Ceritasilat Novel Online

Bagus Sajiwo 6


Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Bagian 6



Ni Dewi Melati Puspa rebah telentang di atas pembaringan dalam kamarnya yang penuh keharuman melati, sebuah kamar yang tidak terlalu besar namun rapi dan indah.

   Sejak mengadili Marsi dan pemuda bernama Jayeng tadi, ia memasuki kamarnya, melempar diri ke atas pembaringan, rebah telentang dan memejamkan kedua matanya. Namun ia tidak tidur dan dengan memejamkan kedua matanya, ia dapat melamun dan membayangkan kembali masa lalunya dengan jelas. Baru dua tahun lebih ia telah mengubah seluruh kehidupannya. Dua tahun lebih yang lalu ia adalah seorang gadis bernama Sulastri yang tinggal di Dermayu bersama Ki Subali dan Nyi Subali, ayah ibunya.

   Masa lalunya adalah masa yang penuh perjuangan membantu Mataram dan melakukan dharma-brata sebagai seorang pendekar wanita, menentang kejahatan dan menegakkan keadilan dan kebenaran.

   Dalam perjalanan ini, dan dalam perjuangan membantu balatentara Mataram ketika Mataram menyerang Batavia untuk ke dua kalinya, banyak hal terjadi dengan dirinya sehingga ia terombang-ambing dalam lika-liku cinta asmara antara dua orang pria dan dirinya sendiri. Ia segera kembali ke Dermayu setelah pasukan Mataram gagal menyerbu Kumpeni Belanda di Batavia.

   Bersamanya, ikut pula ke Dermayu dua orang pemuda yang membuat ia bimbang dan bingung itu. Mereka adalah dua orang satria yang gagah perkasa dan sama-sama luhur budinya, sama-sama tampan sehingga akan membuat setiap orang wanita menjadi bingung untuk memilih mana yang lebih baik!

   Pemuda itu bernama Lindu Aji dan yang ke dua bernama Jatmika.

   Sebetulnya diantara mereka bertiga masih ada pertalian persaudaraan seperguruan, bukan tunggal guru, melainkan guru-guru mereka masih sealiran.

   Semula, ia jatuh cinta dengan Lindu Aji. Akan. tetapi, malapetaka menimpanya ketika ia terjatuh ke dalam jurang dan akibatnya, ia kehilangan ingatan sehingga kepada Lindu Aji yang dicintanya itupun ia lupa sama sekali. Bahkan kepada ayah bundanya pun ia lupa!

   Dalam keadaan lupa ingatan masa lalu ini ia berjumpa dengan Jatmika dan pemuda inipun jatuh cinta padanya. Ia sendiri amat suka kepada Jatmika yang gagah perkasa, lembut dan berbudi. Dalam keadaan masih lupa akan masa lalunya, ia bertemu dengan orang tuanya, Ki Subali dan isteri. Walaupun mendapat penjelasan, ia tetap tidak ingat, namun ia mau mengaku mereka sebagai ayah dan ibu kandungnya.

   Kemudian ia bertemu dengan Neneng Salmah, seorang waranggana yang ditolong Lindu Aji dari tangan orang-orang jahat. Neneng Salmah dan ayahnya, Ki Salmun, dapat melarikan diri dan oleh Lindu Aji dititipkan kepada Ki Subali. Selanjutnya mereka ditampung di Dermayu oleh Ki Subali.

   Sulastri dan Neneng Salmah akrab sekali. Neneng Salmah dengan terus terang menceritakan bahwa ia jatuh cinta kepada Lindu Aji, satria yang telah menyelamatkannya. Sulastri yang dalam keadaan kehilangan ingatan itu diberi nama Listyani atau disebut Eulis oleh Jatmika yang menolongnya karena gadis itu lupa akan namanya, tidak perduli mendengar betapa Neneng Salmah jatuh cinta kepada Lindu Aji. Ia sama sekali tidak ingat bahwa Lindu Aji adalah pria yang amat dikasihinya sebelum ia kehilangan ingatannya akan masa lalunya.

   Kemudian, ia mendapatkan kembali ingatannya dan terjadilah masalah yang amat sulit diatasi itu. Lindu Aji yang melihat keakraban Eulis dengan Jatmika, merasa bahwa dia harus mundur dari Sulastri dan menganjurkan Sulastri yang pulih kembali ingatannya itu untuk menikah dengan Jatmika.

   Betapa mulianya budi pekerti Lindu Aji. Terkenang akan hal ini, Ni Dewi Melati Puspa tak dapat menahan mengalirnya beberapa butir air mata dari pelupuk matanya menuruni kedua pipinya. Ia segera mengusap air matanya dan melanjutkan kenangannya.

   Setelah Lindu Aji menyatakan bahwa ia harus menikah dengan Jatmika, ia sebaliknya juga menghendaki agar Lindu Aji menikah dengan Neneng Salmah yang amat mencintanya. Akan tetapi kemudian ternyata bahwa Lindu Aji menolak Neneng Salmah dan dia meninggalkan Dermayu.

   Setelah Lindu Aji pergi, Jatmika mengajukan pinangan kepadanya. Dengan berat hati Sulastri menolak pinangan Jatmika itu karena sesungguhnya yang dicintanya hanya Lindu Aji. Maka gagallah sama sekali perjodohan antara mereka berempat dan agaknya mereka semua mengalami patah hati!

   Lindu Aji pergi, Jatmika yang ditolak lamarannya juga pergi. Ia tinggal di rumah, selain merasa duka akan kegagalan cintanya sendiri, juga ia harus menghadapi Neneng Salmah yang setiap hari menangis, merana sehingga tampak kurus dan pucat! .

   Akhirnya ia tidak dapat menahan lebih lama lagi. Ia berpamit kepada ayah bundanya, tidak mengacuhkan cegahan dan halangan mereka, kemudian merantau untuk menghibur hatinya yang gundah dan risau. Dan ia bertemu dengan gerombolan yang dipimpin Suro Gentho, membunuh Suro Gentho dan anak buahnya, lalu mengambil alih perkampungan gerombolan itu dan mendirikan perkumpulan Melati Puspa. Ia sendiri ingin melupakan dirinya sebagai Sulastri atau sebagai Listyani atau Eulis, dan mengaku bernama Melati Puspa, bahkan memberi nama itu pula kepada perkumpulannya.

   Ni Dewi menghela napas panjang dan miringkan tubuhnya. Lamunannya terhenti. Sudah dua tahun ia menjadi pimpinan perkumpulan itu dan ia telah berhasil menggembleng para anggautanya, bukan saja dengan ilmu silat tangan kosong Sunya Hasta yang hanya diajarkan gerakan kaki tangannya saja tanpa diajarkan inti aji itu ialah pengosongan diri dan penyerahan kepada Gusti Allah. Juga ia mengajarkan gerakan silat pedang.

   Untuk menghapus jejaknya sebagai Sulastri atau Listyani, bahkan pedang Naga Wilis yang oleh pemiliknya, Retno Susilo, telah diberikan kepadanya itu diberi gagang dan sarung baru dengan ukiran bunga-bunga melati. Dan disamping itu, ia telah berhasil mengubah watak mereka dengan peraturan dan ketertiban yang keras, yaitu dari pelaku-pelaku kejahatan menjadi wanita-wanita penegak keadilan dan kebenaran, penentang kejahatan! Dalam waktu dua tahun saja, nama perkumpulan Melati Puspa terkenal dan tersiar dengan harum seperti bunga melati, sebagai perkumpulan para pendekar wanita!

   Kembali Ni Dewi menghela napas panjang. Setelah menghadapi kasus Marsi dan Jayeng, ia merasa bersedih, diingatkan akan keadaan dirinya. Sedangkan seorang seperti Marsi anak buahnya itu, mendapatkan jodoh seorang pria yang dikasihi dan mengasihinya. Ia merasa iri melihat kebahagiaan mereka.

   Dari sinar mata mereka saja ketika saling berpandangan, ia dapat merasakan bahwa kedua orang itu memang saling mencinta. Karena itulah maka ia tidak ragu lagi untuk memutuskan agar mereka menjadi suami isteri. Akan tetapi sekaligus keadaan mereka itu mengingatkan akan keadaan dirinya. Selama dua tahun ini ia menghabiskan waktunya di perkampungan Melati Puspa itu! Tidak sia-sia memang, karena ia mampu mengubah jalan hidup para wanita itu, yang dulunya menjadi anggauta gerombolan sesat kini menjadi anggauta perkumpulan pendekar. Yang baru masukpun dari wanita-wanita yang putus asa kini menjadi wanita-wanita yang gagah dan mempunyai masa depan yang lebih cerah serta mereka mampu membawa dan melindungi diri sendiri.

   Kini boleh sekali-sekali ia tinggalkan untuk melanjutkan perantauannya. Ingin sekali ia melihat keadaan Lindu Aji. Apakah pemuda itu kini sudah menikah dengan gadis lain?

   Andaikata demikian halnya, ia tidak akan merasa penasaran. Bukankah ia dahulu juga rela membiarkan Lindu Aji berjodoh dengan Neneng Salmah? Ada kerinduan yang amat mendalam di hatinya terhadap Lindu Aji. Juga ia ingin bertemu dan melihat keadaan Jatmika sekarang. Ia merasa kasihan dan ia akan ikut merasa senang andaikata melihat Jatmika sudah hidup berbahagia dengan wanita lain.

   Teringatlah ia akan cerita Jayeng tadi. Ah, mengapa tidak? Cerita tentang iblis betina itu dapat menjadi dalih baginya untuk sementara waktu meninggalkan Melati Puspa, untuk melakukan penyelidikan terhadap iblis betina itu!

   Pada keesokan harinya, Ni Dewi sudah mengambil keputusan tetap. Ia memanggil semua anak buahnya, kini tinggal lima puluh lima orang dan mengatakan bahwa. ia hendak menyelidiki iblis betina yang membakar pondok di Bukit Keluwung. Ia menyerahkan pimpinan kepada anggauta yang paling dipercaya dan yang paling tangguh diantara semua anggauta. Ia mengangkat anggauta itu yang bernama Suwarni sebagai pemimpin sementara. Setelah itu, berangkatlah Ni Dewi menuruni Gunung Liman. Ketika menuruni lereng itu, dari tempat tinggi itu ia dapat melihat Gunung Wilis menjulang tinggi di arah tenggara.

   Kembali terbayang akan peristiwa yang dialami Jayeng dan timbul keinginan tahunya. Siapakah iblis betina yang berpakaian serba putih dan bersenjatakan kebutan yang demikian saktinya sehingga dengan kebutannya mampu menumbangkan pohon-pohon dan menghancurkan batu-batu?

   Ni Dewi lalu menuruni lereng Gunung Liman, kini ia mengerahkan tenaga saktinya dan berlari seperti terbang cepatnya. Ujung rambut yang digelung itu berkibar-kibar di atas punggungnya, dimana terdapat sebuah buntalan pakaian dan pedangnya.

   Setelah senja pada hari itu, ia tiba di kaki pegunungan Wilis. Ia mulai mencari-cari dimana letaknya Bukit Keluwung.

   Karena daerah ini asing baginya, maka ia menjadi bingung karena pegunungan itu mempunyai banyak sekali bukit. Untung ia bertemu dengan seorang laki-laki penyabit rumput di luar sebuah dusun dan orang inilah yang menunjukkan dimana adanya Bukit Keluwung itu. Setelah mengetahui letaknya, Ni Dewi berlari cepat menuju ke bukit itu.

   Akan tetapi malam keburu datang. Terpaksa malam itu ia berhenti dan melewatkan malam di kaki bukit.

   Sebagai seorang gadis yang dulu sudah biasa merantau, Ni Dewi mampu tidur di sembarang tempat. Tubuhnya yang terlatih kuat itu mampu menahan dinginnya angin malam. Ia membuat api unggun, selain mencari kehangatan api, terutama sekali untuk mengusir nyamuk. Ia tidur dekat api unggun, setengah duduk bersandar sebuah batu besar.

   Pada keesokan harinya, sinar matahari pagi yang menimpa mukanya membangunkan Ni Dewi. Semalam, sampai jauh malam ia baru dapat pulas karena pikirannya selalu melayang-layang ke masa lalul sehingga pagi ini ia baru bangun setelah tergugah sinar matahari yang menimpa mukanya. Ia membuka matanya, silau oleh sinar matahari dan miringkan muka untuk mengelak dari serangan matahari pada kedua matanya. Ia memejamkan matanya kembali, masih segan untuk bangun.

   "Ni Dewi, mengapa tidur disini....?"

   Teguran suara laki-laki ini mengejutkan hati Ni Dewi dan iapun melompat dan siap menghadapi bahaya. Ia melihat seorang laki-laki setengah tua berdiri di depannya dan laki-laki itu kini melongo memandang kepadanya, agaknya heran dan terkejut.

   "Siapa engkau?"

   Ni Dewi membentak.

   "Bagaimana engkau dapat mengenal aku?"

   "Maaf, saya .... saya tidak mengenal mas ayu. Maaf kalau saya mengagetkan andika, tadi saya kira andika adalah Ni Dewi, maka saya berani menyapa...."

   Mengertilah Ni Dewi bahwa ada kesalah-pahaman disini. Laki-laki itu mengira ia seorang wanita lain yang agaknya juga bernama Ni Dewi!

   "Hemm, siapakah Ni Dewi yang kau maksudkan itu? Hayo katakan sejujurnya, kalau tidak aku tidak akan mempercayai ucapanmu tadi dan akan kuhajar engkau!"

   Laki-laki itu terbelalak.

   "Aduh, maaf, masayu.... andika memang mirip Ni Dewi...! Ketahuilah, saya adalah seorang diantara lima pembantu atau pelayan Ni Dewi, dua orang laki-laki dan tiga orang perempuan. Kalau pagi kami mendaki puncak dan bekerja dirumahnya, kalau sore kami turun dan kembali ke dusun kami yang berada di kaki bukit. Empat hari yang lalu, ketika pagi-pagi kami mendaki puncak, setibanya disana kami melihat rumah yang indah itu telah menjadi puing, habis bekas terbakar! Dan kami tidak pernah melihat Ni Dewi lagi sampai pagi hari ini... saya bertemu andika tidur disini. Saya kira Ni Dewi, ia juga muda dan cantik seperti andika, maka saya berani menyapa... tidak tahunya setelah andika terbangun, andika bukan Ni Dewi. Maafkan saya...."

   "Tapi, siapakah Ni Dewi itu? Siapa nama lengkapnya?"

   Ni Dewi Melati Puspa mendesak tak sabar. Iblis betina berpakaian serba putih bersenjata kebutan itukah? Akan tetapi, mengapa ia membakar rumahnya sendiri?

   "Nama lengkapnya Ni Dewi, kalau saya tidak salah adalah Maya, ....ya, Ni Maya Dewi begitulah, akan tetapi kami biasa menyebutnya Ni Dewi saja."

   Ni Dewi Melati Puspa mengangguk-ngguk dan tersenyum. Ah, kiranya Maya Dewi? Pantas disebut iblis betina! Tentu saja ia mengenal baik Ni Maya Dewi, bahkan dapat dibilang iblis betina itu adalah musuh besarnya dan sudah seringkali ia bentrok dan bertanding melawan Maya Dewi! Kalau sekarang ia bertemu dengan Maya Dewi, mereka berdua tentu akan bertanding mati-matian dan ia yakin kalau bertanding satu lawan satu, walaupun mereka memiliki ketangguhan seimbang, ia pasti akan dapat membunuhnya!

   Ni Maya Dewi, si iblis betina yang dulu menjadi antek Kumpeni Belanda! Akan tetapi, mengapa ia membakar rumahnya sendiri dan benarkah sekarang ia mempunyai sebuah senjata kebutan yang ampuh? Dan apakah ia kini suka berpakaian serba putih seperti setelah ia menjadi pemimpin perkumpulan Melati Puspa?

   "Paman, aku percaya omonganmu. Apakah Ni Maya Dewi itu suka berpakaian serba putih dan memiliki senjata ampuh berupa sebuah kebutan?"

   Laki-laki itu mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala kuat-kuat.

   "Tidak, masayu, sama sekali tidak! Memang, Ni Dewi adalah seorang wanita cantik jelita yang sakti mandraguna, semua penduduk di dusun sekitar bukit ini mengetahuinya baik-baik. Akan tetapi ia tak pernah mengenakan pakaian serba putih seperti... seperti yang anda pakai sekarang ini. Pakaiannya selalu indah dan berharga mahal, dan senjatanya juga bukan kebutan, melainkan sebuah sabuk yang amat indah, kalau tidak salah... ia pernah menyebutnya, sabuk itu dinamakan Sabuk Cinde Kencana."

   Jelas sudah, pikir Ni Dewi. Pemilik rumah itu jelas Ni Maya Dewi, akan tetapi siapa wanita cantik berpakaian putih bersenjata kebutan yang membakar rumah Maya Dewi lalu mengamuk dan marah-marah itu? Siapa wanita yang disebut iblis betina oleh Jayeng?

   "Paman, kenapa rumah milik Ni Maya Dewi itu dibakar? Siapa yang membakarnya?"

   "Itulah yang membuat kami berlima, para pembantu Ni Dewi, merasa penasaran sekali, masayu. Pagi itu, ketika kami mendaki puncak bukit ini untuk bekerja seperti biasa, setibanya di puncak kami melihat rumah yang indah itu telah habis terbakar, menjadi abu dan arang. Kami tidak melihat siapapun juga disana, bahkan kami tidak dapat menemukan Ni Dewi. Karena itu, kami juga tidak tahu siapa yang membakar rumah itu. Akan tetapi kami melihat banyak pohon tumbang dan batu besar pecah berantakan. Sungguh merupakan hal yang penuh rahasia dan sampai sekarang kami masih merasa penasaran sekali, masayu. Bahkan pagi inipun saya sengaja berjalan-jalan, dengan harapan dapat bertemu dengan Ni Dewi."

   "Kalau menurut pendapatmu, siapa kiranya yang membakar rumah itu, paman?"

   "Saya tidak tahu. Ni Maya Dewi mempunyai banyak musuh. Sudah banyak orang, laki-laki dari segala golongan, berdatangan untuk meminangnya. Akan tetapi mereka semua ditolak, bahkan yang menggunakan kekerasan dikalahkan dan dirobohkan oleh Ni Dewi. Mungkin ada yang membalas dendam, atau mungkin.... Ni Dewi sendiri yang membakar rumahnya! Ia memang seorang wanita yang cantik dan sakti mandraguna, akan tetapi wataknya aneh sekali, masayu. Ia banyak melamun dan banyak menangis."

   Ni Dewi Melati Puspa semakin penasaran. Penggambaran orang itu tentang diri Maya Dewi juga terasa aneh olehnya. Ni Maya Dewi menolak lamaran banyak pria, merobohkan mereka dan banyak melamun, bahkan banyak menangis, hidup menyepi disini? Sungguh berlawanan dengan sifat Ni Maya Dewi seperti yang ia kenal, ganas, binal, sesat dan kejam!

   "Sebuah pertanyaan lagi, paman. Apakah Ni Maya Dewi mempunyai kenalan, atau pernah dikunjungi, seorang wanita cantik berpakaian putih yang mempunyai senjata sebuah kebutan?"

   Laki-laki itu mengerutkan sepasang alisnya, berpikir-pikir, lalu menggeleng kepalanya.

   "Tidak, masayu, selama dua tahun kami bekerja pada Ni Maya Dewi, belum pernah saya melihat wanita berpakaian putih bersenjata kebutan."

   "O, jadi Ni Maya Dewi baru dua tahun tinggal di puncak Bukit Keluwung ini?"

   "Begitulah, masayu."

   "Terima kasih, paman. Nah, andika boleh pergi sekarang. Akan tetapi jangan ke puncak bukit ini. Aku yang akan melakukan penyelidikan kesana."

   "Baiklah, masayu."

   Laki-laki itu lalu melangkah pergi menuju dusun tempat tinggalnya.

   Dari sikap dan pembawaan Ni Dewi Melati Puspa, dia dapat menduga bahwa wanita itu adalah sebangsa majikannya, yaitu seorang yang memiliki kesaktian dan wataknya aneh.

   Ni Dewi lalu berkemas. Ia membersihkan diri di sebuah pancuran air, kemudian mulailah ia mendaki bukit itu. Hemm, pikirnya, jadi Maya Dewi baru sekitar dua tahun tinggal disini? Ini berarti bahwa iblis betina itu mengundurkan diri kesini sehabis perang di Batavia, seperti juga dirinya.

   Karena ingin sekali segera dapat tiba di puncak dengan harapan dapat bertemu dengan Maya Dewi yang mungkin masih bersembunyi disekitar puncak, Ni Dewi Melati Puspa lalu mengerahkan Aji Bayu Sakti, berlari mendaki Bukit Keluwung seperti terbang cepatnya sehingga tak lama kemudian ia sudah berdiri didepan bekas rumah yang telah menjadi abu dan arang itu.

   Di jalan tadi iapun melihat pohon-pohon yang tumbang dan batu-batu yang pecah berantakan. Sungguh mengerikan bekas amukan wanita baju putih yang memegang kebutan itu. Dari bekas amukannya saja Ni Dewi dapat menduga bahwa wanita itu tentu sakti mandraguna dan merupakan lawan yang amat tangguh dan berbahaya!

   Melihat suasana disitu sunyi, tiada seorang pun tampak, Ni Dewi lalu melewati bekas rumah, melihat-lihat taman bunga dan kebun yang indah dan agaknya terawat baik-baik. Ia berjalan terus menuju ke belakang kebun dan akhirnya ia berdiri di depan guha itu. Ia tertarik sekali. Siapa tahu Maya Dewi masih berada di sini, bersembunyi di dalam guha besar ini! Akan tetapi mengapa bersembunyi? Bisakah seorang seganas dan sekejam Maya Dewi ketakutan dan perlu bersembunyi? Akan tetapi, ia harus menyelidiki.

   Ni Dewi mencabut pedangnya. Di balik sarung pedang yang berukir bunga melati itu, keluarlah sebatang pedang yang menimbulkan sinar hijau berkilat dan pada tubuh pedang itu terukir bentuk seekor naga. Itulah pedang Naga Wilis yang ampuhnya menggiriskan!

   Dengan pedang di tangan kanan untuk bersiap siaga, Ni Dewi lalu memasuki guha. Ia melangkah perlahan-lahan, berhati-hati, apalagi ketika ternyata bahwa guha itu mempunyai terowongan. Dengan penuh kewaspadaan, seluruh syaraf dalam tubuhnya siap siaga menghadapi bahaya, ia melangkah maju terus, satu-satu, karena terowongan itu agak gelap.

   Akhirnya terowongan itu berakhir, buntu karena terhalang tumpukan batu-batu yang menyumbat terowongan. Mudah dilihat dalam keremangan bahwa terowongan itu agaknya tertutup batu-batu yang longsor dan runtuh dari atas.

   Ni Dewi bergidik. Tempat ini berbahaya sekali, pikirnya. Kalau ada keruntuhan batu-batu lagi sebelum ia keluar, ia bisa celaka. Tertimpa batu-batu atau terkurung dalam terowongan, tidak mampu keluar lagi. Teringat, akan kemungkinan longsornya batu-batu seperti yang ia lihat di depannya, ia lalu memutar tubuh dan cepat-cepat keluar dari terowongan itu.

   Ni Maya Dewi jelas tidak bersembunyi di situ.

   Setelah tiba diluar guha, ia menyarungkan pedangnya dan berdiri memandang guha itu. Kini setelah ia mengamati mulut guha dengan penuh perhatian, baru tampak olehnya tulisan yang terukir di atas batu besar yang terdapat di depan guha. Ia cepat menghampiri dan membaca tulisan itu..

   "KUBURAN MAYA DEWI DAN BAGUS SAJIWO"

   Membaca tulisan itu, Ni Dewi Melati Puspa menjadi bengong. Jantungnya berdebar tegang. Jadi Maya Dewi telah mati? Terkubur di dalam guha? Ah, tentu tertimpa dan teruruk timbunan batu longsor dalam terowongan itu. Dan Bagus Sajiwo? Siapa itu? Belum pernah dia mendengar nama itu. Akan

   (Lanjut ke Jilid 07)

   Bagus Sajiwo (Seri ke 04 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07

   tetapi.... nama itu seperti tidak asing bagi telinganya. Ia pernah mendengar tentang nama itu! Akan tetapi siapa? Dimana ia mendengarnya? Ni Dewi mencoba untuk mengingat-ingat, namun sia-sia. Ia tidak mampu mengingat kembali dimana ia pernah mendengar tentang nama Bagus Sajiwo itu.

   Sesungguhnya, memang pernah Ni Dewi Melati Puspa, ketika ia masih dikenal dengan nama Sulastri, mendengar nama Bagus Sajiwo ini. Ketika itu ia dan Jatmika bertemu dengan Sutejo atau Ki Tejomanik dan isterinya yang bernama Retno Susilo.

   Mula-mula terjadi bentrokan antara ia dan Retno Susilo karena ia memegang pedang Naga Wilis yang tadinya menjadi milik Retno Susilo. Setelah kedua pihak saling berkenalan dan tahu bahwa mereka adalah orang-orang segolongan, bukan musuh, Ki Tejomanik dan Retno Susilo menceritakan tentang anak mereka yang hilang, diculik orang, dan anak itu bernama Bagus Sajiwo.

   Retno Susilo lalu menolak ketika Sulastri hendak mengembalikan pedang Naga Wilis, bahkan dengan suka rela memberikan pedang itu kepada Sulastri. Nah, hanya sekali itulah Sulastri mendengar akan nama Bagus Sajiwo dan ketika itu dia malah berjanji hendak membantu mencari anak yang hilang itu. Akan tetapi sekarang ia sudah lupa sama sekali walau pun nama itu tidak asing terdengar oleh telinganya. Setelah merasa yakin bahwa disitu tidak ada apa-apa lagi untuk diselidiki, Ni Dewi lalu meninggalkan puncak Bukit Keluwung.

   Ia teringat akan cerita Jayeng bahwa iblis betina baju putih bersenjata kebutan itu melakukan pengejaran menuju kearah selatan. Maka iapun lalu menuju kearah selatan.

   Siapa tahu ia akan bertemu dengan iblis betina itu. Dan siapa tahu pula ia akan dapat menemukan Lindu Aji atau Jatmika. Ia memang hendak menyusul Lindu Aji di tempat asalnya, di rumah tempat tinggal ibu pemuda itu. Ia masih ingat. Lindu Aji pernah bercerita bahwa dia berasal dari dusun Gampingan, daerah Gunung Kidul, dekat pantai Laut Kidul. Ia akan menyusul kesana!

   Lebih dua tahun yang lalu, ketika pasukan Mataram yang mengepung Batavia gagal dalam perang melawan Kumpeni Belanda karena terutama sekali pasukan Mataram kalah lengkap dalam persenjataan, ditambah adanya wabah pes dan malaria, juga karena kekurangan ransum, para satria yang membantu pasukan Mataram juga berpencar meninggalkan Batavia, kembali ketempat tingal masing-masing.

   Seorang diantara mereka adalah Lindu Aji, seorang satria pendekar yang budiman dan sakti mandraguna. Dari Batavia Lindu Aji diajak oleh Sulastri mampir ke Dermayu bersama Jatmika, seorang satria lain yang masih terhitung saudara sealiran persilatan. Memang ada hubungan erat antara mereka bertiga, hubungan yang memberatkan hati Lindu Aji. Tak dapat dia sangkal lagi dalam hatinya bahwa dia saling jatuh cinta dengan Sulastri. Akan tetapi, ketika dia dan Sulastri bentrok dengan gerombolan penjahat, Sulastri tertimpa malapetaka, terjatuh ke dalam jurang. Dia sudah berusaha mencarinya, namun tidak dapat menemukan gadis yang dikasihinya itu.

   Sulastri lenyap begitu saja. Kalau mati tidak terdapat mayatnya di dasar jurang. Kalau hidup, entah kemana?

   Akhirnya dia bertemu juga dengan Sulastri, akan tetapi gadis itu kehilangan ingatannya masa lalu, bahkan lupa akan namanya sendiri sehingga memakai nama baru, yaitu Listyani dengan sebutan Eulis. Dan dia melihat betapa Jatmika amat mencintai Listyani dan agaknya Listyani atau Sulastri juga mencinta Jatmika.

   KARENA itu, ketika dia diminta menemani Sulastri yang telah pulih ingatannya itu ke Dermayu, dia sudah mengambil keputusan untuk mengalah. Dia harus mundur dan berkorban, demi cintanya yang tulus. Dia tidak boleh mengganggu kebahagiaan Sulastri dan Jatmika. Biarlah mereka berdua menjadi suami isteri.

   Dia melihat bahwa Jatmika adalah seorang satria yang hebat dan sudah pantas sekali menjadi suami Sulastri. Karena itu, di Dermayu dia membujuk Sulastri agar menikah dengan Jatmika. Dia terpaksa menolak pernyataan cinta kasih Neneng Salmah yang pernah ditolongnya dan kini gadis waranggana itu tinggal bersama Sulastri. Dia tahu betapa tulus dan mendalam perasaan cinta gadis Sunda itu kepadanya, akan tetapi karena cinta kasihnya hanya kepada Sulastri, maka dia hanya menerima Neneng Salmah sebagai adik angkatnya!

   Kemudian dia meninggalkan Dermayu, meninggalkan semua orang yang menimbulkan lika-liku cinta yang mendatangkan guratan-guratan pedih dan membingungkan.

   Setelah meninggalkan Dermayu dan berusaha sekuat tenaga untuk melupakan Sulastri, membayangkan bahwa Sulastri akan hidup berbahagia disamping Jatmika sehingga diapun ikut merasa senang melihat orang yang dikasihinya itu berbahagia, Lindu Aji langsung saja melakukan perjalanan pulang.

   Pulang! Kata ini mendatangkan kerinduan dalam hatinya. Dia sudah rindu sekali kepada kampung halamannya. Gampingan, itulah tanah tumpah darahnya, tanah dimana darah ibunya tertumpah ketika melahirkan dia. Disana ada ibunya tercinta, ibunya yang nama kecilnya Warsiyem dan kini menjadi Nyi Hatun satu-satunya orang yang amat dikaguminya, dipuja dan dikasihaninya.

   Ibunya, yang kini tentu sudah berusia hampir empat puluh tahun. Lalu ada pula Bibi Juminten, janda dengan dua orang anak yang ditampung, tinggal bersama ibunya, membantu ibunya berjualan warung makan.

   Pryadi berusia delapan tahun dan Wulandari berusia sekitar enam tahun, dua orang anak Bibi Juminten. Dan disana ada pula Pakde Parto, tetangga yang amat baik kepada orang tuanya itu. Dan para tetangga lain yang kehidupan mereka secara gotong royong membuat mereka menjadi bukan sekedar tetangga, melainkan seperti keluarga sendiri! Dan bukit-bukit batu gamping itu, pantai itu, lalu Segoro Kidul yang angker dengan gelombang dan ombaknya yang menggunung! Dengan batu-batu karangnya yang kokoh! Ah, betapa rindunya dia akan semua itu.

   Kedatangannya di Gampingan memang merupakan peristiwa yang menggembirakan, bukan hanya bagi ibunya yang menangis sambil merangkulnya, juga bagi Bibi Juminten, kedua orang anaknya, Pakde Parto, bahkan semua penduduk Gampingan ikut berbahagia. Namun, kesenangan itu lebih pendek usianya dari pada kesusahan. Kesenangan sebentar saja lewat dan berlalu tanpa meninggalkan bekas. Kesusahan juga akhirnya lewat dan berlalu walaupun lebih lambat dan terkadang meninggalkan bekas-bekas keharuan.

   Aji berziarah ke kuburan mendiang Harun Hambali, ayah kandungnya, kuburan mendiang Ujang Karim sahabat ayahnya, dan kuburan Ki Tejobudi, gurunya. Sampai lama dia tepekur di depan kuburan mendiang Ki Tejobudi dan terkenanglah dia akan segala kebaikan gurunya itu. Diapun menceritakan semua isi hatinya kepada ayah kandungnya, seolah melaporkan segala macam perasaannya.

   Setelah tinggal di dusun Gampingan selama beberapa bulan saja Lindu Aji sudah melampiaskan semua kerinduannya. Dia sudah pergi ke semua tempat dimana dahulu dia sering pergi, mengunjungi semua teman yang dikenalnya di daerah itu sehingga semua kerinduannya terobatilah sudah.

   Pada suatu senja, Nyi Warsiyem, ibu kandungnya, mengajaknya bercakap-cakap diruangan depan. Nyi-juminten yang tahu diri tidak mau mengganggu dan mengajak kedua orang anaknya untuk membantunya sibuk di dapur, mempersiapkan makan malam untuk keluarga itu.

   "Aji, engkau sudah cukup dewasa dan sudah banyak pula engkau merantau dan membantu Mataram seperti dikehendaki mendiang gurumu. Ayahmu pun tentu senang sekali melihat semua perjuanganmu. Sekarang, tinggal satu hal yang harus kau lakukan untuk menyenangkan hati mendiang ayahmu dan aku."

   "Hemm, apakah itu, ibu?"

   Tanya Lindu Aji walaupun dia sudah dapat menduga ke arah mana ucapan ibunya itu menuju.

   "Sudah sepatutnya engkau menikah, Aji. Aku ingin mempunyai mantu dan cucu untuk menemaniku dalam hidupku ini,"

   Lalu disambungnya cepat-cepat.

   "walaupun Juminten itu sudah seperti adikku sendiri dan kedua orang anaknya seperti anak-anakku sendiri. Akan tetapi, aku ingin mengemban cucuku sendiri. Nah, penuhilah permintaan ibumu ini, nak. Hanya satu kali ini aku mengajukan sebuah permintaan kepadamu, bukan?"

   Suara yang merayu namun mengandung tuntutan itu amat dikenalnya dan Lindu Aji merasa terharu.

   "Baiklah, ibu. Aku akan berusaha memenuhi kehendakmu. Akan tetapi, ibu tidak menghendaki aku menikah dengan sembarangan gadis, bukan? Tentu ibu menghendaki aku menikah dengan dasar sama-sama mencinta, bukan?"

   Nyi Warsiyem teringat akan pengalamannya sendiri di waktu muda. Ia pun tidak mau menikah dengan pria yang tidak dicintanya, dan ia menikah dengan mendiang suaminya, dengan Harun Hambali, juga atas dasar sama-sama suka atau saling mencinta. Ia mengangguk dan tersenyum menatap wajah puteranya.

   "Tentu saja, Aji. Apakah selama ini dalam perantauanmu engkau belum bertemu dengan seorang gadis yang menarik hatimu dan yang kau cinta?"

   Ditanya demikian, Lindu Aji menundukkan mukanya dan terbayanglah wajah beberapa orang wanita, berganti-ganti muncul dalam ingatannya. Ada beberapa orang wanita yang agaknya mencintanya, dan terutama sekali wajah dua orang wanita yang kini terbayang olehnya. Wajah Sulastri dan wajah Neneng Salmah.

   Akan tetapi dia sudah mengangkat Neneng Salmah sebagai adiknya sehingga yang tinggal dalam kenangannya hanya wajah Sulastri. Gadis inilah satu-satunya wanita yang telah mencuri hatinya, yang dicintanya dengan segenap hatinya. Akan tetapi dia telah merelakan Sulastri untuk menikah dengan orang lain. Mereka, Sulastri dan Jatmika, saling mencinta dan dia yakin bahwa mereka tentu hidup bahagia sebagai suami isteri.

   "Aji, mengapa engkau diam saja? Aku tidak percaya bahwa tidak ada gadis yang jatuh cinta padamu. Engkau muda, tampan, gagah perkasa dan aku yakin engkau berbudi luhur! Jawablah, Aji."

   "Terus terang, ibu. Memang ada beberapa orang wanita yang agaknya suka kepadaku, akan tetapi aku tidak dapat mencinta mereka karena sesungguhnya, aku telah mencinta seorang gadis...."

   "Nah, gadis itulah yang harus menjadi mantuku! Ia juga mencintamu, bukan?"

   "Semula memang begitu, ibu. Akan tetapi kemudian terjadi malapetaka kepada gadis itu sehingga ia kehilangan ingatan tentang masa lalunya. Ia lupa kepada orang tuanya sendiri, lupa akan namanya sendiri tentu saja juga lupa tentang diriku. Nah, dalam keadaan lupa ingatan itu, ia jatuh cinta kepada seorang pemuda lain yang juga mencintanya. Pemuda itu seorang satria yang budiman dan akupun rela mengalah, ibu. Aku relakan ia menikah dengan pemuda itu karena kalau ia berbahagia, akupun ikut berbahagia."

   Nyi Warsiyem mendengarkan dengan alis berkerut. Hatinya kecewa bukan main.

   "Engkau yakin bahwa gadis itu juga mencinta pemuda yang lain itu? Apakah ia mengaku terus terang padamu bahwa ia mencinta pemuda itu?"

   Lindu Aji menggeleng kepalanya.

   "Ia tidak pernah mengatakan itu, akan tetapi melihat adanya kemesraan dan ke-akraban diantara mereka, aku...."

   "Dan kini mereka berdua telah menikah?"

   "Entahlah, ibu. Akan tetapi ketika aku berpisah dari mereka, beberapa bulan yang lalu, mereka belum menikah."

   "Siapa nama gadis itu dan dimana ia tinggal?"

   "Namanya Sulastri, setelah kehilangan ingatan ia memakai nama Listyani, tinggal di Dermayu, dekat tempat asal mendiang ayah. Akan tetapi sekarang ia telah sembuh, ingatannya telah pulih kembali, ibu."

   
Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Anak bodoh! Cepat kau temui ia, katakan terus terang bahwa engkau mencintanya dan tanyakan apakah ia bersedia menjadi isterimu. Engkau harus yakin bahwa ia benar-benar mencinta pemuda lain, jangan main duga dan kira saja, Aji!"

   "Akan tetapi, ibu...."

   Lindu Aji merasa sungkan dan malu kalau harus menemui Sulastri dan bertanya tentang itu.

   "Tidak ada tapi! Besok pagi engkau harus berangkat mencari Sulastri dan minta kepastian darinya. Kalau hal ini belum kau lakukan tentu aku akan selalu gelisah."

   Terpaksa Aji tidak berani membantah kehendak ibunya. Sore hari itu dia duduk melamun di tepi laut. Dia pergi kesana mengajak Priyadi dan Wulandari. Kedua orang anak itu bermain-main di tepi, mencari kerang. Akhirnya mereka bosan dan berlari-lari menghampiri Lindu Aji yang duduk melamun menghadapi laut, memandang ka arah ombak yang tiada hentinya bermain dengan batu-batu karang.

   "Mas Aji, kenapa engkau termenung sejak tadi?"

   Tanya Priyadi sambil menjatuhkan diri duduk di atas pasir dekat Lindu Aji, sedangkan Wulandari mulai membuat pasir bukit dibelakang mereka.

   Lindu Aji menoleh, memandang Priyadi dan tersenyum.

   "Aku terkenang ketika dulu aku sering berlatih silat seorang diri di pantai ini, Priyadi."

   "Wah, ajari aku, mas! Aku juga ingin menjadi seorang pendekar sepertimu, seperti yang banyak diceritakan bude kepadaku."

   "Untuk apa belajar silat, Yadi?"

   Priyadi mengerutkan alisnya.

   "Agar aku dapat menjadi pahlawan, seperti cerita bude, menegakkan kebenaran dan keadilan, membela tanah air dan bangsa!"

   Lindu Aji tersenyum.

   "Semua orang dapat menjadi pahlawan, Yadi. Bukan hanya yang memiliki kesaktian. Bahkan orang yang sakti mandraguna banyak yang menjadi pengkhianat, menjadi penjahat. Ilmu silat hanya merupakan sebuah ilmu, tidak ada bedanya dengan ilmu-ilmu yang lain. Baik buruknya tergantung dari manusianya yang mempergunakan ilmu itu. Kalau dipergunakan untuk kejahatan, dia seorang penjahat, kalau dipergunakan untuk menegakkan kebenaran, untuk menolong orang lain, untuk membantu negara, maka dia seorang pahlawan."

   "Akan tetapi, kalau tidak pandai silat, tidak sakti, bagaimana bisa menjadi pahlawan? Apakah seorang petani bisa menjadi pahlawan?"

   "Kenapa harus yang pandai silat dan sakti? Seorang petani atau pekerja apa-pun juga tentu saja dapat menjadi pahlawan! Kalau petani itu menggarap tanah dengan tekun dan baiknya, mencegah kerusakan tanah karena banjir dan longsor, memelihara dan menjaga tanaman. sehingga subur dan hasilnya berlimpah, dia memberi contoh kepada petani lain dan menjadi tauladan, berarti sepak terjangnya itu amat bermanfaat bagi bangsa dan negara dan dia berhak mendapat julukan pahlawan! Banyak cara untuk menjadi pahlawan, Yadi, seperti juga banyak cara untuk menjadi pengkhianat dan penjahat! Orang dapat menjadi alat Gusti Allah atau alat Setan, tergantung kepada si orang itu sendiri yang bebas untuk menyerahkan diri kepada Gusti Allah atau kepada setan! Mengertikah engkau, Yadi?"

   Anak itu cuma mengangguk-angguk, setengah mengerti, setengah bingung. Akan tetapi dia mencatat dalam hati karena hal itu akan dia tanyakan kelak kepada budenya, yaitu Nyi Warsiyem, atau kepada ibunya sendiri.

   Pada keesokan harinya, berangkatlah Lindu Aji meninggalkan rumah, meninggalkan Gampingan, untuk memenuhi pesan ibunya. Ibunya memerintahkan agar dia mendapatkan kepastian dari Sulastri, atau dia harus mencari dan memilih seorang gadis untuk dijadikan isterinya. Kalau sudah dapat, nanti ibunya yang akan mengajukan lamaran.

   Selama dalam perjalanannya menuju Dermayu, Lindu Aji melewati banyak tempat yang dulu pernah dia lewati ketika mengadakan perjalanan bersama Sulastri. Dia melihat betapa setelah Mataram tidak lagi melakukan perang terbuka melawan Kumpeni Belanda, tampaknya Kumpeni juga menjaga agar tidak ada lagi permusuhan dari pihak para penguasa di Nusa Jawa terhadap mereka.

   Pihak Kumpeni mendekati para adipati, memberi hadiah secara royal, mengadakan perdagangan yang tampaknya menguntungkan kedua pihak. Padahal, dari hasil rempa-rempa yang mereka tarik dari penduduk, mereka jual diluar negeri dengan harga yang berlipat ganda lebih mahal sehingga mendatangkan keuntungan yang amat besar.

   Lindu Aji melihat betapa banyak adipati yang bersikap longgar dan dapat dibujuk Belanda sehingga terjalin persahabatan dengan Kumpeni.

   Perjalanan jauh itu dilakukan Lindu Aji tanpa banyak rintangan dalam perjalanan. Dia adalah seorang pendekar yang sakti mandraguna. Pernah diangkat sebagai seorang senopati muda yang melakukan tugas sebagai telik sandi Mataram ketika Mataram hendak menyerbu Batavia dan untuk itu dia menerima sebatang keris pusaka Kyai Nagawelang sebagai tanda bahwa dia adalah seorang yang dipercaya oleh Sultan Agung.

   Setelah perang selesai, karena dia tidak ingin terikat menjadi seorang senopati muda, Lindu Aji menghaturkan keris pusaka itu kembali kepada Sultan Agung, kemudian dia kembali ke Gampingan.

   Berbekal kesaktiannya, memiliki banyak ilmu kedigdayaan, diantaranya Tenaga Sakti Surya Candra (Matahari dan Bulan), Aji pukulan jarak jauh Guruh Bumi, ilmu silat Wanara Sakti (Kera Sakti), ilmu berlari cepat Bayu Sakti dan aji pamungkas yang' lembut namun amat ampuh yang disebut Aji Tirta Bantara (Air dan Tanah), maka dia tidak akan mudah diganggu penjahat. Apalagi dia berpenampilan sebagai seorang pemuda sederhana, jangkung tegap, berwajah tampan dan manis, rendah hati sehingga tidak ada sesuatu pada dirinya yang akan menarik perhatian para penjahat untuk mengganggunya. Apa yang akan dirampok dari seorang pemuda sederhana seperti itu?

   Beberapa bulan kemudian tibalah dia di Dermayu dan pagi hari itu langsung saja dia menuju ke rumah Ki Subali yang saterawan, seniman, bahkan dalang.

   Ki Subali yang berusia sekitar lima puluh dua tahun itu tinggal di Dermayu bersama isteri dan anak tunggalnya, yaitu Sulastri. Di rumahnya, tadinya tinggal pula Ki Salmun, seorang seniman gamelan dan duda, bersama anak tunggalnya, Neneng Salmah yang menjadi waranggana kondang.

   Neneng Salmah dan ayahnya terpaksa melarikan diri dari tempat tinggalnya di Sumedang karena hendak dipaksa menjadi isteri seorang pangeran dari Banten, yaitu Raden Jaka Bintara.

   Gadis dan ayahnya ini ditolong Lindu Aji dan ditipikan pada Ki Subali di Dermayu.

   Akan tetapi ketika Lindu Aji mengunjungi rumah itu, dia hanya disambut oleh Ki Subali dan isterinya!

   "Selamat datang, anak mas Lindu Aji! Mari, silakan masuk dan duduk. Kami merasa girang sekali mendapat kunjungan andika!"

   Kata Ki Subali dengan wajah girang dan Nyi Subali juga menyambut pemuda itu dengan senyum gembira.

   Setelah mereka duduk di ruangan depan, Lindu Aji merasakan kesunyian rumah itu. Tentu saja dia sungkan menanyakan Sulastri, maka dia berkata.

   "Bagaimana kabarnya, paman dan bibi berdua? Saya harap dalam keadaan baik-baik saja, demikian dengan keadaan ni-mas Sulastri, Paman Salmun dan Neneng Salmah."

   Nyi Subali berkata dengan suara sedih setelah mengeluh panjang.

   "O Allah, nak mas! Mereka semua telah pergi, disini hanya tinggal kami berdua yang kesepian."

   Ibu ini memang merasa terpukul sekali dengan keadaannya, ditinggal pergi orang-orang yang disayangnya.

   "Pergi? Mereka siapakah yang pergi, bibi?"

   "Begini, anak mas Lindu Aji. Setelah andika pergi dari sini dan anak mas Jatmika juga pergi, Sulastri tampak selalu berduka. Lebih lagi Neneng Salmah, gadis itu menjadi pucat dan kurus. Tadinya kami berdua sudah bertanya kepada mereka, akan tetapi mereka tidak mau bicara terus terang. Akan tetapi pada suatu malam, akhirnya bibimu ini dapat mengetahui sebab-sebabnya. Biarlah bibimu sendiri yang bercerita."

   Kata Ki Subali.

   Nyi Subali lalu bercerita. Sebulan setelah Lindu Aji dan Jatmika meninggalkan rumah keluarga Subali di Dermayu, pada suatu malam Nyi Subali menuju ke kamar Sulastri untuk membujuk lagi kepada anaknya agar mau menceritakan mengapa anaknya itu tampak lesu dan selalu termenung penuh duka. Akan tetapi ketika tiba di depan pintu, ia mendengar isak tangis Neneng Salmah dalam kamar Sulastri, Nyi Subali merasa heran lalu berhenti di luar pintu, mendengarkan. Terdengar suara Neneng Salmah diantara isak tangisnya.

   "Lastri... aduh, Lastri... kenapa engkau tidak pernah mengaku padaku bahwa... bahwa... engkau saling mencinta dengan kakang mas Lindu Aji...? Kenapa, Lastri...? Engkau malah mendorong dia dan aku untuk saling berjodoh...!"

   Sulastri menjawab dengan suara bernada menghibur.

   "Sudahlah, Neneng, jangan menangis. Aku melakukan itu karena aku tidak ingin menghalangi cintamu terhadap Kakang mas Lindu Aji. Tidak kusangka bahwa dia menolak dan meninggalkanmu."

   "Dan aku yang buta, Sulastri! Aku... aku mengira bahwa engkau mencinta Kakang mas Jatmika. Kalau aku tahu... ah, kalau aku tahu bahwa engkau dan kakang mas Lindu Aji saling mencinta, sampai matipun aku tidak akan berani menyatakan perasaanku kepadamu dan kepadanya."

   Kata Neneng Salmah sambil menahan tangisnya.

   "Sudahlah, anggap saja aku tidak berjodoh dengan mereka berdua."

   "Tidak, Sulastri! Tidak! Engkau tentu akan berjodoh dengan kakang mas Lindu Aji. Ketahuilah bahwa dia telah mengangkat aku menjadi adiknya. Dia sekarang adalah kakakku! Dan dia amat mencintamu, Lastri. Ah, aku telah berdosa, telah membikin putus pertalian kasih antara kalian berdua."

   "Bukan, bukan engkau, Neneng, melainkan nasib yang mengakibatkan semua masalah ini. Nasib yang menimpaku karena aku kehilangan ingatanku tentang masa lalu sehingga aku juga lupa sama sekali akan diri Kakang mas Lindu Aji. Aku bertemu Kakang mas Jatmika dan akrab dengan dia. Tentu Kakang mas Lindu Aji mengira bahwa aku mencinta Kakang mas Jatmika, seperti juga pengiraanmu. Seperti aku terhadapmu, dia pun mengalah terhadap Kakang mas Jatmika."

   "Ohhh, semua ini salahku... salahku...! Sulastri, sudikah engkau memberi maaf kepadaku...? Ampunkanlah aku, Lastri...!"

   "Neneng....!"

   Dan dua orang gadis itu pun saling berangkulan dan bertangisan.

   Nyi Subali menghentikan ceritanya tentang percakapan yang didengarnya dari luar kamar puterinya, percakapan antara Sulastri dan Neneng Salmah itu.

   Ki Subali berkata setelah menghela napas panjang.

   "Demikianlah, anak mas Lindu Aji. Beberapa hari kemudian, Sulastri berpamit kepada kami untuk pergi merantau. Kemauannya itu tak dapat kami cegah. Biarpun ibunya menangis dan menahannya, tetap saja ia pergi. Ia mengatakan bahwa hanya dengan merantau ia akan dapat menghibur hatinya. Maka terpaksa kami tak dapat menahannya lagi dan ia sudah pergi sebulan yang lalu."

   Mendengar penuturan Nyi Subali tadi, Lindu Aji merasa terharu sekali. Kiranya Sulastri tidak mau berjodoh dengan Jatmika karena gadis itu hanya mencintanya, seperti juga dia tidak mau berjodoh dengan Neneng Salmah karena dia pun hanya mencinta Sulastri seorang!

   Terdengar Nyi Subali menyambung keterangan suaminya.

   "Dan beberapa hari kemudian, setelah Sulastri pergi, Neneng Salmah juga mengajak ayahnya pergi, katanya hendak pulang ke Sumedang."

   Lindu Aji merasa terpukul sekali. Dia merasa menjadi penyebab kesedihan dua orang gadis itu, Sulastri dan Neneng Salmah! Dia yang telah menghancurkan hati mereka, melenyapkan harapan dan kebahagiaan mereka.

   Setelah bercakap-cakap sejenak, kesepian suami isteri itu menular kepada Lindu Aji. Dia merasa kesepian sekali di rumah yang telah ditinggalkan orang-orang yang dikasihinya itu. Rumah itu rasanya sepi sekali, hanya meninggalkan kenangan-kenangan pahit. Apalagi ketika dia mendengar dari Ki Subali bahwa Jatmika juga meninggalkan tempat itu tak lama setelah dia pergi, dan kepergian Jatmika lebih aneh lagi, tanpa pamit kepada semua orang.

   Lindu Aji menghela napas panjang. Dia mengerti sebabnya. Tentu Sulastri telah menolak pernyataan kasih sayang Jatmika sehingga pemuda itu menjadi patah hati dan pergi tanpa pamit, tentu saja dengan perasaan hati yang hancur. Rumah ini menjadi saksi kehancuran empat buah hati, akibat lika-liku cinta yang rumit!

   Lindu Aji lalu berpamit untuk pergi, tidak dapat ditahan oleh Ki Subali dan isterinya. Dia meninggalkan Dermayu dan kembali ke timur. Dia hanya tahu bahwa Neneng Salmah dan ayahnya telah kembali ke Sumedang, akan tetapi dia tidak ingin menyusul gadis yang sudah dia angkat sebagai adik itu. Kemunculannya hanya akan menoreh lagi luka yang sudah mulai sembuh dalam hati gadis itu.

   Dia akan mencari Sulastri, akan tetapi kemana? Kemudian dia teringat akan Ki Sumali yang tinggal di Loano, di tepi kali Bogawanta itu.

   Ki Sumali adalah kakak Ki Subali, paman tua Sulastri. Bukan tidak mungkin gadis itu mengunjungi paman tuanya yang merupakan satu-satunya keluarga ayahnya. Dengan dugaan ini, Lindu Aji lalu mengarahkan perjalanannya ke Loano.

   Di dusun Loano, yang letaknya di tepi kali Bogawanta, tinggal Ki Sumali berdua dengan isterinya yang bernama Winarsih. Mereka tinggal di ujung dusun, agak menyendiri dan jauh dari tetangga karena rumah mereka memiliki kebun yang luas.

   Ki Sumali adalah kakak dari Ki Subali yang tinggal di Dermayu. Dia seorang laki-laki yang gagah perkasa, berbeda sekali dari Ki Subali yang menjadi seorang sasterawan dan seniman. Ki Sumali ini sebaliknya menjadi seorang pendekar yang gagah perkasa, memiliki aji kanuragan dan namanya amat disegani di daerah Loano dan sekitarnya sebagai seorang yang digdaya. Juga dikenal sebagai seorang pendekar yang selalu menentang perbuatan jahat, selalu melindungi mereka yang tertindas.

   Laki-laki gagah ini berusia kurang lebih lima puluh lima tahun, tubuhnya sedang namun kokoh. Wajahnya tampan dengan kumis tipis. Dia mempelajari banyak macam ilmu silat dari berbagai aliran, akan tetapi yang terakhir dia pernah berguru kepada Aki Somad yang kini telah meninggal dunia.

   Mendiang Aki Somad adalah seorang datuk terkenal yang tinggal di Nusa-kambangan dan dari datuk ini Ki Sumali menerima beberapa aji pukulan yang ampuh.

   Isterinya, yang bernama Winarsih, adalah seorang wanita yang masih muda, jauh lebih muda dari pada usia Ki Sumali yang sudah lima puluh tahun, karena Winarsih baru berusia dua puluh dua tahun!

   Ia menjadi isteri Ki Sumali ketika berusia sembilan belas tahun. Wajahnya ayu manis merak hati, terutama matanya yang lebar dan bening dan bibirnya yang selalu mengembangkan senyum manis sekali. jauh dari dugaan kebanyakan orang, Winarsih yang sepantasnya menjadi anak Ki Sumali itu, amat mencintai suaminya! Cinta yang tulus, cinta murni bukan sekedar tertarik oleh rupa, harta atau nama tenar, melainkan karena ada hubungan jiwa yang erat diantara mereka, cinta yang membuat mereka rela berkorban apa saja demi kebahagiaan orang yang dicintanya!

   Tentu saja sudah terlalu sering Winarsih digoda pria-pria muda, dan godaan ini pasti terjadi secara diam-diam diluar pengetahuan Ki Sumali, karena siapa yang berani mati menggoda Winarsih di depan pendekar sakti itu? Namun, semua rayuan dan godaan itu disambut Winarsih dengan tenang. Ia selalu menasihatkan kepada si penggoda bahwa ia adalah isteri orang dan tidak sepantasnya kalau mereka menggoda dan merayunya karena itu berarti mereka hendak merusak pagar ayu dan rayuan itu kalau dilayani, akan menyeret mereka berdua ke dalam perjinaan yang merupakan dosa besar! Akhirnya, setelah semua pria muda yakin bahwa Winarsih adalah seorang isteri yang amat setia dan akan sia-sia saja dirayu, bahkan amat berbahaya bagi perayunya kalau ketahuan Ki Sumali, akhirnya tidak ada lagi laki-laki yang berani menggoda wanita yang ayu manis merak hati itu.

   Ki Sumali bukanlah orang yang bodoh. Tentu saja dia tahu bahwa banyak pria muda yang tertarik, bahkan tergila-gila kepada isterinya dan banyak yang mencoba untuk merayunya. Akan tetapi dia percaya dengan penuh keyakinan akan kesetiaan isterinya, akan cinta kasih isterinya terhadap dirinya. Maka diapun pura-pura tidak tahu saja agar jangan menimbulkan keributan yang hanya akan membuat isterinya menjadi malu.

   Biarpun Ki Sumali tidak ikut berjuang membantu pasukan Mataram ketika bala-tentara Mataram menyerang Batavia karena dia tidak tega meninggalkan isterinya, namun Ki Sumali setia kepada Mataram sehingga dahulu dia pernah dimusuhi gurunya sendiri, mendiang Aki Somad yang terbujuk Kumpeni Belanda dan menjadi antek Belanda. Akhirnya Aki Somad tewas dalam pertempuran antara pasukan Mataram melawan Kumpeni Belanda dimana dia berpihak kepada Belanda.

   Namun, walaupun dia tidak aktip membantu Mataram berperang, tidaklah sia-sia dan menjadi seorang pendekar karena dimana terjadi kerusuhan yang dilakukan penjahat-penjahat mengacau kehidupan rakyat, Ki Sumali pasti tidak tinggal diam dan diberantasnya semua kejahatan itu. Perbuatan ini tentu saja merupakan bantuan besar kepada negara dan bangsa.

   Biarpun telah dua kali Sultan Agung gagal menyerang Batavia, yaitu pada tahun 1628 dan 1629, namun kegagalannya itu di lain pihak membuat Kumpeni Belanda terkejut karena mereka juga kehilangan banyak serdadu.

   Mereka maklum bahwa kalau saja semua penguasa daerah benar-benar bersatu dan setia kepada Mataram, maka persatuan itu akan merupakan kekuatan besar sekali yang mengancam kedudukan Kumpeni. Maka, beberapa kali Kumpeni Belanda mengutus para pejabat penting untuk menghubungi Sultan Agung dan menawarkan perdamaian dengan janji hadiah-hadiah besar kepada Sultan Agung.

   Namun, Sultan Agung mengajukan syarat, yaitu Mataram bersedia berdamai dengan Kumpeni Belanda kalau Belanda mau mengakui Sultan Agung sebagai penguasa di seluruh Nusa Jawa termasuk Batavia.

   Syarat ini ditolak Belanda sehingga kedua pihak tetap saja berada dalam keadaan "perang dingin". Dimana-mana terjadi pergolakan kecil-kecilan dan semua langkah Kumpeni Belanda pasti menemui rintangan-rintangan.

   Semacam perang gerilya dilakukan rakyat yang setia kepada Mataram dan hal ini amat menyusahkan Belanda. Kembali mereka mencoba untuk membujuk rayu para penguasa dengan membagi-bagi hadiah, juga mereka menyebar para telik sandi yang memiliki dua buah tugas. Pertama, mengadu domba antara para penguasa daerah dan Mataram sehingga para penguasa daerah mau memusuhi Mataram, dan menarik penguasa itu menjadi sekutu Kumpeni.

   Ki Sumali mengetahui akan keadaan itu. Diapun siap siaga dan melakukan pengamatan kalau-kalau di daerahnya kemasukan telik sandi (mata-mata) Kumpeni yang hendak melakukan pengacauan. Dia harus selalu siap menghadapi para telik sandi Belanda dan membasmi mereka karena orang-orang yang menjadi pengkhianat penjual tanah air dan bangsa itu tindak tanduknya hanya mendatangkan kekacauan dan kerusuhan belaka. Mereka tidak segan-segan melakukan apa saja demi pengabdian mereka kepada Kumpeni Belanda, atau lebih tepatnya, tidak segan-segan melakukan apa saja demi uang karena mereka menjadi mata-mata Kumpeni Belanda itupun pada dasarnya karena tertarik hadiah-hadiah uang yang banyak dari Belanda.

   Sejak jaman dahulu, manusia selalu dikuasai dan dipermainkan oleh harta benda yang dianggap merupakan sumber dari segala bentuk kesenangan yang dapat diperoleh dan dinikmati selagi hidup di dunia! Manusia berlomba mengejar harta, kalau perlu dengan saling berkelahi, bahkan meluas menjadi bangsa yang saling berperang, saling membunuh.

   Tuhan Yang Maha Kuasa dilupakan, segala firman dan laranganNya diabaikan karena manusia sudah tergila-gila oleh harta benda, memujanya, mengejarnya, sehingga untuk mendapatkannya, menghalalkan segala cara. Apakah yang mendorong bangsa Belanda ingin menguasai Nusa Jawa? Bukan lain karena harta benda! Melihat Nusa Jawa yang loh jinawi (subur makmur), menghasilkan rempa-rempa yang amat berharga, menjanjikan keuntungan yang dapat membuat mereka kaya raya, bangsa Belanda mengilar dan melakukan segala daya upaya, bahkan yang berlawanan dengan tata susila dan pelajaran agama mereka, untuk menguasai Nusa Jawa.

   Manusia dapat menikmati hidupnya di dunia, tak dapat dibantah lagi, sebagian karena adanya harta atau uang. Sukar membayangkan dapat hidup pantas sebagai manusia tanpa uang sama sekali!

   Akan tetapi, harta atau uang memang dapat menenteramkan dan menyejahterakan hidup selama MANUSIA MENGUASAINYA, sehingga harta itu tetap menjadi abdinya, dan manusia dengan kemanusiaannya yang beriman kepada Gusti Allah dapat memanfaatkan harta atau uangnya itu demi kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya. Kalau sebaliknya terjadi HARTA YANG MENGUASAI MANUSIA, maka malapetakalah akibatnya. Manusia menjadi tamak, lupa diri, lupa Tuhan, hanya uang yang dipujanya, menjadi angkara murka, adigang-adigung-adi-guna, sapa sira sapa ingsun. Merasa berkuasa karena punya harta! Berbuat sesuka hatinya, mengejar kesenangan diri pribadi dan akibatnya timbul konflik-konflik yang dapat menjalar menjadi perang antar golongan, antar bangsa dan antar negara! Kalau ditelusuri secara jujur, hampir semua pertikaian atau peperangan itu sudah pasti berdasar kepada memperebutkan harta!

   

Sejengkal Tanah Percik Darah Karya Kho Ping Hoo Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini