Kemelut Blambangan 20
Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 20
Sekitar seratus orang perajurit yang mendapat giliran tugas berjaga pada malam itu berjalan hilir mudik melakukan penjagaan di sekitar benteng merasakan kedinginan itu. Juga malam yang sunyi itu terasa lain daripada malam yang lain. Mungkin karena banyaknya orang yang tewas dan terluka dalam pertempuran selama beberapa hari ini mendatangkan suasana yang menyeramkan. Ditambah lagi bau amis darah yang banyak tertumpah membasahi bumi. Burung-burung malam yang terbang lewat mengeluarkan bunyi seolah meratapi mereka yang tewas.
Kutu-kutu walang atogo, segala macam jangkerik, belalang dan lain-lain agaknya merasa ngeri menyaksikan kekejaman manusia yang saling bantai, saling bunuh tanpa alasan pribadi, hanya sekadar menaati perintah atasan. Seolah merasa ngeri dan takut, semua serangga yang biasanya setiap malam berdendang ria itu, kini diam sehingga suasana menjadi sunyi, sunyi yang mencekam dan menimbulkan perasaan ngeri dalam hati para penjaga. Angin malam berhembus perlahan, semilir membangkitkan bulu di lengan dan tengkuk.
"Kulik! Kulik! Uhu.... uhu.... uhuuu....!"
Kelepak yang terdengar menunjukkan bahwa ada beberapa ekor burung malam terbang lalu smbil mengeluarkan suaranya yang menambah keseraman suasana.
Tiba-tiba datang angin bertiup kuat. Angin yang tadinya hanya semilir lembut, tiba-tiba menjadi kuat dan berpusing. Udara yang tadinya diterangi bulan sepotong tiba-tiba menjdi gelap dan ada awan atau asap hitam bergulung-gulung melayang ke dalam benteng. Kemudian, tiba-tiba terdengar kelepak banyak kelelawar dengan suaranya yang bercicit nyaring. Mereka yang berjaga di atas tembok benteng dan di gardu-gardu tempat penjagaan, terkejut karena tiba-tiba ratusan kelelawar menyambar-nyambar ke arah mereka sambil bercuitan nyaring!
Pada saat itu, di bagian bawah, para perajurit jaga juga terkejut dan merasa ngeri karena ada ratusan ekor ular menyerbu ke dalam benteng. Binatang- binatang itu mendesis-desis dan tercium bau amis! Dari sinar lampu-lampu gantung, dapat dilihat ular- ular itu sehingga para perajurit terkejut dan berlompatan. Dalam keadaan panik itu, terdengar suara auman singa yang menggetarkan seluruh benteng.
Dua bayangan manusia berkelebat dari dalam. Mereka adalah Parmadi dan Muryani yang sudah mendengar akan penyerangan aneh yang membuat para perajurit yang bertugas jaga menjadi panik ketakutan itu. Begitu keluar dari istana kadipaten di mana mereka mondok memenuhi permintaan Sang Adipati, suami isteri itu segera mengerti bahwa ada orang-orang ahli sihir mengadakan serangan melalui ilmu hitam ke arah para perajurit yang sedang bertugas jaga. Hal ini berbahaya sekali, maka keduanya segera berlompatan dan berlari cepat menuju ke pintu gerbang.
Begitu tiba di situ dan melihat ratusan kelelawar beterbangan menyambar-nyambar dan ratusan ekor ular mendesis-desis membuat para perajurit ketakutan, dan melihat pula awan gelap menyelimuti tempat itu disertai angin lesus (angin berpusing) dan mendengar auman singa, Parmadi cepat berkata kepada isterinya.
"Diajeng, usir kelelawar dan ular-ular itu. Aku akan mengusir awan, angin, dan suara itu!"
Muryani mengangguk dan tubuhnya berkelebat cepat ketika ia mengerahkan Aji Kluwung Sakti. Bagaikan seekor burung garuda ia menyambar- nyambar, didahului gulungan sinar pedangnya, mengamuk dan membacoki ular-ular yang menyerang dari bawah, juga kelelawar-kelelawar yang menyambar-nyambar dari atas.
Parmadi naik ke atas menara yang dibangun di atas tembok benteng. Para perajurit yang tadinya berjaga di situ sudah lari turun semua sehingga menara itu kosong. Dari tempat yang tinggi itu dia melihat jauh ke depan dan di dekat perkemahan pihak musuh dia melihat empat orang sedang duduk bersila dan dari empat orang itulah datangnya serangan sihir yang dahsyat itu.
Memang penyerangan itu sengaja dilakukan sebagai siasat Blambangan untuk mengacaukan para penjaga benteng Pasuruan. Kalau para perajurit yang menjaga benteng sudah kacau dan panik, malam itu juga mereka akan menyerbu! Yang mengirim ratusan ular itu adalah Ki Kaladhama dan pencipta kelelawar jadi-jadian itu adalah Ki Kalajana, dua orang murid Bhagawan Kalasrenggi. Bhagawan Kalasrenggi sendiri menyerang dengan ilmu sihirnya yang menyebabkan awan gelap dan angin lesus, sedangkan suara auman singa yang menggetarkan jantung itu adalah Aji Singabairawa yang dikeluarkan Tejakasmala.
Tiba-tiba terdengar suara seruling yang melengking-lengking, suara lembut namun mengandung getaran yang dapat menembus hawa sihir yang dahsyat kaena tenaga empat orang disatukan untuk menyerang. Begitu terdengar alunan suara seriling yang melengking-lengking, serangan sihir itu semakin menghebat! Agaknya empat orang itu yang merasa ada kekuatan hebat menentang, memperkuat serangan mereka. Awan gelap semakin melebar dan menekan, angin lesus bergemuruh, dan auman singa itu semakin menggelegar.
Namun, makin lama suara seruling semakin nyaring dan perlahan-lahan awan hitam membuyar, angin lesus menyurut dan auman singa melemah. Juga ratusan kelelawar dan ular yang sudah dibuat kocar- kacir oleh amukan Muryani, kini surut. Yang terkena sambaran pedang lenyap menghilang dan kini sisanya melarikan diri. Tak lama kemudian suasana malam menjadi sunyi kembali dan dari atas menara, Parmadi melihat empat bayangan itu lenyap di antara perkemahan musuh.
"Sudah selesai, Kakangmas?"
Muryani yang menusul ke atas menara bertanya.
"Puji sukur kepada Gusti Allah, semua telah dapat diatasi, Diajeng. Mari kita beritahu para perajurit jaga agar mereka tenang kembali dan tidak takut."
Keduanya turun dari menara dan ternyata di bawah sudah berkumpul Senopati Aryo dan para senopati Pasuruan lainnya. Ketika tadi mereka mendengar laporan tentang serangan aneh itu, mereka berdatangan dan sempat mendengar suara suling yang menolak pengaruh sihir itu, juga melihat betapa Muryani mengusir ratusan kelelawar dan ular jadi- jadian.
"Ah, untung ada Anakmas Parmadi dan Mas Ajeng Muryani yang telah dapat menolak serangan itu!"
Kata Senopati Aryo memuji. Juga para senopati memandang kagum suami isteri itu.
"Paman Senopati, penyerangan itu dapat menjadi tanda bahwa mereka tentu akan melakukan serangan besar-besaran dan lebih dulu mereka hendak menimbulkan rasa takut kepada para perajurit. Keadaan sudah berbahaya sekali. Kita menunggu bala bantuan belum juga datang, sedangkan ransum sudah menipis dan semangat para perajurit mnurun, terbukti tadi ketika terjadi serangan sihir mereka semua menjadi panik dan lari meninggalkan penjagaan mereka."
"Hemm, keadaannya memang demikian, Anakmas Parmadi. Karena itu, mulai malam ini penjagaan harus diperketat dan para perwira tidak boleh lengah. Harus secara bergilir melakukan pengawasan terhadap pasukan yang bertugas jaga."
Kata Senopati Aryo.
"Kami tahu bahwa pihak musuh mempunyai banyak ahli sihir dan orang-orang yang sakti mandraguna dan pandai mempergunakan ilmu hitam. Kalau saja para pendekar sakti yang setia Mataram dapat berkumpul di sini, pasti kita dapat menanggulangi kekuatan musuh."
Kata Muryani yang teringat akan tokoh-tokoh yang dikenalnya dengan baik seperti Ki Tejomanik berdua Retno Susilo, Bagus Sajiwo, Lindu Aji berdua Sulastri, dan masih banyak lagi.
"Sebetulnya di sini terdapat seorang yang sakti mandraguna yang dapat memperkuat daya pertahanan kita."
Kata Senopati Aryo.
"Siapa dia, Paman Senopati?"
Tanya Parmadi.
"Siapa lagi kalau bukan Raden Wangsakartika...."
"Ah, dia....?"
Parmadi dan Muryani berseru lirih dan kecewa. Mereka berdua mengenal siapa yang dimaksudkan Senopati Aryo. Sejak kurang lebih setahun yang lalu, Raden Wangsakartika dibuang oleh Kerajaan Mataram karena laki-laki ini membuat banyak keonaran di Mataram. Dia dikenal sebagai seorang laki-laki yang menjadi hamba nafsu- nafsunya, bergaul dengan orang-orang sesat, mengejar kesenangan dengan berjudi, melacur, dan suka mabuk-mabukan. Juga dia suka mencari keonaran dan kerana dia memang sakti mandraguna, tidak ada yang berani menentangnya. Memang dia belum dapat dibilang seorang penjahat, akan tetapi wataknya sungguh buruk dan suka mencari perkara.
Kalau sudah mabuk pun dia amat sukar diatur, mengambil milik siapa saja kalau dia membutuhkan sesuatu. hanya karena dia putera mendiang Pangeran Pringgalaya yang sudah banyak jasanya kepada Mataram, maka dia tidak dihukum oleh Sultan Agung, hanya dibuang atau diasingkan ke Pasuruan dengan harapan dia akan mengubah wataknya yang buruk. Akan tetapi di Pasuruan dia masih tetap menjadi seorang pemabukan, penjudi, gila perempuan dan bergaul dengan orang-orang yang sesat dan tidak karuan. Tentu saja Parmadi dan Muryani tidak suka berkenalan dengan orang seperi itu, walaupun Raden Wangsakartika itu putera mendiang Pangeran Pringgalaya yang terkenal gagah perkasa dan berjasa besar bagi Mataram.
Ketika pasukan Blambangan dan sekutunya mengepung Kadipaten Pasuruan, Raden Wangsakartika juga tidak memperlihatkan diri. Dia tidak peduli dan tetap bersenang-senang, berjudi, mabuk-mabukan dan pelesir.
Apa yang dikhawatirkan Parmadi dan Muryani akhirnya terjadi. Pada suatu hari, saat fajar menyingsing, pasukan gabungan Blambangan menyerbu. Biarpun Senopati Aryo sudah siap siaga dan pasukannya melakukan perlawanan mati-matian, namun karena jumlah perajurit Blambangan jauh lebih besar, ditambah lagi semangat para perajurit Pasuruan yang menanti-nanti bala bantuan yang belum datang juga itu menjadi menurun dan lemah, maka setelah pertempuran yang hebat, akhirnya benteng itu dapat dibobol dan pasukan Blambangan menyerbu masuk kota kadipaten!
Parmadi dan Muryani tadinya mempertahankan benteng. Akan tetapi pihak musuh terlampau kuat sehingga akhirnya suami isteri ini mengerahkan tenaga mereka untuk melindungi Sang Adipati sekeluarga yang melarikan diri mengungsi lewat bagian belakang kota kadipaten. Juga bersama rombongan Sang Adipati, sisa pasukan mundur dan keluar dari Kadipaten Pasuruan, bersama sebagian besar rakyat yang lari megungsi berbondong- bondong.
Para perajurit Blambangan dengan sekutu mereka dari bali dan Madura, mabuk kemenangan. Mereka menjarah rayah (merampok) kota Kadipaten Pasuruan, membunuh dan memperkosa wanita, kekejaman yang selalu dilakukan oleh mereka yang menang perang.
Orang yang berlari paling akhir adalah Parmadi dan Muryani setelah mereka berdua berhasil mengawal Sang Adipati keluar dari kota. Mereka masih sempat melihat kekejaman yang terjadi di kota Kadipaten Pasuruan. Tentu saja hati mereka terasa sakit dan sedih, akan tetapi mereka yang hanya berdua tidak mungkin dapat melawan ribuan orang perajurit gabungan Blambangan yang berpesta pora mabuk kemenangan itu.
Pasukan Blambangan tidak melakukan pengejaran. Mereka lebih mementingkan penyusunan kekuatan di Pasuruan karena musuh utama mereka adalah Pasukan Mataram yang tentu akan datang melakukan pembalasan.
Adipati Pasuruan bersama pasukannya yang masih bersisa kurang lebih empat ribu orang, sebagian ada yang melarikan diri meninggalkan induk pasukannya, juga diikuti banyak penduduk Pauruan yang melarikan diri, tiba di Wonokitri, sebuah perbukitan. Senopati Aryo memerintahkan pasukan membuat perkemahan darurat di tempat itu.
Dari para perajurit bagian penyelidik Sang Adipati mendapat keterangan bahwa setelah berhasil meloloskan diri dari kota Pasuruan yang telah diserbu dan diduduki pasukan Blambangan, ada beberapa orang perajurit yang bergegas menunggang kuda menuju ke Mataram untuk melaporkan keadaan dan minta bantuan. Maka diharapkan bala bantuan akan segera datang.
Pada suatu hari Parmadi dan Muryani berjalan- jalan di tempat daerah perbukitan Wonokitri yang dijadikan tempat perkemahan darrat, untuk meneliti kalau-kalau ada puhak musuh yang menyusup dan membikin kacau. hati mereka trenyuh (sedih terharu) melihat penduduk yang ikut lari mengungsi membawa keluarga dan anak-anak yang masih kecil, dalam keadaan sengsara karena yang dapat mereka bawa hanyalah benda-benda milik mereka yang kecil, dan sedikit pakaian. Wajah mereka sedih dan seperti kehilangan harapan.
Tiba-tiba, di bawah sebatang pohon Randu dekat serumpun bambu, mereka melihat seorang laki- laki sedang duduk bersandar batang pohon randu. Kedua lengannya memeluk lutut dan mukanya disembunyikan di antara kedua lutut yang diangkat dan pundaknya bergoyang-goyang. Laki-laki itu menangis! Menangis tanpa suara. suami isteri itu merasa heran. Laki-laki itu bukan perajurit, dan melihat pakaiannya yang cukup bagus, tentu dia bukan seorang peduduk yang miskin. Tubuhnya tinggi besar, sebagian rambutnya sudah berwarna putih. Lengan yang merangkul kedua pundak itu pun besar berotot dan lehernya serta pundaknya kekar.
Parmadi dan Muryani saling pandang. Parmadi mengangkat pundak dan karena merasa tidak enak untuk menganggu orang yang tidak mereka kenal dan tidak pula mereka ketahui mengapa ada laki-laki yang tampak gagah itu menangis seorang diri di situ, mereka berdua hendak pergi meninggalkannya. Akan tetapi baru belasan langkah mereka berjalan pergi, tiba-tiba di belakang mereka terdengar suara teriakan melengking yang menggetarkan jantung.
"Terkutuk....! Orang-orang Balmbangan terkutuk....!!"
Parmadi dan Muryani memutar tubuh dan mereka melihat orang tadi kini telah bangkit berdiri. Mereka segera mengenal bahwa orang itu adalah Raden Wangsakartika yang walaupun tidak mereka kenal namun pernah mereka lihat. Laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun itu berdiri tegak dan wajahnya yang gagah berkumis lebat itu menyeramkan sekali. Matanya merah melotot memandang ke arah pohon randu di depannya.
"Keparat, jahanam terkutuk kamu!"
Tiba-tiba orang itu berteriak lantang dan tangan kanannya menymabr ke depan. memukul ke arah batang pohon randu yang besarnya sepelukan orang.
"Wess.... kraaakkkk....!"
Pohon randu yang tinggi dan besar itu patah dan tumbang, menimbulkan suara berisik!
Aneh, setelah merobohkan pohon. Raden Wangsakartika menjatuhkan diri di atas tanah lalu menangis lagi dengan sedihnya. Kini dengan suara yang mengeluh penuh kesedihan, penasaran dan kemarahan.
Parmadi dan Muryani merasa iba. Parmadi lalu memberi isarat kepada isterinya dan mereka lalu menghampiri laki-laki yang masih menangis itu. mereka berdiri dalam jarak dua tombak akan tetapi tidak mau mengganggu orang yang sedang menangis itu. Agaknya Raden Wangsakartika, masih belum kehilangan kepekaannya, karena dia merasakan kehadiran suami isteri itu lalu tiba-tiba dia menghentikan tangisnya dan ketika melihat mereka dia lalu bangkit betdiri, gerakannya gesit.
"Mau apa kalian? pergi, jangan ganggu aku!"
Setelah berkata demikian, orang tinggi besar itu mendorongkan tangan kanannya ke arah suami isteri itu. Dia tidak bermaksud membunuh, akan tetapi karena dorongan tangannya mengandung hawa sakti yang amat kuat, maka orang biasa yang terkena angin dorongan ini tentu akan terlempar dan terjengkang!
Melihat orang itu mendorong dan ada angin dorongan yang kuat, Parmadi dan Muryani mengerahkan tenaga dan angin dorongan itu lewat saja, sedikit pun tidak membuat mereka bergoyang, seperti angin melewati dua bongkah batu karang yang kokoh.
Raden Wangsakartika terbelalak, lalu mengerutkan alisnya.
"Hemm, siapakah Andika berdua?"
"Raden Wangsakartika, saya bernama Parmadi dan ini Nyi Muryani, Isteri saya."
"Hemm. jadi Andika yang berjuluk Si Seruling Gading? Percuma saja nama Andika yang tersohor. Ternyata tidak mampu membela Pasuruan dari serangan para jahanam Blambangan!"
Katanya dengan suara mengandung penasaran dan kemarahan. Parmadi tidak menjadi marah, bahkan tersenyum. Dia sudah mendengar bahwa orang ini memiliki watak yang butuk dan kasar.
"Raden Wangsakartika, pihak Blambangan memiliki pasukan yang jauh lebih besar jumlahnya dibandingkan pasukan Pasuruan dan mereka pun dipimpin banyak orang yang sakti mandraguna. Kami semua telah melawan mati-matian untuk mempertahankan Pasuruan, namun kami kalah kuat sehingga Pasuruan diserbu dan diduduki musuh. Akan tetapi, kalau kami semua mati-matian membela Pasuruan, mengapa Andika yang memiliki kepandaian sama sekali tidak membantu melawan musuh? Mengapa kini Andika hanya menangisi kekalahan Pasuruan? Apa gunanya keluh kesah dan tangisan Andika? Bukan randu alas itu yang seharusnya Andika robohkan, melainkan orang-orang Blambangan."
Raden Wangsakartika mengerutkan alisnya.
"Huh, kalian tidak tahu bisanya hanya mencela! Aku tidak takut mati dan aku berani mengorbankan diri untuk membela Mataram dan Pasuruan. Akan tetapi Andika tahu siapa aku? Aku ini orang buangan! Orang yang tidak berguna dan sudah diusir dari Mataram, tidak dipercaya lagi dan tinggal di Pasuruan sebagai orang buangan! Aku sudah dianggap orang rendah, orang kotor, penjahat tidak ada gunanya. Aku tidak berhak lagi untuk membela Mataram!"
Kata- katanya mengandung keprihatinan yang mendalam.
Permadi merasa iba. Orang ini sebetulnya bukan orang jahat. Mungkin agak lemah terhadap tekanan nafsunya sendiri. juga mungkin saja sebagai putera pangeran, dahlu ketika kecil terlalu dimanja sehingga apa pun yang dikehendakinya harus terlaksana. setelah dibuang oleh Kerajaan mataram, mungkin dia menjadi putus asa dan nekat, setengah sengaja melanjutkan kehidupannya yang hanya bersenang-senang untuk menutupi kekecewaannya yang mendalam.
"Raden Wangsakartika, sudah lama kami mendengar akan nama besar mendiang Pangeran Pringgalaya sebagai seorang priyagung (bangsawan agung) yang gagah perkasa dan setia kepada Mataram. Mungkin karena Andika terlalu mengejar kesenangan dunia, maka Andika mendatangkan kemarahan kepada Gusti Sultan dan menerima hukuman. Akan tetapi, saya kira sekarang ini saatnya bagi Andika untuk mencuci bersih nama dan kehormatan keluarga ayahanda Andika yang ternoda oleh perbuatan Andika yang lalu. Kalau Andika sekarang diam saja, bukankah hal itu akan menambah buruk dan mencoreng nama besar dan kehormatan mendiang ayahanda Andika? Marilah, Raden Wangsakartika, marilah kita bersama para pendekar membela Kerajaan Mataram dan menentang Blambangan bersama sekutunya yang angkara murka."
Biarpun ucapan Parmadi itu tajam, namun diucapkan dengan suara lembut dan agaknya baru sekarang Raden Wangsakartika mendengar ucapan seperti itu. Dia mengerutkan alisnya, berpikir dan wajahnya perlahan-lahan mulai berseri, kedua matanya bersinar dan dia pun mengangguk.
"andika benar! Biarlah kalau perlu aku mengorbankan nyawa yang tak berharga ini untuk membersihkan nama dam kehormatan keluarga mendiang Kanjeng Rama!"
"Tidak perlu mengorbankan nyawa, Raden karena kita dapat saling bantu dan siapa bilang kalau nyawa Andika tidak berharga? Nyawa adalah milik Gusti Allah dan sudah sempurna sejak semula. Mari kita menghadap kanjeng Adipati Pasuruan."
Raden Wangsakartika tidak membantah dan mereka lalu menghadap Sang Adipati yang tentu saja menerima janji bantuan Raden Wangsakartika dengan gembira.
Beberapa hari kemudian datanglah bala bantuan dari Mataram! Gegap gempita daerah Wonokitri itu dengan datangnya pasukan besar dari Mataram yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Silarong sebagai
senopatinya, dan Gandek Padurekso diberi kekuasaan oleh Sang Sultan untuk menjadi pengawas. Pangeran Silarong dibantu oleh beberapa orang senopati tua, yaitu Senopati Suroantani dan Tumenggung Alap-alap yang keduanya sudah berusia lebih dari enam puluh tahun.
Setelah disambut dengan gembira dan hormat oleh Sang Adipati Pasuruan dan para senopati, Pangeran Silarong mengadakan rapat pertemuan dengan para senopati dan perwira. Hadir pula Raden Wangsakartika yang masih keponakan Pangeran Silarong. Pangeran ini merasa gembira melihat keponakan yang tadinya hanya mengumbar nafsu dan tidak mempedulikan urusan Negara, kini mau membantu Mataram. Dalam pertemuan itu baru diketahui bahwa dua kali utusan Pasuruan yang dikirim ke Mataram itu tidak sampai ke tempat tujuan dan terbunuh oleh orang-orang Blambangan di tengah perjalanan.
Ketika mereka merencanakan penyerbuan balasan ke Pasuruan untuk merebut kembali kota kadipaten itu, tiba-tiba Raden Wangsakartika menghadap Pangeran Silarong dan berkata dengan suara lantang dan tegas, namun seperti menjadi kebiasaannya, tidak pakai basa-basi.
"Paman Pangeran, aku minta perkenan Paman untuk memasukiPasuruan. Aku mempunyai hutang kepada Pasuruan, yaitu ketika Pasuruan diserbu para jahanam Blambangan, aku diam saja tidak ikut membela. Sekarang, aku hendak membayar hutangku, aku akan memasuki Pasuruan dan membikin kacau di sana. Aku tidak menjanjikan sesuatu, akan tetapi aku akan membawa hadiah untuk Andika semua."
Pangeran Silarong mengerutkan alisnya. Dia mengenal keponakan ini sebagai seorang yang hidupnya tidak teratur, keluyuran dengan orang-orang jahat, tukang judi, mabuk-mabukan, pelesir dengan para wanita jalang. Dia khawatir kalau dia membari persetujuan, Raden Wangsakartika malah akan membikin kacau rencana penyerbuan pasukannya ke Pasuruan.
"Hemm, Wangsa, Andika hanya seorang diri, bagaimana mungkin akan mampu menghadapi sekian banyaknya perajurit dengan para senopati mereka? Aku khawatir usahamu itu bukan saja akan mendatangkan malapetaka bagi dirimu, akan tetapi juga akan mengacaukan rencana penyerbuan kita."
"Tidak, Paman. Andaikata aku gagal dan terbunuh sekalipun, aku tidak akan membuka rahasia pasukan Mataram kepada musuh."
Bantah Raden Wangsakartika dengan suara mantap membayangkan kenekatan.
"Maaf, Paman. Pangeran, saya kira niat Raden Wangsakartika itu ada benarnya. Sebelum penyerbuan besar dilakukan, ada baiknya kalau terjadi kekacauan di sebelah dalam agar penjagaan dan pertahanan mereka menjadi lemah. Saya dan isteri saya akan menemani Raden Wangsakartika menyusup ke dalam kota Kadipaten Pasuruan."
Pangeran Silarong sudah mengenal Parmadi dan Muryani, juga sudah mendengar akan kesaktian suami isteri ini, maka dia pun mulai menaruh perhatian.
"Hemm, kalau Andika bertiga yang maju, memang lebih baik. Aan tetapi, kota Pasuruan kini telah menjadi benteng pasukan Blambangan, tentu dijaga amat ketat. Bagaimana mungkin andika bertiga dapat memasuki kota ini tanpa ketahuan perajurit penjaga?"
"Gusti Pangeran,"
Kata Senopati Aryo.
"Hal itu mudah diatur. Anakmas Parmadi telah minta nasihat kami dan ada sebuah jalan setapak yang dapat membawa mereka bertiga memasuki Pasuruan tanpa diketahui."
"Bagus, kalau begitu, Ananda Wangsa, dan kalian Anakmas Parmadi berdua, kami setuju kalau Andika bertiga hendak masuk kesana, membikin kacau dan sekalian menyelidiki keadaan pertahanan mereka."
Demikianlah, setelah mendapat persetujuan, malam itu juga tiga bayangan orang, yaitu Raden Wangsakartika, Parmadi dan Muryani menyusup ke dalam kota Kadipaten Pasuruan melalui rawa-rawa dan dapat masuk tanpa ketahuan para perajurit jaga yang sama sekali tidak pernah menyangka bahwa ada orang yang dapat memasuki kota melalui jalan yang amat sukar dan berbahaya itu.
Pasukan Blambangan yang menyerbu dan menduduki Pasuruan hanya merupakan sebagian saja dari seluruh pasukan gabungan di Blambangan. Memang, pada waktu penyerbuan, pasukan yang jumlahnya hanya belasan ribu orang itu sudah lebih dari dua kali lipat jumlah pasukan Pasuruan. Namun dalam penyerbuan itu, pasukan yang terutama terdiri dari pasukan Bali yang dipimpin Panji Buleleng dan Macan Kuning, dua orang senopati yang memimpin pasukan yang dikirim Raja Dewa Agung dari Gelgel, diperkuat pula oleh Bhagawan Kalasrenggi, Kaladhama, Kalajana, bahkan Tejakasmala juga ikut memperkuat karena mereka mengkhawatirkan kalau- kalau Pasuruan sudah diperkuat tokoh-tokoh sakti pembela Mataram. Setelah Pasuruan berhasil diduduki, empat orang tokoh sakti ini kembali ke Blambangan.
Pertahanan kota Pasuruan diserahkan kepada Panji Buleleng dan Macan Kuning dibantu oleh beberapa orang tokoh persekutuan Blambangan, antara lain Ki Sarwatama adik seperguruan Ki Sarwaguna, Ketua Driya Pawitra, Kyai Ngurah Pacung, senopati dari Klungkung, Bali, pembantu Made Sukasada, Randujapang, tokoh Madura, Kyai Kasmalapati tokoh Blambangan bersama muridnya Dartoko, dan beberapa orang tokoh lain. Persekutuan Blambangan itu tidak mengerahkan atau memusatkan seluruh pasukan mereka di Pasuruan karena mereka khawatir kalau-kalau pihak musuh, yaitu Mataram akan menyerang Blambangan lewat jalan lain. Mereka lebih mementingkan penjagaan dan pertahanan di Blambangan, dan hanya akan menggunakan sebagian, paling banyak separuh kekuatan pasukan mereka untuk melakukan serangan sampai ke Mataram.
Panji Buleleng dibantu Macan Kuning yang memimpin pasukan yang menduduki Pasuruan, berbesar hati karena mereka diperlengkapi dengan sepuluh buah meriam dan seratus buah senapan sumbangan dari Kumpeni Belanda melalui Satyabrata.
Raden Wangsakartika sudah mengatur siasat bersama Parmadi dan Muryani sebelum mereka menyelinap ke dalam benteng Pasuruan. Maka, setelah berhasil menyelinap ke dalam benteng Pasuruan, mereka langsung saja menuju sasaran, yaitu tiga buah gudang terisi ransum tumpukan padi dan lain-lain. Ketika merebut Pasuruan, pasukan Blambangan merampas hasil sawah ladang rakyat di dusun-dusun dan mengangkut padi-padian itu dimasukkan ke dalam tiga gudang ransum.
Yang bertugas menyelidiki keadaan pertahanan benteng Pasuruan adalah Parmadi. Maka ketika dia menyelinap ke sebuah di antara gudang-gudang itu, dan melihat seorang perajurit yang membawa tombak lewat seorang diri, dia menyergapnya dan membuatnya tidak berdaya dan tidak mampu berteriak. Parmadi lalu menghardik dengan bisikan, mengancam orang itu agar menceritakan kekuatan yang menjaga Pasuruan. Dengan menekan punggung perajurit itu, Parmadi membuat orang itu menggeliat kesakitan dan terpaksa mengaku dan menceritakan tentang kekuatan pasukan yang berada di situ.
Parmadi memaksanya menceritakan tentang letak sepuluh buah meriam dan pasukan mana yang diperlengkapi senjata api. Juga siapa para senopati dan tokoh sakti yang memperkuat pertahanan di situ. Karena tidak kuat menahan nyeri ketika Parmadi menekan pundaknya, perajurit itu menceritakan semua yang ditanyakan Parmadi. Setelah mendapat keterangan secara terperinci, Parmadi lalu menepuk tengkuk orang itu yang roboh pingsan berat. Parmadi lalu mempersiapkan segala ssuatu untuk membakar gudang ransum yang menjadi bagiannya. Dia menumpuk jerami kering di seputar gudang, akan tetapi dia bersembunyi, menanti sampai isterinya dan Raden Wangsakartika lebih dulu membakar dua gudang yang lain.
Raden Wangsakartika merasa tidak puas kalau hanya membakar gudang ransum. Dia harus melakukan sesuatu yang menggemparkan dan membawa kejutan bagi pamannya, Pangeran Silarong dan Adipati Pasuruan. Biar mereka semua tahu bahwa dia bukan seorang yang tidak ada gunanya, bahwa dia tidak percuma menjadi putera mendiang Pangeran Pringgalaya yang sakti dan gagah perkasa. Seperti juga suami isteri Parmadi dan Muryani, sebagai seorang penghuni kota Pasuruan tentu saja Raden Wangsakartika juga mengenal betul keadaan dan lika- liku kota itu.
Ketika menyelinap dari rumah ke rumah dan tiba di dekat gudang ransum yang menjadi bagiannya seperi telah direncanakan bersama Parmadi dan Muryani, Raden Wangsakartika tiba di dekat gudang pertama yang terbesar. Dia melihat dua orang perajurit Bali duduk di depan gudang. Melihat dua orang perajurit ini, timbul suatu gagasan dalam pikirannya. Yang membuat pasukan Blambangan menjadi kuat adalah karena dukungan orang Bali, pikirnya. Mereka harus diberi hajaran keras! Dia menyusup dekat dan dari tempat gelap dia berseru perlahan kepada dua orang penjaga itu.
"Sssttt.... Andika berdua ke sinilah, penting ....!"
Katanya dalam bahasa Bali yang fasih. Raden Wangsakartika memang memiliki bakat dalam hal berkata. Dia pandai menggunakan bahasa Bali, Madura, dan logat daerah lain. Kalau dia berbahasa Bali, semua orang tentu akan mengira dia orang Bali aseli.
Dua orang prajurit itu merasa heran akan tetapi mereka lalu menghampiri tempat gelap itu sambil membawa tombak mereka. Begitu mereka tiba di depannya, sinar pedang di tangan Raden Wangsakartika berkelebat dan seorang perajuri roboh dan tewas. Sebelum perajurit kedua sempat bergerak atau berteriak, Raden Wangsakartika sedah menerkamnya dan lengan kirinya yang kuat sudah melingkari leher, mengempit dan mencekik.
"Cepat katakan di mana adanya pimpinan kalian!"
Dengan suara parau karena lehernya dijepit lengan yang kuat itu, perajurit kedua menjawab ketakutan.
"Di.... di.... istana kadipaten.... sayap kanan...."
"Siapa pemimpinmu?"
Bentak pula Raden Wangsakartika.
Perajurit itu hendak menggertak dan menakut- nakuti.
"Mereka adalah dua orang senopati sakti mandraguna, Panji Buleleng dan Macan Kuning!"
Raden Wangsakartika mengerahkan tenaga pada lengannya yang menghimpit leher perajurit Bali itu.
"Krekk....!"
Batang leher itu patah dan orangnya tewas seketika. Raden Wangsakartika menyeret mayat dua orang itu dan menyembunyikan mereka di bawah semak-semak yang tumbuh di belakang gudang. Dia tidak mempedulikan lagi gudang itu. Urusan kecil membakar gudang, pikirnya. Dia memilih urusan yang lebih besar lagi dan cepat tubuhnya bergerak menuju ke istana kadipaten, setelah dia mengenakan pakaian perajurit tinggi besar yang dibunuhnya.
Malam itu, para pimpinan pasukan Blambangan yang berhasil menduduki Pasuruan masih dalam keadaan pesta kemenangan, Panji Buleleng dan Macan Kuning, yang menjadi pimpinan tertinggi pasukan yang kini menduduki Pasuruan, menempati istana kadipaten bagian kanan yang paling luas dan mewah. Setelah beberapa hari mereka berdua itu bersenang-senang dengan para perwira kainnya, malam itu mereka berdua duduk di ruangan dalam, berbincang-bincang.
"Kakang Panji,"
Kata Macan Kuning yang bertubuh sedang dan kokoh, kulitnya putih kekuningan.
(Lanjut ke Jilid 22)
Kemelut Blambangan (Seri ke 05 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 22
"Bagaimana rencana gerakan kita selanjutnya? Apa yang harus kita lakukan setelah kita berhasil menduduki Pasuruan?"
"Adi Macan Kuning,"
Kata Panji Buleleng yang bertubuh tinggi kurus dan kumisnya tebal.
"Tugas kita sekarang hanya menjaga benteng Pasuruan yang menjadi benteng terdepan persekutuan Blambangan untuk menyerang Mataram. Kita hanya tinggal menanti perintah selanjutnya dari para pimpinan di Blambangan."
"Apakah rencana selanjutnya dari para pimpinan Kakang?"
"Aku belum tahu benar, akan tetapi kukira sekarang sedang seluruh daerah Jawa Timur dan menyusun kekuatan. Setelah itu baru akan diadakan gerakan penyerangan ke Mataram, pemberangkatan bala tentara tentu dipusatkan di Pasuruan ini."
Selagi mereka bercakap-cakap, tiba-tiba mereka mendengar suara gaduh di luar ruangan itu, suara beradunya senjata berdentingan disusul teriakan dan berdebuknya tubuh orang-orang yang roboh. Dua orang senopati Bali itu adalah panglima-panglima yang berpengalaman. Panji Buleleng sudah berusia hampir enam puluh tahun sedangkan Macan Kuning juga sudah berusia lima puluh tahun lebih. Mendengar suara gaduh itu, keduanya lalu berlompatan keluar sambil hunus keris mereka yang panjang.
Setelah tiba di ruangan itu agak gelap karena hanya sebuah lampu penerangan yang msij bernyala. Tiga buah lampu penerangan lain telah padam sehingga cuaca di situ remang-remang. Namun mereka berdua dapat melihat betapa lima orang perajurit yang menjaga di bagian itu telah roboh malang melintang tak bergerak lagi. Akan tetapi ada seorang perajurit yang bertubuh tinggi besar memegang tombak berdiri di sudut.
"Hei! apa yang terjadi di sini?"
Bentak Macan kuning kepada perajuritnya itu.
Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
".... kami diserang.... musuh...."
Raden Wangsakartika berkata dan bersikap seperti orang gugup dan ketakutan. Mendengar ini, dua orang senopati itu terkejut dan mereka segera melihat ke sekeliling sambil memegang keris, siap menghadapi serangan gelap. Mereka berdua sama sekali tidak mengira bahwa yang berada di depan mereka justeru adalah musuh yang telah membunuh lima orang anak buah mereka itu. Karena Raden Wangsakartika memakai pakaian perajurit Bali dan bicaranya juga dalam bahasa Bali yang sempurna, dua orang senopati itu sama sekali tidak curiga.
"Wuuuttt....!"
Tombak panjang itu meluncur cpat menghunjam ke arah dada Macan Kuning. senopati ini sama sekali tidak pernah mengira akan diserang oleh "perajurit bali"
Itu dari dekat. Maka sama sekali dia tidak dapat mengelak atau menangkis dan tahu-tahu dadanya sudah ditembus tombak yang ditusukkan dengan tenaga dahsyat itu.
"Heiii....!"
Panji buleleng berseru kaget melihat rekannya roboh dan tewas seketika dengan tombak masih menembus dadanya. Akan tetapi Raden Wangsakartika sudah mencabut pedangnya dan menyerangnya dengan hebat.
"Cring.... tranggg....!!"
Bunga api berpijar ketika dua kali keris di tangan Panji Buleleng menangkis mata pedang yang menghunjam ke arah tubuhnya itu. Kemudian dia pun balas menyerang sehingga terjadilah perkelahian yang amat seru dan mati-matian di ruangan remang-remang itu. Panji Buleleng adalah seorang senopati Gelgel di Bali yang digdaya, akan tetapi sekali ini dia bertanding melawan putera mendiang Pangeran Pringgalaya dari Mataram yang sakti mandraguna. Pula, hatinya sudah gentar melihat lima orang perajurit dan rekannya, Macan Kuning, tewas di tangan lawannya ini. Ditambah lagi senjata Raden Wangsakartika jauh lebih panjang, besar dan berat daripada kerisnya. Juga tenaga lawan amat kuat sehingga setiap kali kerisnya bertemu pedang, dia merasa betapa lengannya tergetar dan terpental. Karena maklum bahwa dirinya berada dalam bahaya, Panji Buleleng berteriak nyaring.
"Tolooonnngggg....!"
Akan tetapi tiba-tiba pada saat itu terdengar pula teriakan-teriakan dari luar istana kadipaten. Teriakan banyak orang yang menggema sampai ke dalam istana.
"Tolooonnnggg....! Tolooonnnggg....! Kebakaran.... kebakaran....!"
Teriakan ini sambung menyambung dan terdengar suara gaduh seperti banyak orang berlarian dan berteriak-teriak. Juga di dalam istana menjadi geger dan agaknya para penghuni istana berhamburan keluar sehingga tidak ada yang mengetahui bahwa di bagian kanan istana terjadi perkelahian mati-matian.
Panji Buleleng menjadi panik dan maklum bahwa tidak ada gunanya lagi berteriak karena kegaduhan di luar istana akan menyelimuti suara teriakannya. Dia semakin terdesak, akan tetapi Panji Buleleng adalah seorang yang sudah banyak pengalaman berkelahi. Dia cepat menjatuhkan diri ketika pedang di tangan lawan menyambar dengan bacokan. Tubuhnya lalu bergulingan dan tangan kirinya menyambar sebuah kursi. Sambil melompat bangun, dia melemparkan kursi itu dengan pengerahan tenaga ke arah kepala lawan yang mengejarnya.
Melihat benda hitam melayang ke arahnya dan dia tidak tahu benda apa itu karena keadaannya agak gelap, Raden Wangsakartika membacokkan pedangnya ke arah benda hitam yang seolah-olah seekor harimau menerkamnya.
"Singg.... crakkkk!"
Kursi itu patah dan runtuh. Akan tetapi pada saat itu, Panji Buleleng yang sudah merenggut lepas sehelai tirai pintu yang lebar, sudah melemparkan tirai itu ke arah lawan yang baru saja menangkis kursi.
"Wuuuttt....!"
Raden Wangsakartika gelagapan ketika tiba-tiba ada kain menimpa dan menutup kepalanya. Dia menggerakkan lengan kiri untuk menangkap dan menyingkirkan kain tirai itu. Pada saat itu, Panji Buleleng sudah menubruk maju dan menikamkan kerisnya ke arah lawan yang tubuh atasnya masih tertutup tirai.
"Cappp....!"
Keris menembus kulit daging dan berhenti terhalang tulang pangkal lengan jiri Raden Wangsakartika.
"Aduhh....!"
Raden Wangsakartika roboh terjengkang. hal ini merupakan siasatnya. Memang tadi secara kebetulan pangkal lengan kirinya menyelamatkannya dan dapat menggantikan dadanya tertusuk keris. Luka itu sebetulnya tidak akan merobohkannya. Akan tetapi dia tahu bahwa keadaannya yang tertutup kain itu berbahaya sekali, maka sengaja dia mengaduh dan menjatuhkan diri ke belakang seolah terjengkang. Ketika terjengkang inilah dia sempat menyingkap kain yang menutupi kepalanya dan pada saat itu, Panji Buleleng dengan girang menubruk untuk mengirim tusukan terakhir. Akan tetapi pedang di tangan Raden Wangsakartika lebih dulu menyambar bagaikan kilat, tepat menebas leher Panji Buleleng sehingga tubuh senopati itu jatuh menimpa tubuh Raden Wangsakartika dengan leher putus dan kepalanya menggelinding ke atas lantai!
Dengan muka, tangan dan pakaian berlepotan darah lawan, Raden Wangsakartika melompat berdiri dan tersenyum puas. Rasa nyeri di pangkal lengan kirinya tidak dia rasakan. Dia lalu memenggal leher Macan Kuning, kemudian menggunakan kain tirai untuk membungkus dua buah kepala itu dan membawanya keluar istana, mengambil jalan samping yang sepi.
Ketika tiba di luar, dia melihat kobaran api di dua tempat. maklumlah dia bahwa Parmadi dan Muryani telah melaksanakan tugas mereka dengan baik dan baru teringat dia bahwa dia pun bertugas membakar gudang pertama. Akan tetapi sekarang tidak ada kesempatan lagi. Kota telah penuh perajurit, sebagian berusaha memadamkan kebakaran, sebagian lagi sibuk mencari-cari musuh yang melakukan pembakaran. Dia tidak peduli. Apa yang dilakukannya jauh lebih berarti daripada sekadar membakar gudang ransum pertama, pikirnya. Maka dia pun cepat menyelinap di antara para perajurit yang panik. Tidak ada yang mencurigainya karena dia pun berpakaian perajurit Bali dan perhatian semua orang lebih tertarik ke arah kebakaran-kebakaran itu.
Ketika dia tiba di dekat tembok kota bagian selatan yang menembus ke daerah rawa yang menjadi tempat mereka tadi menyusup ke Pasuruan, dia mlihat orang-orang bertempur di bawah sinar beberapa buah obor yang diacungkan ke atas oleh perajurit-perajurit Blambangan. ketika dia mendekat, Raden Wangsakartika terkejut karena yang bertanding adalah Parmadi dan Muryani, dikeroyok oleh tiga orang yang gerakannya berbahaya dibantu pula oleh belasan orng perajurit.
Parmadi dan Muryani telah berhasil membakar gudang ransum kedua dan ketiga. Sia-sia mereka menunggu-nunggu terbakarnya gudang ransum pertama dan mereka sangsi. Jangan-jangan Raden Wangsakartika telah gagal melaksanakan tugas bagiannya. Karena terlalu lama menanti, akhirnya Muryani membakar gudang ransum dan melihat kebakaran itu, Parmadi juga membakar gudang yang menjadi bagiannya. Setelah membakar gudang yang menimbulkan kegemparan, keduanya lalu melarikan diri ke arah bagian selatan kota untuk keluar dari sana. Akan tetapi, Muryani terlihat oleh sepasukan perajurit Blambangan yang segera mengepung dan mengeroyoknya.
Muryani mengamuk dan merobohkan enam orang perajurit. akan tetapi, segera muncul Ki Randupajang, tokoh Madura yang tinggi besar dan brewok. Laki-laki berusia lima puluh tahun lebih ini memang diperbantukan dalam merebut dan menjaga Pasuruan. Selain Ki Randujapang, juga muncul Kyai Kasmalapati yang berusia enam puluh lima tahun, datuk Blambangan yang sakti itu, bersama-sama muridnya, yaitu Dartoko berusia dua puluh lima tahun yang berwajah tampan namun wataknya sombomg dan jahat.
Begitu tiga orang sakti ini muncul dan menyerang, Muryani menghadapi pengeroyokan mereka dengan pedangnya yang diputar cepat sehingga membentuk gulungan sinar berkeredepan tertimpa sinat obor yang dibawa para perajurit. Namun, tiga orang itu adalah tokoh-tokoh yang sakti dan kuat, maka mulailah Muryani terdesak dan ia tidak melihat jalan keluar karena dirinya sudah terkepung. Jalan satu-satunya hanyalah mengamuk dan memperyahankan diri sampai saat terakhir.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara mendengung-dengung. Muryani merasa girang sekali karena itu adalah suara seruling gading yang dimainkan suaminya. Benar saja, kepungan itu mengendur karena Parmadi sudah menerjang masuk dan senjatanya yang ampuh, suling gadingnya, berubah menjadi sinar keemasan. Semua senjata para perajurit yang bertemu sinar suling atau sinar pedang, tentu terpental. Akan tetapi tiga orang itu tetap menyerang mereka dan para perajurit mengepung agar suami isteri itu tidak dapat melarikan diri. Sedangkan beberapa orang perajurit cepat membunyikan kentungan untuk memanggil bala bantuan.
Parmadi dan Muryani maklum bahwa keadaan mereka berbahaya sekali. Kalau sampai pasukan yang besar jumlahnya datang mengepung, akan sulitlah bagi mereka untuk dapat meloloskan diri keluar dari Kadipaten Pasuruan. Akan tetapi selagi mereka berusaha mati-matian untuk memecahkan kepungan, tiba-tiba muncul Raden Wangsakartika.
Melihat suami isteri itu dikeroyok, Raden Wangsakartika lalu menerjang dengan pedangnya dan gerakannya amat ganas. Tidak seperti Parmadi dan Muryani yang hanya merobohkan para perajurit dengan melukai mereka tanpa membunuh, sepak terjang Raden Wangsakartika nggegirisi (mengerikan). Darah muncrat-muncrat dari perut yang tertembus pedangnya, leher yang terpenggal atau pundak, kaki tangan terbabat putus! Sepak terjang Raden Wangsakartika ini membuat para pengeroyok menjadi gentar sehingga kepungan mengendor dan kesempatan ini dipergunakan oleh tiga orang sakti itu untuk meloloskan diri melalui tembok dan tiba di daerah rawa, Para perajurit hanya berani mengejar keluar dinding, tak berani memasuki daerah rawa yang gelap dan berbahaya.
Pangeran Silarong menyambut kembalinya Raden Wangsakartika, Parmadi dan Muryani dengan gembira. Dia memuji jasa mereka bertiga, terutama Raden Wangsakartika yang membawa "oleh-oleh"
Untuknya berupa dua buah kepala milik pimpinan pasukan Bali. Pangeran Silarong lalu memerintahkan perajurit untuk memasang dua buah kepala itu di atas galah dan ditancapkan di depan pintu benteng Pasuruan untuk membikin gentar hati para perajurit musuh. Juga Pangeran Silarong girang mendapatkan keterangan yang jelas dari Parmadi tentang keadaan dan kekuatan pertahanan dalam benteng itu. Pengetahuan tentang kekuatan pertahanan musuh, terutama sekali tentang letak meriam-meriam itu amatlah penting karena dengan demikian Pasukan Mataram dapat menyusun siasat penyerangan agar terhindar dari ancaman peluru-peluru meriam dan dapat memperoleh kemenangan tanpa menderita terlalu banyak korban.
Sementara itu, peristiwa pembakaran dua gudang ransum dan terbunuhnya beberapa perajurit, terutama sekali matinya dua orang pimpinan yang kepalanya hilang, menggegerkan para perajurit di kota Kadipaten Pasuruan. Apalagi ketika pada keesokan harinya, dua buah kepala pemimpin mereka itu dipasang di atas galah dan ditancapkan di depan pintu gerbang benteng mereka, para perajurit menjadi gentar sekali. Para perwira pembantu dua pemimpin yang tewas itu segera mengirim laporan dan minta bantuan ke Blambangan.
Pangeran Silarong mengajak para perwira, termasuk Parmadi, Muryani, dan Raden Wangsakartika sebagai pembela sukarelawan. Mereka semua dapat menduga bahwa peristiwa malam itu tentu menggemparkan dan membuat gentar hati pasukan musuh dan menurunkan semangat mereka. Oleh karena itu, Pangeran Silarong segera mengatur barisan dan memerintahkan penyerbuan pada keesokan harinya agar jangan memberi kesempatan musuh memperkuat diri dengan bantuan yang datang dari Blambangan.
Para senopati Mataram yang sudah berpengalaman menghadapi gempuran musuh yang mengandalkan meriam dan senapan, ketika mereka beberapa kali menyerbu Batavia, kini menggunakan siasat penyerbuan lewat sayap kanan dan kiri, tidak langsung dari depan yang dapat menjadi sasaran lunak peluru-peluru meriam dan mendekati benteng dari kanan kiri, maju sambil berlindung di balik pohon- pohon dan batu-batu, juga rumah-rumah penduduk yang sudah kosong ditinggalkan para penghuninya yang lari mengungsi. Mereka membentuk Pasukan Sapit Urang, menyerbu dari kanan kiri dan setengah bagian pasukan menyerbu lewat belakang, yaitu lewat daerah rawa, dipimpin oleh pemandu-pemandu jalan yang sudah hafal akan keadaan daerah yang sukar dan berbahaya itu.
Pertempuran dimulai. Pasukan Blambangan melawan dengan seluruh kekuatannya. Sebagian besar perajurit dari Bali pimpinan Senopati Tabanan dan Pacung yang menggantikan Panji Buleleng dan Macan Kuning yang telah tewas, dibekali aji kanuragan yang cukup tangguh, bahkan banyak diantara mereka, terutama para perwira dan senopati dari Bali itu memiliki aji kekebalan, tidak dapat dilukai serangan senjata tajam biasa.
Dengan perlawanan mati-matian terjadilah pertempuran yang amat hebat. banjir darah terjadi ketika pasukan campuran Blambangan yang mempertahankan kota Pasuruan itu menerjang keluar menyambut musuh, setelah peluru-peluru meriam dan senapan mereka tidak dapat menahan desakan pasukan Mataram. Perang campuh yang amat hebat sehingga korban di kedua pihak roboh dan mayat- mayat berserakan. Darah mereka membasahi bumi. Teriakan-teriakan kemarahan bercampur aduk dengan jerit-jerit kematian.
Ki Randujapang, datuk Madura yang sakti itu, mengamuk dan merobohkan banyak perajurit Mataram dengan senjatanya sepasang kapak yang besar danberat. sepasang kapaknya sudah berlepotan darah, demikian pula pakaiannya. Akan tetapi tiba- tiba ketika kapak kanannya menyambar ke arah kepala seorang perajurit, ada sebatang pedang berkelebat menangkis.
"Tranggg....!"
Bunga api berhamburan ketika kapak ditangkis pedang. ki randujapang terkejut karena dia merasa betapa lengan kanannya tergetar hebat. Ketika melihat siapa yang menangkis kapaknya dengan pedang, dia marahsekali dan sepasang kapaknya menyambar-nyambar dahsyat ke arah Muryani. Wanita perkasa ini menggerakkan tubuhnya yang ringan dan dapat bergerak cepat seperti seekor burung kepinis, pedangnya berubah menjadi gulungan sinar putih berkilauan dan ia balas menyerang dengan dahsyat pula, Terjadilah perkelahian yang amat seru. para perajurit kedua pihak tidak berani membantu karena tingkat kepandaian mereka masih terlampau rendah sehingga membantu berarti membiarkan diri terancam maut.
Dartoko juga mengamuk dengan pedang di tangan kanan dan keris di tangan kiri. Banyak perajurit Mataram yang roboh disambar kedua batang senjatanya itu. Akan tetapi tiba-tiba muncul Raden Wangsakartika menghadapinya dan kedua orang ini pun bertanding seru dan mati-matian. Juga dua orang jagoan ini bertanding tanpa ada yang membantu karena para perajurit juga tidak berani mendekati mereka yang amat tangguh ini.
Sementara itu, guru Dartoko, Kyai Kasmalapati yang terkenal sebagai seorang datuk Blambangan walaupun sudah tua dan tubuhnya bongkok, namun sepak terjangnya menggiriskan. Banyak perajurit Mataram roboh oleh tongkat bambu kuningnya, yang dipegang tangan kanan, atau oleh tasbihnya yang dipegang tangan kiri, atau gerengannya yang menggetarkan jantung.
Tiba-tiba kakek itu dihadapi Parmadi dengan senjata Suling Gading yang ampuh. Kakek itu sudah tahu akan kesaktian si Seruling Gading maka dia merasa gentar sekali. Namun dia memaksa diri untuk melawan sambil terkadang menyelinap di antara para perajurit.
Sementara itu, pasukan Blambangan didesak terus sehingga mundur memasuki kota dan terjadilah pertempuran yang kacau balau di dalam kota. Melihat pasukannya terdesak mundur, Kyai Kasmalapati menyelinap ke dalam rombongan pasukan sehingga Parmadi kehilangan lawan dan tiba- tiba tampak asap hitam mengepul tebal dan menyebar ke seluruh kota! Inilah aji sihir yang datang dari kuasa kegelapan, dikerahkan oleh Kyai Kasmalapati yang memang ahli dalam ilmu sihir pengaruh daya iblis. Tentu saja panik dan banyak di antara mereka yang roboh diserang pasukan Blambangan yang tidak dipengaruhi asap hitam.
Tiba-tiba terdengar bunyi seruling melengking- lengking. itulah suara suling yang ditiup Parmadi dan bagaikan ada angin yang kuat bertiup, asap hitam itu membuyar dan diterbangkan pergi. Setelah terbebas dari asap hitam, pasukan Mataram mendapatkan kembali semangat mereka dan banyak perajurit musuh yang bergelimpangan. Akan tetapi Kyai Kasmalapati, Dartoko, dan Ki Randujapang telah pergi. Orang- orang yang curang dan pengecut ini melarikan diri begitu keadaan tidak menguntungkan bahkan membahayakan keselamatan diri mereka. Bukan hanya mereka, juga ada beberapa orang senopati Gelgel yang melarikan diri meninggalkan pasukan, keluar dari kota mencari selamat.
Setelah Ki Tabanan dan Ki Pacung, dua orang senopati Gelgel Bali tewas, pasukan lalu menjadi kocar-kacir tidak ada yang memimpin lagi. Banyak yang tewas dan sisanya melarikan diri cerai berai. Kota Kadipaten Pasuruan dapat dirampas kembali oleh Pasukan Mataram dan sang Adipati Pasuruan menempati kembali istana kadipaten yang sudah kehilangan banyak barang berharga, dirampok oleh pihak musuh dan penjahat-penjahat yang menggunakan kesempatan untuk mencuri barang- barang berharga.
Pasukan Mataram lalu memperkuat perbentengan di Pasuruan. Pangeran Silarong tidak berani melanjutkan gerakan pasukannya sebelum menerima petunjuk dan perintah dari Sultan Agung. Penyerangan ke daerah Blambangan, bukan merupakan tugas ringan. Blambangan yang bersekutu dengan Bali dan Madura, juga didukung daerah- daerah Jawa timur, memiliki pula banyak orang sakti, amat kuat dan perlu perhitungan masak sebelum Mataram berani melakukan penyerangan besar- besaran. Apalagi mereka tahu bahwa diam-diam, Kumpeni Belanda mendukung Blambangan sebagai siasat mereka untuk mengadu domba. Menurut para penyelidik, beberapa buah kapal besar Kumpeni Belanda sudah tampak mondar-mandir disekitar pantai Blambangan! Untuk sementara perang selesai dengan direbutnya kembali Pasuruan. Kedua pihak menyusun kekuatan, melakukan persiapan untuk perang selanjutnya.
Wanita itu berpakaian sederhana, seperti pakaian wanita petani biasa. Akan tetapi kalau ada orang bertemu dengannya dan melihat wajah yang cantik jelita itu, tubuh yang langsing padat, dan kulit yang halus dan putih mulus, tentu akan menduga bahwa wanita dusun itu pasti bukan seorang wanita dusun biasa, melainkan seorang wanita bangsawan! Ia adalah Nyi Maya Dewi! Orang yang dulu mengenalnya, kalau melihat ia sekarang, tentu akan merasa terheran-heran. Terjadi perubahan besar pada diri wanita ini, baik keadaan lahir maupun batinnya.
Sekitar lima tahun yang lalu Maya Dewi adalah seorang wanita yang kecantikannya merangsang, sikapnya genit, lincah dan matanya menyinarkan kecabulan, juga kekejaman yang lar biasa. Pakaiannya selalu indah dengan hiasan emas permata yang serba mewah. Lima tahun yang lalu, dalam usia tiga puluh dua tahun, ia masih tampak seperti seorang wanita seusia dua puluh tahun. Baik wajah, mata, mulut, bentuk tubuh, sikap dan gerak geriknya ketika itu menggairahkan hati setiap orang pria sehingga banyak sekali yang tergila-gila kepadanya.
Sekarang, dalam usianya yang tiga puluh tujuh tahun, Maya Dewi memang masih tampak cantik jelita seolah usianya belum lewat dua puluh lima tahun. Awet mudanya ini berkat dahulu minum jamu langka Suket Sungsang, kemudian secara kebetulan sekali ia makan separuh dari Jamur Dwipa Suddhi. Tubuhnya masih langsing dan padat berisi berkat sejak kecil ia mempelajari ilmu kanuragan. Akan tetapi terjadi perubahan yang mencolok sekali dalam diri wanita ini. Hanya kecantikannya saja yang masih sama, walaupun dulu kecantikannya menggairahkan dan sekarang kecantikannya anggun membuat orang merasa segan dan hormat.
Matanya yang terkadang mencorong itu tajam namun teduh, penuh kesabaran dan pengertian. Berbeda sama sekali dengan sinar matanya yang dulu selalu menyinarkan kekerasan dan terkadang membayangkan gejolak nafsu dan selalu menantang. Mulutnya dulu kalau tersenyum tampak genit memikat dan terkadang penuh ejekan, akan tetapi sekarang senyumnya tulus dan jujur. Suaranya yang dulu lantang galak, terkadang manja dan merayu, kini suaranya tenang lembut. Sikap yang dulu lincah dan genit, kini pendiam dan penuh sopan santun. Pakaiannya yang dulu gemerlapan mewah, kini sederhana sekali tanpa ada perhiasan sepotongpun.
Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Pembakaran Kuil Thian Loksi Karya Kho Ping Hoo