Ceritasilat Novel Online

Bagus Sajiwo 7


Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



Andaikata Ki Sumali itu berjiwa kerdil sehingga jiwanya mudah dipengaruhi daya rendah harta benda, tentu dia sudah hidup kaya raya karena dulu, gurunya, Aki Somad yang sekarang telah meninggal, pernah mengajaknya untuk menjadi antek Kumpeni Belanda dengan imbalan harta yang amat banyak. Namun Ki Sumali berjiwa satria, tidak dapat dipengaruhi bisikan iblis yang selalu merayu manusia dengan iming-iming segala hal yang serba enak, indah, dan mendatangkan kenikmatan dan kepuasan nafsu. Dia menolak, bahkan rela dimusuhi. Dia tetap hidup sebagai seorang petani sederhana, namun dalam kesederhanaannya itu dia merasakan kebahagiaan bersama isterinya, Winarsih yang amat dicinta dan amat mencintanya.

   Pagi hari itu udara amat dinginnya di Loano. Sinar matahari telah mengusir kabut dari muka bumi, namun sinarnya yang masih muda dan hangat itu belum mampu mengusir hawa dingin yang menyusup tulang.

   Burung-burung telah lama berangkat menunaikan tugas mencari makan, kupu-kupu sudah mulai melayang-layang beterbangan di sekitar bunga-bunga yang mekar semerbak harum memikat para kupu-kupu agar menghisap madunya sehingga benih-benih dalam serbuknya dapat melekat terbawa kaki kupu-kupu dan dibawa hinggap ke kembang lain sehingga benih itu dapat menjadi penyalur berkembang-biaknya pohon kembang itu.

   Udara amat segar dan sejuk dan cuaca amat cerah. Semua yang berada di permukaan bumi dimandikan cahaya matahari yang mengandung sari kehidupan.

   Sumali dan isterinya sejak pagi tadi sudah bersiap-siap seperti kebiasaan mereka setiap hari, yaitu bekerja di ladang.

   Pagi tadi Winarsih sudah menghidangkan jagung rebus dan air teh kental untuk sarapan mereka berdua dan kini mereka sudah keluar dari pintu depan rumah mereka. Winarsih hanya menutupkan daun pintu dari luar. Pada masa itu, orang-orang di Loano dan kebanyakan pedesaan lain tidak pernah mengunci pintu kalau mereka meninggalkan rumah mereka. Cukup daun pintunya saja ditutup, itu berarti bahwa pemilik rumah sedang keluar. Tidak ada barang yang terlalu amat berharga dalam rumah. Dan pula, siapa yang akan mengambil milik orang lain dalam rumah orang pula? Kecuali para maling yang tidak banyak jumlahnya, itupun biasanya para maling tidak mau mencuri hanya pakaian dan barang tidak berharga.

   Ki Sumali yang sudah berusia sekitar lima puluh lima tahun itu masih tampak gagah. Tubuhnya hanya mengenakan celana hitam sebatas betis, tanpa baju dan berkalung sarung. Kepalanya tertutup sebuah caping lebar. Tubuhnya! tegap namun tidak besar, sedang saja walaupun tampak kokoh kuat. Kumisnya tipis dan pendekar ini tak pernah terpisah dari dua senjatanya, yaitu sebatang keris yang terselip di pinggang, yaitu keris pusaka Sarpo Langking yang hitam warnanya, sesuai dengan namanya Sarpo Langking (Ular Hitam) bentuknya juga seperti seekor ular, dan sebatang suling bambu terselip di pinggang kanan. Selain untuk berjaga diri, dia tidak mau meninggalkan dua buah benda kesayangan itu di rumah, takut kalau-kalau hilang diambil orang.

   Winarsih tampak segar dan ayu manis pagi itu. Ia mengenakan kain yang agak tinggi, sampai di lutut, mengenakan pakaian sederhana dan rambutnya digelung dan tertutup sebuah caping pula. Tangan kirinya memegang sebatang arit dan tangan kanannya menjinjing keranjang kosong, hanya terisi sebuah kendi air.

   Dipekarangan rumah mereka telah menanti dua orang petani berusia sekitar tiga puluh tahun. Mereka adalah dua tenaga pembantu mereka bekerja diladang.

   Melihat Ki Sumali dan Winarsih sudah keluar dari pintu, dua orang itupun bangkit berdiri, memanggul pacul masing-masing di pundak kanan.

   "Apakah kalian ingin sarapan jagung rebus dan minum air teh dulu?"

   Tegur Winarsih kepada dua orang pembantu itu dengan sikap ramah.

   "Wah, terima kasih, mas ayu. Akan tetapi tadi sebelum berangkat kesini kami sudah sarapan singkong bakar, sudah kenyang."

   Jawab seorang dari mereka.

   Tiba-tiba mereka semua terkejut mendengar suara orang tertawa ngakak (terbahak). Ketika mereka memandang, dari pintu pekarangan muncul tiga orang dan mereka memasuki pekarangan tanpa kulanuwun (permisi).

   Ki Sumali mengerutkan alisnya, mengamati tiga orang yang kini menghampiri. Yang di depan adalah seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar dan kulitnya hitam, mukanya brewok seperti seorang raksasa. Sepasang matanya yang lebar itu terbelalak seperti hendak meloncat keluar dari kelopaknya, hidungnya mbengol (besar bulat), mulutnya lebar dengan bibir tebal menghitam. Benar-benar seorang yang menyeramkan dan dari penampilannya tampak jelas bahwa orang itu tentu memiliki tenaga yang kuat sekali. Tampak kokoh kuat seperti batu karang. Kedua lengannya besar panjang dengan otot melingkar-lingkar dan di kedua pergelangan tangannya dihias gelang akar bahar hitam berbentuk ular. Di pinggangnya yang gendut itu tergantung sebatang ruyung berwarna coklat kehitaman mengkilap. Pakaiannya serba kuning dan sehelai sarung dikalungkan di pundak.

   Adapun dua orang yang berjalan dibelakangnya adalah dua orang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun, keduanya bertubuh kekar dan kuat walaupun tidak sekokoh orang"

   Pertama. Pakaian mereka juga serba kuning, dan keduanya bertampang galak. Sebatang klewang (golok) tergantung di pinggang masing-masing.

   Dari pintu pekarangan saja, laki-laki seperti raksasa itu sudah mengeluarkan kata-kata yang kasar dan lantang, menyambung tawanya yang terbahak-bahak.

   "Ha-hah-ha, ini yang namanya Ki Sumali, pengecut besar yang tidak mengenal budi itu! Orang macam kamu ini tidak patut hidup!"

   Dua orang petani pembantu Ki Sumali menjadi marah melihat sikap kasar dan kata-kata yang menghina itu. Sebagai penduduk Loano yang rata-rata memiliki keberanian besar, merekapun tidak takut kepada raksasa yang kasar itu. Apa lagi mereka tidak mengenal siapa tiga orang itu. Jelas bukan orang Loano, karena kalau mereka penduduk Loano, tentu dua orang petani itu mengenal mereka. Maka mereka lalu menghadang dan seorang diantara mereka menegur.

   "Ki sanak, siapakah andika bertiga dan ada keperluan apakah datang berkunjung kesini? Tidak sepantasnya andika datang-datang mengucapkan kata-kata menghina terhadap Ki Sumali yang terhormat di Loano ini."

   Raksasa hitam itu membelalakkan matanya yang sudah lebar kepada dua orang petani itu, kemudian tiba-tiba dia mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah mereka dari jarak antara tiga meter.

   "Wuuuuttt... bressss ...!"

   Tubuh dua orang petani itu terjengkang dan mereka tewas seketika dengan muka berubah hitam seperti hangus.

   Ki Sumali melihat betapa kedua telapak tangan raksasa itu mengeluarkan asap dan tampak membara, lalu padam lagi.

   "Aji Tapak Geni...!"

   Dia berseru kaget.

   Tentu saja dia mengenal aji kesaktian itu karena dia sendiri juga menguasai aji itu!

   "Siapakah andika dan mengapa anda datang-datang membunuh orang?"

   Kini Ki Sumali bertanya dengan muka berubah merah saking marahnya melihat perbuatan kejam raksasa hitam itu.

   Winarsih membuka capingnya, melepaskan arit dan keranjang, lalu berlari menghampiri dua orang pembantu yang menggeletak tak bergerak. Melihat ini, Ki Sumali berseru.

   "Winarsih, jangan dekati, jangan sentuh mereka!"

   Mendengar bentakan ini, Winarsih berhenti berlari dan ia berdiri bingung dan ketakutan memandang raksasa hitam yang kini memandang kepadanya sambil menyeringai, memperlihatkan giginya yang besar-besar di balik sepasang bibir yang tebal menghitam itu.

   "Heh-heh-ha-ha-ha, ini isterimu? Heh, masih muda dan amat manis, lebih pantas menjadi biniku."

   Dia menoleh kepada dua orang di belakangnya dan berkata.

   "Hayo, tangkap perempuan itu dan bawa pulang. Awas, jangan sakiti ia!"

   Dua orang itu tanpa banyak cakap lalu berlompatan ke depan untuk menangkap Winarsih. Melihat ini, Ki Sumali tentu saja marah dan dia sudah menggerakkan kaki untuk menghampiri dan melindungi isterinya dari gangguan orang itu. Akan tetapi tiba-tiba raksasa itu telah melangkah lebar menghadangnya.

   "Ho-ho, Ki Sumali. Perempuan itu kini milikku dan engkau harus mati!"

   Kata raksasa bermuka hitam itu.

   "Jahanam keparat!"

   Ki Sumali berseru marah melihat betapa kedua lengan isterinya sudah ditangkap oleh dua orang itu dan ditarik keluar dari pekarangan.

   Winarsih menjerit-jerit dan meronta-ronta.

   Ki Sumali yang dihadang oleh raksasa itu lalu mengeluarkan pekik melengking yang memekakkan telinga. Inilah Aji Jerit Bairawa, teriakan yang mengandung kekuatan sihir dan dapat melumpuhkan lawan yang terserang oleh suara itu secara langsung.

   "Ha-ha-ha-ha, apa artinya Jerit Bairawa itu bagiku? Permainan anak kecil!"

   Kata raksasa itu sambil tertawa.

   Ki Sumali terkejut. Ternyata raksasa itu mengenal pula ajiannya dan sama sekali tidak terpengaruh. Maka dia lalu, mencabut keris Sarpo Langking dari ikat pinggangnya dengan tangan kanan dan mencabut sulingnya dengan tangan kiri lalu menerjang dengan gerakan dahsyat kepada lawannya. Raksasa itu ternyata dapat bergerak cepat sekali.

   Dengan mudah dia sudah dapat mengelak dari serangan yang dilakukan Ki Sumali dengan kedua senjatanya, bahkan lengan kirinya yang panjang itu sudah bergerak dan tangannya yang membentuk cakar menyambar ke arah kepala Ki Sumali!

   Hebat sekali serangan ini dan Ki Sumali maklum betapa kuatnya tangan itu, sudah terasa anginnya yang panas menyambar dan kalau mengenai sasaran, aji kekebalannya tentu tidak kuat melindungi kepalanya. Maka dia melompat ke belakang lalu mengayun kembali keris dan sulingnya secara bergantian, menyerang ke bagian tubuh yang berbahaya dari raksasa itu.

   "Eh, bagus juga ilmu kepandaianmu!"

   Raksasa itu melompat kebelakang menghindarkan diri, kemudian tahu-tahu dia sudah mengambil ruyungnya yang terbuat dari galih asem (bagian tengah batang pohon asam) yang amat keras dan kuat.

   Sementara itu, jeritan Winarsih menarik perhatian dan sebentar saja banyak penduduk Loano berdatangan ke tempat itu.

   Melihat ini, dua orang yang menangkap Winarsih lalu berlompatan ke atas punggung kuda mereka yang berada di luar pekarangan. Sambil memondong Winarsih yang meronta-ronta, seorang diantara mereka membalapkan kudanya pergi dari situ. Temannya melindungi dari belakang dan ketika ada beberapa orang laki-laki penduduk Loano hendak menghalangi atau mengejar penculik Winarsih itu, dia menggerakkan cambuk kudanya. Terdengar bunyi ledakan-ledakan dan beberapa orang laki-laki terpelanting dan menderita lecet-lecet berdarah oleh cambukan. Orang ke dua itu lalu membalapkan kudanya menyusul temannya.

   "Plak! Trang...!!"

   Suling dan keris itu terlepas dari tangan Ki Sumali ketika bertemu dengan ruyung. Raksasa itu tertawa bergelak. Ki Sumali sudah menggosok kedua telapak tangannya yang mengepulkan asap. Dia mengerahkan Aji Tapak Geni untuk menyerang. Akan tetapi lawannya juga sudah menggantungkan ruyung dan sudah siap.

   Ketika Ki Sumali mendorongkan tangannya sambil mengerahkan seluruh tenaga Aji Tapak Geni, Raksasa itu menyambut dengan dorongan kedua tangannya pula.

   "Wuuuttt... dess...!!"

   Tubuh Ki Sumali terlempar sampai tiga meter jauhnya dan terbanting jatuh ke atas tanah.

   Dia merasa dadanya nyeri, tanda bahwa dia kalah kuat sehingga tenaganya sendiri membalik. Sementara, raksasa itu tertawa bergelak. Akan tetapi pada saat itu, banyak penduduk datang berlarian ke tempat itu.

   Melihat ini, raksasa itu melangkah lebar menuju keluar pekarangan. Agaknya jerih juga hatinya menghadapi demikian banyak orang. Siapa tahu, diantara mereka terdapat orang-orang yang sakti.

   Melihat raksasa itu hendak pergi, Ki Sumali menguatkan diri dan berteriak lantang.

   "Jahanam, tinggalkan namamu kalau andika bukan pengecut!"

   Raksasa itu sudah melompat naik ke atas punggung kuda. Akan tetapi sebelum dia membedal kudanya, dia menengok ke arah Ki Sumali dan berseru.

   "Ki Singobarong namaku, Nusakambangan tempat tinggalku!"

   Setelah berkata demikian, raksasa itu membalapkan kudanya.

   Para penduduk Loano tidak ada yang berani menghadangnya, mengingat betapa saktinya raksasa itu yang sudah mampu mengalahkan Ki Sumali.

   Melihat ini, Ki Sumali demikian khawatir akan isterinya dan demikian marah, ditambah luka dalam dadanya dan diapun terkulai pingsan!

   Para penduduk segera mengangkat Ki Sumali yang pingsan ke dalam rumah dan mengangkut jenazah dua orang petani itu kembali ke rumah masing-masing. Semua orang ramai membicarakan peristiwa hebat itu.

   Mendengar betapa Ki Sumali roboh pingsan, kalah bertanding melawan seorang raksasa hitam, semua orang menjadi terkejut dan gelisah. Kalau Ki Sumali saja tidak mampu melawan, siapa yang akan melindungi mereka kalau ada penjahat sakti itu mengganggu ketenteraman Loano?

   Mereka hanya membaringkan tubuh Ki Sumali di atas pembaringan dan dua orang menjaganya di kamar itu, yang lain duduk berkerumun di pendopo rumah sambil tiada hentinya membicarakan peristiwa diculiknya Winarsih tadi.

   Belum lama peristiwa itu terjadi, maka belasan orang di pendopo itu serentak bangkit ketika mereka melihat seorang pemuda memasuki pekarangan rumah Ki Sumali. Pemuda itu pasti bukan orang Loano karena mereka tidak mengenalnya, maka tentu saja mereka merasa curiga. Bahkan diantara mereka sudah ada yang mengambil arit atau linggis untuk siap siaga kalau-kalau yang datang itu orang jahat sebangsa tiga orang yang tadi datang menyerang Ki Sumali dan menculik Winarsih.

   Akan tetapi pemuda itu tampak sederhana. Usianya sekitar dua puluh tahun tubuhnya tinggi tegap, wajahnya tampan manis, sinar matanya lembut dan langkahnya tenang seperti langkah harimau dan ketika dia melihat belasan orang berdiri di pendopo rumah Ki Sumali, pemuda itu mengerutkan alisnya dan pandang matanya mengandung keheranan.

   "Permisi...!"

   Pemuda itu memberi salam, lalu disambungnya dengan pertanyaan.

   "Bolehkah saya mengetahui apakah Paman Sumali berada di rumah?"

   Orang-orang itu saling pandang, kemudian seorang diantara mereka, yang tertua, berbalik dengan pertanyaan yang terdengar penuh curiga kepada pemuda itu.

   "Katakan dulu, siapa andika dan ada keperluan apa dengan Ki Sumali?"

   Pemuda itu mengerutkan alisnya dan sinar matanya menyapu semua orang itu, Tampaknya mereka ini orang baik-baik dan orang-orang biasa, pikirnya, akan tetapi mengapa berkumpul di pendopo ini?

   "Nama saya Lindu Aji, dan saya adalah sahabat baik dari Paman Sumali, maka saya datang mengunjunginya."

   Agaknya orang tua itu percaya akan keterangan Lindu Aji, apalagi memang sikap pemuda itu bukan seperti orang jahat yang berniat buruk. Maka dia lalu berkata.

   "Maafkan sikap kami yang penuh curiga, anak mas. Sebetulnya baru saja disini kedatangan tiga orang penjahat. Mereka menculik mas ayu Winarsih dan melukai Ki Sumali."

   (Lanjut ke Jilid 08)

   Bagus Sajiwo (Seri ke 04 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 08

   Aji terkejut bukan main. Winarsih diculik dan Ki Sumali dilukai? "Bagaimana keadaan Paman Sumali sekarang? Dimana dia?"

   "Itu, kami baringkan di atas tempat tidurnya dalam kamar."

   "Biar aku memeriksanya, siapa tahu aku akan dapat menyembuhkannya!"

   Kata Aji dan pemuda ini lalu diiringkan mereka menuju ke kamar Ki Sumali.

   Melihat Ki Sumali rebah dengan muka pucat dan napas terengah-engah, Lindu Aji cepat mendekati. Dia duduk di tepi pembaringan dan cepat memeriksa dada Ki Sumali. Tahulah dia bahwa Ki Sumali terluka di sebelah dalam dadanya. Ada hawa panas yang melukai sebelah dalam tubuhnya.

   "Saya harap andika sekalian suka keluar dari kamar dan menonton dari luar agar hawa kamar ini tidak menjadi pengap. Aku akan mengobati Ki Sumali."

   Kata Lindu Aji.

   Orang-orang itu lalu keluar dan kembali ke pendopo. Ada beberapa orang saja yang menonton dari luar pintu kamar, sekalian untuk menjaga karena tentu saja mereka belum percaya sepenuhnya kepada pemuda yang tidak mereka kenal itu.

   Lindu Aji melepas sarung yang bergantung di leher Ki Sumali. Karena pendekar itu memang tidak memakai baju, maka mudah sekali bagi Lindu Aji untuk melakukan pemeriksaan. Setelah jelas apa yang diderita Ki Sumali, Aji lalu meletakkan kedua telapak tangannya di dada pendekar Loano itu dan mengerahkan tenaga saktinya untuk membantu Ki Sumali, mengusir hawa panas itu dan memulihkan tenaganya, memperlancar jalan darahnya.

   Tak lama kemudian, mereka yang menonton dari luar pintu kamar dengan hati tegang, menghela napas lega dan wajah mereka tampak berseri ketika mereka melihat Ki Sumali bernapas normal, tidak terengah-engah lagi dan dia mulai bergerak, lalu membuka matanya.

   Dia merasa ada hawa dingin sejuk meresap di dalam dadanya, membuat dadanya terasa nyaman dan enak bernapas. Ketika dia membuka matanya, ingatannya kembali membayangkan peristiwa tadi. Orang-orang jahat menculik isterinya dan menyerangnya! Maka begitu membuka mata dan melihat seorang laki-laki duduk ditepi pembaringan dan meletakkan kedua tangan di atas dadanya, Ki Sumali segera menggerakkan tangan kanan untuk memukul!

   Lindu Aji sudah siap siaga. Melihat gerakan ini, cepat dia menangkap pergelangan tangan Ki Sumali dengan tangan kirinya, lalu berkata.

   "Tenanglah, Paman Sumali. Ini aku, Lindu Aji!"

   Ki Sumali menggosok mata dengan punggung tangan kirinya, lalu memandang penuh perhatian.

   "Ah, Anak Mas Lindu Aji! Engkaukah ini...?"

   Dia meraba dadanya sendiri.

   "Ah, kini mengerti aku. Tentu andika yang telah menyembuhkan luka dalam dadaku!"

   "Tenanglah, paman. Andika sudah sembuh, mari kita duduk dan membicarakan apa yang terjadi. Aku datang kesini mengunjungimu, melihat andika pingsan dirubung orang-orang itu, maka aku cepat membantumu mengusir hawa panas dalam tubuhmu."

   Ki Sumali merangkul pemuda itu dan mengajaknya turun dari pembaringan. Melihat orang-orang di luar kamar, dia lalu berkata kepada mereka.

   "Kawan-kawan, terima kasih atas bantuan andika semua. Sekarang aku sudah sembuh dan aku hendak berunding dengan anak mas Lindu Aji, maka harap andika sekalian keluar dan duduk di pendopo sana."

   Beberapa orang di luar kamar itu mengangguk dan mereka lalu keluar dan berkumpul di pendopo, sekarang mereka membicarakan Lindu Aji yang telah berhasil menyembuhkan Ki Sumali yang tadi roboh pingsan.

   "Nah, paman ceritakanlah apa yang terjadi."

   Kata Lindu Aji setelah mereka duduk berhadapan dalam kamar itu.

   Ki Sumali menghela napas panjang.

   "Mereka datang, tiga orang yang tidak kukenal, ketika aku dan Winarsih hendak berangkat ke ladang bersama dua orang pekerja pembantu kami. Tiba-tiba saja orang bertubuh raksasa bermuka hitam itu memaki-maki aku dan ketika dua orang pembantuku menegurnya, dia membunuh mereka berdua! Ah, aku menyesal sekali tidak dapat menyelamatkan nyawa kedua orang pembantuku itu."

   Kata Ki Sumali dengan muka sedih.

   "Lalu bagaimana, paman?"

   "Raksasa hitam itu lalu menyuruh dua orang kawannya untuk menculik Winarsih, aku tentu saja menghalangi, akan tetapi raksasa hitam itu sakti mandraguna. Setelah bertanding, aku roboh terluka dan Winarsih dilarikan dua orang temannya."

   "Siapa raksasa itu, paman?"

   "Sebelum dia pergi, aku bertanya dan dia mengaku bernama Ki Singobarong, bertempat tinggal di Nusakambangan. Winarsih tentu dilarikan kesana. Aku harus mengejar kesana, sekarang juga!"

   Ki Sumali bangkit dan mengambil Keris Sarpo Langking dan sulingnya yang tadi oleh para tetangganya diambil dari luar dan diletakkan di atas meja dalam kamarnya itu.

   "Memang harus dikejar sekarang, paman. Mari, aku ikut!"

   "Terima kasih, anak mas. Kembali engkau menolong kami dalam keadaan gawat dan dalam waktu yang tepat sekali. Tanpa bantuanmu sedikit kemungkinan aku dapat membebaskan isteriku, bahkan mungkin aku akan mengantar nyawa disana!"

   Mereka keluar dari kamar dan Ki Sumali berkata kepada mereka yang masih bergerombol di pendopo rumahnya.

   "Harap andika sekalian suka pulang kerumah masing-masing dan terima kasih atas perhatian dan bantuan andika sekalian. Sekarang, aku dan anak mas Lindu Aji akan melakukan pengejaran untuk menolong dan membebaskan isteriku."

   Setelah berkata demikian, Ki Sumali segera melompat dan menggunakan ilmunya berlari cepat, disusul oleh Aji.

   Melihat dua orang itu berkelebat dan sebentar saja sudah lenyap dari hadapan mereka, semua orang kagum dan mengharap agar mereka berdua dapat mengalahkan para penjahat dan dapat membebaskan Winarsih yang terculik.

   Dalam perjalanan yang dipenuhi kegelisahan hati Ki Sumali akan keadaan isterinya yang terculik itu, Lindu Aji menghiburnya dengan mengajaknya bercakap-cakap.

   "Paman, bukankah dahulu yang menguasai Nusakambangan adalah mendiang Aki Somad?"

   "Memang benar, anak mas. Dan Ki Singobarong yang baru berusia kurang lebih empat puluh tahun itu agaknya tidak kalah sakti dibandingkan Aki Somad. Bahkan dia menguasai semua ilmu yang pernah kupelajari dari Aki Somad."

   Kata Ki Sumali penasaran.

   
Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hemm, mungkin dia itu murid mendiang Aki Somad."

   Kata Lindu Aji, teringat akan kehebatan ilmu mendiang Aki Somad, terutama sekali ilmu sihirnya yang amat berbahaya.

   Bahkan Ki Sumali sendiri, sebagian besar ilmunya yang paling hebat adalah ilmu yang dipelajarinya dari Aki Somad.

   "Aku tidak mengira demikian, anak mas. Kalau dia murid mendiang Aki Somad, tentu aku sudah mengenalnya, atau setidaknya mendengar tentang namanya. Mungkin saja dia itu merupakan saudara seperguruan yang dulu tinggal jauh dan baru sekarang muncul dan menggantikan Aki Somad menguasai Nusakambangan. Akan tetapi usianya masih termasuk muda dibandingkan Aki Somad. Tidak tahulah, kita akan tahu nanti kalau sudah berhadapan dengan dia. Akan kutanya mengapa dia memusuhi aku! Dia memaki aku pengecut dan tidak mengenal budi. Hal ini sudah kupikirkan dalam-dalam dan satu-satunya kemungkinan dendamnya kepadaku itu tentu ada hubungannya dengan Aki Somad. Aku selalu menolak bujukan Aki Somad untuk membantu Kumpeni Belanda, bahkan berani menentangnya. Mungkin itu yang membuat dia mendendam kepadaku."

   Biarpun mereka melakukan perjalanan cepat, namun karena perjalanan itu melalui bukit-bukit dan hutan-hutan, baru dua hari kemudian mereka berdiri di pantai selatan. Pulau Nusakambangan tampak melintang di depan. Mereka harus menyeberangi segara anakan (anak laut) yang cukup lebar. |

   Ki Sumali dapat membeli sebuah perahu dari seorang nelayan karena nelayan itu sendiri tidak berani kalau perahunya disewa dan dia harus mengantar dua orang itu ke Nusakambangan.

   Pada waktu itu, pulau itu merupakan semacam "pulau hantu"

   Bagi para nelayan dan penduduk sekitar pantai laut selatan. Nusakambangan dianggap tempat tinggal para setan, iblis, siluman bekasakan. Para nelayan tidak berani mencari ikan terlalu dekat pulau itu. Terpaksa Ki Sumali membeli perahu nelayan itu dan bersama Lindu Aji dia lalu mendayung perahu itu menuju pulau yang menyeramkan itu.

   Setelah perahu yang didayung dua orang itu mendekati pulau yang sudah tampak jelas pohon-pohonnya, tinggal belasan tombak lagi, tiba-tiba laut yang tadinya tenang itu berombak, makin lama semakin besar sehingga perahu yang didayung maju itu terlempar mundur kembali. Datang badai yang tidak disangka-sangka, pada hal tadi udara cerah dan tidak ada sedikitpun tanda bahwa akan datang badai.

   Tiba-tiba saja langit tertutup mendung dan laut menjadi gelisah, lalu marah dan perahu kecil itu diombang-ambingkan, diangkat, dibanting dan terancam digulung ombak besar.

   "Eh, kenapa tiba-tiba datang badai demikian dahsyat? Jangan-jangan Gusti Ratu Kidul penguasa Laut Kidul marah ..."

   Kata Ki Sumali ketakutan.

   Pada waktu itu, semua orang percaya bahwa Laut Selatan dikuasai oleh ratu jin atau ratu siluman atau ratu yang teramat cantik jelita, namun juga amat besar kuasanya, sakti mandraguna dan ditakuti semua orang. Bahkan semua orang yang tinggal di daerah pantai laut selatan, menyembah dan memuja ratu itu, menyediakan persembahan berupa kembang setaman, berbagai macam makanan dan membakar kemenyan untuk mohon berkah keselamatan dan agar jangan ada anggauta bala tentara sang ratu mengganggu mereka.

   "Tidak, paman. Ini bukan alami, ini tentu buatan orang yang mengunakan ilmu sihir yang amat jahat. Lihat, aneh bahwa perahu kita tidak sampai terbalik! Ilmu sihir hanya dapat mencelakai orang, namun tidak mungkin sampai membunuh. Mari, paman, mari bantu aku untuk melawan pengaruh sihir ini, dengan mengheningkan cipta, mohon kekuatan dari Gusti Allah dengan jalan menyerah kepada Kekuasaan Gusti Allah yang akan menyirnakan segala macam kekuasaan yang bertentangan dengan kekuasaanNya dan tidak wajar. Mari kita mulai, paman."

   Lindu Aji lalu berdiri, seluruh tubuhnya santai dan lemas penuh penyerahan kepada Gusti Allah, seluruh keadaan dirinya lahir batin berserah diri penuh kepasrahan bagaikan seorang bayi dalam kandungan, tidak ada gerakan usaha sedikit pun lahir batinnya, sepenuhnya menyerah dengan sepenuh iman, ikhlas, tawakal sehingga kalau ada suatu gerakan, maka kekuasaan Tuhan sajalah yang bekerja.

   Ki Sumali juga sudah duduk bersila dalam perahu, kedua tangan menyembah di depan dada, matanya terpejam dan diapun sudah tenggelam ke dalam keheningan.

   Kekuasaan Tuhan tak dapat diatasi oleh kekuasaan apapun juga. Apalagi hanya kekuasaan sihir buatan manusia yang berasal dari kekuatan iblis. Seketika udara menjadi terang kembali, badai dan angin lenyap dan air laut tenang kembali seperti tadi dan perahu mengambang dengan tenang pula.

   Lindu Aji membuka kedua matanya, di dalam hatinya memuji asma Gusti Allah (nama Tuhan) dan menghaturkan terima kasih.

   "Mari, paman, kita dayung kembali perahu kita ke pulau."

   Katanya kepada Ki Sumali.

   Ki Sumali juga menghentikan samadhinya dan bersama Aji dia mendayung perahu menuju ke pantai. Mereka memilih bagian yang landai. Perahu menempel tepi pantai di pulau itu dan keduanya melompat ke darat, menyeret perahu sampai ke atas agar tidak sampai terseret air laut. Kemudian keduanya menyusup diantara pohon dan semak yang memenuhi bagian pulau itu, menuju ke tengah.

   Nusakambangan merupakan pulau yang cukup luas dan pada waktu itu, tidak ada orang tinggal disana atau tidak ada penduduknya.

   Sejak dahulu pulau ini terkenal gawat karena hanya ditempati sebagai sarang sementara oleh para penjahat yang membentuk gerombolan. Bahkan akhir-akhir ini penduduk disekitar pantai Laut Selatan mengabarkan bahwa pulau itu berhantu sehingga penduduk disekitar pantai semakin ketakutan dan mengeramatkan pulau itu.

   Sebetulnya, bukan hantu bukan sebangsa iblis setan yang menjadi penghuni itu, melainkan segerombolan manusia berwatak iblis yang menggunakan pulau itu sebagai sarang mereka.

   Setelah Aki Somad meninggalkan pulau itu dan kemudian terdengar berita bahwa dia tewas dalam perang ketika dia membantu Kumpeni Belanda melawan pasukan Mataram yang menyerbu Batavia, maka anak buahnya yang terdiri dari kurang lebih tiga puluh orang itu kehilangan pimpinan. Akan tetapi, beberapa bulan yang lalu, muncul seorang bertubuh raksasa yang mengaku sebagai adik seperguruan Aki Somad dan bernama Ki Singobarong. Dia memperlihatkan kesaktiannya sehingga semua anak buah itu tunduk dan Ki Singobarong inilah yang menggantikan kedudukan Aki Somad.

   Di bawah pimpinan Ki Singobarong, gerombolan itu menjadi semakin liar dan jahat. Kalau di jamannya Aki Somad, kejahatan mereka masih dibatasi dan Aki Somad melarang mereka bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat jelata, hanya diperbolehkan minta "sumbangan"

   Secara paksa kepada orang-orang kaya, maka sekarang gerombolan itu benar-benar kejam dan tidak pandang bulu.

   Semenjak gerombolan dipimpin Ki Singobarong, seringkali terjadi perampokan di dusun-dusun sepanjang pesisir kidul, dan bahkan seringkali gerombolan itu melakukan penculikan, melarikan gadis-gadis dan wanita-wanita muda, mereka bawa ke Nusakambangan.

   Memang pernah terjadi rakyat yang penasaran, dipimpin seorang kepala dusun yang pemberani, berusaha mengumpulkan kekuatan sehingga ada seratus orang laki-laki menggunakan perahu-perahu mencoba untuk mendarat di pulau itu untuk menolong para isteri dan anak perempuan mereka yang diculik. Akan tetapi mereka tidak dapat mendarat karena perahu-perahu mereka diserang badai sehingga terpaksa mereka pulang. Besoknya, Ki Singobarong sendiri bersama anak buahnya mengamuk di dusun itu, membunuh banyak laki-laki muda, termasuk kepala dusunnya. Sejak itu, tidak ada lagi seorang pun berani mendekati Nusakambangan.

   KETIKA Ki Sirigohorong mendengar dari anak buah disana, bekas anak buah Aki Somad yang merupakan kakak seperguruannya, tentang murid Aki Somad yang kini terkenal sebagai pendekar Loano bernama Ki Sumali, yang pernah menentang bahkan bermusuhan dengan Aki Somad, Ki Singobarong menjadi marah sekali. Maka pada hari itu dia mengajak dua orang pembantunya menyeberang ke daratan dan mengunjungi Loano.

   Maka terjadilah pembuinuhan dua orang pembantu Ki Sumali, diculiknya isteri Ki Sumali dan dilukainya Ki Sumali oleh Ki Singobarong.

   Biarpun pulau itu merupakan sarang dan tempat persembunyian yang aman, dan dia mengandalkan kesaktiannya sendiri sehingga layaknya tidak mungkin ada orang berani mengganggunya, namun Ki Singobarong adalah seorang yang cerdik. Setelah menyerang Ki Sumali dan melarikan Winarsih, dia memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penjagaan dan mengintai siang malam agar segera melaporkan kalau ada perahu berani mendekati pulau.

   Belasan orang wanita muda dan gadls yang diculik dikumpulkan di pulau itu, dimana dibangun pondok-pondok kayu yang cukup kokoh.

   Belasan orang gadis yang oleh Ki Singobarong diberikan kepada anak buahnya, menjadi permainan kurang lebih tiga puluh orang anak buahnya bagaikan barang-barang mainan yang tidak berharga dan sewaktu-waktu dapat diganti yang baru.

   Ki Singobarong sendiri adalah seorang laki-laki mata keranjang yang diperbudak oleh nafsunya sendiri dan dia telah memilih tiga orang wanita muda untuk dirinya sendiri.

   Setelah Winarsih dibawa ke rumah Ki Singobarong, wanita ini didorong ke sebuah ruangan di pondok terbesar yang menjadi tempat tinggal Ki Singobarong. Winarsih jatuh terperosok di sudut ruangan besar itu dan ia menangis tersedu-sedu. Ia baru berani mengangkat muka memandang ketika terdengar suara tiga orang wanita menghiburnya.

   "Sudahlah, mbakayu, Jangan menangis."

   "Ya, menangis air mata darah sekali pun tidak akan menolongmu, mbakayu."

   "Bahkan tidak mustahil kalau engkau menangis terus, engkau akan mengalami derita lebih berat, mungkin siksaan atau perlakuan kasar."

   Mendengar tiga orang wanita itu menasihatinya seperti itu, ia mengusap air matanya dan menatap mereka. Winarsih tertegun. Mereka adalah tiga orang gadis yang masih muda, berusia antara tujuh belas sampai dua puluh tahun dan dari penampilan mereka dapat diketahui bahwa mereka adalah gadis-gadis dusun sederhana, namun wajah mereka cukup manis dan bentuk tubuh mereka menarik.

   "Siapakah kalian?"

   Tanya Winarsih.

   "Kami senasib dengan engkau, mbakayu. Kami juga diculik dan sekarang kami menjadi... isteri Ki Singobarong. Namaku Karsih, mbakayu, dan aku yang pertama disini."

   "Ki Singobarong... raksasa hitam itu...'"

   Tanya Winarsih.

   "Ssst... jangan begitu, mbakayu. Jangan sampai dia marah... dia baik sekali kalau penurut, akan tetapi kalau dia marah, oh, menakutkan sekali. Namaku Darni, mbakayu."

   Kata orang kedua yang umurnya mungkin baru delapan belas tahun.

   "Dan aku Tinah, mbakayu."

   Kata yang termuda, mungkin baru tujuh belas tahun usianya.

   "Aku baru dua minggu disini, memang lebih baik menerima nasib, mbakayu. Masih baik kalau diperistri Ki Singobarong. Kalau diberikan kepada anak buahnya... Iiiuhh... kita akan dipermainkan orang banyak... mengerikan sekali."

   Winarsih memang seorang wanita yang tidak pernah belajar ilmu kunuragan. Akan tetapi ia Isteri seorang pendekar dan memiliki kenekatan besar. Ia bangkit berdiri, sepasang matanya bersinar penuh kemarahan.

   "Tidak! Aku sudah menjadi isteri orang, tidak boleh laki-laki manapun menggangguku."

   Ia mencubut sebatang patrem (belati kecil) yang tadinya diselipkan di pinggang dan tidak diketahui kedua orang penculiknya.

   "Kalau ada yang berani mencoba-coba menyentuh badanku, dia hanya akan menyentuh sebuah mayat!"

   Melihat Winarsih memegang patrem dan siap dihunjamkan kepada dadanya sendiri, tiga orang wanita muda itu mundur ketakutan.

   Tekat besar Winarsih ini menolongnya. Bahkan Ki Singobarong sendiri tidak berdaya karena dia tahu bahwa kalau dia menggunakan kekerasan, Winarsih tentu membunuh diri.

   Dia Juga tidak mau menggunakan ilmu sihirnya seperti yang banyak dia pergunakan untuk menundukkan para wanita yang diculiknya. Hal ini adalah karena dia melihat sesuatu yang amat menarik dalam diri Winarsih, yang berbeda dengan para gadis dusun itu. Dia benar-benar Jatuh hati dan tergila-gila kepada Winarsih, dan menghendaki agar Winarsih suka menyerahkan diri kepadanya secara suka rela.

   Karena itu, dia tidak mau mempergunakan sihirnya untuk membuat Winarsih menurut dan memenuhi kehendaknya. Dia hanya menahan Winarsih dalam sebuah kamar yang terjaga dari luar, dan memesan para gadis yang menjadi isteri-isterinya itu untuk melayani Winarsih dan bersikap baik kepadanya. Ki Singobarong sekali ini menginginkan agar Winarsih menjadi isteri yang sah, bukan sekedar menjadi permainan nafsunya seperti wanita-wanita lain yang setiap saat akan mudah dibuang dan dicarikan penggantinya.

   Ketika anak buah yang mengintai di tepi laut melihat munculnya sebuah perahu kecil yang ditumpangi dua orang laki-laki, mereka segera melapor kepada Ki Singobarong. Datuk sesat ini cepat pergi dan dia melihat bahwa dua orang dalam perahu itu adalah Ki Sumali dan seorang pemuda yang tidak dikenalnya.

   Dia menyeringai melihat keberanian Ki Sumali, berani datang mengunjungi Nusa-kambangan! Hemm, dia mencari mampus, pikirnya. Tidak mungkin dia mau menyerahkan kembali Winarsih yang akan dijadikan isterinya.

   Ki Singobarong lalu duduk bersila di atas batu dan mulai mengerahkan ilmu sihirnya. Maka datanglah angin dan badai yang melanda perahu yang ditumpangi Ki Sumali dan Lindu Aji itu.

   Akan tetapi Ki Singobarong terkejut bukan main ketika serangannya melalui ilmu sihir hitam itu punah dan gagal sama sekali. Dia mencoba untuk mengerahkan segala kemampuannya, namun seperti ada angin semilir lembut membawa kehangatan sinar matahari membuyarkan kabut yang ditimbulkan sihirnya, semua usahanya gagal dan kekuatan sihirnya seperti lumpuh. Dengan penuh geram dia lalu meninggalkan pantai dan cepat mengumpulkan tiga puluh orang anak buahnya. Dia maklum bahwa serangan ilmu sihirnya tadi dapat ditangkis lawan, entah itu Ki Sumali sendiri yang menghalau kekuatan sihirnya ataukah pemuda yang menyertainya di atas perahu.

   Dia membagi anak buahnya menjadi dua bagian. Bagian pertama, lima belas orang banyaknya, dia perintahkan untuk mengumpulkan semua tawanan wanita yang jumlahnya hampir dua puluh orang itu di rumahnya yang besar dan lima belas orang itu diperintahkan untuk menjaga agar jangan sampai ada orang yang membebaskan mereka. Adapun yang tujuh belas orang, semua anak buahnya setelah dihitung ada tiga puluh dua orang, diajaknya untuk menyambut kedatangan dua orang itu.

   "Hati-hati jangan sembarangan bergerak,"

   Pesannya kepada rombongan ke dua yang diajaknya menyambut musuh.

   "Dua orang musuh yang datang bukan orang sembarangan. Lihat betapa aku akan menghajar dan membunuh mereka. Jangan bantu aku kalau tidak perlu karena itu hanya akan menggangguku saja."

   Kata Ki Singobarong dengan sikap sombong, seolah dia sudah memastikan bahwa dia akan dapat membunuh dua orang musuh dengan mudah.

   Ki Sumali dan Lindu Aji akhirnya tiba di dataran di tengah pulau dimana terdapat perkampungan gerombolan itu.

   Perkampungan terdiri dari pondok-pondok kayu dan ditengah-tengah terdapat pondok terbesar, tempat tinggal Ki Songobarong.

   Dengan hati-hati Ki Sumali dan Lindu Aji melangkah maju, menghampiri pintu gerbang perkampungan. Mereka dapat menduga bahwa Ki Singobarong tentu sudah tahu akan kedatangan mereka, buktinya tadi ada serangan badai yang timbul karena pengaruh sihir. Maka mereka berdua kini siap siaga.

   Tiba-tiba, terdengar suara brengeng-eng (berdengung-dengung) yang datangnya dari perkampungan itu. Lindu Aji sudah dapat merasakan pengaruh hawa yang tidak sewajarnya, tanda bahwa ada kekuatan sihir yang kuat sedang dikerahkan orang untuk menyerang mereka.

   "Paman, harap paman berlindung dibelakangku dan melindungi diri paman sendiri karena ada yang akan menyerang kita dengan ilmu sihir lagi."

   Kata Lindu Aji.

   Ki Sumali yang maklum bahwa Ki Singobarong adalah seorang ahli mempergunakan ilmu sihir seperti juga mendiang Aki Somad, gurunya, segera berdiri dibelakang Lindu Aji dalam jarak dua tombak.

   Aki Somad memang pernah menjadi gurunya akan tetapi kakek itu tidak mengajarkan ilmu sihir yang merupakan aji pamungkasnya, yaitu Aji Gineng Soka Weda. Dia hanya diberi Aji Jerit Bairawa, pekik yang mengandung kekuatan sihir untuk melumpuhkan lawan.

   Bunyi berdengung-dengung itu kian kuat dan tak lama kemudian, dari pintu gerbang itu muncullah semacam awan hitam melayang-layang ke arah dua orang pendatang itu.

   Ki Sumali tidak tahu apa awan itu, namun dia sudah siap siaga, mengerahkan kekuatan batin dan tenaga saktinya untuk melawan serangan apapun juga yang datang menyerangnya. Dia melihat bahwa Lindu Aji masih berdiri tenang saja dengan pandang mata ditujukan kepada awan hitam yang melayang datang membawa suara berdengung-dengung itu.

   Kini Ki Sumali terbelalak. Dia dapat melihat bahwa awan hitam itu ternyata adalah segerombolan lebah yang oleh penduduk dikenal sebagai tawon endhas (tawon berwarna hitam yang besar dan berani menyerang manusia dengan menyambar ke arah kepala.

   Dia terkejut sekali. Lebah hitam besar ini amat berbahaya. Kabarnya, sekali saja kepala kena dibentur seekor lebah ini, maka bagian kepala itu akan menjadi botak dan tidak dapat ditumbuhi rambut iagi. Pada hal kini yang datang ada ratusan ekor banyaknya.

   Saking ngerinya, Ki Sumali ingin mendahului. Dia melangkah maju ke dekat Lindu Aji dan mengerahkan tenaga saktinya lalu keluarlah lengkingan panjang dari kerongkongannya, lengkingan yang mengandung getaran kuat sekali yang ditujukan untuk menyerang segerombolan lebah hitam itu. Gelombang suara lengkingan ini menghantam ke arah gerombolan lebah yang terbang datang.

   Gerombolan lebah itu seperti disambar tiupan angin kuat yang terkandung dalam Aji Jerit Bairawa yang dikerahkan Ki Sumali. Akan tetapi hanya sebentar saja gerombolan lebah itu terdorong ke belakang, lalu mereka naik ke atas dan terbang maju lagi dengan kuat dan cepat. Agaknya serangan Aji Jerit Bairawa itu hanya mengejutkan mereka, namun tidak mampu menahan mereka!

   Ki Sumali menjadi penasaran. Ternyata ajinya tidak mempan. Dia cepat menggosok kedua telapak tangannya, lalu ditiupnya dan kedua telapak tangannya itu bernyala dan membara. Itulah Tapak Geni (Telapak Api) dan dengan kedua tangannya Ki Sumali mendorong ke arah gerombolan lebah itu.

   Kembali gerombolan lebah itu terdorong kebelakang sekitar dua meter, namun mereka tidak runtuh dan dengan memperdengarkan suara mendengung nyaring mereka meluncur ke depan lagi, bahkan lebih kuat.

   Lindu Aji sejak tadi memperhatikan dan maklumlah dia bahwa gerombolan itu bukanlah lebah biasa, melainkan lebah jadi-jadian, maka kedua aji Ki Sumali tadi tidak mempan, karena memang tingkat dan kepandaian Ki Sumali kalah tinggi dibandingkan kepandaian orang yang mengirim gerombolan lebah jadi-jadian itu. Maka, dia lalu membungkuk dan mengambil segenggam tanah berpasir, mengerahkan kekuatan batinnya lalu menyambitkan segenggam tanah berpasir itu ke arah segerombolan lebah yang sudah menyambar datang, sudah dekat, dalam jarak antara dua meter dari kepalanya.

   "Kembali ke asalmu!"

   Bentak Lindu Aji.

   "Blarrrrr...!"

   Tampak sinar berkilat seperti ada halilintar menyambar dan segerombolan lebah hitam itupun runtuh semua ke atas tanah dan berubah menjadi pasir hitam!

   Akan tetapi terdengar suara gemuruh dan kini muncullah sebuah benda mencorong dan bernyala-nyala dari pintu gerbang perkampungan itu.

   Mellhat benda yang terbang cepat ke arah mereka itu, Ki Sumali menjadi pucat. Itulah Aji Gineng Soka Weda yang dahsyat! Dia pernah menyaksikan gurunya, mendiang Aki Somad, mendemonstrasikan aji yang luar biasa itu. Maka, dia cepat mundur dan berlindung dibelakang Lindu Aji. Dia 'percaya pemuda itu akan mampu menghadapi aji yang amat menyeramkan itu.

   Benda yang mencorong dan bernyala-nyaia itu terbang mendekat dan sekarang tampaklah benda itu. Bukan main! Mengerikan sekali karena benda itu berwujud sebuah kepala raksasa yang besar dan kedua matanya mencorong, mulutnya terbuka dan mengeluarkan api yang berkobar menyala-nyala, lidahnya panjang membara mengeluarkan asap, mulutnya terisi taring dan gigi-gigi runcing mengkilap, dari kedua lubang hidungnya menyemburkan asap yang panas.

   Dalam jarak kurang lebih tiga meter, mahluk menyeramkan itu tiba-tiba menyemburkan api dari mulutnya, ke arah Lindu Aji. Pemuda ini sudah siap siaga. Dia pun mengenal mahluk jadi-jadian hasil aji Gineng Soka Weda itu. Dia pernah mengenal aji yang dahsyat itu. Dahulu, pernah mendiang Aki Somad menyerangnya dengan aji itu pula dan kini, penyerang yang mempergunakan aji itu agaknya tidak kalah kuatnya dibandingkan mendiang Aki Somad.

   Lindu Aji sudah tenggelam ke dalam penyerahan diri lahir batin kepada kekuasaan Gusti Allah. Sikapnya seperti sikap Tirta Bantala (Air dan Tanah) yang semua gerakannya wajar dan tidak disengaja oleh hati akal pikirannya, melainkan dituntun oleh Kekuasaan Tuhan.

   Penyerahan diri ini memunculkan kekuatan Aji Guruh Bumi yang mengandung tenaga sakti Surya Candra. Tubuhnya merendah ketika kedua kakinya ditekuk depan belakang, lalu kedua tangannya didorongkan ke arah mahluk yang menyemburkan api itu.

   "Segala kekuatan datang dari Gusti Allah!"

   Seru Lindu Aji dan begitu kedua tangannya didorongkan, ada hawa lembut keluar menyambul serangan mahluk kepala raksasa yang lebih pantas disebut iblis itu.

   "Wuuuttt... blaarrr...!!"

   Bagaikan disambar halilintar, mahluk itu terpental sampai terputar-putar, kemudian terdengar lolongan seperti lolongan seekor anjing di malam bulan purnama, dan mahluk jadi-jadian itu terbang kembali ke arah perkampungan!

   Lindu Aji dan Ki Sumali masih berdiri menanti serangan berikutnya. Mereka maklum bahwa musuh tidak akan berhenti begitu saja. Mereka tidak menanti lama. Tampak kini seorang raksasa hitam melangkah lebar-lebar keluar dari pintu gerbang itu, diikuti oleh tujuh belas orang anak buahnya yang ke semuanya tampak menyeramkan dan bengis.

   Ki Sumali segera mengenal orang itu dan dia berbisik kepada Lindu Aji.

   "Raksasa itulah Ki Singobarong."

   Dia lalu maju dan berdiri di sebelah kiri Lindu Aji dengan sikap tenang karena dia tahu bahwa pemuda yang membantunya ini boleh diandalkan.

   Kini Ki Singobarong sudah berdiri di depan mereka, dalam jarak empat tombak. Anak buahnya membentuk pagar setengah lingkaran dibelakang raksasa hitam itu.

   "Babo-babo Ki Sumali! Berani engkau datang kesini? Mau apa engkau datang?"

   Tegur Ki Singobarong, agak berkurang keangkuhannya setelah tiga kali ajian sihirnya, badai, gerombolan lebah, dan kepala Banaspati tadi dapat ditolak dan dikalahkan.

   Diam-diam walaupun dia bicara kepada Ki Sumali, dia melirik ke arah Lindu Aji dan merasa heran. Pemuda inikah yang telah mampu melawan dan melumpuhkan sihirnya?

   "Hemm, Ki Singobarong..."

   "Heh, Ki Sumali! Engkau tidak tahu sopan santun pula. Aku ini paman gurumu, tahu?"

   "Aku tidak menganggap engkau paman guruku, Ki Singobarong, karena engkau tidak bersikap sebagai paman guru. Aku datang kesini untuk minta kembali isteriku yang kau culik dan untuk membalas kematian dua orang pembantuku yang tidak berdosa!"

   "Bojleng-bojleng iblis laknat!"

   Ki Singobarong memaki dengan marah.

   "Ki Sumali! Di Loano sana aku masih memberi ampun dan tidak membunuhmu, mengingat bahwa engkau telah menyerahkan isterimu untuk menjadi biniku! Apakah sekarang engkau datang untuk mengantarkan nyawamu?"

   "Ki Singobarong! Winarsih adalah isteriku dan tidak pernah kuserahkan kepada siapapun juga, apa lagi kepadamu! Ia adalah isteriku, isteriku yang setia. Karena itu aku harus merampasnya dari tanganmu yang kotor!"

   "Hua-ha-ha, isterimu? Ha-ha-ha, bagaimana ia masih menjadi isterimu kalau dia sudah berada dalam pelukanku, tidur dikamarku selama dua malam?"

   "Jahanam busuk...!"

   Ki Sumali hendak menyerang, akan tetapi dia ditahan oleh Lindu Aji. Pemuda ini lalu melangkah maju dan menentang pandang mata Ki Singobarong.

   "Ki Singobarong, kulihat engkau seorang yang sakti. Tidak sayangkah semua kesaktian yang kau pelajari dengan susah payah itu sekarang kau pergunakan untuk melakukan kejahatan. Andika telah menyerahkan jiwamu kepada iblis dan ingatlah, semua kekuasaan iblis akan sirna dihadapan Kekuasaan Gusti Allah. Karena itu, sebelum terlambat, bertaubatlah, kembalikan isteri Paman Sumali dan hentikan semua perbuatanmu yang jahat dan angkara murka."

   "Bocah lancang kemaki (sombong!) Agaknya engkau yang membuat Ki Sumali berani datang ke Nusakambangan! Heh, bocah kementhus, jangan mati tanpa nama. Katakan siapa kamu dan mengapa kamu mencampuri urusanku dengan Ki Sumali yang masih terhitung murid keponakanku sendiri!"

   "O, kiranya andika ini adik seperguruan mendiang Aki Somad? Ternyata engkau malah lebih jauh tersesat dibandingkan Aki Somad yang hanya terpikat bujukan Kumpeni Belanda dan menjadi antek mereka. Ketahuilah, Ki Singobarong, aku bernama Lindu Aji dan sudah lama menjadi sahabat Paman Sumali dan isterinya. Aku tidak mencampuri urusan pribadi orang, akan tetapi dimana ada perbuatan jahat dan sewenang-wenang terjadi, disitu aku harus turun tangan dan tugasku memang menentang perbuatan jahat. Dan engkau telah membunuh dua orang pembantu Paman Sumali yang tidak bersalah apa-apa kepadamu, melukai Paman Sumali dan bahkan menculik isteri Paman Sumali. Perbuatanmu itu jahat sekali, Ki Singobarong, maka aku harus menentangmu!"

   "Babo-babo, sumbarmu seperti geledek, seolah engkau dapat memindahkan gunung, Lindu Aji!"

   "Kalau gunung itu mengancam keselamatan orang-orang, aku akan berusaha sedapat mungkin untuk memindahkannya, Ki Singobarong!"

   "Bojleng-bojleng iblis laknat!"

   Ki Singobarong sudah mengambil ruyung galih asem yang bergantung di pinggangnya.

   "Engkau sudah bosan hidup! Pecah kepalamu!!"

   Dia segera menerjang ke depan, mengayun ruyungnya yang besar dan berat itu, menyambarkan senjata itu ke arah kepala Lindu Aji.

   Pemuda ini dengan sigapnya mengelak dengan merendahkan tubuh sehingga ruyung itu mengiuk lewat di atas kepalanya.

   Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ki Singobarong menjadi penasaran sekali melihat betapa serangan kilatnya tadi dengan mudah dielakkan lawan, maka kakinya yang panjang besar mencuat ke arah selakangan Lindu Aji.

   Tendangan itu merupakan tendagan maut yang berbahaya sekali. Namun, dengan memainkan ilmu silat Wanara Sakti, tubuh Lindu Aji bergerak cekatan sekali sehingga dengan mudah dia dapat mengelak dari tendangan itu.

   Ki Singobarong mengamuk dan melakukan serangan bertubi-tubi. Akan tetapi Lindu Aji melayaninya dengan mudah, bahkan dia kini mulai membalas dengan tamparan tangan yang mengandung tenaga sakti Surya Candra yang ampuh.

   Beberapa kali Ki Singobarong nyaris terkena sambaran tamparan tangannya sehingga raksasa hitam itu mulai berkeringat. Diam-diam dia lalu memberi isarat kepada tujuh belas orang anak buahnya. Mereka itu dengan klewang di tangan lalu menyerbu.

   Akan tetapi Ki Sumali yang sudah siap siaga, menyambut mereka dengan amukannya, menggunakan keris Sarpo Langking dan sulingnya. Hebat sekali amukan pendekar Loano ini. Sebentar saja tiga orang anak buah Nusakambangan sudah terkapar, terkena tusukan keris dan hantaman suling. Akan tetapi sisanya, empat belas orang mengepung dan mengeroyok Ki Sumali sehingga pendekar ini menjadi agak kewalahan juga. Akan tetapi karena sepak terjangnya memang tangkas dan berbahaya, setiap tangkisannya membuat penyerangnya terhuyung, maka para pengeroyoknya juga berhati-hati dan agak gentar membuat pengepungan itu tidak berapa ketat.

   Sementara itu, Lindu Aji maklum bahwa yang terpenting adalah segera menolong dan membebaskan Winarsih yang tentu berada diperkampungan itu dan untuk dapat segera menolongnya, terlebih dulu dia harus dapat mengalahkan Ki Singobarong. Diapun harus membantu Ki Sumali yang dikeroyok banyak orang itu.

   Lindu Aji lalu mengerahkan tenaga saktinya dan mempergunakan Aji Bayu Sakti. Tubuhnya berkelebatan amat cepatnya seolah berubah menjadi bayang-bayang.

   Ki Singobarong terkejut bukan main. Dia mengamuk dan mengobat-abitkan ruyung galih asemnya untuk menyerang, namun bayangan Lindu Aji sukar sekali dijadikan sasaran karena berkelebatan cepat.

   "Lepaskan!"

   Tiba-tiba Aji membentak dan tangan kirinya yang dimiringkan, membacok pergelangan tangan kanan Ki Singobarong yang memegang ruyung itu.

   "Wuuuttt... desss...!"

   Tak dapat dipertahankannya lagi, ruyung itu terlepas dari pegangan tangan Ki Singobarong yang merasa betapa lengan kanannya seolah-olah menjadi lumpuh.

   Dia cepat melompat kebelakang dan setelah lengan kanannya pulih, dia cepat menggosok kedua telapak tangannya sehingga bernyala dan membara, lalu didorongkannya kedua tangannya ke arab Lindu Aji.

   "Aji Tapak Geni....!"

   Bentaknya dan mengerahkan tenaga sepenuhya karena kini dia yakin akan kedigdayaan lawannya yang masih muda itu.

   Aji menyambut dengan kedua tangan didorongkan sambil berseru penuh wibawa.

   "Aji Guruh Bumi...!"

   Kekuatan aji ini memang hebat sekali, seolah bumi tergetar oleh gelombang getaran aji pukulan ini ketika menyambut aji pukulan Tapak Geni.

   "Wuuuttt... blaarrrr...!"

   Tubuh Ki Singobarong terlempar lebih dari lima meter ke belakang seperti diterjang halilintar dan tubuh tinggi besar itu jatuh berdebuk di atas tanah, dimana dia rebah telentang tak mampu bergerak lagi.

   Tenaga Tapak Geni yang membalik telah menghantam dirinya sendiri sehingga dia menderita luka dalam yang cukup hebat.

   Lindu Aji melompat, mendekatinya dan melihat raksasa itu ternyata jatuh pingsan dan menderita luka dalam. Dia tidak memperdulikan lagi, lalu melompat dan membantu Ki Sumali yang masih repot menghadapi pengeroyokan empat belas orang anak buah Nusakambangan itu.

   Masuknya Aji mengubah keadaan. Para anak buah ketakutan melihat pemimpin mereka roboh dan tidak mampu bangkit kembali. Dan Ki Sumali yang mendapatkan semangat baru dengan masuknya Lindu Aji, mengamuk dan merobohkan dua orang lagi.

   Lindu Aji dengan tamparan dan tendangan kakinya, juga merobohkan empat orang. Sisa anak buah Nusakambangan menjadi ketakutan dan mereka lari cerai berai meninggalkan tempat itu, bahkan secepatnya mereka meninggalkan pulau Nusakambangan mencari keselamatan dirinya!

   "Mari kita cari Mbakayu Winarsih!"

   Kata Lindu Aji kepada Ki Sumali dan keduanya cepat lari memasuki perkampungan itu.

   Suasana dalam perkampungan sepi, tak tampak seorang pun. Mereka memasuki pondok-pondok terdekat, namun semua pondok itu kosong.

   "Pondok besar itu tentu tempat kediaman Ki Singobarong. Mari kita kesana!"

   Kata Ki Sumali dan mereka berlari menuju gedung terbesar yang berada di tengah perkampungan.

   Baru saja mereka berdua masuk ke pendopo rumah, dari dalam rumah itu keluar belasan orang dan segera lima belas orang anak buah yang ditugaskan menjaga rumah itu mengeroyok mereka. Akan tetapi Aji dan Ki Sumali mengamuk dan sebentar saja delapan orang telah mereka robohkan. Sisanya lari kocar-kacir meninggalkan kampung, menyusul teman-teman yang sudah lari terlebih dulu, menggunakan perahu-perahu menyingkir dari Nusakambangan.

   Sementara itu, ketika para anak buah gerombolan berlarian keluar dan menyerang dua orang itu, para wanita yang menjadi tawanan dan merasa diri mereka tidak dijaga dan diawasi lagi, berserabutan keluar dari kamar dimana mereka dikeram menjadi satu.

   

Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini