Ceritasilat Novel Online

Bagus Sajiwo 1


Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Bagian 1




   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 01

   PAGI hari itu di puncak sebelah utara pegunungan Ijen. Matahari telah naik agak tinggi. Sinarnya yang sejak fajar menyingsing tadi kemerahan dan lembut, kini mulai mendatangkan kehangatan, mengusir sisa-sisa halimun yang bermalas-malasan meninggalkan bumi yang subur, yang didekapnya sepanjang malam.

   Embun-embun mulai gemerlapan menerima cahaya matahari, bergantungan di ujung daun-daun bagaikan mutiara. Tamasya alam di pegunungan itu mulai tampak. Indah mempesona, keindahan yang sukar diuraikan dengan kata-kata maupun dengan lukisan. Betapapun pandainya seorang sasterawan menceritakan, atau betapapun pandainya seorang seniman melukiskan, yang dapat mereka tangkap hanya sebagian kecil saja dari segala keindahan yang maha besar itu.

   Keindahan yang wajar, tertib, tepat dan setiap perubahan yang diadakan manusia hanya akan mengganggu keindahan itu. Keindahan yang diciptakan oleh Sastrawan Agung, oleh seniman Agung, yaitu Gusti Allah yang Maha Pencipta, Maha Agung dan Maha Kuasa.

   Bahkan awan-awan yang berarak di langit biru, membuat bentuk-bentuk yang demikian mempesona, selalu mengadakan perubahan bentuk yang tak dapat diikuti dengan jelas. Ujung-ujung pohon bergerak tertiup angin, melambai-lambai dengan lemah gemulai, burung-burung dan kupu-kupu beterbangan, binatang-binatang ke-cil berlarian di antara semak-semak. Semua bergerak, hidup adalah gerak, dan semua gerakan itu merupakan perpaduan yang amat mengagumkan, gerakan yang wajar dan indah, seolah merupakan tarian, tarian alam. Suara-suara yang terdengar demikian wajar pula, keindahan kewajaran yang hanya dapat dirasakan ha-ti yang hening. Tarian dan nyanyian alam itu seolah merupakan puja puji bagi kebesaran Gusti Allah yang Maha Mulia! Sinar matahari pagi mulai menyentuh tanah, menerobos di antara celah-celah daun pohon.

   Mulai semerbak bau yang muncul dari permukaan bumi, membubung ke angkasa. Bau kembang-kembang, daun-daun rumput dan bau tanah dengan segala daun-daun kering membusuk yang menutupinya. Akan tetapi tidak ada bau busuk, segala macam ganda yang semerbak itu, kalau tercium tanpa penilaian, terasa' segar dan menyenangkan, bahkan menenangkan hati. Bebauan itu menjadi bagian dari keindahan bumi dan segala yang berada di atasnya.

   Bagus dan jelek muncul dari penilaian. Penilaian mendatangkan perbandingan, memisah-misahkan sehingga terdapatlah apa yang bagus dan apa yang jelek' menurut selera si penilai. Akan tetapi keindahan berada di atas bagus atau jelek. Keindahan bukan bagus bukan pula jelek. Seperti juga kebahagiaan, demikian pula keindahan tidak dapat dinilai dan dibandingkan. Kebahagiaan bukan kesenangan, bukan pula kesusahan. Kebahagian, seperti juga keindahan, tidak dapat dinilai. Berbeda dengan kesenangan, kalau tidak senang, ya susah dan demikian sebaliknya. Juga keindahan, bukan kebagusan, karena kebagusan hanya penilaian, kalau tidak bagus ya jelek.

   Penilaian mendatangkan pertentangan dan perpecahan. Menerima apa adanya sebagai apa adanya menghilangkan penilaian. Manusia hidup wajib berikhtiar, berusaha sekuat tenaga untuk kesejahteraan hidupnya, akan tetapi di atas semua itu, terdapat Kekuasaan yang menentukan dan yang menciptakan apa adanya. Manusia, betapapun pandainya, betapapun kuatnya, tak dapat melawan atau menghindar dari ketentuan Kekuasaan ini, Kekuasaan Gusti Allah yang memberi keputusan terakhir atas segala perkara yang ada di dunia ini!

   "Terpujilah keagungan Gusti Allah yang Maha Pengasih!"

   Terdengar suara orang memuji dengan suara perlahan.

   Dia seorang manusia laki-laki yang sudah tua sekali. Usianya tentu lebih dari delapan puluh tahun walaupun wajahnya masih tampak segar kemerahan dan matanya yang bersinar lembut itu masih dapat melihat segala sesuatu dengan jelas, telinganya yang lebar masih dapat mendengar suara yang lembut dan hidungnya yang mancung masih dapat mencium bebauan yang lemah sekalipun.

   Kakek tua renta ini sejak pagi sebelumnya matahari terbit tadi telah duduk bersila di atas sebuah batu sebesar gajah yang berada di puncak itu, menghadap ke timur sehingga dia dapat melihat dan mengikuti terbitnya matahari di ufuk timur. Segala keindahan yang terbentang di atas langit sampai di bawah gunung di depannya membuat dia merasa bahwa dia sudah tidak ada lagi, melainkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari semua keindahan itu. Dia memuji ke-agungan Tuhan dengan sendirinya, terbawa oleh segala puji yang dia rasakan sedang diserukan oleh setiap benda dan mahluk melalui gerak dan suara mereka.

   Tak lama kemudian dia sadar akan dirinya kembali. Sadar bahwa dia adalah seorang manusia, yang seperti para mahluk lainnya di dunia ini, membawa tugas dalam hidupnya. Manusia adalah mahluk utama di dunia ini yang bertugas membantu pekerjaan Gusti Allah yang telah mencipta segala sesuatu yang tampak maupun yang tidak tampak. Manusia dilahirkan di dunia, bertugas menjaga, mengatur agar dunia ini menjadi tempat yang indah membahagiakan, mengusahakan agar semua manusia dapat hidup sejahtera dan bersama-sama membagi kenikmatan hidup ini, sesuai dengan berkah berlimpahan yang diberikan Gusti Allah mejadi segala yang ada di permukaan bumi ini. Matahari, hawa udara, air, tanah, tumbuh-tumbuhan, semua itu berada di dunia untuk keperluan manusia. Tidak ada satu saja di antara mereka, manusia tidak akan dapat hidup.

   Akan tetapi apakah yang dialaminya, dilihatnya selama dia hidup di dunia selama hampir satu abad ini? Bahkan jauh sebelum dia lahir, menurut dongeng dan cerita yang dia dengar dari para nenek moyangnya, manusia di Nusa Jawa ini selalu saling bermusuhan, saling serang, saling benci dan saling bunuh! Perang terjadi dimana-mana. Dengan alasan bermacam-macam. Saling memperebutkan kebenaran, tanpa menyadari bahwa kebenaran yang diperebutkan itu bukan kebenaran lagi namanya. Pada hakekatnya yang diperebutkan adalah kedudukan, harta dan semua itu berarti hanya untuk memenuhi dorongan nafsu daya rendah, nafsu yang mengaku-aku, menjadi aku yang harus paling berkuasa dan senang. Kedudukan diperebutkan karena kedudukan menghasilkan kekuasaan, dan harta menghasilkan kesenangan, semua untuk si-aku yang berkembang menjadi keluargaku, golonganKu, agama-Ku, bangsa-Ku dan selanjutnya, yang bersumber kepada si-aku.

   Kakek itu memejamkan kedua matanya. Dia melihat dalam benaknya semua peristiwa yang terjadi di Mataram. Perang melawan daerah-daerah, antar saudara sendiri kemudian perang melawan bangsa Belanda yang hendak menjajah tanah air. Perang, perang dan perang, menewaskan puluhan, ratusan ribu manusia.

   Darah manusia membanjir, mayat ber-tumpukan, dan semua itu diterima oleh bumi yang membisu. Tiba-tiba kakek itu gemetar, dia merasa datangnya sesuatu yang akan memaksanya kembali ke alam asalnya. Dia membuka mata kembali, ter-senyum memandang matahari pagi, lalu berkata lirih.

   "Gusti, segala kehendak paduka terjadilah! Hamba akan seperti matahari, tenggelam atau timbul dengan rela dan pasrah, sesuai dengan kehendak Paduka."

   Kakek itu dikenal orang sebagai Ki Ageng Mahendra yang sudah puluhan tahun bertapa di pegunungan Ijen karena sedih melihat perang yang terjadi di daerah Jawa Timur, antara para kadipaten melawan Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung.

   Ki Ageng Mahendra adalah seorang sasterawan, akan tetapi juga seorang yang memiliki banyak ilmu kanuragan, sakti mandraguna, bahkan pernah berguru kepada Sunan Gunung Jati atau Fatahillah. Tadinya dia juga hidup sebagai seorang ksatria yang selalu membela dan menegakkan keadilan. Akan tetapi setelah melihat betapa yang dibela dan dimusuhi itu adalah bangsanya sendiri pula, bahkan sering berhadapan dengan saudara-saudara atau sahabat-sahabat sendiri yang berbeda faham, dia merasa sedih dan trenyuh seperti yang dialami Sang Arjuna dalam perang Bharatayuda. Maka dia lalu mengundurkan dan mengasingkan diri di pegunungan Ijen, muak melihat kekejaman manusia membunuhi bangsa sendiri.

   Pada saat itu, Ki Ageng Mahendra yang penglihatannya masih tajam itu menangkap bayangan orang mendaki lereng menuju puncak dan dia tersenyum.

   Bayangan itu adalah seorang pemuda rema-ja berusia sekitar tujuh belas tahun yang memanggul seekor kijang dan berlari naik dengan cepat sekali. Jalan pendakian itu sebetulnya amat sukar, terhadang jurang-jurang yang curam dan batu-batu yang licin. Namun pemuda itu, dengan trengginas dan trampil seperti seekor kera, melompati jurang dan batu-batu itu dengan amat mudahnya bagaikan lari di atas jalan yang rata saja.

   Ki Ageng Mahendra memandang dengan senyum, sinar matanya berseri dan dia mengelus jenggotnya yang putih panjang sambil mengangguk-angguk. Melihat pemuda itu memanggul tubuh seekor kijang dan berlari mendaki puncak dengan tangkasnya, Ki Ageng Mahendra melamun dan terbayanglah peristiwa kurang lebih sepuluh tahun yang lalu.'

   Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu dia sudah bertapa di puncak pegunungan Ijen itu. Pada suatu pagi dia berjalan-jalan menuruni puncak-puncak, pergi ke sebuah hutan di lereng bawah untuk mencari daun-daun obat.

   Ki Ageng Mahendra selain memberi wejangan kepada para penduduk dusun sekitar pegunungan Ijen, juga suka menolong orang-orang sakit dengan memberi jamu yang terdiri dari daun-daun, bunga, buah atau akar. Rempa-rempa ini dijemur sampai kering dan dibagi-bagikan kepada mereka yang sedang menderita sakit.

   Ketika dia sedang berjalan mencari rempa-rempa bahan obat, tiba-tiba dia melihat seorang laki-laki memanggul tubuh seorang anak Jaki-laki berlari dari depan, persis seperti pemuda remaja yang memanggul tubuh kijang dan berlari mendaki puncak saat dia melamun.

   Melihat keadaan yang tidak wajar itu, Ki Ageng Mahendra cepat menghadang orang itu. Orang yang memanggul tubuh bocah laki-laki itu berusia sekitar enam puluh tahun. Kulitnya hitam tubuhnya sedang dan pakaiannya mewah. Matanya sipit seperti terpejam, hidungnya pesek dan bibirnya tebal. Melihat orang ini, Ki Ageng Mahendra segera mengenalnya dan alisnya berkerut.

   Orang itu adalah Wiku Menak Koncar, seorang datuk Blambangan yang terkenal sakti mandraguna dan menjadi penasihat Kadipaten Blambangan. Melihat cara datuk itu memondong anak laki-laki berusia enam tahun itu, Ki Ageng Mahendra merasa curiga bahwa agaknya datuk itu sedang melakukan hal yang tidak baik dan anak itu menjadi korban, semacam tawanan.

   "Berhenti dulu, ki sanak!"

   Kata Ki Ageng Mahendra.

   Wiku Menak Koncar adalah seorang datuk yang tinggi hati. Karena dia merasa bahwa kepandaiannya paling tinggi, maka dia memandang rendah orang tua berpakaian putih sederhana yang membawa sebuah keranjang terisi rempa-rempa itu. Dia memamerkan kepandaiannya, melompat seperti terbang lewat di atas kepala Ki Ageng Mahendra, seolah tidak memperdulikan kakek tua renta itu.

   Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia sedang melayang itu dia merasa lengannya yang memondong anak laki-Iaki itu tiba-tiba seperti lumpuh dan tahu-tahu bocah itu sudah terenggut lepas dari pondongannya!

   Cepat dia turun ke atas tanah lalu membalik. Dia melihat anak laki-laki itu telah berada di atas tanah, telentang dan kakek tua renta itu memijat tengkuknya dan anak itu seketika siuman dari pingsannya. Setelah memandang dengan teliti, Wiku Menak Koncar mulai mengingat-ingat dan dia segera berkata dengan suaranya yang tinggi seperti suara perempuan.

   "Babo-babo, keparat. Berani benar engkau mengganggu aku! Bukankah engkau yang bernama Ki Ageng Mahendra? Diantara kita tidak pernah ada permusuhan, kenapa engkau menggangguku? Cepat kembalikan anak itu kepadaku!"

   Ki Ageng Mahendra menarik anak itu bangkit duduk, dan dia memandang kepada Wiku Menak Koncar.

   "Hemm, ternyata engkau masih mengenal orang, Wiku Menak Koncar. Memang diantara kita tidak ada permusuhan. Aku tidak mengganggumu, melainkan hanya ingin tahu mengapa anak ini berada denganmu. Kukembalikan atau tidak anak ini kepadamu tergantung dari keterangan yang kudapatkan darinya. He, anak yang baik, siapa namamu?"

   Tanya Ki Ageng Mahendra kepada anak itu.

   Anak berusia kurang lebih enam tahun yang berwajah tampan dan bertubuh sehat itu menjawab berani.

   "Namaku Bagus Sajiwo, eyang (kakek)."

   "Bagus Sajiwo, sekarang jawab terus terang, apakah engkau ingin ikut dengan Wiku Menak Koncar itu?"

   Ki Ageng Mahendra menudingkan telunjuknya ke arah sang wiku yang masih berdiri dengan sikap penasaran dan marah.

   "Ah, tidak! Tidak! Aku tidak sudi ikut dengan dia! Dia jahat sekali, dia menculikku dari rumah orang tuaku. Dia tentu akan mencelakakan aku, membunuhku!"

   Jawab anak kecil itu dan dia kelihatan marah sekali, bangkit berdiri dan menuding-nuding kepada Wiku Menak Koncar.

   "Bocah tolol!"

   Wiku Menak Koncar menjerit dengan suaranya yang meninggi.

   "Kalau aku mau membunuhmu, tentu sudah lama kulakukan. Untuk apa aku bersusah payah membawa engkau sampai kesini?"

   "Wiku Menak Koncar, engkau memang belum membunuhnya sampai saat ini. Akan tetapi kenapa engkau menculik dan melarikannya?"

   "Bukan urusanmu, Ki Ageng Mahendra! Engkau tidak perlu mencampuri urusan orang lain!"

   Wiku Menak Koncar berseru marah.

   "Memang tadinya bukan urusanku, akan tetapi setelah melihat anak ini membutuhkan pertolongan dan melihat engkau hendak memperkosa kebebasannya, menjadi urusanku karena aku harus menolongnya dan harus mencegah engkau bertindak jahat."

   "Ki Ageng Mahendra! Dia ini adalah anak suami isteri yang menjadi musuh bebuyutanku karena mereka telah membunuh saudara-saudara seperguruanku! Untuk membalas dendam itu aku menculik anak mereka untuk kugembleng dengan aji-aji kesaktian agar kelak anak ini mewakili aku membalas dendam dan membunuh orang tuanya sendiri!"

   "Duh Gusti, semoga diampuni kesesatan Wiku ini!"

   Ki Ageng Mahendra berseru.

   "Wiku Menak Koncar, engkau berurusan dengan orang tuanya, mengapa mengganggu anaknya? Bereskan saja urusanmu dengan orang tuanya, dan jangan ganggu anak yang tidak tahu apa-apa ini."

   "Eyang!"

   Teriak anak yang bernama. Bagus Sajiwo itu.

   "Mana berani dia melawan ayah ibuku? Kalau dia berani, tentu dia sudah mati, tidak kuat menandingi ayah ibuku yang sakti mandraguna."

   "Ki Ageng Mahendra, tidak perlu engkau mencampuri urusan pribadiku. Serahkan anak itu atau terpaksa aku tidak menghormati orang tua dan akan menggunakan kekerasan!"

   Ki Ageng Mahendra memandang dan tersenyum.

   "Aku tidak akan menghalangi anak ini kalau dengan suka rela mau ikut denganmu. Akan tetapi kalau dia tidak mau dan engkau hendak memaksanya, terpaksa aku akan melindunginya dan menghalangimu melakukan kejahatan."

   "Keparat tua bangka bosan hidup!"

   Bentak Wiku Menak Koncar.

   Dia sudah mengembangkan kedua tangan ke kanan kiri, jari-jarinya tergetar sehingga buku-buku jarinya mengeluarkan suara berkerotokan. Kemudian dia membawa kedua tangan ke depan dada lalu mendorong ke depan. Angin yang kuat menyambar dahsyat ke arah kakek tua renta itu.

   "Aji Bayu Bajra....!"

   Berbareng dengan bentakan itu, angin menyambar hebat, membawa hawa panas sekali ke arah tubuh Ki Ageng Mahendra.

   Akan tetapi apa yang terjadi? Kakek tua renta itu hanya berdiri tegak kedua tangan bersilang depan dada dan ketika angin menyambar, hanya pakaian dan rambut serta jenggotnya yang putih semua yang berkibar terbawa angin. Tubuhnya sama sekali tidak bergeming, seolah sebuah batu karang tertiup angin.

   Sampai tiga kali Wiku Menak Koncar menyerang dengan Aji Bayu Bajra, namun tanpa hasil sama sekali. Pada hal biasanya, biar ada sepuluh orang di depannya, kalau dia menyerang dengan aji itu, sepuluh orang itu akan berpelantingan, tidak kuat menahan sapuan angin yang dahsyat itu, bahkan terluka di sebelah dalam tubuh mereka oleh daya pukulannya. Akan tetapi, kakek tua renta ini, yang tampaknya tidak melawan sama sekali, sedikitpun tidak terpengaruh oleh aji pukulannya yang dahsyat.

   Kalau saja Wiku Menak Koncar bukan seorang yang tinggi hati dan suka mengagulkan kepandaiannya sendiri, serangan pertama bertubi-tubi yang sama sekali tidak membawa hasil itu tentu telah cukup membuka matanya bahwa dia berhadapan dengan lawan yang jauh lebih tinggi ilmu kepandaiannya. Akan tetapi, dia seorang yang biasa memandang rendah orang lain, maka kegagalannya itu tidak membuat dia jera, melainkan membuat dia merasa penasaran dan menjadi semakin marah dan nekat.

   "Tua bangka keparat, sambutlah seranganku ini. Aji Nandaka Kroda (Banteng Mengamuk).... hyaaaattt....!"

   Kedua tangannya kini meluncur seperti sepasang tanduk, menghantam ke arah dada kakek tua renta yang kurus itu.

   Akan tetapi kakek kurus itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak, dan pukulan kedua tangan itu tepat sekali mengenai dadanya.

   "Wuuttt.... desss....!!"

   Sungguh aneh sekali.

   Yang dipukul sama sekali tidak roboh, bahkan tubuh tinggi kurus itu hanya bergoyang-goyang seperti batang pohon tertiup angin, akan tetapi Wiku Menak Koncar sendiri lalu terpelanting kebelakang, seperti terdorong oleh kekuatan yang tidak tampak dan dia terjengkang lalu terbanting ke atas tanah.

   Dasar orang yang tak tahu diri. Peristiwa inipun masih belum membuat dia merasa jera. Kini dia melompat bangun kembali dan sudah mencabut senjata ruyung yang tadinya tergantung di pinggangnya.

   Senjata itu tampak menyeramkan sekali, mengkilap hitam saking kerasnya. Dengan senjata ini di tangan kanan, Wiku Menak Koncar lalu menerjang maju dan menghantamkan senjata ruyungnya ke arah kepala Ki Ageng Mahendra. Melihat kenekatan ini, tahulah Ki Ageng Mahendra bahwa Wiku Menak Koncar adalah seorang yang nekat dan selain mengagungkan kekuatan sendiri. Orang seperti ini kalau tidak diberi hajaran keras tidak akan mau menyadari bahwa di dunia ini tidak ada yang tak tertandingi. Yang paling kuat, paling tinggi, paling berkuasa, paling hebat dan tak dapat dibandingkan dengan apapun juga hanyalah Gusti Allah.

   Biarlah Wiku ini menyadari bahwa kalau ada yang tinggi, tentu ada yang lebih tinggi. Kalau ada yang pandai, tentu ada yang lebih pandai. Kesadaran ini akan dapat menghapus kesombongan yang kosong.

   Ketika ruyung itu menyambar dengan dahsyatnya ke arah kepalanya, Ki Ageng Mahendra miringkan tubuhnya dan ketika ruyung itu meluncur lewat, dia menggunakan tangan kirinya menangkap ruyung itu dari samping, lalu menarik dan mendorong. Wiku Menak Koncar yang sudah terdorong oleh kekuatan pukulan ruyungnya, kini ditambah dorongan yang amat kuat dari Ki Ageng Mahendra, tak dapat menghindarkan lagi tubuhnya terdorong ke depan, terbanting dan terguling-guling bersama ruyungnya sehingga tak dapat dihindarkan lagi beberapa kali tubuhnya terkena hantaman ruyungnya sendiri!

   Kini barulah Wiku Menak Koncar menyadari bahwa dia sama sekali tidak mampu mengimbangi kesaktian kakek tua renta itu dan kalau dia tetap nekat melawan, akhirnya tentu dia yang akan roboh dan mungkin tewas. Tanpa malu-malu lagi dia mengambil keputusan untuk melarikan diri. Akan tetapi dasar wataknya yang dipenuhi nafsu daya rendah, melihat usahanya untuk membuat Bagus Sajiwo kelak memusuhi orang tuanya sendiri gagal, timbul kebenciannya dan timbul keinginannya untuk membunuh anak itu sebelum dia melarikan diri.

   Ketika akhirnya Wiku Menak Koncar dapat melompat bangun, tiba-tiba datuk Blambangan itu mengirim pukulan jarak jauh ke arah Bagus Sajiwo. Angin yang kuat dan panas menerpa ke arah Bagus Sajiwo. Akan tetapi sebelum daya serangan itu mengenai tubuh Bagus Sajiwo, tiba-tiba ada angin bertiup dari samping dan bagaikan sehelai daun kering, tubuh anak itu terhembus dan seperti diterbangkan ke samping sehingga terhindar dari daya serangan Wiku Menak Koncar.

   Datuk Blambangan ini terkejut bukan main dan maklumlah dia bahwa kalau dia nekat melanjutkan serangan, akhirnya dia sendiri yang akan celaka. Maka dia lalu melarikan diri meninggalkan tempat itu.

   Bagus Sajiwo yang berusia enam tahun itu adalah putera sepasang pendekar sakti, maka sejak kecil dia sudah pandai membawa diri. Dia mengerti bahwa nyawanya diselamatkan kakek tua renta itu, maka setelah penculiknya melarikan diri, dia lalu menghampiri Ki Ageng Mahendra dan segera menjatuhkan diri berlutut dan menyembah dengan hormat.

   "Eyang telah menolong saya, budi kebaikan eyang tidak akan saya lupakan dan kelak saya akan membalasnya."

   Ucapan yang dikeluarkan dengan lagak gagah ini membuat Ki Ageng Mahendra tertawa. Dia memegang pundak anak yang bernama Bagus Sajiwo itu lalu berkata.

   "Anak yang baik, engkau bangkit dan duduklah disini."

   Kakek itu mengajak Bagus Sajiwo duduk di atas sebuah batu.

   "Nah, sekarang ceritakan siapa dirimu dan siapa pula orang tua-mu."

   "Nama saya Bagus Sajiwo, eyang. Ayah ibu saya tinggal di lereng Gunung Kawi. Mereka adalah orang-orang terkenal, eyang, keduanya adalah pendekar-pendekar yang sakti mandraguna. Ayah saya bernama Ki Tejomanik dan ibu saya bernama Nyi Retno Susilo. Mereka berdua sejak muda telah menjadi pendekar-pendekar yang setia membantu Mataram, sehingga mendapat penghargaan dari Gusti Sultan Agung. Demikianlah menurut cerita ayah ibu kepada saya."

   Anak itu ketika menceritakan tentang orang tuanya, jelas tampak bangga sekali.

   Kembali Ki Ageng Mahendra tersenyum. Anak itu tampak lucu sekali dan tiba-tiba saja kakek tua renta itu menyadari bahwa selama ini dia kehilangan sesuatu yang tak pernah dapat ketahui. Baru sekarang dia menyadari bahwa selama ini dia kehilangan kehangatan hubungan antar manusia. Karena itu, begitu bertemu dan bicara dengan bocah itu, Ki Ageng Mahendra merasakan suatu kehangatan yang amat membahagiakan menyelubungi perasaan hatinya. Dia tahu bahwa anak itu tidak berbohong. Buktinya, Wiku Menak Koncar membalas dendamnya kepada orang tua anak ini dengan menculik anak mereka, berarti Wiku Menak Koncar tidak berani langsung menyerang mereka.

   "Hemm, agaknya itulah yang membuat orang tuamu dimusuhi banyak orang. Karena mereka setia membantu Mataram, maka tentu mereka dimusuhi orang-orang yang menentang Mataram, termasuk Wiku Menak Koncar tadi. Aku sudah lama tidak pernah berkecimpung di dunia ramai sehingga aku tidak mengenal nama ayah ibumu itu. Akan tetapi mungkin aku mengenal mereka yang lebih tua. Tahukah engkau siapa guru-guru ayah ibumu, angger? Mungkin aku masih mengenal nama mereka."

   Bagus Sajiwo mengingat-ingat, lalu berkata.

   "Ayah ibu saya pernah menceritakan tentang guru-guru mereka, eyang. Guru ayah saya ada dua, yang pertama adalah mendiang eyang Bhagawan Sidik Paningal, dan yang ke dua adalah eyang guru ayah sendiri, yaitu mendiang eyang Resi Limut Manik. Adapun guru dari ibu saya bernama mendiang Nyi Dewi Rukmo. Petak yang dulu ketika muda bernama Ken Lasmi."

   Mendengar disebutnya nama-nama itu, Ki Ageng Mahendra memejamkan kedua matanya.

   Terbayanglah dalam ingatannya semua pengalamannya ketika masih muda. Sampai lama dia tidak mengeluarkan kata-kata hanya memejamkan kedua matanya yang tadi bersinar lembut penuh pengertian itu, dan mulutnya membayangkan senyum. Melihat kakek itu sampai lama tidak berkata-kata, Bagus Sajiwo bertanya.

   "Eyang, apakah eyang mengenal nama-nama itu?"

   Kakek itu membuka kedua matanya, memandang kepada gagus Sajiwo dan tertawa gembira.

   "Mengenal mereka? Tentu saja aku mengenal mereka dengan amat baiknya, Bagus! Mendiang Resi Limut Manik itu adalah kakak seperguruanku sendiri. Jadi, mendiang Bhagawan Sidik Paningal itu adalah keponakan muridku sendiri."

   "Wah....!"

   Anak itu berseru kaget dan gembira.

   "Kalau begitu, saya masih buyut murid eyang sendiri?"

   "Begitulah, angger. Agaknya memang sudah menjadi kehendak Gusti Allah yang mempertemukan kita berdua disini."

   "Eyang, apakah eyang juga mengenal eyang guru Nyi Dewi Rukmo Petak?"

   Tanya Bagus Sajiwo.

   Kakek itu mengangguk dan menghela napas panjang. Diam-diam dia merasa heran bagaimana murid Bhagawan Sidik Paningal dapat berjodoh dengan murid seorang wanita sesat seperti Nyi Dewi Rukmo Petak? Akan tetapi dia merasa yakin bahwa jodoh ditentukan oleh Gusti Allah, dan belum tentu murid seorang sesat menjadi jahat pula, seperti juga murid seorang budiman belum tentu selalu baik seperti gurunya.

   "Aku pernah mendengar namanya. Nah, angger Bagus Sajiwo, engkau adalah cucu buyutku sendiri, ayahmu adalah aliran seperguruan denganku, yaitu aliran perguruan Jatikusumo walaupun aku tidak pernah terlibat urusan perguruan. Sekarang katakan, apa yang kau kehendaki? Apakah engkau ingin aku mengantarmu pulang ke lereng Gunung Kawi, kembali kepada orang tuamu?"

   Setelah berkata demikian, kakek itu memandang kepada anak itu dengan alis berkerut. Perasaannya yang amat peka itu merasakan sesuatu yang membuat dia mengerutkan alisnya. Kepekaan ini terkadang amat menyiksa batinnya. Dia merasakan betapa awan gelap membayangi kehidupan anak ini dan orang tuanya. Akan tetapi dia tahu bahwa apapun yang terjadi, terjadilah sesuai dengan kehendak Tuhan dan dia sebagai seorang manusia tidak berdaya mengubahnya. Manusia wajib berusaha, namun Tuhan jua yang menentukan hasilnya.

   "Eyang, saya menyadari sepenuhnya bahwa eyang telah menyelamatkan nyawa saya. Kalau tidak ada eyang, entah bagaimana jadinya dengan diri saya. Mungkin sudah mati atau bahkan lebih mengerikan dari pada itu. Maka, sekarang saya memasrahkan diri saya kepada eyang. Terserah bagaimana eyang saja. Eyang yang menentukan apa yang selanjutnya harus saya lakukan dan saya akan menaatinya."

   Perasaan lega dan bahagia memenuhi hati kakek itu. Dia menyembah dan memuja.

   "Gusti Allah Maha Kasih, segala kehendak Paduka terjadilah."

   Kemudian dia memandang anak itu dan berkata, suaranya terdengar penuh kesungguhan.

   "Bagus Sajiwo, kalau engkau sudah pasrah kepadaku dan benar-benar hendak menurut dan memenuhi segala kata-kataku, dengarkan baik-baik. Mungkin syaratnya akan terasa terlalu berat untukmu dan kalau engkau tidak dapat memenuhi syarat itu, engkau masih kuberi kebebasan untuk mengubah keputusanmu."

   "Apakah syaratnya, eyang? Orang tua saya selalu mengajarkan bahwa seorang lakl-laki harus teguh pendiriannya dan berani menghadapi segala kesukaran untuk memenuhi janji dan kewajibannya."

   "Baik, dengarlah. Mulai hari ini, engkau harus ikut denganku, mungkin hidupmu akan terasing dan tidak menyenangkan badan dan batinmu. Engkau harus dengan tekun mempelajari semua ilmu yang kuajarkan kepadamu dan yang terpenting sekali, apapun yang terjadi, sebelum engkau berusia dua puluh tahun, engkau tidak boleh menemui ayah ibumu. Nah, sanggupkah engkau? Kalau tidak sanggup, katakan saja, aku tidak memaksamu dan terserah kepadamu untuk memutuskan."

   Kata kakek itu dan dengan hati tertarik dan penuh perhatian sepasang matanya mengamati kekuasaan Tuhan yang bekerja melalui hati akal pikiran anak itu yang akan membawa keputusan bagi kehidupan anak itu di masa mendatang.

   Bagus Sajiwo yang baru berusia enam tahun itu sudah memiliki dasar kekuatan batin dari orang tuanya. Dia tabah dan memiliki watak gagah. Akan tetapi menghadapi syarat yang diajukan kakek itu, anak itu menjadi bimbang juga. Sampai berusia dua puluh tahun baru boleh menemui ayah ibunya? Itu berarti bahwa sedikitnya selama empat belas tahun dia harus hidup bersama kakek ini, bertapa mengasingkan diri!

   Melihat anak itu bimbang, Ki Ageng Mahendra melanjutkan.

   "Bagus Sajiwo, ada tambahan untuk syarat itu, ialah bahwa engkau sama sekali tidak boleh bertanya mengapa aku mengadakan syarat sampai engkau berusia dua puluh tahun itu. Bertanyapun tidak akan dapat kujawab. Hanya tinggal dua pilihan bagimu. Menerima syarat itu dan ikut denganku atau kau tolak dan engkau akan kuantarkan pulang ke rumah orang tuamu."

   Sungguh merasa semakin berat syarat itu bagi Bagus Sajiwo.

   Syarat pertama saja sudah berat, ditambah lagi dia tidak boleh bertanya mengapa sebabnya dia tidak boleh bertemu orang tuanya sebelum berusia dua puluh tahun! Berbagai penderitaan batin akan dia alami sebagai akibat syarat itu.

   Pertama, dia tentu akan merasa rindu kepada orang tuanya, terutama kepada ibunya yang memanjakannya.

   Ke dua, ayah ibunya tentu akan menjadi bingung, akan mencarinya dan kalau sampai empat belas tahun lamanya tidak dapat menemukannya, mungkin mereka akan menganggap dia sudah mati! Akan tetapi, sebaliknya kalau dia menerima syarat itu, ada dua hal yang baik dan menyenangkan.

   Pertama, dia dapat membalas budi kebaikan kakek yang telah menyelamatkan nyawanya itu. Ke dua, dia akan dapat mempelajari ilmu-ilmu yang hebat dari kakek yang masih merupakan paman buyut gurunya sendiri, yang tentu memiliki tingkat kepandaian yang amat hebat, jauh lebih hebat dari tingkat kedua orang tuanya!

   Dia harus memilih dan mengambil keputusan tegas. Dia tidak tahu betapa kakek itu memandangnya dengan hati berdebar-debar karena apa yang akan diputuskan anak itu merupakan penentu nasib yang akan menimpa diri Bagus Sajiwo dan kedua orang tuanya.

   Kakek ini tertatik sekali. Betapa nasib seorang manusia terkadang ditentukan oleh sekali saja keputusan yang diambilnya atau oleh satu kali perbuatan, bahkan satu kali ucapannya saja! Karena itulah, para orang budiman selalu berhati-hati kalau mengambil keputusan, kalau melakukan perbuatan, atau kalau mengeluarkan ucapan. Selalu mohon petunjuk dan bimbingan Tuhan Yang Maha Kasih dan selalu berusaha agar tidak menyimpang dari kehendaknya.

   "Eyang, keputusan saya sudah tetap. Saya menerima syarat itu dan akan ikut eyang, melayani eyang dan mempelajari ilmu dari eyang. Saya akan mentaati semua petunjuk dan perintah eyang!"

   Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Suara anak itu begitu mantap dan ketika Ki Ageng Mahendra beradu pandang mata dengan Bagus Sajiwo, kakek itu merasa senang sekali. Dia menemukan tekad yang bulat, kemauan yang keras dari seorang calon ksatria dalam sinar mata anak itu.

   "Terpujilah nama Gusti Allah!"

   Kata kakek itu.

   "Bagus Sajiwo, aku akan selalu berdoa kepada Gusti Allah Kang Murbeng Dumadi, semoga Gusti Allah sendiri yang akan membimbingmu di sepanjang jalan hidupmu. Hanya dalam bimbinganNya sajalah engkau akan dapat menjadi manusia utama yang selalu bertindak baik dan benar sesuai dengan kehendakNya."

   Kakek itu lalu menggandeng tangan Bagus Sajiwo, diajak mendaki puncak bukit itu. Mulai saat itu, Bagus Sajiwo menjadi murid Ki Ageng Mahendra.

   Pagi itu, kurang lebih sepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Mahendra yang sudah duduk di atas batu besar melihat muridnya, Bagus Sajiwo yang kini telah menjadi seorang pemuda remaja berusia enam belas tahun berjalan cepat sambil memanggul seekor kijang.

   Pemandangan itu tadi menimbulkan kenangan sepuluh tahun yang lalu dan kini kakek itu tersenyum. Senyumnya penuh rahasia. Yang melihatnya pada saat itu dapat melihat betapa senyum itu mengandung perasaan senang, terharu, juga sedih!

   Sudah puluhan tahun Ki Ageng Mahendra tak pernah dipengaruhi perasaan hatinya karena selama ini dia sudah berserah diri dengan ikhlas dan tawakal kepada Gusti Allah. Dia menerima segala apa saja yang terjadi kepadanya sebagai suatu kewajaran, sesuatu yang menjadi kenyataan dan tak dapat diubah oleh siapapun dengan kekuatan apapun karena kenyataan yang ada itupun sesuai dengan kehendak Tuhan yang terkadang berlawanan dengan usaha dan kehendak manusia. Karena itu, selama ini dia tidak pernah dipengaruhi perasaan hatinya. Hati akal pikirannya telah terkandung dalam kepasrahannya. Perasaan susah senang, kecewa puas, marah dan sebagainya seolah telah tertidur diselimuti kepasrahan, tidak pernah bangkit.

   Akan tetapi saat ini dia membiarkan perasaannya bangun, membiarkan segala perasaan itu menari-nari dalam hati dan pikirannya. Dia merasa benar bahwa saat terakhir hidupnya telah hampir tiba. Karena itu, dia membiarkan segala gejolak perasaannya bermunculan, yang mendatangkan rasa gembira, senang, bangga, terharu dan juga kehilangan dan kesedihan. Dia merasakan benar gejolak nafsu perasaan yang selama ini tertidur, dan dia merasa gembira, senang dan bangga melihat Bagus Sajiwo, murid yang dikasihinya itu kini telah menjadi seorang pemuda remaja yang hebat. Semua aji pamungkas telah dia ajarkan kepada Bagus Sajiwo sehingga pemuda itu telah menguasai berbagai aji kesaktian. Di samping itu, pemuda itupun banyak mempelajari tentang kehidupan sehingga memiliki pandangan luas. Juga dia telah menanamkan iman yang amat kuat dalam hati pemuda itu. Iman terhadap Gusti Allah, penuh keyakinan, penuh penyerahan dan kepasrahan sehingga apapun yang dilakukannya, disandarkannya kepada kekuasaan Tuhan.

   Malam tadi Ki Ageng Mahendra menerima firasat itu. Hari ini merupakan hari terakhir dalam hidupnya di dunia ini. Dia tidak merasa penasaran. Seperti biasa selama puluhan tahun, dia menerima apa saja yang terjadi padanya sebagai kehendak Tuhan, dan karenanya diterima dengan rela, ikhlas dan dengan kebahagiaan karena dia yakin benar Bahwa Gusti Allah mengetahui apa yang terbaik baginya! Usianya sudah sangat tua, tubuh yang dipakainya selama hampir seratus tahun itu sudah lemah dan lapuk. Dan dia akan meninggalkan dunia ini tanpa penderitaan sakit. Sungguh merupakan anugerah yang teramat besar.

   "Eyang, saya datang!"

   Terdengar suara yang lantang dan penuh semangat, penuh gairah hidup. Bagus Sajiwo menurunkan kijang muda dari pundaknya.

   Kijang muda yang sehat dan gemuk, masih hangat karena belum lama dibunuhnya. Pemuda yang dulu berusia enam tahun ketika diselamatkan Ki Ageng Mahendra dari tangan Wiku Menak Koncar yang menculiknya, kini telah menjadi seorang pemuda berusia enam belas tahun. Tubuhnya tinggi tegap dan tampak betapa bahu dan kedua lengan yang telanjang itu terisi tenaga hebat, dapat tampak pada gerakan otot-otot yang membayang di bawah kulit. Bukan otot melingkar-lingkar membayangkan kekuatan tenaga otot yang kasar, melainkan tenaga dalam.

   Seorang ahli akan dapat melihat bahwa tubuh pemuda itu "berisi". Pemuda yang belum dewasa benar itu sudah mendatangkan kesan jantan, seperti Sang Gatotkaca. Kulitnya kecoklatan mengkilap sehat karena sering mandi sinar matahari. Rambutnya hitam panjang dan agak keriting. Dahinya lebar dan sepasang daun telinganya berbentuk indah dan besar. Sepasang alisnya hitam dan tebal, melindungi sepasang mata yang lebar, bersinar lembut akan tetapi terkadang dapat mencorong dan tajam seolah dapat menembus dan menjenguk isi hati orang. Hidungnya mancung dan besar. Tarikan bibirnya membayangkan kegagahan dan gairah hidup penuh semangat. Belahan kecil pada tengah dagunya membuat wajah itu tampak makin jantan.

   Ki Ageng Mahendra tersenyum ramah.

   "Bagus Sajiwo, engkau memperoleh seekor kijang yang muda dan gemuk. Kebetulan sekali kulup, karena hari ini engkau harus menghidangkan makanan untuk banyak orang. Masaklah daging kijang ini dan masaklah nasi yang secukupnya untuk lima puluh orang."

   Pemuda itu memandang wajah gurunya dengan sinar menyelidik, walaupun wajahnya tidak membayangkan keheranan hatinya.

   "Baik, eyang, akan saya laksanakan."

   Setelah berkata demikian, dia memanggul kijang itu dan meninggalkan gurunya, menuju ke pondok kayu sederhana yang berada di puncak bukit.

   Ki Ageng Mahendra mengikuti bayangan muridnya dengan sinar mata berseri dan mulut tersenyum. Dia terkenang lagi akan pengalamannya bersama muridnya itu. Dia sendiri sudah puluhan tahun tidak pernah makan daging binatang dan hanya makan sayur dan buah-buahan. Akan tetapi dia menganjurkan agar muridnya itu makan makanan yang biasa dimakan orang pada umumnya. Tidak usah berpantang makan daging, kecuali daging yang tidak mempunyai khasiat, bahkan yang dapat mendatangkan penyakit pada tubuh. Ketika itu, Bagus Sajiwo membantah keras. .

   "Akan tetapi, eyang. Bukankah saya harus selalu mengikuti apa yang eyang lakukan? Bukankah eyang menjadi tauladan saya? Eyang tidak dahar daging, hanya dahar nasi, sayur dan buah-buahan, mengapa saya tidak? Mengapa saya harus makan daging?"

   Sambil tersenyum Ki Ageng Mahendra berkata.

   "Angger, siapa bilang aku tidak makan daging?"

   "Saya melihat sendiri! Eyang tidak pernah makan makanan berjiwa!"

   "Engkau keliru, Bagus. Setiap kali aku makan sepiring nasi dengan sayur, setiap kali aku makan sebutir buah, setiap kali aku minum secangkir air, entah berapa puluh, ratus atau ribu binatang bernyawa yang terbunuh dan memasuki perutku."

   Bagus Sajiwo yang masih kecil itu tak dapat menahan perasaan herannya dan dengan matanya yang lebar bundar dia memandang kakek itu.

   "Eh? Apa maksud eyang? Saya tidak melihat...."

   "Heh-heh, tentu saja tidak kau lihat, Bagus. Ketahuilah bahwa di dunia ini terdapat binatang-binatang kecil sekali, teramat kecil sehingga tidak tampak oleh pandang mata biasa. Dalam secangkir air, dalam sebutir buah, dalam daun-daun dan sayur-sayuran, terdapat binatang-binatang kecil itu, binatang-binatang yang bernyawa seperti halnya binatang kijang, sapi, ayam dan lain-lain yang dimakan orang. Maka, kalau ada orang yang hanya makan nasi, sayur, buah dan minum air putih saja mengatakan bahwa dia tidak pernah makan makanan bernyawa, dia tidak tahu atau pura-pura tidak tahu. Sebetulnya, diapun seorang manusia pemakan mahluk berjiwa yang tak terhitung banyaknya. Memang daging binatang-binatang kecil itu tidak tampak, tidak terasa, seperti daging ayam, sapi, kambing dan sebagainya. Akan tetapi apakah bedanya nyawa seekor binatang kecil dengan seekor binatang besar? Apakah nyawa seekor domba itu berbeda dari nyawa seekor gajah?"

   Bagus Sajiwo yang masih kecil itu sudah dapat mengerti, akan tetapi sebagai seorang anak yang cerdik dia belum puas kalau belum mendapatkan keterangan yang jelas.

   "Kalau begitu, mengapa eyang tidak pernah makan daging ayam, kijang dan lain-lain? Mengapa hanya makan sayur dan buah? Bukankah sama saja, eyang tidak dapat menghindarkan diri dari makanan berjiwa?"

   "Bagus, kau tanyakan itu, angger. Bagiku, sebabnya hanya satu, yaitu perasaanku. Aku merasa tidak tega makan daging binatang itu. Berbeda dengan binatang-binatang kecil yang tidak tampak, tidak mendatangkan perasaan tidak tega itu."

   "Kenapa kalau saya diharuskan makan daging, eyang?"

   "Karena engkau masih muda dan tubuhmu membutuhkan makanan daging itu. Untuk menguatkan tubuhmu, untuk membakar semangat hidupmu. Aku yang sudah tua renta ini tidak membutuhkan itu."

   Demikianlah kenangan itu yang kini membuat Ki Ageng Mahendra tersenyum. Anak itu selalu patuh padanya, akan tetapi juga selalu ingin tahu dan banyak bertanya, suatu watak yang amat baik bagi kanak-kanak dan orang muda. Seorang muda harus kritis, harus tahu benar apa yang dia lakukan dan mengapa pula dia lakukan. Bukan sekedar ikut-ikutan dan ngawur.

   Seorang pemuda haruslah memiliki prinsip, memiliki pegangan sehingga dia memiliki kepribadian yang kuat. Bukan sekedar mengekor seperti seekor domba yang tidak mempunyai pendirian sendiri. Dan untuk membentuk kepribadian yang kuat dia harus banyak belajar, diantaranya dengan banyak bertanya dan kritis, tidak hanya menerima begitu saja tanpa menyelidiki lalu ikut-ikutan!

   Bagus Sajiwo sibuk di dalam dapur pondok itu. Karena sejak dia hidup disitu, dia yang selalu memasak dan melakukan semua pekerjaan rumah, melayani gurunya, maka dia dapat masak dengan trampil.

   Ki Ageng Mahendra yang biasa hidup menyendiri mengenal semua bumbu masak dan dia mengajari anak itu membuat bermacam masakan. Selain itu, dia juga sering membawa anak itu berkunjung ke dusun-dusun di sekitar pegunungan Ijen untuk mengulurkan tangan menolong mereka yang sakit.

   Hasil tanaman di kebun belakang pondok, dapat menpikupi kebutuhan hidup mereka. Sebagian ditukarkan barang-barang yang mereka butuhkan dari para penduduk dusun. Para penduduk juga mengenal baik Ki Ageng Mahendra sebagai seorang pertapa yang baik dan mengenal Bagus Sajiwo sebagai seorang pemuda yang ramah. Dengan kehidupan seperti itu, biarpun Bagus Sajiwo menjadi murid seorang pertapa yang tinggal di puncak yang sunyi, namun dia tidak asing dengan pergaulan dan mengenal semua orang yang menjadi penduduk pedusunan disekitar pegunungan itu yang tidak banyak jumlahnya.

   Setelah lewat tengah hari, Bagus Sajiwo selesai dengan kesibukannya di dapur. Dia menaati pesan gurunya. Semua daging kijang gemuk itu dimasaknya, dan diapun menanak nasi yang cukup untuk sekitar lima puluh orang. Akan tetapi setelah selesai masak, dia tidak melihat gurunya pulang. Pada hal biasanya, setelah matahari mulai naik tinggi, gurunya tentu pulang dari kebiasaannya menyambut matahari terbit itu. Segera dia menyusul ke tempat gurunya tadi duduk di atas sebuah batu besar. Dia melihat gurunya masih duduk bersila di atas batu menghadap ke timur seperti tadi, duduk diam sama sekali tidak bergerak.

   "Eyang....!"

   Bagus Sajiwo memanggil.

   Akan tetapi Ki Ageng Mahendra tidak menjawab sama sekali. Bagus Sajiwo merasa heran dan melompat ke depan gurunya. Dia melihat gurunya duduk bersila dengan sepasang mata terpejam, seperti orang tidur atau sedang bersamadhi. Akan tetapi dengan pandang matanya yang tajam dia melihat betapa pernapasan gurunya itu lemah sekali.

   "Eyang....!"

   Dia menghampiri dan menyentuh lutut kakek itu.

   Alangkah kagetnya ketika tubuh yang disentuhnya itu terkulai lemas dan tentu akan roboh kalau saja dia tidak cepat merangkulnya. Tubuh kakek itu terasa dingin dan pernapasannya lemah, tinggal satu-satu.

   Bagus Sajiwo terkejut. Biarpun usianya baru enam belas tahun, namun dia telah mempelajari banyak ilmu dari gurunya, termasuk ilmu tentang kesehatan dan pengobatan. Begitu dia memondong tubuh kakek itu dan dibawa turun dari atas batu, dia merebahkan tubuh itu ke atas rumput dan memeriksa denyut jantungnya yang lemah. Tahulah dia bahwa gurunya dalam keadaan lemah sekali. Maka dengan cepat dia menempelkan tangan kirinya ke atas dada Ki Ageng Mahendra lalu mengerahkan tenaga saktinya, memberi getaran hangat ke dalam tubuh gurunya seperti yang diajarkan gurunya.

   Pernapasan Ki Ageng Mahendra mulai mengendur dan menguat, lalu dia membuka kedua matanya dan tersenyum ketika melihat Bagus Sajiwo yang duduk bersila di dekatnya.

   "Cukup, Bagus. Engkau telah memulih kan kekuatanku."

   Kata kakek itu yang segera bangkit duduk, dibantu oleh Bagus Sajiwo. Mereka duduk berhadapan di atas tanah berumput.

   "Mari saya pondong eyang kembali ke pondok,"

   Kata Bagus Sajiwo.

   Kakek itu menggeleng kepala, masih tersenyum.

   "Tidak usah, tidak ada waktu lagi, Bagus...."

   "Tidak ada waktu lagi? Apa maksud eyang?"

   "Waktunya tinggal sedikit, Bagus."

   Kakek itu tersenyum dan menjulurkan tangan kanannya, mengelus kepala Bagus Sajiwo.

   "Dengar baik-baik, tidak lama lagi tiba saat akhir hidupku di dunia ini...."

   "Eyang....!"

   Bagus Sajiwo menjerit dan merangkul kakek itu.

   "Hshhh...., kenapa ribut? Apanya yang aneh kalau ada seorang manusia mengakhiri hidupnya di dunia? Apa pula anehnya kalau ada yang lahir?"

   "Eyang, jangan tinggalkan saya dulu, eyang. Saya masih membutuhkan bimbingan eyang...."

   "Hemm, kapan engkau akan matang kalau selalu dibimbing? Kanak-kanak akan cepat dapat berjalan kalau dilepaskan dari bimbingan. Kalau dibimbing terus, dia takut dilepaskan dan hati dan kakinya tidak akan cepat menjadi kuat."

   "Tapi..... tangguhkanlah, eyang. Eyang adalah seorang yang sakti mandraguna, tentu dengan ilmu kepandaian eyang, eyang akan mampu memperpanjang usia eyang..."

   "Heh-heh...., buanglah khayalan yang bukan-bukan itu dan buka matamu baik-baik. Siapakah yang mampu menentukan mati hidupnya sendiri? Aku ini seorang manusia biasa, angger, tidak ada bedanya dengan engkau atau dengan siapa pun juga. Hidup dan matikU juga berada sepenuhnya di tangan Gusti Allah. Segala usaha, segala ikhtiarku, seperti ikhtiar semua manusia, amatlah terbatas dan tidak mungkin dapat mengubah kehendak Gusti Allah. Sebentar lagi aku harus pergi, Bagus, karena itu, aku hendak mempergunakan waktu yang tidak lama lagi ini untuk meninggalkan pesan-pesanku kepadamu. Akan tetapi lebih dulu engkau harus menenangkan hati dan perasaanmu, harus dapat menerima kenyataan yang ada, tanpa keraguan, kekecewaan ataupun penyesalan. Nah, sudah siapkah engkau?"

   Bagus Sajiwo mengerahkan tenaga batinnya, menghentikan gejolak hati dan pikirannya dan dia menjadi tenang dan bebas dari segala macam perasaan. Dia menyadari kebenaran ucapan gurunya, maka dia lalu menyembah dan berkata dengan suara tenang.

   "Saya sudah siap mendengarkan semua pesan yang hendak eyang katakan kepada saya."

   "Nah, begitu baru benar, angger. Pertama-tama hendak kuingatkan engkau akan janjimu dahulu ketika engkau akan menjadi muridku yaitu bahwa sebelum engkau berusia dua puluh tahun, engkau tidak boleh menemui orang tuamu."

   "Saya masih ingat dan akan memenuhi janji saya itu, eyang."

   "Yang ke dua, ketahuilah bahwa belum tiba waktunya Nusantara dapat terbebas dari kekuasaan dan pengaruh Kumpeni Belanda. Oleh karena itu, segala usaha yang dilakukan Sang Prabu Sultan Agung selalu mengalami kegagalan. Saatnya akan tiba dimana seluruh bangsa, seluruh rakyat Nusantara dapat bersatu padu, atas bimbingan Tuhan Yang Maha Kuasa, bangkit serentak melawan Belanda, barulah seluruh bangsa dan negara akan dapat terbebas dari kekuasaan orang kulit putih. Karena itu, tidak akan ada gunanya kalau engkau terjun ke dalam perjuangan melawan Kumpeni. Lebih bermanfaat lagi kalau engkau berjuang sebagai seorang ksatria, menegakkan kebenaran dan keadilan dalam kehidupan ini, membela mereka yang lemah tertindas dan menentang kejahatan, siapapun yang melakukan kejahatan itu."

   Bagus Sajiwo dapat menangkap suara kakek itu yang semakin menurun dan melemah. Dia mendengarkan sambil menatap tajam wajah gurunya. Wajah itu yang biasanya segar kemerahan, kini tampak makin lama semakin pucat dan kembali pernapasan gurunya itu juga semakin melemah.

   "Saya mengerti dan akan menaati semua pesan eyang."

   Katanya dengan suara mantap.

   "Nah, baik sekali kalau begitu. Aku ingin memperingatkan engkau, angger. Sebagai seorang manusia, engkau tidak bebas dari kelemahan. Berhati-hatilah terhadap wanita. Ahh, sudah tiba saatnya, Bagus.... pesanku.... sempurnakan jenazahku dalam kobaran api bersama pondokku.... selamat tinggal, angger.... aku.... aku pergi....!"

   Kakek itu masih tetap duduk bersila dan matanya terpejam, duduknya masih tegak, hanya kepalanya yang agak condong ke kiri. Saat itu Bagus Sajiwo seolah dapat menasakan betapa roh Ki Ageng Mahendra meninggalkan jasadnya, melayang kembali ke alam asalnya.

   Bagus Sajiwo menyembah.

   "Selamat jalan, eyang.... selamat jalan...."

   Hatinya terasa diremas, akan tetapi dia segera menenangkan hatinya, menerima kenyataan yang ajaib dan suci berpisahnya nyawa dari kurungannya sebagai kenyataan dari kekuasaan Gusti Allah Yang Maha Suci.

   Dia lalu menghampiri jenazah Ki Ageng Mahendra, merangkulnya lalu memondongnya. Terasa ringan sekali jenazah itu, seperti anak kecil. Dia melangkah perlahan dan hati-hati sekali, seolah khawatir kalau akan membuat goncangan terlalu kasar sehingga mengejutkan jasad yang seakan tidur itu. Dia melangkah satu-satu ke arah pondok dan tanpa disadarinya, beberapa butir air mata menetes turun ke atas pipinya.

   Pada saat dia merebahkah jenazah Ki Ageng Mahendra di atas pembaringannya di dalam pondok itu, terdengar suara beberapa orang di luar pondok. Bagus Sajiwo cepat keluar dan ternyata di luar pintu depan berdiri tiga orang dusun yang dikenalnya.

   Dengan sikap tenang Bagus Sajiwo menghampiri tiga orang laki-laki setengah tua yang sikapnya seperti orang yang kebingungan dan sedang susah itu.

   "Paman, andika bertiga ada keperluan apakah?"

   Dia bertanya dengan wajah sama sekali tidak memperlihatkan perasaan apa-apa dan tadi bekas air mata di pipinya telah dihapus dengan tangan.

   "Maafkan kami, anakmas Bagus. Di dusun kami sedang berjangkit penyakit demam panas. Sudah ada dua orang yang meninggal dunia dan kini ada tiga orang lagi yang sakit. Kami hendak mohon bantuan Ki Ageng untuk menolong kami."

   "Sayang sekali, paman. Eyang guru baru saja dipanggil pulang oleh Gusti Allah."

   Kata Bagus Sajiwo dengan tenang.

   Tiga orang itu terbelalak. Wajah mereka berubah pucat dan mereka saling pandang, lalu si pembicara tadi memandang lagi kepada Bagus Sajiwo.

   "Maksud.... maksud andika.... Ki Ageng telah.... telah... meninggal dunia?"

   Bagus Sajiwo mengangguk.

   "Benar, paman. Baru saja hal itu terjadi."

   "Aduh, maafkan kami. Kalau begitu, biar kami pulang, hendak kami kabarkan kematian ini kepada yang lain."

   Tiga orang itu tergopoh-gopoh hendak meninggalkan tempat itu.

   "Nanti dulu, paman!"

   Kata Bagus Sajiwo.

   "Aku masih menyimpan banyak ramuan jamu untuk mengobati demam panas. Tunggu, kuambilkan sebentar!"

   (Lanjut ke Jilid 02)

   Bagus Sajiwo (Seri ke 04 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 02

   Bagus Sajiwo memasuki pondok dan tak lama kemudian dia sudah keluar lagi membawa sekeranjang terisi puluhan buah bungkusan yang merupakan ramuan obat demam, antara lain kayu manis, tapak liman berikut akarnya, pegagan, daun kacapiring, babakan pule, jahe, pupus waru, pupus papaya, sambung legi, dan meniran. Dia menyerahkan keranjang dan isinya itu.

   "Ramuan jamu ini agar direbus dan yang sakit diberi minum tiga kali sehari, secangkir penuh. Yang belum terserang dapat minum secangkir sehari."

   "Ah, terima kasih, anakmas Bagus, terima kasih."

   Tiga orang itu menerima keranjang, membungkuk-bungkuk mengatakan terima kasih lalu cepat meninggalkan tempat itu.

   Tak lama kemudian, berbondong-bondong penduduk dari dusun-dusun yang berdekatan datang melayat. Mereka mendapat kabar dari tiga orang tadi.

   Diam-diam Bagus Sajiwo merasa kagum kepada mendiang Ki Ageng Mahendra. Jelas bahwa mendiang kakek itu telah memiliki perasaan yang amat peka sehingga seolah dapat merasakan apa yang akan terjadi menimpa dirinya. Agaknya kakek itu sudah mengetahui lebih dahulu bahwa hari itu dia akan wafat, maka dia menyuruh Bagus Sajiwo membuat masakan yang demikian banyak. Kini pemuda itu, dibantu beberapa wanita dusun yang datang melayat, menghidangkan makan kepada para pelayat dan sungguh luar biasa sekali, nasi dan lauk dari daging kijang itu cukup dan pas untuk para tamu semua!

   Bagus Sajiwo lalu berkata kepada para pelayat bahwa untuk memenuhi pesan terakhir gurunya, dia akan menyempurnakan jenazah kakek itu dengan memperabukannya berikut pondok itu.

   "Tapi, anak mas!"

   Seorang tua menegurnya.

   "Kalau pondoknya ikut dibakar, lalu andika akan tinggal dimana?"

   Bagus Sajiwo tersenyum. Dia memang sudah digembleng lahir batinnya oleh mendiang Ki Ageng Mahendra. Dia memang tidak berduka atas kematian gurunya. Mengapa mesti berduka? Apa yang didukakan? Gurunya yang sudah meninggal dunia tidak perlu disusahkan, juga tidak membutuhkan rasa iba dari yang hidup. Bahkan, setidaknya, tubuh gurunya sudah terbebas sama sekali dari rasa nyeri dan segala macam kesengsaraan badan. Ki Ageng Mahendra sudah kembali ke asalnya. Tubuhnya kembali ke asalnya, bersatu dengan tanah. Roh-nya kembali ke asalnya, bagaikan setetes air yang kembali ke samudera. Apa yang harus disusahkan? Kalau dia berduka, jelaslah bahwa yang disusahkan adalah dirinya sendiri, merasa iba diri karena kehilangan guru, kehilangan teman, kehilangan pengganti orang tua!

   "Paman, pondok ini memang harus dibakar sesuai dengan pesan mendiang eyang karena akupun segera akan meninggalkan tempat ini."

   Kata Bagus Sajiwo kepada kakek yang bertanya tadi.

   Demikianlah, dibantu oleh para penduduk dusun, Bagus Sajiwo mengumpulkan sedikit pakaian yang dimilikinya, membungkusnya dalam buntalan kain hitam, lalu membawa keluar buntalan itu dari pondok. Setelah itu, dia mengumpulkan kayu ranting dan daun kering, menyusunnya di bawah dan sekitar pembaringan di mana jenazah gurunya direbahkan. Juga ranting dan daun kering ditumpuk di sekeliling pondok. Setelah memberi penghormatan terakhir kepada jenazah gurunya, diikuti oleh semua penduduk dusun yang merasa kehilangan seorang kakek yang selalu siap menolong mereka, Bagus Sajiwo lalu membakar pondok itu.

   

Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini