Ceritasilat Novel Online

Kemelut Blambangan 4


Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 4



"Kalian naiklah kuda, aku jalan kaki saja."

   "Eh? mengapa?"

   Dua orang pemuda itu bertanya, heran.

   "Aku tidak suka naik kuda berboncengan dengan seorang pemuda."

   Dua orang pemuda itu saling pandang dan keduanya tersenyum geli.

   "Tapi, bukankah kemarin kita juga berboncengan?"

   Tanya Joko Darmono sambil tersenyum.

   "Hemm, kemarin itu terpaksa."

   "Lho, siapa yang memaksamu?"

   Joko Darmono mengejar.

   "Terpaksa keadaan. Sekarang ada dua orang yang berkuda, aku tidak dapat memilih seorang di antara kalian, maka lebih baik aku jalan kaki saja."

   Dua orang pemuda itu kembali saling pandang dan keduanya sama sekali tidak mengerti akan sikap Nawangsih. Joko Darmono hanya tersenyum dan Bagus Sajiwo menggerakkan kedua pundak tanda tidak mengerti dan heran.

   "Kalau begitu, Nawangsih. Pakailah kudaku ini dan aku akan berjalan kaki."

   Kata Joko Darmono.

   "Tidak, aku saja yang berjalan kaki. Pakai kudaku, Nawangsih."

   Bantah Bagus Sajiwo. Nawangsih tertawa dengan wajah berseri. Agaknya ia merasa girang sekali melihat dua orang pemuda itu saling berebutan untuk mengalah terhadap dirinya!

   "Kalau begitu, mari kita semua jalan kaki saja!"

   Kata Nawangsih dan mereka bertiga lalu berjalan kaki hendak keluar dari hutan itu.

   Dalam perjalanan ini, Joko Darmono sambil tersenyum bertanya.

   "Apakah kalian pernah mendengar kisah ayah bodoh, anak bodoh dan kuda mereka yang beruntung itu?"

   "Bagaimana ceritanya, Kakang Joko? Aku belum pernah mendengarnya!"

   Bagus Sajiwo hanya tersenyum.

   "Begini kisahnya. Pada suatu hari, seorang ayah dan anaknya hendak melakukan perjalanan jauh. Karena mereka hanya mempunyai seekor kuda saja, si ayah menyuruh anaknya menunggang kuda dan dia berjalan kaki sambil menuntun kuda yang ditunggangi anaknya. Di tengah perjalanan, mereka bertemu seorang tetangga yang mencela si anak karena dia enak-enakan menunggang kuda sedangkan ayahnya yang tua dibiarkan berjalan kaki. Mendengar teguran ini, si anak turun dan mempersilahkan ayahnya yang menunggang kuda. Akan tetapi, ditengah perjalanan, kembali ada seorang kenalan mereka menegur ayah itu yang dikatakan orang tua tidak kasihan kepada anaknya, membiarkan anaknya jalan kaki sedangkan dia sendiri enak-enak menunggang kuda! Mendapatkan teguran itu, ayah dan anak itu lalu mengambil keputusan untuk berboncengan saja agar tidak ditegur orang lagi. Maka, mereka lalu berboncengan di atas punggung kuda. Akan tetapi dugaan mereka meleset, Di tengah perjalanan, seseorang memberi teguran keras kepada ayah dan anak itu yang dianggap bertindak kejam memaksa kuda kurus itu membawa beban dua orang yang berat. Ayah dan anak itu menjadi kebingungan dan jengkel. Mereka lalu mengikat keempat kaki kuda itu lalu memikul kuda itu berdua! Di tengah perjalanan banyak orang menegur dan mentertawakan mereka akan tetapi ayah dan anak itu tidak perduli, menulikan telinga dan melanjutkan perjalanan mereka."

   Nawangsih tertawa terpingkal-pingkal mendengar cerita itu. Bagus Sajiwo hanya tersenyum, diam-diam kagum kepada Joko Darmono yang pandai bercerita.

   "Bagaimana pendapatmu tentang ayah dan anak itu, Nawangsih?"

   Tanya Joko Darmono.

   ""Hemm, sikap ayah dan anak yang terakhir itulah yang tepat, namun sudah terlambat. Semestinya sejak semula mereka mempunyai pendirian yang teguh, tidak mudah goyah dan menuruti setiap celaan atau usul orang lain. Mereka itu lemah, tidak memiliki kepribadian. kalau kita melakukan sesuatu yang kita anggap benar, kita harus menerima segala cela dan kritik dengan bijaksana, tidak mengekor begitu saja kepada pendapat orang. Akibatnya kita menjadi permainan keraguan kita sendiri karena setiap orang memiliki pendapat yang lain dan kadang berlawanan."

   Demikianlah, mereka bercakap-cakap sambil berjalan keluar dari hutan. Setelah tiba di luar hutan, mereka berdiri terpesona memandang ke depan, ke arah bawah bukit. Mereka terbelalak, Joko Darmono dan Bagus Sajiwo adalah orang-orang yang banyak melakukan perjalanan dan sudah sering menyaksikan tamasya alam pegunungan yang amati indah. Namun mereka tidak pernah merasa bosan dan setiap kali menyaksikan kebesaran alam yang demikian indah, tetap saja mereka terpesona. Sampai lama tiga orang itu berdiri dan melahap segala yang indah-indah itu dengan mata, telinga, dan hidung mereka.

   Matahari baru muncul dari balik bukit di timur. Muncul sebagai bola besar merah. Kemunculannya dapat diikuti pandang mata biarpun gerakannya lambat sekali. Cahayanya yang keemasan mulai menerangi segala sesuatu di permukaan bumi, membawa sinar kehidupan dan harapan baru. Pohon- pohon besar dan segala tumbuh-tumbuhan seolah menyambut matahari dengan suka cita, setiap daun seperti berseri tertimpa sinar matahari yang masih lembut. Pemandangan berwarna-warni di bawah sana, perpaduan antara warna putih, kuning dan hijau yang merupakan bagian terbesar dari warna-warni, mendatangkan perasaan sejuk dan nyaman pada mata. Burung-burung beterbangan di udara. Kupu-kupu menari-nari di antara bunga-bunga. Segalanya demikian indah dan baru bagi penglihatan. Nun jauh di bawah sana tampak anak sungai, seperti seekor ular panjang meliuk-liuk dan airnya berwarna putih seperti perak.

   Bau-bauan yang amat segar dan sedap memenuhi hidung. Bau tanah yang basah oleh embun, rumput-runput hijau segar yang tidak pernah terinjak, bunga-bunga mawar, melati yang mekar, bermacam- macam daun pohon yang memiliki aroma yang khas, hawa udara yang sejuk dan bersih tak ternoda, semua itu memasuki hidung ke dalam tubuh, memberi kesehatan dan kehidupan. Telinga juga kebagian keindahan yang membahagiakan itu. Kicau burung, desah angin diantara daun-dauan pohon, gemercik air dari pancuran kecil ketika menimpa batu, embik domba, dan uak lembu di kejauhan diseling teriakan anak-anak menggembala mereka. Aduh, indah nian semua itu.

   Seperti dikomando, tiga orang itu menyedot udara yang bersih dan nyaman itu sepenuh dada dan perut mereka, lalu menghembuskan keluar perlahan- lahan. Terasa panas-panas hangat dan nyaman dalam perut di bawah pusar. Setelah beberapa kali menghirup napas panjang, Bagus Sajiwo berbisik perlahan.

   "Puji syukur kepada Gusti Allah Yang Maha Besar, Pencipta Alam Semesta."

   Joko Darmono juga mengeluarkan puja-puji dari dalam lubuk hatinya. Sejenak tiga orang itu berdiri seperti patung, terpesona oleh keindahan dan kebesaran alam yang terbentang di bawah bukit depan kaki mereka.

   "Joko,"

   Akhirnya Bagus Sajiwo berkata. Begitu ada yang bicara, baru sekata saja, seperti lenyaplah pesona yang tadi. Tadi merasa diri mereka tidak terpisah dari semua itu, seolah mereka baru menyadari bahwa mereka adalah pribadi-pribadi yang terpisah, hanya menjadi penonton dan pendengar saja.

   "Ada apakah, Bagus?"

   "Karena Nawangsih tidak mau berboncengan naik kuda, maka biarlah engkau menggunakan kudaku dan engkau antarkan Nawangsih pulang ke rumah orang tuanya."

   "Ah, mana boleh begitu, Bagus? Engkau adalah Kakak misannya! Maka engkaulah yang berhak mengantarnya pulang, pakailah kuda yang kurampas dari penculiknya itu."

   Dua oang pemuda itu bersitegang saling mengalah, lalu Bagus Sajiwo berkata.

   "Sudahlah, Joko. Sekarang sebaiknya serahkan saja kepada Nawangsih untuk memilih. Nawangsih, karena kuda kita hanya ada dua ekor, maka sebaiknya untuk engkau dan seorang pengantarnya. Nah, kau pilih saja sendiri. Siapa di antara kami berdua yang kau ingin menjadi pengantarmu? Pilih saja Joko Darmono karena dia yang membebaskan engkau dari tangan penculik."

   "Tidak, Nawangsih, biar Bagus yang mengantarmu karena dia adalah Kakak misanmu."

   Nawangsih memandang kepada dua orang muda itu bergantian. Alisnya berkerut ketika ia bertanya.

   "Hemm, kalau kalian berdua tidak mempunyai minat untuk mengantar aku, sudahlah tinggalkan aku di sini. Aku akan pulang sendiri dengan jalan kaki!"

   "Ah, bukan begitu, Adik Nawangsih."

   Kata Bagus Sajiwo.

   "Kuda kita hanya ada dua ekor dan engkau tidak mau berboncengan. Maka seorang dari kami harus mengalah dan kuharapkan Joko Darmono yang akan mengantarmu."

   "Benar, Nawangsih. aku minta Bagus yang mengatarmu karena dia lebih berhak sebagai Kakak misanmu."

   "Tidak, tidak! Aku belum mengenal betul siapa kalian. Aku hanya tahu nama dan riwayat yang kalian ceritakan sendiri. Terus terang saja, kalau yang mengantar hanya seorang di antara kalian, aku tidak mau dan tidak percaya. Bagaimana kalau kalian ini sebetulnya bajul-bajul buntung yang memakai kulit domba?"

   "Eh? Bajul buntung?"

   Bagus Sajiwo bertanya heran lalu memandang Joko Darmono yang tertawa geli mendengar ucapan gadis cilik itu dan semakin geli melihat wajah Bagus Sajiwo yang terheran-heran.

   "Engkau tidak mengerti, Bagus? Nawangsih memang memiliki istilah yang aneh-aneh. Bajul itu berarti buaya yang berekor, kalau buaya itu buntung berarti dia buaya darat kaki dua!"

   Baru mengertilah Bagus Sajiwo dan dia mengerutkan alisnya. Heran, gadis puteri Ki Cangak Awu ketua Jatikusumo ini mengapa berwatak kasar dan liar seperti itu?

   "Nawangsih! Jangan bicara seenakmu sendiri!"

   Dia menegur.

   "Kalau Ayah Ibumu mendengarmu mereka tentu akan marah. Masa ditolong orang malah menyangka yang bukan-bukan? Nah, kalau engkau tidak mau diantar oleh seorang di antara kami, katakan, bagaimana maumu sebenarnya?"

   "Hemm, aku sama sekali tidak rewel, hanya kalian berdua yang tidak mempunyai pertimbangan. Aku seorang wanita, mana pantas harus berboncengan dengan pria? Kalau hanya ada dua ekor kuda yang menjadi persoalan, mengapa kalian berdua yang sama-sama pria tidak berboncengan saja dan mengantar aku bersama-sama? Aku ingin memperkenalkan kalian kepada orang tuaku."

   Bagus Sajiwo berpikir sejenak. Bagaimanapun juga, alasan anak ini memang tidak mengada-ada. Dan dia sendiri juga tidak mungkin pergi begitu saja. Dia harus menghadap Ki Cangak Awu dan Nyi Pusposari.

   "Baiklah kalau begitu, Nawangsih. engkau naik kuda itu dan aku berboncengan dengan Joko Darmono dengan kudaku yang lebih besar dan kuat."

   "Tidak! Aku tidak mau berboncengan!"

   Nawangsih memandang kepada Joko Darmono dengan alis berkerut.

   "Kakang Joko, jadi engkau tidak sudi mengantar aku pulang?"

   "Bukan begitu, Nawangsih. Aku siap mengantarmu, hanya aku tidak mau berboncengan dengan Bagus Sajiwo. Orang-orang di jalan tentu akan mencela dan menegur kami berdua, orang-orang dewasa yang menunggang seekor kuda, itu berarti kami melanggar prikebinatangan!"

   Mau tidak mau Bagus Sajiwo tertawa mendengar ucapan itu, juga Nawangsih tersenyum geli.

   "Habis, maumu bagaimana, Joko?"

   Tanya Bagus Sajiwo.

   "Kita bergantian, Bagus. Yang seorang menunggang kuda yang lain lari. Kurasa dalam hal lari, kita berdua tidak kalah cepatnya dibandingkan kuda."

   Bagus Sajiwo mengangguk setuju.

   "Nah, kalian boleh naik kuda, Joko dan Nawangsih. Aku akan lari di belakang kuda kalian."

   "Tidak, engkau yang menunggang kuda lebih dulu. Nanti berganti."

   Karena tidak ingin berbantahan terus dengan pemuda yang keras kepala itu, Bagus Sajiwo lalu menunggang kudanya. Nawangsih menunggang kuda yang ditinggalkan Dartoko. Mereka berdua lalu melarikan kuda. Bagus Sajiwo melihat Joko Darmono berlari di belakang kuda yang ditunggangi Nawangsih dan diam-diam dia kagum. Pemuda itu memang hebat. Tubuhnya demikian ringan ketika berlari. Tampak dia seenaknya dan santai saja dalam berlari, seperti orang berjalan biasa saja. Akan tetapi tidak pernah tertinggal.

   Nawangsih memang gadis cilik yang bengal. sudah tahu kalau Joko Darmono berlari di belakang kudanya, malah membedal kudanya agar berlari cepat! Terpaksa Bagus Sajiwo harus memepercepat kudanya agar jangan tertinggal dan dia melirik ke arah Joko Darmono dengan alis berkerut karena tidak senang dengan perbuatan Nawangsih yang dianggap keterlaluan mempermainkan Joko Darmono itu. Akan tetapi dia menjadi semakin kagum karena Joko Darmono tetap dapat menyamai kecepatan larinya kuda dengan mudahnya!

   Dua orang pemuda itu lari bergantian dan Nawangsih sengaja membalapkan kudanya. Akan tetapi baik Joko Darmono maupun Bagus Sajiwo tidak pernah ketinggalan sehingga diam-diam gadis cilik itu merasa kagum bukan main. Akan tetapi ketika mereka tiba di perkampungan Jatikusumo, hanya para murid Jatikusumo yang menyambut mereka dengan gembira. Ki Cangak Awu dan Nyi Pusposari tidak tampak ikut menyambut. Mereka belum pulang dan biarpun Bagus Sajiwo sudah menceritakan kepada Nawangsih bahwa ayah ibunya melakukan pengejaran terhadap penculik ke Ponorogo, tetap saja ia merasa khawatir sekali.

   "Kakang Bagus, bagaimana kalau Ayah Ibuku terjebak musuh? Aku sungguh merasa khawatir sekali."

   "Nawangsih, tenangkan hatimu. Sekarang juga aku akan menyusul ke Ponorogo mencari Paman Cangak Awu dan Bibi Pusposari untuk memberitahu bahwa engkau telah pulang dengan selamat."

   "Aku juga akan pergi ke sana!"

   Kata Joko Darmono tak mau kalah.

   Bagus Sajiwo memandang pemuda itu dan tersenyum. Bocah ini agaknya jatuh hati kepada Nawangsih, pikirnya. Hal ini tidak mengherankan karena biarpun masih remaja, Nawangsih sudah tampak cantik manis, juga gagah berani, puteri ketua Jatikusumo yang terkenal! Dia sendiri merasa senang kalau kelak Nawangsih dapat berjodoh dengan Joko Darmono karena menurut penglihatannya, pemuda ini selain memiliki kesaktian, juga berwatak pendekar.

   "Bagus, kalau begitu kita pergi bersama, Joko."

   Nawangsih gembira mendengar bahwa kedua orang satria muda itu hendak pergi bersama menyusul ayah ibunya.

   "Kakang Joko dan kakang Bagus aku senang sekali dan berterima kasih kepada Andika berdua atas kesediaan Andika berdua menyusul Ayah Ibuku. Dan juga aku minta maaf atas sikapku yang sudah, yang meragukan kebaikan hati Andika berdua terhadap aku."

   Dua orang pemuda itu saling pandang dan tersenyum lebar, mereka juga maklum bahwa sikap Nawangsih yang meragukan kejujuran mereka kemarin itu hanya untuk menjaga diri dan agar mereka berdua suka mengantarnya pulang bersama! Mereka lalu berkemas dan tak lama kemudian mereka meninggalkan perkampungan Jatikusumo, diantar oleh Nawangsih sampai ke pintu gapura perkampungan Jatikusumo.

   Ki Cangak Awu dan isterinya, Nyi Pusposari, membalapkan kuda mereka memasuki daerah Kadipaten Ponorogo. Ketua perguruan Jatikusumo ini sudah mengenal Adipati ponorogo, bahkan dia pernah berjasa menangkap seorang penjahat buruan dari Ponorogo yang mencuri pusaka Kadipaten. Pencuri sakti ini melarikan diri ke Pacitan dan Sang Adipati minta bantuannya untuk menangkap pencuri itu. Ki Cangak Awu berhasil menangkap sang pencuri dan mengembalikan pusaka itu kepada Adipati Ponorogo.

   Mengingat akan hubungan antara mereka ini, Ki Cangak Awu dan Nyi Pusposari langsung saja berkunjung ke gedung Kadipaten Ponorogo dan menghadap Sang Adipati. Kalau mereka langsung mencari puteri mereka yang mereka duga tentu diculik orang-orangnya Ki Suro Badak yang menyerbu Jatikusumo, mereka merasa tidak enak kepada Sang Adipati. Selain itu mereka juga tidak tahu di mana sarang para warok yang sesat itu.

   Adipati Ponorogo menyambut kunjungan Ki Cangak Awu dan Nyi Pusposari dengan gembira. Mereka lalu dipersilahkan masuk ke ruangan tamu dan Adipati Ponorogo bersama isterinya menyambut dengan hormat.

   "Wah, kami senang sekali Andika berdua ke sini."

   Kata Sang Adipati Ponorogo.

   "Diajeng Pusposari, mengapa Andika tampak bermuram durja (berwajah muran)? Apakah yang terjadi?"

   Tanya pula isteri Sang Adipati.

   Suami isteri itu menghela napas panjang.

   "Adimas Adipati, telah terjadi musibah menimpa keluarga kami."

   Ki Cangak Awu bercerita.

   "Beberapa hari yang lalu, perguruan kami diserbu oleh segerombolan orang yang dipimpin dua orang warok, yaitu Ki Suro Singo dan Ki Suro Badak. Kami melawan dan dalam pertempuran itu, Ki Suro Singo dapat kami robohkan dan dia tewas. Juga beberapa orang anak buah mereka tewas, yang lain sisanya melarikan diri. Akan tetapi kemudian kami medapatkan kenyataan bahwa puteri kami, Nawangsih yang berada di dalam rumah telah hilang diculik orang. Kami menduga bahwa penculiknya tentulah anak buah Warok Ki Suro Singo pula. Karena itu, kami melakukan pengejaran ke sini dan kami mohon bantuan paduka untuk membebaskan puteri kami dan menghukum Ki Suro Badak yang dapat melarikan diri."

   "Ah, jahat sekali!"

   Seru isteri Adipati.

   "Anakmu itu, masih kecilkah, Diajeng Pusposari?"

   "Sudah remaja , sudah berusia tiga belas tahun."

   Sang Adipati mengerutkan alisnya.

   "Hmm, pernah kami mendengar akan sepak terjang dua bersaudara Ki Suro Singo dan Ki Suro Badak itu! Mereka adalah warok-warok yang menyeleweng dan orang-orang macam mereka itulah yang mencemarkan golongan warok yang terkenal gagah perkasa di daerah kami. Bahkan dua orang warok sesat itu kini tidak berani menampakkan diri ke Ponorogo, karena mereka dimusuhi para warok yang gagah perkasa."

   "Kami akan mencarinya, Adimas Adipati! Akan tetapi sebelumnya kami menghadap Paduka karena kami tidak ingin dianggap lancang dan menimbulkan keributan di Kadipaten Ponorogo."

   "Ah, Kakang Cangak Awu! Kami beserta seluruh pamong di Ponorogo sudah mengenal siapa Andika dan percaya sepenuhnya. Tentu saja Andika bebas untuk mencari Suro Badak di sini. Akan tetapi, kami kira usahamu itu akan sia-sia karena kami yakin Suro Badak tidak berani memasuki kota ini."

   "Kalau begitu, ke mana kami harus mencari?"

   Tanya Nyi Pusposari dengan alis berkerut karena ia merasa gelisah memikirkan nasib puterinya yang diculik penjahat.

   "Jangan khawatir, kami pasti akan dapat mengetahui di mana Suro Badak berada."

   Sang Adipati memanggil pengawal yang berada di luar ruangan lalu berkata kepada pengawal itu.

   "Cepat undang Kakang Warok Suro Digdo ke sini. Katakan ada urusan penting!"

   Selagi menanti kembalinya pengawal yang mengundang Warok Suro Digdo, sang Adipati dan isterinya menjamu Ki Cangak Awu dan Nyi Pusposari dengan jamuan makan.

   "Dia adalah ketua para warok di Ponorogo. Seorang yang gagah perkasa, adil dan jujur, walaupun sikapnya kasar. Dialah yang ditakuti para penjahat di daerah Ponorogo. Kami yakin dia tahu di mana kita dapat menemukan warok sesat Ki Suro Badak itu."

   Setelah selesai makan mereka duduk kembali di ruangan tamu dan tak lama kemudian muncullah pengawal tadi bersama seorang laki-laki yang wajah dan penampilannya menyeramkan. Laki-laki ini berusia sekitar lima puluh tahun, tubuhnya tinggi besar berotot dan tampak kekar. Mukanya penuh brewok, kumisnya melintang sekepal sebelah, sepasang matanya lebar melotot, mulutnya menyeringai seperti mengejek dan pakaiannya serba hitam, ikat pinggangnya besar, terbuat dari lawe kuning. Kepalanya diikat kain kepala yang hitam pula.

   "Selamat datang, Kakang Warok Suro Digdo!"

   Sang Adipati menyambut sambil bangkit berdiri dari kursinya. Warok Suro Digdo tertawa bergelak. Suara tawanya menggetar dan bergema di seluruh gedung.

   "Hua-ha-ha-ha! Kanjeng Adipati, apa yang dapat saya bantu maka Paduka memanggil saya?"

   "Duduklah, Kakang!"

   Dan setelah pria gagah perkasa itu duduk, Sang Adipati nerkata.

   "Kakang, perkenalkan dulu tamu-tamu kita ini. Ini adalah Kakang cangak Awu dan isterinya, Nyi Pusposari, mereka adalah pimpinan perguruan Jatikusumo."

   "Aha! gembira sekali dapat bertemu dan berkenalan dengan Andika berdua, suami isteri perkasa yang sudah lama kudengar nama besarnya!"

   Kata Warok Suro Digdo. Suami isteri itu memberi salam dengan merangkap kedua tangan depan dada.

   "Kakang, kembali kedua orang jahat, Warok Suro Singo dan Suro Badak telah membuat onar. Mereka berdua dengan anak buah mereka berani menyerbu Jatikusumo. Mereka terpukul mundur, bahkan Suro Singo tewas. Akan tetapi Suro Badak dapat melarikan diri dan gilanya, mereka itu telah menculik puteri Kakangmas Cangak Awu. Kini Kakangmas Cangak Awu dan isterinya mengejar sampai di sini dan minta bantuan kita untuk dapat menemukan Suro Badak yang telah menculik puteri mereka. Andika tentu tahu di mana kita dapat menemukan Suro badak, Kakang?"

   Warok Suro Digdo mengerutkan alisnya yang tebal dan mengangguk- angguk, memandang suami isteri itu, lalu mengepal tangan kananya yang besar dan kekar.

   "Keparat Suro Badak! Orang-orang macam itu hanya membikin kotor dan cemar nama baik para warok Ponorogo yang gagah berani dan terkenal adil! Hemm, jangan khawatir, Kanjeng. Aku sendiri yang akan meremukkan kepala Suro Badak dan mengambil kembali anak yang diculik itu! Memalukan sekali! Akan kuhajar dia!"

   Setelah berkata demikian warok yang tinggi besar itu bangkit berdiri.

   "Permisi, Kanjeng. Aku pamit!."

   Ki Cangak Awu cepat bangkit berdiri.

   "Ki Warok Suro Digdo, harap tunggu dulu. Kami berdua yang akan mendatangi Warok Suro Badak! Harap beritahukan kepada kami, di mana kami bisa menemukan dia!"

   "Benar, Kakang Warok Suro Digdo, kami hanya ingin mendapat bantuanmu untuk menunjukkan di mana adanya Warok Suro Badak sekarang ini!"

   Kata Sang Adipati.

   Mendengar ini, Warok Suro Digdo duduk kembali.

   
Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hemm, keparat itu tidak berani lagi nongol di Ponorogo setelah kuancam dia. Kalau berani muncul di kota, pasti kepalanya akan kupecahkan! Kini aku mendengar bahwa dia mengumpulkan teman-teman yang sesat, bersarang di Bukit Srendil. Apa pun yang mereka lakukan tidak ada hubungannya dengan kami para warok di Ponorogo, kecuali kalau dia berani mengacau di Ponorogo, pasti akan kami basmi mereka!"

   "Bukit Srendil? Di mana itu?"

   Tanya Cangak Awu.

   Adipati Ponorogo menjawab.

   "Bukit Srendil berada di sebelah selatan Ponorogo, tidak begitu jauh. Bukit itu merupakan bukit kapur yang gersang sehingga tidak ada petani yang mau mengolah tanahnya dan merupakan tempat yang kosong dan ditinggalkan."

   "Benar itu!"

   Kata Warok Suro Digdo.

   "Di sanalah mereka itu bersembunyi, itu yang kudengar dari teman-teman para warok lain. Akan tetapi karena mereka itu tidak pernah berani mengganggu daerah Ponorogo, maka kami juga membiarkannya saja."

   "Baiklah, terima kasih banyak atas semua keterangan ini, Adimas Adipati dan juga Andika Ki Warok Suro Digdo. Sekarang kami mohon diri, akan melakukan pengejaran ke Bukit Srendil."

   "Kalau Andika berdua memerlukan, kami siap membantu, Ki Cangak Awu!"

   Kata warok itu dengan suaranya yang besar dan nyaring.

   "Tidak perlu, terima kasih, Ki Warok. Ini merupakan urusan pribadi kami dengan Warok Suro Badak. Permisi!"

   Suami isteri itu lalu meninggalkan kadipaten dan mereka membalapkan kuda mereka kembali ke selatan. Mudah saja bagi mereka menemukan Bukit Srendil, karena bukit itu berada di sebelah timur jalan raya. Sebetulnya tadi ketika mereka menuju ke Kadipaten Ponorogo, mereka sudah melewati bukit ini, akan tetapi karena sama sekali tidak mengira bahwa mereka yang dikejarnya itu berada di Bukit Srendil, maka mereka tidak menaruh perhatian.

   Dengan penuh pensaran dan keberanian, namun tetap waspada, suami isteri itu menunggangi kuda mereka mendekati bukit itu. Hari telah menjelang senja, namun karena amat mengkhawatirkan keselamatan puteri mereka, suami isteri itu dengan nekat melanjutkan perjalanan mereka mendaki bukit. Akan tetapi mereka terpaksa meninggalkan kuda di lereng pertama dan menambatkan kuda mereka di situ karena jalan pendakian hanya mungkin dilakukan dengan jalan kaki dan memanjat tebing.

   Perjalanan menuju ke puncak bukit itu amat berbahaya, apalagi mereka tidak mengenal daerah dan cuaca mulai gelap. Namun mereka nekat, terdorong oleh kekhawatiran mereka tentang Nawangsih. Dengan memanjat perlahan-lahan, akhirnya mereka sampai juga di puncak bukit. Dalam kegelapan malam yang hanya diterangi bintang-bintang yang memberi cahaya suram dan remang-remang, mereka menemukan sebuah perkampungan di puncak. Perkampungan itu hanya terdiri dari belasan pondok darurat. Namun perkampungan itu sunyi dan gelap. mereka nekat masuk dan mendapat kenyataan bahwa tempat itu telah kosong, tidak ada seorang pun berada di situ.

   Ki Cangak Awu dan Nyi Pusposari merasa heran akan tetapi juga kecewa sekali. Mereka mencari dan meggeledah seluruh pondok, namun tetap saja tidak melihat seorang pun, tidak menemukan jejak penculik dan puterinya.

   "Ah, jangan-jangan Warok Suro Digdo itu menipu kita!"

   Kata Nyi Pusposari.

   Ki Cangak Awu menggeleng kepalanya sambil menambah kayu pada api unggun yang dibuatnya untuk menerangi ruangan dalam pondok di mana mereka tinggal untuk melewatkan malam itu.

   "Aku kira tidak. Dia kelihatan jujur dan sudah dipercaya oleh Adipati Ponorogo. Keterangannya benar. Para warok sesat itu memang tadinya bersarang di tempat ini. Akan tetapi mereka meninggalkan tempat ini karena salah memperhitungkan bahwa kita pasti akan mencari anak kita di sini. Mereka kabur sebelum kita datang."

   "Ah, kalau begitu.... ke mana kita harus mencari anak kita....? Ah,.... Nawangsih...."

   Ki Cangak Awu memegang pundak isterinya.

   "Tenangkan hatimu, jangan putus asa. Kita akan terus mencari dan berusaha. Sebelum kita berhasil menemukannya, kita serahkan saja anak kita kepada Gusti Allah. Sekarang engkau mengasolah dan berdoalah saja kepadaNya semoga Gusti Allah melindungi anak kita. Engkau perlu mengaso agar besok cukup sehat untuk melanjutkan perjalanan kita. Kita cari keterangan lagi kepada Adipati Ponorogo, pasti dia mau membantu kita."

   Pusposari agak terhibur mendengar kata-kata suaminya. Akan tetapi ia masih gelisah dan sukar pulas. Tidurnya sebentar-sebentar terbangun karena mimpi buruk. Ki Cangak Awu duduk bersila bersamadi dan sepasang suami isteri itu melewatkan malam diperkampungan bekas sarang gerombolan para warok sesat itu.

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali setelah cuaca tidak terlalu gelap dan memungkinkan mereka turun bukit, mereka meninggalkan puncak. Setelah tiba di lereng bawah mereka menemukan kuda mereka yang kemarin mereka tinggalkan. Mereka lalu menunggang kuda menuruni lereng bukit.

   

   Ketika mereka tiba di kaki bukit, tiba-tiba terdengar suara letusan berkali-kali. Ki Cangak Awu dan Nyi Pusposari terkejut sekali, apalagi ketika kuda tunggangan mereka meringkik dan mengangkat kedua kaki ke atas. Dari dada binatang itu tampak berdarah mengucur. Kuda mereka telah terluka oleh tembakan! Dengan cepat mereka melompat dari atas punggung kuda sebelum kuda-kuda itu terpelanting roboh karena ada beberapa tembakan mengenai kepala mereka!

   Muncullah tiga orang dari balik batu besar di tepi jalan. Ki Cangak Awu dan Pusposari lalu berdiri tegak berdampingan dan menghadapi tiga orang itu sambil memandang dengan penuh perhatian.

   Seorang dari mereka adalah Warok Suro Badak yang bertubuh tinggi besar berkulit hitam dan sepasang mata yang lebar melotot mengandung kemarahan ketika dia memandang kepada suami isteri itu. Orang kedua adalah seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun, bertubuh sedang dan mukanya pucat seperti muka mayat. di pinggangnya terselip dua buah pistol dan dapat diduga dialah yang tadi melepaskan tembakan-tembakan yang membuat dua ekor kuda tunggangan suami isteri itu roboh dan mati. Orang ke tiga adalah seorang wanita cantik sekali, usianya tampak masih muda, tidak lebih dari tiga puluh tahun, pakaiannya serba putih, sikapnya gagah. Di punggung terselip sebatang kebutan berbulu putih.

   Begitu melihat Warok Suro Badak Pusposari sudah langsung membentak marah.

   "Suro Badak, cepat kau serahkan kembali anakku! Kalau tidak, aku akan membunuhmu sekarang juga!"

   Mendengar ini, Warok Suro Badak tersenyum menyeringai, akan tetapi pandang matanya mengandung keheranan.

   "Apa yang kau bicarakan ini? Aku tidak menculik anakmu!"

   "Warok Suro Badak!"

   Ki Cangak Awu membentak marah.

   "Jangan bertindak dan bersikap pengecut! Engkau tidak berhasil menyerbu Jatikusumo, lalu menculik anakku yang tidak mengerti apa-apa, itu sudah merupakan tindakan curang dan pengecut. Kini engkau menyangkal, itu sikap pengecut yang tidak tahu malu! Hayo katakan, di mana anakku?"

   "Lebih pengecut lagi kalian menyerang kami dengan tembakan yang curang!"

   Sambung lagi Nyi Pusposari.

   "Hayo cepat kembalikan anakku!"

   "Kalian gila!"

   Bentak Warok Suro Badak.

   "Kami tidak pernah menculik anak kalian! Tentu saja aku menyangkalnya. Aku bukan pengecut dan kami buktikan hari ini kami menantang kalian untuk mengadu kepandaian di tempat ini!"

   Suami isteri itu saling pandang. Mereka mulai merasa ragu. Kalau Suro Badak yang menculik anak mereka, tentu dia tidak akan menyangkal. Lalu siapa penculiknya?

   "Hemm, Suro Badak. Engkau hendak menentang kami, akan tetapi diam-diam menyerang dengan senjata api, apakah itu tidak pengecut?"

   "Akulah yang menembak!"

   Laki-laki yang dipinggangnya terselip dua buah pistol itu berkata lantang, lalu dia tertawa dengan suara tawa yang ngakak dan serak.

   "Hak-hak-ha-ha! Kalau aku pengecut, tentu peluru-peluruku tadi sudah menyambar tubuh kalian dan yang mati bukan dua ekor kuda kalian, ha-ha-hak-hak-hak!"

   Kini Ki Cangak Awu dan isterinya memandang kepada dua orang teman Suro Badak itu dan ketua Jatikusumo itu bertanya.

   "Siapakah Andika berdua? Kami tidak mengenal Andika, mengapa Andika membantu Suro Badak memusuhi kami?"

   "Ha-ha-ha-hak-hak-hak!"

   Laki-laki itu tertawa terbahak-bahak.

   "Kalian hendak mengenal kami? Aku adalah Arya Bratadewa dari Banten. Kalian tentu mengenal kakak seperguruanku, mendiang Kyai Sidhi Kawasa! Dan Nimas Ayu ini adalah Ni Candra Dewi, juga seorang tokoh terkenal dari Banten!"

   "Hemm, mengapa para tokoh Banten memusuhi kami, membantu gerombolan penjahat yang dipimpin Warok Suro Badak?"

   Tanya pula Ki Cangak Awu penasaran.

   "Hek-hek-hek! Perguruan Jatikusumo sejak dulu merupakan pembela-pembela Mataram, musuh kami! Mendiang kakak seperguruanku, Kyai Sidhi Kawasa juga tewas oleh Sutejo, saudaramu. Karena itu, kami mendengar dari Ki Suro Badak dan sengaja menghadang di sini untuk membasmi orang-orang Mataram!"

   "Paman Arya, biarlah aku yang menghadapi dua orang Mataram ini!"

   Kata Chandra Dewi. Seperti telah diceritakan di bagian depan, pada saat Candra Dewi terdesak ketika bertanding melawan Maya Dewi, Arya Bratadewa dan anak buahnya muncul dan menolong Candra Dewi dengan tembakan-tembakan mereka sehingga Candra Dewi dapat diselamatkan.

   Semenjak peristiwa itu, Arya Bratadewa membujuk Candra Dewi untuk bergabung dan membantu dia sebagai utusan Kumpeni untuk membantu Blambangan memusuhi Mataram. Kebetulan Arya Bratadewa dan Candra Dewi bertemu dengan Warok Suro Badak. Karena ingin menarik para warok yang sesat untuk ikut membantu Blambangan, maka mendengar bahwa warok itu memusuhi pimpinan Jatikusumo, Arya Bratadewa mengajak Candra Dewi untuk membantu warok itu menghadapi Ki Cangak Awu dan Pusposari.

   Mendengar ucapan wanita cantik berpakaian putih itu, Pusposari melangkah ke depan.

   "Candra Dewi, kami tidak mempunyai permusuhan pribadi denganmu, akan tetapi kalau engkau memusuhi para pembela Mataram, kami tidak menyangkal bahwa kami adalah pembela-pembela setia Mataram! Engkau hendak membasmi orang-orang Mataram? Maju dan hadapi aku!"

   Pusposari adalah puteri angkat mendiang Ki Harjodento, yang dahulu adalah ketua perguruan Nogodento di tepi Bengawan Solo di daerah Ngawi. Sejak kecil Nyi Pusposari digembleng oleh ayah angkatnya sehingga ia menjadi seorang wanita yang memiliki kesaktian yang cukup tinggi, bahkan tingkat kepandaiannya tidak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaian suaminya, Ki Cangak Awu.

   Chandra Dewi adalah seorang wanita yang angkuh dan selalu memandang rendah lawan, apalagi kalau lawan itu pria yang memang pada umumnya ia benci. Ia memandang Pusposari dengan senyum mengejek.

   "Engkau ingin mati di tanganku? Majulah!"

   Kedua tangan Candra Dewi bergerak dan ia telah mengambil senjata kebutan berbulu putih dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya mencabut pedang dari pinggangnya. Dengan kedua senjata ampuh ini di tangan, ia memandang kepada Pusposari sambil tersenyum mengejek dan memandang rendah.

   "Engkau yang mengganggu dan menantang kami. Engkau majulah aku sudah siap!"

   Kata Pusposari dan diam-diam ia mencabut kerisnya dan siap untuk bersilat keris Galuh Bajra, yaitu ilmu silat menggunakan keris yang khas dari perguruan Nogodento, juga ia mempersiapkan tenaga sakti Nogodento untuk dipergunakan sewaktu-waktu. Seluruh tubuhnya, terutama sekali kedua lengannya terisi getaran tenaga Nogodento.

   Candra Dewi mengeluarkan dengusan hidungnya, lalu tanpa peringatan lagi ia sudah menerjang maju, menggerakkan kebutan ditangan kiri disusul sambaran pedangnya. Cepat sekali gerakannya itu. Bulu kebutan putih itu meluncur ke arah kedua mata dan pedang itu menusuk ke arah dada Nyi Pusposari.

   "Wuuuttt.... singgg....!"

   Pusposari terkejut juga melihat dahsyatnya serangan itu yang datang demikian cepatnya dan membawa angin yang kuat dan pedang itu mendesing nyaring. Cepat Pusposari miringkan tubuh mengelak dari sambaran bulu kebutan dan menangkis dengan kerisnya ke arah pedang dari samping.

   "Tranggg.... singggg....!"

   Pusposari merasa betapa tangannya yang memegang keris tergetar, akan tetapi ilmu silat kerisnya memang istimewa. Keris yang menangkis dan terpental itu bukan terpental ke belakang, melainkan terpental ke bawah dan menusuk ke arah perut lawan dan tangan kirinya mendorong dengan pukulan sakti Nogodento ke arah dada Candra Dewi.

   Kini Candra Dewi yang terkejut. Lawannya itu bukan saja mampu menghindarkan diri dari dua serangannya, bahkan dapat membalas spontan dan seketika dengan serangan keris dan pukulan ampuh yang mengancam perut dan dadanya! Ia melompat ke belakang dengan ringan sehingga serangan balasan Pusposari gagal, lalu secepat kilat Candra Dewi menyerang lagi dengan lebih ganas karena setelah tahu bahwa lawannya memiliki kesaktian ia lalu menggerakkan seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus terampuh untuk merobohkan lawannya. Namun, Nyi Pusposari bukanlah lawan yang demikian mudah dirobohkan. Ia melawan dengan penuh semangat. Kerisnya menyambar-nyambar seperti patukan ular berbisa, dan tamparan tangan kirinya dengan Aji Nogodento sungguh merupakan serangan dahsyat. Dua orang wanita ini sudah saling serang dengan serunya.

   Sementara itu melihat Candra Dewi sudah menyerang Nyi Pusposari dan dia merasa yakin bahwa sahabat baru yang kini menjadi sekutunya itu pasti akan menang, Arya Bratadewa sudah mencabut sebatang golok dan dia menghadapi Ki Cangak Awu sambil tertawa ngakak.

   "Hak-hak-hak-ha-ha-ha, Ki Cangak Awu, sekarang bersiaplah engkau untuk mengakhiri hidupmu!"

   "Arya Bratadewa, jangan banyak cakap. majulah kalau engkau berani melawan aku!"

   Ki Cangak Awu sudah melintangkan senjatanya, sebatang tongkat sebesar lengan yang terbuat dari kayu galih asem, yaitu bagian tengah dari batang asem yang kuat dan keras seperti besi!

   "Hak-hak-hak, sambutlah serangan mautku!"

   Arya Bratadewa membentak dan goloknya menyambar, berubah menjadi sinar terang yang dahsyat. Golok itu terputar membuat gerakan di atas, menjadi gulungan sinar kemudian mencuat ke arah kepala Ki Cangak Awu.

   "Trang-cringggg....!!"

   Dua kali golok menyambar dan dua kali bertemu dengan tangkisan tongkat Ki Cangak Awu. Ketua Jatikusumo ini memiliki tenaga yang besar. Akan tetapi ternyata lawannya juga kuat sekali sehingga pertemuan dua senjata itu membuat keduanya terdorong mundur dan merasa tangan mereka tergetar. Akan tetapi ternyata kemudian bahwa Ki Cangak Awu masih kalah dalam hal kecepatan gerakan sehingga keadaannnya tidak jauh dari keadaan isterinya yang juga mulai terdesak hebat oleh Ni Candra Dewi.

   (Lanjut ke Jilid 05)

   Kemelut Blambangan (Seri ke 05 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 05

   Melihat dua orang jagoannya mendesak suami isteri pimpinan perguruan Jatikusumo itu, Warok Suro Badak tertawa-tawa gembira. Dia amat membenci pimpinan Jatikusumo. Dia dan Warok Suro Singo memimpin gerombolan mereka menyerbu Jatikusumo karena perguruan itu selalu memusuhi teman-teman mereka yang masuk golongan hitam atau golongan sesat. Selain itu, juga dalam penyerbuan itu, kakaknya, Suro Singo telah tewas di tangan Ki Cangak Awu. Maka ketika bertemu dengan Arya Bratadewa dan Candra Dewi, dia minta bantuan mereka.

   Arya Bratadewa tidak menolak karena dia selalu memusuhi orang-orang yang membela Mataram. Sebagai antek Kumpeni, memang tugasnya untuk mengadu domba antara daerah-daerah dengan Mataram. Arya Bratadewa mau membantu Suro Badak dengan perjanjian bahwa Suro Badak akan mengerahkan semua kawannya untuk membantu Blambangan yang hendak memberontak terhadap Mataram.

   Biarpun mereka berdua terdesak hebat, namun bukan watak pendekar kalau suami isteri itu menjadi gentar, apalagi berusaha melarikan diri. Mereka melawan mati-matian sehingga amukan mereka berdua itu sedikitnya dapat meredam desakan kedua orang lawan yang memang memiliki tingkat yang lebih tinggi sedikit dibandingkan mereka.

   Kalau saja tingkat kepandaian suami isteri pimpinan perguruan Jatikusumo itu lebih tinggi daripada lawan mereka, tentu sudah sejak tadi Arya Bratadewa mempergunakan sepasang pistol yang menjadi andalannya. Akan tetapi kareka dia mampu mendesak Ki Cangak Awu dan Ni Candra Dewi juga dapat mendesak Nyi Pusposari, maka dia tidak mau mempergunakan senjata api itu. Bagi seorang jagoan seperti dia tentu akan merasa lebih puas jika mengalahkan lawannya dengan kesaktiannya, bukan dengan senjata api yang hanya dipergunakan kalau keadaan memaksanya.

   Kini suami isteri itu sudah terdesak benar. Mereka berdua hanya mampu melindungi diri dengan elakan dan tangkisan sambil mundur, tidak ada kesempatan untuk membalas serangan lawan yang semakin gencar. Keadaan mereka terancam bahaya dan gawat. Mulai terdengar tawa Arya Bratadewa yang ngakak, menertawakan lawannya.

   Ketika suami isteri itu sudah amat gawat keadaannya, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda dan dua orang penunggang kuda membalapkan kuda mereka menuju ke tempat pertandingan itu. Ketika keduanya sudah tiba di situ, mereka cepat melompat turun dari atas kuda.

   Empat orang yang sedang berkelahi itu menyempatkan diri untuk melirik dan melihat siapa dua orang yang datang itu. Mereka berempat tidak mengenal Joko Darmono, akan tetapi ketika Ki Cangak Awu dan Pusposari mengenal bahwa seorang dari dua pemuda yang datang itu Bagus Sajiwo, mereka menjadi girang sekali. Sebaliknya, Ni Candra Dewi ketika melihat Bagus Sajiwo, mukanya menjadi merah. Ia sejak dulu membenci pria dan Bagus Sajiwo merupakan satu-satunya pria yang ia pilih untuk menjadi suaminya. Akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak mau menerimanya sebagai isteri. Hal ini membuat ia sakit hati dan membenci sekali kepada Bagus Sajiwo karena merasa ditampik, direndahkan yang membuat ia malu dan merasa dihina. Akan tetapi selain marah, ia juga gentar melihat kedatangan Bagus Sajiwo dan seorang pemuda lain yang tidak dikenalnya.

   Ketika Bagus Sajiwo melihat betapa suami isteri itu terdesak, apalagi bahwa yang mendesak Nyi Pusposari adalah Candra Dewi yang dia tahu amat sakti, dia lalu cepat melompat ke medan perkelahian. Sekali dia menggerakkan tangannya, ada angin pukulan dahsyat menahan Candra Dewi yang sedang mendesak Nyi Pusposari. Candra Dewi marah sekali melihat pemuda yang dianggap suaminya itu malah membela lawannya, maka dengan nekat ia lalu menerjang dengan kebutan dan pedangnya ke arah Bagus Sajiwo. Akan tetapi dorongan tenaga Bagus Sajiwo itu membawa angin yang kuat sekali sehingga tubuh Candra Dewi terdorong ke belakang sampai terhuyung.

   Melihat pemuda yang baru datang itu dapat membuat Candra Dewi terhuyung ke belakang, Arya Brata dewa terkejut bukan main. Dia lalu melompat ke belakang dan cepat mencabut dua buah pistol dari pinggangnya. Akan tetapi sebelum dia sempat membidik dan menembakkan kedua buah pistolnya itu, dua sinar hitam menyambar dan dua buah batu sebesar kemiri menghantam kedua tangannya yang memegang pistol.

   "Aduhhh....!!"

   Dia berteriak keras dan dua buah senjata api itu terlepas dan terlempar dari tangannya. Dia memandang terbelalak ke arah pemuda yang menjatuhkan dua buah pistolnya dengan sambitan batu itu. Maklumlah dia bahwa yang dihadapinya adalah dua orang pemuda yang amat tangguh, padahal dua pucuk senjata api yang menjadi andalannya telah terlepas dari tangannya. Kalau dilanjutkan perkelahian itu, tentu fihaknya akan menderita kekalahan. Agaknya Candra Dewi juga mempunyai pendapat yang sama. Iblis betina Banten ini gentar menghadapi Bagus Sajiwo yang dibencinya. Maka ketika Arya Bratadewa melompat jauh meninggalkan tempat itu, ia pun melompat dan mengejar rekannya melarikan diri. Warok Suro Badak sudah sejak tadi melarikan diri lebih dulu melihat kemunculan pemuda yang digdaya itu.

   "Jahanam busuk! Kembalikan puteriku!"

   Teriak Pusposari dan ia melakukan pengejaran. Suaminya, Ki Cangak Awu juga mengejar.

   "Paman dan Bibi, jangan mengejar! Adi Nawangsih sudah pulang!"

   Seru Bagus Sajiwo sambil mengejar dua orang itu. Melihat bayangan berkelebat dan pemuda itu telah berdiri menghadang di depan mereka dan mendengar ucapan itu, keduanya berhenti dan memandang pemuda itu dengan sinar mata penuh harapan.

   "Anakku.... sudah pulang?"

   Bagus Sajiwo mengangguk.

   "Benar, Kanjeng Bibi. Joko Darmono itulah yang telah menyelamatkan Nawangsih dari tangan penculiknya."

   Bagus Sajiwo memandang ke arah Joko Darmono. Suami isteri itu memutar tubuh mereka memandang Joko Darmono yang sambil tersenyum menghampiri mereka.

   "Joko, perkenalkan. Ini Paman Ki Cangak Awu dan Bibi Pusposari, ayah dan ibu Nawangsih."

   Kata Bagus Sajiwo memperkenalkan.

   Joko Darmono memberi hormat dengan sembah depan dada.

   "Paman dan Bibi, senang sekali dapat berkenalan dengan Paman dan Bibi sebagai pemimpin Perguruan Jatikusumo yang terkenal."

   Katanya ramah. Sumai isteri itu masih tertegun oleh rasa girang dan lega mendengar puteri mereka telah dapat diselamatkan.

   "Anakmas Joko Darmono, kami amat berterima kasih bahwa Andika telah menyelamatkan anak kami."

   Kata Ki Cangak Awu sambil menatap wajah tampan itu.

   "Ah, Paman. Kebetulan saja aku bertemu dengan penjahat yang melarikan Adik Nawangsih sehingga dapat menggagalkan penculikan itu."

   Kata Joko Darmono.

   "Aduh, terima kasih banyak, Anakmas. Kami sudah merasa gelisah bukan main. Bagaimana ceritanya andika dapat menolong anak kami?"

   "Bibi Pusposari, saya kira lebih baik hal itu kita bicarakan nanti. Sekarang sebaiknya Paman dan Bibi cepat pulang karena Adik Nawangsih amat mengkhawatirkan Paman dan Bibi yang mencarinya ke Ponorogo. Pakailah kuda kami."

   Kata Bagus Sajiwo."

   "Terima kasih, kalian sungguh pemuda-pemuda yang hebat. Kami sekeluarga berhutang budi...."

   Kata Pusposari terharu. Suami isteri itu lalu menunggang kuda kedua orang pemuda itu dan membalapkan kuda mereka ke selatan, menuju ke Jatikusumo.

   Dua orang pemuda saling pandang dan keduanya tersenyum.

   "Wah, harapan bagimu besar sekali, Joko!"

   "Weh! Apa maksudmu? Harapan apa?" "Harapan menjadi Adik iparku!"

   "Lho? Maksudmu?"

   "Alaaa, masih kura-kura dalam perahu, pura- pura tidak tahu! Nah, kujelaskan lagi. Harapan untuk menjadi mantu Paman Ki Cangak Awu!"

   "Apa? Aku? Ih, gila kau, Bagus!"

   "Mengapa gila? Engkau tertarik kepada adikku Nawangsih yang cantik jelita...."

   "Dan galak!"

   "Galak namun menggemaskan, bukan? Hayo, mengaku saja! Engkau jatuh cinta kepadanya, bukan? Dan aku tahu bahwa Nawangsih mengagumimu, apalagi ia telah kauselamatkan. Orang tuanya sangat berterima kasih kepadamu. Selain itu, aku sendiri pun sungguh akan senang sekali kalau engkau menjadi adik iparku. Engkau seorang pemuda yang baik, amat baik."

   Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bagus, engkau menganggap aku baik? Apaku yang baik?"

   "Segalanya. Engkau masih muda, engkau tampan seperti Arjuna, engkau gagah perkasa, sakti mandraguna dan bijaksana, seorang satria sejati yang berbudi mulia."

   "Wah-wah-wah, kepalaku rasanya menjadi besar sekali nih!"

   Joko Darmono berseru sambil menggunakan kedua tangan memegangi kepalanya dan tertawa.

   "Bagus, jangan mengada-ada kau! Nawangsih masih kanak-kanak, jangan berpikir yang macam-macam!"

   "Usianya sudah tiga belas tahun. Beberapa tahun lagi ia sudah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik jelita! Ia bukan anak kecil lagi. Eh, Joko, terus terang saja, kalau engkau setuju, aku yang akan menjadi perantara, membicarakan hal ini dengan Paman dan Bibi."

   "Husshh! Jangan, awas kalau engkau lancang. Aku akan marah sekali padamu!"

   Kata Joko Darmono dan karena sikapnya bersungguh-sungguh ketika mengatakan hal ini, Bagus Sajiwo tidak melanjutkan godaannya. Mereka berdua lalu berlari cepat mengejar suami isteri yang membalapkan kuda mereka tadi, menuju ke perkampungan Jatikusumo.

   Di tengah perjalanan, Joko Darmono bertanya.

   "Bagus, aku ingin bertanya...."

   "Tentang Nawangsih?"

   "Hush! Jangan main-main. Aku ingin bertanya tentang dua orang yang hendak membunuh Paman dan Bibimu tadi. Kau mengenal mereka?"

   "Laki-laki berpistol itu aku tidak kenal dan baru sekarang aku melihatnya. Akan tetapi wanita itu tidak asing bagiku. Ia adalah Iblis Betina dari Banten...."

   "Ah, itukah yang bernama Maya Dewi?"

   Joko Darmono berseru.

   "Sudah lama aku mendengar tentang Maya Dewi!"

   "Bukan! Ia bukan Maya dewi, akan tetapi Kakak tirinya dan bernama Candra Dewi. Galak dan kejam sekali. Maya Dewi sama sekali bukan iblis betina...."

   "Akan tetapi aku mendengar bahwa Maya Dewi adalah Iblis Betina yang teramat jahat, yang tidak segan melakukan segala macam kejahatan, cabul, keji, bahkan terkenal sebagai antek Kumpeni!"

   Bagus Sajiwo tersenyum dan menggeleng kepalanya.

   "Sekarang tidak lagi, Joko. Betapapun sesatnya ia dahulu, akan tetapi Maya Dewi yang sekarang adalah seorang wanita yang baik hati, bijaksana, dan gagah perkasa."

   "Ah, engkau mengenalnya?"

   "Bukan hanya mengenal. Ia sahabatku yang paling baik."

   "Oh....!"

   Joko Darmono terbelalak menatap wajah Bagus Sajiwo, tidak menyembunyikan keheranannya dan ia tampak terkejut bukan main mendengar pengakuan Bagus Sajiwo itu.

   "Jangan heran dan percayalah padaku Joko. Maya Dewi sekarang adalah seorang pendekar wanita yang menentang kajahatan. Bahkan belum lama ini ia bentrok sendiri dengan kakak tirinya itu. Aku mengenal Candra Dewi, akan tetapi yang laki-laki tadi aku tidak mengenalnya. Hanya melihat betapa dia pandai mempergunakan senjata api dan memilikinya, mungkin sekali ia dekat Kumpeni.

   "Bukan dekat lagi. Dia itu Arya Bratadewa, juga seorang tokoh berasal dari Banten yang menjadi orang kepercayaan Kumpeni Belanda."

   "Hemm, jahat sekali! Aku mendengar dari Ayah Ibuku bahwa sekarang tidak ada perang antara Mataram dan Kumpeni Belanda. Bagaimana masih ada antek Kumpeni dan memusuhi para pembela Mataram? Apa maksud mereka itu? Apa yang dikehendaki Belanda dengan mengirim telik sandi (mata-mata) seperti Arya Bratadewa yang memusuhi para pendekar Mataram?"

   "Apa engkau belum mendengar, Bagus? Kumpeni Belanda selalu berusaha untuk mengadu domba antara para Kadipaten dan Mataram. Dan kini Belanda membantu Kadipaten Blambangan dengan senjata-senjata api untuk menyerang Mataram."

   Bagus Sajiwo terkejut.

   "Hemm, benarkah itu, Joko?"

   "Tentu saja benar! Blambangan sedang bersiap- siap untuk menyerang Mataram dan mereka bersekutu dengan Bali yang merupakan pembantu utamanya. Diam-diam Kumpeni juga membantu dengan mengirim para telik sandi dan juga senjata-senjata api."

   "Hemm, kalau begitu penyerangan terhadap Ayah Ibuku, lalu penyerangan terhadap perguruan Jatikusumo, semua peristiwa itu ada hubungannya dengan gerakan persekutuan pemberontak yang berpusat di Blambangan?"

   "Kurasa demikian, Bagus."

   "Eh, Joko, bagaimana engkau dapat mengetahui ini semua?"

   "Tentu saja aku tahu akan keadaan Kadipaten Blambangan karena aku adalah kawula Blambangan!"

   Bagus Sajiwo memandang dengan heran dan agak terkejut.

   "Ah, engkau kawula Blambangan? Akan tetapi mengapa engkau tidak membantu Blambangan, bahkan.... tadi menentang Arya Bratadewa yang engkau tahu bersekutu dengan Blambangan?"

   "Hemm. engkau tidak senang aku membantu perguruan Jatikusumo dan menentang sekutu Blambangan?"

   "Tentu saja tidak! Aku hanya heran, Joko. Aku tahu engkau seorang yang gagah perkasa, tidak mungkin engkau mau mengkhianati kadipaten di mana engkau menjadi kawulanya."

   Joko Darmono menghela napas panjang.

   "Tentu saja aku bukan pengkhianat. Terus terang saja, persekutuan itu sudah mencoba untuk mendekati dan menarik aku agar membantu mereka. Akan tetapi aku hanya siap membantu Kadipaten Blambangan kalau memang Sang Adipati bertindak benar. Akan tetapi sang adipati dipengaruhi Kerajaan Klungkung di Bali, mengadakan persekutuan dengan para tokoh sesat bahkan dengan Kumpeni Belanda! Bagaimana mungkin aku sudi membantunya? Aku akan membela Blambangan kalau Blambangan diserang secara sewenang-wenang oleh siapapun juga. Akan tetapi aku pasti tidak mau membantu kalau Blambangan bertindak angkara murka."

   "Hemm, aku kagum sekali padamu, Joko. Apa yang kau katakan itu memang benar. Kita wajib membela negara dan tanah air, akan tetapi bukan membela penguasa yang angkara murka. Bahkan demi kesejahteraan negara dan bangsa, kita harus bertindak adil dan berani menentang kalau penguasa membawa negara ke arah yang tidak benar, apalagi menuruti keangkara-murkaan penguasa."

   Mereka melanjutkan perjalanan dan karena keduanya kini mengerahkan aji kesaktian mereka dengan berlari secepat terbang, mereka tiba di perkampungan Jatikusumo hanya beberapa saat setelah Ki Cangak Awu dan Nyi Pusposari tiba di situ. Hal ini membuat ketua Jatikusumo dan isterinya menjadi kagum bukan main. Tadi mereka berdua membalapkan kuda mereka, akan tetapi ternyata dua orang pemuda itu dapat tiba di situ dengan waktu yang hampir bersamaan dengan kedatangan mereka.

   Nawangsih menyambut kedatangan ayah ibunya dengan girang. Nyi Pusposari berangkulan dengan puterinya yang diculik orang akan tetapi kini kembali dalam keadaan selamat. Keluarga itu lalu menyambut Bagus Sajiwo dan Joko Darmono dengan ramah dan penuh rasa syukur karena dua orang muda inilah yang telah menyelamatkan Nawangsih maupun juga menyelamatkan suami isteri itu yang nyaris dibunuh lawan yang lebih kuat.

   Mereka mengadakan pesta makan dengan gembira. Dengan gayanya yang lincah Nawangsih menceritakan kepada ayah ibunya betapa ia telah diselamatkan dari tangan penculiknya yang bernama Dartoko oleh Joko Darmono. Setelah Nawangsih selesai bercerita, Ki Cangak Awu dan isterinya menatap wajah Joko Darmono dengan kagum dan berterima kasih.

   "Anakmas Joko Darmono, Andika telah menyelamatkan puteri kami dari malapetaka. Kami sekeluarga mengucapkan banyak terima kasih, dan apabila kami sekeluarga tiada kesempatan membalas budi kebaikan Andika ini, semoga Gusti Allah yang akan membalas semua amal kebaikan Andika dengan berkah yang berlimpah-limpah."

   Joko Darmono tersenyum lebar. Suami isteri itu kagum melihat wajah yang amat tampan itu.

   "Wah, Paman terlalu memuji. Secara kebetulan saja saya melihat orang melakukan kejahatan dan tentu saja saya segera menentangnya dan menolong Adik Nawangsih. Semua orang juga akan berbuat seperti saya, maka harap Paman sekeluarga tidak terlalu membesarkan perbuatan saya yang sudah semestinya itu."

   "Kanjeng Paman dan Kanjeng Bibi, Joko Darmono ini memang seorang yang hebat sekali!"

   Kata Bagus Sajiwo sambil tersenyum.

   "Sudah sakti mandraguna, tampan seperti Arjuna, juga rendah hati dan bijaksana. Sungguh amat langka mendapatkan seorang pemuda seperti dia!"

   "Hemm, Bagus! Engkau mau mengejek aku, ya? Memangnya aku ini barang atau mahluk langka?"

   Joko Darmono menegur berlagak marah. Bagus Sajiwo yang mengetahui bahwa pemuda itu hanya berpura-pura saja marah, tertawa.

   "Anakmas Joko Darmono, kami ingin mengenal Andika lebih baik lagi. Sukalah Andika menceritakan, siapa orang tua dan siapa pula Guru Andika?"

   Tanya Nyi Pusposari.

   "Wah, kasihan sekali dia, Ibu!"

   Kata Nawangsih.

   "Ketika masih kecil sudah ditinggal mati kedua orang tuanya, kemudian ketika berusia lima tahun dan hanya hidup berdua dengan Adiknya. Adiknya yang berusia tiga tahun mati pula sehingga dia hidup sebatang kara!"

   "Aduh kasihan!"

   Kata Nyi Pusposari.

   "Benarkah itu, Anakmas?"

   

Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini