Kemelut Blambangan 16
Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 16
"Saya diutus oleh Bapa Guru untuk menghadap Paman dan minta nasihat dan pendapat Paman tentang gerakan Blambangan yang hendak menyerang Mataram. Blambangan pernah mengundang perguruan kita yang diwakili oleh Adi Ratna Manohara dan membujuk agar kita mau bekerja sama dengan Blambangan memusihi Mataram. Tentu saja bujukan itu kita tolak dan Bapa Guru ingin mendengar nasihat dan pandangan Paman. Maka Bapa Guru mengundang Paman agar Paman suka datang berkunjung ke perguruan.
"Hemm, aku tidak ada waktu luang!"
Jawabnya ketua.
"Kalau Paman tidak sempat berkunjung, harap Paman sampaikan nasihat dan pendapat Paman mengenai urusan itu, kepada saya. Apa yang harus kita lakukan, Paman?"
"Hemm, Kakang Sarwaguna minta pendapatku? Dengar baik-baik, Sakitri. Keputusan Driya Pawitra menolak ajakan Blambangan untuk bergabung adalah bodoh sekali! Kalau menurut pendapatku, semestinya kita menerima uluran tangan Blambangan untuk bekerja sama. Keputusan itulah yang paling baik dan menguntungkan. Kalau Driya Pawitra menolak kerja sama, sama saja dengan mendatangkan malapetaka bagi dirinya sendiri."
Bukan main kaget dan herannya hati Sakitri mendengar ucapan Paman Gurunya itu! "Akan tetapi, Paman! Bukankah sejak dahulu Bapa Guru memimpin Driya Pawitra menjadi sebuah peguruan yang mengutamakan kebenaran dan keadilan? Kita tidak pernah mencampuri pemberontakan para kadipaten terhadap Mataram. Apalagi kita mengetahui bahwa pemberontakan-pemberontakan itu mendapat dukungan dari Kumpeni Belanda yang sengaja hendak mengadu domba antara Mataram dan para penguasa daerah agar kita menjadi lemah."
"Sakitri! Engkau ini hendak minta nasihatku ataukah hendak membantah pendapatku? Jangan banyak membantah. Pendeknya, aku menghendaki agar Driya Pawitra bergabung dengan Blambangan menentang Mataram. Dengan demikian, Driya Pawitra baru akan terbebas dari kehancuran. Bagaimanapun juga, Teluk Grajagan termasuk wilayah Kadipaten Blambangan, maka sudah sepatutnya kita membantu Blambangan!"
Tentu saja Sakitri menjadi penasaran sekali dan ia membanah. seperti telah diceritakan di bagian depan, perbantahan itu membuat Bhagawan Sarwatama menjadi marah sekali sehingga paman guru dan murid keponakan itu berkelahi dan akibatnya, Sakitri terpukul dan tewas setelah meninggalkan pesan kepada Bagus Sajiwo yang kebetulan lewat di situ bersama parto atau Tan Swi Hong.
Karena menganggap bahwa pesan yang diberikan Sakitri itu sebagai pesan terakhir dan amat penting karena menyangkut pemberontakan Blambangan, maka Bagus Sajiwo terpaksa menunda perjalanannya mengantar Parto pulang ke Tuban dan kini dia bersama gadis Cina yang menyamar sebagai pria itu melakukan perjalanan menuju ke Teluk Grajagan untuk mengunjungi Perguruan Driya Pawitra dan menyampaikan pesan terakhir Sakitri kepada perguruan itu.
Ki Sarwaguna, Ketua Driya Pawitra merasa gelisah. Dia merasakan getaran yang membuat perasaan hatinya tidak nyaman. Setiap orang manusia tidak pernah ditinggalkan getaran ilham yang datang dari Sang Sumber. Gusti Allah Sang Maha Pencipta sesungguhnya tidak pernah meninggalkan semua ciptaanNya, dari yang terkecil sampai yang terbesar, dari yang terlemah sampai yang terkuat. Namun, nafsu-nafsu daya rendah merajalela dalam diri manusia, bagaikan asap hitam menutupi jiwa sehingga getaran itu menjadi lemah, bahkan sebagian besar orang tidak merasakan lagi! Ki Sarwaguna adalah seorang di antara manusia-manusia yang tidak sepenuhnya dikuasai nafsu daya rendah, tidak diperbudak oleh nafsu-nafsunya dan selalu melangkah dalam jalur kebaikan dan kebenaran sesuai dengan jalur Yang Maha Baik dan Maha Benar. Ki Sarwaguna tidak sepenuhnya mengandalakan hati akal pikirannya yang sering kali keliru. Dia memperhatikan getaran-getaran yang dia rasakan sebagai tanda atau isyarat pemberitahuan.
Ketika dia menanti murid utamanya, Sakitri, yang dia utus mencari Bhagawan Sarwatama dan belum juga pulang, dia merasakan getaran yang membuat dia merasa tidak nyaman. Ki Sarwaguna menjadi waspada. Dia menyuruh puterinya, Ratna Manohara, untuk memanggil para murid berkumpul di pendapa rumah induk perguruan itu. Sekitar enam puluh orang murid berkumpul di pendapa, menghadap Ki Sarwaguna yang didampingi puterinya, Ratna Manohara.
Setelah semua murid menghadap, Ki Sarwaguna berkata dengan nada suara serius.
"Anak- anakku sekalian, para murid Driya Pawitra, seperti kalian telah mengetahui, kadipaten Blambangan sedang mengadakan kegiatan untuk menyerang Mataram. Mereka membujuk perguruan kita untuk bergabung dan membantu mereka, akan tetapi Ratna yang mewakili perguruan kita, dengan tegas menolak. Sikap dan penolakannya itu benar dan sesuai dengan pendirian kita yang tidak ingin mencampuri pemberontakan dan permusuhan. Kita tidak mau berpihak dan kita hanya akan memebela diri kalau diganggu dan diserang oleh pihak mana pun juga. Penolakan kita itu tentu saja menimbulkan rasa tidak suka dan amarah dalam hati para pimpinan Blambangan yang bersekutu dengan mereka yang memusihi Mataram, bahkan juga didukung Kumpeni Belanda. Kita sudah mengirim Sakitri untuk menghadap Adi Bagawan Sarwatama untuk minta nasihat dan mendengar pendapatnya. Akan tetapi sampai sekarang Sakitri belum juga pulang. Perasaan hatiku tidak enak, tidak tentram. Aku menduga bahwa Blambangan tentu menganggap perguruan kita sebagai musuh karena kita tidak mau bekerjasama dan bergabung. Rasa permusuhan mereka ini tentu saja merupakan ancaman bagi ketenteraman hidup kita. Oleh karena itu, pagi ini kalian aku kumpulkan di sini untuk bersiap siaga, waspada dan tidak lengah akan adanya ancaman itu. Mulai hari ini, harus diatur penjagaan siang malam secara bergilir sehingga kita akan dapat mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan."
Kemudian Ratna Manohara menceritakan pengalamannya ketika ia hadir dalam pertemuan yang diadakan Adipati Blambangan. Ia hadir sebagai utusan perguruan Driya Pawitra mewakili ayahnya. Di depan para murid Driya Pawitra yang terdiri dari tujuh belas orang murid wanita dan selebihnya, hampir lima puluh orang murid laki-laki, Ratna menceritakan keadaan Blambangan dengan terperinci. Ayahnya, Ki Sarwaguna sebetulnya memiliki tiga orang adik seperguruan. Yang pertama adalah Bhagawan Sarwatama, dan masih ada dua lagi adik seperguruan Ki Sarwaguna, yaitu Ki Sarwaluhung dan Ki Sarwajati. mereka bertiga dahulunya membantu Ki Sarwaguna memimpn Perguruan Driya Pawitra. Akan tetapi kini mereka tidak berada lagi di perkampungan perguruan itu.
Ki Sarwatama telah menjadi seorang pendeta, seorang pertapa sebagai Bhagawan Sarwatama. Ki Sarwaluhung dan Ki Sarwajati juga belum lama ini meninggalkan perguruan karena mereka ingin merantau. Keduanya tidak pernah menikah dan memang kedua orang ini merupakan petualang-petualang yang suka merantau sebagai pendekar-pendekar gagah perkasa. Apalagi karena mereka berdua maklum akan kemampuan keponakan mereka Ratna Manohara yang biarpun masih muda namun sudah mewarisi dan menguasai semua ilmu dari Perguruan Driya Pawitra dengan baik, bahkan tidak kalah dibandingkan tingkat mereka sendiri!
"Ketika aku hadir dalam pertemuan di kadipaten Blambangan itu, persekutuan mereka lengkap."
Demikian antara lain Ratna Manohara bercerita kepada para murid tang mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Pemimpin pertemuan itu adalah Bhagawan Kalasrenggi, datuk Blambangan yang selain sakti mandraguna, juga amat licik dan cerdik. Agaknya Adipati Santa Guna Alit di Blambangan sudah dikuasai Bhagawan Kalasrenggi sehingga segala sesuatu yang mengambil keputusan adalah Bhagawan Kalasrenggi itu. Bhagawan Kalasrenggi agaknya amat membenci Mataram dan dialah yang mengundang semua golongan untuk bersekutu menentang Mataram. Di dalam pertemuan itu aku melihat banyak tokoh sakti, dan sebagian besar dari mereka menyetujui persekutuan itu. Ketika itu yang tidak mau ikut dalam persekutuan hanya ada tiga orang, yaitu Paman Wiku Menak Jelangger, Mbakyu Ken Darmini murid Nini Kutigarba dari Gunung Betiri, dan aku sendiri sebagai wakil dari Perguruan Driya Pawitra kita."
"Lalu siapa saja yang menjadi anggauta persekutuan itu?"
Tanya Ki Sarwaguna kepada puterinya.
"Yang saya ketahui, di sana ada wakil dari Raja Dewa Agung di Klungkung Bali yang kabarnya membawa banyak sekali pasukan dari Bali. Bali diwakili oleh seorang pemuda bernama Tejakasmala yang kabarnya merupakan murid Bhagawan Ekabrata yang sakti mandraguna, ditemani senopati Bali bernama Candrasakti dan Candrabaya. Ada pula Resi Sapujagad dari Gunung Merapi. Juga tampak Bhagawan Dewakaton dari Gunung Bromo. Saya juga melihat wakil dari Kumpeni Belanda yang bernama Arya Bratadewa, dan masih ada sepuluh jagoan tangguh dari daerah Blambangan. Blambangan sendiri mempunyai banyak senopati tangguh, di antaranya Dwi Kala, dua orang murid Bhagawan Kalasrenggi itu, juga putera kembar sang Adipati sendiri, Dhirasani dan Dhirasanu yang kabarnya juga tangguh dan sakti."
"Wah, kalau begitu persekutuan itu kuat sekali!"
Kata Ki Sarwaguna.
"Pasukan Blambangan yang sudah lama dibangun untuk menandingi Mataram diperkuat pasukan besar dari Bali, dan mngkin saja ada pasukan dari para pemberontak Madura yang membantu. Pasukannya besar dan dipimpin banyak orang sakti, tentu keadaannya menjadi kuat sekali. Kalau benar Blambangan akan segera menyerang Pasuruan, maka kadipaten itu terancam bahaya."
"Kanjeng Rama, saya melihat bahwa sebagian besar para datuk yang mendukung Blambangan adalah orang-orang sesat, dan kita semua mengetahui bahwa Kerajaan Mataram didukung para pendekar dan satria yang berbudi luhur. Apakah kita akan membantu Mataram, sesuai dengan watak dasar perguruan kita, yaitu menegakkan dan membela kebenaran dan keadilan?"
Ki Sarwaguna menghela napas dan menggeleng kepalanya.
"Tidak, Anakku. Kita harus tetap berpegang kepada peraturan yang telah diadakan pendiri Driya Pawitra, mendiang Ki Harjamanik, seabad lebih yang lalu. Peraturan itu adalah bahwa setiap orang murid perguruan kita ini tidak akan mencampuri urusan perang antara penguasa daerah karena perang itu hanya merupakanperang antara saudara yang saling memperebutkan kekuasaan. Perguruan Driya Pawitra tidak membentuk pahlawan, melainkan pendekar yang membela kebenaran dan keadilan, menentang yang jahat membela yang benar namun tertindas, tanpa memandang golongan dan dari mana dia datang."
"Saya mengerti, Kanjeng Rama. Akan tetapi, bukankah dalam perang antar daerah itu juga mengandung dua pihak yang benar dan yang salah? Kita harus membela yang benar, bukan?"
"Benar dan salah itu hanya bagaimana kita menilai dan memandangnya. Andaikata terjadi perang antara Blambangan dan Mataram, kita membela pihak mana pun, tetap saja ada benarnya dan ada salahnya. Kalau kita membela Mataram, bisa benar karena menurut ceritamu tadi, pihak Blambangan yang angkara murka. Akan tetapi juga bisa salah karena bagaimanapun juga, kita tinggal di daerah atau wilayah Blambangan sehingga dapat dianggap bahwa kita ini kawula Blambangan. Jadi, membela Mataram salah, membela Blambangan juga tidak benar. Kedua pihak masih sebangsa dan sesaudara, karena itu kita tidak akan mencampuri pertikaian antara pemerintahan mereka."
"Kanjeng Rama, bagaimana kalau kita melihat orang-orang Blambangan, perajurit-perajuritnya, bertindak kejam dan sewenang-wenang terhadap penduduk Pasuruan yang mereka serang?"
"Sebetulnya, kalau engkau dan semua murid Driya Pawitra sudah paham akan pendirian perguruan kita, pertanyaan itu tidak perlu kau ajukan lagi, Ratna. Kita akan bertindak menentang siapa saja yang melakukan kejahatan, baik itu orang Blambangan, Pasuruan, maupun Mataram. Bukan berpihak kepada siapa saja yang berperang, melainkan berpihak kepada siapa saja yang tertindas oleh orang jahat. Sudah jelaskah sekarang?"
"Terima kasih, Kanjeng Rama. Saya sudah mengerti betul sekarang."
Kata Ratna Manohara sambil memandang kepada para murid yang berkumpul di situ, seolah ucapannya itu mewakili para murid.
"Bagus, kalau kalian semua sudah mengerti, tentu kalian juga tahu bahwa kita harus selalu waspada dan siap siaga. Kita memang tidak mau diajak bersekutu dengan Blambangan dan hal ini mungkin sekali membuat marah kepada Blambangan dan bukan mustahil kalau mereka merencanakan niat yang tidak baik terhadap kita. Biasanya, pihak yang hatinya dipenuhi kebencian, akan selalu curiga kepada orang yang tidak mau mendukung niatnya. Mungkin Blambangan menganggap kita musuh. Mulai sekarang kita harus mengadakan penjagaan siang malam secara bergilir dan semua murid siap menghadapi segala kemungkinan buruk."
Demikianlah, mulai hari itu para murid pergruan Driya Pawitra secara bergilir mengadakan penjagaan ketat siang malam dengan penuh kewaspadaan.
Pada suatu siang, dua orang pemuda datang ke perkampungan Perguruan Driya Pawitra. Karena para murid yang berjaga di pintu gerbang perkampungan tidak mengenal dua orang pemuda itu, tentu saja mereka merasa curiga dan sebentar saja belasan orang murid perguruan itu sudah berkumpul di pintu gerbang dan menghadang dua orang pemuda itu sambil memandang penuh kecurigaan. Pemuda petama gagah dan cukup tampan, namun tidak menimbulkan kecurigaan karena tidak ada yang luar biasa pada dirinya. Akan tetapi pemuda yang kedua itulah yang membuat mereka curiga dan heran. Pemuda kedua itu bertubuh kecil, agak pendek, namun wajahnya tampan sekali. Kulitnya putih halus, rambutnya hitam, panjang dan digelung ke atas. namun ketampanannya tampak asing karena sepasang matanya sipit dengan kedua ujungnya berjungat ke atas.
Dua orang pemuda itu adalah Bagus Sajiwo dan Parto. Seperti kita ketahui, Parto adalah penyamaran Tan Swi Hong, puteri mendiang Tan Beng Ki yang tinggal di Tuban. Bagus Sajiwo menunda niatnya mengantar gadis itu pulang ke Tuban setelah perahu ayah gadis itu terbalik di Selat Bali daerah Blambangan karena Bagus Sajiwo ingin lebih dulu menyampaikan pesan terakhir Sakitri kepada Perguruan Driya Pawitra. Parto atau Tan Swi Hong menyetujui, maka pergilah mereka ke perguruan itu dan kini mereka telah tiba di perkampungan perguruan Driya Pawitra.
"Ki sanak, siapakah Andika berdua dan ada keperluan apa Andika datang berkunjung ke perkampungan kami?"
Tanya seorang murid.
Melihat belasan orang itu bersikap garang dan memandang penuh kecurigaan, Bagus Sajiwo, tersenyum dan bertanya.
"Ki sanak, apakah benar bahwa perguruan Driya Pawitra berada di sini?"
"Benar, di sini perkampungan Perguruan Driya Pawitra. Siapakah Andika dan kepentingan apa yang membawa Andika datang berkunjung?"
Bagus Sajiwo merangkap kedua tangan depan dada sebagai salam penghormatan dan gerakannya ini diikuti Parto.
"Maaf kalau kami mengganggu. Saya bernama Bagus Sajiwo dan temanku ini adalah Ki Parto. Kami datang berkunjung membawa pesan Ki Sakitri untuk disampaikan kepada Ketua Driya Pawitra."
Mendengar ucapan Bagus Sajiwo yang menebut nama Sakitri, sikap para murid Driya Pawitra itu segera berubah ramah. Mereka maklum bahwa dua orang muda ini membawa berita yang amat penting tentang Sakitri, berita yang sudah ditunggu-tunggu oleh ketua mereka. Mereka menahan hasrat untuk segera mendengar berita itu dari mulut dua orang pemuda ini, tidak berani lancang mendahului guru mereka.
"Ah, silakan masuk, dan mari kami antarkan Andika berdua menghadap Ki Sarwaguna, guru kami!"
Kata murid yang tadi bertanya. Bagus Sajiwo dan Parto segera diantar oleh lima orang murid menuju ke rumah induk tempat Ki Sarwaguna.
Ki Sarwaguna dan Ratna Manohara menerima dua orang pengunjung ini di ruangan tamu yang cukup luas. Karena mnduga bahwa dua orang yang membawa pesan Sakitri ini tentu akan bicara tentang urusan yang penting, maka Ketua Driya Pawitra dan puterinya itu menerima mereka tanpa dihadiri para murid lain.
"Silakan duduk, Anakmas berdua."
Kata Ki Sarwaguna dengan sikap ramah.
"Terima kasih, Paman."
Kata Bagus Sajiwo dengan sikap hormat sambil memberi salam penghormatan yang diikuti Parto. Mereka lalu duduk berhadapan dengan ayah dan anak itu, terhalang meja besar. Diam-diam dia kagum melihat Ratna Manohara yang cantik jelita dan anggun, sikapnya lembut namun berwibawa dan pandang matanya yang tajam itu seolah hendak menjenguk isi hatinya.
"Apakah benar saya berhadapan dengan Ketua Perguruan Driya Pawitra?"
"Benar sekali, Anakmas. Aku adalah Ki Sarwaguna, ketua Driya Pawitra, dan ini adalah anakku, Ratna Manohara. Andika berdua siapakah, Anakmas? Dan berita apa yang kalian bawa mengenai murid kami Sakitri."
"Paman Sarwaguna, saya bernama Bagus Sajiwo, dan sahabat saya ini bernama Ki Parto...."
"Ki sanak, kalau kunjungan Andika berdua ini beritikad baik, mengapa harus berbohong?"
Tiba-tiba Ratna Manohara menegur dengan suara lembut, namun tegas dan sepasang matanya memandang penuh selidik. Bagus Sajiwo terkejut.
"Berbohong.... ?"
"Hemm, dia ini sudah pasti bukan Ki Parto karena ia seorang perempuan."
Kata pula Ratna Manohara.
"Ratna....!"
Ki sarwaguna menegur puterinya.
"Kanjeng Rama, ia memang seorang perempuan. Mereka tidak dapat menipu saya."
Mendeng ar ini, Tan Swi Hong tersenyum.
"Memang benar! Adik Ratna ini memeiliki pandangan yang amat tajam. Saya memang seorang perempuan. Maafkan penyamaran ini."
Bagus Sajiwo juga tersenyum dan cepat menyambung.
"Maafkan kami, Paman. Sesungguhnyalah, gadis ini bernama Tan Swi Hong, seorang gadia Cina dan hanya karena terpaksa saja ia menyamar sebagai seorang laki-laki dengan nama Parto agar perjalanan kami tidak mengalami banyak gangguan. Sama sekali kami tidak mempunyai niat buruk terhadap perguruan Paman."
Ki Sarwaguna mengerutkan alisnya. Dia harus berhati-hati karena keadaan pada saat itu gawat dengan adanya kemungkinan sikap permusuhan dari Blambangan terhadap perguruannya. Dia tidak mengenal dua orang pemuda ini dan adanya penyamaran seorang gadis Cina menjadi seorang pemuda, menimbulkan kecurigaannya.
"Anakmas Bagus Sajiwo, sebelum Andika menceritakan tentang Sakitri harap lebih dulu menjelaskan mengapa Nona sahabatmu ini harus menyamar sebagai pria, agar kami tidak menjadi curiga."
"Ceritanya panjang, Paman. Baiklah akan saya singkat saja. Saya menumpang di perahu milik ayah Adik Tan Swi Hong ini yang melakukan pelayaran dagang dari Tuban menuju ke Blambangan. Akan tetapi setibanya di dekat Blambangan, perahu kami diserang orang-orang Blambangan sehingga tenggelam. Semua penumpangnya jatuh ke lautan dan kebetulan kami berdua mendapat perlindungan Gusti Allah sehingga dapat terdampar ke pantai dan selamat. Kami lalu melakukan perjalanan dan saya hendak mengantarkan Adik Tan Swi Hong pulang ke Tuban. Agar perjalanan lebih aman, saya sarankan agar adik ini menyamar sebagai seorang pria dengan nama Parto. Begitulah sesungguhnya apa yang terjadi sehingga terpaksa Adik Tan Swi Hong menyamar sebagai Ki Parto, Paman."
Ki Sarwaguna mengangguk-angguk.
"Baiklah, kami percaya keteranganmu itu, Anakmas Bagus Sajiwo. Sekarang ceritakan tenatang pertemuanmu dengan murid kami Sakitri dan apa pesan yang harus Andika sampaikan kepada kami."
"Ketika kami berdua melakukan perjalanan hendak ke Tuban, di tengah perjalanan itu kami melihat dua orang berkelahi. Yang lebih muda sudah roboh dan yang tua hendak membunuhnya. Kami segera mencegah pembunuhan itu dan yang tua lalu pergi. Kami mencoba untuk menolong orang yang terluka itu. Dia adalah Ki Sakitri, Paman."
"Ahh...!"
Ayah dan anak itu berseru kaget.
"Lalu bagaimana dengan murid kami Sakitri?"
"Lukanya parah, Paman dan dia tidak dapat diselamatkan lagi. Dia tewas dan kami berdua hanya dapat menguburkan jenazahnya."
Wajah Ki Sarwaguna berubah merah karena marah.
"Hemm, Sakitri tewas? Katakan, anakmas, siapa yang membunuh murid kami dan mengapa dia dibunuh?"
"Paman, tadinya kami melihat dua orang itu berkelahi, kami tidak dapat mencampuri karena kami tidak mengenal mereka dan tidak tahu urusannya. Namun dari percakapan mereka, kami mendengar bahwa yang muda yang bernama Sakitri. Setelah Sakitri roboh dan hendak dibunuh dengan tongkat oleh lawannya, barulah kami turun tangan mencegahnya. Kemudian, dalam keadaan terluka parah, sebelum menghembuskan napas terakhir, Sakitri meninggalkan pesan dan minta kepada kami untuk menyampaikan pesan itu kepada Paman Sarwaguna."
"Anakmas Bagus Sajiwo, cepat katakan apa yang dipesan oleh murid kami Sakitri yang malang itu, dan siapakah yang membunuhnya?"
"Hanya dua buah pesannya sebelum dia meninggal dunia, Paman, yaitu pertama bahwa Perguruan Driya Pawitra terancam, akan diserbu oleh Blambangan. Adapun yang kedua adalah bahwa kakek yang membunuhnya itu, dia sebut Paman Sarwatama, telah menjadi pengkhianat. Itu saja, Paman pesannya."
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hilang : Ki Sarwaguna mengepal tinju dan suaranya menggetar marah ketika dia bicara.
"Adi Bhagawan Sarwatama! Ah, sedemikian jauhnya dia tersesat, mendukung Blambangan dan mau mengkhianati Driya Pawitra yang ak"""""""""..
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Kanjeng Rama, semua itu telah terjadi. Kakang Sakitri telah tewas ditangan Paman Guru Sarwatama yang mendukung Blambangan memusuhi perguruan kita. Yang penting sekarang, kita harus waspada dan melakukan penjagaan yang ketat untuk menahan serbuan mereka."
Diam-diam Bagus Sajiwo merasa kagum kepada gadis yang anggun dan tampak serius itu walaupun kata-katanya lembut. Jelas ia seorang gadis yang tenang dan penuh ketabahan.
"Engkau benar, Ratna. Sekarang kumpulkan semua murid dan aturlah penjagaan yang kuat dengan mengerahkan semua tenaga. Aku masih ingin bicara dengan Anakmas Bagus sajiwo dan Nona Hong ini."
Ki Sarwoguna merasa sukar mengingat nama Tan Swi Hong dan yang ia ingat hanya nama akhirnya Hong saja. Setelah puterinya keluar dari ruangan itu, Ki Sarwaguna berkata kepada Bagus Sajiwo.
"Anakmas, Andika berdua telah berjasa besar menolong kami dan bersusah payah memenuhi pesan mendiang Sakitri murid kami, padahal Andika berdua sama sekali tidak pernah mengenalnya. Sungguh Andika berdua telah melimpahkan budi kebaikan terhadap kami dan kami mengucapkan banyak terima kasih!"
"Paman Sarwaguna, apa yang kami lakukan adalah semata-mata merupakan kewajiban kami. harap Paman tidak berterima kasih kepada kami. hanya Gsti allah saja yang berhak menerima puji syukur dan terima kasih atas segala berkahNya kepada kita semua."
Ki Sarwaguna mengangguk-angguk dan memandanag penuh kagum kepada Bagus Sajiwo.
"Anakmas Bagus Sajiwo, Andika masih begini muda sudah memiliki kebijaksanaan. Ingin sekali kami mengetahui, siapakah orang tua Andika."
"Ayah saya bernama Ki tejomanik dan Ibu saya Retno Susilo, mereka tinggal di lereng gunung Kawi, Paman. Adapun guru saya mendiang Eyang Buyut Guru Ki Ageng Mahendra."
"Duh Jagad Dewa Bathara....!"
Ki Sarwaguna berseru."Bukankah Ki Tejomanik itu yang terkenal dengan julukan Pecut Sakti Bajrakirana dan Ki Ageng Mahendra adalah manusia setengan dewa yang bertapa di Pegunungan Ijen?"
Seru Ki Sarwaguna dengan mata terbelalak.
"Ah, Paman. Orang tua saya dan guru saya adalah manusia-manusia biasa saja sesuai dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing seperti manusia-manusia lain, sesuai dengan kehendak Gusti Allah."
"Hebat....! Ah, semua ini tentu telah diatur oleh Sang Hyang Widi Wisesa yang mengatur seluruh alam maya pada! Perguruan kita Driya Pawitra sedang terancam dan tanpa diduga-duga di sini muncul murid Ki Ageng Mahendra dan putera Ki Tejomanik Si pecut Sakti Bajrakirana! Anakmas Bagus Sajiwo, kami mohon kepadamu, bantu dan tolonglah kami, Anakmas. Bantulah kami menghadapi ancaman orang-orang Blambangan!"
"Tenanglah, Paman. Kalau memang Paman sekalian terancam bahaya, tentu saja saya akan membantu Paman menghadapinya."
"Aduh, terima kasih, Anakmas! dan.... Nona Hong ini, aku percaya bahwa engkau tentu bukan gadis sembarangan, melainkan seorang gadis yang sakti pula."
"Aih, Paman, saya ini seorang gadis biasa saja."
Kata Swi Hong.
"Paman, adik Tan Swi Hong ini seorang gadis Cina yang pandai ilmu silat dan merupakan seorang gadis yang tangguh sekali."
"Nah, dugaanku benar! Nona Hong, maukah engkau memberitahukan siapa orang tuamu dan siapa pula gurumu?"
Mendengar pertanyaan ini, Swi Hong menggigit bibirnya karena ia diingatkan akan ayahnya yang tewas dan belum ia temukan jenazahnya, ia tidak mampu menjawab dan terpaksa memejamkan mata menahan tangis. Akan tetapi justeru karena ia memejamkan mata, maka air mata yang sudah menggenangi pelupuk matanya menetes turun ke atas pipinya. Ia cepat mengusap air matanya dan menahan perasaannya agar tidak menangis, akan tetapi tetap tidak berani membuka suara untuk menjawab karena suaranya tentu akan menunjukkan bahwa ia menangis.
Melihat ini, Ki Sarwaguna terkejut. Sebagai seorang yang berpengalaman, tahulah dia bahwa gadis itu menahan tangisnya.
"Ah, maafkan aku, Nona.... akan tetapi.... mengapakah?"
Bagus Sajiwo berkata.
"Maaf, Paman. Adik Swi Hong memang sedang berduka karena kematian Ayahnya. Baiklah, saya yang akan menjawab pertanyaan Paman tadi dan menerangkan. Adik Tan Swi Hong ini adalah puteri dari Paman Tan Beng Ki, seorang pemilik perahu dagang yang tinggal di Tuban. Adik Hong telah belajar ilmu silat dari Ayahnya sendiri sehingga ia memiliki ilmu pedang yang cukup tangguh. Ketika Paman Tan Beng Ki berlayar membawa dagangan, saya dan seorang sahabat saya bernama Joko Darmono ikut dalam perahu. Adik Hong ini juga ikut. Akan tetapi perahu kami itu diserang oleh orang-orang Blambangan sehingga tenggelam. Kami semua cerai berai diombang- ambingkan ombak lautan yang dahsyat. Akan tetapi sebelum kami semua terlempar ke lautan, kami melihat bahwa Paman Tan Beng Ki roboh dan tewas terkena tembakan senjata api dari para penyerang. Akhirnya kami berdua, atas berkah Gusti Allah, dapat terdampar dan mendarat dengan selamat. Akan tetapi kami tidak melihat para penumpang yang lain, juga sahabat saya Joko Darmono tidak dapat kami temukan. Entah dia tewas atau selamat, hanya Gusti Allah yang mengetahui. Kami sudah menyusuri pantai beberapa hari namun tidak dapat menemukan mereka. Juga kami tidak dapat menemukan jenazah Paman Tan Beng Ki. Lalu saya mengambil keputusan untuk mengantar Adik Hong pulang ke Tuban seperti yang sudah saya ceritakan tadi, Paman."
Ki Sarwaguna memandang kepada Swi Hong yang kini diam saja sambil menundukkan mukanya, tidak menangsis dan sudah berhasil menenangkan hatinya, ki sarwaguna merasa kasihan dan sekarang baru menyadari bahwa gadia Cina itu ternyata cantik manis, berkulit putih mulus dan memiliki daya tarik yang kuat. Dia lalu mengerutkan alisnya dan memandang kepada Bags Sajiwo. Harapan yang tadi timbul dalam hatinya terguncang keraguan.
"Anakmas Bagus Sajiwo, maafkan pertanyaanku ini. Apakah Andika sudah beristeri?"
Setelah bertanya demikian, Ki Sarwaguna menoleh kepada Swi Hong. Bagus Sajiwo tersenyum dan menjawab.
"Wah, Paman. Berpikir untuk menikah pun belum pernah, apalagi menikah. Saya masih terlalu muda untuk berkeluarga, paman. Kalau Adik Tan Swi Hong ini, ia sudah bertunangan, Paman. Tunangannya juga seorang pemuda Cina yang gagah perkasa, bernama Sie Tiong. Akan tetapi.... ah, dia pun ketika itu ikut terlempar ke lautan dan terpisah dari kami."
Hati Ki Sarwaguna merasa lega dan senang mendengar Bagus Sajiwo belum menikah dan tidak mempunyai hubungan dengan Swi Hong seperti yang tadi dia khawatirkan. Semakin tebal keinginannya untuk menjodohkan puteri tunggalnya dengan pemuda ini! Akan tetapi dia pun merasa iba kepada Swi Hong. Kematian ayah dan kehilangan tunangan yang belum diketahui mati atau hidup!
"Nona Hong, harap maafkan pertanyaanku tadi kalau itu menggugah kedukaan dalam hatimu."
Swi Hong menghela napas panjang dan mencoba untuk tersenyum.
"Paman tidak bersalah karena Paman belum tahu ketika mengajukan pertanyaan. Pula, pertanyaan itu wajar, hanya sayalah yang lemah dan kurang tabah menerima kenyataan yang pahit ini. Saya sedang berusaha memenuhi nasihat Bagus, yaitu menyerah sepenuhnya kepada kekuasaan Tuhan.
Pada saat itu terdengar bunyi kentongan dipukul gencar dan terdengar suara banyak orang berlari-lari dan teriakan-teriakan.
"Tanda bahaya! Mungkin mereka sudah datang menyerang!"
Kata ki Sarwaguna sambil bangkit dari tempat duduknya.
"Anakmas Bagus Sajiwo dan Nona Hong, kami mohon bantuanmu!"
Setelah berkata demikian, ketua Driya Pawitra itu melangkah keluar. Swi Hong memandang kepada Bagus Sajiwo yang mengangguk kepadanya dan mereka berdua juga segera mengikuti Ki Sarwaguna keluar dari rumah induk itu.
Semua murid Driya Pawitra yang berjumlah tujuh belas orang murid wanita berusia antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun, dan sekitar lima puluh orang murid pria, semua berkumpul di depan dan belakang pintu gerbang perkampungan perguruan mereka. Ketika Ki Sarwaguna muncul, para murid memberi jalan dan ketua Driya Pawitra itu keluar dari dalam pintu gerbang, diikuti oleh Bagus Sajiwo dan Parto. Setelah mereka tiba di luar pintu gerbang, mereka melihat Ratna Manohara sudah berada di situ, berhadapan dengan sekitar seratus orang perajurit Blambangan yang dipimpin oleh empat orang. Ki Sarwaguna dan Ratna segera mengenali Bhagawan Sarwatama di antara empat orang itu. Tiga orang yang lain tidak dikenal Ki Sarwaguna, akan tetapi Ratna berbisik kepada ayahnya.
"Dua orang raksasa itu adalah Dwi Kala, senopati-senopati Blambangan, murid-murid Bhagawan Kala Srenggi, Kanjeng Rama. Harap hati- hati, saya kira dua orang itu tentu tangguh sekali."
Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dan siapa pria yang tampan matanya kebiruan dan memakai sepatu tinggi itu? Pakaiannya bukan seperti orang Jawa."
Tanya Ki Sarwaguna.
"Saya tidak mengenalnya."
Kata Ratna Manohara.
Bagus Sajiwo juga mengenal tiga orang di antara empat pemimpin pasukan itu. Dua tahun yang lalu, ketika dia pulang ke rumah orang tuanya di gunung Kawi, ayah ibunya yang dibantu Lindu Aji dan Sulastri sedang menghadapi jagoan-jagoan yang sakti dari persekutuan Blambangan. Dua orang raksasa itu, Kaladhama dan Kalajana yang terkenal dengan julukan Dwi Kala, termasuk di antara para penyerang itu. Adapun orang ke tiga yang berusia sekitar lima puluh tahun dan berpakaian pendeta adalah Bhagawan Sarwatama yang telah merobohkan Sakitri. Akan tetapi dia tidak mengenal orang yang ke empat yang juga tidak dikenal oleh Ki Sarwaguna dan Ratna.
Orang yang tidak dikenal itu bukan lain adalah Raden Satyabrata, kini menggunakan sebutan Raden apabila dia memperkenalka n dirinya. Sebutan itu membuat dia merasa naik derajatnya! Seperti telah
diceritakan di bagian depan, Raden Satyabrata mengunjungi Adipati Blambangan dan sebagai seorang utusan atau wakil yang mempunyai kekuasaan tinggi dari Kumpeni Belanda, dia diterima dengan hormat dan girang oleh persekutuan Blambangan. Ketika Adipati Santa Guna Alit menerima usul Bhagawan Kalasrenggi agar mengirim pasukan menundukkan perguruan Driya Pawitra yang tidak mau membantu Blambangan dan mendengar bahwa perguruan itu cukup kuat, dia minta bantuan Raden Satyabrata untuk membantu pasukan itu menundukkan Perguruan Driya Pawitra.
Tentu saja ini atas usul Baghawan Kalasrenggi yang maksudnya hendak menguji kesaktian dan juga kesungguhan hati wakil Kumpeni membantu Blambangan. Itulah sebabnya mengapa kini Raden Satyabrata menemani Dwi Kala dan juga Bhagawan Sarwatama untuk menundukkan perguruan itu. Bhagawan Sarwatama memang sudah terpengaruh oleh bujukan Bhagawan Kalasrenggi untuk membantu Blambangan dengan janji-janji muluk kelak mendapat imbalan kedudukan tinggi dan terhomat.
Tadi, ketika pasukan Blambangan yang terdiri dari kurang lebih seratus orang dipimpin empat orang itu tiba, Retno Manohara yang lebih dulu mengetahui. Gadis ini lalu dengan cepat mengatur para murid untuk bersiap dan memimpin mereka yang jumlahnya sekitar tujuh puluh orang itu menghadapi pasukan Blambangan, menghadang di depan pintu gerbang.
Ketika gadis itu mengenal Bhagawan Sarwatama berada di antara pimpinan pasukan Blambangan, ia mengepal tinju, teringat akan kematian Sakitri di tangan pendeta yang berkhianat terhadap Driya Pawitra itu. Ia merasa penasaran sekali melihat paman gurunya yang dulu membantu ayahnya memimpin Driya Pawitra kini malah memusuhi perguruan sendiri.
Ki Sarwaguna tak dapat menahan kemarahannya ketika melihat Bhagawan Sarwatama berdiri di depan pasukan Blambangan dengan sikap congkak, mulutnya tersenyum mengejek. Akan tetapi Dwi Kala yang mengenal Bagus Sajiwo terkejut bukan main. Mereka pernah melihat betapa Bagus sajiwo bahkan dapat engalahkan Tejakasmala! Maka, Kaladhama yang bediri di sebelah Satyabrata berkata lirih.
"Raden, harap hati-hati terhadap pemuda yang berdiri di belakang Ki Sarwaguna itu. Dia itu sakti mandraguna!"
Satyabrata tersenyum mengejek.
"Hemm, kau lihat saja, sebentar lagi dia akan mati ditanganku."
Ratna Manohara yang berdiri dekat Tan Swi Hong, berbisik kepada gadis Cina itu.
"Swi Hong, jangan melibatkan diri dengan perentangan kami dengan mereka. Aku akan merasa menyesal kalau engkau sampai menjadi korban."
Swi Hong tersenyum.
"Ratna, jangan berkata begitu. Lupakah engkau bahwa Ayahku tewas di tangan orang-orang Blambangan? Mereka itu juga musuhku!"
Kini dua pihak sudah bergerak, melangkah maju saling menghampiri. Setelah kedua pihak berada dalam jarak dekat dan pimpinan masing-masing sudah saling berhadapan, Ki Sarwaguna memandang kepada Bhagawan Sarwatama dan berkata dengan suara lantang dan tegas.
"Adi Sarwatama, engkau telah membunuh Sakitri, membantu Kadipaten Blambangan mempersiapkan perang, dan berkhianat kepada Perguruan Driya Pawitra, setelah engkau bertapa dan menjadi pendeta sekian lamanya, memakai sebutan Bhagawan, mengapa engkau membiarkan nafsu menyeretmu ke dalam kesesatan? Lupakah engkau akan semua ajaran dan petuah mendiang Guru kita?"
"Heh-heh-heh!"
Bhagawan Sarwatama terkekeh.
"Kakang Sarwaguna, semua tuduhanmu itu keliru! Aku tidak membunuh Sakitri, melainkan dia sendiri yang mencari kematian karena dia telah berani menentang aku sebagai Paman Gurunya. Kalau dia tidak kurang ajar dan tidak berani menentang aku, tentu dia tidak mati. Bagaimana sih engkau mengajarkan tata-krama (tata-susila) kepadanya? Adapun mengenai aku membantu Kadipaten Blambangan, bukankah kita ini kawula Blambangan? Engkau yang melupakan ajaran Tri-bhakti, yaitu bakti kepada Sang Hyang Widi, bakti kepada orang tua, dan bakti kepada Negara. Kadipaten Blambangan adalah Negara kita, maka tentu saja aku membelanya. Kalau engkau tidak mau membantu Blambangan, justeru engkaulah yang tidak setia kepada Negara dan bukan seorang warga Negara yang baik. Dan aku sama sekali tidak berkhianat kepada Driya Pawitra, bahkan sebaliknya aku ingin mengangkat derajat perguruan kita. Kalau Perguruan Driya Pawitra kini mendukung Kadipaten Blambangan, tentu kelak perguruan kita akan menerima bantuan dari kadipaten dan menjadi semakin kuat dan besar."
Ki Sarwaguna menahan kemarahannya mendengar alasan yang dibuat-buat itu. Dengan sikap gagah dan suara tegas dia berkata.
"Sarwatama, sekarang engkau datang bersama pasukan Blambangan, apakah yang kau kehendaki?"
Bhagawan Sarwatama menoleh kepada Dwi Kala yang merupakan senopati-senopati Blambangan dan merekalah yang memimpin pasukan itu sehingga lebih tepat kalau mereka yang menjawab pertanyaan Ki Sarwaguna itu. Kaladhama, orang pertama dari Dwi Kala, melangkah maju. Raksasa muka hitam itu wajahnya menyeramkan. Bukit hidingnya yang dulu terkena pukulan Retno Susilo, ibu Bagus Sajiwo,
melesak ke dalam menjadi pesek sekali, dan daun telinga kirinya juga buntung, dahulu terbabat pedang Sulastri, isteri Lindu Aji. Kini dengan lagak sombong di berkata dengan suaranya yang menggeledek.
"Ki Sarwaguna, kami Dwi Kala, aku dan Adikku ini, adalah senopati utusan Gusti Adipati di Blambangan untuk mengundang Andika agar sekarang juga ikut bersama kami menghadap Gusti Adipati."
Ki Sarwaguna mengerutkan alisnya.
"Harap Andika jelaskan dulu, ada urusan apakah Sang Adipati Blambangan mengundang aku menghadap?"
"Ha-ha, Andika tidak tahu ataukah pura-pura tidak tahu? Ketika Gusti Adipati mengadakan rapat pertemuan di Blambangan beberapa waktu yang lalu, beliau juga mengundang Perguruan Driya Pawitra. Andika hanya mewakilkan kepada puteri Andika itu untuk menghadiri pertemuan."
Kaladhama menunjuk ke arah Ratna Manohara yang berdiri tegak dan anggun.
"Akan tetapi wakil Driya Pawitra dengan angkuhnya menyatakan bahwa Driya Pawitra tidak mau menggabungkan diri dengan Blambangan untuk menghadapi musuh besar kita Mataram. Nah, karena keterangan itu hanya dinyatakan oleh seorang gadis muda, maka Gusti Adipati belum menganggapnya sungguh-sungguh dan sekarang mengundang Andika untuk memberi penjelasan kepada beliau akan pendirian Driya Pawitra."
Ki Sarwaguna menjawab tegas.
"
Senopati Dwi Kala, harap Andika berdua kembali ke Blambangan dan sampaikan kepada Sang Adipati bahwa pernyataan wakil kami dalam pertemuan di Blambangan itu sudah menjadi keputusan kami sejak dulu. Kami tidak akan mencampuri pertikaian antara daerah yang sesungguhnya masih sebangsa. Perguruan Driya Pawitra hanya akan bertindak menegakkan kebenaran dan keadilan dalam urusan perorangan, bukan urusan negara. Karena itu, percuma saja kalau kami menghadap Sang Adipati karena pendirian kami tetap sama seperti apa yang dinyatakan puteri kami Ratna Manohara ketika itu."
Kalajana, orang kedua dari Dwi Kala yang bertubuh raksasa pula dan mukanya bopeng dan tubuhnya berbulu, maju dan berkata dengan geram.
(Lanjut ke Jilid 18)
Kemelut Blambangan (Seri ke 05 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 18
"Heh, Ki Sarwaguna, apakah Andika hendak mengatakan bahwa Andika membangkang terhadap perintah Gusti Adipati Blambangan?"
"Kami tidak membangkang perintah! Sang Adipati mengundang aku untuk menghadap dan menyatakan pendirianku mengenai penggabungan diri dengan Blambangan. Di sini juga dapat aku tegaskan bahwa pendirian Driya Pawitra tetap seperti yang telah dinyatakan oleh puteriku Ratna Manohara. Jadi aku tidak perlu lagi mengunjungi ke Blambangan."
"Ki Sarwaguna, Gusti Adipati sudah memberi purba-wisesa (kuasa mengambil tindakan) kepada kami. Kalau Andika menolak ikut kami menghadap Gusti Adipati, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan menangkap Andia!"
Kata pula Kalajana marah.
"Hemm, beginikah caranya penguasa Blambangan memaksakan kehendak dengan mengandalkan besarnya pasukan?"
Ki Sarwaguna menegur.
"Babo-babo si keparat Sarwaguna! Sumbarmu seperti guntur di musim kering! Siapa yang takut menghadapi kesaktianmu? Majulah, kita mengadu tebalnya kulit kerasnya tulang dan lihat, siapa di antara kita yang akan mengukur bumi dengan badannya!"
Kaladhama menantang.
"Baik, mari kita buktikan!"
Kata Ki Sarwaguna menerima tantangan itu.
Akan tetapi sebelum dua orang ini mulai bertanding, Bhagawan Sarwatama yang merasa khawatir kalau pihaknya kalah karena dia tahu betul akan kesaktian Ki Sarwaguna, cepat mencegah.
"Tunggu dulu! tidak baik kalau sampai terjadi perkelahian besar yang menjatuhkan banyak korban. Aku mempunyai usul begini. Pertentangan dua pendapat ini hanya ada satu persoalan, yaitu mau bergabung dengan Blambangan atau tidak mau bergabung. Kalau terjadi pertempuran, tentu kedua belah akan rugi karena jatuhnya banyak korban. Bagaimanapun juga, kita semua adalah kawula Blambangan. Sebaiknya diatur begini, masing-masing pihak mengajukan jagoannya yang paling sakti dan kedua orang jagoan itulah yang akan mewakili pihak masing-masing. Kalau jagoan Blambangan kalah, maka Blambangan tidak akan memaksa lagi Driya Pawitra untuk bergabung. Sebaliknya kalau jagoan Driya Pawitra kalah, maka perguruan ini harus menggabungkan diri dan membantu Blambangan mnghadapi Mataram. Dengan demikian, pertempuran besar tidak perlu diadakan dan sudah adil!"
Bhagawan Sarwatama berani mengajukan usul demikian karena dia sudah mendengar akan kesaktian Raden Satyabrata yang tidak ada yang menandingi di antara semua tokoh yang berada di Blambangan, dan setahunya di Perguruan Driya Pawitra, hanya Ki Sarwaguna saja yang paling tangguh. Padahal, tingkat kepandaian Ki Sarwaguna hanya sedikit di atas tingkatnya sendiri. Dengan perhitungan itu, dia yakin kalau usulnya diterima, pihak Blambangan tentu akan menang.
Mendengar ini, Ki Sarwaguna diam berpikir. Dia tahu bahwa adik seperguruannya itu tidak akan mampu menandinginya, maka lawannya tentu seorang dari Dwi Kala yang menurut puterinya tadi, cukup sakti. akan tetapi untuk mempertahankan Driya Pawitra, dia berani menghadapi lawan siapa saja. Juga usul yang diajukan adik seperguruannya itu masuk akal juga. Bagaimananpun, dia tidak ingin melihat para muridnya menjadi korban. Bergabung dengan Blambangan hanya merupakan hal yang berlawanan dengan pendiriannya, akan tetapi tidak termasuk suatu kejahatan.
"Baik, aku terima usul adu jago itu! Sarwatama, apakah engkau sendiri yang akan maju sebagai jago Blambangan?"
Kata Ki Sarwaguna sambil memandang Adik seperguruan itu dengan sinar mata tajam mencorong penuh teguran.
Satyabrata yang sejak tadi hanya menonton dan mendengarkan sambil tersenyum dan matanya yang jelalatan (liar) akhirnya melekat pada wajah dan tubuh Ratna Manohara, tiba-tiba berkata.
"Kakang Bhagawan Sarwatama, biarlah aku yang maju mewakili Blambangan!"
Dia melangkah kedepan lalu berkata kepada Ki Sarwaguna dengan senyum mengejek.
"Aku Raden Satyabrata yang menjadi jago mewakili Kadipaten Blambangan. Yang merasa paling sakti di perguruan Driya Pawitra, silakan maju menandingi aku!"
Sejak tadi Ratna Manohara merasa muak dan marah melihat betapa laki-laki itu memandang kepadanya dengan mata yang kurang ajar. Tadinya ia mengira seorang di antara Dwi Kala yang akan maju, sama sekali tidak mengira laki-laki kurang ajar yang mengaku bernama Raden Satyabrata ini yang maju. Ia tidak mengenalnya dan tidak pernah mendengar namanya. Karena marah melihat sikap sombong orang yang pandang matanya tidak sopan itu, ia melangkah maju hendak menandinginya. Akan tetapi ayahnya menangkap pergelangan tangannya.
"Jangan Ratna. Biar aku sendiri yang menghadapinya!"
Kata Ki Sarwaguna.
Melihat ini, Satyabrata tertawa dan berkata.
"Wah, kalau Nimas Ayu ini yang maju, mana mungkin aku tega melukai kulit yang halus mulus itu?"
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Hilang : Weww... halaman 9 hilang dari sononya, maaf ye e.. terganggu!
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
tidak menjadi marah. Dia adalah seorang pemuda yang sudah matang jiwanya dan tidak mudah dipengaruhi nafsu. Mendengar ucapan itu, dia tersenyum dan berkata lembut.
"Satyabrata, sebuah gentong kosong itu kalau diketuk nyaring bunyinya, sama dengan seorang yang suka bicara sombong itu biasanya juga kosong."
Ucapan itu membuat Satyabrata terbelalak dan mukanya yang berkulit putih bersih itu menjadi merah sekali.
"Keparat, bocah dusun, siapakah engkau?"
"Namaku Bagus Sajiwo dan memang aku bocah dusun."
"Berani engkau melawan aku? Engkau menantangku"
"Aku tidak menantang siapa pun, aku hanya mewakili Perguruan Driya Pawitra."
"Heh, Bagus Sajiwo! Apakah engkau sudah bosan hidup? Engkau akan mati kalau bertanding melawan aku!"
"Setyabrata, engkau menentukan matimu sendiri saja tidak mampu, bagaimana dapat menentukan matinya orang lain? Mati hidup semua orang berada ditangan Gusti Allah, bukan di tangan manusia atau pun setan !"
"Godverdomme! (Terkutuk)"
Dalam kemarahannya, Satyabrata karena kebiasaan menumpah dalam baasa Belanda.
"Kalau begitu, usiamu hanya sampai hari ini. Ha-ha-ha-ha!"
Satyabrata tertawa bergelak dan semua orang terkejut. Bahkan pasukan Blambangan bergerak mundur, dan para murid Driya Pawitra juga menjauhkan diri sambil menutup telinga mereka. Suara tawa itu bergelombang dan membawa getaran yang amat kuat seolah menusuk ke dalam telinga mereka dan mengguncangkan jantung. Hanya empat orang pimpinan pasukan Blambangan dan dua orang pimpinan Driya Pawitra bersama dua orang tamunya yang tidak menjauhkan diri. Akan tetapi seperti juga yang dilakukan Dwi Kala dan Bhagawan Sarwatama, Ki Sarwaguna, Ratna Manohara, dan Tan Swi Hong mengerahkan tenaga sakti, mengatur pernapasan mereka sehingga mereka terlindung dari getaran yang amat kuat"""""""""""""".
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hilang : Halaman 12 - 13 hilang juga hik.. hik!!
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
dekat, mengembangkan kedua lengan lalu kedua tangan dari kanan kiri mendorong ke depan. Angin pukulan dahsyat menyambar ke arah Bagus Sajiwo. Pemuda ini mengenal aji pukulan yang amat ampuh, akan tetapi dia tetap tenang dan waspada. Ketika angin pukulan itu menyambar, Bagus Sajiwo menggeser kaki dan tubuhnya condong ke kiri. Angin pukulan itu lewat tanpa menyentuhnya. Sampai tiga kali Satyabrata mengulang pukulan dengan mengerahkan tenaga sakti, menyerang dalam jarak jauh. Namun selalu Bagus Sajiwo dapat menghindar dengan langkah-langkahnya yang ajaib.
Satyabrata menjadi semakin penasaran. Dia mengira bahwa pemuda itu jerih menghadapi aji pukulannya maka selalu menghindar. Sekali saja pukulannya mengenai sasaran, pemuda dusun itu tentu akan roboh dan mati, demikian pikirnya. Maka dia lalu menerjang k depan dengan loncatan kilat untuk menyerang dengan kontak langsung, tidak lagi dari jarak jauh.
"Hyeeeehhhh!!"
Satyabrata memekik dan tubuhnya menyambar dengan cepat sekali karena dia menggunakan Aji Tunggang Maruto (Menunggang Angin) sehingga tubuhnya ringan sekali dapat bergerak secepat angin. Begitu dekat dengan Bagus Sajiwo, dia langsung saja menyerang secara bertubi- tubi dengan pukulan-pukulan yang mengandung tenaga Aji Margopati.
Bagus Sajiwo dapat mengukur dari sambaran angin pukulan itu bahwa lawannya ini memang memiliki tenaga sakti yang kuat bukan main. Belum pernah dia bertemu lawan tanding yang seperti ini kuatnya. Bahkan Tejakasmala, jagoan muda dari Bali itupun masih kalah dibandingkan Satyabrata. Kalau dia menyambut pukulan itu sehingga dua tenaga sakti bertemu, tentu akan menimbulkan kemungkinan terluka bagi yang kalah kuat. Dia mewakili Driya Pawitra untuk dapat keluar sebagai pemenang, bukan untuk melukai lawan apalagi membunuhnya. karena itu, dia menghadapi serangan Aji Margopati yang bertubi-tubi dengan Aji Langkah Lintang Kemukus. Tu"""""""""..
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hilang : Halaman 16 hilang, ini yang terakhir, sudah tidak ada yang hilang lagi!
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
adalah ketika melihat kenyataan betapa semua serangan Satyabrata yang mendatangkan angin sehingga terasa oleh enam orang pimpinan kedua pihak, sama sekali tidak dapat merobohkan Bagus Sajiwo. apalagi merobohannya, menyentuhnya pun tidak pernah! Bagaimanapun juga, pihak Driya Pawitra, yaitu Ki Sarwaguna, Ratna Manohara, dan Tan Swi Hong merasa gelisah sekali. Bagaimana mungkin Bagus Sajiwo akan mampu mengalahkan lawannya kalau dalam pertandingan itu dia hanya mengelak dan menghindarkan diri dari pukulan lawannya?
"Bocah dusun! Kalau engkau takut menyambut pukulanku, jangan mengajukan diri! Engkau pengecut, hanya menghindar tidak berani menyambut pukulanku. Kalau memang engkau berani, hayo balas seranganku!"
Bentak Satyabrata setelah dia melompat ke belakang menahan dan menghentikan serangannya yang tak pernah berhasil.
"Satyabrata, engkau tidak berhasil memukul aku, mengapa marah-marah? Kalau engkau menhendaki aku membalas, baiklah! Lihat seranganku!"
Setelah berkata demikian, Bagus Sajiwo menerjang ke depan dan tangan kirinya melayang, menampar ke arah kepala lawan. Tamparan itu tampaknya perlahan saja dan melihat ini, Satyabrata mengerahkan tenaga sakti pada lengan kanannya dan menangkis tamparan yang tampaknya tidak berapa kuat itu.
"Wuuuttt.... dukkk!"
Bagus Sajiwo terdorong mundur tiga langkah saking kuatnya benturan ketika lengannya ditangkis lengan Satyabrata. Akan tetapi Satyabrata juga terdorong ke belakang tiga langkah! Sepasang mata kebiruan itu terbelalak. Hampir dia tidak dapat percaya. Dia telah menguasai tenaga sakti peninggalan Sang Resi Ekomolo, seorang manusia sejahat iblis yang meninggalkan banyak aji kesaktian ketika dia tewas dalam sumur tua. Satyabrata telah menghimpun tenaga sakti dengan berlatih cara bersamadhi yang disebut Aji Waringin Sungsang, yaitu cara bersamadhi dengan tubuh terbalik, kepala di bawah dan kaki di atas, berjungkir balik di atas tanah.
Selama dia bertualang, hanya beberapa orang saja yang mampu menandingi tenaganya. Di antara mereka itu seingatnya hanya LinduAji, Parmadi Si seruling Gading, bahkan mereka ini pun akan sukar mengalahkannya. Ketika dia berada di Negeri Belanda, para jagoan di sana, ahli-ahli tinju yang bertubuh dan bertenaga raksasa, tidak ada yang mampu menandinginya. Masa sekarang bocah dusun ini mampu menandinginya?
"Hyaaattt....!!"
Dia membentak dan menerjang lagi. Kini dia mengeluarkan semua ilmu silat yang dikuasainya. Dia memainkan ilmu silat Bromo Dadali karena ia pernah menjadi murid Bromo Dadali. Juga dia mengerahkan Aji Bromo Latu dari perguruan itu, dengan didasari tenaga saktinya yang dihimpun dari latihan Waringin Sungsang. Tubuhnya berkelebatan bagaikan seekor burung garuda menyambar-nyambar karena dia mengerahkan Aji Tunggang Maruto. Semua orang yang berada di pihak Driya Pawitra memandang terbelalak dengan wajah pucat. Hebat bukan main sepak terjang Satyabrata.
Ki Sarwaguna dan Ratna Manohara sendiri diam-diam harus mengakui bahwa kalau mereka yang maju melawan Satyabrata, dalam waktu singkat mereka tentu akan roboh. Juga Tan Swi Hong menjadi pening melihat gerakan Satyabrata. Ia harus mengakui bahwa baik sinkang (tenaga sakti) maupun ginkang (meringankan tubuh) lawan Bagus Sajiwo itu telah mencapai tingkat tinggi sekali. Dara Cina ini pun semakin kagum melihat betapa Bagus Sajiwo mampu mengimbangi lawan yang amat tangguh dan berbahaya itu.
Kalau pihak Driya Pawitra terheran-heran melihat kesaktian Satyabrata, sebaliknya Bhagawan Sarwatama, Kaladhama dan Kalajana tidak merasa heran menyaksikan ketangguhan Bagus Sajiwo. Mereka pernah bertemu dan melihat kesaktian pemuda sederhana itu. Namun mereka hanya merasa penasaran mengapa sampai sekian lamanya Satyabrata belum dapat mengalahkan lawannya. Jangankan merobohkan, mendesak pun dia tidak mampu dan dua orang itu tampak berimbang, saling serang dan saling bertahan dan setiap kali mereka mengadu lengan, keduanya terdorong mundur.
Sudah hampir seratus jurus dua orang itu bertanding. Kulit kedua tangan mereka sudah tampak kebiruan karena sering saling bertemu dengan amat kuatnya. Kekuatan tubuh mereka memang seimbang, keduanya memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Akan tetapi, cara hidup mereka yang mengakibatkan perbedaan antara mereka setelah mereka berdua saling mengerahkan tenaga sekian lamanya. Bagus Sajiwo adalah seorang pemuda gemblengan lahir batin.
Bukan hanya lahirnya yang kuat, melainkan batinnya juga amat kuat karena dia bersandar kepada Kekuasaan Gusti Allah dengan penyerahan diri sepenuhnya sehingga hidupnya bersih dan terbimbing. Sebaliknya, Satyabrata adalah seorang laki-laki hamba nafsu sehingga hidupnya penuh kesesatan dan kotor. Akibatnya, setelah bertanding sekian lamanya, Bagus Sajiwo tampak masih tenang dan ketahannya masih tetap kuat. Sedangkan Satyabrata mulai gelisah dan badannya basah oleh keringat dan pernapasannya agak terengah. Namun hal ini hanya dketahui oleh dua orang yang sedang bertanding itu.
Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo