Kemelut Blambangan 14
Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 14
"Hati-hati, Adi Joko!"
Pesannya dan ia pun mundur dan berdiri bersama para murid perempuan lain yang menonton bersama anak-anak lain yang membentuk lingkaran luas.
Dua orang anak laki-laki itu kini berhadapan dan mereka saling pandang bagaikan dua ekor ayam jago hendak berlaga dan kini saling menyelidiki dengan pandang mata tajam dan mengandung kemarahan. Sengkolo masih memasang kuda-kuda seperti tadi, sedangkan Joko Galing berdiri biasa saja, namun penuh kewaspadaan. Sejak kecil diapun sudah menerima gemblengan dasar ilmu silat dari kedua orang tuanya, terutama dari ayahnya yang mengajarkan kepadanya bahwa pasangan kuda-kuda sebagai pembukaan dalam sebuah pertandingan, yang terpenting bukanlah kedudukan kaki tangan, melainkan yang terpenting itu kewaspadaan mata dan telinga, dan bersiapnya seluruh urat syaraf di tubuhnya dalam menghadapi serangan lawan. Maka, dia berdiri biasa saja, dengan kedua lengan tergantung di kanan kiri tubuhnya, santai saja namun urat syaraf di tubuhnya siap untuk membuat gerakan tiba-tiba dalam membela diri, menghindarkan serangan lawan dan membalas dengan serangan balik secepatnya.
Sangkolo yang memang memiliki watak sombong dan tinggi hati karena selalu dimanja dan dipuji orang tuanya, merasa dirinya paling pandai dan kuat di antara semua murid remaja, memandang rendah lawannya. Selain Joko Galing masih kecil, juga dia sudah dapat menampar kedua pipi Joko Galing dengan mudah, bahkan menambahi serangan lutut pada perut anak itu sehingga Joko Galing terjengkang. Huh, melawan anak kecil ini, dengan satu dua pukulan saja anak Pasuruan ini pasti akan roboh pingsan! Dan dia akan semakin ditakuti anak- anak lain, dan terutama sekali, Niken Arum pasti akan kagum sekali melihat kegagahannya!
"Heh-heh-heh, anak kecil masih ingusan! Kamu benar-benar berani melawan aku?"
Ejeknya karena bagaimanapun juga, ditonton semua anak di situ, tiba- tiba dia merasa tidak gagah sama sekali karena lawannya hanyalah seorang anak kecil!
"Aku tidak ingin berkelahi, akan tetapi itu bukan berarti aku takut padamu!"
Jawab Joko Galing tenang.
"Ha-ha-ha, suahlah, kalau engkau takut, aku pun malu kalau melawan seekor tikus kecil macam engkau. Nah, sekarang cepat minta maaf kepadaku dan tinggalkan tempat ini, baru aku tidak akan memukul ambrol dadamu dan pecah kepalamu!"
"Sudah kukatakan, aku tidak takut akan segala ancamanmu, mengapa aku harus minta ampun? Engkau yang semestinya minta maaf kepadaku karena engkau telah menghina dan menamparku."
"Keparat, engkau memang layak dihajar! Rasakan pukulanku!"
Sangkolo cepat menerjang dengan pukulan beruntun kedua tangannya. Akan tetapi dengan gesit sekali tubuh Joko Galing mengelak sehingga dua pukulan itu luput. Sangkolo semakin marah dan dia menyusulkan dua tendangan beruntun dengan kedua kakinya.
Namun, kembali dengan gerakannya yang lincah, Joko Galing dapat menghindarkan tendangan beruntun itu dengan elakannya. Anak ini cerdik sekali. Dia sudah dapat melihat bahwa dalam hal tenaga, jelas dia kalah kuat oleh Sangkolo yang sudah berusia tiga belas tahun itu. Akan tetapi dia menang jauh dalam hal kegesitan gerakan tubuhnya. Maka dia memanfaatkan kelincahan ini untuk menghindarkan diri dari hantaman tangan atau tendangan kaki lawan. Selain itu, dia pun sudah diajari ibunya tentang ilmu Silat Bromo Dadali sehingga dia mengenal serangan- serangan Sangkolo.
Anak-anak yang menonton, terutama Niken Arum, tadinya merasa khawatir dan juga ngeri melihat betapa Sangkolo menyerang dengan sungguh- sungguh, dengan pengerahan tenaga sekuatnya sehingga kalau pukulan atau tendangannya mengenai tubuh yang kecil itu, pasti akibatnya membahayakan sekali bagi keselamatan Joko Galing. Akan tetapi setelah belasan kali dielakkan oleh Joko Galing dan cara mengelakkan itu tampak mudah dan gesit sekali, anak-anak mulai riuh menertawakan Sangkolo yang terkadang terhuyung ke depan terbawa tenaga pukulannya sendiri yang mengenai tempat kosong.
Ada pula yang bertepuk tangan memuji ketika untuk kesekian kalinya Joko Galing dapat mengelak, padahal serangan Sangkolo semakin hebat mengikuti meningkatnya kemarahannya. Wajahnya menjadi kemerahan, matanya melotot, rasanya ingin dia mencekik leher anak yang dibencinya itu. Tentu saja dia semakin marah karena ditertawakan semua anak- anak dan kemarahannya ini dia tumpahkan kepada Joko Galing.
Joko Galing juga maklum bahwa dia akhirnya akan menderita rugi dan mungkin terkena pukulan kalau hanya mengelak terus, maka setelah mendapatkan kesempatan yang baik, ketika menghindar ke kiri, dia menekuk lutut kiri, membalik dan kaki kanannya mencuat dengan tendangan ke arah perut Sangkolo.
"Bukk....!!"
Sangkolo mengaduh dan terhuyung ke belakang sambil menekan perutnya. Tendangan Joko Galing memang tidak seberapa kuat, akan tetapi karena tidak disangka-sangka datangnya, dan ketika tendangan datang dia sedang menyedot napas, maka perutnya tidak terjaga sehingga terasa nyeri dan mulas.
Anak-anak bertepuk tangan memuji. Mereka merasa girang bahwa kini Sangkolo mendapat hajaran, bahkan dari anak yang jauh lebih muda. Bukan main marahnya hati Sangkolo. Dia mengertak gigi dan bagaikan seekor harimau dia melompat ke arah Joko Galing, menerkam dengan tangan menyambar dari kanan kiri untuk mencekik leher anak itu!
"Awas, Joko!"
Niken Arum berseru, terkejut melihat serangan hebat dan berbahaya itu.
Namun Joko Galing tidak kehilangan kewaspadaan dan ketenangannya. Dia menekuk kedua lutut sambil menggeser kaki ke belakang. Ketika tubuh Sangkolo lewat karena terkamannya luput, selagi tubuh itu condong ke depan, Joko Galing menggerakkan kakinya menyerampang ke depan kedua kaki Sangkolo. Karena Sangkolo saat itu terdorong ke depan karena terkamannya luput, maka begitu kedua kakinya dijegal atau terhadang kaki Joko Galing, tak dapat dicegah lagi tubuh Sangkolo terjerembab dan karena jatuhnya tertelungkup maka tak dapat dihindarkan lagi mukanya terbentur pada tanah berbatu.
"Aduh....!"
Dia merangkak bangun dan mukanya berlepotan darah yang mengucur dari lubang hidungnya. Kembali anak-anak bersorak menyambut kemenangan Joko Galing ini. Pada saat itu, Ki Kiswoyo datang berlari-lari. Dia menguak kerumunan anak-anak.
"Ada apa ini ribut-ribut?"
Bentaknya dan dia melihat Sangkolo yang mulai bangkit berdiri. Melihat muka anaknya berlepotan darah, Ki Kiswoyo terkejut bukan main. Dia melompat dan merangkul Sangkolo. Anak yang selalu dimanja ini sedang dalam keadaan marah dan malu sekali, juga mulai jerih karena kini dia tahu bahwa anak kecil itu benar-benar tangguh, begitu melihat ayahnya yang merangkulnya, lalu menangis!
"Sangkolo, mengapa engkau berdarah seperti ini? Siapa orang yang memukulmu, Nak?"
Sangkolo yang menutupi mukanya dengan kedua punggung tangan menggosok-gosok matanya, menuding ke arah Joko Galing.
"Dia yang memukul...."
Mendengar ini, berkerut alis Ki Kiswoyo dan sekali melompat, dia sudah menangkap lengan kanan Joko Galing dan menghardik sambil mengguncang- guncang tubuh anak itu.
"Siapa kamu? Berani benar kamu memukul anakku!"
Biarpun mersa lengannya yang dipegang erat itu nyeri, namun Joko Galing diam saja. Pada saat itu terdengar suara nyaring.
"Kakang Kiswoyo, anakku itu bernama Joko Galing. Anakmu yang sudah belasan tahun berkelahi dengan anakku yang berusia enam tahun. Itu saja sudah tidak patut sama sekali dan kini engkau hendak turun tangan membela anakmu? Kalau memang engkau gatal tangan dan ingin berkelahi, lawanlah Ibunya, jangan yangan anak kecil! Kita sama-sama tua bangka boleh bertanding sepuasmu!
Ki Kiswoyo menoleh dan mukanya berubah merah. Dia segera melepaskan cengkeraman tangannya pada lengan Joko Galing.
"Adi Muryani! Jadi bocah ini puteramu....?"
Lalu dia menjambak rambut Sangkolo dan diseret pergi, sambil mengomel.
"Kau kalah oleh anak sekecil itu? Memalukan....!"
Dia menarik anak itu pulang dan Sangkolo menangis dan mengaduh-aduh.
Pada saat itu, Parmadi dan ki Sanuri mnghampiri. Ki Sanuri memberi isarat kepada anak- anak itu untuk bubar. Setelah anak-anak itu pergi semua, tinggal Joko Galing dan Niken Arum, Parmadi menegur isterinya dengan alis berkerut.
"Diajeng, mengapa engkau mencari perselisihan dengan saudara seperguruan? anak-anak berkelahi tidak perlu dibela orang tua, bahkan setiap orang tua harus memarahi anaknya sendiri."
"Kakangmas, seekor induk ayam saja akan membela anaknya mati-matian kalau anaknya diancam keselamatannya oleh seekor harimau sekali pun. Apakah aku seorang ibu, seorang manusia, harus diam saja melihat anaknya diancam seorang tua yang membela anaknya yang sudah besar seperti kang Kiswoyo tadi?"
Melihat ayah dan ibunya saling mengeluarkan kata-kata yang mengandung penasaran, Joko Galing segera menghampiri mereka dan memegang tangan Ibunya dengan tangan kanan dan tangan Ayahnya dengan tangan kiri.
"Ayah, Ibu, aku yang bersalah telah membikin Ayah dan Ibu tidak senang. Aku yang menyebabkan keributan ini."
Ki Sanuri segera berkata.
"Adi Parmadi dan Muryani, Andika berdua jangan menyalahkan Joko Galing lebih dulu sebelum mengetahui persoalannya. Eh, Niken, engkau yang menjadi saksi atas peristiwa perkelahian tadi. Coba ceritakan apa yang terjadi di sini tadi."
"Begini, Ayah. tadi saya mengajak Joko ke sini dan memperkenalkannya kepada para saudara yang bermain-main di sini. Tiba-tiba datang Sangkolo itu dan tanpa sebab tertentu langsung saja dia menghina Joko dengan menyebutnya cindil, tikus busuk, dan lain-lain, malah menantang Joko.Lebih dari itu, dengan curang sekali tiba-tiba dia menampar kedua pipi Joko dan menendang dengan lutut sehingga Joko terjengkang. Saya marah dan balas menampar kedua pipinya. Sangkolo menantang Joko dan mereka lalu berkelahi. Dua kali Sangkolo dirobohkan Joko sehingga hidungnya mengeluarkan darah. lalu datang Paman Kiswoyo, marah-marah dan mencengkeram lengan Joko. Untung muncul Bibi Muryani sehingga Joko tidak dipukul Paman Kiswoyo."
Mendengar ini, Muryani merangkul pundak puteranya dan berkata kepada suaminya.
"Nah, Kakangmas, apakah engkau masih menyalahkan aku kalau aku membela anak kita dan menantang Kakang Kiswoyo?"
Parmadi menghela napas panjang.
"Hemm, aku tidak dapat menyalahkanmu, Diajeng. Akan tetapi, bagaimanapun juga, hatiku merasa tidak enak. Kita datang sebagai tamu dan terjadilah keributan ini. Kalau terdengar oleh Paman Ki Ageng Branjang, tentu beliau tidak senang dan kita merasa malu sekali."
"Jangan khawatir, Adi Parmadi, bapa Guru dan kami semua sudah tahu bagaimana watak Adi kiswoyo yang keras dan terkadang mau menang sendiri. Hilangkan perasaan tidak enak itu."
Kata Ki Sanuri.
"Akan tetapi, kakang. Apa yang dikhawatirkan suamiku itu ada benarnya. Kami datang untuk menitipkan Joko Galing untuk sementara di sini, dan sekarang telah terjadi peristiwa yang membuat hati Kakang Kiswoyo tidak senang kepadanya.
"Tidak, Adi Muryani. Biarpun wataknya keras, namun setidaknya Adi Kiswoyo adalah murid Bromo Dadali, bahkan dia yang membantu aku sejak bapa Guru mewakilkan kepada aku untuk mengurus perguruan kita dan memimpin para murid. Dia pasti akan segera menyadari kesalahan anaknya. Memang Sangkolo terkenal bandel dan nakal."
Apa yang diucapkan Ki Sanuri itu terbukti ketika pada suatu malam, Ki Kiswoyo mengajak Sangkolo untuk menemui Parmadi, Muryani dan Joko Galing. Biarpun ragu-ragu, penasaran dan malu-malu, Sangkolo tidak berani membantah ayahnya dan dia menghampiri Joko Galing.
"Aku minta maaf atas kelakuanku tadi."
Katanya sederhana.
"Ah, tidak mengapa, Kakang Sangkolo. Aku pun sudah melupakan kejadian tadi."
Jawab Joko Galing.
"Dan kau maafkan aku, Adi Muryani. Aku tadi emosi, marah karena melihat muka sangkolo berlepotan darah. Aku mengira dia terluka parah. Tidak tahunya hanya mimisen (mengeluarkan darah dari hidung)."
Kata Kiswoyo kepada Muryani.
"Maafkan sama-sama, Kakang Kiswoyo. Seperti juga Joko, aku pun sudah melupakan kejadian tadi. Anggap saja itu urusan anak-anak,"
Kata Muryani.
Ki Kiswoyo dan Sangkolo tidak lama berada di situ. Mereka tak lama kemudian berpamit. Akan tetapi kedatangan mereka itu sudah melegakan hati Muryani dan Parmadi sehingga mereka tidak merasa ragu lagi untuk menitipkan Joko Galing di perguruan Bromo Dadali.
Tiga hari kemudian di perkampungan Bromo dadali. Malam itu gelap. memang tanggalnya tua dan tidak tampak bulan di angkasa. bahkan bintang- bintang pun tidak ada yang tampak karena langit tertutup mendung. Malam itu sunyi dan angin malam bertiup kuat sehingga semua murid Bromo Dadali dan keluarga mereka lebih suka tinggal di dalam rumah yang lebih hangat dan ada lampu penerangan. Anak- anak sudah memasuki bilik untuk tidur. orang-orang tua masih duduk bercakap-cakap di luar bilik.
Di pondok Ki Ageng Branjang, Ki Sanuri, Parmadi, dan Muryani masih bercakap-cakap. Dalam kesempatan ini, Parmadi dan Muryani menceritakan keadaan yang mengancam Mataram, sekali ini datangnya dari Blambangan. Juga Muryani diminta menceritakan semua pengalamannya kepada guru pertamanya itu. Muryani dulu merupakan murid tersayang sehingga ia mewarisi semua ilmu Ki Ageng Baranjang. Akan tetapi setelah ia kemudian menerima gemblengan gurunya yang ke dua, yaitu mendiang Nyi Rukma Petak (Nenek Rambut Putih), ilmu kepandaiannya meningkat sehingga melebihi Ki Ageng Branjang sendiri. Semua murid Bromo Dadali mengetahui hal ini, maka ketika ditantang Muryani, Ki Kiswoyo tidak berani melayani.
Ki Sanuri teringat akan ancaman dari tiga orang utusan Blambangan itu. Tadinya dia memang hendak menyembunyikan hal itu dari gurunya yang sudah tua agar gurunya tidak menjadi gelisah. Akan tetapi kini melihat kehadiran Muryani dan Parmadi yang dia ketahui kesaktian mereka, dia lalu menceritakan kepada gurunya tentang kedatangan Ki Randujapang dan Dwi Kala, sepasang raksasa yang menyeramkan itu dan tentang bujukan Ki Randujapang, agar Bromo Dadali mendukung gerakan Blambangan untuk menyerang Mataram "Mereka memberi waktu satu bulan dan sekarang telah lewat tiga minggu. Seminggu lagi mereka akan datang dan minta keputusan. Kalau kita tidak mau membantu, kita akan dianggap mendukung Mataram dan menjadi musuh mereka. Demikianlah, bapa, ancaman dari Blambangan itu."
Ki Ageng Branjang mengerutkan alisnya dan menghela napas panjang.
"Hemm, tida henti-hentinya orang-orang sesat itu hendak memusuhi Mataram. Padahal Mataram dan persatuannya dengan seluruh penguasa di nusantara merupakan harapan satu- satunya untuk dapat bertahan terhadap kekuasaan Kumpeni Belanda yang semakin melebarkan sayapnya."
"Paman, hal itu tidaklah aneh karena para pemberontak itu justru dikendalikan oleh Kumpeni. Kumpeni selalu mendukung para pemberontak, membantu dengan senjata api dan Kumpeni agaknya memang sengaja mengadu domba antara para penguasa daerah dan Mataram, tentu bermaksud melemahkan kedudukan Mataram."
"Ah, mereka itu sungguh buta, tidak tahu bahwa bangsa Belanda memperalat mereka untuk kepentingan Kumpeni. Mereka diperalat untuk memusuhi bangsa sendiri. Aku mengenal Ki Randujapang itu. Dia itu murid mendiang Ki Harya Baka Wulung datuk dari Madura. Dahulu pun para pemberontak itu sudah membujuk Bromo Dadali untuk bergabung menentang Mataram dan kita tidak pernah mau. Kiranya sampai sekarang mereka masih terus menganggu kita."
Ki Sanuri adalah seorang yang berhati lembut. Sebetulnya dia merasa perlu untuk melaporkan kepada gurunya tentang sikap Ki Kiswoyo yang agaknya menyetujui ajakan utusan Blambangan itu, akan tetapi hatinya tidak sampai untuk menceritakan keburukan sikap adik seperguruannya itu. Maka dia pun diam saja.
"Bapa guru, saya mengenal orang-orang yang mendukung pemberontak itu. Mereka adalah golongan sesat yang tidak segan mempergunakan kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka. Saya kira, tiga orang utusan itu pun pasti akan menggunakan kekerasan kalau nanti mereka datang lagi minta keputusan."
Kata Muryani.
"Hemm, apa pun yang mereka lakukan, sampai mati pun aku tetap tidak sudi bersekutu dengan mereka untuk menentang Mataram!"
Kata Ki Ageng Branjang.
Parmadi berkata dengan halus.
"Paman, mereka berjanji untuk datang lagi setelah lewat sebulan. Berarti seminggu lagi dari sekarang mereka akan muncul dan mungkin mereka akan menyerang Bromo Dadali yang dianggap sebagai musuh."
"Tidak perlu takut!"
Muryani berseru nyaring.
"Bapa Guru, kami berdua akan membantu! Kami akan menghajar tiga orang utusan Blambangan itu."
"Bapa Guru, dengan adanya Adi Parmadi dan adi Muryani di sini, kedudukan kita cukup kuat. Akan tetapi siapa tahu mungkin mereka datang membawa pasukan. karena itu, pada hari kedatangan mereka seminggulagi, saya akan mengerahkan semua murid agar hari itu tidak bekerja melainkan berkumpul di sini dan berjaga-jaga untuk melawan musuh.
Mereka yang sedang bercakap-cakap di dalam pondok itu tidak ada yang tahu bahwa setelah percakapan sampai di situ, sesosok bayangan menyelinap pergi menjauhi ruangan itu setelah tadi dia mendengarkan dengan menempelkan telinganya pada celahan dinding yang berlubang. Orang itu adalah Ki Kiswoyo. Setelah menyelinap pergi, dia bergegas menempuh perjalanan di malam gelap itu menuju ke sebuah lereng tak jauh dari perkampungan dan tiba di bagian bukit yang penuh gua-gua di mana tiga orang utusan Blambangan bersama anak buah mereka tinggal untuk sementara. Ki Kiswoyo berunding dengan Randujapang dan Dwi Kala. Dia menceritakan apa yang didengarnya dalam pondok Ki Ageng Branjang tadi.
"Wah, di perkampungan Bromo Dadali datang dua orang yang berbahaya, suami isteri yang memiliki kepandaian tinggi."
Pertama-tama Ki Kiswoyo melaporkan.
"Hemm, jangan takut, ki Kiswoyo. Kalau hanya ditambah dua orang lagi, kami akan membereskannya. Siapa sih suami isteri yang begitu sakti sehingga Andika tampak jerih benar?"
Tanya Randujapang.
"Ia adalah Adik seperguruanku yang bernama Muryani dan suaminya....."
"Ha-ha-ha, aneh sekali!"
Kaladhama, raksasa bermuka hitam itu terbahak.
"Masa Andika takut menghadapi adik seperguruan sendiri?"
"Hemm, mungkin adik perempuan seperguruannya itu cantik jelita sehingga kalau menghadapinya, Ki Kiswoyo menjadi lemas!"
Kalajana, raksasa bermuka burik (bopeng) juga tertawa.
"Ah, Andika bertiga belum tahu!"
Kata Kiswoyo.
"Adik perempuan seperguruanku itu telah menjadi murid mendiang Nyi Rukma Petak dan sekarang ia telah menjadi sakti sekali. Juga suaminya yang bernama Parmadi terkenal dengan julukan Si Seruling Gading, seorang sakti mandraguna!"
Kini Ki Randujapang mengangguk angguk.
"Hemm, aku pernah mendengar nama Si Suling Gading. Kita harus berhati-hati."
"Hua-ha-ha-ha!"
Kaladhama tertawa. raksasa berusia empat puluh empat tahun bertubuh tinggi besar dan berbulu, mukanya hitam matanya besar, hidungnya melesek (pesek) dan telinga kirinya buntung itu tampak geli dan tertawa-tawa.
"Hah, mengapa kalian tampak begitu ketakutan menghadapi seorang wanita dan suaminya? Kalau kalian takut, serahkan mereka berdua kepadaku, ha-ha!"
"Ha-ha, benar sekali. Kakang Kaladhama akan membunuh suaminya, dan aku menangkap wanitanya. Ia cantik, bukan?"
Kata Kalajana.
Mendengar sikap sombong dua orang raksasa itu, hati Ki Kiswoyo menjadi tenang. Apalagi tadi dia melihat anak buah tiga orang utusan Blambangan itu amat banyak, tidak kurang dari tiga puluh orang, Mereka tampak kokoh kuat dan menyeramkan.
Mereka itu, ditambah para murid Bromo Dadali yang dapat dia bujuk untuk berpihak kepadanya, tentu lebih dari cukup untuk mengalahkan para murid yang setia kepada Sanuri dan mereka yang tidak setuju untuk kerja sama.
"Aku mempunyai gagasan yang bagus dan dengan cara ini usaha kita pasti berhasil."
Kata Ki Kiswoyo.
"Katakan, apa gagasanmu itu?"
Tanya Randujapang yang menjadi pemimpin rombongan utusan Blambangan itu.
"Begini, para murid Bromo Dadali setiap hari bekerja dan sibuk. Mereka pasti tidak melakukan persiapan dan penjagaan. Karena Andika berjanji untuk datang lagi sebulan kemudian, maka sebelum hari yang ditentukan itu, mereka tentu lengah. Nah, kita menggunakan kesempatan selagi mereka lengah dan sibuk bekerja untuk menyerbu perkampungan Bromo Dadali. Dengan demikian, tentu akan mudah bagi kita untuk menguasai keadaan dan memenangkan pertempuran. Aku akan mengerahkan saudara- saudaraku membantu dari dalam. Andika bertiga menghadapi Parmadi dan Muryani. Nah, gagasan itu baik sekali, bukan?"
"Bagus!"
Kata Randijapang.
"Kapan kita lakukan?"
"Sebaiknya besok lusa karena aku harus menghubungi dan mempersiapkan dulu kawan-kawan agar pelaksanaan rencana itu tidak akan gagal."
"Baik, kami menanti berita darimu."
Kata Ki Randujapang.
Demikianlah persekutuan itu. Memang sikap dan perbuatan Ki Kiswoyo itu merupakan pengkhianatan terhadap guru dan saudara-saudara seperguruannya, pengkhianatan terhadap Perguruan Bromo Dadali, juga pengkhianatan terhadap Mataram. Akan tetapi semua kenyataan itu sama sekali tidak tampak oleh Ki Kiswoyo. Yang teringat olehnya hanyalah bayangan memeperoleh kedudukan dan kemewahan. Kalau usahanya berhasil, selain dia akan menjadi Ketua Bromo Dadali, dan hal ini pasti terjadi kalau Sanuri, murid pertama Bromo Dadali, sudah disingkirkan, selain itu dia juga akan menjadi sekutu Blambangan, dan memeperoleh hadiah kedudukan tinggi dan harta benda seperti dijanjikan Ki Randujapang!"
Setelah kembali ke perkampungan Bromo Dadali, Ki Kiswoyo lalu memberitahu isterinya agar isterinya pulang ke dusun asalnya dan mengajak Sangkolo dengan alasan hendak menengok orang tuanya sakit. Pada keesokan harinya, isteri Ki Kiswoyo yang tidak diberitahu suaminya akan rencana perebutan kekuasaan di Bromo Dadali itu, berpamit kepada Ki Ageng Branjang dan Ki Sanuri bahwa ia dan Sangkolo akan menengok orang tuanya di dusun yang sedang menderita sakit. Tentu saja hal yang wajar ini disetujui Ki Ageng Branjang, juga Sanuri tidak menaruh curiga apa pun.
Setelah mengantar anak isterinya keluar dari perkampungan Bromo Dadali, Ki Kiswoyo mulai menghubungi para murid yang sepaham dengan dia, yaitu yang condong bekerja sama dengan Blambangan agar mereka memperoleh kedudukan dan harta benda, tidak hanya tetap menjadi murid Bromo Dadali yang hidup sederhana di perkampungan perguruan itu.
Ki Kiswoyo adalah seorang yang licik dan cerdik. Ketika dia dengan diam-diam menghubungi teman-teman sepaham, dia sama sekali tidak mengatakan bahwa para utusan Blambangan membawa pasukan dan telah direncanakan menggempur Bromo Dadali dan membunuh mereka yang ikut membela Mataram, terutama sekali Ki Ageng Branjang dan Ki Sanuri. Dia mengetahui benar bahwa biarpun teman-teman yang sepaham itu dapat terbujuk untuk ikut bekerja sama dengan Blambangan namun tak seorang pun diantara mereka yang setuju untuk membunuh Ki Ageng Branjang. Mereka adalah murid-murid yang menghormati dan menyayang guru mereka.
"Kawan-kawan,"
Katanya meyakinkan.
"Para utusan Balmbangan adalah orang-orang sakti mandraguna. mereka telah memberi waktu kepada Bapa Guru melalui Kakang Sanuri. Aku yakin Bapa Guru tentu setuju bekerja sama dengan mereka untuk menghindatkan pertempuran yang akan mencelakakan kita semua. Karena itu, kita harus membantu para utusan Blambangan untuk menguasai Bromo Dadali karena maksud mereka hanya menaklukkan sehingga pimpinan kita terpaksa menyetujui kita bergabung dengan Blambangan."
"Bagaimana kalau Bapa Guru berkeras tidak menyetujui lalu melawan dengan kekerasan? Kami tidak ingin berkelahi melawan Bapa Guru, juga kami tidak ingin melihat Bapa Guru diganggu, apalagi dibunuh!"
Terdengar teriakan seorang murid dan semua murid mendukung pertanyaan ini.
"Jangan gelish, Kalau Bapa Guru berkeras menentang, biarlah para utusan Blambangan yang menghadapinya. Aku sendiripun tidak setuju kalau Bapa Guru dilukai atau dibunuh, akan tetapi para utusan Blambangan sudah setuju bahwa mereka hanya ingin menundukkan, sama sekali tidak ingin mencelakai Bapa Guru."
Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah semua orang setuju, ki Kiswoyo lalu mengatur siasat.
"Besok pagi, kalian harus sudah siap dan tidak bekerja di luar perkampungan. Awas jangan sampai bersikap mencurigakan. kalau nanti para utusan Blambangan itu datang menyerbu, baru kalian membantu mereka, melucuti dan menangkap siapa saja yang hendak melawan."
Sekitar tiga puluh orang murid Bromo Dadali yang dihubungi Ki Kiswoyo dan diperingatkan agar besok pagi sudah siap.
Ki Sanuri selalu mengawasi gerak gerik Ki Kiswoyo dan memperhatikan adik seperguruan ini semenjak Ki Kiswoyo berbeda pendapat dengan dia mengenai bujukan utusan Blambangan untuk bekerjasama. Kecurigaannya terhadap Ki Kiswoyo semakin kuat ketika adik seperguruannya itu melindungi Sangkolo yang berkelahi dengan Joko Galing. Ketika isteri Ki Kiswoyo mengajak anaknya, Sangkolo pergi, Ki Sanuri mulai bertanya-tanya dalam hatinya apakah ada maksud-maksud tertentu di balik semua itu. Akan tetapi karena Kiswoyo bersikap wajar, dia pun tidak dapat berbuat apa-apa.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Parmadi dan Muryani mengajak putera mereka, Joko Galing berjalan-jalan ke daerah pegunungan Muria untuk menikmati keindahan alam di sekitarnya. Suami isteri ini hendak mengajak putera mereka bersenang- senang bertiga lebih dulu sebelum mereka berpisah dari putera mereka. Mereka hanya akan tinggal di perguruan Bromo Dadali selama lima hari lagi. Mereka sengaja hendak menanti kembalinya utusan Blambangan yang meninggalkan ancaman kepada Ki Sanuri. Mereka harus membela Bromo Dadali dari gangguan musuh. Setelah bahaya itu lewat, baru mereka akan kembali ke Pasuruan dan meninggalkan Joko Galing di situ.
Akan tetapi sebelum mereka bertiga pagi itu berangkat, Niken Arum yang setiap pagi sejak fajar menyingsing sudah bangun, membersihkan diri dan menyapu halaman, tiba-tiba muncul. Melihat gadis cilik itu, Joko Galing segera berkata kepada ibunya.
"Ibu, aku ingin mengajak Mbakayu Niken."
Parmadi memandang puteranya dan bertanya.
"Mengapa engkau ingin mengajak Niken, bukan anak lain?"
"Mbakayu Niken amat baik kepadaku, Ayah. Aku merasa ia seperti saudaraku sendiri, seperti kakakku. Aku akan gembiara sekali kalau ia ikut."
Muryani saling pandang dengan suaminya yang mengangguk kecil, dan Muryani segera menggapai ke arah Niken Arum. Gadis cilik itu memang sejak tadi menunda pekerjaannya menyapu dan memandang kepada mereka, maka ketika Muryani memanggil, ia melepaskan sapunya dan lari menghampiri mereka yang berada di jalan.
"Bibi memanggil saya?"
Tanyanya setelah ia berdiri di depan mereka.
"Mbakayu Niken Arum, mari ikut dengan kami!"
Kata Joko Galing mendahului Ibunya.
"Ikut? Ke mana?"
Niken Arum bertanya heran, juga dari kerutan alisnya menunjukkan bahwa ia merasa khawatir.
"Kami hendak berjalan-jalan menikmati keindahan alam di sekitar pegunungan. Mari ikut dengan kami, Mbakayu Niken!"
Gadis cilik itu tersenyum dan menghela napas lega.
"Aih, kukira tadi Bibi bertiga hendak pulang ke Pasuruan!"
Muryani tersenyum.
"Tidak, Niken. Kami belum pulang. Kalau engkau menerima ajakan Joko, pamitlah kepada orang tuamu, kami tunggu di sini."
"Tentu saja mau, Bibi. Saya akan bilang kepada Ayah dan Ibu dulu!"
Gadis cilik itu lalu berlari-lari memasuki rumah orang tuanya. Tak lama kemudian ia keluar lagi sudah berganti pakaian ringkas bersama Ayahnya.
"Adimas Parmadi dan Muryani, Andika berdua mengajak Niken Arum bertamasya menikmati keindahan alam pegunungan?"
Kata Ki Sanuri sambil tersenyum ketika berhadapan dengan suami isteri itu.
"Benar, Kakang Sanuri. Aku ingin menikmati matahari pagi yang dulu amat kukagumi, mengajak Joko Galing dan tadi, melihat Niken Arum, Joko ingin mengajaknya. Boleh, kan?"
"Tenu saja boleh! Akan tetapi, apakah Andika bertiga tidak singgah dulu minum wedang (minuman)? Ibunya Niken sedang sibuk di dapur."
"Terima kasih, Kakang Sanuri. Kami sudah minum tadi dan aku tidak ingin kesiangan menyaksikan matahari pagi."
Kata Muryani. mereka lalu pergi berempat, meninggalkan Ki Sanuri yang mengikuti mereka dengan pandang matanya setelah mereka menghilang di tikungan, Ki sanuri lalu keluar dari pekarangan rumahnya untuk melihat-lihat keadaan. Dia merasa heran sekali, karena melihat betapa sedikitnya murid bromo Dadali yang keluar dari perkampungan untuk bekerja di ladang atau pergi mencari ikan. sebagian besar dari mereka sibuk bekerja di pekarangan masing-masing, ada yang mencangkul kebun belakang rumah, ada yang membersihkan pekarangan depan, ada pula yang membetulkan atap yang bocor atau dinding retak.
Dia merasa heran sekali dan dia berkeliling dalam perkampungan Bromo Dadali. Dia semakin heran melihat banyak wajah tampak tegang dan seolah mengalihkan pandangan, tidak mau bertemu pandang langsung dengan dia. Ada apakah ini? Tentu saja dia menjadi curiga dan dengan sendirinya dia teringat kepada Kiswoyo. Maka, dia segera pergi ke rumah adik seperguruan yang menjadi wakilnya dalam menggantikan guru mereka mengurus perguruan Bromo Dadali.
Rumah Ki Kiswoyo masih sunyi dan pintu depan tertutup. Ki Sanuri teringat bahwa isteri Kiswoyo dan anak mereka, Sangkolo, kemarin dulu meninggalkan perkampungan mereka, katanya hendak menengok orang tua isteri Kiswoyo di dusunnya. Berarti Ki Kiswoyo sekarang berada di rumah seorang diri karena keluarga itu tidak mempunyai pembantu seperti juga semua keluarga di perguruan itu. Bahkan guru mereka sendiri juga tidak mempunyai pembantu bayaran, yang melayani kakek itu adalah para murid secara bergilir.
Ki Sanuri menghampiri daun pintu dan mengetuknya beberapa kali. akan tetapi tidak ada jawaban. Dia lalu memanggil dengan suara nyaring. tidak ada jawaban juga. bebeapa kali dia menggedor pintu dan berteriak memanggil. Setelah merasa yakin bahwa tidak ada jawaban, dia merasa tidak enak. jangan-jangan terjadi sesuatu dengan adik seperguruannya itu. Maka daun pintu depan itu didorongnay. Ternyata tidak dipalang dari dalam, hanya dikaitkan di luar sehingga mudah terbuka. Dalam rumah masih gelap, agaknya memang tidak dipasang lampu penerangan dan pagi itu memang cuaca masih gelap. Kembali Ki Sanuri memanggil.
"Adi Kiswoyo....! Adi Kiswoyo, keluarlah. Aku Sanuri....!"
Tetap tidak ada jawaban. melihat ada sebuah lampu di atas meja dalam ruangan itu, Ki Sanuri lalu menyalakannya sehingga keadaan dalam rumah itu cukup terang. Dia lalu memeriksa semua ruangan dalam rumah itu dan mendapat kenyataan bahwa rumah itu memang kosong. Kiswoyo tidak berada di rumah!. Ke mana perginya sepagi itu? Tadi dia sudah keliling dalam perkampungan dan tidak tampak adanya Kiswoyo. Mendadak hatinya merasa tidak enak dan kecurigaannya timbul. Teringat sesuatu. Ada firasat yang tidak enak menekan perasaannya.
Dia memadamkan lampu lalu keluar dan cepat pergi menghadap Ki Ageng Branjang. Kakek itu seperti biasa, sudah terbangun pagi-pagi sekali tadi, sudah bersamadhi dan kini sedang minum wedang hangat.
"Sanuri, ada keperluan apakah yang membawamu pagi-pagi begini menghadap? Agaknya ada sesuatu yang merisaukan hatimu."
"Kasinggihan (sesungguhnya), Bapa Guru. Ada hal pelik yang harus saya laporkan kepada Paduka."
"Hemm, bicaralah."
Sanuri lalu menceritakan tentang sikap Ki Kiswoyo yang tampaknya menyetujui bujukan para utusan Blambangan untuk bekerja sama menghadapi Mataram. Lalu dia menceritakan tentang peristiwa perkelahian antara Sangkolo dan Joko Galing. Setelah itu, dia menceritakan keadaan pagi ini.
"Saya Sudah menaruh curiga kepada Adi Kiswoyo, Bapa. Kemarin dulu isteri dan anaknya meninggalkan perkampungan. Kemudian pagi ini, saya melihat banyak murid yang tidak bekerja di luar perkampungan, seolah-olah mereka itu berkumpul di perkampungan menanti sesuatu yang akan terjadi. Ketika saya pergi ke rumah Kiswoyo, ternyata rumahnya kosong. Dia telah pergi meninggalkan rumah dan perkampungan!"
"Hemm....!"
Ki Ageng Branjang menghela napas panjang beberapa kali dan menggeleng-geleng kepalanya.
"Sungguh tidak kukira Si Kiswoyo tetap saja belum menyadari kesesatannya. Sejak kecil dia menjadi muridku dan banyak sudah kuberi pendidikan budi pekerti yang baik. Beberapa kali aku sudah mengampuni kesalahannya dan memperingatkan agar dia benar-benar bertaubat. Ah, semua ini adalah karena pengaruh buruk dari isterinya, bahkan anaknya juga menjadi anak murid Bromo Dadali. Ini merupakan bukti lagi bahwa kebaikan tidak mungkin dapat dipelajari. Kebaikan hanya datang melalui keadaran, penyerahan diri kepada Gusti Allah yang memberi bimbingan dan membersihkan segala kekotoran yang melekat. Sanuri, mungkin sekali kekhawatiranmu benar. Akan terjadi sesuatu yang buruk pada Bromo Dadali. Beruntung bahwa Muryani dan suaminya yang sakti mandraguna berada di sini sehingga merupakan bantuan yang dapat diandalkan untuk menanggulangi gangguan ini."
"Akan tetapi justru hari ini, pagi tadi, Adimas Parmadi dan Adi Muryani, bersama putera mereka dan anak saya Niken Arum pergi bertamasya untuk menikmati keindahan alam di sekitar pegunungan ini. Mungkin sehari ini mereka tidak berada di sini dan baru pulang sore nanti, Bapa."
Ki Ageng Branjang bangkit berdiri.
"Wah, kalau begitu bisa gawat keadaannya! Aku harus turun tangan sendiri. Biar aku yang akan menghadapi mereka! Kita harus siap sedia menghadapi mereka dan kalau mereka melakukan kekerasan hendak memaksa kita menuruti kehendak mereka, kita lawan mati- matian! Sanuri, sekarang keluarlah dan siapkan semua murid!"
Kata kakek itu bersemangat. Biarpun sudah tua, mendengar Bromo Dadali terancam bahaya, dia menjadi bersemangat untuk membela perguruannya.
Setelah Sanuri keluar, Ki Ageng Branjang bertukar pakaian, menanggalkan jubah longgar yang biasa dia pakai bersamadhi dan mengenakan pakaian ringkas lalu mengambil Kyai Jamus, yaitu tombak pusakanya yang ampuh.
Sanuri sendiri lalu mengumpulkan para murid Bromo Dadali. Karena pada pagi hari itu, sebagian besar murid bekerja dalam perkampungan, maka mudah memanggil mereka untuk berkumpul di halaman depan rumah induk Bromo Dadali yang ditempati Ki Ageng Branjang. Jumlah murid ada lima puluh lima orang dan ketika mereka berkumpul, ternyata yang hadir ada empat puluh sembilan orang. Enam orang murid berada di luar, tahu bahwa di antara para murid itu, sekitar tiga puluh orang telah dipengaruhi Kiswoyo dan condong menyetujui kerja sama dengan Blambangan demi mendapatkan kemakmuran sebagai imbalannya.
Setelah empat puluh sembilan orang murid itu berkumpul, Sanuri yang berdiri di atas pendopo berkata dengan lantang.
"Kalian semua telah mengetahui bahwa kita mendapat ancaman dari para utusan Blambangan yang hendak memaksa kita bekerja sama dengan Blambangan untuk menentang Mataram. Kalian semua tahu pula bahwa kita tidak pernah campur tangan dengan perang antara Mataram dan daerah-faerah yang menentangnya, akan tetapi berkali-kali Bapa Guru menekankan bahwa kita harus setia kepada Mataram. Karena itu, kita tetap menolak ajakan Blambangan untuk menentang Mataram. para utusan mengancam bahwa sebulan setelah kinjungan mereka dahulu, mereka akan datang lagi dan kalau kita tetap menolak, mereka menganggap kita musuh! Waktu sebulan itu tinggal lima hari lagi mereka akan muncul, sesuai dengan ancaman mereka. Akan tetapi kita tidak boleh lengah. Mulai hari ini, semua murid dilarang bekerja di luar perkampungan dan harus berada di dalam perkampungan dan mempersiapkan diri untuk membela perguruan kita apabila para utusan Blambangan menyerang kita. Apakah ada pertanyaan? Kalau ada, silakan bertanya!"
Seorang murid yang berusia tiga puluh tahun lebih, bertubuh jangkung kurus, mengangkat tangan ke atas lalu bertanya.
"Kakang Sanuri, saya ingin bertanya. Kita ini bukan orang Mataram, mengapa kita harus setia kepada Mataram? Bukankah kesetiaan kita hanya kita tujukan untuk perguruan kita, untuk Bapa Guru Ki Ageng Branjang, untuk Bromo Dadali, dan bukan untuk Mataram?"
Pertanyaan itu saja sudah cukup bagi Sanuri untuk menduga bahwa murid itu pasti telah terkena bujukan atau hasutan Kiswoyo yang mendukung kerja sama dengan Blambangan. Maka dia menjawab dengan tegas.
"Memang benar apa yang dikatakan Aji Sendaru tadi. Kita hanya setia kepada Bromo Dadali dan guru kita! Nah, karena Bapa Guru Ki Ageng Branjang sendiri yang mngambil keputusan untuk tidak menentang dan setia kepada Mataram walaupun tidak membantu dalam perang, maka sebagai bukti kesetiaan kita kepada Bromo Dadali, kita harus mentaati perintah Bapa Guru itu. Kalau kita menentang atau mengingkari perintah guru kita, apakah itu dapat disebut setia kepada Bapa Guru?"
Setelah mengeluarkan jawaban itu, Sanuri memandang kepada mereka semua lalu bertanya lagi.
"Nah, siapa lagi yang ingin bertanya?"
Seorang murid lain yang berusia sekitar tiga puluh lima tahun dan bertubuh kekar berkulit hitam mengacungkan tangan lalu bertanya, suaranya nyaring.
"Kakang Sanuri, saya ingin beranya. Kalau para utusan Blambangan menyerang Bapa Guru Ki Ageng Branjang, tentu saja kami semua harus membela Bapa guru. Akan tetapi bagaimana kalau mereka datang dan bersikap lunak dan bicara baik-baik kepada kita, tidak mengganggu Bapa Guru? Apa yang harus kita lakukan?"
Mendengar pertanyaan ini, Sanuri menjawab.
"Kalau mereka bersikap lunak dan baik, maka kita serahkan saja kepada Bapa Guru untuk memutuskan, apa yang harus kita lakukan. Kita sudah bersumpah setia kepada Bapa Guru, kepada Bromo Dadali, maka apa pun yang diputuskan oleh beliau, harus kita taati."
Setelah tidak ada yang bertanya lagi, Sanuri lalu membubarkan para murid dengan pesan ulangan bahwa mereka harus memepersiapkan diri sehingga setiap saat kalau ada bahaya, mereka akan dapat melawan dan membela Bromo Dadali.
Pagi itu tidak terjadi sesuatu. Sampai matahari naik tinggi, tidak ada tanda-tanda terjadi sesuatu sehingga hati Sanuri merasa lebih tenang. Demikian pula Ki Ageng Branjang. Biarpun dia masih mengenakan pakaian ringkas, pakaian yang dipakai dalam persiapan menghadapi serangan lawan, namun dia sudah memasuki sanggar pamujan di mana dia bersamadhi seperti telah menjadi kebiasaannya.
Lewat tengah hari keadaan di perkampungan Bromo Dadali sunyi. Siang itu panasnya bukan main dan orang- orang sedang beristirahat setelah bekerja sejak pagi. Baru saja mreka berhenti untuk makan siang dan kini mereka beristirahat sebelum melanjutkan pekerjaan mereka.
Tiba-tiba terdengar ledakan keras yang mengguncang seluruh perkampungan dan mengejutkan semua orang. Para murid Bromo Dadali berhamburan keluar dan mereka terkejut sekali melihat api berkobar. Mereka cepat menyambar senjata masing-masing dan lari ke arah kebakaran itu. Alangkah terkejut hati mereka ketika melihat bahwa yang terbakar adalah sanggar pamujan, sebuah bangunan kecil di sebelah kiri rumah induk di mana biasanya Ki Ageng Branjang bersamadhi! Dan mereka melihat betapa Ki Ageng Branjang yang menggunakan senjata tombak pusaka sedang bertanding melawan Ki Randujapang, tokoh Madura utusan Blambangan itu yang bersenjatakan sepasang kapak besar. Mereka bertanding dengan seru di pendopo rumah induk yang luas. Juga di pendopo itu tampak Kaladhama dan Kalajana yang berdiri di tepi pendopo dengan sikap bengis.
Kebetulan sekali ketika sanggar pamujan diledakkan dengan alat peledak yang diterimanya dari pihak Kumpeni Belanda, Ki Ageng Branjang sudah keluar dari sanggar pamujan dan makan siang di dalam rumah induk. dia pun terkejut mendengar ledakan itu dan begitu dia keluar sampai di pendopo rumahnya, Ki Randujapang telah menyerangnya dengan sepasang kapak. Ki Ageng Branjang yang memang sudah siap membawa tombaknya lalu melawan sehingga terjadi perkelahian yang seru. Ada pun Dwi Kala, dua orang raksasa itu menjaga di tepi pendopo. Kiranya tiga orang yang berkepandaian tinggi ini telah berhasil menyusup ke dalam perkampungan Bromo Dadali. Tentu saja hal ini dengan mudah dapat mereka lakukan atas petunjuk Ki Kiswoyo, yaitu pada saat semua murid makan siang dan mengaso dan melalui kebun yang sunyi.
Melihat rumah yang menjadi sanggar pamujan itu berkobar dimakan api dan Ki Ageng Branjang membela diri mati-matian diserang oleh Ki Randujapang, para murid yang tadinya sudah dipengaruhi Ki Kiswoyo menjadi penasaran dan marah sekali. Tadinya Ki Kiswoyo tidak mengatakan bahwa para utusan Blambangan hendak menyerang atau mengganggu Ki Ageng Branjang. Akan tetapi kenyataannya sekarang, utusan Blambangan itu menyerang Ki Ageng Branjang, bahkan membakar sanggar pamujan. Maka mereka menjadi marah dan penasaran. Bagaimanapun juga, mereka dapat terbujuk dan dipengaruhi Ki Kiswoyo hanya karena mereka ingin mendapatkan kedudukan dan harta benda supaya dapat hidup mewah dan makmur. Akan tetapi mereka semua masih amat setia kepada Ki Ageng Branjang dan melihat guru mereka itu diserang, mereka segera menjadi marah dan lupa akan niat mereka mendukung Ki Kiswoyo yang akan menerima kerja sama dengan Blambangan.
Randujapang adalah seorang tokoh dari Madura yang memiliki kepandaian tinggi. Dia adalah seorang di antara murid-murid mendiang Ki Harya Baka Wulung yang terkenal sebagai datuk Madura yang
(Lanjut ke Jilid 16)
Kemelut Blambangan (Seri ke 05 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 16
sakti dan seorang yang membenci Mataram sampai akhir hidupnya. Ki Randujapang mewarisi bukan saja kepandaian Ki Harya Baka Wulung, melainkan juga perasaan benci kepada Mataram itu. Ketika Madura ditundukkan Mataram dan Raden Prasena oleh Sultan Agung di Mataram diangkat menjadi Pangeran Cakraningrat yang meguasai Madura, Ki Randujapang tidak mau mengakui dan dia malah diam-diam menghimpun orang-orang yang sehaluan dengan dia. Karena dia memang seorang tokoh sesat, maka tentu saja yang dapat dia kumpulkan adalah golongan sesat seperti para perampok, pengganggu keamanan, dan sebagian lagi bekas pasukan yang kalah melawan Mataram.
Ketika dia mendengar akan pesekutuan yang dibentuk Blambangan dalam usahanya menentang Mataram, dia lalu mengumpulkan orang- orang sehaluan itu dan berhasil mengajak sekitar tiga ribu orang menyeberang ke Blambangan dan menggabungkan diri dengan pasukan Blambangan dan Bali. Kemudian dia dipercaya oleh Bhagawan Kalasrenggi yang menjadi wakil Sang Adipati memimpin persekutuan itu untuk pergi membujuk para tokoh sakti termasuk perguruan Bromo Dadali untuk membantu dan bergabung dengan persekutuan yang diadakan oleh Blambangan.
Demikianlah, dengan petunjuk Kiswoyo yang berkhianat terhadap Bromo Dadali, rombongan Ki Randujapang pada lewat tengah hari itu menyerbu Bromo Dadali, padahal waktu yang dia janjikan masih lima hari lagi. Mula-mula, Randujapang bersama dua orang pembantunya, Kaladhama dan Kalajana, ditemani Kiswoyo sebagai penunjuk jalan, berhasil menyusup ke perkampungan Bromo Dadali tanpa diketahui para murid, kemudian dengan menggunakan bahan peledak yang dapat membakar, Dwi Kala meledakkan dan membakar sanggar pamujan atas petunjuk Kiswoyo yang mengira bahwa gurunya, Ki Ageng Branjang tentu sedang bersamadhi dalam sanggar pamujan itu. Akan tetapi, mereka terkejut sekali melihat Ki Ageng Branjang keluar dari dalam rumah induk membawa tombaknya. Melihat ini, Kiswoyo bersembunyi dan tiga orang utusan Blambangan itu lalu menyambut Ki Ageng Branjang di pendopo.
Randujapang segera menyerang ki ageng Branjang tanpa banyak cakap lagi, sedangkan Dwi Kala berjaga-jaga ditepi pendopo. Pertandingan antara Randujapang dan Ki Ageng Branjang amat seru dan mati-matian. sebagai murid mendiang ki Harya Baka Wulung, entu saja kepandaian Randujapang amat tinggi. Sebetulnya, Ki Ageng Branjang yang mewarisi ilmu dari eyang gurunya, suna Muria, juga seorang yang digdaya. akan tetapi usia tua telah menggerogoti kekuatannya dari dalam. karena itu biarpun tingakat kepandaiannya tidak berselisih jauh dengan Randijapang, namun usianya yang jauh lebih tua itu membuat dia kehabisan tenaga dan pertahanannya semakin melemah dan akhirnya dia terdesak sekali.
Melihat guru mereka terdesak, para murid Bromo Dadali, baik yang mendukung Kiswoyo maupun yang tidak, semua lalu berlari ke arah pendopo sambil membawa senjata mereka berupa pedang, golok, atau tombak. Yang berada didekat tempat itu ada sekitar tiga puluh orang murid. Mereka berlari menghampiri pendopo.
Melihat betapa kawan-kawannya yang sudah dipengaruhinya itu ikut-ikutan menyerbu ke arah pendopo dan ikut berteriak untuk membunuh para pengacau, Kiswoyo terkejut dan marah sekali. Dia melompat keluar dari tempat persembunyiannya, mencoba menghadang mereka dan berseru nyaring.
"Heii, kawan-kawan! Ingat, mereka bukan musuh kita....! "
Akan tetapi para murid yang tadinya mendukung Kiswoyo untuk bekerja sama dengan para utusan Blambangan itu sama sekali tidak mempedulikan dia. Bahkan mereka merasa dibohongi karena sekarang buktinya, para utusan Blambangan itu melakukan pengacauan dan pengrusakan, membakar sanggar pamujan, bahkan sekarang menyerang guru mereka. Para murid itu kini mengepung pendopo dan hendak menyerbu naik.
Akan tetapi, Kaladhama yang tadi melihat para murid Bromo Dadali datang menyerbu, sudah siap dengan ilmu sihirnya. Dia berkemak-kemik membaca mantram dan menggerakkan kedua tangan mendorong ke depan. Tampak asap hitam keluar dari tangannya dan ketia asap lenyap, tampak ratusan ekor ular merayap, mendesis-desis menyambut para murid Bromo Dadali! Tentu saja para murid Bromo Dadali terkejut bukan main dan mereka sibuk dengan senjata mereka menyerang ular-ular itu. Akan tetapi alangkah kaget dan ngeri rasa hati mereka ketika ternyata bahwa ular-ular itu tidak dapat mereka bacok dengan pedang dan golok, tidak dapat mereka gebuk atau tusuk dengan tombak. Ular-ular itu mengerikan sekali dan semua serangan mereka hanya mengenai tanah, seolah mereka menyerang bayang-bayang saja.
Tiba-tiba para murid Bromo Dadali menjadi semakin panik ketika kini kedua telapak tangan Kalajana juga mengeluarkan asap hitam yang berubah menjadi puluhan ekor kelelawar hitam yang menyambar-nyambar dari atas seolah hendak menyerang kepala mereka. Para murid itu diserang dari bawah oleh ular-ular dan dari atas oleh segerombolan kelelawar dan binatang-binatang itu sama sekali tidak dapat dibunuh dengan senjata mereka!
Sanuri berlari ke pendopo. Tadi dia berkeliling mengadakan penelitian, maka dia agak terlambat. Melihat keributan di pendopo dia terkejut bukan main. Dilihatnya gurunya sedang bertanding dengan Ki Randujapang dan berada dalam keadaan terdesak, sedangkan para murid Bromo Dadali sedang kebingunan dan ketakutan menghadapi ratusan ekor ular dan puluhan ekor kelelawar! Bagaimana mungkin di siang hari muncul kelelawar. pikirnya dengan heran.
Tiba-tiba muncul Kiswoyo menghadapinya.
"Kakang Sanuri, semua ini akibat kebodohanmu yang menentang para utusan Blambangan. Sekarang Bromo Dadali pasti akan mengalami kehancuran!"
"Kiswoyo, jahanam busuk, pengkhianat!"
Sanuri memaki marah dan dia sudah menerjang dan menyerang adik seperguruannya itu. Kiswoyo melawan dan mereka berdua sudah bertanding agak jauh dari para murid Bromo Dadali yang sibuk melawan banyak ular dan kelelawar itu.
Tiba-tiba terdengar sorak sorai dan tiga puluh prajurit anak buah Ki Randujapang menyerbu masuk ke dalam perkampungan Bromo Dadali itu. Mereka ini adalah para jagoan dari Madura yang menjadi anak buah Randujapang, orang-orang yang ganas dan kejam, golongan sesat yang sudah terbiasa melakukan kejahatan. Dua orang segera membantu Kiswoyo menghadapi Sanuri sedangkan yang lain segera bertempur dengan murid-murid Bromo Dadali yang sudah panik oleh banyaknya ular dan kelelawar yang menyambar-nyambar itu.
Sementara itu, di lereng Gunung Muria, Parmadi, Muryani, Joko Galing, dan Niken Arum sedang menikmati keindahan alam yang terbentang luas di bagian bawah gunung. Warna-warna biru dan kuning pada dasar hijau menyamankan penglihatan. Hawa udara yang segar sejuk dan jernih membuat tubuh mereka terasa nikmat. Bau-bauan tanah, daun- daunan dan bunga-bunga harum sekali memasuki penciuman mereka. Kicau burung dan teriakan monyet menyelingi desah angin di daun-daunan dan gemercik air terjun di bawah sana menyedapkan pendengaran mereka.
Tiba-tiba Jaka Galing yang kebetulan memutar tubuhnya memandang ke atas di belakangnya, berseru.
"Eh, ada kebakaran!"
Semua orang menengok dan melihat sinar api dan kepulan asap membubung ke atas. Muryani berseru kaget.
"Ah, di sana letaknya Bromo Dadali!"
Mendengar seruan ini, Parmadi berkata dengan sikap tenang-tenang namun cepat dan tegas.
"Kalau begitu, mari kita kembali ke sana! Diajeng, engkau gendong Niken dan aku akan menggendong Joko agar kita dapat lebih cepat tiba di sana. Siapa tahu mereka membutuhkan bantuan kita!"
Tanpa menjawab Muryani segera menggendong Niken Arum di punggungnya dan Parmadi menggendong Joko Galing. Mereka berdua lalu mempergunakan ilmu yang mereka kuasai untuk berlari cepat, kembali ke arah perkampungan Bromo Dadali. Dengan ilmu mereka berlari cepat, sebentar saja mereka sudah tiba di perkampungan Bromo Dadali.
Sebelum masuk perkampungan mereka telah melihat bahwa kebakaran itu memang berada di dalam perkampungan. Setelah mereka cepat memasuki perkampungan, mereka melihat keributan terjadi di halaman dan pendopo rumah induk Bromo Dadali.
Muryani terkejut melihat gurunya terdesak hebat oleh seorang laki-laki tinggi besar dan brewok yang memainkan sepasang kapak dengan dahsyatnya. Bahkan gerakan gurunya itu sudah lemah sekali, ada darah membasahi pundak kiri dan dadanya. Namun gurunya yang tua itu dengan semangat yang tetap berkobar memainkan tombaknya melakukan perlawanan mati-matian. Melihat ini, Muryani segera mencabut pedangnya menurunkan Niken Arum dari gendongannya lalu melompat ke atas pendopo. Ia melihat betapa Ki Ageng Branjang terhuyung terkena sabetan kapak pada punggungnya lalu roboh! Randujapang mengejar dan mengayunkan kapaknya untuk memberi bacokan terakhir yang pasti akan menewaskan ketua perguruan Bromo Dadali itu. Kapak kanannya menyambar turun ke arah kepala Kakek yang sudah roboh itu.
"Wuuuuuttttt....!"
Tiba-tiba tampak sinar terang menyambar dan menangkis kapak yang mengancam nyawa Ki Ageng Branjang.
"Singgg.... tranggg....!"
Kapak itu terpental. Randujapang terkejut melihat bahwa yang menangkis senjatanya adalah sebatang pedang dalam tangan seorang wanita cantik. Pedang yang tadi menangkis kapaknya kini meluncur ke arah dadanya dengan tusukan kilat.
"Tranggg.... cringgg....!"
Bunga api berpijar ketika dengan kaget Randujapang menggunakan sepasang kapaknya untuk menangkis serangan pedang yang cepat bertubi-tubi itu. Pedang di tangan Muryani itu digerakkan dengan cepat sekali sehingga berubah menjadi sinar bergulung-gulung, menyerang dengan dahsyat sehingga menyulitkan dan menggetarkan hati Randujapang. Tokoh Madura melawan mati-matian dan terjadi perkelahian yang seru. Senjata mereka saling bertemu dan terdengar bunyi berdencingan disusul muncratnya bunga api berhamburan.
Sementara itu, Parmadi juga sudah menurunkan Joko Galing dari gendongannya. Joko Galing dihampiri dan digandeng Niken Arum dan diajak lari memasuki rumah induk Bromo Dadali melalui pintu samping.
Parmadi melihat betapa para murid Bromo Dadali kebingungan dan ketakutan menghaadapi serbuan ular-ular dan kelelawar-kelelawar yang bermunculan sebagai hasil ilmu sihir Kaladhama dan Kalajana. Dia lalu berseru dengan suara nyaring karena suaranya mengandung tenaga sakti yang kuat.
"Saudara-saudara, para murid Bromo Dadali! Jangan takut! Ular dan kelelawar itu hanya bayang- bayang saja, tidak dapat melukai kalian! Maju terus, serang dan usir para pengacau!"
Mendengar seruan Parmadi yang mengandung wibawa kuat itu, para murid Bromo Dadali mengamuk dan benar saja, ketika mereka menyerbu maju, ular-ular dan kelelawar-kelelawar jadi-jadian itu ternyata hanya bergerak mengancam dan mengganggu saja, tidak mampu melukai mereka seolah kekuatan mereka telah punah oleh seruan Parmadi.
Nona Berbaju Hijau Karya Kho Ping Hoo Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo