sudarman yang tadipun membuat dia pusing karena sukar untuk dapat memukulnya. Kalau dilanjutkan, dia sendiri yang akan kehabisan tenaga dan napas. dan serangan balasan kakek itu cepat sekali datangnya. Baiknya dia telah melindungi tubuhnya dengan aji kekebalan yang amat kuat sehingga beberapa pukulan kakek itu yang mengenai tubuhnya, tidak merobohkannya.

   Sejak tadi gamelan telah dipukul bertalu-talu mengiringi petandingan yang tampaknya seru sekali ini. Dan agaknya sekali ini Jaka Bintara bertemu tanding yang amat tangguh. Setelah lewat tiga puluh jurus, dia sudah terkena pukulan empat kali walaupun pukulan itu bertemu kekebalannya dan tidak membuat dia jatuh atau nyeri. Sebaliknya, semua terjangannya selalu mengenai tempat kosong.

   "Kakek itu agaknya tangguh sekali, sebaiknya kalau kuhentikan saja pertandingan itu."

   Kata Tumenggung Jayasiran perlahan kepada Kyai Sidhi kawasa yang duduk di sebelahnya.

   Kakek yang menjadi datuk persilatan di Banten itu terkekeh dan suaranya yang lemah lembut itu terdengar meyakinkan. Dia tahu bahwa Tumenggung Jayasiran yang berasal dari Banten tentu saja tidak suka melihat jagoan Banten dikalahkan orang Sumedang maka hendak menghentikan petandingan untuk mencegah kekalahan Jaka Bintara.

   "Heh-heh, anakmas Tumenggung, jangan andika khawatir. Muridku tidak akan kalah. Lihat saja nanti, he-he-he!"

   Mendengar ini tentu saja sang tumenggung merasa kega dan diapun menonton lagi pertandingan itu dengan penuh perhatian. Dia melihat kini Jaka Bintara melompat ke belakang, menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan..... sang tumenggung terbelalak kagum

   melihat asap mulai mengepul dari antara kedua tangan itu!

   Aji juga melihat hal ini dan dia terkejut sekali. Itulah semacam aji yang amat hebat dan dahsyat, mungkin semacam aji pukulan yang mengandung hawa panas atau api! Ki Bajra juga maklum akan hal ini dan dia sudah siap untuk menjaga jarak agar dapat menhindarkan diri dari serangan lawan.

   Jaka Bintara lalu menerjang maju, kedua tangannya melakukan pukulan mendorong ke depan dan ke manapun tubuh lawan berkelebat, selalu disusulnya dengan pukulan jarak jauh yang amat ampuh itu. Itulah aji pukulan Hastanala (Tangan Berapi) yang dahsyat sekali. Beberapa kali Ki Bajra masih mampu menghindar, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan yang mengandung hawa berapi itu menerpanya.

   "Auhhhh.....!"

   Dia memekik dan tubuhnya terdorong lalu jatuh ke bawah panggung dengan baju dan kulit dada hangus seperti dibakar! Kakek itu pingsan dan seperti halnya Sudarman tadi, diapun lalu diangkat oleh beberapa orang muridnya.

   Semua orang merasa ngeri melihat akibat pukulan itu dan mereka memandang kepada Jaka Bintara yang tertawa bergelak itu dengan mata terbelalak. merasa takut dan ngeri. Bahkan Neneng Salmah yang juga melihat pertandingan itu dari jarak dekat, sambil meneteskan air mata lalu nekat mencela pemuda bangsawan dari Banten itu.

   "Raden, andika sangat kejam, terlalu kejam.....!!"

   Jaka Bintara menoleh kepada Neneng Salmah dan mengerutkan alisnya.

   "Hayo bangkit dan layani aku bejoget!"

   Dan diapun memberi isyarat kepada para penabuh gamelan untuk memainkan lagu pengiring tarian. Para penabuh tidak berani membantah dan segera bunyi gamelan berubah, beralun lembut. akan tetapi Neneng Salmah tetap duduk bersimpuh sambil menyusut air matanya dengan ujung selendangnya yang berwarna merah muda.

   Melihat gadis penari itu tetap duduk bersimpuh, Jaka Bintara menjadi marah.

   "Neneng Salmah, hayo bangkit dan layani aku berjoget!"

   Katanya lagi agak ketus.

   Neneng Salmah tetap menundukkan mukanya dan ia menjawab dengan gelengan kepalanya. Semua penonton terbelalak. Ini luar biasa. Seorang ledek berani menolak diajak berjoget oleh seorang jawara yang telah mengalahkan beberapa orang dalam sebuah pertandingan! Juga Tumenggung Jayasiran mengerutkan alisnya. ledek itu tidak menghormati tamu agungnya, berarti tidak menghormati dia yang menanggapnya!

   Jaka Bintara menjadi merah mukanya. Penolakan Neneng Salmah di depan begitu banyak orang sungguh merupakan penghinaan baginya. Dia lalu merogoh saku bajunya dan mengeluarkan sepuluh potong uang reyal dan melemparkan uang itu ke atas papan panggung, di depan gadis penari itu.

   "Engkau ingin uang? Nah, ini, simpanlah dulu, nanti kutambah lebih banyak lagi kalau engkau memuaskan hatiku!"

   katanya sambil tersenyum lebar dengan bangga. Jarang ada pria yang berani mengeluarkan sepuluh reyal sebagai "uang muka". Akan tetapi alangkah heran dan juga malunya ketika dia melihat Neneng Salmah tetap menggeleng kepla bahkan kini Neneng Salmah bangkit berdiri dan hendak lari kembali ke tempat dua orang rekannya duduk. Akan tetapi tiba-tiba Jaka Bintara membentaknya.

   "Berhenti!"

   Neneng Salmah terkejut dan berhenti sambil memutar tubuh menghadapi Jaka Bintara.

   "Berani engkau membikin malu padaku? Akupun dapat membikin malu padamu di depan semua orang dengan menelanjangimu!"

   Tiba-tiba tangannya bergerak ke arah gadis itu. Jarak antara mereka sekitar dua depa, akan tetapi ada angin menyambar dan tiba-tiba saja kemben yang melingkari pinggang ramping itu terlepas dan kain yang membungkus tubuh Neneng Salmah bergerak melorot. Neneng Salmah menjerit dan cepat menggunakan kedua tangannya untuk menahan kainnya sehingga ia tidak sampai telanjang di depan umum! Pada saat itu, sesosok nayangan orang berkelebat dan tahu-tahu Aji telah berdiri di depan Jaka Bintara dan dengan suara lembut namun penuh teguran Aji berkata.

   "Jaka Bintara, sebagai seorang yang memiliki aji kedigdayaan dan bersusila, sungguh tidak patut dan memalukan sekali apa yang andika lakukan terhadap gadis penari ini. Ia berkata benar, andika memang seorang yang kejam dan keji, tak berperikemanusiaan dan sewenang-wenang!"

   Jaka Bintara terbelalak dan mukanya menjadi merah kehitaman saking marahnya. Sementara itu, melihat muncul seorang pemuda yang membelanya, Neneng Salmah sambil memegangi kainnya dan mengambil kembennya, berjalan ke arah rekan-rekannya sambila menangis. Setelah tiba di antara dua rekannya, Neneng Salmah lalu membereskan pakaiannya, dibantu dua orang ledek yang lain. Sementara itu, para penabuh gamelan sudah menghentikan tabuhan mereka.

   Jaka Bintara bertolak pinggang dan menatap wajah Aji dengan melotot.

   "Babo-babo, keparat! Lancang benar ucapanmu! engkau berani mencampuri urusanku. Siapakah engkau dan apa maumu?"

   "Namaku Lindu Aji dan aku naik ke panggung ini selain untuk membela Neneng Salmah agar tidak kau perhina, juga untuk menandingimu dalam mengadu kedigdayaan."

   "Babo-babo, keparat jahanam sombong! Engkau sudah bosan hidup agaknya!"

   Bentak Jaka Bintara marah.

   Aji tersenyum dan dia memberi isyarat kepada penabuh gamelan. Karena para penabuh gamelan merasa tidak suka kepada Jaka Bintara yang tadi menghina Neneng Salmah, maka mereka dengan penuh semangat memenuhi permintaan Aji. Mereka mengharapkan pemuda tampan yang baru datang ini, walaupun pakaian dan sikapnya sederhana dan senyumnya penuh percaya akan diri sendiri, akan mampu menghajar Jaka Bintara yang sombong dan kejam itu.

   "Jaka Bintara, memang selalu mudah menemukan cacat orang walau sekecil semut sekalipun, akan tetapi menemukan cacat sendiri, biar sebesar gajah, amatlah sulit. Engkau mengatakan aku sombong dan sama sekali tidak menyadari bahwa yang sombong setengah mati adalah engkau sendiri. Sadarlah bahwa engkau telah melakukan kejahatan. Sebagai seorang tamu yang datang dari Banten tidak sepatutnya engkau menyiderai orang-orang seperti yang kau lakukan tadi, ditambah lagi hendak memaksa dan menghina seorang penari."

   "Keparat jangan banyak mulut! Bersiaplah menerima hajaran dariku!"

   Bentak Jaka Bintara dan karena dia sudah marah sekali, hendak merobohkan orang yang berani menentang dan mencelanya sedemikian rupa di atas panggung, merobohkannya secepat mungkin dengan pukulan yang diandalkan, yaitu dengan Aji Hastanala.

   Kedua telapak tangan yang saling digosokkan itu mengepulkan asap, kini lebih tebal daripada tadi ketika dia merobohkan Ki Bajra sehingga semua orang memandang dengan hati tegang, pemuda yang bernama Lindu Aji itu tentu akan roboh dan tewas! Bagaimanapun juga, sebagian penonton mulai timbul perasaan tidak suka kepada Jaka Bintara karena kesombongannya, tidak memandang kepada orang-orang Sumedang. Juga mereka merasa marah melihat perlakuan Jaka Bintara terhadap Neneng Salmah yang amat menghina. Maka kini sebagian besar dari mereka condong untuk memihak Lindu Aji, walaupun mereka belum mengenal siapa pemuda itu dan sampai di mana kemampuannya. Mampukah pemuda asing ini menandingi pemuda bangsawan dari Banten itu yang sedemikian sakti mandraguna?

   Melihat lawannya sudah menggosok-gosok kedua tangannya yang mengepulkan asap hitam, Aji lalu melangkah maju dan berkata dengan sikap tenang sekali. Di antara bunyi gamelan, terdengar suara Aji tegas.

   "Jaka Bintara, aku sudah siap sejak tadi, Mulailah!"

   "Pecah kepalamu!"

   Bentak Jaka Bintara sambil menyerang dengan pukulannya yang ampuh. Pukulan itu mengandung Aji Hastanala, dapat merobohkan lawan tanpa menyentuhnya, hanya mengandalkan angin pukulannya saja. Apa lagi kalau sampai tangan yang seperti membara itu mengenai kepala lawan, tentu akan pecah dan hangus!

   "Heiiiitttt.....!"

   Aji menggeser kakinya dan melompat ke kiri, sehingga pukulan dahsyat itu luput.

   Akan tetapi Jaka Bintara sudah menyusulkan serangan berikutnya secara bertubi-tubi, menggunakan kedua tangan terbuka yang mengepulkan asap. Namun, tiba-tiba dia tertegun. Lawannya itu bergerak aneh dan luwes, seperti seekor kera menari-nari, akan tetapi hebatnya, semua serangannya tak pernah mengenai lawan. Bahkan hawa pukulan jarak jauh itupun tidak pernah mengenai atau mempengaruhi lawan. Aji memang mempergunakan ilmu silat Wanara Sakti sehingga dia mirip peran Hanoman dalam kisah Ramayana, berlompatan ke kanan kiri, kadang melambung ke atas kadang berjongkok dan bergulingan, berjungkir balik akan tetapi selalu dapat lolos dari serangan lawan.

   Para penonton merasa tegang. mereka mengira bahwa Aji ketakutan dan hanya mengelak ke sana sini saja, seperti dua orang lawan terdahulu yang akhirnya roboh juga oleh pukulan sakti pemuda Banten itu. Suasana menjadi sunyi dan menegangkan, hanya suara gamelan yang dipukul bertalu-talu.

   Ki Salmun, ayah Neneng Salmah yang menjadi tukang kendangnya dan tentu saja berpihak kepada Aji yang membela puterinya, memainkan kendangnya dengan indah sekali, disesuaikan dengan gerak-gerik Aji yang mirip tarian kera itu menjadi "hidup".

   Makin lama, Jaka Bintara menjadi semakin penasaran. agak pening juga dia harus berputar-putar mengejar tubuh Aji yang seolah berubah menjadi bayangan yang gesit sekali. Dia lalu hendak menggunakan siasat ketika tadi merobohkan Sudarman, yaitu dengan memancing agar lawan menyerangnya sehingga dia dapat merobohkannya dengan pukulan mautnya. Maka, dia lalu berseru lantang.

   "Heh, keparat! Kalau andika bukan pengecut, hayo balas seranganku, jangan hanya mengelak seperti seekor munyuk monyet!"

   Semua orang yang mendengar ini, diam-diam ikut mengharapkan agar Aji membalas karena mereka ingin melihat jagoan Banten itu terkena pukulan.

   "Hemm, begitukah kehendakmu? Nah, rasakan ini!"

   Tiba-tiba tubuh Aji berkelebat. Sebelum Jaka Bintara dapat berbuat sesuatu, tangan kiri Aji ditamparkan ke arah tengkuk lawan. Gerakannya cepat, namun Aji tidak ingin mencelakai orang, hanya sekedar hendak memberi pelajaran maka dia tidak mengerahkan tenaga sakti terlalu kuat.

   "Plakkk!"

   Tamparan itu tepat mengenai tengkuk dan tubuh Jaka Bintara terputar, akan tetapi dia dapat bertahan, masih berdiri sambil menggunakan kedua tangan memegangi kepalanya yang terasa berpusing, kedua matanya dipejamkan!

   Tepat ketika tamparan Aji itu mengenai tengkuk, dengan cermat sekali Ki Salmun si tukang kendang memukul kendangnya sehingga terdengar suara berdentam keras seolah pukulan itu yang mengeluarkan suara! Penonton bersorak! Jelas tampak oleh mereka betapa tamparan itu mengenai tengkuk dan melihat pula betapa tubuh Jaka Bintara terputar lalu berdiri sambil memejamkan mata dan memegangi kepalanya.

   Tentu saja Jaka Bintara menjadi marah bukan main. Biarpun dia telah terkena pukulan, namun dia masih memandang rendah karena pukulan itu tidak sampai merobohkannya dan dia mengira bahwa lawan sudah mengerahkan seluruh tenaga sehingga berarti bahwa lawannya hanya memiliki ilmu silat yang amat cepat namun tidak memiliki tenaga yang mengkhawatirkan. Kalau tenaga lawan hanya sebegitu, biarpun dia dipukul lima kali, dia tidak akan roboh, akan tetapi sekali saja dia dapat membalas, pasti lawan akan roboh dan mampus!

   "Ambrol dadamu!"

   Dia membentak lagi dan kini dia menyerang dengan tendangan kakinya yang panjang. namun, seperti tadi, Aji hanya mengelak dan cepat sekali tangannya menyambar, menangkap tumit kaki yang menendang dan sekali mengerahkan tenaga, dia melontarkan tubuh lawan dengan mendorong ke atas. Tanpa dapat dihindarkan lagi tubuh Jaka Bintara terlempar ke atas,

   namun dia dapat berjungkir balik mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga tidak terbanting jatuh, dapat turun ke atas papan panggung dengan kedua kaki lebih dulu. Namun tetap saja dia terhuyung-huyung.

   Kembali terdengar sorak-sorai, kini lebih genpita daripada tadi. Orang-orang mulai merasa lega, senang dan gembiara, maklum bahwa pemuda asing itu benar-benar mampu mengatasi jagoan Banten itu. Jaka Bintara merasa seolah kulit mukanya ditoreh. Dia merasa malu dan karenanya lalu menjadi marah yang membuat kedua matanya seolah berubah merah dan mulutnya seperti berbusa. Dia memandang Aji yang berdiri santai di depannya dengan sinar mata seolah hendak membakarnya dengan sinar matanya.

   "Keparat rasakan pembalasanku!"

   Dia merangkap kedua tangan dalam bentuk sembah, mulutnya berkemak kemik membaca mantera, kemudian menggosok-gosok lagi kedua tangannya dan sekali ini bukan asap hitam saja yang tampak di antara kedua tangannya, melainkan yala api! Lalu dia menekuk kedua lututnya, mendorongkan kedua tangan yang sudah bernyala ke arah Aji.

   "Aji Analabanu.....!!"

   Nyala api yang bersinar-sinar menerpa ke arah Aji. Akan tetapi sejak tadi Aji sudah siap siaga, maklum bahwa lawan menggunakan aji pukulan yang ampuh. Maka diapun menyambut dengan dorongan kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga sakti Surya Chandra.

   "Wuuuttt..... bresss.....!!"

   Tubuh Jaka Bintara tersentak ke belakang dan terlempar sampai keluar dari panggung, jatuh ke bawah panggung. Aji menggunakan kekuatan untuk bertahan dan lawannya itu terpental oleh tenaganya sendiri yang membalik. Jaka Bintara muntah darah, terluka oleh tenaganya sendiri yang membalik.

   Melihat ini, Tumenggung Jayasiran cepat menyuruh perajurit pengawal untuk menolong pemuda itu dan memapahkan ke tempat duduknya. Tepuk tangan dan sorak sorai menyambut kemenangan Aji. Akan tetapi pada saat itu, Kyai Sidhi Kawasa telah berada di atas panggung berhadapan dengan Aji.

   "Hemm, Lindu Aji, andika telah berhasil mengalahkan muridku. Sekarang lawanlah gurunya. Kalau andika mampu mengalahkan aku, barulah andika patut disebut seorang muda yang sakti mandraguna!"

   Ucapan Kyai Sidhi Kawasa itu terdengar lemah lembut.

   Aki memandang kakek itu dan maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang tua yang berilmu tinggi. Maka dia lalu menyembah dan memberi hormat.

   "Maaf, eyang. dengan siapakah saya berhadapan?"

   "Heh-heh, orang muda, andika belum mengenal aku? Sudah sepantasnya karena aku bukan orang sini, melainkan datang dari Banten. Namaku adalah Kyai Sidhi Kawasa."

   Diam-diam Aji terkejut. Dia pernah mendengar nama datuk dari Banten ini.

   "Ah. kiranya eyang adalah Kyai Sidhi Kawasa yang terkenal sakti mandraguna itu. Saya tidak mempunyai persoalan dengan eyang, mengapa eyang menantang saya?"

   "Tidak mempunyai persoalan? Andika telah merobohkan muridku Raden Jaka Bintara. Sudah sepatutnya aku sebagai gurunya membelanya dan menebus kekalahannya."

   "Maaf, eyang. Saya yakin bahwa eyang adalah seorang yang bijaksana sehingga mengetahui bahwa murid eyang telah melakukan kekejaman. Semestinya eyang sendiri yang turun tangan memberi ingat dan memberi hukuman kepadanya agar nama besar eyang tidak terseret ke dalam kecemaran. Saya hanya membela mereka yang diperlakukan sewenang-wenang oleh Jaka Bintara, harap eyang dapat memakluminya."

   Ucapan yang halus dan merendah dari Aji ini oleh Kyai Sidhi Kawasa dianggap sebagai tanda rasa takut. Dia mengedikkan kepalanya yang kecil dan botak, lalu berkata lantang.

   "Heh, Lindu Aji, kalau engkau merasa bersalah, berlututlah dan mohon ampun kepadaku."

   Aji berkata dengan tenang.

   "Maaf, eyang. Saya tidak dapat minta ampun karena saya tidak merasa bersalah."

   "Hemm, kalau begitu tidak ada jalan lain. Andika harus nertanding dengan aku untuk menentukan siapa yang lebih sakti!"

   "Saya tidak bermusuhan dengan eyang, akan tetapi kalau eyang memaksa saya bertanding, apa boleh buat. Akan saya layani."

   "Bagus, bersiaplah andika, Lindu Aji!"

   Kata kakek itu.

   "Tahan, harap jangan bertanding!"

   Tiba-tiba terdengar suara dan Tumenggung Jayasiran berlari-lari ke tengah panggung melerai mereka yang hendak bertanding.

   "Anakmas Tumenggung, kenapa menghalangi saya yang hendak memberi hajaran kepada bocah sombong ini?"

   Tanya Kyai Sidhi Kawasa penasaran.

   "Maa, paman. baru saja saya tahu bahwa anakmas Lindu Aji ini bukan orang lain, bukan musuh."

   Lalu tumenggung itu menghadapi Aji dan bertanya.

   "Bukankah andika yang telah menyelamatkan Gusti Adipati Pangeran Mas Gede?"

   Ternyata tadi ketika tumenggung itu mendengar nama Lindu Aji, dia teringat akan berita yang terdengar olehnya tentang pemberontakan Tumenggung Jaluwisa yang gagal karena sang adipati diselamatkan oleh seorang pemuda bernama Lindu Aji bersama dua orang kawannya. Setelah bertanya-tanya kepada beberapa orang pengawal akhirnya dia yakin bahwa pemuda itulah penolong sang adipati, maka cepat-cepat dia melerai pertandingan antara pemuda itu dan Kyai Sidhi Kawasa.

   Aji mengangguk dengan hormat. Dia tahu bahwa tumenggung ini adalah tuan rumah dan dia lalu menjawab.

   "Benar, paman tumenggung."

   
Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ah, kalau begitu maafkan bahwa tidak sejak tadi aku menyambutmu, anakmas. Dan lebih menyesal lagi aku tidak mencegah pertandingan ini. Anakmas Lindu Aji, silakan duduk di atas dan kalau andika ingin berjoget dengan Neneng Salmah, silakan. Kami akan menyuruh ia datang melayani andika berjoget."

   Aji tersenyum.

   "Tidak perlu, paman. Saya tidak ingin berjoget, hanya tadi tidak tahan melihat perlakuan sewenang-wenang. Sesungguhnya saya merasa heran sekali mengapa paman membiarkan penyiksaan dan penghinaan itu terjadi?"

   Tumenggung Jayasiran tersenyum rikuh.

   "Ah, maafkan anakmas. Tadipun saya kira mereka itu hanya bertanding seperti biasa saja, tidak tahunya menjadi sungguh-sungguh. Saya merasa menyesal sekali dan akan menghentikan petandingan ini. Cukup dengan berjoget saja, secara bergiliran, tanpa pertandingan. Silakan masuk, anakmas."

   Aji menggeleng kepalanya.

   "Terima kasih, paman tumenggung. Saya akan pergi untuk mencari tempat penginapan."

   "Ah, kalau ingin menginap, kenapa harus mencari tempat lain? Menginaplah saja di sini, anakmas! Andika adalah penyelamat gusti adipati, sudah sepantasnya kalau kami menyambutmu dengan segala senang hati dan kehormatan. Kami ikut berterima kasih atas pertolonganmu itu."

   "Terima kasih, paman. Saya mencari penginapan di luar saja. selamat malam!"

   Aji memandang ke arah wajah Kyai Sidhi Kawasa dan melihat betapa sinar mata kekek itu ditujukan kepadanya dengan penuh rasa dendam. Dia maklum bahwa selanjutnya dia harus berhati-hati karena dendam seorang seperti kakek ini amatlah berbahaya. setelah memberi hormat kepada tumenggung itu, diapun melompat turun dari panggung dan meninggalkan tempat itu.

   Selagi Aji berjalan untuk mencari tempat penginapan, tiba-tiba seorang laki-laki setengah tua menghadangnya dan bertanya dengan suara lembut dan ramah.

   "Apakah denmas mencari tempat penginapan?"

   Aji mengangkat muka memandang. Sinar lampu gantung di depan sebuah rumah tak jauh dari situ cukup menerangi wajah orang itu. Seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, berpakaian seperti petani sederhana dan sikapnya lugu, sama sekali tidak mencurigakan.

   "Benar sekali, paman. Akan tetapi jangan sebut aku denmas karena aku bukan seorang priyayi. Apakah paman mengetahui di mana ada tempat penginapan di kadipaten ini?"

   "Den..... ah, anakmas. Kalau anakmas sudi, silakan bermalam di rumah kami. Kami akan senang sekali kalau anakmas sudi bermalam di rumah kami yang buruk."

   Lindu Aji menjadi tertarik dan dia mengamati wajah orang itu penuh selidik.

   "Paman siapakah dan mengapa paman yang belum mengenalku sudah begitu baik hati menawarkan untuk aku bermalam?"

   Mendengar nada suara Aji, orang itu cepat menjawab.

   "Harap jangan curiga, anakmas. Aku sudah mengenal Anakmas Lindu Aji dengan baik, sejak di tempat pesta tadi. Aku biasa dipanggil Mang Engkos, dan aku adalah ayah dari Sudarman yang malang, yang menderita cidera karena kekejaman orang Banten tadi. Karena anakmas telah menghajar jagoan Banten tadi, maka kami berterima kasih sekali dan mendengar anakmas membutuhkan tempat bermalam, maka aku cepat mengejarmu dan menawarkan rumah kami sebagai tempat bermalam."

   Aji mengangguk-angguk, mengerti dan dia merasa senang untuk bermalam di rumah keluarga Sudarman, pemuda tampan kerempeng yang tadi dengan gagah berani melawan Jaka Bintara.

   "Terima kasih atas kebaikan hatimu, paman..... eh, Mang Engkos. Bagaimana dengan keadaan Sudarman sekarang?"

   "Marilah kita pulang, anakmas dan andika dapat melihat sendiri keadaannya. Menurut ahli pengobatan yang memeriksanya, dia mengalami patah tulang kaki tangan, akan tetapi dia akan sembuh. Yang lebih parah keadaannya adalah Ki Bajra. Dia juga berada di rumah kami, sedang dirawat ahli pengobatan itu."

   Aji mengerti. Dia tadi melihat betapa Sudarman hanya patah tulang tangan dan kakinya, akan tetapi gurunya, Ki Bajra, terkena pukulan berhawa panas yang ampuh sekali. Aji mengikuti mang Engkos ke rumah keluarga itu yang berada dipinggir kota, di bagian yang sunyi karena rumah itu agak terpencil. Sebuah rumah yang cukup besar walaupun sederhana. Ternyata di rumah itu hanya tinggal Mang Engkos yang sudah menduda dan putera tunggalnya, yaitu Sudarman dan beberapa orang keponakan laki-laki yang suka datang untuk membantu pekerjaan Mang Engkos di sawah ladang.

   Para keponakan inipun menjadi murid Ki Bajra yang sudah beberapa tahun tinggal di rumah Mang Engkos karena kakek ini seorang perantau yang tidak mempunyai keluarga. Aji memeriksa keadaan Sudarman yang rebah di dalam sebuah kamar di atas tempat tidur kayu. Pemuda itu tersenyum ketika diperkenalkan kepada Aji. Dia sudah mendengar dari saudara-saudara seperguruannya betapa Aji telah menghajar keras jagoan dari banten itu dan menyelamatkan Neneng Salmah dari penghinaan.

   "Andika hebat sekali dapat mengalahkan Jaka Bintara yang digdaya itu!"

   Kata Sudarman sambil memandang dengan sinar mata kagum. Kaki dan tangannya dibalut kuat-kuat dan biarpun dia menderita nyeri yang cukup hebat, namun wajahnya tersenyum dan sedikitpun tidak tampak menderita!

   "Bagaimana Darman? Apakah tidak terasa nyeri lagi?"

   Tanya ayahnya sambil duduk di tepi pembaringan.

   "Tentu saja nyeri, bapa. Panas, berdenyut-denyut dan seperti ditusuk-tusuk."

   Jawab Sudarman, akan tetapi sambil tersenyum memandang ayahnya.

   "Akan tetapi, kulihat wajahmu sama sekali tidak tampak menderita, Darman! Bagaimana mungkin itu? Engkau malah tersenyum-senyum seolah merasa enak saja!"

   Kata Mang Engkos dengan heran.

   Sudarman memandang kepada Aji yang masih berdiri di situ dan tersenyum lebar.

   "Lalu bagaimana, bapa? Apakah aku harus menjerit-jerit dan menangis? Itupun tidak akan mengurangi rasa nyeri. Yang patah adalah tulang kaki tangan saya, yang nyeri adalah kaki dan tangan itu, bukan aku, bapa."

   Kata pemuda itu sambil menunjuk dada sendiri.

   "Hemm, bagaimana ini? Aku tidak mengerti, Darman. Kalau engkau merasa nyeri, bagaimana wajahmu dapat terenyum dan berseri-seri seperti ini?"

   Tanya Mang Engkos smbil mengeleng-geleng kepalanya.

   "Ha-ha, bapa. Inilah satu diantara ilmu-ilmu yang kupelajari dari Bapa Guru. Aku yakin ki sanak yang sakti mandraguna ini dapat menjelaskannya kepadamu."

   Mang Engkos menoleh kepada Aji yang masih berdiri dan mendengarkan percakapan antara anak dan ayah itu sambil tersenyum.

   "Anakmas Lindu Aji, benarkah andika mengerti apa yang diucapkan anakku tadi? Jangan-jangan dia itu bicara ngaco karena nyeri dan demam!"

   Aji mengangguk.

   "Aku mengerti, paman. Begitulah kalau sang rasa sudah masuk ke dalam nyeri sehingga menjadi satu, tidak ada perpisahan antara nyeri dan rasa sehingga orangnya tidak tahu lagi apakah yang dirasakan itu nyeri ataukah nikmat."

   "Eh? Bagaimana ini? aku menjadi tambah tidak mengerti!"

   Kata Mang Engkos.

   "sudahlah, bapa. hal itu tidak akan dimengerti oleh yang belum menguasai ilmu itu. Pokoknya, kita terima tanpa perlawanan, tanpa keluhan, menerimanya tidak sebagai kenyerian, melainkan sebagai sesuatu yang wajar. Eh, ki sanak, aku tadi mendengar tentang pertandingan melawan Jaka Bintara. hebat sekali! Siapakah namamu tadi?"

   "Namaku Lindu Aji."

   "Andika masih muda sekali namun sudah sakti mandraguna, Akimas Aji. Sekarang aku minta agar andika tidak kepalang tanggung menolong dan menyelamatkan orang."

   Aji memandang pemuda yang rebah telentang di atas pembaringan itu dengan sinar mata bertanya.

   "Menolong dan menyelamatkan siapakah, Kakangmas Sudarman?"

   "Siapa lagi kalau bukan Neneng Salmah? Tolong selamatkan ia, dimas. Ia seorang gadis yang baik sekali, walaupun bekerja sebagai seorang ledek."

   "Akan tetapi..... ia kenapa?"

   Tanya Aji.

   "Ah, setelah peristiwa tadi, aku merasa gelisah sekali, dimas. Aku sendiri dan bapa guru sudah tidak berdaya, dan Neneng Salmah tidak mempunyai pelindung. Pada hal peristiwa tadi..... ah, aku yakin bahwa ia berada dalam bahaya besar."

   "Bahaya besar? Bahaya apa dan siapa yang akan mengganggunya?"

   "Siapa lagi kalau bukan orang Banten itu? Aku melihat sikapnya dan orang seperti itu tentu tidak akan mau berhenti sebelum niat busuknya terlaksana. Dan Tumenggung Jayasiran agaknya amat menghormatinya. Dengan campur tangan sang tumenggung, tidak mungkin Neneng Salmah akan dapat lolos dari cengkeraman orang Banten itu, kecuali kalau andika mau menolongnya."

   "Akan tetapi bagaimana caranya, kangmas Sudarman?"

   "Begini, dimas. Malam ini biar andika diantar bapa berkunjung ke rumah Ki Salmun, yaitu ayah Neneng Salmah.

   Biar Bapa yang menerangkan bahwa sebaiknya andika bermalam di sana untuk menjaga kalau-kalau ada bahaya mengancam gadis itu. Andika tentu bersedia menolong, bukan?"

   Aji mengerutkan alisnya.

   "Tentu saja aku selalu siap sedia menolong siapapun juga. Akan tetapi kalau aku bermalam di sana, apa akan kata orang? Tentu akan menjadi bahan pergunjingan bahwa ada apa-apa yang tidak pantas antara aku dan Neneng Salmah."

   "Perduli apa dengan gunjingan orang, dimas? Yang penting kan kita tidak melakukan hal tidak pantas! Kalau andika menolak lalu besok mendengar bahwa Neneng Salmah mengalami bencana, apakah andika tidak akan menyesal?"

   Kata Sudarman dengan suara mendesak.

   Aji mengerutkan alisnya. Benar juga apa yang dikatakan pemuda yang bijaksana ini. Biarpun orang sedunia menuduhnya, kalau memang kenyataannya dia tidak melakukan apa yang dituduhkan orang, megapa dia mesti pusing? Gurunya juga selalu mengajarkan bahwa yang penting bagi seseorang adalah eling lan waspodo (ingat dan waspada), yaitu ingat setiap saat dan menyerah kepada Gusti Allah dan waspada terhadap pikiran, kata, dan perbuatan sendiri. Kalau kita waspada dan sadar bahwa kita bersalah, inilah yang penting dan harus kita ubah. Sebaliknya kalau kita tidak bersalah, mengapa harus memusingkan gunjinagn orang? dan kalau benar besok terjadi sesuatu yang mencelakakan Neneng Salmah pada hal dia menolak bermalam di sana, tentu saja dia akan merasa menyesal bukan main.

   "Apa yang dikatakan Darman itu benar, anakmas Lindu Aji. mari kuantar andika berkunjung ke sana."

   Aji mengangguk dan berangkatlah mereka berdua ke rumah Neneng Salmah yang berada di sebelah utara tepi kota kadipaten Sumedang. Akan tetapi, begitu tiba di rumah Ki Salmun, mereka menemukan Ki Salmun menangis kebingungan. Mang Engkos segera bertanya apa yang telah terjadi sedangkan Aji mendengarkan dengan alis berkerut. Ketika Ki salmon melihat Aji dan mengenalnya sebagai pemuda perkasa yang tadi telah menghajar Jaka Bintara dia lalu berlutut menyembah-nyembah.

   "Raden..... tolonglah anak saya..... tolonglah Neneng Salmah."

   Aji memegang kedua pundak Ki Salmun dan menariknya bangkit.

   "Tenanglah, paman. tenang dan ceritakan apa yang terjadi."

   "Serombongan perajurit datang dan memaksa Neneng Salmah ikut ke rumah Raden Tumenggung Jayasiran yang memanggilnya. Anak saya menolak akan tetapi dipaksa, diseret ke dalam kereta dan dibawa pergi.....

   "

   Kata Ki Salmun denngan bingung.

   "Kapan hal itu terjadi, paman?"

   Tanya Aji.

   "Baru saja dan saya tidak tahu harus berbuat apa. Tolonglah..... tolong anak saya, raden.....

   "

   "Mang Engkos, temani paman ini dulu. Aku hendak menyusul dan menolong Neneng Salmah!"

   Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban tubuh Aji berkelebat lenyap karena dia sudah mempergunakan Aji Bayu Sakti, meloncat dan berlari secepat angin menembus kegelapan malam menuju ke rumah Tumenggung Jayasiran.

   Ternyata rumah gedung itu telah sepi. Pesta tadi telah bubar hanya tinggal bekasnya saja, daun dan kertas bekas pembungkus makanan berserak di pekarangan, di bawah panggung. Aji memasuki pekarangan yang sepi, lalu menyusup ke samping dan melompati pagar tembok samping yang tidak begitu tinggi. Dia turun ke sebelah dalam yang ternyata merupakan sebuah taman dan menyelinap di antara pohon dan semak menuju ke gedung yang sudah tampak sunyi itu. Dia bingung karena tidak tahu di mana Neneng Salmah berada, akan tetapi dia yakin bahwa tentu gadis penari itu dibawa ke gedung ini.

   Tiba-tiba dia mendengar jerit wanita, akan tetapi segera jerit itu terdiam seolah mulut yang menjerit itu dibungkam. Jeritan pendek itu cukup bagi Aji yang memberi petunjuk ke mana dia harus mencari.

   Cepat dia melompat ke bagian belakang gedung. Dia melihat sinar lampu menyorot keluar dari celah-celah jendela sebuah kamar dan terdengar napas orang terengah engah dari dalam kamar itu. Aji lalu mendorong daun jendela kamar dan jendela itupun jebol. Di bawah sinar lampu gantung di kamar itu, dia melihat Neneng Salmah mempertahankan diri, bergumul di atas pembaringan dengan seorang pria yang berusaha merenggut lepas pakaiannya. Gadis itu melawan dengan gigih, mempertahankan pakaiannya dengan cakaran, gigitan dan pukulan. Mulutnya tak mampu mengeluarkan suara karena didekap tangan kiri penyerangnya yang bukan lain adalah Raden Jaka Bintara!

   Ternyata Jaka Bintara inilah yang karena merasa penasaran, minta kepada Tumenggung Jayasiran agar dia dapat menguasai Neneng Salmah yang digandrunginya. Tumenggung itu merasa sungkan untuk menolak, apa lagi tadi dia tidak dapat mencegah pangeran Banten yang dikalahkan dan dipermalukan di depan umum. Untuk menghibur hati pangeran itu, Tumenggung Jayasiran memenuhi permintaannya dan memerintahkan pasukan memanggil Neneng Salmah dan memaksa gadis itu datang ke gedungnya dan menyerahkannya kepada Jaka Bintara.

   Pemuda bangsawan Banten itu menjadi girang sekali dan setelah dia memasuki kamar di mana Neneng Salmah dikeram, dia menerkam gadis itu bagaikan seekor binatang buas! Namun gadis itu melawan dengan sekuat tenaga bahkan sempat mengeluarkan jeritan Ketika daun jendela jebol, Jaka Bintara terkejut dan dia menjadi lebih kaget lagi ketika menengok ke jendela yang sudah terbuka, dia melihat wajah Aji yang tertimpa sinar lampu dari dalam. Dia terbelalak dan merasa gentar karena dia maklum bahwa dia tidak mampu menandingi pemuda yang sakti mandraguna itu. Apa lagi melihat sinar mata Aji mencorong, Jaka Bintara merasa gentar dan maklum bahwa bahaya besar mengancam dirinya. Orang yang suka bertindak kejam dasarnya memang menyembunyikan perasaan takut.

   Maka perasaan takut membuat pemuda ini melepaskan Neneng Salmah dan diapun melompat, membuka daun pintu kamarnya dan lari meninggalkan kamar itu. Dia harus cepat mencari bala bantuan dan siapa lagi kalau bukan gurunya yang akan mampu menandingi Lindu Aji? Setelah melihat Jaka Bintara melarikan diri, Aji melompat masuk ke dalam kamar itu. Neneng Salmah membereskan pakaiannya yang awut-awutan dan saking lega dan girangnya ia lalu lari menghampiri Aji, menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu dan merangkul kedua kakinya, menyembah dan mencium kaki seperti orang melakukan sungkem (menghormati orang dengan sembah sujud).

   "Terima kasih, raden..... terima kasih.....

   "

   Aji cepat memegang lengan gadis itu dan menariknya bangkit.

   "Cukup, mari kita cepat pergi dari sini."

   Neneng Salmah adalah seorang wanita yang tabah. Ia tidak menangis walaupun kedua pipinya masih basah, Ia mengangguk sambil bangkit berdiri dan menurut saja ketika Aji menarik lengannya menghampiri jendela. Akan tetapi pada saat itu Neneng Salmah berseru.

   "Awas, raden.....!"

   Aji cepat membalik dan melihat Kyai Sidhi Kawasa sudah berdiri di ambang pintu. Di belakangnya berdiri Jaka Bintara yang berlindung di belakang gurunya. Agaknya Kyai Sidhi Kawasa sudah marah sekali dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah mendorongkan kedua tangannya dengan Aji Analabanu. Sinar api berkobar menyambar dari kedua telapak tangannya ke arah Aji. Akan tetapi pemuda itu dengan tenangnya namun dengan pengerahan tenaga sakti sepenuhnya menyambut dengan dorongan kedua tangannya pula. Karena maklum bahwa tenaga kakek ini tentu jauh lebih kuat daripada tenaga Jaka Bintara, maka Aji juga menggunakan Aji Guruh Bumi. Begitu dia mengerahkan tenaga untuk menyambut, kamar itu seolah tergetar hebat, seolah ada gempa bumi. Demikain hebatnya Aji Guruh Bumi itu.

   "Wuuuttt..... blarrrr.....!"

   Dua tenaga sakti yang amat kuat bertemu dan akibatnya, tubuh Kyai Sidhi Kawasa tergetar, sehingga dia melangkah mundur tiga kali. Aji tidak terpengaruh benturan tenaga itu dan dia cepat memondong tubuh Neneng Salmah dan membawanya melompat keluar jendela. Gadis itu memejamkan mata ketika merasa betapa pinggangnya dirangkul dan tubuhnya dibawa "terbang", demikain rasanya karena cepat sekali Aji yang memondongnya itu membawanya lari dan melompati pagar tembok sehingga mereka tiba di luar gedung itu. Barulah Aji menurunkan tubuh Neneng Salmah dari pondongannya. barulah wajah Aji menjadi kemerahan dan jantungnya berdebar.

   "Ah..... nimas, maafkan aku. Terpaksa aku tadi memondongmu agar dapat lari dengan cepat."

   Kata Aji.

   Neneng Salmah menjadi semakin kagum. Tadi, ketika melihat pemuda ini menghajar Jaka Bintara, ia sudah merasa kagum dan merasa dibela kehormatannya. Karena itu, ketika ia berada dalam cengkeraman Jaka Bintara dalam kamar tadi, bagaikan seekor domba dalam cengkeraman harimau, lalu Aji muncul dan membuat laki-laki jahat itu melarikan diri, ia menjadi terharu dan bersukur sekali sehingga ia menjatuhkan diri berlutut dan sungkem di depan kaki Aji. Kemudian, pemuda yang dikaguminya itu bahkan melawan serangan kekek mengerikan itu, kemudian memondongnya dan membawanya lari keluar dari gedung Tumenggung Jayasiran. Dan apa yang dilakukan pemuda itu setelah menyelamatkannya dari bahaya yang lebih mengerikan baginya dari pada kematian? Pemuda itu malah minta maaf karena tadi memondongnya! Belum pernah selama hidupnya Neneng Salmah menemukan pemuda seperti ini!

   Bijaksana dan berbudi, lemah lembut dan bersusila tinggi! Biasanya, semua laki-laki seperti berlumba untuk dapat menjamahnya, baik mempergunakan pengaruh uang, kedudukan, rayuan atau paksaan. Akan tetapi pemuda ini, yang memondongnya karena hendak membawanya lari dan menyelamatkannya, malah minta maaf! Dan sebutan itu! Nimas! Betapa merdu memasuki telinganya. Betapa membuat ia merasa terhormat. Pada hal, hampir semua pria, kecuali Sudarman, seolah memandang rendah padanya. mereka mengira bahwa semua ledek adalah wanita murahan yang mudah menyerahkan diri kepada setiap orang laki-laki yang mampu memberinya uang! Ia tahu apa artinya sebutan nimas itu, seperti sebutan adinda yang mesra dan akrab. Walaupun sebutan itu biasa dipergunakan di Jawa Tengah, di Mataram, namun ia tahu artinya, maka terdengar amat merdu menyenangkan.

   "Aduh, raden..... akulah yang sepatutnya mohon maaf kepadamu. Raden sama sekali tidak mengenalku, akan tetapi andika telah menyelamatkan aku dari bencana, telah menolongku dengan mempertaruhkan keselamatan diri raden sendiri. Akulah yang sepatutnya mohon maaf dan menghaturkan terima kasih. Sampai mati aku tidak akan melupakan budi kebaikanmu yang berlipah itu, raden."

   "Hemm, jangan sebut aku raden, Nimas Neneng Salmah. Aku bukan bangsawan seperti Raden Jaka Bintara itu. Aku seorang dusun biasa, namaku Lindu Aji. engkau cukup memanggilku Mas Aji saja."

   "Baiklah, Mas Aji. Bertambah lagi nilai andika di dalam pandanganku. Ternyata andika seorang pemuda yang rendah hati, pula. Akan tetapi dalam pandanganku, andika jauh lebih bijaksana, lebih berharga dari pada sekalian laki-laki bangsawan yang pernah kujumpai dan aku berterima kasih sekali kepadamu."

   "Sudahlah, kalau hendak berterima kasih, berterima kasih dan bersukurlah kepada Gusti Allah karena hanya Gusti Allah yang dapat menolong manusia. Aku hanya menjadi alat, menjadi sarana. Mari kuantar engkau pulang ke rumah Ki Salmun yang menunggumu dengan hati gelisah."

   "Bapa..... ah bapa..... kasihan dia."

   Mereka lalu bergegas menuju rumah Ki Salmun. Sementara itu, Kyai Sidhi Kawasa dan Jaka Bintara yang merasa penasaran hendak melakukan mengejaran dan akan minta bantuan pasukan. Akan tetapi Tumenggung Jayasiran muncul dan mencegah mereka.

   "Jangan kejar mereka. Ketahuilah, baru saja aku mendapat kabar bahwa yang bernama Lindu Aji itu mempunyai keris pusaka Nagawelang!"

   "Hemm, lalu apa artinya itu?"

   Tanya Kyai Sidhi Kawasa.

   "Itu berarti bahwa dia adalah seorang utusan dan kepercayaan Sultan Agung di Mataram. Dia seorang senopati Mataram!"

   Kata Tumenggung Jayasiran.

   "Baru saja aku mendapat berita ini dari seorang perajurit pengawal sang adipati. Karena itu, sebaiknya kita tidak membuat permusuhan dengan dia. Bahkan besok pagi sekali kuharap paman mendahuluinya menghadap Gusti Adipati Pangeran Mas Gede, untuk mempererat persahabatan antara Banten dan Sumedang karena saya berpendapat bahwa Lindu Aji itu pasti datang menghadap sang adipati besok. Kalau paman melakukan pengejaran dan menggunakan pasukan, kemudian diketahui sang adipati, saya tentu akan mendapat teguran keras, paman. Sebaliknya, kalau paman menghadap lebih dulu dan dapat meyakinkan hati sang adipati bahwa Lindu Aji itu mungkin dikirim Mataram sebagai mata-mata dapat membangkitkan kecurigaan dalam hati sang adipati, hal itu akan menguntungkan kita."

   Karena alasan yang dikemukakan tumenggung jayasiran itu kuat, biarpun hatinya masih penasaran, Kyai sidhi kawasa terpaksa mengangguk-angguk dan dia mengajak muridnya kembali ke kamarnya. Jaka Bintara yang sudah dua kali merasa dihalangi dan diganggu Aji, mengepal kedua tangannya.

   "Akan kubunuh dia..... kubunuh dia.....!"

   "Salmah, anakku.....!"

   Ki Salmun merangkul anaknya dan keduanya berangkulan sambil menangis.

   Mang Engkos yang berada di situ menemui Ki Salmun berkata kepada Ki Salmun.

   "Sudahlah, kita harus bersukur bahwa Neneng Salmah dapat pulang dengan selamat berkat pertolongan Anakmas Lindu Aji."

   Ki Salmun seperti diingatkan. Dia melepaskan anaknya lalu membungkuk dan menyembah kepada Lindu Aji.

   "Anakmas, banyak terima kasih atas pertolongan andika. Budi kebaikan terhadap kami sekeluarga sungguh tak ternilai besarnya."

   "Sudahlah, paman. Mari kita mengucap sukur dan menghaturkan terima kasih kepada Gusti Allah. Sekarang, yang penting adalah paman dan Nimas Neneng Salmah harus pergi meninggalkan Sumedang untuk mencegah terjadinya hal-hal yang lebih buruk lagi."

   Ayah dan anak itu saling pandang dengan mata terbelalak dan Neneng Salmah memutar tubuh menghadapi Aji dengan wajah pucat.

   "mas Aji..... kami..... kami harus pergi meninggalkan rumah sekarang juga, malam-malam begini? Akan tetapi kemana, mas..... ?"

   "Benar, nimas. terpaksa engkau dan ayahmu harus pergi sekarang juga, kalau tidak, tentu akan

   (Lanjut ke Jilid 26)

   Alap Alap laut Kidul (Seri ke 03 Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 26

   muncul gangguan-gangguan baru yang lebih buruk lagi karena sudah jelas bahwa Tumenggung Jayasiran berpihak kepada orang Banten itu. Besok aku akan melaporkan kepada Paman Adipati Sumedang, minta keadilan. Akan tetapi engkau dan ayahmu harus pergi dulu sehingga tidak akan terancam bahaya selagi aku pergi menghadap ke kadipaten."

   "Akan tetapi..... Akang..... eh, Mas Aji. Ke manakah kami harus pergi malam-malam begini?"

   Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Suara gadis itu terdengar gemetar seperti hendak menangis, bahkan Ki Salmun juga bingung dan tidak mampu berkata apa-apa. Meninggalkan Sumedang malam-malam begini, lalu hendak kemanakah?

   "Apakah andika tidak memiliki keluarga yang tinggal jauh dari Sumedang, Paman Salmun?"

   Ki Salmun menggeleng kepalanya tanpa mengeluarkan suara karena dia bingung sekali. Bingung harus bersama puterinya pergi begitu saja, meninggalkan rumah seisinya, tanpa tahu harus pergi ke mana!

   "Kang Aji.....

   "

   Dalam kegugupannya Neneng Salmah keliru menyebut akang, bukan mas kepada Aji yang sesungguhnaya masudnya sama, yaitu kakak atau kanda.

   "Kami tidak mempunyai sanak dekat yang kiranya akan mampu menampung kami."

   "Kalau begitu, aku yang akan mengatur. Malam ini juga, andika berdua harus meninggalkan Sumedang dan mengungsi ke Cirebon."

   "Ke Cirebon?"

   Kata Ki Salmun.

   "Tapi..... tapi kami tidak mempunyai keluarga di sana.....

   "

   "Aku mempunyai sahabat yang amat baik, paman, yaitu Ki Subali yang tinggal di Indramayu. Akan tetapi, sebelum andika pergi ke Indramayu dan tinggal bersama Ki Subali, harap andika lebih dulu pergi ke Kadipaten Cirebon, menghadap Adipati Cirebon Pangeran Ratu."

   Kembali Ki Salmun terbelalak heran.

   "Menghadap Gusti Adipati Cirebon? Saya..... saya..... tidak berani, anakmas!"

   "Jangan takut, paman. Aku akan membuatkan sepucuk surat dan paman hanya tinggal menghadap dan menyerahkan surat itu saja. Gusti Adipati Pangeran Ratu tentu akan menyambut paman dan Nimas Neneng Salmah dengan baik. Kemudian baru andika berdua pergi ke Dermayu, menemui Paman Subali dan menyerahkan pula suratku kepadanya."

   "Taapi.....!"

   Orang tua itu tampak bingung dan memandang ke sekeliling dalam rumahnya.

   "lalu bagaimana dengan rumah dan semua milik kami ini?"

   "Jangan khawatir, paman. Kukira paman..... eh, Mang Engkos akan mau menjaganya dan kelak kalau perlu atas namamu menjual semua ini dan uangnya dapat paman pergunakan untuk membeli rumah dan sawah ladang di Dermayu, kalau segalanya sudah tenang kembali. Atau ada kemungkinan juga andika berdua kembali kesini, yaitu..... kalau keadaan sudah aman dan nimas Neneng Salmah sudah mempunyai seorang suami yang dapat melindunginya."

   "Tentu saja aku mau mengurus rumah seisinya ini untuk Adi Salmun. Jangan khawatir akan hal itu!"

   Kata Mang Engkos dengan serius.

   "Nah, sekarang aku akan membuat surat untuk Paman Adipati Cirebon dan untuk Paman Subali di Dermayu. Andika berdua dapat berkemas, membawa apa yang sekiranya perlu. dan Paman..... eh, Mang Engkos, harap suka mencarikan sebuah kereta dengan kuda-kuda yang dapat disewa untuk mengantar Paman Salmun dan Nimas Salmah ke Cirebon."

   Mang Engkos segera pergi. Ki Salmun dan Neneng Salmah, biarpun masih bingung, segera berkemas, membawa pakaian dan barang berharga yang tidak terlalu berat, sementara itu Aji lalu membuat dua pucuk surat yang akan dibawa ayah dan anak itu. Setelah semua beres, Ki Salmun dan Neneng Salmah selesai berkemas, kereta dan dua ekor kuda beserta kusirnya sudah datang, Aji sudah pula menyelesaikan dua sampul suratnya, pemuda itu berkata.

   "Nah, sekarang tiba saatnya bagi andika berdua berangkat, Paman Salmun."

   Ayah dan anak itu masih tampak bingnung.

   "Aku..... aku masih merasa tidak tenang dan khawatir, anakmas.....

   "

   "Dan aku juga takut, Mas Aji. Bagaimana nanti kalau dalam perjalanan ada oang jahat menhadang dan mengganggu kami.....

   "

   Suara Neneng Salmah seperti hendak menangis.

   "Tenanglah, paman dan engkau juga, Nimas. Aku sendiri akan mengawalmu malam ini meninggalkan Sumedang. Baru setelah malam lewat dengan aman, besok pagi andika berdua boleh melanjutkan perjalanan tanpa aku."

   Wajah Neneng Salmah yang tadinya muram dan bendungan tangisnya hampir bobol, tiba-tiba saja tampak berseri dan mulutnya tersenyum. Hampir ia melompat dan menari-nari saking girangnya.

   "Andika mengantar kami, Mas Aji? Aduh terima kasih, terima kasih. Kalau begitu, mari kita berangkat sekarang juga! Aku tidak takut lagi!"

   Juga Ki Salmun merasa lega dan dapat tersenyum.

   "Hanya sampai besok pagi, nimas. Besok pagi aku harus kembali ke sini karena masih ada urusan yang harus diselesaikan. Aku akan menghadap Paman Adipati Sumedang, melaporkan semua kejadian ini agar beliau dapat turun tangan dan mengusir orang-orang Banten yang agaknya didukung Tumenggung Jayasiran itu."

   "Nanti dulu, aku ingin bicara dan mengajukan saran. maafkan kalau aku bicara salah, anakmas Aji."

   Kata Mang Engkos.

   "Tentu saja boleh. Saran siapapun akan membantu dan amat penting, Mang Engkos. Mungkin saranmu lebih baik daripada apa yang hendak kulakukan."

   Kata Aji.

   "Begini, Anakmas Aji dan kalian juga, adi Salmun dan Neneng Salmah. Kukira, kepergian adi Salmun dan anaknya tidak perlu begini tergesa-gesa. Aku mendengar bahwa anakmas Aji telah menyelamatkan Gusti Adipati dari serangan Tumenggung Jaluwisa yang memberontak. Dengan demikian, tentu anakmas dipercaya oleh Gusti Adipati. Kalau anakmas melaporkan semua ini kepada beliau, tentu beliau akan bertindak, mengusir orang Banten itu dan menindak Tumenggeng Jayasiran. Nah, kalau sudah begitu, bukankah berarti keadaan menjadi aman dan Neneng Salmah tidak terancam lagi. Kalau sudah begiru, aku kira tidak perlu lagi ayah dan anak ini melarikan diri dari Sumedang. Bagaimana pendapat kalian? Bukankah sebaiknya kepergian ini ditunda dan menanti sampai besok pagi, melihat bagaimana keadaannya setelah Anakmas Aji melapor kepada Gusti Adipati?"

   Ayah dan anak itu memandang kepada Aji dengan sinar mata penuh harapan. tentu saja mereka juga ingin sekali agar tetap tinggal di Sumedang dan mereka menganggap usul mang Engkos itu baik sekali. Aji menyambut pandangan mereka dan diapun termenung. Bagaimanapun juga, usul itu memang patut diperhatikan. Besar kemungkinan Adipati Sumedang akan mendengarkan laporannya dan bertindak. Kalau Jaka Bintara dan gurunya telah diusir dari Sumedang dan Tumenggung Jayasiran telah ditindak, berarti tidak ada lagi ancaman bagi Neneng Salmah. Mengapa tergesa-gesa menyuruh mereka menyingkir malam-malam begini? Aji mengangguk-angguk.

   

Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini