Kemelut Blambangan 15
Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 15
Kaladhama dan Kalajana menjadi marah bukan main dan mereka melompat tuun dari pendapa lalu menyerang Parmadi yang sudah tiba di bawah pendapa. Parmadi menyambut mereka dengan senjata seruling gadingnya. ketika seruling itu bertemu dengan senjata dua orang Dwi Kala yaitu golok gergaji yang besar, panjang, dan berat, terdengar suara berdentang nyaring dan bunga api berpijar menyilaukan mata.
"Keparat, pecah kepalamu!"
Bentak Kaladhama dan tangan kirinya mendorong ke depan, mengerahkan Aji Kalabendu, aji pukulan andalannya yang mendatangkan angin yang mengandung bau amis memuakkan. Hawa pukulan dahsyat itu menyambar ke arah kepala Parmadi. Akan tetapi Parmadi yang mengenal aji pukulan ampuh, cepat medorongkan tangan kirinya pula menyambut "Bressss....!!"
Bahkan para murid Bromo Dadali yang betempur melawan pasukan Madura yang terdiri dari tiga puluh orang itu, merasa tergetar oleh beradunya dua tenaga dahsyat itu. Akibat benturan tenaga itu, tubuh Kaladhama terdorong ke belakang.
"Hangus dadamu!"
Kalajana kini juga mendorongkan tangan kirinya dengan Aji Tatit Geni. Dari telapak tangan kirinya itu menyambar cahaya seperti kilat yang membawa api panas menyambar ke arah tubuh Parmadi. Akan tetapi Parmadi dengan tenangnya menghantam dengan seruling gading ke arah cahaya berapi itu.
"Darrrr...."
Cahaya berapi itu pecah berhamburan dan Kalajana hampir terjengkang, terhuyung ke belakang. Dia menjadi marah sekali seperti kakaknya, lalu dua orang jagoan Blambangan itu dengan nekat maju lagi dan menyerang dengan golok gergaji mereka. Parmadi menyambut dengan sulingnya dan terjadilah perkelahian yang seru. Namun, dua orang murid Bhagawan Kalasrenggi itu mulai menjadi gentar, karena mereka merasakan betapa beratnya lawan mereka itu. Diam-diam dua orang Dwi Kala ini merasa penasaran sekali. Tingkat kepandaian mereka sudah termasuk kelas atas di Blambangan.
Bahkan mereka merasa yakin bahwa mereka masing-masing masih lebih tangguh dibandingkan Randujapang tokoh Madura itu. Akan tetapi kini, mengeroyok Si Seruling Gading, mereka berdua merasa kewalahan! Baru sekarang mereka mengalami sendiri kebenaran berita yang mengatakan bahwa Si Seruling Gading Parmadi merupakan seorang yang sakti mandraguna dan tentu akan menjadi penghalang besar bagi rencana penyerbuan Blambangan ke Pasuruan karena satria ini tinggal di Pasuruan.
Sementara itu perkelahian antara Randujapang melawan Muryani juga berlangsung seru. Namun, tokoh Madura murid mendiang Ki Harya Baka Wulung ini tidaklah sehebat gurunya. Laki-laki tinggi besar bermuka brewok ini mulai terdesak hebat.
Pedang di tangan Muryani berubah menjadi gulungan sinar, seolah menjadi banyak sehingga membuat Randujapang repot. sepasang kapaknya seolah menghadapi puluhan batang pedang yang menyambar-nyambar dan menyerang dari semua jurusan sehingga akhirnya dia hanya mampu menangkis, tidak dapat kesempatan untuk menyerang balik.
Pertempuran antara tiga puluh orang Madura melawan para murid Bromo Dadali juga berlangsung ramai sekali. Akan tetapi karena kini para murid yang tadinya terpengaruh oleh Ki Kiswoyo kini berbalik membela Bromo dadali, maka tentu saja jumlah para murid ini lebih banyak, sekitar dua kali lipat. Orang- orang Madura anak buah Randujapang itu rata-rata tangguh, akan tetapi lawan mereka adalah para murid Bromo Dadali yang sudah bertahun-tahun berlatih olah raga. Maka dalam pertempuran itu pihak Madura mulai terdesak dan banjak diantara mereka sudah terluka.
Sebagian dari murid Bromo Dadali sibuk berusaha memadamkan kebakaran di sanggar pamujan yang telah menjalar ke samping rumah induk. Muryani terus mendesak lawannya. Kalau saja Randujapang bertemu dengan Muryani sebelum menjadi isteri Parmadi dahulu, tentu dia sudah roboh dan tewas. Melihat gurunya terkapar luka, Muryani yang dulu berwatak keras tentu marah sekali dan sudah menumpahkan kemarahannya dengan membunuh lawan yang melukai gurunya itu. Akan tetapi telah banyak terjadi perubahan pada watak wanita ini.
Suaminya telah menuntunnya menjadi seorang wanita yang tidak lagi mudah dikuasai perasaannya. maka ia pun tidak timbul keinginan untuk membalas dan membunuh Randujapang, melainkan hanya ingin merobohkan tanpa membunuhnya. Inilah yang membuat sampai sekian lamanya Randujapang masih dapat bertahan. Kalau saja Muryani mengeluarkan serangan mautnya, tetu lawannya itu sudah roboh sejak tadi dan tewas.
Randujapang merasa gentar bukan main. Dia melihat betapa Dwi Kala juga terdesak hebat oleh Parmadi dan orang-orangnya banyak pula yang roboh. Karena gentar maka gerakannya agak mengendur dan dia menjadi lengah, maka ujung pedang di tangan Muryani menyambar dan melukai pundak kirinya sehingga kapak yang dipegang tangan kirinya terlepas dan terlempar. Randujapang cepat membuang diri ke samping lalu bergulingan di atas tanah, bahkan lalu melompat keluar dari pendopo. Muryani tidak mengejar karena ia segera berlutut mendekati girina.
"Bapa Guru.... bagaimana keadaan Bapa.... ?"
Muryani bertanya, cemas juga melihat dada, pundaknya dan punggung yang terluka sehingga bajunya berlepotan darah.
"Muryani.... jangan hiaraukan aku.... tinggalkan.... cepat bantu samimu menghadapi semua pengacau...."
Kata Ki Ageng Branjang, terengah- engah. Muryani menoleh dan melihat betapa pertempuran masih berlangsung, sungguhpun kini pihak Bromo Dadali berada di atas angin. Juga ia melihat Sanuri masih berkelahi mati-matian melawan Kiswoyo. Ia lalu memanggil dua orang murid Bromo Dadali yang berda paling dekat. setelah dua orang murid laki-laki itu naik ke pendopo, ia menyuruh mereka cepat mengangkat tubuh Ki Ageng Branjang ke dalam. Ia sendiri lalu melompat turun dari pendopo.
Perkelahian antara Sanuri dan Kiswoyo berlangsung seru dan mati-matian. keuanya mengeluarkan seluruh kemampuan dan mengerahkan seluruh kemampuan dan mengerahkan seluruh tenaga untuk saling merobohkan. karena mereka seperguruan, maka tingkat mereka memang seimbang dan sukar diramalkan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Tidak ada murid Bromo Dadali lain yang mencampuri pertandingan ini karena pertandingan ini diantara dua orang murid utama yang biasanya juga melatih para murid mewakili Ki Ageng Branjang.
Karena dua orang murid utama itu berada terdekat dengan pendopo, maka Muryani menghampiri mereka."Hei, mengapa kalian saling hantam sendiri?"
Tegurnya ketika melihat Sanuri berkelahi mati-matian melawan Kiswoyo.
"Adi Muryani, dia pengkhianat. Dia bersekongkol dengan para penyerang!"
Kata Sanuri.
"Jahanam!"
Muryani menerjang dan biarpun Kiswoyo mencoba untuk menghindarkan diri, tetap saja tamparan tangan Muryani mengenai pundaknya, membuat dia terpelanting jauh. Beberapa orang murid Bromo Dadali yang sudah tahu akan pengkhianatan Kiswoyo menyambut dengan serangan senjata mereka! Tak dapat dihindarkan lagi, tubuh Kiswoyo menjadi korban amukan sehingga dia tewas seketika!
Kaladhama dan Kalajana yang memang sudah repot dan terdesak menghadapi Parmadi, melihat betapa Randujapang melarikan diri, Kiswoyo roboh dan tewas dan anak buah Randujapang juga sudah kewalahan. Maka tanpa diperintah lagi, mereka berdua melompat jauh ke belakang dan melarikan diri. Parmadi juga tidak mau mengejar. Dia bertemu Muryani dan suami isteri ini lalu membantu para murid Bromo Dadali menghadapi anak buah Randujapang.
Para prajurit Madura memang sudah kewalahan menghadapai murid Bomo Dadali yang jauh lebih besar junlahnya, apalagi kini ditambah suami isteri yang gagah perkasa itu. Mereka tidak kuat bertahan lagi. Banyak di antara mereka yang roboh terluka, bahkan ada enam orang yang tewas. Melihat betapa Randujapang dan Dwi Kala melarikan diri, tentu saja hilang nyali mereka dan mereka pun berserabutan melarikan diri sambil menolong teman-teman yang terluka dan meninggalkan mayat teman- teman yang tewas!
Kebakaran pun dapat dipadamkan. para murid Bromo Dadali merasa gembira bahwa mereka dapat mengalahkan dan mengusir musuh dan dipihak mereka hanya terdapat beberapa orang yang terluka. Akan tetapi kegembiraan ini segera berubah menjadi kedukaan ketika mendengar bahwa Ki Ageng Branjang tewas karena luka-luka yang dideritanya. para murid yang menderita luka dirawat dan pemakaman jenazah Ki Ageng Branjang dilakukan dengan khidmat. Juga jenazah enam orang parjurit musuh yang ditinggalkan kawan-kaeannya itu dikubur dengan sepatutnya oleh para murid Bromo Dadali, dipimpin oleh Ki Sanuri. demikian pula jenazah Ki Kiswoyo.
Sementara itu, peristiwa pertempuran hebat di perkampungan Bromo Dadali itu mendatangkan kesan mendalam dalam hati Niken Arum dan Joko Galing. Kedua orang anak itu adalah anak-anak yang sejak kecil sudah akrab dengan ilmu kanuragan (olah raga), akan tetapi belum pernah mengalami pertempuran besar yang mengakibatkan banyak korban luka-luka, bahkan ada yang tewas. Setelah semua upacara pemakaman selesai dan para murid Bromo Dadali mengadakan pertemuan di pendopo rumah induk, dan semua anak-anak dan ibu mereka yang bukan murid Bromo Dadali berdiam di dalam rumah masing- masing karena masih terkejut dan tegang oleh pertempuran yang terjadi kemarin, Niken Arum dan Joko Galing duduk di dalam taman berdua.
Mereka pun masih merasa tegang, akan tetapi bukan pertempuran kemarin yang amat menegangkan hati mereka, melainkan kematian Ki Ageng Branjang yang oleh kedua orang anak itu sudah dianggap seperti eyang (kakek) sendiri. Kematian kakek itu amat mencekam hati mereka, terutama sekali karena tadi mereka diberi kesempatan memberi hormat terakhir kali kepada jenazah itu.
Mereka sempat menyentuh tangan jenazah itu dan merasakan hawa dingin menjalar ke tangan mereka yang menyentuhnya, melihat betapa wajah kakek itu pucat dan seolah tersenyum aneh, seperti orang yang.... pura-pura tidur! padahal sebelumnya, mereka membayangkan kakek itu sebagai seorang yang sakti, arif bijaksana, gagah perkasa, berjiwa satria utama. Akan tetapi jenazah itu sama sekali tidak berdaya, dan semua sifat-sifat yang tadinya amat mereka kagumi itu sama sekali tidak tampak bekasnya! Sampai lama dua orang anak itu duduk diatas bangku, tenggelam ke dalam renungan masing- masing. Bayangan tenang kakekk mereka yang telah mehjadi jenazah itu selalu tampak dalam ingatan mereka.
"Joko, sejak tadi engkau tampak murung dan tak pernah bicara. Agaknya ada yang kau pikirkan atau risaukan? Ada apakah, Joko?"
"Mbakayu Niken, aku selalu mambayangkan jenazah Eyang...."
Niken Arum menghela napas panjang.
"Aku pun begitu, Joko. Ketika menyentuh tangan Eyang tadi, rasanya begitu dingin."
Ia bergidik, kedua pundaknya terguncang seperti menggigil.
"Aku merasa ngeri Mbakayu...."
"Ngeri? Engkau takut, Joko."
Joko menggelengkankepalanya.
"Tidak takut kepada Eyang, Mbakayu. Eyang sayang kepada kita, mengapa harus ditakuti? Bukan, aku tidak takut kepada jenazah Eyang, hanya aku merasa ngeri. Semua orang akhirnya akan mati, bukankah begitu, Mbakayu Niken?"
Gadis remaja itu mengangguk.
"Tentu saja, Joko. Tidak ada manusia dan para makhluk lain yang dapat terbebas dari kematian."
"Kita juga, Mbakayu?"
"Tentu saja! Kalau sudah tiba saatnya, setiap orang pasti akan mati."
"Itulah yang membuat aku merasa ngeri, mbakayu! Mengapa manusia harus mati? mengapa harus hidup kalau akhirnya mati? Tadinya hidup, tub, begitu diam.... lalu apa yang terjadi selanjtnya dengan kita kalau sudah mati?"
"Wah, mana aku tahu, Joko? Kalau belum mati, bagaimana dapat menjawab pertanyaan itu? Dan orang yang sudah mati juga tidak dapat menjawab karena tidak dapat bicara lagi, Joko."
"Mari kita tanyakan kepada Ayahku. Ayah pasti akan dapat memberi jawaban!"
Kata Joko. Dua orang anak itu lalu bangkit dan kembali ke rumah induk.
Sementara itu, di pendopo rumah induk, para murid Bromo Dadali, dipimpin oleh Ki Sanuri, mengadakan pertemuan untuk membicarakan keadaan perguruan mereka setelah guru mereka, Ki Ageng Branjang, meninggal dunia. meeka semua, termasuk Ki Sanuri sendiri, memilih Muryani untuk menggantikan kedudukan ketua bromo dadali. Akan tetapi Muryani mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala.
"Maaf, Kakang Sanuri dan saudara sekalian. Bukannya aku tidak sayang kepada Perguruan Bromo Dadali, akan tetapi ada beberapa hal yang membuat aku tidak mungkin dapat menjadi ketua Bromo Dadali. Pertama, aku bukan murid tertua."
"Akan tetapi Andika adalah murid yang memiliki ilmu kepandaian yang paling tinggi diantara kami. Adi Muryani!"
Sanuri membantah dan hal ini disetujui oleh semua murid.
"Justeru itu juga merupakan alasan mengapa aku tidak mungkin dapat menjadi ketua Bromo Dadali. Seperti kukatakan tadi, pertama karena aku bukan murid tertua. Dan kepandaianku tidak aseli lagi, bukan sepenuhnya aliran Perguruan Bromo Dadali karena aku dahulu menjadi murid mendiang Nyi Rukma Petak. Yang pantas menjadi Ketua Bromo Dadali haruslah memiliki ilmu-ilmu aseli Perguruan Bromo Dadali dan mengembangkan ilmu-ilmu tersebut. Ini merupakan kenyataan ke dua mengapa aku tidak dapat menjadi ketua di sini. Ke tiga, aku bersama suami dan anakku tinggal di Pasuruan dan memiliki tugas membela Pasuruan sebagai benteng pertama Mataram di timur, dan ke empat, aku adalah seorang wanita. Yang pantas menjadi ketua Bromo Dadali haruslah seorang pria. Oleh karena itu, sudah sepatutnya dan sudah tepat kalau kita semua mengangkat Kakang Sanuri menjadi Ketua Bromo Dadali menggantikan mendiang Bapa Guru. Kuharap semua Saudara Saudara dapat menyetujui usulku ini"
Karena alasaan penolakan Muryani memang tepat dan tidak dapat dibantah, maka semua murid menyatakan persetujuan mereka untuk mengangkat Ki Sanuri menjadi ketua. Memang sudah kurang lebih dua tahun ini, segala urusan bromo Dadali ditangani oleh sanuri sebagai wakil Ki Ageng Branjang, dibantu oleh mendiang Ki Kiswoyo.
Melihat semua murid setuju emilih dia dengan suara riuh rendah, ki sanuri lalu mengangkat yangan ke atas memberi isart agar para murid tidak gaduh dan mendengarkan kata-katanya. setelah semua orang diam, Ki sanuri berkata lantang.
"Terima kasih atas kepercayaan kalian menyerahkan tugas memimpin Bromo Dadali kepadaku. Akan tetapi tentu kalian semua mengetahui bahwa keadaan kita sebetulnya masih amat lemah. Dalam peristiwa yang baru saja terjadi, kalau sekiranya di sini tidak ada Adi Muryani dan suaminya, Adi Parmadi yang sakti mandraguna, kita tahu bahwa sudah pasti Bromo Dadali akan hancur dan dikuasai oleh murid yang murtad dan berkhianat. Inilah yang membuat kita condong memilih Adi Muryani menjadi pemimpin, yaitu agar perguruan kita menjadi kuat."
Muryani segera menjawab.
"Kakang Sanuri! Pendapat Andika itu kurang tepat. Mendiang Bapa Guru tidak pernah gentar menghadapi ancaman apa pun juga terhadap perguruan kita dan tidak penah merasa lemah selama kita berada di pihak yang benar. Yang dikhawatirkan oleh Bapa Guru adalah kalau kita menyimpang daripada kebenaran. Kalau kita selalu berdiri di pihak yang benar, ancaman dari manapun datangnya akan kita lawan tanpa merasa jerih sedikit pun. Berkorban nyawa sekalipun, kalau demi kebenaran, bahkan merupakan kebanggan para satria. Bukankah begitu, saudara-saudara seperguruanku?"
Para murid Bromo Dadali terbakar semangatnya dan mereka menyambut ucapan Muryani dengan teriakan setuju dan mendukung.
"Saudara-saudara sekalian. Sesungguhnya, aku sama sekali tidak gentar menghadapi ancaman para pejahat dan aku pun setuju dengan ucapan Adi Muryani. Aku siap berkorban nyawa demi mempertahankan kebenaran, demi membela perguruan kita. Ucapanku tadi hanya hendak menyatakan keinginanku melihat kemajuan perguruan kita, agar perguruan kita menjadi lebih kuat. Karena bagaimanapun juga, semangat haruslah diimbangi dengan kekuatan untuk melawan pihak yang jahat dan sewenang-wenang seperti gerombolan yang menyerbu kita kemarin.
"Maafkan saya dan perkenankan saya sebagai orang luar mengajukan usul."
Tiba-tiba Parmadi berkata dengan lembut namun suaranya dapat terdengar jelas oleh semua orang.
"Ah, mengapa Adi Parmadi berkata begitu? Biarpun Andika bukan murid Bromo Dadali, akan tetapi dengan menjadi suami Adi Muryani berarti Andika bukan orang luar, melainkan menjadi keluarga kami. Bahkan lebih daripada itu, Andika telah menjadi penolong Bromo Dadali ketika terjadi penyerbuan kemarin. Ajukanlah usul Andika itu, Adi Parmadi, dan kami sekalian akan mendengarkan dengan saksama!"
Kata Sanuri.
"Begini, saudara-saudara sekalian. Kami berdua, isteri saya dan saya, datang ke Bromo Dadali dengan niat menitipkan putera kami Joko Galing untuk sementara di sini karena kami ingin berjuang membela Pasuruan dari ancaman musuh. Kalau bahaya telah lewat, akan kami ambil kembali anak kami. Dan melihat bahwa Bromo Dadali juga terancam oleh musuh yang sama, maka sudah sepatutnya kalau kami membantu untuk memperkuat Bromo Dadali dengan memberi latihan sehingga keampuhan aji-aji dari perguruan ini meningkat. Untuk itu, kami berdua siap melatih selama kurang lebih satu bulan, baru kami akan kembali ke Pasuruan."
Usul Parmadi ini disambut sorak sorai para murid Bromo Dadali, dan Muryani juga mengangguk- angguk menyetujui usul suaminya itu.
Pada saat itu, terdengar ribut-ribut suara orang berteriak-teriak di luar rumah induk. Tenyata terjadi keribuan di luar rumah induk. ternyata terjadi keributan di luar itu. Ketika Joko Galing dan Niken Arum kembali dari taman di sebelah kanan rumah dan mereka tiba di pekarangan, tiba-tiba dari luar pekarangan muncul Sangkolo! Begitu memasuki pekarangan, Sangkolo sudah menangis dan melihat Joko Galing dan Niken Arum, dia berteriak-teriak.
"Kembalikan Bapakku....! Kalian telah membunuh Bapakku! Kembalikan Bapakku....!"
Dia berteriak-teriak di antara tangisnya.
Niken Arum yang sudah mendengar tentang pengkhianatan yang dilakukan Ki Kiswoyo, menjadi marah melihat munculnya sangkolo. ia cepat menymbut dan menghampiri Sangkolo, diikuti Joko Galing dan gadis remaja itu menudingkan telunjuknya ke arah muka Sangkolo dan berkata ketus.
"Sangkolo! Mau apa engkau ribut-ribut!? Ayahmu tewas karena kesalahannya sendiri. Dia bekhianat, bersekutu dengan orang-orang jahat menyerbu perkampungan kita! Engkau semestinya malu dengan perbuatan Ayahmu itu, tidak berteriak- teriak seperti ini!"
"Kau....! Kubunuh kau! Akan kubunuh semua orang Bromo Dadali!"
Teriak Sangkolo dan dia sudah mencabut golok yang diselipkan diselipan di pinggang lalu menyerang Niken Arum dengan ganas. Niken Arum terkejut dan cepat melompat ke kiri untuk mengelak. Akan tetapi Sangkolo memutar tubuh menyerang lagi seperti orang gila mengamuk. Melihat serangan berbahaya bagi Niken Arum, Joko Galing tidak tinggal diam. Dari samping dia menubruk, menangkap pergelangan tangan kanan Sangkolo yang memegang golok. Mereka bersitegang, saling tarik dan Joko Galing merasa betapa dia kalah tenaga, maka cepat kakinya mencuat ke depan mengirim tendangan.
"Bukkkk!"
Perut Sangkolo tertendang dan pemuda remaja itu meringis kesakitan. Saat itu dipergunakan Joko Galing untuk merenggut lepas golok dari tangan Sangkolo dan membuangnya jauh-jauh. Sangkolo mengamuk dengan tangan dan kakinya. Akan tetapi semua serangannya dapat dielakkan Joko Galing. Sangkolo mengamuk sambil berteriak-teriak, memaki-maki dan sambil menangis pula.
"Kembalikan Bapakku....! Kubunuh semua orang Bromo Dadali....!"
Pada saat itu, para murid Bromo Dadali yang mendengar ribut-ribut itu berlarian keluar dari pendopo rumah induk. Melihat Sangkolo mengamuk, menyerang Joko Galing namun selalu dapat dielakkan dan ditangkis, Sanuri cepat berlari menghampiri dan dia menangkap kedua lengan Sangkolo yang mengamuk seperti gila itu.
"Sangkolo, tenanglah!"
Bentak Sanuri. Sangkolo tidak mampu meronta dan dia berhenti mengmuk, kini menangis sambil duduk mendeprok di atas tanah, kedua tangannya mnegogosk-gosok mata.
"Kembalikan Bapakku". kembalikan Bapak...."
"Sangkolo, Bapakmu tewas dalam pertempuran yang dimulainya sendiri. Dia mengajak orang-orang jahat untuk menyerang Bromo Dadali. Dalam pertempuran dia tewas dan kami sudah merawat dan mengubur jenazahnya dengan baik-baik."
".... kalian telah membunuh Bapakku....! Aku tidak akan melupakan ini! Aku akan membalas dendam kelak. Kalian semua akan kubunuh! Bromo Dadali akan kujadikan karangabang (lautan api)....!"
Sangkolo meloncat berdiri dan sambil menangis dan berteriak-teriak dia lari keluar dari perkampunan itu. Semua orang menahan napas, tertegun menyaksikan ulah anak itu.
"Biarlah, kalau dia datang, aku yang akan menghadapinya!"
Kata Joko Galing dan ucapan ini mengejutkan semua orang.
"Joko....! Jangan lancang kau!"
Kata Muryani menegur anaknya.
"Ibu, dia jahat dan mengancam! Harus kita tentang, bukan?"
Bantah Joko Galing.
"Joko, Sangkolo adalah putera seorang murid Bromo Dadali, maka kalau dia menyimpang dari kebenaran, kewajiban kita untuk menyadarkannya dan menuntunnya kembali ke jalan yang benar. Dia juga masih kanak-kanak dan dia sedang mengalami guncangan batin karena kematian Ayahnya."
Kata pula Muryani.
Mendengar ini joko Galing menundukkan mukanya.
"Maafkan, ibu, aku memang bersalah."
Kemudian joko galing dan Niken arum bicara dengan parmadi dan Muryani berempat saja di dalam taman, ini atas permintaan joko Galing kepada orang tuanya.
"Joko, engkau dan Niken mengajak ami bicara di sini. Apakah yang hendak kau sampaikan kepada kami?"
Tanya Parmadi.
"Ayah, tadi aku dan Mbakayu Niken bercakap- cakap dan kami berdua tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam hati kami sehubungan dngan eninggalnya kakek Guru."
"Hemm, apakah yang kalian tanyakan itu?"
Tanya Parmadi heran.
"Mbakayu Niken Arum mengatakan bahwa setiap orang, termasuk kami berdua, pasti akan mati seperti Kakek Guru kalau saatnya sudah tiba. Nah, pertanyaan kami yang pertama, mengapa kita harus hidup kalau akhirnya hanya akan mati?"
Diam-diam suami isteri itu terkejut. Pertanyaan itu sama sekali tidak pernah mereka sangka. Yang bertanya adalah seorang anak-anak dan biarpun Joko Galing mempunyai pikiran yang lebih maju daripada anak-anak biasa seumurnya, namun dia masih belum dewasa, mungkin hanya setingkat dengan pengertian Niken Arum yang berusia dua belas tahun, belum juga remaja. Masih kanak-kanak. Karena itu, mereka harus berhati-hati memberi jawaban karena harus berhati- hati memberi jawaban karena masalah kematian dan kehidupan terlampau rumit bagi batin kanak-kanak. Maka, Muryani yang merasa bingung memandang suaminya dan menyerahkan kepada suaminya untuk menjawab pertanyaan itu. Parmadi tersenyum dan setelah menatap wajah puteranya, dia pun memandang wajah Niken Arum.
"Niken, apakah engkau juga ingin mengetahui jawaban petanyaan itu?"
Niken Arum menangguk.
"Benar Paman, Adi Joko dan saya memang tadi membicarakan dan mempertanyakan hal itu. Setelah melihat dan menjamah tangan jenazah mendiang kakek guru, kami berdua merasa heran mengapa kita hidup kalau akhirnya hanya akan mati. Apa gunanya kita hidup, Paman?"
Parmadi memandang ke sekeliling. Begitu pandang matanya bertemu dengan penglihatan di sekelilingnya, maka bertemulah dia dengan jawaban yang tepat untuk memberi penerangan kepada batin dua orang kanak-kanak itu.
"Lihatlah di sana itu, Joko dan Niken. Kalian dapat melihat pohon kelapa itu juga hidup, walaupun tampaknya tidak mampu bergerak seperti kita, pohon kelapa itu hidup, sejak kecil muncul sebagai tunas, tumbuh menjadi tinggi dan kelak pada saatnya akan mati. Akan tetapi sebelum mati, ia amat berguna bagi pihak lain. Burung-burung dapat bersarang di atasnya, ia menghasilkan batang, daun, dan terutama buahnya yang amat dibutuhkan dan dimanfaatkan manusia. Lihat pohon-pohon mangga itu. Sama saja, mereka pun kelak akan mati, namun sebelum mati banyak manfaat mereka hasilkan bagi mahluk lain terutama manusia. Pohon mawar dan melati itu pun besar sekali gunanya, menghasilkan bunga-bunga segar yang indah dan harum, dinikmati manusia. Itu di sana ada sapi sedang makan rumput.
Bahkan tumbuh- tumbuhan seperti rumput itupun hidup dan kelak akan mati, akan tetapi sebelum mati, rumput-rumput itu amat berguna bagi hewan yang membutuhkannya untuk makan. Sapi itu sendiri pun hidup dan kelak mati, akan tetapi iapun menghasilkan banyak manfaat. Tinjanya menyuburkan tanah, air susunya, dagingnya, bahkan kulit dan tulangnya dapat dimanfaatkan manusia. Nah, kalau semua yang hidup itu, tanam- tanaman sampai binatang, hidup dan sebelum mati dapat bermanfaat bagi pihak lain, apalagi kita manusia! Kita juga hidup dan kelak akan mati, maka seperti juga mereka itu, tumbuh-tumbuhan dan hewan, sebelum mati sepatutnya kalau kita juga menghasilkan mafaat bagi semua makhluk lain, terutama sesama manusia. Nah, mengertikah kalian sekarang apa gunanya kita hidup ini?"
Kini Joko Galing dan Niken Arum saling berpandangan. Anak laki-laki itu lalu berkata.
"Ayah dan ibu, kalau begitu, kita hidup ini harus berguna dan ada manfaatnya bagi orang-orang lain?"
"Benar, Anakku. Kalau selagi hidup kita ini tidak ada guna dan manfaatnya bagi sesama manusia, bahkan sesama hidup, maka kehidupan ini kosong dan tidak ada artinya."
Kata Muryani sambil merangkul puteranya.
"Paman, berguna dan bermanfaat bagi orang lain itu berarti bahwa kita harus melakukan kebaikan terhadap sesama manusia?"
Tanya Niken Arum.
"Benar, Niken. Baik yang berarti tidak mementingkan kesenangan diri sendiri, setiap saat siap membantu siapa saja yang membutuhkan bantuan, menegakkan kebenatan dan keadilan, menentang kejahatan dan keangkara-murkaan. Tidak memamerkan kepandaian sendiri melainkan dengan rendah hati menyadari kekurangan sendiri. Mengertikah kalian berdua?"
"Aku tidak memahami sepenuhnya, Ayah, akan tetapi kukira yang Ayah maksudkan adalah watak satria seperti yang sering Ayah Ibu ceritakan. Sekarang, pertanyaan kami yang kedua. Ayah. Apa yang terjadi selanjutnya dengan kita kalau kita mati seperti Eyang Guru itu?"
Parmadi tercengang. Pertanyaan ini rumit dan sebetulnya belum tiba waktunya bagi anak seusia Joko Galing untuk mengerti tentang urusan ini. Akan tetapi karena pertanyaan sudah diajukan dan kalau tidak dijawab hanya akan menimbulkan rasa penasaran sehingga anak itu dapat membuat atau mereka-reka jawabannya sendiri yang mungkin tersesat, dia pun menjawab dengan hati-hati.
"Joko, dan engkau Niken, kita ini, seperti juga semua makhluk hidup, baik yang bergerak maupun yang tidak, hidup bukan atas keinginan kita sendiri. Kita hidup ini ada yang menghidupkan. Sejak kecil kalian ini tumbuh menjadi besar, ada yang menumbuhkan, seperti juga tumbuh-tubuhan dan hewan. Seperti juga rambut dan kuku jari kalian, semua itu tumbuh bukan karena kemauan kalian, melainkan ada yang menumbuhkan, ada yang meguasai, ada yang memiliki! Tahukah kalian, siapa yang menghidupkan, menguasai dan memiliki semua itu, termasuk diri dan kehidupan kita?"
"Aku tahu, Ayah! Sudah sering Ayah dan Ibu ceritakan. Yang menguasai adalah Gusti Allah!"
Kata Joko Galing.
"Benar, Paman. Ayah dan Ibu saya juga sering menceritakan bahwa yang menguasai segala apa pun di dunia ini, yang menciptakan, dan yang memiliki, adalah Gusti Allah."
"Bagus kalau kalian mengerti akan hal itu. Nah, kalau yang mencipta, menguasai, dan memiliki Gusti Allah maka kalau yang memiliki itu berkenan mengambil milikNya, termasuk jiwa kita, maka tidak seorangpun dapat mencegahnya. Jadi, hidup dan mati kita ini adalah atas kuasaNya, atas kehendakNya, dan apa pun yang akan terjadi kepada kita setelah mati pun sepenuhnya berada dalam kekuasaanNya. Kita hanya tinggal menerima saja. Nah, mengertikah kalian?"
Joko Galing mengerutkan alisnya an memegang tangan ibunya, lalu berkata.
"Melihat jenazah Kakek Guru, aku merasa ngeri, Ajah! Jenazah itu begitu dingin dan tampak tak berdaya. Di mana Kakek Guru sekarang, Ayah?"
"Jasmaninya Kakek Guru telah mati dan akan kembali ke tanah, seperti semua benda dan makhluk, kalau sudah mati tentu menjadi tanah. Akan tetapi jiwa kakek Gurumu tidak akan lenyap, walaupun tidak dapat tampak oleh mata kita. Mati adalah kelanjutan dari hidup, dan yang penting adalah bahwa ketika hidup, kita harus hidup sesuai degan kehendak Gusti Allah, yaitu melaksanakan kebaikan dan menjauhi kejahatan. Selagi hidup kita berserah diri sepenuhnya kepada Gusti Allah sehingga selalu mendapat bimbinganNya dalam langkah hidup kita. Kalau sewaktu hidup kita selalu dibimbingNya, maka kita yakin bahwa setelah kita diambil kembali oleh Sang Pemilik, kita pun akan berada dalam bimbinganNya dan karenanya tidak perlu khawatir. Aku percaya bahwa sekarang Kakek Gurumu juga berada dalam bimbingan Gusti Allah, mengingat bahwa ketika hidupnya beliau selalu melaksanakan kehendakNya, yaitu melaksanakan kebaikan dan menolak perbuatan jahat."
Dua orang anak itu, biarpun tidak dapat mengerti sepenuhnya, namun merasa lega dengan semua keterangan Parmadi yang dilakukan dengan hati-hati dan gamblang agar mudah dimengerti dua orang anak itu.
Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mulai hari itu, Muryani mengajarkan beberapa ilmu pukulan aliran Bromo Dadali yang sudah ia sempurnakan sehingga tingkat ilmu-ilmu aliran Bromo Dadali itu menjadi jauh lebih tinggi daripada biasanya. Parmadi juga mengajarkan cara menghimpun tenaga sakti kepada para murid-murid golongan atas sehingga mereka kelak dapat mengajarkan kepada murid-murid yang lebih muda. Selama satu bulan, suami isteri itu menggembleng para murid Bromo Dadali, terutama Ki Sanuri yang kini menjadi Ketua Bromo Dadali menerima gemblengan khusus dari suami isteri itu.
Setelah berada di Bromo Dadali selama satu bulan lebih, pada suatu pagi, Parmadi dan Muryani meninggalkan perkampungan itu. Mereka menitipkan Joko Galing kepada Sanuri. Joko Galing bukan seorang anak cengeng. Biarpun tentu saja dia akan lebih senang kalau dapat ikut ayah ibunya, namun dia mengerti bahwa ayah ibunya menitipkan dia di Bromo Dadali untuk kebaikan dirinya sendiri. Ayah ibunya akan membantu Pasuruan menghadapi pertempuran kalau diserang Blambangan dan mereka akan dapat mencurahkan seluruh tenaga dan perhatian mereka kalau mereka tidak harus melindungi anak mereka dalam pertempuran itu.
Suami isteri itu meninggalkan Bromo Dadali dengan menunggang dua ekor kuda, menuruni Pegunungan Muria menuju ke timur. Para murid Bromo Dadali, juga Joko Galing dan Niken Arum, mengantar kepergian mereka sampai di luar perkampungan Bromo Dadali dan Joko Galing melambaikan tangan sampai bayangan kedua orang tuanya lenyap di sebuah tikungan.
Dua orang permuda itu berindap-indap keluar dari dalam sebuah hutan menuju ke jalan umum. Mereka adalah Bagus Sajiwo dan Parto, yaitu Tan Swi Hong yang menyamar sebagai seorang pria dan oleh Bagus Sajiwo diberi nama Parto. Biarpun gadis Cina itu tampak sebagai seorang pemuda yang terlalu putih kulitnya dan terlalu tampan lembut wajahnya, namun dengan pakaian sebagai seorang pemuda ia tidak akan menarik banyak perhatian seperti kalau ia tampil sebagai seorang gadis Cina.
Seperti kita ketahui, setelah perahu yang mereka tumpangi pecah dan mereka semua yang berada di perahu itu terlempar ke laut, Bagus Sajiwo bertemu dengan Tan Swi Hong mengkhawatirkan nasib ayahnya, Tan Beng Ki, dan Sie Tiong, tunangannya. Akan tetapi Bagus Sajiwo yang juga mengkhawatirkan nasib sahabatnya, Joko Darmono, menghiburnya dan menasihati gadis Cina itu agar menyerahkan segalanya kepada Tuhan. Mereka berdua melakukan perjalanan dengan hati-hati untuk mencari Tan Beng Ki, Sie Tiong, dan Joko Darmono. Sedapat mungkin mereka menjauhi dusun-dusun dan menjaga agar jangan dilihat orang karena mereka berada di daerah Blambangan, daerah kadipaten yang merencanakan permusuhan dengan Mataram.
Tan Swi Hong adalah seorang gadis Cina yang tidak lemah. Bahkan ia telah mengalami banyak bahaya, menempuh pelayaran dari Cina ke Nusa Jawa untuk mencari kehidupan baru mengikuti ayahnya. Sejak kecil ia digembleng ilmu silat oleh ayahnya sendiri, kemudian oleh Kam Leng yang lihai dan yang menjadi pembantu ayahnya. Akan tetapi, malapetaka yang menimpa dirinya sekarang ini membuat ia hampir putus asa. Ia melihat sendiri betapa ayahnya roboh tertembak dan ia tidak tahu bagaimana keadaan ayahnya sekarang. Ia merasa bahwa ayahnya tentu tewas, akan tetapi ke mana ia harus mencari jenazah ayahnya? Ayahnya tewas dan jenazahnya lenyap, tidak dapat dirawat dan dikubur sebagaimana mestinya ! Juga ia kehilangan Sie Tiong, tidak tahu apakah tunangannya itu masih hidup ataukah mati. Kalau saja ia tidak bertemu dengan Bagus sajiwo, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Berhari-hari mereka naik turun bukit, masuk keluar hutan di sepanjang pantai, mencari-cari tanpa hasil. Karena merasa tidak leluasa kalau gadis Cina itu berada di sampingnya, akhirnya setelah berhari-hari mencari tanpa hasil, Bagus Sajiwo mengusulkan untuk mengantarkan Swi Hong ke Tuban melalui darat. Dia akan mengantar gadis itu pulang, barulah dia akan kembali ke Blambangan, selain untuk mencari apakah sahabatnya, Joko Darmono dan Sie Tiong, masih hidup, juga untuk menyelidiki gerakan Blambangan hendak menyerang Mataram. Demikianlah, dengan cara sembunyi-sembunyi dia mengajak Swi Hong melakukan perjalanan menyusuri pantai ke utara.
Pada pagi hari itu, mereka muncul dari dalam hutan dan tiba-tiba di sebuah jalan umum. tiba-tiba Bagus Sajiwo menarik tangan Swi Hong atau kita sebut saja nama samarannya Parto, diajak menyelinap ke balik semak-semak. Ada dua orang laki-laki sedang bercakap-cakap dengan suara keras, agaknya marah-marah, di jalan umum itu. BagusSajiwo mengintai dan melihat seorang laki-laki gagah berusia sekitar empat puluh tahun, berhadapan dengan seorang laki-laki berpakaian pendeta, usianya sekitar lima puluh tahun, kepalanya dibalut sorban kuning, pakaiannya jubah longgar dan tangannya memegang sebatang tongkat ular hitam.
Paman, sekali lagi saya mohon Paman menyadari bahwa apa yang paman putuskan itu berlawanan dengan sikap Bapa Guru, berlawanan pula dengan pendirian perguruan Driya Pawitra!"
Kata yang lebih muda dengan suara keras namun sikapnya tetap menghormat.
"Bukankah Paman selalu menjadi penasihat perguruan kita selalu membela yang benar dan menentang yang salah?"
"Hemmm, Sakitri, engkau tahu apa? Segala tindakan harus diperhitungkan lebih dulu, bukan saja benar salahnya, melainkan juga untung ruginya. Aku tidak ingin meihat perguruan Driya Pawitra yang dipimpin Kakang Sarwaguna menjadi hancur lebur hanya karena salah pilih dan salah mengambil keputusan. Kalau engkau membantah, berarti engkau ingin menghancurkan Driya Pawitra dan kesalahanmu ini tidak kuampuni!"
"Paman Guru Bhagawan Sarwatama! Saya adalah murid Driya Pawitra yang setia dan siap membela perguruan kita dengan taruhan nyawa! Saya tidak akan menyeleweng dari peraturan yang ditentukan dalam Perguruan Driya Pawitra!"
"Heh, Sakitri! Apakah engkau hendak membantah dan melawan aku yang ikut menggemblengmu? Engkau tidak hormat, tidak taat dan tidak takut kepadaku?"
"Paman, saya hormat, taat dan takut kepada paman, akan tetapi saya lebih hormat, lebih taat dan lebih tahut kepada Perguruan Driya Pawitra!"
"Keparat! Engkau anak kemarin berani menantang aku?"
"Saya tidak menantang Paman, saya hanya membela kebenaran!"
Laki-laki berpakaian pendeta yang bernama Bhagawan Sarwatama itu menyerang dengan tongkat ular hitamnya. Tongkat itu menyambar dahsyat dan dari angin pukulan yang berdesing itu tahulah Bagus Sajiwo bahwa laki-laki berpakaian pendeta itu memiliki tenaga sakti yang kuat sekali! Akan tetapi orang yang lebih muda itu sudah mencabut pedangnya menangkis.
"Tranggg....!"
Bunga api berpijar dan laki-laki berpedang itu terhuyung ke belakang. Ini saja menunjukkan bahwa dia kalah kuat. Akan tetapi dia memutar pedangnya dan melawan mati-matian. Bagus Sajiwo menonton dengan alis berkerut. Dari percakapan mereka tadi dia tahu bahwa mereka adalah paman dan keponakan seperguruan. Dia merasa tidak enak untuk mencampuri, apalagi karena dia tidak tahu apa persoalan yang mereka ributkan. Andaikata seperti yang dia dengar tadi, laki-laki bernama Sakitri itu betul-betul memebela kebenaran, namun sikapnya berani menentang dan melawan paman gurunya itu sudah tidak benar. Dia tidak tahu siapa yang salah dan siapa yang benar, maka Bagus Sajiwo hanya berdiri menonton dengan hati ragu.
Tiba-tiba Bhagawan Sarwatama mengeluarkan pekik melengking, tangan kirinya melakukan gerakan mendorong ke depan dan tubuh Sakitri terjengkang roboh dan muntah darah!
"Heh-heh, bocah kurang ajar. Rasakan, mati kau sekarang!"
Bhagawan Sarwatama itu melangkah maju dan mengangkat tongkat ular hitamnya ke atas, dipukulnya ke arah kepala Sakitri yang sudah tidak mampu bergerak itu.
"Wuuuttt.... plakkk!"
Bhagawan Sarwatama melompat ke belakang dengan mata terbelalak kaget. Tongkatnya tadi bertemu dengan tangan Bagus Sajiwo yang menangkisnya. Ada seorang pemuda yang mampu menangkis pukulan tongkat ularnya dengan tangan kosong, bahkan membuat dia terdorong ke belakang dengan kuatnya! Hampir pendeta itu tidak percaya.
"Maaf, Paman. Lawan yang sudah roboh tidak semestinya diserang lagi. Anek kalau seorang paman guru begitu kejam hendak membunuh murid keponakan yang telah dilukainya!"
Kata Bagus Sajiwo. Bhagawan Sarwatama memandang dengan muka merah karena marah.
"Orang muda yang lancang! Berani engkau mencampuri urusan keluarga perguruan kami? Pergilah!"
Berkata demikian, Bhagawan Sarwatama kembali mendorongkan tangan kirinya yang dikembangkan ke arah Bagus Sajiwo. Itulah Aji Pawana Sakti yang mendatangkan angin pukulan amat kuat sehingga tadi sekali terkena pukulan itu Sakitri roboh dan muntah darah. Akan tetapi, Bagus Sajiwo yang mengenal pukulan ampuh, meyambut dengan telapak tangan kanannya.
"Syuuuttt.... bresss....!!"
Kembali tubuh Bhagawan Sarwatama terpental, kini lebih kuat sehingga biarpun dia dapat melompat dan tidak terjatuh, namun dia sempat terhuyung. Sang pendeta ini terkejut bukan main dan merasa gentar, apalagi ketika melihat seorang pemuda lain yang berkulit putih berada di situ. Melawan yang seorang ini saja rasanya sudah amat berat, apalagi kalau mereka maju berdua!
"Hemm, orang muda, siapa engkau?"
Tanyanya ketus.
"Nama saya Bagus Sajiwo, Paman, dan maafkan saya. Bukan maksud saya hendak mencampuri urusan pribadi orang, melainkan saya hanya ingin mencegah orang melakukan pembunuhan secara kejam."
"Huh....!"
Pendeta itu mendengus, lalu memutar tubuhnya dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Bagus Sajiwo menghampiri dan berjongkok memeriksa tubuh Sakitri. Dia mengerutkan alisnya melihat betapa baju di bagian dada orang itu hancur dan kulit dadanya biru menghitam. Terkena aji pukulan yang dahsyat sekali.
"Bagaimana keadaannya, Bagus?"
Bagus sajiwo memandang Parto yang juga suah berjongkok di sebelahnya. Dia menggeleng kepalanya. Sakitri mengeluh dan membuka matanya.
".... Ki sanak...."
Katanya lirih sambil menyeringai menahan rasa nyeri, terengah-engah dan di sela-sela rintihannya.
".... jangan kepalang menolong.... Ki sanak, saya mohon padamu.... pergilah ke Teluk Grajagan.... peringatkan Bapa Guru Ki Sarwaguna.... Ketua Perguruan Driyo Pawitra.... terancam....
(Lanjut ke Jilid 17)
Kemelut Blambangan (Seri ke 05 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 17
akan diserbu.... Blambangan.... Paman Sarwatama.... pengkhianat.... uuhhhhh....!"
Kepala orang itu terkulai dan ketika Bagus Sajiwo memeriksa, denyut jantung Sakitri telah terhenti!
"Dia telah mati....!"
Kata Bagus Sajiwo dan tanpa bicara lagi dia lalu menggali lubang dan mengubur jenazah orang itu, dibantu oleh Parto yang diam-diam merasa kagum kepada pemuda itu. Betapa luhur budinya.
Setelah selesai mengubur jenazah orang yang sama sekali tidak dikenalnya itu, Bagus Sajiwo lalu berkata kepada Parto.
"Parto, menyesal sekali, terpaksa kita menunda perjalanan kita ke Tuban yang jauh. Aku harus lebih dulu pergi ke Teluk Grajagan yang jauh lebih dekat daripada Tuban, untuk memenuhi pesan terakhir Ki Sakitri tadi."
"tidak mengapa, bagus. Kalau engkau pikir memang perlu sekali pergi ke sana, aku menurut saja."
Jawab Parto.
"Tentu saja perlu sekali. Perguruan Driya Pawitra terancam serbuan Blambangan dan agaknya Bhagawan Sarutama tadi bekhianat terhadap perguruan itu."
"Itu menurut pesan orang tadi, Bagus. Kukira kurang bijaksana kalau hanya mendengar dan percaya keterangan satu pihak saja. Bagimana ngkau dapat yakin bahwa keterangan sepihak itu mesti benar?"
Bagus Sajiwo tersenyum.
"Engkau benar, Parto. Aku pun tidak begitu sembrono untuk percaya saja keterangan Ki Sakitri tadi. Akan tetapi, kalau urusan ini menyangkut Blambangan yang sedang kuselidiki, maka aku harus pergi ke perguruan Driya Pawitra itu. Tanpa datang ke sana menyaksikan sendiri keadaannya, bagaimana aku dapat mengetahui siapa benar siapa salah? Sayang, urusan ini membuat kepulanganmu ke Tuban menjadi tertunda."
"Sudah kukatakan tadi, tidak mengapa, Bagus. Mari kita berangkat!"
Mereka lalu meninggalkan tempat itu dan kini mereka memutar haluan perjalanan mereka, tidak ke utara melainkan ke selatan. Perjalanan ke Tuban dari daerah Blambangan ini memang jauh sekali dan akan makan waktu lama, apalagi dilakukan melalui darat yang banyak rintangannya. Sebaliknya, teluk Grajagan tidaklah begitu jauh. Akan tetapi mereka harus berhati-hati karena untuk menuju ke teluk itu, mereka harus melintasi daerah Blambangan.
Siapakah Bhagawan Sarwatama dan Ki Sakitri itu dan apakah yang terjadi dengan Perguruan Driya Pawitra? Kita tinggalkan dulu Bagus Sajiwo dan Parto atau Tan Swi Hong yang melakukan perjalanan menuju ke Teluk Grajagan, dan kita tengok keadaan perguruan silat itu.
Perguruan Driya Pawitra adalah sebuah perguruan silat yang sudah tua, mendekati satu abad usianya. Pendirinya adalah seorang laki-laki yang berasal dari kerajaan Pajajaran di Nusa Jawa bagian barat. Namanya Ki Hajarmanik yang merantau sampai diujung timur selatan Nusa Jawa dan akhirnya dia menetap bertapa di sebuah gua yang terdapat di pantai Teluk Grajagan. Semenjak Ki Hajarmanik yang sudah berusia enam puluhan tahun itu bertapa di situ, setiap kali ada gerombolan penjahat mengganggu pedusunan di daerah itu, dia selalu muncul dan menghajar para penjahat. Nama Ki Hajarmanik mulai dikenal dan dikagumi karena kesaktian dan kebaikannya.
Para pemuda di sekitar daerah itu mulai berdatangan untuk berguru ilmu kepadanya. Ki Hajarmanik menerima mereka, mengajarkan ilmu oleh kanuragan dan juga pendidikan budi pekerti. Makin banyak saja para muda yang menjadi muridnya sehingga akhirnya Ki Hajarmanik mendirikan sebuah perguruan silat yang diberi nama perguruan Silat Driya Pawitra. Selama kurang lebih satu abad, perguruan itu turun temurun dipimpin seorang murid Driya Pawitra yang terpandai, terutama yang menonjol dan tertinggi tingkat kesaktiannya. Akhirnya, kurang lebih dua puluh lima tahun yang lalu. perguruan Driya Pawitra dipimpin oleh Ki Sarwaguna sebagai ketuanya.
Ketika itu, Ki Sarwaguna berusia kuang lebih dua puluh lima tahun. Dia memang seorang murid perguruan itu yang terpandai dalam aji kanuragan. Dia dibantu oleh seorang adik seperguruan yang setahun lebih muda darinya, bernama Ki Sarwatama. Selisih tingkat kepandaian antara kedua orang murid utama Driya Pawitra ini tidak banyak, hanya bedanya, kalau Ki Sarwaguna lebih suka memperdalam ilmu kanuragan, sebaliknya Ki Sarwatama lebih suka memperdalam ilmu kebatinan sehingga sejak muda dia lebih suka melakukan tapabrata.
Kedua orang yang menjadi pimpinan baru Perguruan Driya Pawitra itu mempunyai seorang adik seperguruan, seorang gadis bernama Ambarsari, seorang di antara beberapa orang pemuda ini jatuh cinta kepada Ambarsari dan terjadilah semacam persaingan untuk merebut hati Ambarsari. Akan tetapi akhirnya Ambarsari memilih Ki Sarwaguna yang telah beberapa tahun menjadi Ketua Driya Pawitra. Mereka menikah dan Ki Sarwatama mengalami patah hati, lalu meninggalkan perguruan Driya Pawitra, bahkan mengasingkan diri dan biarpun usianya ketika itu baru sekitar dua puluh tujuh tahun, dia telah menjadi seorang pertapa! Dia merantau, berpindah- pindah tempat pertapaannya dari gunung ke gunung, dari bukit ke bukit. Hanya kadang-kadang saja, kalau kebetulan lewat Teluk Grajagan, dia singgah di perkampungan perguruan itu yang terletak di dekat teluk.
Beberapa tahun setelah menikah Ambarsari melahirkan sorang anak perempuan yang diberi nama Ratna Manohara. Ketika itu, Ki Sarwoguna berusia tiga puluh satu tahun dan isterinya, Ambarsari, berusia sekitar dua puluh tiga tahun. Kehidupan ketua Driya Pawitra itu bersama isteri dan anaknya amat berbahagia, apalagi karena perguruan mereka semakin maju. Para murid pada umumnya bekerja sebagai nelayan dan ada pula yang bercocok tanam.
Alan tetapi, sudah menjadi sifat kehidupan manusia sejak dahulu, selalu diombang-ambingkan di antara suka dan duka, senang dan susah. Tidak ada kesenangan kekal seperti juga tidak ada kesusahan abadi. Tawa dan tangis bergantian menghias kehidupan manusia. Demikian pula yang melanda kehidupan Ki Sarwaguna. Hanya tiga tahun setelah Ratna Manohara lahir, Ambarsari terserang penyakit dan tidak dapat disembuhkan lagi. Ia meninggal dunia, meninggalkan puterinya yang baru berusia tiga tahun!
Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan batin Ki Sarwaguna. Dia amat mencinta isterinya dan dia menjadi duda dalam usia tiga puluh empat tahun. Akan tetapi dia mengambil keputusan untuk tidak menikah lagi. Seluruh sisa hidupnya dia curahkan untuk mendidik Ratna Manohara, puterinya yang tercinta dan untuk mengembangkan Driya Pawitra. Tidaklah mengherankan kalau Ratna Manohara yang digembleng sejak kecil, kini menjadi seorang gadis berusia delapan belas tahun lebih yang selain cantik jelita, juga memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi daripada tingkat para murid Driya Pawitra.
Gdis ini berbakat sekali sehingga ayahnya memberi kepercayaan kepadanya untuk membantunya melatih para murid, bahkan untuk mewakili Driya Pawitra kalau kehadiran pimpinan perguruan itu diperlukan.Demkianlah sedikit riwayat perguruan Driya pawitra yang berpusat di daerah Teluk Grajagan, laut Kidul, daerah Blambangan bagianbarat. ktika cerita ini terjadi, KiSarwaguna telah berusia sekitar lima puluh tahun dan puterinya Ratna manohara berusia hampir Sembilan belas tahun.
Biarpun kini dia tidak tinggal menetap di perkampungan Driya Pawitra, namun Ki Sarwaguna terkadang datang ke perguruan itu dan tinggal selama beberapa pekan di situ. Dia bahkan membantu kakak seperguruannya untuk memberi wejangan mengenai kebajikan kepada para murid. Apalagi semenjak Ambarsari meninggal dunia, agaknya tidak ada lagi ganjalan hati sehingga dia lebih sering datang. Ki Sarwatama juga amat sayang kepada Ratna Manohara dan ikut pula memberi gemblengan kepada murid keponakannya itu.
Pada waktu itu, di antara para murid Driya Pawitra, yang menjadi murid utama dan yang kini menjadi pembantu Ki Sarwaguna adalah seorang murid bernama Sakitri. Pada suatu hati, Ki Sarwaguna memanggil Sakitri dan mereka berbicara di ruangan dalam, dihadiri pula oleh Ratna Manohara. Gadis itu kini berusia hampir sembilan belas tahun. Gadis yang lemah lembut, bermata tajam berwibawa, dengan bibir yang indah mengandung daya tarik yang menggairahkan. Gadis yang berwajah cantik manis dan anggun. Tubuhnya ramping padat bagaikan setangkai bunga mawar yang sedang mulai mekar. Seperi telah diceritakan di bagian dpan, Adipati Blambangan bersekutu dengan kerajaan Klungkung di Bali yang menjadi pendukung utamanya, juga dengan golongan yang anti Mataram dari Madura, didukung pula oleh Kumpeni Belanda.
Persekutuan ini bertujuan memusuhi dan menjatuhkan Mataram yang dipimpin Sultan Agung. Bahkan Blambangan berusaha membujuk perguruan-perguruan silat yang besar untuk membantu dan bergabung dengan persekutuan itu. Untuk membujuk para perguruan, Adipati Blambangan mengundang para pimpinan perguruan untuk menghadiri pertemuan yang diadakan di Blambangan dipimpin oleh penasihatnya, datuk besar Blambangan yaitu Bhagawan Kalasrenggi. Driya Pawitra juga menerima undangan itu dan Ratna Manohara mewakili ayahnya hadir dalam pertemuan itu. Karena berselisih paham Ratna Manohara lalu meninggalkan rapat pertemuan itu. Hari ini, pagi-pagi sekali Ki Sarwaguna mengajak Sakitri berunding dihadiri pula oleh Ratna.
Setelah mreka mengambil tempat duduk dalam ruangan tertutup itu, Ki Sarwaguna minta kepada puterinya untuk menceritakan tentang gerakan Blambangan yang hendak menyerangmataram.
Ratna menceritakan semua yang ia ketahui.
"Kakang Sakitri,"
Kata Ratna yang menyebut kakang kepada murid utama Driya Pawitra itu karena memang laki-laki itu merupakan kakak seperguruannya.
"Blambangan sudah bertekad memusuhi dan menyerang Mataram. Mereka itu didukung oleh Kerajaan Klungkung di Bali, oleh orang-orang Madura, dan terutama sekali oleh Kumpeni Belanda. Bahkan aku medengar berita bahwa mereka akan menyerbu Kadipaten Pasuruan yang dianggap sebagai benteng pertama Mataram."
"Hemm, sungguh memalukan. Kumpeni Belanda adalah musuh bangsa kita, akan tetapi Blambangan malah bersekutu dengan mereka untuk memusuhi Mataram."
Kata Sakitri sambil mengerutkan alisnya.
"Kita tidak perlu melibatkan diri dalam permusuhan itu, akan tetapi kita harus tetap waspada. Selain kita harus menjaga agar tidak ada murid Driya Pawitra yang terlibat, juga kita harus memperkuat penjagaan karena biasanya kalau terjadi perang, para penjahat lalu bermunculan untuk mengail di air keruh."
"Ayah, mengapa kita tidak minta pendapat Paman Bhagawan Sarwatama? Tentu beliau dapat memberi petunjuk yang tepat bagi kita."
"Hemm, sudah hampir dua tahun Pamanmu tidak pernah datang berkunjung. Entah dia berada di mana sekarang. Pamanmu itu sukar ditemukan jejaknya karena dia selalu berpindah-pindah tempat untuk bertapa."
"Napa Guru, baru-baru ini saya mendengar dari seorang penduduk dusun tetangga bahwa dia melihat Paman Guru Sarwatama berada di pegunungan Jatitua,"
"Ah, kalau begitu dia berada di tempat yang tidak terlalu jauh dari sini. Sebaiknya engkau pergi ke sana dan mencarinya, Sakitri. Kalau mungkin minta kepadanya agar suka datang berkunjung ke sini, kalau tidak, tanyakan saja pendapatnya tentang gerakan Blambangan terhadap Mataram. Kita membutuhkan nasihat dan pendapatnya."
Berangkatlah Sakitri memenuhi perintah gurunya. Dia melakukan perjalanan cepat menunggang kuda dan dua hari kemudian dia telah tiba di Pegunungan Jatitua. Dan seperti diduganya semula, dia mendapatlan Bhagawan Sarwatama berada di sebuah gua di pegunungan itu. Untuk mencapai gua di tebing itu, dia harus mendaki. Maka ditambatkannya kudanya pada sebatang pohon dan dia lalu berjalan kaki dan mendaki tebing. Akan tetapi dari jauh dia melihat paman gurunya itu meninggalkan gua dan berjalan menuju ke barat. Sakitri cepat mengejar sambil berseru memanggil.
"Paman Guru Bhagawan Sarwatama! Berhentilah! Saya Sakitri ingin bertemu dan bicara dengan Paman!"
Akan tetapi Bhagawan Sarwatama berjalan terus, dikejar oleh Sakitri dan setelah tiba di jalan umum, barulah laki-laki berpakaian jubah pendeta yang membawa tongkat ular hitam itu berhenti dan menunggu sampai Sakitri dapat menyusulnya. Sakitri segera menghadap Bhagawan Sarwatama dan memberi hormat dengan sembah.
"Hemm, Sakitri! Mau apa engkau mengejar- ngejar aku?"
"Maafkan saya, Paman. Saya diutus Bapa Guru Sarwaguna untuk menemui Paman. Maaf jika saya mengganggu."
"Hemm, diutus apa?"
Diam-diam Sakitri merasa heran sekali melihat sikap paman gurunya itu. Sikap Bhagawan Sarwatama demikian dingin dan tidak acuh padahal biasanya pendeta itu bersikap ramah kepadanya dan kepada para murid perguruan Driya Pawitra.
Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo