Ceritasilat Novel Online

Alap Alap Laut Kidul 18


Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Bagian 18



Pada saat itu, anggauta Dadali Sakti yang ditugasi menangkap Sriyani, sudah bergerak, bangkit dan dari belakang dia memegang kedua lengan wanita muda itu. Sriyani terkejut, meronta dan menjerit.

   "Eeiiihhh, lepaskan aku, lepaskan!"

   Akan tetapi bagaimana mungkin ia dapat melepaskan diri dari pegangan tangan yang amat kuat itu?

   Tiba-tiba kedua lengan pria yang memeganginya itu melepaskan kedua lengannya. Pria itu tiba-tiba merasa betapa kedua lengannya seperti lumpuh ketika ada orang menekan kedua pundaknya. Dia cepat membalikkan tubuhnya dan dia melihat seorang pemuda yang melakukan penekanan pada pundaknya itu. Pria itu marah akan tetapi Aji, pemuda itu, sudah menggerakkan tangan kirinya menampar.

   "Plakkk!"

   Tamparan itu mengenai bawah telinga kanan dan pria itu roboh tersungkur dan tidak mampu bergerak lagi karena sudah pingsan!

   Pada saat itu, Raden Wiratma sudah mendesak Sumanta dengan serangan bertubi-tubi. Serangannya jauh lebih dahsyat dibandingkan serangan Badrun tadi. Sumanta berusaha mati-matian untuk menghindarkan diri dari desakan itu dengan mengelak dan menangkis. Akan tetapi tetap saja ketika tangkisannya meleset, tangan kiri Raden Wiratma yang mencengkeram ke arah leher Sumanta itu mengenai ujung pundak kanannya.

   "Breeetttt.....!"

   Baju bagian pundak itu robek berikut kulit ujung pundak sehingga mengeluarkan darah dan tubuh Sumanta terhuyung ke belakang.

   Raden Wiratma terkekeh.

   "Heh-heh-heh, mampus kamu!"

   Katanya dan dia melompat ke depan, tangan kanannya menghantam ke arah perut sumanta yang sedang terhuyung.

   "Wuuuutttt..... dukkkk!!"

   Raden Wiratma terkejut bukan main, menyeringai dan dengan tangan kirinya dia memegang dan mengelus-elus pergelangan tangan kanannya yang rasanya seperti patah. Nyeri kiut-miut sampai ke jantungnya. Dan didepannya telah berdiri seorang pemuda yang tadi menangkis pukulannya kepada Sumanta, pukulan yang akan mematikan lawannya itu. Pemuda itu adalah Aji yang cepat menolong Sumanta ketika melihat pemuda itu terancam bahaya maut.

   "Keparat! Kalian curang, mengeroyok aku!"

   Bentak Raden Wiratma sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Aji.

   Aji menoleh kepada Sumanta.

   "Sobat, lindungilah isterimu."

   Mendengar ini Sumanta menghampiri isterinya yang segera merangkulnya. Lalu Aji menghadapi Raden Wiratma.

   "Siapakah yang curang dan tidak tahu malu? Kalian tadi mengajukan jago kalian Badrun untuk menandingi Sumanta dengan janji kalau Sumanta keluar sebagai pemenang kalian akan membebaskan suami isteri itu. Akan tetapi setelah Sumanta menang, engkau malah menyerangnya dan anak buahmu hendak menangkap isterimya. Hemm, beginikah watak orang-orang Dadali Sakti? Sudah kudengar bahwa kalian adalah orang-orang sombong yang suka memaksakan kehendak sendiri, melakukan penindasan dan ternyata memang benar! Kalian hendak membunuh Sumanta yang tak bersalah dan merampas isterinya! Mana dia Banuseta? Ketua kalian itu tentu luar biasa jahatnya maka memiliki anak buah yang begini keji!"

   Raden Wiratma marah bukan main sehingga melupakan kenyerian lengannya.

   "Tangkap bocah ini! Bunuh dia!"

   Bentaknya memberi isarat kepada para anak buah Dadali Sakti.

   Setelah memberi aba-aba ini, Raden Wiratma sendiri, seperti biasa watak orang-orang sombong yang selalu meremehkan orang lain, sudah mencabut kerisnya. Ternyata kerisnya itu terbuat dari sejenis besi yang warnanya hitam. Aji mengerutkan alisnya. Besar sekali kemungkinannya bahwa keris hitam seperti itu adalah keris yang amat keji dan berbahaya. Orang ini kejam dan jahat sekali, pikir Aji. Entah sudah berapa banyak orang yang menjadi korban keris seperti itu di tangan orang sejahat ini.

   Maka begitu Raden Wiratma menubruk dan menghunjamkan keris itu ke arah perutnya, dengan gerakan ilmu silat Wanara Sakti tubuh Aji berkelebat ke samping dan melewati tubuh si gendut pendek, tahu-tahu sudah berada di belakang Wakil Ketua Dadali Sakti dan sekali dia menggerakkan kedua tangan yang dibuka dan dimiringkan, Aji telah memukul kedua pundak Raden Wiratma.

   "Krekk! Krekk!! Aughhhh.......!!"

   Tubuh pendek grndut itu roboh menelungkup tak bergerak lagi karena dia sudah pingsan dengan kedua tulang pundak remuk sama sekali! Andaikata dia dapat sembuh sekalipun, tidak mungkin dia dapat mengandalkan ilmu silat dan kekuatannya untuk melakukan penindasan kepada orang lain karena selain tulang kedua pundaknya, juga otot-otot kedua pangkal lengannya ikut rusak berat sehingga dia akan kehilangan kekuatan pada kedua lengannya.

   Sementara itu, anak buah Dadali Sakti sudah menyerang Sumanta yang melindungi isterinya. Orang muda itu mengamuk dan karena para anggauta Dadali Sakti menyerangnya dengan menggunakan senjata seperti golok, pedang atau keris, Sumanta juga mencabut kerisnya dan melakukan perlawanan mati-matian. Dia mengamuk, merobohkan beberapa orang pengeroyok dengan tendangan kedua kakinya, tamparan tangan kirinya dan tusukan keris di tangan kanannya.

   Aji melihat betapa Sumanta dikeroyok dan mengamuk. Dia khawatir kalau dengan kerisnya Sumanta akan membunuh banyak orang, juga dia tahu bahwa keselamatan Sumanta dan isterinya tentu akan terancam, maka dia lalu melompat dan menggerakkan kaki tangannya. Begitu dia menyerang, empat orang pengeroyok berpelantingan sehingga mengejutkan para anggauta Dadali Sakti.

   "Sumanta, cepat ajak pergi isterimu, tinggalkanlah Dermayu agar kalian dapat hidup tenteram!"

   Kata Aji sambil terus mengamuk. Setiap kali tangan atau kakinya bergerak, tentu ada seorang pengerook yang roboh dan tidak dapat bangun kembali. banyak yang patah tulang atau jatuh pingsan.

   Sumanta maklum akan maksud pemuda perkasa yang telah menolongnya itu.

   "Siapakah nama andika, ki sanak?"

   Tanyanya sambil melanjutkan amukannya.

   "Aji, Lindu Aji. cepat, ajak isterimu pergi!"

   Kata Aji.

   "Terima kasih!"

   Kata Sumanta dan dia segera menggandeng tangan Sriyani dengan tangan kiri, menariknya untuk diajak lari keluar dari rumah itu. Setiap ada anggauta Dadali Sakti berani menghadang, dia lalu merobohkannya. Karena Sumanta tidak ragu-ragu merobohkan penghalang dengan kerisnya, maka dia dan isterinya dapat lolos. Para anggauta Dadali Sakti kini mengeroyok Aji.

   Aji tetap berpegang kepada keyakinannya bahwa dia tidak boleh membunuh orang. Dahulu, gurunya, Ki Tejo Budi, berulang kali menasehatinya bahwa membunuh orang merupakan dosa yang teramat besar. dan dosa pembunuhan ini akan membawa akibat yang panjang, bahkan melibatkan karma keluarganya. Aji pernah bertanya kepada gurunya tentang pembunuhan yang dilakukan manusia terhadap manusia lain dalam perang. Ditanya begitu, kakek itu menghela napas panjang seperti orang yang merasa menyesal lalu berkata bahwa perang itu sendiri merupakan kesesatan diantara bangsa-bangsa manusia di dunia ini. Perang timbul dari keangkara-murkaan manusia. Akan tetapi, setiap orang manusia memang mempunyai ikatan yang menimbulkan tugas-tugas kewajiban dalam ikatan itu. Seorang kawula terikat kepada Negara dan bangsanya. Tak dapat dihindarkan lagi, kalau Negara dan bangsanya perang dengan bangsa lain, dia berkewajiban untuk membela Negara dan bangsa, ikut berperang. Dan dia sudah terlibat dalam pergulatan antara membunuh dan dibunuh! Pembunuhan di dalam perang perupakan akibat dari permusuhan antara Negara dan bangsa. Kalau dilakukan tanpa kebencian pribadi terhadap yang dibunuhnya, maka hal ini berlainan jauh sekali dari pembunuhan yang dilakukan karena dendam kebencian pribadi.

   Jadi pembunuhan itu hanyalah akibat dari keadaan hati seseorang, jelas bahwa pembunuhan dengan dasar berjuang membela Negara berbeda dari pembunuhan dengan dasar kebencian pribadi. Yang penting adalah keadaan hati seseorang. Bagaimanapun juga, hidup matinya setiap orang berada di tangan Gusti Allah Yang Maha Kuasa. Kalau Gusti Allah tidak menghendaki seseorang mati, seribu orang musuh sekalipun tidak akan mampu membunuhnya. Sebaliknya kalau kematian seseorang sudah dikehendaki Gusti Allah, gigitan seekor binatang kecilpun akan dapat membunuhnya. Yang penting, jangan sampai kebencian menguasai hatimu, karena kalau sudah begitu berarti engkau membiarkan dirimu dikuasai iblis yang dapat menyeretmu ke dalam perbuatan-perbuatan kejam seperti membunuh dan sebagainya. Demikian antara lain wejangan mendiang Ki Tejo Budi yang selalu bergema dalam perasaan hati Aji.

   Karena itulah, menghadapi pengeroyokan hampir tiga puluh orang anggauta perguruan Dadali Sakti, Aji membatasi tenaganya. Dia tidak ingin membunuh mereka, hanya ingin memberi pelajaran agar orang-orang itu sadar akan kejahatan mereka dan dapat bertaubat. Biarpun para murid perguruan Dadali Sakti (Walet Sakti) itu memiliki ilmu silat Dadali Sakti dan mereka rata-rata memiliki gerakan yang gesit seperti burung walet, namun mereka masih terlampau lamban bagi Aji yang memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi.

   Tubuhnya berkelebatan di antara mereka, membagi-bagi tamparan dan tendangan sehingga orang-orang yang mengeroyoknya itu berpelantingan dan bergelimpangan. Akhirnya, tidak ada seorangpun yang tertinggal. Semua roboh dan mengeluh kesakitan, ada yang kepalanya benjol, ada yang tangannya patah, ada yang dadanya sesak atau perutnya mulas. Ruangan yang luas itu kini penuh dengan para anggauta Dadali Sakti yang malang melintang, ada yang rebah telentang, ada yang telungkup, ada yang berjongkok.

   Aji berdiri di tengah ruangan, memandang ke sekeliling. Kemudian dia berkata kepada mereka dengan suara tegas.

   "Para anggauta perguruan Dadali Sakti, dengarlah baik-baik! Kalian sekarang mendapat kenyataan dan pelajaran bahwa perbuatan jahat tidak menghasilkan akibat yang baik. Kalian menanam pohon dan buahnya akan kalian petik dan makan sendiri. Ngunduh wohing pakaryan (memetik buah perbuatan). Akan tetapi kalian hanya mencontoh pimpinan kalian. Karena itu, aku menganjurkan bahwa mulai sekarang agar kalian mengubah jalan hidup kalian. Kalian sekarang ditakuti orang-orang yang sebetulnya membenci kalian. Bukankah lebih baik kalau kalian dihormati orang-orang yang menyukai kalian? Bukankah lebih baik kalau perguruan Dadali Sakti dikenal sebagai tempat para pendekar pembela rakyat yang gagah perkasa daripada dikenal sebagai sarang gerombolan penjahat? Bertaubatlah dan sadarlah. Ingat, kalau lain hari aku lewat di sini dan melihat kalian masih juga melakukan perbuatan jahat, mengandalkan kekuatan melakukan penindasan kepada rakyat, aku akan menangkap kalian semua dan akan kuminta Gusti Pangeran Ratu di Cirebon untuk menghukum berat kalian!"

   Mendengar ini, sebagian besar anggauta Dadali Sakti menundukkan muka dan menjadi gentar. Bahkan ada beberapa orang bersuara.

   "Kami bertaubat.....!"

   "Sekarang katakan di mana adanya Banuseta, ketua kalian!"

   Kata Aji.

   "Aku juga ingin bertemu dan menentang kejahatannya."

   Para anggauta Dadali Sakti saling pandang dan mereka menggeleng kepala, ada pula yang menjawab.

   "kami tidak tahu......!"

   Aji melihat Wiratma, Wakil Ketua Dadali Sakti yang tadi jatuh pingsan kini sudah bergerak dan dibantu seorang anak buah dia sudah dapat duduk. Kedua lengannya seperti lumpuh, tak dapat digerakkan dan kedua pundaknya yang hancur tulangnya itu terasa nyeri bukan main. Aji lalu menghampirinya.

   "Wiratma, aku terpaksa menghancurkan kedua pundakmu agar andika tidak mampu lagi melakukan kejahatan. Sekarang katakan, di mana adanya Banuseta?"

   Wiratma yang masih merasa penasaran dan sakit hati, memandang pemuda itu penuh kebencian, lalu memaksa diri berkata.

   "Aku tidak tahu dia pergi ke mana. Akan tetapi kalau dia pulang dan melihat keadaan kami, dia pasti akan mencarimu dan membalaskan sakit hati kami!"

   Suaranya mengandung kebencian yang amat besar.

   Aji menghela napas panjang.

   "Gusti Allah Maha Kasih. Kita boleh menanam buah sesuka kita, Wiratma. Kalau andika bertekad melanjutkan kebiasaanmu menanam pohon beracun, maka andika sendiri yang akan memetik dan memakan buah beracun. Kalau Banuseta hendak membalas dendam kepadaku, boleh dia mencari, aku siap menghadapinya!"

   "Katakan di mana engkau tinggal agar dia dapat mencarimu nanti!"

   Kata pula Wiratma sambil menahan rasa nyeri di kedua pundaknya.

   Aji berpikir sejenak. Di mana dia akan tinggal? Tidak di rumah Ki Subali, atau di rumah siapa saja karena tuan rumah tentu akan terlibat kalau terjadi perkelahian antara dia dan Banuseta. Tiba-tiba dia teringat bahwa dia akan pergi mencari guru Sulastri yang menurut Ki Subali tinggal di pantai laut dan bernama Ki Ageng Pasisiran.

   "Aku akan pergi ke pantai laut, mencari padepokan Ki Ageng Pasisiran. Kalau Banuseta mencariku, suruh dia mencariku ke pantai laut."

   Setelah berkata demikian, Aji lalu meninggalkan rumah besar itu. Ketika dia keluar, banyak orang yang kebetulan berada di jalan depan rumah itu, memandangnya dengan mata bertanya-tanya. Mereka tadi mendengar teriakan-teriakan perkelahian yang keluar dari rumah perguruan Dadali Sakti itu. Biarpun mereka merasa heran dan ingin tahu, namun tak seorangpun berani masuk pekarangan itu. Mereka sudah mengenal kebengisan orang-orang Dadali Sakti. Aji tidak memperhatikan orang-orang itu. Dia lalu keluar dari Dermayu dan menuju ke pantai laut sebelah utara.

   Pondok di pesisir pantai Laut Utara itu tampak sepi. Ki Ageng Pasisiran memang memilih bagian pantai yang sepi, yang tidak pernah didatangi nelayan sehingga kakek yang usianya sudah delapan puluh lima tahun lebih itu dapat menikmati keheningan alam yang penuh damai. Pada siang hari itu, Ki Ageng Pasisiran yang dahulunya bernama Ki Tejo Langit, duduk bersila di atas sebuah dipan bambu dan di depannya duduk Ki Sudrajat yang berusia lima puluh tahun lebih. Ki Ageng pasisiran sebenarnya adalah Ki Tejo Langit, kakak seperguruan mendiang Ki Tejo Budi dan Ki Sudrajat adalah anak kandung Ki Tejo Budi yang sejak berusia empat tahun ditinggalkan ayah kandungnya dan hidup sebagai anak angkat Ki Tejo Langit.

   Mereka berdua duduk berhadapan tanpa bersuara. Ki Ageng Pasisiran yang sudah tua renta itu berulang-ulang menghela napas panjang dan beberapa kali dia menatap wajah Ki Sudrajat. Ki Sudrajat sejak tadi diam-diam memperhatikan keadaan ayah angkat yang juga uwanya dan gurunya itu, merasa bahwa orang tua itu sedang memikirkan sesuatu yang membuat hatinya gundah. Dan dia merasa pula betapa kakek itu ingin sekali bicara dengannya, akan tetapi agaknya ragu-ragu. Sejak pagi

   (Lanjut ke Jilid 20)

   Alap Alap laut Kidul (Seri ke 03 Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 20

   tadi keadaan Ki Ageng Pasisiran seperti itu. Akhirnya Ki Sudrajat tidak dapat menahan hatinya lagi dan dia berkata lembut dan hati-hati.

   "Bapa, sejak tadi saya melihat bapa seperti gelisah dan hendak mengatakan sesuatu kepada saya. Kenapa bapa meragu? Kalau ada sesuatu yang mengganjal hati bapa, katakanlah kepada saya, dan sebelumnya saya mohon ampun kalau sekiranya saya mempunyai kesalahan yang membuat bapa menjadi berduka."

   Mendengar ucapan Ki Sudrajat itu, Ki Ageng Pasisiran mengerutkan alisnya yang sudah putih semua.

   "Oohh, anakku Ajat! Betapa baiknya engkau, nak, betapa penuh pengertian, rendah hati dan penyabar, seperti ayah kandungmu. Mendiang ibu kandungmu juga seorang yang baik hati. Oh, kalau aku ingat semua, makin terasa olehku betapa hanya akulah orang yang amat jahat, hamba nafsuku sendiri yang tidak boleh diampuni.....

   "

   Ki Sudrajat menatap wajah ayah angkatnya dan dia merasa terkejut, juga heran melihat betapa sepasang mata tua itu basah! Ayah angkatnya, gurunya yang bijaksana itu, menangis dalam hatinya!

   "Aduh, bapa. Apakah yang bapa maksudkan dengan ucapan itu?"

   Setelah mengejap-ngejapkan mata beberapa kali sehingga dua tetes air mata turun di pipinya dan segera diusapnya, dan menghela napas panjang, dia berkata.

   "Ajat, terus terang saja selama bertahun-tahun ini, bahkan semenjak ibumu meninggal dunia dan aku pindah ke sini, setiap hari aku menderita tekanan batin yang berat sekali dan aku tidak ada keberanian untuk menceritakannya kepadamu. Padahal aku tahu bahwa pengakuan kepadamu sajalah yang akan mencairkan gumpalan yang menekan hatiku, akan tetapi aku ...... aku takut, Ajat, aku takut.....

   "

   "Ada apakah, bapa? Saya baru datang malam tadi. Apakah kedatangan saya ini yang mengganggu bapa? Atau..... barang kali anak saya Jatmika yang membuat bapa tidak senang?"

   Kakek itu menggeleng kepala dan menggoyang tangan kanan dengan cepat.

   "Sama sekali tidak. Aku bahkan girang melihat engkau datang. Juga Jatmika tidak melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan hatiku. Anak itu ingin merantau untuk meluaskan pengetahuan dan pengalaman. Hal itu baik sekali dan aku merestuinya. Tidak ada apa-apa dengan kalian. Kalian adalah anakku dan cucuku yang baik, tidak seperti aku......

   "

   "Bapa, bagi saya dan anak saya, bapa adalah seorang yang paling baik, bijaksana dan penuh kasih sayang kepada kami. Kami tidak tahu bagaimana dapat membalas semua budi kebaikan bapa tehadap kami."

   "Uh-uhh..... engkau tidak tahu, Ajat. engkau tidak tahu. Karena itu aku harus menceritakan semuanya kepadamu sebelum aku mati agar aku dapat minta ampun kepadamu. Juga kepada ibumu aku sudah minta ampun dan wanita bijaksana itu telah lama mengampuni aku. Akan tetapi kalau belum mendapatkan pengampunan darimu, aku tidak akan dapat mati dengan mata terpejam, anakku.....

   "

   Ki Sudrajat yang biasanya amat tenang itu, terkejut bukan main. Dia terbelalak memandang wajah ayah angkatnya yang baru sekarang dia lihat betapa wajah itu kini tampak tua sekali.

   "Bapa, mohon jangan berkata seperti itu!"

   Dia berkata setengah berteriak karena dia benar-benar tekejut mendengar ucapan Ki Ageng Pasisiran.

   Kakek itu tersenyum.

   "Duh Gusti! Ingin aku melihat sikapmu nanti setelah mendengarkan pengakuanku. Ajat, coba engkau ingat-ingat, apa yang masih dapat kau ingat tentang bapa kandungmu, Adimas Tejo Budi? Ceritakan sejujurmu."

   Ki Sudrajat merasa heran mengapa ayah angkatnya menanyakan hal itu, akan tetapi dia mengingat-ingat.

   "Saya tidak ingat banyak tentang Bapa Tejo Budi, bapa. Bahkan wajah beliaupun saya telah lupa. Yang saya tahu, seperti seringkali menjadi jawaban ibu dahulu kalau saya tanya, bapa Tejo Budi meninggalkan ibu dan saya, dan kami berdua lalu hidup bersama bapa."

   Kakek itu mengangguk angguk, menghela napas lagi.

   "Tahukah engkau mengapa Adimas tejo budi meninggalkan engkau dan ibumu?"

   Ki Sudrajat menggeleng kepalanya.

   "Mendiang ibu dahulu juga tidak pernah memberi penjelasan, hanya menggeleng kepala menyatakan tidak tahu kalau hal itu saya tanyakan. Akan tetapi, sekarang saya tidak ingin mengetahui hal yang sudah lama terjadi itu, bapa. Tidak perlu kiranya bapa ceritakan kalau hal itu hanya mendatangkan kesedihan bagi bapa."

   "Hemm, justeru aku harus menceritakan hal ini kepadamu sebelum aku mati, anakku, sebagai pengakuan dosaku kepada Gusti Allah dan juga kepadamu. Nah, dengarlah baik-baik, anakku Sudrajat."

   Sudrajat menundukkan mukanya dan mendengarkan penuh perhatian ketika Ki Ageng Pasisiran bercerita dengan suara lirih dan mengandung penuh penyesalan dan kedukaan. Dahulu, hampir lima puluh tahun yang lalu, ketika Ki Ageng pasisiran masih bernama Ki Tejo Langit dan dia berusia sekitar tiga puluh tahun, gagah perkasa dan terkenal sebagai seorang pendekar budiman, pada suatu hari berkunjung ke rumah adik seperguruannya, yaitu Ki Tejo Budi. Ki Tejo Budi bertempat tinggal di dusun Cihara yang berada di pantai Laut Kidul, sebelah barat sungai Cimandur. Ki Tejo Budi berusia tiga puluh tahun dan hidup sebagai petani dan nelayan, hidup bersama isterinya yang cantik bernama Lasmini dan seorang putera tunggalnya bernama Sudrajat yang ketika itu baru berusia empat tahun. Kunjungan Ki Tejo Langit disambut hangat oleh Ki Tejo Budi dan isterinya, Lasmini. Lasmini merasa kagum sekali akan kegagahan Ki Tejo Langit yang menceritakan tentang semua sepak terjang dan pengalamannya sebagai seorang pendekar.

   "Aku tinggal di rumah ayah dan ibumu dan merasa senang sekali. selain ayahmu amat baik kepadaku, juga ibumu melayani aku dengan manis budi. Dan tiga hari kemudian..... pada malam itu..... ahh, iblis telah menyusup masuk menguasai hatiku melalui nafsu birahiku sendiri..... membuat aku menjadi mata gelap..... dan..... dan terjadilah hubungan jina antara aku dan ibumu.....! Ah, kalau mengenang semua itu, betapa malu dan besar penyesalanku.....!"

   Suara kakek itu menggetar dan dia memejamkan kedua matanya.

   Sudrajat mengerutkan alisnya dan mukanya berubah kemerahan. Sejenak ia mengangkat muka memandang wajah bapa angkatnya dengan heran dan ada penyesalan membayang dalam sinar matanya. Akan tetapi melihat keadaan ayah angkat dan juga gurunya yang memejamkan mata, tampak demikian tua dan berduka, Ki Sudrajat menundukkan mukanya kembali.

   "Bapa, semua itu sudah lama berlalu.....

   "

   Katanya lirih, menghibur.

   "Aku berdosa, Ajat..... aku bersalah besar terhadap Adimas Tejo budi.....

   "

   "Akan tetapi, bapa. Bukan kesalahan bapa sendiri, akan tetapi..... mendiang ibu juga bersalah.....

   "

   "Tidak! Tidak, Ajat. Ibumu wanita yang bersih dan baik. Memang ia tertarik dan kagum kepadaku waktu itu, akan tetapi aku tahu bahwa sampai matipun ia tidak akan mengkhianati suaminya, tidak akan sudi menyeleweng dengan laki-laki lain. Ia tidak akan sudi berhubungan jina dengan aku kalau saja aku.... aku.... tidak mempergunakan Aji Pengasihan Sambung Sih.....! Nah, lega rasa hatiku sudah mengeluarkan ini semua kepadamu."

   Kakek itu membuka mata memandang Ki Sudrajat yang masih menundukkan mukanya.

   "Heii, engkau masih diam saja? Masih belum marah kepadaku? Nah, dengarlah kelanjutan ceritaku agar engkau mengetahui akan semua kerendahan budiku. Setelah hal itu terjadi, Adimas Tejo Budi mengetahui. Kami bertengkar dan terjadi perkelahian antara kami. Kami setingkat dan seimbang. Entah apa akan jadinya dengan perkelahian itu kalau tidak datang

   Kakangmas Tejo Wening yang melerai kami sehingga mendiang kakak seperguruan kami itu terluka. Kami didamaikan dan.... dan bapa kandungmu itu, Adimas Tejo Budi, mengalah, rela meninggalkan engkau dan ibumu, menyerahkan ibumu menjadi isteriku dan engkau menjadi anakku. Nah, sekarang engkau tahu betapa hina dan kotor bapa angkat dan gurumu ini, Ajat!"

   Kakek itu memandang kepada Ki Sudrajat yang masih duduk diam sambil menundukkan mukanya.

   "Hayo, Ajat, beri tanggapan! Katakan sesuatu, jangan diam saja!"

   Ki Sudrajat mengangkat mukanya. Dua pasang mata bertemu pandang.

   "Apa yang dapat saya katakan, bapa? semua itu sudah berlalu selama puluhan tahun."

   "Apa? Engkau tidak marah? Aku telah merusak pagar ayu, menghancurkan kebahagiaan ayah kandungmu dan engkau tidak marah? Engkau mau mengampuni dosaku?"

   "Saya tidak marah, bapa, karena saya melihat betapa selama ini bapa sangat baik terhadap mendiang ibu dan saya. Dan tentang pengampunan, saya kira saya tidak berhak, Hanya Gusti Allah saja yang berhak mengampuni semua dosanya dan sungguh-sungguh bertaubat. Bukankah demikian apa yang bapa ajarkan kepada saya selama ini?"

   "Aduh, Ajat.....

   "

   Kakek itu menangis.

   "Sikap dan kata-katamu menusuk-nusuk hatiku. Aku akan lebih senang dan lega kalau engkau bangkit dan membunuh aku untuk menebus dosaku. Aduh, Ajat.......!"

   Ki Sudrajat menjadi terharu. Dia bangkit dan menghampiri kakek itu.

   "Bapa tetap merupakan seorang ayah yang baik bagi saya.....

   "

   
Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"..... Ajat. mendekatlah biarkan aku merangkulmu.....!"

   Ajat atau Ki Sudrajat mendekat dan kakek itu lalu merangkulnaya. Mereka berangkulan.

   "Assalamu alaikum.....!"

   Kakek dan anak angkatnya itu saling melepaskan rangkulan dan menoleh ke arah pintu dari mana salam itu terdengar.

   "Alaikum salam.....!"

   Ki Sudrajat membalas salam itu dan bangkit lalu melangkah ke pintu depan, membuka pintu dan melihat seorang pemuda berdiri di depan pondok. Dia mengamati penuh perhatian. Pemuda itu masih muda, paling banyak dua puluh satu tahun usianya, sebaya dengan putera tunggalnya Jatmika. Akan tetapi pemuda ini bukan Jatmika biarpun sama tampan dan gagahnya. Pemuda yang jangkung tegap, berpakaian dan bersikap sederhana, sinar matanya lembut penuh pengertian. Pemuda itu adalah Lindu Aji. Melihat munculnya seorang pria setengah tua yang bertubuh sedang, sikapnya tenang dan sinar matanya tajam, Aji cepat membungkuk dengan hormat.

   "Mohon maaf sebanyaknya kalau kunjungan saya ini mengganggu, paman. Nama saya Lindu Aji dan saya ingin bertanya apakah benar pondok ini padepokan Ki Ageng Pasisiran?"

   Melihat sikap dan cara bicara Aji yang sopan, seketika Ki Sudrajat merasa suka dan tertarik.

   "Benar sekali, anakmas, ini memang padepokan Ki Ageng Pasisiran. Mengapa andika bertanya?"

   "Maaf, paman. Kalau sekiranya diperkenankan, saya ingin sekali menghadap beliau untuk membicarakan hal yang amat penting."

   Ki Sudrajat mengerutkan alisnya.

   "Maafkan aku, orang muda. Akan tetapi ketahuilah bahwa Ki Ageng K Pasisiran sudah amat sepuh (tua) dan kalau tidak ada hal yang teramat penting, sebaiknya beliau jangan diganggu. Maka, katakanlah dulu kepadaku apa yang hendak andika sampaikan kepada beliau agar dapat kupertimbangkan apakah hal itu cukup penting ataukah tidak."

   Ucapan Ki Sudrajat itu tentu saja mendatangkan rasa penasaran dalam hati Aji, walaupun ucapan itu dilakukan dengan lembut.

   "Maaf, paman. Akan tetapi, urusan ini hanya dapat saya sampaikan kepada Ki Ageng Pasisiran, bukan kepada orang lain."

   Ki Sudrajat tersenyum maklum.

   "Anak mas Lindu Aji, aku bukan orang lain bagi Ki Ageng Pasisiran karena aku adalah anaknya."

   Aji terkejut dan cepat memberi hormat.

   "Oh, maafkan saya, paman. Kalau paman putera beliau, tentu saja dapat saya beritahukan. Saya ingin menghadap Ki Ageng Pasisiran untuk membicarakan tentang Sulastri karena Sulastri pernah bercerita kepada saya bahwa ia adalah murid Ki Ageng Pasisiran."

   "Sulastri? Benar sekali, ia murid Bapa. Mari anakmas Lindu Aji, mari masuk dan kuantar menghadap Ki Ageng Pasisiran."

   Ki Sudrajat mempersilakan dengan sikap ramah.

   Mereka memasuki rumah dan langsung diajak masuk ruangan di mana Ki Ageng Pasisiran masih duduk bersila. Kakek itu telah dapat menguasai perasaannya dan kini duduk dengan sikap tenang, bersila di atas dipan seperti sebuah arca.

   Melihat kakek yang sudah tua renta itu, Aji lalu berlutut dan menyembah.

   "Eyang, mohon maafkan saya kalau kedatangan saya ini mengganggu eyang."

   "Bapa, orang muda ini bernama Lindu Aji dan dia mohon menghadap Bapa untuk menyampaikan berita tentang diri Sulastri."

   Ki Sudrajat melaporkan.

   Mendengar ini, wajah Ki Ageng pasisiran agak berseri dan dia segera berkata kepada Aji.

   "Anak mas Lindu Aji..... hemm, namamu sungguh bagus.....

   "

   "Saya biasa disebut Aji saja, kanjeng eyang."

   "Baiklah, Aji. Andika datang membawa kabar tentang Sulastri? Nah, ceritakan tentang muridku yang bengal itu."

   "Bagaimana andika dapat mengenal Sulastri, anakmas Aji?"

   Tanya pula Ki Sudrajat.

   "Begini ceritanya, kanjeng eyang dan kanjeng paman. Ketika itu saya membantu Ki Sumali dari Loano untuk menentang gerombolan Gagak Rodra. Ternyata gerombolan itu didukung oleh dua orang tokoh sesat yang sakti mandraguna, yaitu Aki Somad dari Nusakambangan dan Nyi Maya Dewi."

   "Ah, dua orang itu di mana-mana selalu mendatangkan kekacauan!"

   Seru Ki Sudrajat.

   "Nah, pada saat saya membantu Paman Sumali itu, muncullah Sulastri. dengan bantuan Sulastri yang ternyata keponakan dari Paman Sumali yang mengunjungi pamannya, akhirnya kami dapat mengalahkan dan mengusir para penjahat. Nimas Sulastri dapat mengalahkan Nyi Maya Dewi."

   "Bagus, anak Bengal itu dapat mengalahkan Nyi Maya Dewi!"

   Terdengar Ki Ageng Pasisiran memuji lirih, hatinya girang mendengar muridnya yang masih muda belia itu dapat mengalahkan wanita sesat yang terkenal itu.

   "Akan tetapi, Aji, mengapa kalian memusuhi Aki somad?"

   "Gerombolan itu ternyata menjadi antek Kumpeni Belanda, eyang."

   "Hemm, Aki Somad juga menjadi antek Belanda?"

   Ki Sudrajat mencela.

   "Dan andika sendiri, anakmas Aji. Kenapa andika mati-matian menentang para antek Kumpeni Belanda itu?"

   "Terus terang saja, kanjeng eyang dan kanjeng paman, saya mengemban dawuh (melaksanakan perintah) Gusti Sultan Agung di Mataram untuk membantu Mataram dan menyelidiki keadaan di daerah barat sampai ke Batavia."

   "Lhadhalah! Kiranya andika ini seorang senopati Mataram?"

   Seru Ki Sudrajat.

   Wajah Aji memerah.

   "Bukan, paman. Saya tidak menerima anugerah itu karena masih memiliki banyak tugas pribadi dan Gusti Sultan hanya memberi pusaka Kyai Nagawelang ini dan memberi tugas itu kepada saya."

   "Aji, bocah gagah, lalu bagaimana ceritanya dengan Sulastri?"

   Tanya Ki Ageng Pasisiran.

   "Saya berkenalan dengan Sulastri dan ketika saya hendak meninggalkan rumah Paman Sumali untuk melanjutkan perjalanan ke barat, Sulastri ikut. Iapun hendak pulang ke Dermayu. Dalam perjalanan, kami berdua bentrok dengan para antek Kumpeni Belanda, bahkan kami berdua sempat ditawan dan dibawa ke kapal milik Kumpeni Belanda. Akan tetapi kami berhasil meloloskan diri, Ketika kami tiba di Cirebon dan menghadap Gusti Pangeran Ratu untuk melaporkan tentang para antek kumpeni itu, Gusti Pangeran Ratu minta bantuan kami berdua untuk membasmi gerombolan pengacau pimpinan Munding Hideung yang bersarang di gunung Careme. Kami menerima tugas itu dan pergi ke Gunung Careme. Akan tetapi ...... justeru di sanalah..... terjadi musibah yang menimpa diri Sulastri.....

   "

   Kata Aji dengan nada sedih.

   "Apa yang terjadi dengan Sulastri?"

   Tanya Ki Ageng Pasisiran.

   "Ceritakanlah, apa yang telah terjadi, anakmas Aji?"

   Tanya pula Ki Sudrajat.

   Aji lalu menceritakan pengalamannya dengan Sulastri di lereng Gunung Careme itu, betapa Sulastri jatuh ke bawah tebing seperti yang telah dia ceritakan kepada Ki Subali dan isterinya. Juga dia menceritakan betapa dia sudah berusaha mencari, dibantu banyak anak buah Munding Hideung, namun tetap saja tidak dapat menemukan Sulastri yang hilang tanpa meninggalkan bekas, hanya menemukan pedang Naga Wilis yang kini sudah dia kembalikan kepada Ki Subali.

   Suasana menjadi sunyi setelah Aji mengakhiri ceritanya tentang musibah yang menimpa diri Sulastri. Kemudian Ki Ageng Pasisiran berkata dengan tenang.

   "Aku percaya bahwa Sulastri masih hidup. Tidak ditemukannya jenazah anak itu berarti bahwa ia masih hidup dan telah meninggalkan bawah tebing."

   "Anakmas Aji, kami mengucapkan terima kasih bahwa andika telah menyampaikan berita ini kepada kami,"

   Kata Ki Sudrajat.

   "Sebelum saya mohon diri, masih ada sebuah hal lagi yang membuat saya bertanya-tanya dan penasaran tentang diri Nimas Sulastri yang ingin saya tanyakan kepada eyang."

   "Apalagi yang ingin kau ketahui tentang Sulastri? Bukankah engkau sudah mengenalnya dengan baik?"

   Tanya Ki Sudrajat, mewakuli ayah angkatnya.

   "Begini, eyang. ketika berada di atas tebing, sebelum pundaknya terkena anak panah dan terjatuh ke bawah tebing, saya melihat Sulastri memukul Munding Bodas sehingga wakil ketua gerombolan iu terjatuh ke bawah tebing. Saya terkejut karena mengenal gaya pukulan itu, dan ketika saya menemukan jenazah Munding Bodas di bawah tebing, saya menjadi yakin melihat bekas telapak tangan menghitam di dada kepala gerombolan itu. Saya yakin bahwa Sulastri telah mempergunakan ilmu pukulan Aji Margopati!"

   "Andika mengenal aji Margopati, anakmas Aji?"

   Tanya Ki Sudrajat.

   "Tentu saja saya mengenalnya, kanjeng paman. Akan tetapi dari mana Sulastri mempelajarinya? Apakah selain kanjeng eyang masih ada lain guru yang mengajarkan aji kanuragan kepada Sulastri?"

   "Setahu kami tidak, bukankah begitu, bapa?"

   Tanya Ki sudrajat kepada Ki Ageng Pasisiran.

   "Memang tidak ada,"

   Kata Ki Ageng Pasisiran.

   "Kalau begitu, siapa yang mengajarkan Aji Margoapati?"

   Tanya Aji sambil memandang kedua orang tua itu.

   "Siapa lagi kalau bukan gurunya?"

   "Akan tetapi, bagaimana ini? Mana mungkin! Menurut mendiang guru saya, yang menguasai Aji Margopati hanya tiga orang saja, yaitu guru saya dan dua orang kakak seperguruannya!"

   Mendengar ini, Ki Ageng Pasisiran memandang aji dan bertanya dengan heran.

   "Katakanlah, siapa tiga orang yang menguasai Aji Margopati itu?"

   "Mereka adalah Ki Tejo Wening, ki Tejo Langit, dan Ki Tejo Budi."

   "Dan siapa gurumu itu?"

   Tanya pula Ki Ageng Pasisiran sambil menatap wajah Aji.

   "Guru saya adalah Eyang Guru Ki Tejo Budi."

   "Aduh Gusti.....!!"

   Seruan ini hampir berbareng keluar dari mulut Ki Ageng Pasisiran dan Ki Sudrajat dan mereka berdua bangkit dan berdiri di depan Aji.

   "Aji, katakanlah di mana gurumu itu sekarang?"

   Tanya Ki Sudrajat dan suaranya diliputi Ketegangan.

   "Eyang Guru Tejo Budi..... telah meninggal dunia beberapa bulan yang lalu."

   "Ya Allah.....!"

   Dua orang pria itu berseru dan Aji memandang terheran-heran ketika Ki Ageng Pasisiran terjatuh duduk di atas dipan kembali dan kakek itu menangis!

   "Kanjeng eyang dan kanjeng paman, apa artinya ini.....?"

   Aji bertanya.

   "Bapa dahulu bernama Ki Tejo Langit,"

   Kata Ki Sudrajat. Kini Aji yang terkejut. Sungguh sama sekali tidak disangkanya! Tanpa dicari, dia sudah berhadapan dengan Ki Tejo Langit. Dan orang setengah tua itu.

   "Kiranya eyang adalah Eyang Tejo Langit! Ah, betapa bahagia rasa hati saya dapat bertemu dengan eyang., Dan..... paman ini..... apakah Paman Sudrajat yang dipanggil Ajat?"

   Ki Sudrajat mengangguk.

   "Ah, sungguh saya merasa berbahagia sekali. Sebelum meninggal, eyang guru meninggalkan pesan kepada saya agar saya mencari Paman Sudrajat dan mengabarkan bahwa Eyang guru Tejo Budi telah meninggal dunia."

   "Eyang gurumu itu sudah menceritakan siapa aku?"

   Kata Ki Sudrajat. Aji mengangguk.

   "Apa saja yang dia ceritakan?"

   Tiba-tiba Ki Tejo Langit yang tadi menutupi muka dengan kedua tangannya, bertanya.

   "Mendiang eyang guru menceritakan bahwa puteranya bernama Sudrajat dan ikut dengan Eyang Tejo Langit,"

   Jawab Aji dengan hati-hati.

   "Benar, sejak Bapa Tejo Budi pergi, aku ikut Bapa Tejo Langit sebagai anak tirinya dan muridnya. Ibu kandungku juga sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu."

   "Ah, tahukah engkau anak mas Aji bahwa baru saja kami berdua membicarakan Adimas Tejo Budi pada saat engkau datang. Sungguh kebetulan sekali, akan tetapi juga..... sungguh membingungkan dan menyedihkan berita yang kau bawa."

   Kata Ki Tejo Langit.

   "Aku girang dapat bertemu denganmu Aji, akan tetapi juga bingung mendengar hilangnya Sulastri dan sedih mendengar tentang kematian ayah kandungku. Akan tetapi, engkau harus berdiam di sini dulu dan menceritakan kepada kami ini semua tentang mendiang ayah kandungku."

   Kata Ki Sudrajat, Mereka kini menjadi akrab sekali karena Aji dianggap sebagai keluarga sendiri.

   Aji diminta untuk menceritakan segala hal mengenai Ki Tejo Budi, dan dia menceritakan semua yang diketahui dan dialami selama Ki Tejo Budi tinggal bersama dia dan ibunya. Mendengar betapa Ki Tejo Budi hidup menyendiri dan terlunta-lunta, kedua orang itu mendengarkan dengan hati terharu sekali. Terutama sekali Ki Tejo Langit yang makin merasa betapa dia yang membuat kehidupan Ki Tejo Budi menjadi terlantar kesepian dan penuh kedukaan.

   Ketika hari menjelang senja dan Aji berpamit, Ki Sudrajat menahannya.

   "Jangan pergi dulu, Aji. Engkau adalah murid tersayang bapa kandungku, berarti engkau adalah warga kami sendiri. Tingggallah di sini malam ini. Masih banyak yang ingin kutanyakan kepadamu mengenai bapa kandungku."

   Ki Tejo Langit juga menahannya sehingga terpaksa Aji tinggal di pondok itu. Ketika senja datang dan cuaca mulai remang, ki Sydrajat menyalakan beberapa buah lampu gantung. Sebuah digantung di depan pintu menerangi bagian luar pondok, sebuah digantung di belakang dan sebuah lagi di ruangan tengah di mana mereka bertiga bercakap-cakap.

   Selagi mereka bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar teriakan yang nyaring sekali dari luar pondok.

   "Lindu Aji, keparat jahanam kamu! hayo keluar untuk menebus dosamu terhadap perguruan Dadali Sakti dengan menyerahkan nyawamu!"

   Aji segera dapat menduga bahwa yang datang itu tentulah Raden Banuseta, Ketua Perguruan Dadali Sakti. Pembunuh ayahnya! Tidak, dia tidak mau mengingat tentang pembunuhan itu. Raden Banuseta adalah seorang ketua perkumpulan yang terkenal jahat, suka bertindak sewenang-wenang, bahkan anak buahnya diperintah untuk merampas Sriyani, isteri Sumanta. Orang yang pantas untuk ditentang dan dibasminya. Maka dia segera bangkit dan hendak keluar."Aji, tunggu dulu! Mengapa perguruan Dadali Sakti memusuhimu?"

   Tanya Ki Sudrajat.

   "Belum saya ceritakan kepada paman. Tadi pagi saya mendatangi sarang mereka dan memberi hajaran kepada semua muridnya karena mereka hendak menganiaya seorang yang tidak berdosa dan hendak merampas isterinya. Sekarang, saya kira ketuanya, Raden Banuseta yang datang ke sini mencari saya. Biarkan saya keluar, paman."

   "Hemm, Raden Banuseta terkenal ganas dan suka sewenang-wenang. Biarkan aku yang menghadapinya karena dia berani datang membikin ribut di rumah kami. Aku memang belum lama tinggal di sini, akan tetapi aku sudah mendengar tentang kejahatannya!"

   "Lindu Aji, pengecut! Hayo keluar jangan bersembunyi di dalam seperti kura-kura. Kalau kamu tidak mau keluar, akan kubakar pondok ini untuk memaksamu keluar!"

   Terdengar lagi bentakan itu.

   "Paman Sudrajat, dia menantang saya, harap paman tidak mencampuri urusan antara saya dan dia."

   Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban, aji sudah melompat keluar dari pintu. dalam keremangan senja, Aji melihat bayangan dua orang di depan pondok.

   Seorang laki-laki tinggi kurus berpakaian bangsawan, berusia kurang lebih empat puluh tahun, menggantungkan sebatang golok bergagang emas di pinggangnya, berdiri di depan. Hatinya terguncang keras ketika dia mengenal orang itu. Dia bukan lain adalah pria bangsawan yang mempunyai hubungan akrab dengan Nyi Maya Dewi, pria yang ikut pula berkunjung ke kapal Kapten De Vos, pria yang tergila-gila kepada Sulastri dan bermaksud keji dan mesum terhadap gadis itu!

   "Kau..... kau..... Raden Banuseta?"

   Tanya Aji, hatinya dipenuhi keheranan.

   Pria ini tersenyum mengejek dan dia mencabut goloknya yang bergagang emas.

   Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Benar, akulah Raden Banuseta, ketua Dadali Sakti. Lindu Aji, tempo hari engkau berhasil lolos, akan tetapi sekarang tiba saatnya engkau membayar semua hutangmu! Engkau berani mengacau Dadali Sakti, sekarang bersiaplah untuk mampus!"

   Hati Aji bertambah panas. Raden Banuseta, yang telah membunuh ayah kandungnya, bukan hanya suka bertindak sewenang-wenang dan suka merusak pagar ayu merampas isteri dan anak orang, akan tetapi juga menjadi antek Kumpeni Belanda!

   "Hemm, kiranya engkau bukan hanya jahat sewenang-wenang, melainkan juga menjadi anjing peliharaan Kumpeni Belanda!"

   Bentak Aji marah dan pada saat itu dia memandang kepada pria yang berdiri di belakang Banuseta. Dia itu seorang pria berusia kurang lebih tiga puluh satu tahun, bertubuh tinggi tegap, sikapnya gagah. Dia juga tampak tenang, berdiri menyilangkan kedua lengan di depan dada dan sinar matanya yang tajam memandang wajah Aji. Juga Aji melihat bayangan mencurigakan dari beberapa orang yang tampaknya mengepung pondok itu dengan sembunyi-sembunyi. Dalam keremangan malam yang mulai tiba, dia melihat mereka itu memegang tongkat. Dimaki sebagai anjing peliharaan Kumpeni Belanda, Raden Banuseta menjadi marah bukan main.

   "Kamu anjing Mataram, mampuslah!"

   Dia melompat ke depan Aji dan menerjang dengan gerakan goloknya menyerang dahsyat. Golok itu mengeluarkan suara berdesing ketika menyambar dan tahulah Aji bahwa lawannya bukan orang lemah, melainkan memiliki tenaga yang kuat dan gerakan goloknya juga cepat sekali. Dia mengelak dengan tarikan kaki ke belakang dan mendoyongkan tubuh atas ke belakang sehingga golok yang membabat ke arah lehernya itu menyambar lewat di depannya. Namun, begitu bacokannya yang mengarah leher itu luput, Banuseta sudah membuat golok itu bergerak melingkar dan kini berubah menjadi serangan yang menusuk ke arah perut Aji.

   "Hyaaaahhhh.....!"

   Bentaknya, goloknya menjadi gulungan sinar yang berdesing.

   Akan tetapi Aji yang sudah waspada dan tidak memandang remeh lawannya, dengan gerakan ilmu silat Wanara Sakti, sudah dapat mengelak ke kiri dengan mudah. Dari sebelah kanan lawan kakinya mencuat dalam sebuah tendangan kilat ke arah pinggang kanan Banuseta. Akan tetapi ketua Dadali Sakti itu dapat pula membuang diri ke kiri sambil mengelebatkan goloknya untuk memotong kaki Aji yang menyambar lewat. Akan tetapi Aji sudah menarik kembali kakinya dan kini tangan kanannya menusul serangan kaki kiri tadi, menampar ke arah pelipis kiri lawan.

   Banuseta terkejut bukan main. Keika tiba di perguruan Dadali Sakti dan melihat para anggauta perguruan itu menderita cedera, semua dihajar oleh seorang pemuda yang mencarinya, juga menggagalkan usaha Wiratma, wakilnya untuk merampas Sriyani dari tangan Sumanta, dia marah sekali. Kemudian dia mendengar bahwa pemuda itu bernama Lindu Aji. teringatlah dia akan pemuda yang pernah menjadi tawanan Nyi Maya Dewi dan dia tahu bahwa pemuda itu memang sakti mandraguna. Maka, diapun membuat persiapan sebaiknya dan mendengar dari Wiratma bahwa musuhnya itu berada di pondok tempat tinggal Ki Ageng Pasisiran di pantai Laut Utara, dia membawa bala bantuannya menuju ke sana.

   Kini, biarpun dia sudah berhati-hati, dia melihat tamparang tangan kanan Aji ke arah pelipisnya, dia terkejut dan tidak sempat untuk mengelak atau menggunakan goloknya. maka dia lalu mengerahkan tenaga pada tangan kirinya dan menangkis dengan gerakan dari dalam keluar.

   "Wuuttt..... plakk!!"

   Raden Banuseta terhuyung ke belakang dan tentu akan jatuh terjengkang kalau tidak ada tangan yang kuat menangkap pangkal lengannya sehingga dia tidak sampai terjatuh. Yang melakukan itu adalah laki-laki tinggi tegap yang tadi berdiri di belakangnya.

   "Mundurlah, kakangmas Banuseta. Dia terlalu tangguh bagimu. Biar aku yang menandinginya!"

   Kata pria berusia tiga puluh satu tahun lebih itu. Gerakannya ringan sekali ketika dia melompat ke depan Aji.

   "Dimas, bunuhlah dia untukku!"

   Kata Raden Banuseta dan dia menyelinap ke belakang dan lenyap dalam kegelapan malam.

   Aji berhadapan dengan lawannya itu. Sejenak mereka saling tatap bagaikan dua ekor jago yang hendak berlaga. Tiba-tiba orang itu mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya bergerak cepat tangan kirinya terbuka dan mendorong ke arah dada Aji.

   "Eh.....!"

   Aji terkejut sekali dan cepat dia mengelak ke belakang karena dia mengenal gerakan orang itu. Jelas bahwa orang itu mempergunakan Aji Bayu Sakti ketika melompat dan bergerak sehingga tubuhnya menjadi ringan, dan pukulan yang dipergunakan Sulastri ketika merobohkan Munding Bodas, yaitu pukulan dengan Aji Margopati!

   Lawannya itu memiliki ilmu dari aliran yang sama dengan dia, walaupun dia sendiri tidak pernah dilatih Aji Margopati yang oleh mendiang Ki Tejo Budi dianggap terlalu ganas dan kejam. Karena serangannya yang pertama gagal dan dapat dielakkan Aji, orang tinggi tegap itu berseru marah dan tubuhnya berkelebat cepat menerjang ke depan dan kembali dia mengirim pukulan Aji Margopati, kini dalam jarak yang lebih dekat. Angin dahsyat menyambar ketika tangan kanan orang itu mendorong. Maklum bahwa pukulan dahsyat itu sukar dihindarkan dengan mengelak, Aji lalu mengerahkan tenaga Surya Chandra dan diapun mendorongkan tangan kananya untuk menyambut pukulan lawan itu.

   "Wuuuutttt..... desss.....!!"

   Hebat bukan main pertemuan dua tenaga sakti itu dan akibatnya, Aji terdorong ke belakang akan tetapi lawannya juga terdorong ke belakang!

   "Heh..... ???"

   Orang itu berseru heran dan memandang dengan mata terbelalak. Pada saat itu, sosok tubuh tua Ki Ageng Pasisiran muncul keluar dari pintu, bertopang pada tongkatnya.

   Ki Ageng Pasisiran atau yang dulu bernama ki tejo Langit memandang kepada lawan Aji itu dan di mengerutkan alisnya yang sudah putih lalu berseru dengan suara bernada penuh teguran.

   "Hei! Udin, apa yang kau lakukan ini..... ?"

   "Dar-dar-dar-dor-dorrr!"

   Pada saat itu, dari arah kanan kiri terdengar beberapa kali ledakan dan tampak muncratnya bunga api dan tubuh kakek tua renta itu tersentak ke kanan kiri lalu roboh terkulai mandi darah! Pelor-pelor itu menembus tubuhnya yang tidak siap. Kini muncul Ki Sudrajat. Dia memegang sebuah lampu gantung dengan tangan kanan, mengangkat lampu gantung itu ke atas untuk menyinari wajah lawan Aji yang masih berdiri tertegun.

   "Udin! Hasanudin! Engkau..... membantu kaki tangan Kumpeni..... ?"

   "Dar-dar-dar-dor-dorr.....!"

   Kembali terdengar letusan berkali-kali. Peluru bedil menyambar dari kanan kiri dan tampak bunga api berpijar-pijar. Lampu gantung di tangan Ki Sudrajat terkena tembakan dan padam seketika, kaca lampu itu hancur dan terlepas dari tangan Ki Sudrajat. Akan tetapi ada sesuatu yang aneh, yang membuat Ajimemandang dengan penuh kagum. Baju yang menutup dada Ki Sudrajat berlubang-lubang, hal ini dapat dilihat jelas karena ada sinar lampu gantung yang meneranginya. Akan tetapi tubuh itu tidak bergeming, agaknya tidak terluka dan sama sekali tidak roboh. Agaknya aji kekebalan Ki Sudrajat hebat sekali, mampu menahan peluru bedil dan ketika dia melangkah ke luar tadi agaknya dia sudah mempersiapkan diri dan mengerahkan aji kekebalannya sehingga dia tidak roboh oleh berondongan tembakan, tidak seperti Ki Ageng Pasisiran atau Ki Tejo Langit yang tidak sempat mempersiapkan diri karena heran dan terkejut melihat Udin tadi.

   Pada saat itu, di belakang Hasanudin yang masih tercengang itu muncul bayangan Raden Banuseta yang memegang sebuah senjata pistol. Dia membidik ke arah tubuh Ki sudrajat yang berdiri tegar didepan pintu.

   "Tarrr.....!!"

   Tiba-tiba muncul api menyusul ledakan ini dan tubuh Ki Sudrajat roboh terkulai!

   

   "Kenapa..... kenapa andika membunuh mereka..... ?"

   Hasanudin berseru, dalam suaranya terkandung penyesalan. Tubuhnya berkelebat dan dia sudah menghilang dalam kegelapan malam.

   Aji juga tertegun, bukan hanya melihat robohnya Ki Tejo Langit dan Ki Sudrajat, melainkan juga mendengar Ki Tejo Langit menyebut nama Udin, bahkan Ki Sudrajat menyebut nama Hasanudin! Itu adalah nama kakak tirinya yang dulu ditinggalkan Harun, ayahnya, di Galuh! Hasanudin putera Harun itu kini malah membantu Raden Banuseta, pembunuh ayahnya sendiri! Dan karena Raden Banuseta ini antek Kumpeni Balanda, berarti bahwa Hasanudin atau Udin itu juga membantu Kumpeni Belanda!

   "Tarr.....!"

   Pistol di tangan Raden Banuseta meledak lagi. Tanpa disadarinya sendiri, tubuh Aji menjerembab ke atas tanah, lalu bergulingan, tangannya menyambar sepotong batu dan sekali tangan itu bergerak menyambit, terdengar suara nyaring dan lampu gantung itu pecah sehingga menjadi gelap pekat. Raden Banuseta menjadi jerih menghadapi Aji dalam kegelapan. Dia tahu betapa sakti dan berbahayanya pemuda itu. Apalagi kini Hasanudin yang ia andalkan sudah lebih dulu melarikan diri bersama dua belas orang perajurit Kumpeni, meninggalkan tempat itu.

   Setelah merasa yakin bahwa para penyerbu itu telah melarikan diri meninggalkan tempat itu dan bahaya telah lewat, Aji cepat memasuki pondok, membawa keluar sebuah lampu dan digantungkan di luar. Kemudian dia memondong tubuh Ki Tejo Langit dan Ki Sudrajat, dibawanya masuk ke dalam pondok dan merebahkan mereka di atas pembaringan. Ki Tejo Langit yang tubuhnya disambar lima kali tembakan itu ternyata telah tewas. Akan tetapi Ki Sudrajat belum tewas walaupun dadanya ditembusi sebutir peluru. Aji merasa heran sekali. Tadi dia melihat sendiri betapa berondongan peluru hanya merobaek baju orang sakti ini, akan tetapi mengapa tembakan terakhir itu, hanya satu kali saja, telah merobohkannya.

   "Bagaimana keadaanmu, paman?"

   Tanya Aji ketika melihat Ki Sudrajat bergerak dan mengeluh panjang.

   "Aku..... terluka parah..... jahanam itu.....

   "

   "Akan tetapi saya melihat tadi berondongan peluru tidak melukai paman, bagaimana tembakan yang satu kali ini...... ?"

   Ki Sudrajat menggerakkan tangan mendekap dadanya.

   "Peluru perak..... Kumpeni menggunakan..... Peluru-peluru perak..... dan emas.....untuk melumpuhkan kekebalan kita...... Andika dengar baik-baik, Aji..... Si Udin itu..... Hasanudin..... agaknya dia..... tersesat..... terbujuk menjadi kaki tangan Kumpeni Belanda..... aku pesan kepadamu..... anakku..... Jatmika..... kalau bertemu dengan dia..... kau bantulah dia.....

   "

   Ki Sudrajat terkulai lemas.

   "Baik, paman. Akan saya perhatikan dan penuhi pesan paman,"

   Kata Aji, akan tetapi dia meraba dan memeriksa, ternyata Ki Sudrajat telah menghembuskan napas terakhir, agaknya dia tewas pada saat mengucapkan kata terakhir itu.

   Semalam suntuk Aji tidak tidur, melainkan duduk bersila di dekat jenazah Ki Tejo Langit dan Ki Sudrajat. Dia mengenang mendiang gurunya, Ki Tejo Budi dan merasa sedih bahwa pada saat dia berhasil bertemu dengan putera kandung gurunya itu, ialah Ki Sudrajat, orang itu tewas di depan matanya. Yang lebih membuatnya prihatin lagi adalah melihat kenyataan betapa kakak tirinya, ternyata telah tersesat, tidak saja membantu musuh besar pembunuh ayah kandung sendiri, bahkan mau menjadi antek Kumpeni Belanda! Pedih hatinya mengingat untuk menemui dan menyadarkan kakak tirinya itu.

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Aji sudah menggali lubang kuburan di belakang pondok. Digalinya dua buah lubang dan dia lalu menguburkan dua buah jenazah itu dengan penuh khidmat. Dia merasa terharu sekali. Dua orang yang dihormatinya itu tewas menjadi korban tembakan senapan para antek Kumpeni Belanda. Mereka tewas tanpa ada yang melayat dan hanya dia seorang yang menguburkan mereka dalam keadaan yang sunyi, tanpa kehadiran seorangpun manusia lain.

   Mereka merupakan sepasang orang muda yang serasi. Yang pria berusia kurang lebih dua puluh tahun, berwajah tampan bersikap gagah. Alis matanya hitm tebal melindungi sepasang mata yang mencorong, hidungnya mancung dan mulutnya berbentuk manis dan membayangkan kegagahan, apa lagi dengan adanya setitik tahi lalat di dagu, menambah kejantanannya. Tubuhnya sedang dengan dada bidang, pakaiannya sederhana bersih dan rapi. Sebatang keris bergagang kayu cendana hitam terselip dipinggangnya. Adapun yang wanita berusia kurang lebih sembilan belas tahun, berwajah cantik jelita. Mata dan mulutnya amat indah.

   Sikapnya gagah perkasa sehingga ia merupakan seorang gadis yang memiliki wibawa dan membuat orang merasa segan untuk sembarangan menggoda. Langkahnyapun membayangkan ketangkasan, tidak lemah seperti wanita kebanyakan. Mereka adalah Jatmika dan Eulis. Siang hari itu panasnya terik sekali. Dua orang yang telah melakukan pejalanan sejak pagi itu tampak berkeringat.

   "Uhh, panasnya.....

   "

   Eulis mengeluh sambil mengusap keringat yang membasahi dahu dan

   lehernya yang berkulit putih mulus.

   Jatmika berhenti melangkah dan menudingkan telunjuknya ke arah kanan jalan di mana terdapat sebuah gubuk yang berdiri di tengah sawah. Mereka telah tiba di kaki Gunung Careme di daerah persawahan yang luas dan tidak terdapat tempat yang cukup teduh untuk berlindung dari sengatan matahari. Eulis mengangguk dan keduanya lalu berjalan menuju ke gubuk itu. Nyaman memang duduk di dalam gubuk yang terlindung atap itu. Selain dapat berlindung dari panasnya sinar matahari, juga di tempat terbuka itu berhembus angin semilir yang mengipasi tubuh mereka. Mereka duduk dan menghapus keringat. Semilir angin mendatangkan rasa nyaman dan merekapun duduk dengan nikmat dan mengantuk.

   "Nyaman sekali di sini."

   Kata Jatmika.

   "Ya, enak sekali."

   Kata Eul;is sambil tersenyum.

   Jatmika memandang gadis itu dan seperti sejak pertemuan pertama, setiap kali memandang wajah gadis itu, dia terpesona. Alangkah cantiknya, alangkah manisnya. bentuk tubuh itu demikian indah menggairahkan, kulit yang tampak di wajah, leher, tangan dan kaki sebetis itu demikian putih mulus.

   Diam-diam dia masih merasa heran dan bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan sebetulnya gadis ini. Jelas bukan gadis sembarangan dan ang amat mengganggu pikirannya adalah ketika dia melihat Eulis mengamuk dileroyok gerombolan di gunung Careme tadi. Dia melihat dengan jelas gerakan gadis itu yang membuat dia terheran-heran. Gerakan ilmu silat gadis itu dikenalnya benar karena gerakan silat itu sama dengan semua ilmu silat yang dia kuasai! Dia mengenal Aji Margopati, bahkan mengenal Aji Sunya Hasta dan Guruh Bumi.

   Bagaimana mungkin itu? Yang menguasai semua aji-aji itu hanyalah ayahnya, Ki Sudrajat, lalu eyang gurunya, Ki Tejo Langit yang kini berjuluk Ki Ageng Pasisiran. Juga paman gurunya, Hasanudin. Akan tetapi dia teringat akan cerita ayahnya. Selain kakek gurunya, masih ada saudara-saudara seperguruan eyang gurunya, yang bernama Ki Tejo Wening dan Ki Tejo Budi. Bahkan yang bernama Ki Tejo Budi adalah kakek kandungnya yang sebenarnya, karena Ki tejo Langit itu hanyalah kakek angkatnya, Keterangan itu dia dapatkan dari ayahnya ketika dia hendak meninggalkan pantai Dermayu untuk pergi merantau.

   Dia tidak tahu di mana adanya Ki Tejo Wening dan Ki Tejo Budi sekarang, tidak tahu apakah mereka berdua itu masih hidup ataukan sudah mati. Kini, bertemu dengan Eulis, gadis yang kehilangan ingatannya itu, melihat gadis itu ada hubungan dengan seorang di antara kedua kakek itu! Sana sekali dia tidak pernah mimpi bahwa gadis itu sesungguhnya adalah murid dari Ki Tejo Langit sendiri. Kakek itu tidak menceritakan tentang gadis ini kepadanya ketika dia berada di pantai Dermayu.

   

Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini