Bagus Sajiwo 22
Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Bagian 22
Akan tetapi Ki Tejomanik. menyadari keadaan lalu berkata kepada puteranya! "Bagus Sajiwo, nanti saja kita rayakan pertemuan yang membahagiakan ini. Sekarang waspadalah karena kita menghadapi lawan yang amat tangguh dan berbahaya!"
Retno Susilo juga menyadari keadaan, maka ia melepaskan rangkulannya. Bagus Sajiwo bangkit berdiri dan mereka semua memandang ke arah Maya Dewi yang masih memperolok-olok Tejakasmala dan kawan-kawannya.
Tantangan Maya Dewi tadi membuat telinga Tejakasmala menjadi merah. Akan tetapi dia juga merasa kagum kepada wanita yang amat cantik itu. Dia maklum bahwa wanita itu bukanlah seorang gadis yang masih hijau. Biarpun tampak masih muda namun jelas bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang sudah matang, cerdik, sakti dan berbahaya.
"Hemm, wanita cantik bermulut tajam dan bernyali harimau, siapakah Andika? Mengaku Siapa Andika agar aku dapat mempertimbangkan apakah Andika juga layak dibunuh atau tidak!"
Kata Tejakasmala.
Maya Dewi tersenyum manis sekali. Tadi, ia melihat betapa pemuda tampan ini telah mengalahkan Lindu Aji! Hal ini saja sudah membuktikan bahwa pemuda itu memang sakti mandraguna dan merupakan lawan yang amat tangguh sekali. Ia pun ingin sekali mengetahui siapa orang masih begini muda tiba-tiba muncul sebagai orang yang amat sakti ini. Sengaja ia memancing kemarahan orang dengan kata-kata yang meremehkan.
"Eh, engkau ini cucuku berani bersikap tidak tahu aturan kepada Nenekmu? Orang muda harus memperkenalkan diri lebih dulu!"
Wajah Tejakasmala menjadi merah. Wanita ini benar-benar berlidah tajam.
"Baik, aku Tejakasmala, murid utama Sang Bhagawan Ekabrata dari Gunung Agung di Bali-dwipa! Nah, mengakulah engkau, siapa namamu berani menantang kami!"
Diam-diam Maya Dewi terkejut. Tentu saja ia sudah mendengar akan nama besar Sang Bhagawan Ekabrata, pertapa di Gunung Agung, Bali-dwipa itu. Nama besarnya sudah tersohor sampai ke Banten! Akan tetapi ia sengaja tersenyum seperti memandang ringan.
"Ah, ruranya murid Bhagawan Ekabrata dari Gunung Agung? Ketahuilah, Tejakasmala, aku Maya Dewi..."
"Babo-babo!"
Tiba-tiba Candrabaya, senopati Klungkung yang berusia tiga puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan berwajah bopeng itu berseru.
"Aku pernah mendengar nama Maya Dewi! Bukankah Andika yang dijuluki Iblis Cantik dari Banten itu?"
Maya Dewi tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang putih berkilat.
"Dahulu memang benar, akan tetapi sekarang aku berjuluk Dewi Pembunuh Iblis macam engkau ini!"
"Bojleng-bojleng Iblis Laknat!"
Candrabaya memaki.
"Aku mendengar bahwa Maya Dewi musuh bebuyutan Mataram! Akan tetapi sekarang malah mcmbantu orang-orang Mataram, keparat! Engkau pengkhianat!"
"Heh, muka buruk yang buruk! Aku mau begini begitu, apa pedulimu? Kalau engkau, berani, majulah, biar kukirim ke akhirat. menjadi intip neraka kau!"
"Raden Tejakasmala, serahkan perempuan ini kepada kami, akan kujuwing-juwing (cabik-cabik) tubuhnya, kuhancur-lumetkan kepalanya!"
Candrabaya berteriak dan Candrasakti, rekannya yang juga senopati dari Kerajaan Klungkung sudah bergerak mendampinginya menghadapi Maya Dewi!
Tejakasmala lebih memperhatikan Bagus Sajiwo yang tadi telah menangkis serangan mautnya yang dia tujukan kepada Ki Tejomanik dan Lindu Aji beserta isteri mereka. Dia tahu bahwa pemuda yang baru datang ini yang kemudian melihat adegan singkat tadi dia ketahui bahwa dia adalah putera Ki Tejomanik, merupakan seorang lawan yang tangguh, bahkan lebih tangguh dibandingkan Ki Tejomanik atau Lindu Aji! Maka, dia tidak begitu memperdulikan Maya Dewi dan ketika Candrabaya dan Cakrasakti berdua menghadapi Maya Dewi, dia hanya mengangguk saja untuk menjawab ucapan Candrabaya tadi. Pandang matanya masih terus ditujukan kepada Bagus Sajiwo yang kini sudah berdiri di depan kedua orang tuanya, menghadapinya.
Sementara Itu, Maya Dewi yang sudah menghadapi dua orang senopati Klungkung itu, mengejek.
"Hai, kalian berdua orang-orang jelek dari Bali. Katakan dulu siapa kalian agar kelak aku dapat mengabarkan kepada keluarga kalian bahwa kalian sudah mampus hari ini!"
"Maya Dewi, perempuan keparat!"
Bentak Candrabaya marah.
"Kami Candrabaya dan Cakrasakti, dua orang senopati Kerajaan Klungkung, hari ini akan menamatkan riwayatmu. Haaiilihhh!!".
Candrabaya sudah menerjang maju, tangan kanannya yang panjang dan besar itu menyambar dalam bentuk cakar ke arah dada Maya Dewi! .
Melihat sambaran tangan. itu, Maya Dewi maklum bahwa kepandaian orang ini tak perlu dikhawatirkan, Sebelum ia bertemu Bagus Sajiwo dan memperoleh tambahan tenaga sakti karena makan Jamur Dwipa Suddhi dan berlatih AJI Sari Bantala, tingkat kepandaian Candrabaya ini masih tidak akan mampu menandinginya. Apalagi sekarang. Dengan amat mudahnya is mengelak. Hanya sedikit saja menggeser kaki miringkan tubuh, cengkeraman tangan Candrabaya hanya mengenai tempat kosong. Pada saat itu Cakrasakti berseru nyaring sambil menghantam dengan kepaian tangannya yang panjang kurus.
"Ciaaaattt...!!"
Kepalan tangan yang hanya merupakan tulang terbungkus kulit itu menyambar cukup hebat, mendatangkan. angin bersiut. Namun, sambil tersenyum Maya Dewi mengelak lagi.
Dua orapg senopati itu menjadi penasaran sekali. Serangan pertama mereka dielakkan demikian mudahnya oleh Maya Dewi dan gerakan wenita itu ketika mengelak mengejek sekali, seperti orang merem saja, seperti seorang dewasa mempermainkan dua orang anak nakal! Mereka menyerang lebih hebat lagi, dan dengan gencar. Bertubi-tubi mereka menyerang, dari kanan kiri, dari depan, belakang, menggunakan segala macam pukulan dan tendangan.
Semua orang yang menonton menjadi kagum. Maya Dewi masih tersenyum-senyum, terkadang tertawa mengejek.
"Luput! Wah luput lagi!. ih, gerakan kalian seperti siput lambatnya den pukulan kalian seperti gudir (agar-agar) lunaknya!"
Ia mengejek dan tubuhnya bagaikan berubah menjadi bayangan yang berkelebatan diantara sambaran, tangan dan kaki kedua orang yang menyerangnya.
Mendapat ejekan seperti, itu, Candrabaya dan Cakrasakti menjadi marah bukan main. Seolah terbakar hati mereka, kemarahan membuat mata mereka menjadi merah dan napas mereka panas, rambut serasa berdiri dan mereka menerjang dan menubruk seperti gila.
Maya Dewi sengaja mempermainkan mereka sambii mentertawakan dengan maksud agar orang-orang yang memusuhi orang tua Bagus Sajiwo ini menjadi buah tertawaan dan mendapatkan penghinaan. Dengan tenaga sakti dahsyat yang mengaiir dalam tubuhnya, ia dapat bergerak sedemikian cepatnya sehingga dua orang itu sama sekali tidak mampu menyentuh ujung bajunya, apalagi melukainya.
Setelah merasa cukup mempermainkan mereka, tiba-tiba bayangan Maya Dewi meluncur ke atas dan tiba2 ketika tubuhnya berada diatas, kakinya bergerak mencuat dua kali.
"Crot! Crot!"
Bayangan Maya Dewi meluncur turun kembali dan ia berdiri sambil bertolak pinggang melihat dua orang itu terhuyung dan memegangi pipi mereka yang bengkak dan bibir mereka yang pecah berdarah terkena tendangan tadi!
Tejakasmala terkejut bukan main! Wanita itu sungguh tak boleh dipandang ringan, pikirnya. Gerakan-gerakannya menunjukkan bahwa Maya Dewi seorang yang sakti mandraguna dan dapat bergerak sedemikian ringan dan gesitnya seperti seekor burung srikatan saja!
Dia hendak mencegah dua orang senopati yang mengikutnya itu, akan tetapi terlambat. Tenaga sakti dan Candrabaya menjadi demikian marahnya sehingga mereka melupakan rasa nyeri pada pipi mereka yang membuat kepala terasa nyut-nyutan dan mereka sudah mencabut sebatang keris yang panjang dan besar menyeramkan. Kemudian, tanpa banyak kata lagi, bahkan hampir tidak mampu mengeluarkan kata-kata saking marahnya, mereka mengeluarkan gerengan seperti dua ekor biruang marah, lalu menerjang ke arah Maya Dewi dengan ganas,
"Eiit-eiiit. kalian main-main dengan pisau pencokel kelapa itu, ya?"
Kata Maya Dewi dan dengan lincahnya ia mengelak dari tusukan-tusukan dua batang keris yang menyambar dahsyat itu.
Kembali ia menggunakan keringanan tubuhnya untuk menghindarkan semua serangan keris dengan elakan-elakan.
"Dewi, tidak baik mempermainkan orang!"
Tiba-tiba terdengar Bagus Sajiwo berkata, suarnnya lembut seperti membujuk.
Ki Tejomanik dan Lindu Aji beserta isteri mereka sejak tadi menonton dengan kagum betapa Maya Dewi mempermainkan dua orang senopati Bali yang sebetulnya telah memiliki tingkat kedigdayaan yang cukup tinggi itu.
Terutama sekali Lindu Aji dan Sulastri. Mereka berdua memang mengetahui bahwa Maya Dewi adalah seorang yang sakti, akan tetapi tak pernah mereka membayangkan sehebat itu kepandaian Maya Dewi. Dan yang lebih mengherankan mereka berempat, Maya Dewi benar-benar menentang mereka yang jelas memusuhi Mataram. Maya Dewi membela Mataram! Hal ini benar-benar merupakan sesuatu yang amat mengherankan hati mereka. Rasanya mustahil kalau mengingat akan sepak terjang Maya Dewi dahulu, beberapa tahun yang lalu. Padahal Lindu Aji dan Sulastri maklum benar bahWa wanita itu adalah seorang antek Kumpeni Belanda yang setia kepada Belanda!
Kini, setelah mendengar suara Bagus Sajiwo tadi, terjadi hal yang lebih mengherankan mereka lagi. Begitu mendengar kata-kata lembut itu, Maya Dewi berkata.
"Maaf, Bagus!"
Dan tiba-tiba ia berseru.
"Robohlah kaliah berdua!"
Tubuhnya berkelebat cepat sekali dan tiba2 saja dua orang Senopati Rali itu roboh terkena tamparan tangan kiri Maya Dewi dan hebatnya, keris mereka sudah pindah ke dalam tangan kanan Maya Dewi! Dua orang itu terpelanting roboh dan mereka memegangi kepala yang terasa seperti disambar petir!
Dengan senyum rnanis Maya Dewi menghampiri mereka dengan dua bilah keris di kedua tangannya. Setelah dekat ia bergerak hendak menghunjamkan keris kepada pemiliknya masing-masing.
"Dewi, jangan bunuh orang!"
Kembali terdengar suara Bagus Sajiwo.
Seruan ini menghentikan gerakan kedua tangan Maya Dewi dan sebagai gantinya, dua kali kakinya menendang dan tubuh dua orang senopati itu terlempar ke arah Tejakasmala!
Pemuda itu menjulurkan tangan dan menangkap tubuh dua orang pembantunya sehingga mereka tidak menabraknya dan tidak terbanting.
Maya Dewi tersenyum dan ia menyatukan kedua batang keris itu ke dalam kedua tangan, meremasnya dan terdengar bunyi krek-krek dan dua batang keris itu telah patah-patah. Ia melemparkan patahan' keris itu ke depan dan potongan baja itu melayang ke arah Tejakasmala!
Tejakasmala mengebutkan tangannya dan beberapa potong baja itu runtuh dan menancap ke atas tanah! Pemuda Bali ini marah bukan main. Wanita itu terlalu menghinanya! Dua orang pembantunya telah dikalahkun secara mutlak dan bukan hanya sampai disitu saja penghinaannya, melainkan keris mereka yang bagi senopati Klungkung merupakan pusaka yang dihormati, dipatah-patahkan dan patahannya dilemparkan kepadanya!
Sementara itu, Bhagawan Kalasrenggi dan kedua orang muridnya yang raksasa, yaitu Kaladhama dan Kalajana, merasa kecewa sekali melihat sepak-terjang dua orang senopati Klungkung itu. Mereka bertiga dapat menilai bahwa tingkat kepandaian dua orang senopati itu masih lebih rendah daripada tingkat mereka, sehingga menjadi permainan Maya Dewi.
Terutama sekali Bhagawan Kalasrenggi merasa penasaran sekali. Dia sendiri merasa dapat mengalahkan Maya Dewi, akan tetapi karena dia tadi sudah dikalahkan Lindu Aji, maka dia merasa gentar untuk menantang lagi dan menyerahkan kepada Tejakasmala untuk membersihkan nama dan muka mereka. Harapan mereka kini hanya pada Tejakasmala yang mereka tahu merupakan orang yang sakti mandraguna dan tadi sudah dibuktikan dengan mengalahkan Ki Tejomanik dan Lindu Aji beserta isteri mereka.
Biarpun semua kawannya sudah kalah, namun Tejakasmala tidak merasa gentar atau kecil hati. Dia terlalu percaya kepada diri sendiri. Ketika dia berhasil menyampok sambitan potongan keris dari Maya Dewi, sambil tersenyum dia bersenyum dia berkata,
"Aku sudah menyambut seranganmu. sekarang sambutlah ini!"
Setelah berkata demikian, tangan kirinya mendorong ke depan, ke arah Maya Dewi. Ada uap hitam menyambar dari telapak tangan itu, meluncur ke arah Maya Dewi dan mengeluarkan suara mencicit.
Melihat serangan ini, Maya Dewi tidak berani memandang ringan. ia mengenal aji kesaktian yang ampuh dan berbahaya, maka ia pun mendorongkan kedua tangan untuk menolak serangan jarak jauh tangan kiri Tejakasmala itu.
"Syuuuuuttt... wusssss!!"
Tubuh Maya Dewi seperti sebuah bola karet ditendang, terpental kebelakang sampai sekitar sepuluh tombak jauhnya! Akan tetapi ia turun ke atas tanah dengan ringan dan berdiri tegak sambil tersenyum.
Ini menunjukkan bahwa biarpun ia kalah kuat, namun ia sama sekali tidak terluka dan tadi ia menggunakan keringanan tubuhnya sehingga tubuh itu terdorong jauh kebelakang tanpa terluka sedikit pun. Melihat ini diam-diam Tejakasmala merasa terkejut juga.
Bagus Sajiwo maklum bahwa Tejakasmala itu tangguh sekali. Dia khawatir kalau Maya Dewi nekat melawan lagi karena hal itu depat membahayakan keselamatan Maya Dewi. Maka dia berkata sambil menengok kebelakang, memandang wanita itu.
"Dewi, biar aku yang menghadapi Kisanak ini!"
Dia lalu melangkah maju dan berdiri berhadapan dengan Tejakasmala dalam jarak kurang lebih tiga tombak.
Dua orang pemuda yang sama-sama bertubuh tegap dan berwajah tampan itu saling pandang tanpa berkedip, tanpa bergerak sedikit pun seolah telah menjadi patung.
Wajah Bagus Sajiwo tenang seperti permukaan air telaga yang dalam, sedikit pun tidak membayangkan perasaan hatinya, wajah yang cerah dengan mata lembut penuh pengertian, tenang dan menanti apa yang akan terjadi tanpa prasangka, tanpa kecurigaan. Adapun wajah Tejakasmala yang juga tampan itu tampak dipengaruhi gelombang perasaannya yang marah. Sepasang matanya mencorong dan bibirnya tersenyum mengejek, membayangkan ketinggian hatinya. Biarpun keduanya tampak diam saja, namun seoiah mereka itu dengan kediaman mereka saling menguji, saling menilai kekuatan lawan.
Akhirnya dalam adu kesabaran ini, agaknya Tejakasmala tidak begitu tahan uji dibandingkan Bagus Sajiwo. Dia mulai tidak sabar dan gelisah, seolah-olah gerak-gerik Cakil menghadapi Arjuna.
"Hei, bocah bosan hidup! Agaknya engkau ini putera Ki Tejomanik. Siapakah namamu?"
Pertanyaan ini diajukan dengan nada suara memandang rendah, tentu dengan maksud untuk membikin gentar hati lawan.
Apalagi dalam suaranya terkandung kekuatan sihir yang dapat mempengaruhi perasaan lawan sehingga menimbulkan perasaan gentar. Namun dengan sikap tenang Bagus Sajiwo menjawab, suaranya lembut, sedikit pun tidak mengandung kemarahan atau kebencian.
"Benar sekali, Kisanak. Aku adalah putera Ayahanda Ki Tejomanik. Namaku Bagus Sajiwo."
"Hemm, ketahuilah, Bagus Sajiwo. Aku adalah Raden Tejakasmala, keturunan Raja Kerajaan Gel-gel. Aku adalah murid utama dari Sang Bhagawan Ekabrata di Gunung Agung, Bali-dwipa! Bagus Sajiwo besar sekali nyalimu, berani menentang aku?"
Tejakasmala menceritakan semua itu tentu untuk membuat lawannya gentar. Siapa yang tidak mendengar akan kebesaran nama Raja Gel-gel di Bali dan nama Sang Bhagawan Ekabrata di Gunung Agung Bali? Akan tetapi sekali ini dia kecelik. Bagus Sajiwo sama sekali belum pernah mendengar nama Raja Gel-gel maupun Sang Bhagawan Ekabrata, maka tentu saja mendengar nama-nama besar itu baginya tidak ada bedanya, dengan kalau dia mendengar nama Suto atau Kromo sehingga jangankan gentar, heran pun tidak ada dalam perasaannya.
"Tejakasmala, aku. sama sekali tidak bermaksud untuk menentang Andika. atau siapa pun juga. Akan tetapi, kalau Andika hendak membunuh orang-orang yang tidak bersalah, apalagi membunuh orang tuaku, tentu saja aku akan menghalangi perbuatanmu yang jahat itu. Untuk membela mereka, aku tidak akan mundur setapak pun, Tejakasmala!" .
"Babo-babo, sumbarmu seperti engkau dapat meruntuhkan gunung membendung lautan! Kau kira hanya engkau sendiri yang memiliki kesaktian? Bagus Sajiwo, bersiaplah, sekali ini engkau akan bertemu lawan yang akan mengalahkan semua ajianmu. Sebelum engkau menggeletak tanpa nyawa, hayo katakan lebih dulu siapa gurumu agar aku tahu murid siapa yang sekali ini kurobohkan."
Bagus Sajiwo sampai lama tidak menjawab karena dia merasa bingung ditanya siapa gurunya. Dia tidak ingin menyebut nama Ki Ageng Mahendra karena dia tidak mau mem-bawa2 nama gurunya dalam permusuhan dengan Tejasmala.
Gurunya itu dahulu telah sering menasihati agar dia tidak bermusuhan dengan siapa pun juga, lebih baik mengalah dan mengambil jalan damai sedapat mungkin.
"Angger,"
Suara mendiang Ki Ageng Mahendra masih terngiang di dalam telinganya.
"ngalah (mengalah) itu ngelmu ne Allah (ilmunya Allah). Maka orang yang berani mengalah itu dhuwur wekas ane (akhirnya ditinggikan)."
"Berani, Eyang?"
Ketika itu dia bertanya. Mengapa mengalah saja membutuhkan keberanian?
"Tentu saja, Angger. Tersinggung dan marah itu dapat dilakukan oleh siapa pun juga, akan tetapi mengalah dengan sabar membutuhkan keberanian yang tinggi. Mengalah bukan berarti kalah, dan orang yang sabar itu kekasih Gusti Allah. Benar tanpa menyalahkan orang lain, menang tanpa mengalahkan orang lain."
"Akan tetapi kalu begitu untuk apa saya mempelajari semua aji kanuragan dari Eyang selama ber-tahun2 kalau saya tidak boleh berkelahi, Kanjeng Eyang?"
"Angger Bagus Sajiwo, aji kenuragan adalah ilmu yang mengandung tiga sifat, pertama merupakan gerakan seni tari yang indah, dengan gerakan-gerakan lembut dan halus karena disitulah letak kekuatannya. Ke dua merupakan olah raga yang dapat menyehatkan dan menguatkan tubuh sehingga tidak mudah terkena penyakit dan tubuh yang sehat dan kuat membuat orang dapat melaksanakan tugas pekerjaannya dengan sebaik mungkin Dan ke tiga merupakan ilmu beladiri, yaitu ketangkasan yang dapat dipergunakan untuk menolak datangnya ancaman bahaya terhadap badan, Juga dapat dipergunakan untuk membela orang lain yang terancam bahaya. Akan tetapi semua itu haruslah dilandasi atau didasari satu hal, yaitu kebenaran. Dan tidak ada kebenaran yang jauh dari Gusti Allah karena hanya Dia yang Maha Benar. Maka, engkau harus selalu dekat dengan Gusti Allah, Angger, dengan Jalan penyerahan diri seutuhnya dan secara mutlak, selalu mohon bimbinganNya."
Demikianlah, ketika Tejakasmala bertanya kepadanya siapa gurunya, dia tidak segera menjawab dan percakapan dengan mendiang gurunya itu terngiang di telinganya. Sekali ini pun dia tidak hendak berkelahi, melainkan membela orang tuanya yang hendak dibunuh.
"Heh, Tejakasmala manusia sombong. Anak kemarin sore yang masih bau kencur bicaranya sudah kementhus (sombong) seperti katak budhug! Mau tahu siapa guru Bagus Sajiwo? gurunya adalah Kakek Guru dari Sang Bhagawan Ekabrata!"
Siapa lagi kalau bukan Maya Dewi yang mengeluarkan kata-kata pedas menggigit seperti itu?
Wajah Tejakasmala menjadi merah seperti udang direbus. Ucapan Maya Dewi itu bukan hanya menghina dia, melainkan juga menghina gurunya, Sang Bhagawan Ekabrata!
Tejakasmala bukan seorang pemuda mata keranjang. Dia selalu menjaga diri, menjauhi wanita maka dia memperoleh kemajuan pesat dalam aji kesaktian. Sang Bhagawan Ekabrata adalah seorang pertapa yang mengasingkan diri dari dunia ramai dan bukan seorang datuk sesat. Dia bertapa untuk hidup bersih. Sayang dia tidak acuh terhadap murid-muridnya sehingga dia hanya menurunkan ilmu-ilmunya tanpa mengarahkan ke jalan benar. Hanya melatih raganya tidak melatih jiwanya. Maka, tiga orang muridnya, Tejakasmala, dan si kembar Dhirasani dan Dhirasanu, walaupun tidak melakukan perbuatan jahat, namun memiliki watak sombong dan memandang rendah orang lain, menganggap diri sendiri paling hebat.
Juga mereka mudah dibakar api kemarahan kalau tinggian hatinya tersinggung seperti halnya Tejakasmala sekarang yang menjadi marah sekali kepada Maya Dewi. ingin membunuh wanita itu sekarang juga. Akan tetapi karena yang dihadapi adalah Bagus Sajiwo, maka semua kemarahannya dia timpakan kepada Bagus Sajiwo.
"Keparat engkau, Bagus Sajiwo! Engkau mengandalkan tajam dan cerewetnya mulut wanita untuk menghina aku dan Guruku. Bersiaplah engkau untuk mati lebih dulu, baru akan kubunuh semua orang itu!"
Katanya sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah Maya Dewi.
Hebatnya, telunjuk kiri pemuda itu tiba-tiba mengeluarkan asap bergulung dan asap itu membentuk seekor harimau yang mengeluarkan suara mengaum sambil membuka moncongnya dan harimau Jadi-jadian itu menubruk ke arah Maya Dewi.
Akan tetapi Maya Dewi telah menguasai Aji Sari Bantala, kekuatan aji ini bersandar kepada kekuasan Gusti Allah, mengambil kekuatan bumi yang ada pada bumi menjadi tenaga inti bumi, Maka ia tertawa saja menghadapi serangan harimau jadi-jadian itu dan sambil menekuk lutut kanan yang berada di depan, tangan kanannya yang terbuka mendorong ke arah harimau jadi-jadian itu sambil membentak nyaring.
"Demi kekuatan Sari Bantala, enyahlah kamu mahluk jadi-jadian!"
"Wuuuuussshhh...!"
Harimau jadi-jadian itu seperti asap ditiup angin, membuyar dan mengecil lalu asap putih itu kembali ke telunjuk kiri Tejakasmala.
Tejakasmala kembali merasa terkejut. Tadi ketika wanita itu menerima serangannya yang menggunakan Aji Condromawo, gadis itu jelas kalah kuat dan terpental jauh walaupun tidak mengalami cidera. Akan tetapi kini wanita itu dapat memunahkan sihirnya yang biasanya amat kuat. Dia merasa penasaran dan hendak melanjutkan serangannya kepada Maya Dewi yang dibencinya karena wanita itu telah menghinanya.
Akan tetapi Bagus Sajiwo berkata tenang.
"Tejakasmala, tidak malukah Andika kalau menyerang wanita? Sebaiknya, Andika dan teman-teman Andika meninggalkan tempat ini dan jangan mengganggu orang lain. Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga dan kalau Andika pergi, aku akan menyudahi saja urusan ini dan tidak memperpanjangnya lebih lanjut."
"Bagus, mana bisa begitu? Enak dia rugi kita kalau begitu! Dia sudah menghina dan menyerang Paman Tejomanik dan Bibi Retno, Susilo, Juga menyerang Lindu AJI dan Sulastri, bahkan nyaris membunuh mereka berempat! Dan sekarang engkau mau menyudahi urusan ini begitu saja? Wah, bocah ingusan ini akan menjadi semakin gemendhik kalau begitu!"
Biarpun hati Maya Dewi kini telah berubah sama sekali namun ia tidak kehilangan kegalakan dan kepintaran bicaranya.
Sebetulnya, kini nafsu kebencian sudah sukar membakar hatinya, dan semua ucapannya itu hanya untuk menggoda pemuda yang dianggapnya jahat itu.
Kalau Lindu Aji dan Sulastri merasa heran melihat perubahan Maya Dewi dan merasa geli mendengar ucapan dan melihat lagak wanita itu, Ki Tejomanik dan Retno Susilo mengerutkan alis mereka. Kemesraan dan akrabnya hubungan yang tampak antara putera mereka dan Maya Dewi sungguh membuat mereka merasa tidak senang dan mereka menganggap bahwa semua ucapan dan sikap Maya Dewi itu hanya buatan dan pura-pura dengan maksud mencari muka kepada mereka!
Dibakar dengan kata-kata oleh Maya Dewi, Tejakasmala tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia menggunakan kesempatan selagi Bagus Sajiwo menoleh ke arah Maya Dewi untuk menegur wanita itu agar jangan menggoda Tejakasmala. Cepat bagaikan kilat menyambar dia sudah menyerang tanpa memberi peringatan lagi.
"Bagus, awas...!"
Maya Dewi berseru kaget.
"Wuuuttt... desss!!"
Bagus Sajiwo yang sama sekali tidak mengira lawannya akan menyerang secara tiba-tiba, tidak sempat menghindar dan pukulan tangan kanan Tejakasmala dengan tangan terbuka mengenai dadanya sehingga dia terpental dan roboh pingsan!
"Jahanam busuk engkau! Pengecut hina dina!"
Maya Dewi berteriak dan ia sudah menerjang Tejakasmala dengan serangan yang cepat dan dahsyat.
Tejakasmala girang bukan main melihat pukulannya tepat mengenai dada Bagus Sajiwo. Lawan satu-satunya yang dianggap berat telah dia robohkan dan pukulannya tadi itu telah menewaskan lawan tangguh karena dia telah mengerahkan tenaga sakti sepenuhnya dan pukulan itu tepat mengenai dada Bagus Sajiwo.
Pukulannya mengandung tenaga dalam dan itu telah meremukkan isi dada Bagus Sajiwo, Kini dia tinggal menghadapi wanita yang membuat hatinya panas dan marah sekali. Setelah Bagus Sajiwo tewas, yang lain-lain dia anggap ringan karena tadi dia sudah mendapat kenyataan bahwa tidak ada seorang pun diantara mereka yang mampu menandinginya!
MENGHADAPI serangan kilat Maya Dewi yang juga mendatangkan angin pukulan dahsyat itu, Tejakasmala bersikap hati-hati. Dia juga menduga bahwa wanita ini memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi daripada yang lain dan serangannya tidak boleh dianggap ringan. Maka, untuk dapat mengalahkan Maya Dewi secepatnya agar dia dapat cepat membunuh yang lain, dia sengaja menangkis pukulan Maya Dewi dengan tangannya.
"Wuuuttt... syuuuutt...!"
Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tejakasmala terkejut.
Ternyata wanita itu tidak mau mengadu tenaga dan tangannya sudah cepat menghindar dari tangkisan Tejakasmala dan tangan itu dengan gerakan memutar sudah menyambar lagi, kini dengan jari-jari tangan menusuk ke arah kedua mata lawan! Tejakasmala terkejut. Ternyata walaupun dia dapat menandingi tenaga sakti Maya Dewi, namun dalam hal kecepatan gerakan, dia harus mengaku bahwa gadis itu memiliki gerakan yang luar biasa ceparnya! Dia merasa heran bagaimana wanita itu dapat bergerak secepat itu, padahal dia sendiri sudah memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi tingkatnya. Tentu saja dia tidak tahu bahwa semua itu berkat khasiat Jamur Dwipa Suddhi yang telah dimakan sebagian oleh Maya Dewi. Terpaksa Tejakasmala menarik tubuh atas kebelakang lalu menghindar ke kiri agar kedua matanya tidak menjadi sasaran jari-jari lembut dan halus namun yang mengandung tenaga kuat itu.
Maya Dewi yang marah sekali karena mengira bahwa Bagus Sajiwo yang terkena pukulan sehebat itu tentu telah tewas, terus menyerang tanpa henti dan kedua matanya mengalirkan air mata. Ia menangisi kematian Bagus Sajiwo. Dunia serasa kiamat baginya! Semua tampak kosong tidak berarti lagi. Lenyap semua kebahagiaan, semua ketenteraman, semua ketenangan dan kebebasan.
Kosong tidak berarti, hanya penuh dengan duka, kecewa, kesepian, dan terutama sekali dendam! Dendam yang menebarkan kebencian terhadap orang yang telah membunuh Bagus Sajiwo.
Maya Dewi merasa betapa semua nafsu seperti api membakar hatinya, membuat ia seperti dulu lagi. Satu-satunya keinginan hatinya hanya menyiksa dan membunuh Tejakasmala yang amat dibencinya. Ia menangis tanpa suara tangis, hanya air matanya yang mengalir menuruni kedua pipinya, seperti dua sumber air mengalirkan air ke lereng bukit.
Pada waktu itu, tingkat kepandaian Maya Dewi sudah mencapai titik yang tinggi, apalagi ditambah kemarahan dan kenekatannya untuk membunuh orang yang dibencinya, membuat setiap gerakan serangannya merupakan serangan maut, merupakan cakar maut yang sekali mengenai sasaran tentu akan merenggut nyawa lawan.
Akan tetapi yang dihadapi adalah Tejakasmala, murid utama Sang Bhagawan Ekabrata yang tingkat kepandaiannya sudah mencapai puncaknya. Bahkan kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian Tejakasmala tidak berada di bawah tingkat Bagus Sajiwo. Bahkan pemuda Bali itu memiliki lebih banyak ajian yang ampuh. Hanya dalam hal tenaga sakti, dia tidak dapat menandingi Bagus Sajiwo yang sudah makan Jamur Dwipa Suddhi ditambah latihan Aji Sari Bantala.
Perkelahian antara Maya Dewi dan Tejakasmala seru bukan main. Setiap serangan keduanya merupakan jangkauan tangan maut. Akan tetapi keduanya dapat selalu menghindarkan diri dari cengkeraman maut. Hanya bedanya, kalau Tejakasmala selalu menangkis serangan Maya Dewi, tangkisan yang selalu membuat tubuh Maya Dewi terpental, sebaliknya setiap serangan Tejakasmala selalu dapat dielakkan oleh Maya Dewi yang dapat bergerak dengan lincah. Akan tetapi, baik Tejakasmala maupun Maya Dewi keduanya maklum bahwa lambat laun Maya Dewi pasti akan kalah karena ia memang kalah kuat.
Sementara itu, Tejomanik dan Retno Susilo sudah berlutut dekat tubuh Bagus Sajiwo yang telentang dan mata terpejam. Ki Tejomanik memeriksa keadaan puteranya dan mendapatkan kenyataan bahwa detak jantung dan pernapasan Bagus Sajiwo lemah sekali. Pemuda itu masih pingsan. Melihat keadaan puteranya, Retno Susilo menangis dan meratapi puteranya.
"Jahanam terkutuk! Aku akan mengadu nyawa dengan bedebah pembunuh anakku itu!"
Retno Susilo menoleh dan melihat Tejakasmala masih bertanding melawan Maya Dewi, ia segera bangkit berdiri dan masih memegang Sihung Nila, kain ikat kepala suaminya, siap untuk terjun ke dalam perkelahian mengeroyok Tejakasmala.
Akan tetapi Ki Tejomanik cepat berkata.
"Jangan, Diajeng. Dia berbahaya sekali, terlalu kuat untuk kita."
"Aku tidak takut! Aku harus membalas kematian anakku!"
Seru Retno Susilo.
"Bagus Sajiwo tidak mati!"
Kata Ki Tejomanik.
"Sungguh hebat bukan main. Dia terluka pun tidak! Juga pada kulit dadanya tidak ada bekas pukulan. Dia hanya terguncang dan pingsan. Dia sama sekali tidak terluka!"
Mendengar ini, Retno Susilo cepat berlutut lagi dan ikut memeriksa keadaan puteranya.
Ki Tejomanik mengurut tengkuk puteranya beberapa kali dan, akhirnya Bagus Sajiwo mengeluh lirih dan membuka kedua matanya.
"Bagus...!"
Retno Susilo berseru, girang.
Bagus Sajiwo menarik napas panjang tiga kali dan dia sudah pulih kembali! Tiba-tiba dia menoleh dan melihat Maya Dewi berkelahi mati-matian melawan Tejakasmala yang berusaha keras untuk membunuh Maya Dewi, Bagus Sajiwo cepat bangkit berdiri.
"Ayah, Ibu, harap maafkan, saya harus menggantikan Dewi melawan Tejakasmala."
"Tapi dia... dia berbahaya sekali, Bagus...!"
Kata Retno Susilo, khawatir kalau puteranya yang baru saja pingsan itu akan celaka di tangan pemuda Bali yang amat tangguh itu.
"Jangan khawatir, Ibu. Saya kira saya dapat mengatasinya."
Setelah berkata demikian, Bagus Sajiwo sekali menggerakkan tubuhnya, hanya tampak bayangan berkelebat dan dia sudah tiba dekat Maya Dewi yang masih sibuk menghindarkan serangan lawan dengan elakan-elakan mengandalkan kecepatan gerakannya. '
"Dewi, mundurlah!"
Kata Bagus Sajiwo.
Mendengar ini, Maya Dewi yang sudah terdesak itu, cepat melompat tinggi kebelakang dan setelah berjungkir balik membuat salto sampai tujuh kali, baru ia turun keatas tanah.
Wajahnya agak pucat, napasnya memburu karena terus menerus bergerak menghindarkan serangan bertubi itu membuatnya lelah sekali. Akan tetapi wajahnya berseri, sepasang matanya bersinar-sinar. Mata yang masih basah air mata kini mencorong penuh kebahagiaan melihat bahwa Bagus Sajiwo ternyata tidak apa-apa, tidak mati seperti yang dikhawatirkannya, seolah matahari terbit kembali setelah awan mendung menggelapkan dunianya.
Melihat Bagus Sajiwo menghadapi Tejakasmala yang tangguh, hati Maya Dewi terasa tenang dan ia yakin bahwa Bagus Sajiwo akan mampu mengalahkan pemuda Bali yang sakti mandraguna itu. Kalau Bagus Sajiwo tidak mati dan tidak terluka oleh pukulan curang Tejakasmala tadi, berarti Bagus Sajiwo pasti akan mampu mengatasi lawan.
Sementara itu, melihat Bagus Sajiwo menggantikan Maya Dewi yang tiba-tiba mundur dengan kecepatan kilat, Tejakasnala membelalakkan matanya. Dia tidak percaya! Bagaimana mungkin Bagus Sajiwo dapat bertahan dan tidak mati oleh pukulannya yang hebat tadi? Setidaknya tentu orang yang dipukulnya sedahsyat tu akan terluka parah! Akan tetapi kini Bagus Sajiwo berdiri di depannya. dengan sikap tenang. dan dari wajahnya dia tahu bahwa lawannya ini tidak menderita luka sama sekali!
"Kakangmas... anak kita itu... dia baru saja menerima pukulan dahsyat... Aku khawatir..."
Ki Tejomanik memegang tangan isterinya.
"Jangan khawatir, Diajeng. Anak kita itu sama sekali tidak terluka. Aku sendiri masih heran memikirkan bagaimana mungkin dia tidak terluka dihantam pukulan curang yang dahsyat tadi. Kita lihat saja dan berdoa semoga dia akan dapat mengalahkan pemuda Bali yang tangguh itu."
Lindu Aji dan Sulastri yang tadinya khawatir melihat Bagus Sajiwo terpukul secara curang dan mereka berdua sudah siap untuk melawan musuh yang tangguh itu mati-matian, kini juga tersenyum gembira melihat betapa Bagus Sajiwo ternyata tidak apa-apa dan telah berhadapan lagi dengan Tejakasmala.
Lindu Aji yang telah memiliki aji kanuragan yang hebat itu harus mengakui bahwa pemuda Bali itu benar-benar tangguh.
Dia mampu menolak sihir pemuda itu, namun dalam hal aji kanuragan, harus dia akui bahwa Tejakasmala. memiliki tingkat yang tinggi sekali. Belum pernah dia menemui lawan yang demikian tangguhnya.
"Semoga putera Paman Tejomanik itu mampu mengalahkan pemuda Bali itu."
Kata Lindu Aji dan seperti juga Ki Tejomanik dan isterinya, Lindu Aji dan Sulastri memandang ke arah dua orang pemuda itu dengan penuh perhatian dan dengan hati tegang.
Sebaliknya para jagoan Blambangan merasa kecewa dan khawatir sekali.
Bhagawan Kalasrenggi, dua orang muridnya, Kaladhama dan Kalajana yang terkenal dengan sebutan Dwi Kala (Dua Kala), Cakrasakti dan Candrabaya dua orang senopati Klungkung itu, tadinya sudah tersenyum girang melihat Bagus Sajiwo dipukul roboh oleh Tejakasmala.
Mereka sudah merasa yakin bahwa Tejakasmala tentu akan mampu membunuh Maya Dewi dan setelah itu, mereka akan membunuh semua orang yang membela Mataram itu dan pulang ke Blambangan dengan hasil kemenangan besar. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa terkejut, kecewa dan khawatirnya melihat Maya Dewi dapat terhindar dari kematian dan kini Bagus Sajiwo yang mereka sangka mati atau terluka parah itu telah berani menghadapi Tejakasmala dan tampak sama sekali tidak terluka!
Sementara itu, rasa penasaran dan kemarahan yang memuncak membuat Tejakasmala lupa akan kekhawatirannya melihat Bagus Sajiwo sudah berada di depannya. Tadi, ketika tiba-tiba Bagus Sajiwo menghadapinya, dia merasa terkejut dan juga gentar. Akan tetapi kemarahan hatinya, ditambah wataknya yang tinggi hati dan memandang ringan lawan mengusir rasa gentarnya. Tanpa banyak kata lagi dia langsung saja menyerang Bagus Sajiwo dengan dahsyat. Dari mulutnya terdengar suara mengaum seperti singa yang membuat bumi tergetar, tanda bahwa dia mengerahkan Aji Singa-bairawa dan kedua tangannya sudah mengerahkan seluruh tenaga sakti yang diperkuat oleh sihirnya!
Namun Bagus Sajiwo kini telah waspada. Dia sudah tahu bahwa lawannya selain sakti mandraguna, Juga sangat curang. Maka, dia pun cepat menggerakkan tubuhnya yang seakan berubah menjadi bayang-bayang seperti yang dilakukan Maya Dewi tadi. Bayang-bayang itu berkelebatan diantara pukulan-pukulan Tejakasmala yang mengeluarkan angin besar dan terkadang juga mengeluarkan bara api karena pemuda Bali itu yang bernafsu sekali membunuh Bagus Sajiwo, telah menggunakan Aji Bayutantra dan Aji Condromowo silih berganti.
Sejak masih kanak-kanak, Bagus Sajiwo telah mendapat wejangan dari mendiang Ki Ageng Mahendra untuk kuat bertahan terhadap musuh manusia nomor satu dalam hidup ini, yaitu nafsunya sendiri yang tak terkendalikan seperti amarah, kebencian, dendam, iri, dengki, murka, mementingkan diri sendiri, yang dapat meniadakan rasa kasih terhadap sesama hidup. Semua itu ditambah lagi dengan peringatan dalam kitab kuno yang ditemukannya dimana terdapat larangan melakukan pembunuhan yang didorong oleh nafsu-nafsu tadi. Maka, kini menghadapi Tejakasmala yang tadi nyeris membunuh ayah bundanya, bahkan yang tadi secara curang sekali telah memukulnya sehingga dia roboh pingsan, Bagus Sajiwo tetap tenang dan dia tidak dikuasai nafsu amarah atau dendam kebencian. Hal ini membuatnya tetap tenang dan waspada. Tidak seperti Tejakasmala ang hatinya penuh kemarahan, kebencian dan keinginan membunuh, yang hanya membuat hatinya terbakar dan membuat dia kehilangan sebagian dari kewaspadaannya.
"Haiiiiihhhh!"
Tangan kiri Tejakasmala yang menjadi api membara itu menyambar ke arah dada Bagus Sajiwo. Dengan tenang Bagus Sajiwo mengelak kekiri.
"Syaaaahhhh!!"
Kini tangan kanan Tejakasmala yang membentuk cakar setan mencengkeram ke arah kepala Bagus Sajiwo. Maklum bahwa kalau dielakkan, cakar itu akan tetap memburunya dan hal ini cukup berbahaya, Bagus Sajiwo mengibaskan tangan kirinya dari dalam untuk menangkis cakar yang menyerang kepalanya itu.
"Dukk!!!"
Kedua orang pemuda itu sama-sama tergetar, akan tetapi cengkeraman itu gagal. Tejakasmala menjadi semakin ganas karena penasaran dan marah.
"Yaaaaahhhh!"
Dia mengaum dan tiba-tiba tangan kirinya terbuka dan dari dalam tangannya menyambar sinar hitam ke arah dada Dagus Sajiwo. Entah kapan mengambilnya, sinar hitam itu adalah belasan batang jarum hitam yang disambitkan tangan kirinya dari jarak yang tidak lebih dari dua meter!
Karena tidak mungkin mengelak dari serangan jarum-jarum yang meluncur dari jarak sedemikian dekatnya dan untuk menerima serangan curang ini dengan mengandalkan kekebalan juga amat berbahaya karena siapa tahu jarum-jarum hitam itu mengandung racun yang ampuh, maka Bagus Sajiwo lalu mengibaskan tangannya dengan Aji Bromokendali yang mengeluarkan hawa panas, sambil kakinya menggunakan langkah ajaib Aji Lintang Kemukus.
"Prattt!"
Sinar hitam itu tertangkis runtuh oleh angin yang mengandung hawa panas itu.
"Curang! Pengecut!. Tidak tahu malu!!"
Maya Dewi berteriak-teriak memaki Tejakasmala.
Melihat sikap dan mendengar suara Maya Dewi, Lindu Aji dan Sulastri saling pandang dan Sulastri berkata lirih.
"Lihat, sikapnya masih liar dan galak."
Lindu Aji mengangguk.
"Ya, akan tetapi wataknya sungguh telah berubah dan terbalik seperti malam dan siang."
Perkelahian itu berlangsung semakin seru. Tejakasmala mengeluarkan semua ilmu dan aji-aji pamungkasnya, namun semua dapat dipatahkan oleh Bagus Sajiwo yang menggerakkan kaki dengan Aji Langkah Ajaib Lintang Kemukus, bersilat dengan Aji Bajrakirana.
"Lihat, itu Aji Bajrakirana!"
Kata Ki Tejomanik kagum kepada isterinya.
Retno Susilo yang kini sudah besar lagi hatinya, menjawab.
"Apa anehnya? Bukankah gurunya, Ki Ageng Mahendra, adalah saudara seperguruan Resi Limut Manik yang memberimu pecut dan ilmu Bajrakirana, Kakangmas?"
"Ya, dan dia pun menggunakan Aji Bromokendali. Semua itu tidak mengherankan, akan tetapi bagaimana dia dapat menjadi sedemikian saktinya? Mendiang Eyang Resi Limut Manik sendiri agaknya tidak sampai sedemikian tinggi tingkatnya!"
Suami isteri itu terdiam dan memandang dengan hati penuh ketegangan. Mereka baru saja bertemu dengan putera tunggal yang lenyap selama belasan tahun, akan tetapi sebelum sempat bercakap-cakap melepas rindu, kini putera mereka itu telah bertanding mati-matian melawan seorang yang amat sakti!
Pada saat itu, Tejakasmala mengeluarkan auman yang dahsyat dan tiba-tiba kedua tangan yang hendak menangkap leher Bagus Sajiwo dari kanan kiri itu ketika serangan ini dielakkan, kedua lengan itu mulur seperti karet dan memanjang, mengejar terus ke arah leher Bagus Sajiwo!
Ki Tejomanik, Sulastri, Lindu Aji dan Retno Susilo terbelalak. Belum pernah mereka melihat ilmu yang demikian aneh. Kedua tangan pemuda Bali itu dapat mulur seperti karet! Melihat ini, Bagus Sajiwo lalu menjulurkan kedua tangan dan dua pasang tangan itu saling bertemu dan seperti melekat!
Tejakasmala mengerahkan tenaga sakti dan sihir dan dia berhasil mengangkat tubuh Bagus Sajiwo setinggi setengah depa dari tanah. Akan tetapi Bagus Sajiwo lalu mengerahkan Aji Giri Selo yang membuat tubuhnya menjadi seberat batu raksasa di gunung sehingga Tejakasmala tidak kuat dan tubuh Bagus Sajiwo turun dan menginjak tanah kembali!
Tejakasmala mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengangkat tubuh lawan. Kalau dia mampu mengangkat tubuh lawan, dia akan dapat membantingnya dan memperoleh kemenangan. Akan tetapi pengerahan Aji Giri Selo dari Bagus Sajiwo membuat tubuh itu menjadi berat sekali atau seolah-olah kedua kakinya tumbuh akar sehingga tidak dapat dicabut!
Tejakasmala hampir putus asa. Semua ajiannya telah dia keluarkan, namun kesemuanya itu gagal. Akan tetapi ada satu hal yang membuat dia masih ada harapan untuk memenangkan pertandingan mati-matian ini.
Sejak tadi dia mendapat kenyataan bahwa lawannya tidak pernah menyerangnya! Bagus Sajiwo hanya mempertahankan diri saja. Berarti, bagaimanapun juga dia tidak akan dipukul roboh dan dikalahkan! Betapa tololnya lawan itu! Dan ini merupakan keuntungan besar baginya. Maka dia cepat mengubah siasat. Kedua tangan mereka masih saling tempel dan kesempatan ini dipergunakan Tejakasmala untuk mengerahkan seluruh tenaganya, dengan pengerahan Aji Condromowo dan Aji Bayutantra secara berbareng dan sekuatnya, dia menyerang melalui penyaluran dua tenaga itu ke dalam kedua telapak tangannya. Kedua tangan itu menjadi merah, menjadi api yang membara dan dari situ ada tenaga angin dahsyat yang seolah mengipasi api membara itu untuk menyerbu tubuh Bagus Sajiwo melalui kedua telapak tangannya.
Bagus Sajiwo segera menggunakan Aji Sari Bantala menyambut serangan yang dahsyat itu.
"Sssshhhh...!"
Terdengar seperti besi membara dimasukkan air dan tampak asap putih mengepul dari kedua telapak tangan itu dan tubuh Tejakasmala mundur kebelakang, terhuyung dan wajahnya pucat, darah mengalir dari ujung mulutnya.
Melihat keadaan Tejakasmala seperti itu dua orang pembantunya, Cakrasakti dan Candrabaya cepat menghampirinya dan memapahnya.
"Kita pergi..."
Tejakasmala berkata lirih.
Dua orang senopati Klungkung itu lalu membimbing dan membawanya pergi dari situ. Tejakasmala menoleh dan berkata.
"Bagus Sajiwo, tunggulah. Akan tiba saatnya aku membalas kekalahan ini!"
Setelah berkata demikian, dia membiarkan dirinya dibimbing dua orang senopati Klungkung pergi dari situ. Bhagawan Kalasrenggi dan dua orang muridnya, Dwi Kala, juga mengikuti mereka dari belakang.
Retno Susilo lari menghampiri Bagus Sajiwo dan merangkulnya.
"Bagus, anakku. Kenapa mereka dibiarkan pergi? Aku akan mengejar dan membunuh mereka!"
"Jangan, Ibu. Biarkan mereka pergi. Tidak baik mengejar dan mendesak lawan yang sudah mengaku kalah."
Kata Bagus Sajiwo.
"Bagus, engkau terlalu mengalah!"
Maya Dewi berseru, agak penasaran.
"Sejak tadi engkau tidak pernah membalas dan dia terluka hanya karena tenaganya sendiri membalik dan melukainya. Orang-orang jahat seperti mereka sudah sepatutnya dibasmi habis!"
"Dewi, lupakah engkau akan apa yang telah kita pelajari? Tidak ada manusia yang sempurna tanpa dosa di dunia ini. Kalau kita merasa menjadi manusia, berarti kita pun mempunyai dosa, tidak jauh bedanya dengan orang lain yang kita anggap berdosa. Karena itu, maka sudah sepatutnya kalau kita dapat mengampuni kesalahan orang lain karena kita juga penuh dengan kesalahan. Kita juga hanya manusia berdosa. Ingat, Gusti Allah tidak akan mengampuni kesalahan kita kalau kita tidak mau mengampuni kesalahan orang lain kepada kita."
Maya Dewi yang tadinya berdiri dengan kepala tegak penuh rasa penasaran dan marah terhadap Tejakasmala dan kawan-kawannya, tiba-tiba menundukkan muka dan segala kekerasan seolah asap tipis tertiup angin.
"Ah, aku sudah lupa lagi, terseret oleh nafsu perasaanku. Maafkan aku, Bagus,"
Katanya lirih, dengan suara yang tiba-tiba menjadi lembut, sungguh berlawanan dengan suaranya tadi ketika ia memaki-maki Tejakasmala.
Lindu Aji menyentuh tangan isterinya dan dia mengangguk-angguk. Sulastri juga mengerti akan
(Lanjut ke Jilid 26 - Tamat)
Bagus Sajiwo (Seri ke 04 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 26 (Tamat)
isyarat suaminya itu. Suami isteri ini sekarang maklum dan tidak merasa heran akan perubahan besar yang terjadi atas diri Maya Dewi. Kiranya. perubahan itu terjadi karena Maya Dewi bertemu dan bersahabat dengan Bagus Sajiwo. Kenyataan ini membuat suami iateri ini semakin kagum kepada Bagus Sajiwo.
Bagus Sajiwo teringat bahwa dia belum memperkenalkan ayah ibunya kepada Maya Dewi, maka dia menggapai ke arah Maya Dewi dan berkata.
"Dewi, kesinilah!"
Jantung dalam dada Maya Dewi berdebar-debar, penuh ketegangan walaupun wajah dan sikapnya tetap tenang. Ia melangkah dengan perlahan menghampiri Bagus Sajiwo yang berada dekat Ki Tejomanik, Retno Susilo, Lindu Aji, dan Sulastri. Ia tahu betapa empat pasang mata itu memandang kepadanya dengan penuh selidik. Setelah tiba di depan Bagus Sajiwo, ia berdiri dengan muka ditundukkan.
"Ayah, Ibu, ini adalah Maya Dewi, sahabat saya. Dewi, ini adalah Ayah dan Ibuku, dan mereka ini..."
Dia memandang kepada Lindu Aji dan Sulastri.
"Adimas Bagus Sajiwo, aku bernama Lindu Aji dan ini isteriku, Sulastri."
Kata Lindu Aji memperkenalkan diri karena maklum bahwa Bagus Sajiwo belum mengenal dia dan isterinya.
"Bagus, aku sudah tahu, sudah mengenal Paman Tejomanik dan Bibi Retno Susilo, Juga aku sudah mengenal baik Adimas Lindu Aji dan Adik Sulastri..."
Kata Maya Dewi dengan suara yang agak gemetar, lalu ia membungkuk, memberi sembah kepada Ki Tejomanik dan isterinya, juga kepada Lindu Aji dan Sulastri sambil berkata.
"Saya mohon maaf sebesarnya atas segala keburukan yang pernah saya lakukan terhadap Andika ber-empat,"
Lindu Aji dan Sulastri mengangguk. Biarpun dulu Sulastri merupakan seorang gadis yang galak sekali, akan tetapi setelah menjadi isteri Lindu Aji ia pun banyak berubah, tidak begitu dikuasai oleh nafsu perasaannya. Maka melihat suaminya mengangguk sambil tersenyum tanda bahwa dia memberi maaf kepada Maya Dewi yang dulu pernah memusuhi bahkan membikin celaka mereka akan tetapi kini jelas bahwa Maya Dewi telah berubah dan tadi bahkan membela mereka, Sulastri juga mengangguk-angguk, siap memaafkan.
Akan tetapi, tiba-tiba Retno Susilo yang tadinya berwajah cerah sambil memegangi lengan puteranya, dengan alis berkerut dan suara lanlang berkata, walaupun ia tidak memandang kepada Maya Dewi, namun jelas kepada siapa kata-katanya yang ketus itu ditujukan.
"Ada kesalahan yang patut dimaafkan, akan tetapi ada pula kesalahan dan dosa bertumpuk-tumpuk dan terlalu jahat sehingga tidak mungkin dimaafkan lagi."
Lalu ia memegang kedua pundak puteranya dan menatap tajam wajah tampan itu.
"Bagus Sajiwo, bagaimana engkau dapat datang bersama perempuan ini? Aku tidak percaya bahwa engkau bersahabat dengannya!"
Bagus Sajiwo tersenyum dan melirik ke arah Maya Dewi dengan hati merasa iba. Dia melihat wajah Maya Dewi menjadi pucat dan wajahnya ditundukkan sampai dagunya menempel leher.
"Ibu, Maya Dewi ini adalah seorang sahabatku yang baik sekali, sudah lama kami mengalami segala macam suka duka bersama. Ia setia dan amat sayang kepada saya, Ibu."
Ucapan yang terbuka dan Jujur ini diterima oleh Retno Susilo bagaikan minyak disiramkan ke atas api, membuat rasa penasaran dan kemarahannya semakin berkobar.
"Begitukah? Berapa lama sudah engkau bergaul dengan perempuan ini?"
Bagus Sajiwo memandang ibunya dengan sinar mata merasa heran karena dia tidak mengerti apa sebabnya tampak marah setelah tadi tampak berbahagia sekali.
"Berapa lama saya bergaul dengan Maya Dewi, Ibu? Kurang lebih empat tahun ini kami tidak pernah saling berpisah, mengalami suka duka bersama, hidup berdua dalam terowongan bawah gunung saja selama satu tahun, dan kami telah menjadi dua orang tunggal guru karena mempelajari ilmu yang sama."
Wajah Retno Susilo menjadi merah sekali dan matanya terbelalak lebar. Ia menoleh kepada suaminya dan melihat betapa wajah Ki Tejomanik juga tampak heran dan alisnya yang tebal berkerut tanda bahwa hati suaminya juga tidak senang mendengar ucapan Bagus Sajiwo tadi. Maka Retno Susilo lalu menekan kedua pundak puteranya kuat-kuat dan menatap wajahnya dengan tajam penuh selidik.
Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagus Sajiwo!"
Suaranya tegas.
"Engkau harus menjawab pertanyaan Ibu dengan sejujurnya dan jangan berbohong!"
"Ibu,"
Kata Bagus Sajiwo sambil tersenyum dan merasa lucu.
"Saya sama sekali tidak berbohong dan semua jawaban saya adalah sejujurnya."
"Sekarang jawablah! Sejauh mana hubunganmu dengan perempuan ini?"
Sang Ibu bertanya, setengah berteriak karena ia sudah marah sekali.
"Apa... apa yang Ibu maksudkan? Saya tidak mengerti!"
Kata Bagus Sajiwo.
"Bagus, engkau tadi mengatakan bahwa Maya Dewi amat menyayangmu. Dan bagaimana dengan perasaanmu kepadanya? Apakah engkau juga menyayang Maya Dewi?"
Ki Tejomanik menjelaskan apa yang menjadi pertanyaan dia dan isterinya.
Retno Susilo memandang wajah puteranya dengan pandang mata terbelalak.
Tanpa berpikir panjang, Bagus Sajiwo menjawab seolah pertanyaan itu aneh sekali, sama seperti kalau orang bertanya apakah dia senang bertemu dengan ayah ibunya setelah berpisah belasan tahun!
"Tentu saja saya sayang, amat, sayang padanya!"
"Huh! Itu kotor sekali! Tidak pantas dan aku bisa mati karena malu!"
Tiba-tiba Retno Susilo berteriak.
Bagus Sajiwo membelalakkan matanya, tampak bodoh dan heran bukan main "Kotor"? Tidak pantas? Ibu... eh, apakah sebenarnya yang Ayah dan Ibu maksudkan? Sungguh aku tidak melihat sesuatu yang kotor, tidak pantas atau memalukan."
"Bagus Sajiwo! Aduh, anakku, engkau baru saja dewasa, usiamu baru dua puluh tahun. Aku maklum bahwa engkau masih belum ada pengalaman, masih hijau dan mudah dipengaruhi rayuan gombal seorang perempuan, apalagi kalau perempuan itu sudah bejat dan bobrok batinnya, perempuan yang sudah matang dengan pengalaman. Anakku, engkau tertipu, engkau dibohongi, engkau terkena guna2nya dan rayuan! Sadarlah anakku...!"
"Semua itu tidak benar, Ibu!"
Kata Bagus Sajiwo, suaranya masih lembut membujuk ibunya.
"Tidak benar? Tidak benar kau bilang? Ah, anakku Bagus, engkau agaknya belum tahu siapa sebenarnya perempuan ini! Ia adalah seorang datuk wanita sesat dari Parahyangan. Dia sesat, anakku, Ayahnya dahulu adalah datuk sesat bernama Resi Koloyitmo, saking jahatnya sampai terusir keluar dari Parahyangan. Perempuan ini bukan saja Jahat, kejam, dan hina untuk menjual tanah air dan bangsa, menghambakan diri kepada Kumpeni Belanda! Dan kau tahu berapa usianya? Ia tampak muda dan cantik karena memakai ilmu hitam! Usianya sudah setengah tua! Kutaksir mendekati empat puluh tahun! Lihat baik-baik perempuan ini, ia setan, iblis betina yang pandai memasang aji pameletan, guna-guna sehingga engkau jatuh ke dalam ke-kusaannya! Sadarlah, anakku!"
Bagus Sajiwo memandang kepada Maya Dewi. Wanita itu menundukkan mukanya yang menjadi pucat seperti mayat, dan biarpun tidak mengeluarkan suara, namun air matanya jatuh berderai dan kedua pundaknya terguncang karena ia menahan isak tangisnya.
Maya Dewi merasa betapa setiap kata yang diucapkan Retno Susilo bagaikan keris berkarat menusuk-nusuk perasaannya, jantungnya seperti disayat-sayat. Akan tetapi ia tidak marah apalagi sakit hati, karena semua yang keluar dari mulut Retno Susilo itu adalah benar! Bukan fitnah, bukan karena benci. Ia dapat menyelami perasaan hati Retno Susilo dan ia tidak menyalahkannya. Seorang ibu yang hanya mempunyai seorang anak, kini sudah mulai dewasa, tentu tidak merelakan puteranya bergaul dengan seorang wanita seperti ia. Usianya belasan tahun lebih tua, mempunyai nama buruk tercemar, terkenal sebagai seorang iblis betina! Tidak, ia tidak menyalahkan ibunya Bagus Sajiwo. Ia hanya menyesali dirinya sendiri akan betapa hancur pun perasaan hatinya, ia menahan sekuatnya agar tangisnya tidak mengeluarkan suara. Ia merasa dunianya kiamat, mataharl tak bersinar lagi. Retno Susilo tidak bersalah. Ki Tejomanik tidak bersalah. Bagus Sajiwo tidak bersalah. Ia hanya dapat melempar semua penyesalan, kekecewaan dan kedukaan kepada dirinya sendiri! Kalau saja ia tidak sudah menerima gemblengan batin di bawah bimbingan Bagus Sajiwo selama empat tahun ini, rasanya jalan tunggal yang dapat ditempuhnya hanya mengakhiri hidupnya, mengakhiri semua penderitaan di dunia ini. Dari Bagus Sajiwo ia tahu dan percaya bahwa penderitaan sesudah mati malah Jauh lebih hebat lagi sebagai hukuman atas semua dosanya, akan tetapi ia akan rela karena tidak melihat dan dilihat Bagus Sajiwo. Akan tetapi, kini ia tidak dapat melakukan bunuh diri karena yakin bahwa hal itu merupakan dosa besar sekali terhadap Gusti Allah.
Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo